Meneliti Kembali Sanad Hadis “Wanita Yang Paling Dicintai Rasulullah SAW Adalah Fathimah”

Meneliti Kembali Sanad Hadis “Wanita Yang Paling Dicintai Rasulullah SAW Adalah Fathimah”

Menyikapi suatu hadis memang harus berhati-hati, jangan sampai karena kecenderungan tertentu malah mendhaifkan hadis yang shahih atau menshahihkan hadis yang dhaif. Tentu dalam masalah ini, sudah banyak ulama yang berjasa besar yang telah mempelajari dan memberikan pendapat mereka mengenai banyak hadis. Oleh karena itu sudah selayaknya jika kita mempelajari dengan baik arahan mereka para Ulama. Untuk mempersingkat waktu, kami kali ini ingin mengajak anda mengkaji bersama hadis

Wanita yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Fatimah

dan dari kalangan laki-laki adalah Ali.

Dalam Tulisan kami yang lalu telah kami tegaskan bahwa Hadis ini adalah shahih. Kemudian selang beberapa lama, saudara haulasyiah memberikan tanggapan yang menurutnya adalah untuk meluruskan tulisan kami yang menurut beliau tidak sesuai dengan kaidah yang diletakkan oleh Ulama hadis.Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada saudara haulasyiah, dan tentunya tanpa merendahkan niat baik beliau kami katakan bahwa kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk sesuai dengan kaidah-kaidah yang diletakkan oleh Ulama hadis.Dalam tanggapan beliau terdapat cacat atau illat tersembunyi yang perlu diluruskan kembali. Nah untuk itulah kami berpanjang-panjang menulis tanggapan di tengah kesibukan kami yang entah kenapa begitu membludak akhir-akhir ini 😦 Untuk selanjutnya kata-kata saudara haulasyiah yang kami kutip akan kami cetak biru 🙂

.

.

Riwayat Pertama
Saudara haulasyiah berkata

Perlu diperhatikan, yang dipermasalahkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah bukanlah keadaannya sebagai seorang yang tsiqah, shaduq atau dha’if, tetapi keadaannya sebagai seorang mudallis. Terlebih, ketika ia meriwayatkan hadits ini dengan sighah ‘an (dari) atau yang disebut dengan sighah ‘an’anah.

Kami membawakan banyak komentar Ulama yang mentsiqahkan Abdullah bin Atha’ adalah sebagai penjelasan yang berimbang atas

  • Pernyataan Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa Adz Dzahabi memasukkan Abdullah bin Atha’ dalam Ad Dhuafa. Disini kami telah menunjukkan bahwa dalam pandangan Adz Dzahabi sendiri Abdullah bin Atha’ adalah perawi yang shaduq.
  • Pernyataan Syaikh Al Albani yang mengutip An Nasai bahwa Abdullah bin Atha’ itu tidak kuat. Disini kami menanggapi bahwa ada banyak Ulama selain Nasa’I yang justru menyatakan Abdullah tsiqat dan kami telah menunjukkan kendati Imam Nasa’I berkomentar begitu beliau tetap menulis hadis Abdullah dalam Kitab Sunan-nya.

Saudara haulasyiah berkata

Ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani memang memiliki keilmuwan yang demikian dalam tentang ilmu hadits, bagaimana beliau bisa membedakan mana hadits shahih dan mana hadits yang lemah. dan bagaimana beliau memisahkan antara perawi yang tsiqah bukan mudallis dan perawi yang tsiqah atau shaduq yang mudallis.

Syaikh Al Albani memang memiliki keilmuan dalam masalah hadis tetapi beliau jelas bukan satu-satunya dan menurut kami ada banyak ulama lain yang memiliki kelimuan yang tidak kalah dari beliau. Dalam perkara mudallis ini Syaikh Al Albani ternyata juga melakukan kontradiksi dalam karya-karyanya. Hal ini akan kami tunjukkan nanti. Tetapi saya setuju, perawi tsiqah yang mudallis memang berbeda dengan perawi tsiqah yang bukan mudallis.

Perkara Mudallis ini adalah perkara yang cukup sensitive di kalangan para ahli hadis dan termasuk lahan yang menarik bagi para peneliti hadis. Ada suatu kaidah umum yang cukup dikenal di kalangan ahli hadis mengenai apa hukumnya hadis mudallis. Kaidah ini adalah seperti yang dikutip oleh saudara haulasyiah

Ibnu Sholah Rahimahullah Ta’ala berkata, “Jika ia (perawi yang mudallis) berterus terang (dalam periwayatannya) menggunakan sighoh ittishal, seperti: ‘Aku mendengar’, ‘Telah menceritakan kami’, dan ‘telah mengkabarkan kami.’ Maka riwayatnya diterima dan bisa dijadikan hujjah. (Akan tetapi) jika ia menggunakan lafazh yang mengandung kemungkinan (mendengar atau tidak, seperti ‘an, anna atau Qola) maka hukumnya seperti hadits mursal (tidak diterima alias lemah).”

