Ilmu Rijal Syi’ah : Ikhtilaf Mengenai Taradhi dan Tarahim Ash Shaduq?

Ilmu Rijal Syi’ah : Ikhtilaf Mengenai Taradhi dan Tarahim Ash Shaduq?

Pernah kami kemukakan sebelumnya, Syi’ah memiliki Ilmu Rijal seperti hal-nya Sunni dan memiliki keunikan tersendiri yang layak untuk diteliti dan didiskusikan secara ilmiah. Salah satu keunikan ilmu Rijal Syi’ah adalah kaidah yang dikenal dikalangan ulama muta’akhirin mereka yaitu Taradhi dan Tarahim Ash Shaduq terhadap guru-gurunya.

Yang dimaksud dengan Taradhi Ash Shaduq adalah Ash Shaduq dalam kitabnya menyebutkan dengan jelas setelah menuliskan nama gurunya lafaz [radiallahu ‘anhu]. Seperti halnya berikut

حدثنا الحسن بن محمد بن يحيى العلوي رضي الله عنه قال حدثني جدي قال حدثنا داود بن القاسم قال حدثنا الحسن بن زيد قال سمعت جماعة من أهل بيتي يقولون

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Muhammad bin Yahya Al ‘Alawiy [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepadaku kakekku yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Qaasim yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Zaid yang berkata aku mendengar jama’ah ahlul bait mengatakan…[Al Khishaal Syaikh Ash Shaduq 1/76 no 121]

Sedangkan yang dimaksud Tarahim Ash Shaduq adalah Ash Shaduq dalam kitabnya menyebutkan dengan jelas setelah menuliskan nama gurunya lafaz [rahimahullah]. Seperti hal-nya berikut

حدثنا الحسن بن محمد بن يحيى العلوي رحمه الله قال حدثني جدي قال حدثني محمد بن علي قال حدثنا عبد الله بن الحسن بن محمد و حسين بن علي بن عبد الله بن أبي رافع

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muhammad bin Yahya Al ‘Alawiy [rahimahullah] yang berkata telah menceritakan kepadaku kakekku yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Hasan bin Muhammad dan Husain bin Aliy bin Abdullah bin Abi Rafi’…[Al Khishaal Syaikh Ash Shaduq 1/77 no 123]

Perselisihan di kalangan ulama Syi’ah muta’akhirin adalah apakah lafaz radiallahu ‘anhu dan rahimahullah itu adalah lafaz yang bersifat tautsiq.

  1. Sebagian berpendapat bahwa lafaz ini bersifat tautsiq yang menunjukkan bahwa guru Ash Shaduq tersebut adalah tsiqat dalam pandangan Ash Shaduq atau lafaz tersebut menunjukkan pujian Ash Shaduq terhadap gurunya sehingga minimal hadisnya hasan, diantara yang berpendapat seperti ini adalah Muhaqqiq Ad Damaad, Al Mamaqaniy, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy, Asif Al Muhsini dan yang lainnya.
  2. Sedangkan sebagian yang lain tidak berpendapat bahwa lafaz ini bersifat tautsiq, diantara ulama Syi’ah yang berpendapat demikian adalah Sayyid Al Khu’iy, Muhammad Al Jawahiriy dan yang lainnya.

.

.

Untuk menilai pendapat mana yang benar, maka ada baiknya kita melihat apa dasar masing-masing pendapat kemudian menganalisis-nya secara ilmiah. Al Mamaqaniy berkata dalam kitabnya Tanqiih Al Maqaal biografi Aliy bin Ahmad bin Muhammad Ad Daqaaq

وقد قالوا: إنّ ذكر الثقات مشايخهم مقروناً بِالرَّضْيَلَة وَالرَّحْمَلَة قرين للمدح، بل هو عديل للتوثيق. قال المحقق الداماد رحمه الله: إنّ لمشايخنا الكبار الصدوق رضي الله عنه مشيخةً يلتزمون إرداف تسميتهم بِالرَّضْيَلَة أو الرَّحْمَلَة لهم، فاُولئك أثبات أجلاّء، والحديث من جهتهم صحيح معتمد عليه، نصّ بالتوثيق أو لم ينصّ

Dan sungguh kami katakan sesungguhnya ia menyebutkan tsiqatnya masyaikh [guru-guru] mereka dengan menggunakan taradhi [radiallahu ‘anhu] atau tarahim [rahimahullah], hal ini menunjukkan pujian bahkan ia adil dengan tautsiq. Muhaqqiq Ad Daamaad rahimahullah berkata “sesungguhnya masyaikh kami yang besar seperti Ash Shaduq radiallahu ‘anhu, ia menyebutkan nama-nama masyaikh-nya dengan taradhi atau tarahim terhadap mereka, maka hal ini membuktikan kemuliaan mereka. Dan hadis yang datang dari mereka shahih dapat dijadikan pegangan, baik itu disertai nash tautsiq ataupun tidak [Tanqiih Al Maqaal 1/267]

