Riwayat Syiah : Nabi Adam Dengki Terhadap Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?

Riwayat Syiah : Nabi Adam Dengki Terhadap Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?

Para pencela Syiah mengutip dari kitab Ayatullah Mulla Zainal Abidin Al Kalbayakaniy yaitu Anwar Al Wilayah bahwa disebutkan kalau Nabi Adam dengki terhadap kedudukan Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain

و إن آدم عليه السّلام لما أكرمه اللّه تعالى ذكره بإسجاد ملائكته و بإدخاله الجنة، قال في نفسه: هل خلق اللّه بشرا أفضل مني؟ فعلم اللّه عز و جل ما وقع في نفسه، فناداه: ارفع رأسك يا آدم فانظر إلى ساق عرشي، فرفع آدم رأسه فنظر إلى ساق العرش، فوجد عليه مكتوبا: لا إله إلا اللّه، محمد رسول اللّه، علي بن أبي طالب أمير المؤمنين، و زوجته فاطمة سيدة نساء العالمين، و الحسن و الحسين سيدا شباب أهل الجنة. فقال آدم عليه السّلام: يا رب، من هؤلاء؟ فقال عز و جل: من ذريتك و هم خير منك، و من جميع خلقي، و لولاهم ما خلقتك و لا خلقت الجنة و النار و لا السماء و الأرض، فإياك أن تنظر إليهم بعين الحسد فأخرجك عن جواري ، فنظر إليهم بعين الحسد ، و تمنى منزلتهم فتسلط عليه الشيطان حتى أكل من الشجرة التي نهي عنها ، و تسلط على حواء لنظرها إلى فاطمة بعين الحسد حتى أكلت من الشجرة كما أكل آدم فأخرجهما الله عن جنته و أهبطهما عن جواره إلى الأرض

Dan sesungguhNya Adam [‘alaihis Salam] pada saat Allah Ta’ala  memuliakanNya dengan sujud dari para Malaikat-Nya kepadanya dan dengan memasukkan dia ke Surga, Adam berkata tentang dirinya “Apakah Allah menciptakan manusia yang lebih utama dari aku? Allah ‘Azza Wajalla mengetahui apa yang tengah terjadi pada diri Adam, maka Allah pun berfirman kepadaNya : “Angkatlah kepalamu wahai Adam dan lihatlah bagian bawah ‘Arsy” Maka Adam pun mengangkat kepalanya dan melihat ke bagian bawah ‘Arsy, maka dia pun mendapatkan bahwasa tertulis di atasnya “Tiada Tuhan Selain Allah, Muhammad [Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam] adalah Rasulullah, ‘Ali bin Abi Thalib Amirul Mukminin, dan IstriNya; Fathimah Sayyidah Nisa` Al-‘Alamin, Al-Hasan dan Al-Husain Sayyid Syabab Ahl Al-Jannah. Maka Adam pun bertaNya kepada Allah “Yaa Rabb, siapakah mereka?” Allah ‘Azza Wajalla berfirman kepadanya “Mereka adalah dari keturunanmu dan mereka lebih baik darimu, dan mereka lebih baik dari seluruh ciptaan-Ku, seandainya bukan karena mereka tentu Aku tidak akan menciptakanmu, dan Aku juga tidak akan menciptakan Surga dan Neraka, tidak pula langit dan bumi. Maka berhati-hatilah engkau dari melihat mereka dengan mata kedengkian, maka Aku akan mengeluarkanmu dari kedekatan denganku. Namun Adam memandang mereka dengan mata hasad dan menginginkan kedudukan mereka, maka setan pun menguasainya hingga Adam memakan dari pohon yang dilarang. Dan setan pun turut menguasai Hawa hingga Hawa memandang Fathimah dengan mata hasad hingga dia memakan dari pohon tersebut sebagaimana Adam melakukannya. Maka Allah mengeluarkan keduanya dari Surga-Nya dan menjauhkan keduanya dari Kedekatakan dengan-Nya ke bumi [Anwar Al Wilayah hal 153 Ayatullah Al Kalbayakaniy]