Imam Suyuthi setelah menyebutkan khilaf para ulama’ tentang masalah ini, beliau menyimpulkan, “Yang benar harus dirinci, jika ia (perawi mudallis) menggunakan lafazh yang ada kemungkinan (mendengar atau tidak, seperti ‘an), ia tidak menjelaskan pada riwayatnya itu mendengar langsung maka riwayatnya mursal (tidak diterima). Tetapi jika ia menjelaskan dengan lafazh, aku mendengar, telah menceritakan kami, telah mengkhabarkan kami, dan yang semisalnya maka riwayatnya diterima. Dalam Ash Shahihain dan selain keduanya contohnya banyak sekali…” (Tadrib Ar Rawi 1/169)

Kaidah ini adalah kaidah yang umum dan ternyata tidak bisa dipukul rata, sama untuk semua kasus. Hal ini dikarenakan periwayatan hadis lebih dahulu terjadi ketimbang ilmu hadis itu sendiri sehingga dalam periwayatan hadis, para perawi generasi awal terkadang menggunakan lafal haddatsana, akhbarana atau lafal ‘an. Sehingga dalam kitab-kitab hadis yang shahih sekalipun seperti Bukhari dan Muslim ada cukup banyak hadis dengan lafal ‘an yang diriwayatkan oleh perawi yang dikatakan mudallis.

Jika kaidah umum di atas dipakai untuk setiap perawi yang dikatakan mudallis maka akan cukup banyak hadis shahih yang akan hilang. Oleh karena itu Ibnu Hajar yang menulis kitab daftar para mudallis yaitu Thabaqat Al Mudallisin telah menetapkan klasifikasi atau martabat bagi para mudallis. Dalam Thabaqat Al Mudallisin, Ibnu Hajar mengelompokkan perawi yang dikatakan mudallis ke dalam 5 tingkatan atau martabat dari yang paling ringan sampai ke yang paling berat yaitu

  1. Tingkatan pertama, yaitu perawi yang tidak banyak disifati tadlis seperti Yahya bin Said Al Anshari. Masuk dalam tingkatan ini adalah perawi yang kadang-kadang melakukan tadlis atau telah masyhur bahwa ia pernah melakukan tadlis.
  2. Tingkatan kedua yaitu Perawi yang dikatakan melakukan tadlis tetapi tetap diriwayatkan dan diterima hadisnya dalam kitab Shahih dikarenakan kredibilitas dan sedikit tadlisnya dalam periwayatan seperti Sufyan Ats Tsauri Atau perawi yang tidak mentadlis kecuali dari perawi yang tsiqah seperti Sufyan bin Uyainah.
  3. Tingkatan ketiga yaitu Perawi yang mentadlis tetapi tidak dari perawi yang tsiqah saja. Dan ia sering melakukan tadlis dan riwayatnya diterima jika ia menyatakan bahwa ia mendengar langsung riwayat tersebut atau tidak dengan lafal ‘an.
  4. Tingkatan Keempat yaitu Perawi yang sering melakukan tadlis dari perawi-perawi dhaif seperti Baqiyah bin Walid
  5. Tingkatan Kelima yaitu Perawi yang selain melakukan tadlis ia juga memiliki sifat-sifat lain yang memperberat kelemahannya.

Tingkatan pertama dan kedua adalah tingkatan perawi mudallis yang bisa diterima hadisnya walaupun menggunakan lafal ’an. Saudara haulasyiah sendiri mengakui bahwa kaidah ini tidak bisa dipukul rata, seperti yang ia sendiri katakan

Sebagian pakar hadits lain mengecualikan beberapa perawi mudallis yang bisa diterima riwayatnya walaupun menggunakan lafazh ‘an dan yang semisalnya disebabkan beberapa perkara, seperti Qotadah, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Ats Tsauri, dan yang lainnya.

Pengecualian yang disebutkan oleh beliau itu terkait dengan tingkatan para mudallis. Kedua Sufyan diterima hadisnya dalam kitab shahih walaupun dengan lafal ’an dikarenakan alasan yang telah kami sebutkan dalam tingkatan kedua.

Mengenai perkara Abdullah bin Atha’ seorang mudallis, maka kami menyatakan sebelumnya bahwa Dan sebagaimana disebutkan dalam At Tahdzib kalau Abdullah bin Atha’ memang meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Buraidah. Disebutkan dalam Thabaqat Al Mudallisin bahwa ia seorang mudallis martabat awal yang tidak terlalu parah tadlisnya .Jadi tidak bisa begitu saja dikatakan tidak menjadi hujjah. Penjelasannya adalah sebagai berikut, kami menyebutkan dua pernyataan yang berhubungan

  1. Abdullah bin Atha’ sudah dinyatakan dalam At Tahdzib bahwa ia memang meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Buraidah.
  2. Dan disebutkan pula dalam Thabaqat Al Mudallisin bahwa Abdullah bin Atha’ adalah mudallis martabat awal.