Seperti yang terlihat dalam kalimat di atas nampak bahwa taradhi adalah pujian dan diasumsikan pujian itu bermakna tsiqat shahih hadisnya dan sepertinya pernyataan ini bagi mereka tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut. Seandainya permasalahan ini berhenti disini maka kami tidak perlu mentarjih dan cukup menerima perkataan ulama syiah di atas. Tetapi faktanya terdapat penolakan dari sebagian ulama dengan alasan yang cukup kuat, diantaranya Sayyid Al Khu’iy

أن الترحم هو طلب الرحمة من الله تعالى ، فهو دعاء مطلوب ومستحب في حق كل مؤمن ، وقد أمرنا بطلب المغفرة لجميع المؤمنين وللوالدين بخصوصهما

Sesungguhnya tarahim, itu adalah meminta rahmat dari Allah ta’ala maka itu adalah doa yang diharapkan dan dianjurkan untuk hak setiap mukmin, dan sungguh kita telah diperintahkan untuk meminta ampunan untuk seluruh kaum muslimin dan khususnya untuk kedua orang tua [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 1/74]

Kalau kita analisis dengan baik maka apa yang dikatakan Sayyid Al Khu’iy itu adalah benar bahwa taradhi dan tarahim hakikatnya adalah doa yang bisa ditujukan bagi setiap mukmin. Tidak pula dinafikan bahwa ucapan taradhi atau tarahim yang ditujukan pada seseorang bermakna pujian terhadap orang tersebut dalam arti kita mendoakan orang-orang yang kita anggap terpuji. Hanya saja pujian tersebut bersifat umum dan tidak bisa dengan gampangnya langsung dikatakan bersifat tautsiq.

Bisa dimengerti bahwa jika guru Ash Shaduq itu seorang fasiq atau pendusta di sisi Ash Shaduq maka tidak mungkin Ash Shaduq akan menyebutkan lafaz taradhi tersebut. Tetapi masalahnya predikat seseorang tidak terbatas pada jika dia bukan fasiq atau bukan pendusta maka ia sudah pasti tsiqat. Terkait dengan periwayatan hadis, dalam kitab Rijal Syi’ah ternukil dari kalangan mutaqaddimin predikat yang tidak kuat sebagai tautsiq [bahkan bisa bersifat jarh] seperti, “mudhtharib al hadits”, “lahu kitaab”, “ya’rifu wa yunkaru”, “mukhtalith” dan yang lainnya. Bisa saja orang dengan predikat seperti ini masuk dalam lingkup lafaz taradhi tersebut. Maka bagaimana bisa lafaz taradhi itu dimutlakkan dengan lafaz tsiqat atau minimal hasan hadisnya.

Dan termasuk pujian pula predikat seseorang yaitu mazhab-nya lurus [bukan ghuluw] termasuk Imamiyah, atau dikenal memiliki banyak kitab atau ia seorang ahli kalam atau seorang qadhiy. Tentu orang seperti ini juga masuk dalam lingkup lafaz taradhi [radiallahu ‘anhu]. Maka apakah dengan mudah lafaz taradhi itu dimutlakkan tsiqat?.

Bukti yang paling baik untuk menyelesaikan perselisihan ini adalah dengan melihat bagaimana perkataan Syaikh Ash Shaduq sendiri terhadap lafaz tersebut. Tetapi faktanya dalam kitab-kitab Ash Shaduq tidak ada keterangan apa makna taradhi tersebut di sisi Ash Shaduq sehingga masing-masing pihak hanya bersandar pada zhan [dugaan] alias kemungkinan. Dan yang namanya kemungkinan tidaklah menafikan kemungkinan lainnya walaupun ada jenis kemungkinan yang lebih kuat diantara berbagai kemungkinan.

Sebagian orang yang membela hujjah lafaz taradhi berarti tsiqat menyampaikan argumen bahwa Ash Shaduq tidak memberikan predikat [taradhi] itu pada setiap gurunya dan terkadang Ash Shaduq berulang-ulang menyebutkan taradhi untuk seorang gurunya pada berbagai kitabnya. Hal ini juga tidak menjadi hujjah karena didapatkan keterangan bahwa Ash Shaduq terkadang menisbatkan lafaz taradhi itu secara umum tidak hanya untuk gurunya tetapi juga salaf atau pendahulunya. Ash Shaduq pernah berkata

وغيرها من الأصول والمصنفات التي طرقي إليها معروفة في فهرس الكتب التي رويتها عن مشائخي وأسلافي رضي الله عنهم

Dan selainnya dari Ushul dan Tulisan yang datang dengan jalan yang ma’ruf dalam daftar kitab yang diriwayatkan dari guru-guruku dan salafku radiallahu ‘anhum [Man La Yahdhurru Al Faaqih, Syaikh Ash Shaduq 1/3]

Dan anggap saja benar pendapat sebagian orang tersebut bahwa lafaz taradhi itu dikhususkan untuk guru Ash Shaduq tertentu maka apa buktinya lafaz itu bermakna tsiqat?. Bisa saja dikatakan karena Ash Shaduq lebih cenderung dengan gurunya tersebut atau ia menganggap gurunya lebih berjasa baginya dibanding gurunya yang lain atau Ash Shaduq melihat bahwa gurunya tersebut lebih shalih dalam hal ibadah dan wara’ dibanding yang lainnya dan sebagainya kemungkinan-kemungkinan yang masuk dalam lingkup lafaz taradhi tetapi tidak mesti bermakna tsiqat.