Kedua pernyataan ini hanya ingin menunjukkan bahwa walaupun ia mudallis tetapi hadisnya tetap bisa diterima dan dijadikan hujjah karena ia mudallis martabat awal. Bukti akan hal ini adalah para Ulama telah berhujjah dengan hadis Abdullah bin Atha’ dengan lafal ‘an dari Abdullah bin Buraidah.

Kitab Tahdzib At Tahdzib yang ditulis oleh Ibnu Hajar adalah kitab yang memuat para perawi hadis yang meriwayatkan hadis dalam Kutub As Sittah yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud dan Sunan Nasa’i. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib mengatakan pada biografi Abdullah bin Atha’ bahwa ia adalah perawi Muslim dan Ashabus Sunan dan meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Buraidah.

Ketika kami merujuk pada kitab Shahih Muslim dan Ashabus Sunan (Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud dan Sunan Nasa’i) untuk melihat hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah, maka kami temukan bahwa semua hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah diriwayatkan Abdullah dengan lafal ‘an. Perinciannya adalah sebagai berikut

  • Dalam Shahih Muslim 2/805 tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi kami temukan 3 hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah yang semuanya menggunakan lafal ‘an.
  • Dalam Sunan Tirmidzi kami temukan 3 hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah yaitu hadis no 667 juz 3/54, no 929 juz 3/269 dan no 3868 juz 5/689. Semuanya diriwayatkan Abdullah dengan lafal ‘an.
  • Dalam Sunan Ibnu Majah kami temukan 2 hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah yaitu hadis no 1759 juz 1/559 dan hadis no 2394 juz 2/800. Kedua hadis ini diriwayatkan Abdullah dengan lafal ‘an.
  • Dalam Sunan Abu Dawud kami temukan 3 hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah yaitu hadis no 1656 juz 1/520, hadis no 2877 juz 2/129 dan hadis no 3309 juz 2/256. Ketiga hadis tersebut diriwayatkan Abdullah dengan lafal ‘an.
  • Dalam Sunan Nasai kami hanya menemukan satu hadis Abdullah bin Atha’ tetapi itu bukan riwayatnya dari Abdullah bin Buraidah.

Jadi dari sumber Kutub As Sittah itu didapatkan bahwa hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah diriwayatkan dengan lafal ‘an.

Jika memang seperti yang dikatakan oleh saudara haulasyiah bahwa hadis mudallis terhukum mursal kecuali dengan pernyataan sama’ langsung maka semua riwayat Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah terhukum mursal, artinya ia tidak meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah. Jika memang begitu maka mengapa Ibnu Hajar dalam At Tahdzib benar-benar menegaskan bahwa Abdullah bin Atha’ meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Buraidah?. Penjelasan atas kemusykilan ini adalah seperti yang kami katakan sebelumnya bahwa Abdullah bin Atha’ adalah mudallis pada tingkatan pertama yang tidak banyak melakukan tadlis dan tetap diterima hadisnya walaupun dengan lafal ‘an.

Dari uraian di atas juga dapat diketahui bahwa

  1. Imam Muslim telah menshahihkan hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah dengan lafal ’an karena beliau memasukkan hadis Abdullah dengan lafal ’an itu pada kitabnya Shahih Muslim.
  2. Semua hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah dengan lafal ’an telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam kitabnya Shahih Sunan Ibnu Majah, Shahih Sunan Abu Dawud dan Shahih Sunan Tirmidzi kecuali satu hadis yaitu hadis Sunan Tirmidzi 5/689 no 3868. Tahukah anda satu hadis Sunan Tirmidzi ini, ya satu hadis ini adalah hadis yang isinya menyatakan bahwa Wanita yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Fatimah dan dari kalangan laki-laki adalah Ali. Agak aneh bukan, kalau memang yang beliau permasalahkan itu adalah sanad hadisnya dimana Abdullah bin Atha’ seorang mudallis meriwayatkan dengan lafal ’an maka bagaimana dengan hadis-hadis Abdullah bin Atha’ dengan lafal ’an yang berulang kali beliau shahihkan. Ini inkonsistensi Syaikh Al Albani yang patut disayangkan.
  3. Sebagai tambahan, sudah kami kemukakan sebelumnya bahwa Al Hakim dan Adz Dzahabi telah menyatakan shahih hadis Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah dengan lafal ’an yaitu hadis Wanita yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Fatimah dan dari kalangan laki-laki adalah Ali.

Jadi saudara haulasyiah, mengenai komentar saudara

Para pembaca rahimakumulah, dari kalimat ini seakan-akan Saudara Secondprince tidak mempermasalahkan jika seorang mudallis meriwayatkan dari syaikh yang ia pernah meriwayatkan darinya, dengan kata lain yang dipermasalahkan hanyalah seorang mudallis meriwayatkan dari syaikh yang tidak ia kenal (belum pernah berjumpa/meriwayatkan). Sepertinya Saudara Secondprince tidak paham atau pura-pura tidak paham. Padahal jika kita memperhatikan apa yang dimaksud dengan tadlis, mudallis, dan mudallas justru apa yang disebutkan oleh Saudara Secondprince itulah yang disebut tadlis. Karena defenisi tadlis (isnad) adalah, “Seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari syaikhnya yang kebetulan (hadits tersebut) tidak didengar langsung darinya, akan tetapi dia menyampaikan hadits tersebut dengan bentuk yang mengesankan kalau ia memang mendengarnya, seperti: ‘an (dari), anna (bahwasanya), atau qola (ia berkata).”

Sudah kami jawab dengan uraian di atas, maafkan kalau penjelasan singkat kami membuat anda salah memahami maksud yang kami sampaikan. Kami memahami kaidah yang saudara sebutkan apalagi pengertian mudallis tetapi sejauh ini pengalaman kami dengan hadis-hadis mudallis membuat kami berhati-hati dalam menempatkan kaidah itu, semoga bisa direnungkan.

Setelah mengamati penjelasan beberapa pakar hadits diatas, maka kita tahu bahwa riwayat Abdullah bin ‘Atho tidak bisa diterima, karena ia seorang mudallis dan dalam hadits ini ia meriwayatkan menggunakan ‘an’anah.

Sudah ditunjukkan bahwa Imam Muslim dan Syaikh Al Albani telah menshahihkan hadis Abdullah bin Atha’ dengan lafal ‘an. Jadi kata-kata saudara tidak pada tempatnya

Atas dasar ini, hadits ini adalah mudallas hukumnya seperti mursal. Terlebih, ketika yang meriwayatkan darinya adalah Ja’far bin Ziyad Al Ahmar, seorang yang sering salah dalam meriwayatkan hadits dan berpaham syi’ah. Bahkan disebutkan oleh cucunya sendiri bahwa ia adalah gembong syi’ah untuk daerah Khurasan. Walaupun sebagian ulama’ menganggapnya tsiqah akan tetapi kesimpulan dari keadaannya adalah seperti yang disebutkan Ibnu Hibban, “Sering meriwayatkan dari Adh Dhu’afa’ (perawi lemah), jika meriwayatkan dari perawi tsiqah ia bersendirian dan sering terbolak balik.”

Ja’far bin Ziyad Al Ahmar adalah perawi tsiqah dan tidak ada yang menyatakan bahwa ia sering salah dalam meriwayatkan hadis. Dalam At Taqrib Ibnu Hajar menyebutnya shaduq(jujur) dan tasyayyu’ bukan dengan kata-kata shaduq yukhti’u(jujur tetapi sering salah). Satu-satunya yang mengisyaratkan bahwa Ja’far sering salah adalah Ibnu Hibban yang mengatakan bahwa Ja’far sering meriwayatkan dari perawi dhaif dan sering terbolak balik. Kami katakan apa yang dikemukakan Ibnu Hibban tidak bisa diterima dengan banyaknya kesaksian ulama lain

  1. Ibnu Syahin mentsiqahkan beliau dalam kitabnya Tarikh Asma Ats Tsiqat .
  2. Imam Ahmad berkata bahwa hadisnya baik
  3. Ibnu Main menyatakan ia tsiqat
  4. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat
  5. Abu Zar’ah menyatakannya shaduq(jujur)
  6. Abu Dawud menyatakannya jujur
  7. An Nasa’I berkata “tidak ada cacat”,
  8. Al Fasawi menyatakan ia tsiqat
  9. Usman bin Abi Syaibah menyatakan Ja’far shaduq tsiqat
  10. Al Ajli berkata bahwa ia orang kufah yang tsiqat.
  11. Ibnu Ady berkata ia seorang syiah yang baik

Bisa dilihat ada 11 ulama yang menta’dilkan beliau dan bagaimana bisa saudara dengan begitu saja menyatakan bahwa kesimpulan dari keadaannya adalah seperti yang dikatakan Ibnu Hibban. Bukankah Ibnu Hibban memasukkan Ja’far dalam kitabnya tentang para perawi dhaif Al Majruhin no 182. Jadi dengan begitu mudahkah saudara setuju dengan pendhaifan Ibnu Hibban dan mengesampingkan belasan penta’dilan ulama lain.

Sungguh tepatlah pernyataan Syaikh Al Albani,
“(jika perawinya) seperti dia (sering salah dan berpaham Syi’ah) maka hati ini tidak tenang terhadap haditsnya, terlebih ketika berbicara tentang keutamaan Ali radhiallahu ‘anhu. Karena sudah diketahui, bagaimana sikap berlebihan Syi’ah terhadap Ali, dan demikian banyaknya mereka membuat hadits-hadits dusta tentang keutamaannya.”

Mari kita nilai perkataan Syaikh Al Albani itu dengan kritis dan objektif. Pertama-tama beliau berkata “(jika perawinya) seperti dia (sering salah dan berpaham Syi’ah) maka hati ini tidak tenang terhadap haditsnya, terlebih ketika berbicara tentang keutamaan Ali radhiallahu ‘anhu. Ini adalah perasaan subjektif Syaikh sendiri, bagi kami tidak perlu takut menerima hadis perawi syiah jika ia memang terbukti jujur dan tsiqat. Tapi tentu sikap itu adalah pilihan beliau sendiri yang memang tidak bisa dipaksakan.