Sebagian ulama Syi’ah akhirnya menurunkan predikat bagi lafaz taradhi. Hal itu bukan berarti tsiqat tetapi bermakna pujian [mamduh] dan minimal hadisnya hasan di sisi Ash Shaduq. Kami tidak menafikan lafaz taradhi bisa bermakna pujian [mamduh] tetapi yang terlupakan oleh mereka adalah pujian itu ada berbagai macam bentuknya dan tidak selalu berkonsekuensi menjadi hasanul hadits. Pujian terhadap seseorang akan statusnya sebagai qadhi tidak bisa langsung diartikan hadisnya hasan. Pujian terhadap seseorang akan kemuliaan nasabnya tidak bisa langsung diartikan hadisnya hasan. Pujian terhadap seseorang bahwa ia memiliki banyak kitab juga tidak bisa langsung diartikan hasan. Jadi intinya adalah dalam hal apakah Ash Shaduq memuji gurunya tersebut dan memberinya predikat [radiallahu ‘anhu]?. Jawabannya hanya berupa zhan dan silakan pikirkan kualitas tautsiq yang tegak atas dasar zhan [dugaan].

Secara sederhana jika ada yang berkata bukankah wajar seorang murid mendoakan gurunya dengan sebutan radiallahu ‘anhu. Nah itu benar sekali, dan mereka mungkin akan bertanya kalau begitu mengapa tidak untuk setiap gurunya Ash Shaduq menyebutkan lafaz taradhi?. Kita tidak tahu jawabannya tetapi masih wajar wajar saja jika Ash Shaduq terkadang mendoakan sebagian gurunya dan tidak mendoakan sebagian yang lain. Pihak yang seharusnya membuktikan dengan jelas adalah pihak yang beranggapan bahwa taradhi itu di sisi Ash Shaduq bermakna tsiqat atau hasanul hadis. Kalau tidak ada buktinya maka benarlah pendapat sebagian ulama Syi’ah bahwa tautsiq tidak bisa ditetapkan atas lafaz taradhi tersebut.

Mengapa bukan pihak sebaliknya yang membuktikan? Jawabannya karena pihak yang sebaliknya hanya menyatakan bahwa tautsiq tidak dapat ditetapkan atas dasar lafaz taradhi mereka tidak menyatakan tsiqat atau dhaif. Dengan alasan seperti yang dikemukakan Sayyid Al Khu’iy itu sudah cukup menjadi bukti dan dikuatkan dengan alasan berikut

Sayyid Al Khu’iy pernah berkata mengenai penolakannya atas lafaz taradhi sebagai tsiqat atau hasan hadisnya. Ia berkata dalam salah satu kitabnya

وقد رأينا الصدوق كثيرا ما يترحم ويترضى على مشايخه ، وفيهم الضعيف وغيره

Dan sungguh kami melihat Ash Shaduq banyak memberikan tarahim dan taradhi atas guru-gurunya dan diantara mereka ada yang dhaif dan selainnya [Kitab Ash Shalah Sayyid Al Khu’iy 4/235]

Pernyataan ini benar, contohnya seperti yang kami ambil di atas dari kitab Al Khishaal yaitu guru Ash Shaduq yang bernama Hasan bin Muhammad bin Yahya Al Alawiy dengan lafaz taradhi. An Najasyiy berkata tentangnya

وروى عن المجاهيل أحاديث منكرة رأيت أصحابنا يضعفونه

Dan ia meriwayatkan dari perawi-perawi majhul hadis-hadis mungkar, aku melihat sahabat kami mendhaifkannya [Rijal An Najaysiy hal 64 no 149]

Akan ada yang menjawab pendhaifan Najasyiy tidak mempengaruhi taradhi Ash Shaduq. Bisa saja ia tsiqat dalam pandangan Ash Shaduq dan dhaif dalam pandangan Najasyiy. Bantahan ini masuk akal tetapi hanya bisa diterima jika mereka dapat membuktikan bahwa lafaz radiallahu ‘anhu syaikh Ash Shaduq terhadap gurunya memang bermakna tsiqat di sisi Ash Shaduq. Kalau sekedar asumsi atau dugaan maka kami merajihkan pendapat Sayyid Al Khu’iy bahwa tautsiq tidak bisa ditetapkan atas lafaz taradhi tersebut.

.

.