Beliau menyebutkan alasan ketidaktenangannya itu dengan kata-kata Karena sudah diketahui, bagaimana sikap berlebihan Syi’ah terhadap Ali, dan demikian banyaknya mereka membuat hadits-hadits dusta tentang keutamaannya.” Alasan ini sudah jelas batil, bukankah yang dituju dalam kata-kata tidak tenang terhadap hadisnya adalah Ja’far bin Ziyad lantas kenapa beliau malah mengajukan alasan bahwa syiah berlebihan dan banyak membuat hadis dusta tentang keutamaan Ali. Bukankah Ja’far adalah syiah yang dikenal tsiqat dan jujur lalu apa hubungannya dengan mereka yang membuat hadis dusta. Ini adalah satu contoh kesalahan berhujjah dengan dalil-dalil umum yang digeneralisasi semaunya. Kalau memang benar Syiah seperti yang Syaikh katakan adalah pembuat hadis dusta maka itupun tetap tidak ada hubungannya dengan Ja’far bin Ziyad yang telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama. Jadi bagaimana bisa pernyataan Syaikh Al Albani itu dikatakan tepat.

Kesimpulan : Riwayat pertama itu jelas shahih
.

.

.

Riwayat Kedua

Saudara haulasyiah berkata

Rasanya ada beberapa terjemahan Saudara Secondprince yang perlu dijelaskan lagi,
Ketika menterjemahkan komentar Al Bukhari, “Dia bisa dipertimbangkan.” Kalimat aslinya adalah Fiihi Nazhar (perlu diperiksa lagi), kalimat ini biasa digunakan oleh muhaditstsin sebagai jarh/kritikan atau ketidak setujuan.

Kami ucapkan terimakasih atas penjelasannya dan memang benar yang saudara sampaikan bahwa pernyataan fiihi nazhar sendiri bagi Bukhari adalah ketidaksetujuan.

Para pembaca rahimakumullah, Sebenarnya dari uraian para ulama’ yang disebutkan Saudara Secondprince diatas sudah jelas menunjukkan bahwa Jami’ atau Jumai’ bin Umair adalah perawi yang tidak bisa dipakai, dari 8 pakar hadits diatas hanya Abu Hatim dan Al Ijli saja yang menyatakan tsiqah, itupun disebabkan Al Ijli dikenal sebagai mutasahil fit ta’dil (Bermudahan dalam memberikan ta’dil) selebihnya menjarh dengan jarh yang amat pedas.

Jami’ bin Umair adalah perawi yang bisa dipakai hadisnya paling tidak bisa dijadikan syahid atau pendukung. Selain Abu Hatim dan Al Ajli, As Saji juga mengatakan ia jujur walaupun sebelumnya ia berkata lahu ahadits manakir dan fiihi nazhar. Itu artinya kendati ada kelemahan pada Jami’ beliau tetap seorang yang jujur dalam pandangan As Saji. Selain itu Imam Tirmidzi sendiri selaku periwayat hadis ini telah menghasankan hadis Jami’ bin Umair tersebut dan Al Hakim yang juga meriwayatkan hadis tersebut menyatakan shahih hadis Jami’ bin Umair. Bukankah seperti kata anda Ulama yang merawikan hadis lebih mengetahui hadis yang ia riwayatkan. Lagipula apakah saudara tidak memperhatikan apa yang ditulis oleh Ibnu Hajar setelah ia menyebutkan dalam At Tahdzib berbagai pandangan ulama seperti Abu Hatim, Al Ajli, Bukhari, As Saji, Ibnu Ady, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair kemudian dalam At Taqrib beliau memberikan predikat shaduq yukhti’u(jujur tetapi salah) bagi Jami’ bin Umair. Bukankah predikat ini membuat hadis Jami’ layak untuk dijadikan syahid(pendukung).

Adz Dzahabi, “Tertuduh pemalsu hadits.”

Rasanya ada terjemahan saudara haulasyiah yang perlu dijelaskan lagi. Ketika menterjemahkan komentar Adz Dzahabi “Tertuduh pemalsu hadis”, kalimat aslinya adalah Jami’ muttaham yang bagi kami artinya Jami’ tertuduh. Tidak ada penyebutan tentang pemalsu hadis.

Maka atas dasar kesaksian dari para ulama’ diatas, Jami atau Jumai’ bin Umair adalah rawi yang tidak bisa dipakai, karena ia memiliki sekian banyak cacat: Pemalsu hadits, haditsnya perlua dikaji lagi, pendusta, haditsnya munkar, tertuduh, salah dalam meriwayatkan hadits.

Dari sekian banyak cacat yang disebutkan kami menolak tuduhan pemalsu hadis dan pendusta bagi Jami’ bin Umair karena tuduhan pemalsu hadis hanya dinyatakan Ibnu Hibban bertentangan dengan pernyataan Abu Hatim, Al Ajli, Ibnu Hajar dan At Tirmidzi ditambah lagi ternyata Ibnu Hibban sendiri memasukkan Jami’ ke dalam Ats Tsiqat artinya Ibnu Hibban telah mengantagonis dirinya sendiri. Dan tuduhan dusta Ibnu Numair hanya beliau sendiri yang mengatakannya dan itupun tanpa alasan yang kuat.

Maka sangat keliru ketika Saudara Secondprince menyimpulkan bahwa Jami’ adalah perawi tsiqah. Bahkan Ibnu Hajar dan Abu Hatim tidak menjulukinya tsiqah

Baiklah, kami keliru disini ketika menggunakan kata tsiqah, yang lebih tepat kalau dikatakan bahwa penta’dilan terhadap Jami’ lebih diterima dibanding penjarhan kepadanya. Jami’ adalah perawi shaduq dan hadisnya hasan. Ibnu Hajar dan Abu Hatim telah memberikan predikat ta’dil pada Jami’ bin Umair. Oleh karena itu hadisnya layak untuk dijadikan syahid atau pendukung.

Ketika menanggapi pembahasan kami terhadap tuduhan dusta terhadap Jami’, saudara haulasyiah berkata

Tentu ya Saudara Secondprince, kedustaan memiliki pengaruh besar terhadap kredibilitas seorang rawi, karena yang dimaksud perawi ‘adl/tsiqah adalah: “Perawi yang memiliki perangai baik yang membawa pelakunya untuk selalu melakukan ketaqwaan, menjauhi perbuatan dosa, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bisa menghilangkan kewibawaannya.” (Ta’liqat Atsariyyah ‘alal Manzhumah Al Baiquniyyah hal 31)
Maka seorang rawi yang berdusta berarti ia memiliki perangai buruk, membawa dirinya melakukan perbuatan buruk, melakukan perbuatan dosa, dan menjatuhkan kewibawaannya.” Pantaskah perawi seperti ini dikatakan tsiqah??

Permasalahannya bukanlah seperti itu wahai saudara haulasyiah, tentu jika memang seorang perawi dikenal berdusta atau sudah terbukti berdusta maka riwayatnya tidak bisa diterima. Tetapi permasalahannya adalah benarkah tuduhan dusta yang dilontarkan itu?. Bukankah Ibnu Numair bisa keliru dalam hal ini, bukankah kedustaan yang beliau contohkan adalah sesuatu yang aneh yaitu soal burung yang beranak di langit. Alasan itu sendiri sungguh asing dalam jarh-jarh yang pernah kami baca.

Bukankah telah cukup dikenal perawi-perawi yang dikatakan oleh sebagian ulama sebagai pendusta tetapi kenyataannya ia seorang yang jujur atau tsiqat. Bukankah Ibnu Ishaq yang dikatakan oleh Imam Malik sebagai Dajjal dan Ia yang dikatakan pendusta oleh Sulaiman At Taimi, Hisyam bin Urwah dan Yahya Al Qatthan telah ditsiqatkan oleh banyak Ulama lain. Bukankah Ibnu Ishaq telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Main, Ibnu Saad, Ibnu Hibban, dan Al Ajli. Bukankah Ibnu Ishaq telah dikatakan Ibnu Hajar sebagai shaduq(jujur), Bukankah Ibnu Ishaq adalah orang yang dikatakan Adz Dzahabi sebagai “hadis Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur.Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit,banyak para imam hadis menjadikannya sebagai hujjah”. Jadi bukankah banyak ulama yang telah menta’dilkan Ibnu Ishaq walaupun ia dituduh oleh beberapa orang sebagai pendusta.

Kemudian ketika kami mengomentari jarh Ibnu Hibban, saudara haulasyiah menanggapi

Sabar wahai Saudara Secondprince, jangan terburu-buru! Imam Dzahabi juga menjuluki beliau sebagai muttaham sebagai Pemalsu hadits, dan tidak ada ulama’ yang mengingkarinya. Lagi pula tidak ada yang memujinya kecuali hanya 2 orang saja.

Telah kami sebutkan bahwa Adz Dzahabi kendati ia mendhaifkan Jami’ beliau tidak menyebutnya sebagai pemalsu hadis. Beliau hanya menyebutnya sebagai Tertuduh dalam At Talkhis. Hal ini berbeda dengan Ibnu Hibban yang jelas-jelas menyebut yadha’ul hadits(pemalsu hadis). Telah disebutkan siapa yang menta’dilkan beliau Jami’ bin Umair yaitu Abu Hatim, Al Ajli, At Tirmidzi, Al Hakim dan Ibnu Hajar.

Makna Munkar adalah, “Riwayat rawi dha’if menyelisihi riwayat rawi tsiqah.”
Maka demikianlah keadaan riwayat ini, menyelisihi riwayat-riwayat para perawi yang tsiqah sebagaimana yang telah kami jelaskan pada edisi lalu.