Berikut adalah contoh dimana ulama mutaqaddimin Syi’ah seperti Najasyiy menyebutkan lafaz tarahim pada seorang perawi dan ternyata perawi tersebut tetap disifatkan dengan kedhaifan

سهيل بن زياد أبو يحيى الواسطي، لقى أبا محمد العسكري عليه السلام. أمه بنت محمد بن النعمان أبو جعفر الأحول مؤمن الطاق شيخنا المتكلم رحمه الله. وقال بعض أصحابنا: لم يكن سهيل بكل الثبت في الحديث

Suhail bin Ziyaad Abu Yahya Al Waasithiy bertemu dengan Abu Muhammad Al ‘Askariy [‘alaihis salaam], Ibunya adalah putri Muhammad bin Nu’man Abu Ja’far Al Ahwal Mu’min Al Thaaq, ia guru kami ahli kalam rahimahullah, dan berkata sebagian sahabat kami “bukanlah Suhail termasuk yang tsabit dalam hadis” [Rijal An Najasyiy hal 192 no 513]

An Najasyiy dalam biografi Ahmad bin Muhammad bin Ubaidillah bin Hasan bin ‘Ayaasy, ia menyebutkan

وسمعت منه شيئا كثيرا، و رأيت شيوخنا يضعفونه، فلم أرو عنه شيئا وتجنبته، وكان من أهل العلم والأدب القوي وطيب الشعر وحسن الخط، رحمه الله وسامحه، ومات سنة إحدى و أربعمائة

Dan aku mendengar banyak darinya dan aku melihat guru-guru kami mendhaifkannya maka aku tidak meriwayatkan darinya dan menghindarinya, ia adalah ahli ilmu dan ahli sastra [penyair] yang kuat dan bagus tulisannya semoga Allah merahmatinya dan memaafkannya, ia wafat tahun 401 H [Rijal An Najasyiy hal 85-86 no 207]

Maka kami berkesimpulan dengan contoh di atas bahwa lafaz tarahim dan taradhi di sisi ulama mutaqaddimin Syi’ah tidak mesti bernilai tautsiq. Mungkin akan ada saja yang ngeyel membantah bahwa itu adalah pendapat Najasyiy sedangkan Ash Shaduq berbeda. Kami katakan kalau begitu silakan mereka membuktikan bahwa Ash Shaduq memang punya pendapat sendiri apa makna taradhi dan tarahim tersebut di sisinya.

Seandainya Ash Shaduq memiliki kitab Rijal yang dapat kami rujuk maka makna taradhi dan tarahim tersebut di sisinya bisa diteliti tetapi kenyataannya tidak ada kitab demikian dan jika hanya mengandalkan kitab-kitab hadis milik Ash Shaduq maka tidak ada keterangan bahwa lafaz tersebut berarti tsiqat atau minimal hasan di sisinya. Tentu itu semua adalah sebatas pengetahuan dan penelitian kami dan seandainya mereka dapat membuktikan bahwa lafaz taradhi dan tarahim di sisi Ash Shaduq menunjukkan bahwa gurunya tsiqat atau minimal hasan hadisnya maka kami akan menerima dan merajihkan pendapat mereka.

3 Tanggapan

  1. ustad J. Algar yang mumpuni ilmunya, salut benar aku, kalau dari aswaja yang seperti ini bagaimana? apa ada yg seperti ini. ursan r a dan r h jadi pembahasan panjang.

    terus kalau alaihissalam (a s) apa benar hanya untuk para Nabi saja?
    Syiah sering dituduh menyamakan imam-imamnya dengan Nabi-Nabi gara-garanya menambah a s.

    a s ini kan maksudnya doa juga atau memuliakan atau tatsiq atau apa lagi? mohon penjelasan, thanks

  2. Ada bantahan dari pencela atau nashibi dalam situs pencelanya

    Anak mut’ah tersebut kembali mengeluarkan watak aslinya yang suka memaksa-maksakan sesuatu agar sejalan dengan hawa nafsunya hingga dia berbusa-busa untuk melemahkan bahwa taradhi dan tarahum Ash-Shaduq bukanlah tautsiq dengan hujjah yang bisa dibilang konyol. Dan hal ini sangat simple dipahami. Hanya orang-orang lugu yang bengong melihat tulisannya yang sebenarnya dia sendiri bingung dalam membela hujjahnya. Mari kita bahas…

    Beginilah jika orang yang kerdil akalnya berkomentar. Telah ditunjukkan bahwa perkara taradhi dan tarahim Ash Shaduq ini sudah menjadi ikhtilaf diantara ulama Syi’ah. Ada yang berhujjah dengannya dan ada pula yang tidak. Oleh karena itu secara ilmiah yang bisa dilakukan seorang yang objektif adalah melihat apa hujjah masing-masing pihak dan menilai mana yang benar.

    [1]. Hal yang perlu diketahui dia pun mengakui bahwa terdapat para ulama Syi’ah yang mengakui bahwa taradhi dan tarahum Ash-Shaduq adalah petanda si rawi adalah tsiqah. Namun dia merajihkan pendapat yang menolaknya berdasarkan Al-Khu’iy dengan alasan bahwa pemberian taradhi dan tarahum adalah maklum yang juga mencakup kepada orang tua karena itu hanyalah do’a. Kemudian ditambah bahwa Ash-Shaduq mendo’akan pendahulunya dengan taradhi tersebut. Maka saya katakan ini sangat konyol dan beda konteks. Siapa pun tahu yang demikian bahwa do’a kepada sesama pemeluk agama rafidhah adalah maklum, tidak hanya Ash-Shaduq, di tulisan dia tersebut pun dia menukil dari An-Najasyi yang menyifati rawi dengan kedha’ifan namun turut memberikan tarahum kepadanya. Maka jelas ini sangat beda konteks. Jadi bedakan pemberian taradhi dalam hal pentautsiqan dengan pemberian taradhi dalam hal yang lain. Dan disini yang dibahas adalah periwayatan. Jika perkaranya se-simple yang dikatakannya, tentu Ash-Shaduq ketika meriwayatkan tidak perlu ada yang tidak disebut dengan taradhi dan ada pula yang disebut sehingga tidak akan ada ulama Syi’ah yang menilai bahwa taradhi dan tarahum Ash-Shaduq adalah petanda tautsiq.

    Tidak usah bicara kepanjangan wahai pencela, apa yang anda maksud dengan konteks yang anda umbar-umbar itu. Jangan membicarakan sesuatu dengan gaya basa-basi. Sekarang apa hujjahnya pemberian taradhi itu konteksnya berbeda-beda, kalau untuk ini bukan tsiqat kalau untuk itu jadi tsiqat. Apa hujjahnya wahai pencela anda sok berbicara konteks begini konteks begitu. Pada hakikatnya sama, itu semua adalah doa. Mana buktinya taradhi itu jadi ukuran menyatakan tsiqat.

    [2]. Qarinah yang dibawanya bersifat kemungkinan. Maka Jika saya balikkan bahwa hal itu adalah petanda tautsiq kepada seluruh guru Ash-Shaduq, itu pun bisa saja demikian.

    Ah basi sekali, itu pun sudah saya sebutkan dalam tulisan di atas. Semua hujjah yang menyatakan bahwa taradhi berarti tsiqat berdiri atas dasar zhan [prasangka] maka tidak bisa menjadi hujjah tautsiq. Adapun pihak yang menolak taradhi berarti tsiqat, mereka tidak perlu membuktikan apa-apa karena apa yang mereka tampilkan sebagai qarinah sudah cukup untuk membantah pihak yang beranggapan taradhi berarti tsiqat. Jadi yang harus membuktikan dengan hujjah kuat adalah pihak yang beranggapan taradhi berarti tsiqat.

    [3]. Si rafidhiy tersebut kembali membawakan hujjah dari Al-Khu’iy bahwa terdapat dari guru Ash-Shaduq yang diberikan taradhi namun ternyata dia dha’if (menurut selain Ash-Shaduq). Dengan hal ini si rafidhiy tersebut ingin mengesankan bahwa rawi tersebut turut dha’if juga di sisi Ash-Shaduq sehingga pemberian taradhi kepadanya bukanlah petanda tautsiq. Hujjah seperti ini sangat rapuh. Karena jika dibalikkan, darimana dia bisa mendapatkan keterangan bahwa rawi tersebut turut dha’if di sisi Ash-Shaduq sementara Ash-Shaduq tidak berkata apa-apa mengenainya kecuali dengan pemberian taradhi?

    Wah sok berkomentar keren padahal apa yang ia katakan ini sudah saya katakan sebelumnya pada tulisan di atas. Pokok permasalahan yang harus dipahami oleh anda wahai pencela adalah mana bukti dari perkataan Ash Shaduq bahwa taradhi di sisinya bermakna tsiqat. Itulah yang harus anda buktikan sebagai pihak yang membela sebagian ulama Syi’ah yang beranggapan taradhi berarti tautsiq terhadap perawinya.

    Dan dengan hujjahnya itu pula dia ingin mengesankan bahwa siapa pun dari rawi yang diberikan taradhi oleh Ash-Shaduq seolah-olah rawi tersebut tentu dijarh oleh ulama Syi’ah yang lain. Ini juga rapuh sebab sebagaimana bukti sebelumnya yang merupakan contoh dekat yaitu dua rawi di atas yang diberikan taradhi oleh Ash-Shaduq yang dibahas pada komentar sebelumnya, keduanya pun ditautsiq oleh ulama Syi’ah yang lain.

    Ini cuma menunjukkan anda tidak paham cara berhujjah wahai pencela. Tidak ada kami mengesankan demikian kecuali anggapan dari orang yang berakal rendah. Kami hanya menunjukkan bahwa taradhi tersebut tidak bermakna tautsiq karena sebagian dari Syaikh Ash Shaduq terbukti adalah perawi dhaif dalam kitab Rijal Syi’ah.

    Adapun permasalahan bila rawi tersebut dha’if menurut selain Ash-Shaduq yaitu An-Najasyi, maka ini wajar-wajar saja. Karena berdasarkan penyifatan para ulama Syi’ah bahwa taradhi tersebut adalah tautsiq maka itu berarti bahwa rawi tersebut tsiqah di sisi Ash-Shaduq dan dha’if menurut yang lain.