Sayangnya telah kami jelaskan bahwa riwayat ini tidak menyelisihi riwayat apapun. Silakan dilihat kembali penjelasan kami.

Saudara Secondprince, jangan terlalu terburu-buru untuk menghukumi kedua sanad ini, sanad hadits Jami’ bin ‘Umair tidak bisa dijadikan sebagai mutaba’ah, karena mutaba’ah memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah keadaan sanad yang dijadikan mutaba’ah tidak Syadid Dha’f (lemah sekali). Adapun perihal Jami’ bin Umair keadaannya adalah, Pemalsu hadits, perlua dikaji ulang, pendusta, haditsnya munkar, tertuduh, salah dalam meriwayatkan hadits. Maka sekali lagi, sanad hadits ini tidak sah sesuai dengan kaedah ilmu mustholah untuk dijadikan sebagai mutaba’ah.

Alhamdulillah, kami sudah lama mempelajari ini dan pelan-pelan meneliti bahwa kedua sanad hadis ini saling menguatkan, yang mana kesimpulan kami yaitu hadis Abdullah bin Atha’ adalah shahih dan hadis Jami’ itu hasan.

Kesimpulannya adalah, riwayat Abdullah bin ‘Atho tetap lemah karena tidak ada sanad lain yang menguatkannya dan riwayat Jami’ bin Umair bathil karena ia telah tertuduh sebagai pemalsu hadits

Silakan, kami sudah memberikan perincian panjang lebar dan kami lihat sepertinya saudara punya kecenderungan tersendiri kepada Ibnu Hibban, silakan-silakan.

Bicara soal sanad lain, hadis dengan makna seperti ini bahwa Yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Fatimah juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak no 4376 dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, mengenai riwayat ini Al Hakim berkata

حديث صحيح الإسناد على شرط الشيخين ولم يخرجاه

Hadis shahih sesuai syarat Bukhari Muslim tetapi mereka tidak meriwayatkannya

Kemudian diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 9/325 no 15195 dan ia berkata

رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح

Hadis riwayat Thabrani dan para perawinya adalah perawi shahih.

Ketika kami menunjukkan kontradiksi Syaikh Al Albani maka saudara haulasyiah memberikan tanggapan pembelaan. Tetapi apapun itu tetap saja kontradiksi itu adalah kekeliruan Syaikh Al Albani. Saudara haulasyiah berkomentar

Demikian juga yang terjadi pada diri Syaikh Al Albani Rahimahullah Ta’ala, tak jarang dalam berbagai karyanya kita dapati beliau rujuk, yang semula menshahihkan kini berganti mendha’ifkan atau sebaliknya. Maka tidak benar kalau dikatakan beliau mendha’ifkan hadits ini hanya disebabkan kebenciannya terhadap pihak tertentu, tentu beliau sangat jauh dari sifat ini, semuanya beliau hukumi secara ilmiyah menurut kaedah ilmu hadits yang dipakai ulama’ terdahulu. Sebagai contoh, ketika beliau menghukumi sebuah hadits yang berbicara tentang hukum buang hajat (lihat: Misykah no356), semula beliau mendha’ifkannya karena ada dua cacat fatal pada sanadnya, ternyata beberapa tahun kemudian beliau menshahihkannya dikarenakan ada jalur lain yang menguatkannya, beliau berkata, “Sekarang, baru kami dapati dari Ibnu Qaththan Jazahullahu Khairan sanad yang bagus ini dari selain jalur Ikrimah bin Ammar. Maka wajib untuk memindahkan (hadits ini) dari Dha’if Abi Daud ke Shahih Abi Daud, dari Dha’if Al Jami’ ke Shahih Al Jami’, dari Dha’if At Targhib ke Shahih At Targhib, dan dari Dha’if Ibnu Majah ke Shahih Ibnu Majah.”
Dalam tempat lain, ketika beliau rujuk dari sebuah hadits yang semula beliau shahihkan kemudian beliau dha’ifkan, “Dahulu aku sempat lalai dari cacat ini ketika aku mentakhrij kitab Syarhu Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, aku pun menshahihkannya (no. 516) karena hanya melihat pada zhahir sanad, sekarang aku rujuk darinya, hanya Allah lah yang memberi taufik dan aku memohon ampun kepada-Nya atas kekeliruanku…”
Demikian pula ketika beliau rujuk dari menghukumi sebuah hadits yang semula mendha’ifkannya kemudian memaudhu’kannya, “Inilah yang aku sebutkan dalam kitabku Dha’if Al Jami’. Sekarang, aku telah meneliti sanadnya yang muzhlim dan aku perhatikan matannya maka tampaklah bagiku bahwa hadits ini maudhu’. (Adh Dha’ifah no3272)
“Sekarang, aku telah teliti sanadnya, maka aku rujuk yang semula menghukuminya dha’if menjadi maudhu’ disebabkan riwayat rawi kadzdzab ini…” (Adh Dha’ifah no3290)

Semua kasus yang saudara haulasyiah sampaikan berbeda dengan kasus hadis ini. Perbedaan yang jelas adalah pada semua riwayat yang saudara itu sampaikan terlihat dengan jelas kalau Syaikh Al Albani mengakui kekeliruan yang ia buat dengan kata lain pernyataan rujuk atau koreksi itu berasal dari Syaikh sendiri. Tetapi pada kasus hadis Jami’ bin Umair sejauh yang kami tahu, kami tidak menemukan pernyataan Syaikh yang meralat atau mengakui kekhilafan yang ia buat.

Jika dikatakan Syaikh terkhilaf dengan suatu ilmu yang belum ia ketahui ketika menghasankan hadis Jami’ bin Umair maka kami katakan bagaimana bisa?. Bukankah alasan Syaikh mendhaifkan hadis ini adalah kredibilitas Jami’ bin Umair yang dikatakan tertuduh pemalsu hadis. Apakah ketika beliau menilai kitab Misykat, khilaf dari pandangannya apa yang dikatakan oleh Ibnu Hibban. Bukankah pernyataan Ibnu Hibban itu sangat mudah ditemukan dalam At Tahdzib bagi siapa saja yang memiliki kitab tersebut. Kami pribadi yang jelas bukan apa-apanya bisa melihat dengan mudah pernyataan Ibnu Hibban tersebut apalagi seorang Syaikh seperti Syaikh Al Albani. Bagi kami sangat jelas Syaikh melakukan kontradiksi dan beliau memiliki 2 pendapat yang berbeda soal hadis Jami’. Walaupun begitu seperti yang dikatakan oleh saudara haulasyiah kesalahan atau kekeliruan adalah suatu kewajaran tapi sangat tidak wajar untuk terus berkeras pada kesalahan.

Pada tulisan kami ini hanya menanggapi seputar riwayat hadits, walaupun masih sangat banyak dari tulisan Saudara Secondprince yang perlu diluruskan

Kami mengucapkan terimakasih kepada saudara haulasyiah yang berkenan menanggapi tulisan kami. Silakan jika saudara berkenan untuk meluruskan tulisan kami yang lain karena dengan itu kami juga bisa belajar banyak dari saudara, syukron.

Salam Damai

.

.

Catatan :

  • Maafkan kalau baru bisa update sekarang, karena sesuatu hal kami jadi sangat sibuk akhir-akhir ini
  • Maafkan kalau selama kami vakum beberapa hari ini ada hal-hal dari blog ini yang tidak mengenakkan

6 Tanggapan

  1. Selamat berjuang SP! Semoga Allah swt selalu melindungi mas dan memberikan jalan kemudahan dari segala kesulitan.

    Kecenderungan kecintaan seyogjanya lebih ditujukan kepada Nabi dan Ahlulbaytnya. Namun kebodohan dan kedengkian ternyata sudah membutakan hati dan pikiran.

    Sedih rasanya melihat penolakan-penolakan dan penentangan-penentangan terhadap kemuliaan Ahlulbayt.
    Tidak usah melihat sanad, tidak usah bicara perawi, apakah masih belum jelas bahwa Nabi saw pasti lebih mencintai dan memuliakan keluarganya? Apakah hati ini begitu kelam dan keras?

    Semoga Allah swt selalu melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua. Amin

    Salam

  2. Ya ampun masih sempet-sempetnya nulis padahal sekarang sibuknya jadi hancur-hancuran gitu. Sakit nulismu itu udah parah banget lho 😆
    saluuut, sudaaah tiduuuur sana. Enakan tidur :mrgreen:

  3. saya jadi teringat ucapan Ayah saya yang ingin menjadikan saya seperti Fatima Az Zahra, mungkin karena saya anak tunggal Ayah yah ….

    🙂

  4. @All
    Ada hadits yang menurut ulama maupun ahli hadits SHAHIH sedangkan ada ulama maupun ahli hadits lain mengatakan DHAIF atau MURSAL. Menurut saya ada beberapa faktor yang pempengaruhi untuk mendhaifkan suatu hadits. Contoh hadits tsb. diatas. Tergantung kita sekarang yang menilai. Apakah shahih atau tidak. Kita tidak perlu Taklid kepada ulama atau ahli hadits yang mendhaifkan hadits yang kita yakin kebenaran MANTAN hadits tsb. Kita ambil contoh hadits yang disodorkan oleh mas SP diatas. Saya menerima hadits tersebut sebagai hadits yang shahih. Dasarnya adalan mantannya. Allah sangat menyintai keduanya dibandingkan umatNya yang lain. Jadi wajar apabila Rasul paling menyintai keduanya. Wasalam

  5. @Ibnu Adi

    Salam kenal

    Informasinya sudah ketinggalan zaman, kita disini dari dulu sudah menganjurkan kepada seluruh umat Islam dari berbagai mazhab dan golongan supaya bersatu menuju kepada persatuan dan kesatuan umat.

    Wasalam

Tinggalkan komentar