    Lho kalau begitu mana buktinya bahwa Ash Shaduq beranggapan taradhi itu tsiqat. Apa anda tidak bisa berpikir dengan benar?. Jika ada ulama yang menyatakan taradhi berarti tsiqat kemudian ada ulama lain yang menyatakan taradhi tidak menunjukkan tsiqat, maka apa alasan anda seenaknya berhujjah dengan ulama yang satu dan meninggalkan ulama yang lain. Nampaknya hanya sesuai dengan hawa nafsu anda semata, kalau hujjah ulama tersebut sesuai dengan hawa nafsu anda atau bisa menjadi pendukung fitnah murahan anda maka anda memandangnya kuat sedangkan pendapat ulama yang bersebrangan dengan anda, anda anggap lemah. Bagitulah cara orang jahil berhujjah

    Hal ini bukanlah perkara yang asing. Dan dalam hal ini membutuhkan penelitian mana yang lebih kuat antara yang mentautsiq dan yang menjarh. Namun sayangnya rawi yang dibahas di atas bukanlah yang bernama Al-Hasan bin Muhammad bin Yahya Al-‘Alawiy sebagaimana yang ia nukil yang memang dilemahkan oleh An-Najasyi, tetapi siapa yang melemahkan rawi-rawi di atas? Riwayat di atas dilemahkan karena rawi-rawinya majhul. Yaitu tidak diketahui keadaannya dari jarh atau ta’dil, bukan berarti pasti dha’if. Justru telah dijelaskan pada komentar sebelumnya di atas dengan keberadaan tautsiq para ulama Syi’ah kepada rawi-rawi di atas yang menyebabkan jahalahnya terangkat (status majhulnya telah hilang). Jadi, sebelumnya hanya ada dua pendapat terkait rawi-rawi di atas, yaitu tsiqah dan majhul. Bukan tsiqah dan dha’if. Maka masihkah berpegang pada pendapat majhul sementara banyak ulama Syi’ah yang mentautsiqnya yang menyebabkan jahalahnya terangkat? Bahkan hingga ada yang membantah Al-Khu’iy semisal Al-Mahayi di atas.

    Kalau mau membahas permasalahan maka bahaslah dengan runut, terkait dengan tulisan sebelumnya maka perawi yang dipermasalahkan adalah Abdul Wahid bin Muhammad Abdus. Sebelumnya saya nukil pendapat ulama yang menyatakan ia majhul dan anda membantah dengan pendapat yang menyatakan ia tsiqat. Pertanyaannya adalah atas dasar apa ia dinyatakan tsiqat? jawabannya ulama yang mentautsiq-nya berdasarkan pada taradhi Ash Shaduq. Oleh karena itu saya buat tulisan khusus bahwa taradhi sebagai tautsiq itu bukan hujjah, hal itu hanya zhan [prasangka] sebagian ulama Syi’ah saja dan tidak tegak atas dasar hujjah yang kuat.

    [4]. Lalu si rafidhiy tersebut seeanak jidatnya memberikan syarat bahwa untuk bisa menerima bahwa taradhi tersebut merupakan pentautsiqan harus ada keterangan sharih dari Ash-Shaduq sendiri bahwa taradhi tersebut memang bersifat tautsiq.

    Lho memang begitu wahai pencela yang nashibi, untuk memahami perkataan ulama ya harus berasal dari perkataan ulama itu sendiri, inilah cara terbaik yang dapat memutus perselisihan. Jika tidak maka sebagian orang akan mempersepsi begini dan sebagian lagi akan mempersepsi begitu. Sebagai contoh dalam ilmu Rijal Sunni, terdapat ulama-ulama yang perkataan mereka harus dipahami sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Abu Hatim sering memberikan predikat kepada perawi dengan sebutan “shalih al hadits”. Secara bahasa lafaz itu bermakna “hadisnya baik” tetapi yang dimaksud oleh Abu Hatim adalah perawi yang dimaksud lemah dalam dhabitnya sehingga hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud. Ibnu Hajar dalam At Taqrib sering memberikan predikat “maqbul” kepada perawi, istilah itu secara bahasa bermakna “diterima” tetapi maksud Ibnu Hajar adalah perawi yang dimaksud bisa dijadikan mutaba’aah atau syawahid tetapi lemah jika tafarrud. Itulah pentingnya memahami istilah ulama sesuai dengan maksud ulama yang mengatakannya.

    Tapi dia tidak mensyaratkan demikian untuk konsekuensi dari asumsinya bahwa rawi tersebut tak ada nilainya di sisi Ash-Shaduq. Mengapa tidak diberikan syarat dimanakah Ash-Shaduq secara sharih menyatakan bahwa taradhi darinya bukanlah petanda tautsiq?

    Alangkah rendahnya cara berpikir anda. Apa ulama yang bersebrangan dengan anda itu sedang menyatakan bahwa perawi yang bersangkutan majhul di sisi Ash Shaduq?. Tidak, mereka hanya menyatakan bahwa perawi yang dimaksud majhul karena memang tidak ada ulama mutaqaddimin yang menyatakan tsiqat atau memujinya dalam kitab Rijal Syi’ah. Sedangkan anda beranggapan bahwa taradhi Ash Shaduq berarti tsiqat di sisi Ash Shaduq maka andalah yang harus membuktikan. Siapapun bisa berkata wah anda hanya mengatasnamakan Ash Shaduq saja. Silakan pikirkan kembali dan pahami, jangan berkomentar sok keren padahal konyol sekali.

    Padahal justru karena tidak adanya pentashrihan tersebutlah yang menyebabkan ulama Syi’ah menyatakan bahwa taradhi Ash-Shaduq bersifat tautsiq disebabkan tidak adanya keterangan sharih dari Ash-Shaduq sendiri apakah sebenarnya si rawi yang diberikan taradhi olehnya adalah tsiqah atau dha’if. Namun para ulama Syi’ah menyifatinya dengan tsiqah berdasarkan qarinah dengan taradhi tersebut dan qarinah-qarinah yang lain seperti banyaknya periwayatan Ash-Shaduq dari gurunya tersebut dan lain sebagainya.

    Seperti yang sudah dibahas dalam tulisan di atas, qarinah yang satu tidak menafikan qarinah yang lain. Karena ulama yang bersebrangan juga bisa menunjukkan qarinah-qarinah bahwa taradhi tidak kuat sebagai tautsiq. Apalagi qarinah “banyaknya periwayatan” itu bukanlah tautsiq dan siapapun yang beranggapan begitu maka ia keliru. Dimana letak hujjahnya banyak periwayatan berarti tsiqat dan berapa standar “banyak” periwayatan yang dimaksud?. Jadi qarinah yang anda maksud itu serba gak jelas dan mudah sekali dibantah.

    Jika semua ini masih ditolak dan si rafidhiy tersebut tetap berpegang pada pendapat Al-Khu’iy maka itu semakin menunjukkan kebodohannya padahal telah jelas pendapat yang membantahnya dan lebih kuat.

    Hey tidak perlu sok wahai pencela, apa standar anda berkata hujjah yang satu lebih kuat dari yang lain?. Tidak ada, anda hanya menguatkan hujjah yang mendukung hawa nafsu anda dan fitnah murahan anda. jadi jangan sesumbar seolah anda seorang yang berpikir objektif padahal melihat dari bantahan anda hanya tong kosong nyaraing bunyinya.

    Amat lucu tetap berpegang kepada kemajhulan sementara banyak dari para ulama besar Syi’ah yang menyifati taradhi Ash-Shaduq adalah petanda tautsiq darinya seperti ‘Ali Akbar Ghifariy, Hasyim Al-Bahraniy, Al-Mamaqaniy, Bahrul ‘Ulum, dan banyak lagi lainnya.

    Apa ini hujjah kuat yang anda maksud?. Apa dalam anggapan anda, perkataan ulama itu layaknya nash pasti yang tidak bisa dibantah dan harus diikuti secara mutlak?. Pokok masalah disini adalah saya menunjukkan bahwa tidak semua ulama Syi’ah menyepakati taradhi Ash Shaduq sebagai tautsiq oleh karena itu yang harus dibahas adalah hujjah masing-masing pihak dan berdasarkan pembahasan di atas maka hujjah yang menolak taradhi sebagai tautsiq itu jelas lebih kuat dibanding yang menerima.

    Maka kesimpulan yang Insya Allah adil adalah bahwa taradhi tersebut adalah petanda tautsiq atau minimal hasan, dan ini bukan kata saya melainkan menurut para ulama Syi’ah sebagaimana telah dijelaskan.

    Kami juga tidak menafikan ada ulama yang berpendapat demikian tetapi telah dibuktikan di atas bahwa mereka tidak menegakkan hujjahnya dengan hujjah yang kuat melainkan dengan prasangka dan qarinah yang lemah.

    Kemudian jika ada ulama lain yang melemahkannya ya itu wajar-wajar saja karena tsiqah menurut A bisa dha’if menurut si B. Dan itu pembahasan lain lagi. Saya akui bahwa Al-Khu’iy menjadi salah satu sumber saya yang muktamad ketika meneliti rijal Syi’ah, tapi bukan berarti Al-Khu’iy adalah “Imam Makshum”. Dan silahkan bagi para Syi’ah memilih (jika mampu memahami dan berfikir) kepada siapakah akan berpegang setelah banyak dari para ulama Syi’ah yang menjadikan taradhi Ash-Shaduq sebagai petanda tautsiq?

    Memang wajar dan wajar pula untuk menyikapi perselisihan antara ulama adalah melihat apa hujjah masing-masing mereka dan menetapkan mana yang hujjahnya lebih rajih. Bukan dengan seenaknya loncat sana loncat sini menguatkan pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya.

    Namun sebelum itu saya bawakan nasihat dari Al-Hurr Al-‘Amiliy agar kalian mampu berfikir lebih cepat, dia berkata:
    يأتي في رواية الثقات الاجلاء كأصحاب الاجماع ونحوهم عن الضعفاء والكذابين والمجاهيل، حيث يعلمون حالهم ويروون عنهم ويعملون بحديثهم ويشهدون بصحته

    “Datang pada riwayat rawi-rawi yang tsiqah lagi mulia seperti ashhaab al-ijmaa’ dan yang seperti mereka meriwayatkan dari rawi-rawi yang dha’if, pendusta, dan majhul padahal mereka pun mengetahui keadaan rawi-rawi tersebut, mereka meriwayatkan dari rawi-rawi tersebut, mereka beramal dengan hadits rawi-rawi tersebut dan mereka bersaksi mengenai keshahihannya.” [Wasail Asy-Syi’ah, 20/70]

    Kalau memang hakikatnya demikian maka saya rasa mereka perawi tsiqat itu menganggap hadis dari perawi dhaif atau majhul sebagai shahih karena mungkin mereka tidak mensyaratkan dalam shahih tidaknya suatu hadis perawinya harus tsiqat. Silakan tuh dibaca bagaimana manhaj mutaqaddimin dan muta’akhirin di sisi Syi’ah dalam penilaian hadis shahih. Sudah pernah kami singgung sedikit bahwa di kalangan mutaqaddimin Syi’ah [bahkan Ash Shaduq] pernyataan shahih suatu hadis tidak berarti bahwa semua perawi hadis tersebut harus tsiqat sampai imam ma’shum.

    ومن المعلوم قطعاً أن الكتب التي أمروا عليهم السلام بالعمل بها ، كان كثير من رواتها ضعفاء ومجاهيل

    “Termasuk dari hal yang telah diketahui secara pasti bahwasanya kitab-kitab yang diperintahkan oleh para Imam ‘alaihim as-salam untuk beramal dengannya banyak dari perawinya adalah rawi-rawi dha’if dan majhul.” [Wasail Asy-Syi’ah, 30/244]

    الثاني عشر: أن طريقة المتقدمين مباينة لطريقة العامة، والاصطلاح الجديد موافق لاعتقاد العامة واصطلاحهم، بل هو مأخوذ من كتبهم كما هو ظاهر بالتتبع، وكما يفهم من كلام الشيخ حسن وغيره. وقد أمرنا الأئمة عليهم السلام باجتناب طريقة العامة. وقد تقدم بعض ما يدل على ذلك في القضاء في أحاديث ترجيح الحديثين المختلفين وغيرها

    “Keduabelas: Sesungguhnya jalan mutaqaddimun berbeda dengan kaedah ‘amah (kaedah ‘Ulama Sunniy), dan istilah baru (ushuliyyun) sejalan dengan keyakinan dan istilah mereka (kaedah ‘Ulama Sunniy) bahkan diambil dari kitab-kitab mereka sebagaimana yang nampak menurut penelitian, dan sebagaimana yang difahami dari perkataan Syeikh Hasan dan selainnya. Sesungguhnya para Imam ‘alaihim as-salam telah memerintahkan kita untuk menjauhi keadah ‘amah (ulama Sunni). Dan telah disebutkan sebagian bukti (penggunaan kaedah ulama sunni) dalam menguatkan hadits-hadits yang mukhtalif dan selainnya.” [Wasail Asy-Syi’ah, 20/100]

    Mengenai kaidah ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin maka itu memang benar. Ulama mutaqaddimin menshahihkan suatu hadis tidak berdasarkan aturan ilmu Rijal Syi’ah bahwa semua rantai perawinya harus tsiqat. Terkadang dengan alasan karena hadis tersebut diriwayatkan mutawatir atau dikuatkan oleh hadis-hadis lain. Terkadang dengan alasan hadis tersebut terdapat dalam ushul yang muktamad dari sahabat imam atau alasan lainnya yang dapat pembaca lihat dalam pembahasan kitab ilmu hadis Syi’ah.

    Adapun anggapan bahwa kaidah ilmu hadis Syi’ah diambil dari Sunni maka itu cuma ucapan yang tidak ada buktinya. Karena bukti nyata yang membantah anggapan seperti itu adalah banyak kaidah dalam ilmu hadis Syi’ah yang tidak ada di sisi Sunni. Misalnya dalam Syi’ah terdapat istilah hadis muwatstsaq sedangkan dalam Sunni tidak ada. Dan terkait pembahasan di atas taradhi ulama berarti tautsiq itu tidak ada di sisi Sunni dan diyakini sebagian ulama Syi’ah.

    Saya tidak heran kok kalau pencela itu menganggap ilmu hadis Syi’ah sampah, ya karena dia seorang Sunni dan memang hawa nafsunya akan selalu mencela Syi’ah. Sebagus apapun Syi’ah pastinya dalam pandangannya tidak lebih dari sampah. Dan tidak heran kok kami juga menemukan orang seperti dirinya juga di kalangan pengikut Syi’ah yaitu orang yang kerjanya mengkritik ilmu hadis Sunni dan dalam pandangannya tentunya ilmu hadis sunni itu sampah pula. Orang-orang seperti ini memang akan ada saja di kedua mazhab baik mazhab Syi’ah maupun mazhab Sunni. Dan kami berlepas diri dari kedua tipe orang menyedihkan ini

  3. Blog ini Makin lengkap Macam One stop learning. Sunni-Syiah diteliti secara Adil Dan jujur. Best gile

Tinggalkan komentar