Anwar Al Wilayah

Anwar Al Wilayah hal 153

Ayatullah Al Kalbayakaniy dalam riwayat di atas tidak sedang membawakan perkataannya sendiri tetapi ia membawakan riwayat yang panjang dari Abu Shult yang bertanya pada Imam Ali Ar Ridha. Dalam catatan kaki kitab Anwar Wilayah disebutkan bahwa asal riwayat tersebut adalah dari kitab U’yuun Akhbar Ar Ridha Syaikh Shaduuq. Sanad riwayat Syaikh Shaduq adalah sebagai berikut

U'yun Akhbar Ar Ridha

U'yun Akhbar Ar Ridha hal 274

حدثنا عبد الواحد بن محمد بن عبدوس النيسابوري العطار رضي الله عنه قال: حدثنا علي بن محمد بن قتيبة عن حمدان بن سليمان عن عبد السلام بن صالح الهروي قال: قلت للرضا عليه السلام

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus An Naiasabuuriy Al Aththaar [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Muhammad bin Qutaibah dari Hamdaan bin Sulaiman dari ‘Abdus Salaam bin Shaalih Al Harawiy yang berkata aku bertanya kepada Ar Ridha [‘alaihis salaam]. [U’yuun Akhbar Ar Ridha Syaikh Shaduuq 1/274, no 67]

Selain disebutkan dalam U’yuun Akhbar Ar Ridha, riwayat ini juga disebutkan Ash Shaduq dalam Ma’aniy Al Akhbar hal 124. Sanad riwayat Ash Shaduq ini berdasarkan ilmu Rijal di sisi Syiah kedudukannya dhaif karena ‘Abdul Wahid bin Muhammad bin ‘Abduus dan ‘Aliy bin Muhammad bin Qutaibah majhul.

Sayyid Al Khu’iy dalam Mu’jam Rijalul Hadiits berkesimpulan bahwa ‘Abdul Waahid bin Muhammad seorang yang majhul hal [Mu’jam Rijal Al Hadiits 12/41-32 no 7369]

عبد الواحد بن محمد بن عبدوس: العطار النيسابوري، من مشايخ الصدوق، ذكره في المشيخة – روى في التوحيد والعيون – مجهول

‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus Al ‘Aththaar An Naisaburiy termasuk guru Syaikh Shaduuq, disebutkannya dalam Masyaikh-nya, meriwayatkan dalam kitab At Tauhiid dan Al U’yuun, seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijalul Hadiits hal 359, Muhammad Al Jawahiriy]

علي بن محمد القتيبي هو علي بن محمد بن قتيبة  المجهول

Aliy bin Muhammad Al Qutaibiy, ia adalah Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijalul Hadiits hal 413, Muhammad Al Jawahiriy]

Sebagian ulama Syiah ada yang menshahihkan hadis yang di dalam sanadnya terdapat ‘Abdul Wahiid bin Muhammad dari Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, dengan alasan sebagai berikut

Syaikh Ash Shaduq pernah menyatakan shahih hadis dengan sanad yang didalamnya ada ‘Abdul Wahid bin Muhammad ‘Abduus dan Aliy bin Muhammad bin Qutaibah. Tetapi hal ini telah dijawab oleh Sayyid Al Khu’iy bahwa dari tashih tersebut tidak dapat dinyatakan tautsiq terhadap perawinya.

Hal ini bisa dipahami karena dalam pandangan ilmu hadis Syiah terdapat perbedaan antara istilah shahih antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin, Syaikh Ja’far Syubhani pernah menukil hal ini dalam Al Kulliyat Fi Ilm Rijal

و ذلک لان مصطلح الصحیح عند القدماء غیره عند المتأخرین، و لا یستتبع صحة حدیث الرجل عند القدماء وثاقته عندهم

Dan itu karena istilah shahih di kalangan mutaqaddimin berbeda dengan muta’akhirin tidak mesti istilah shahih hadis seorang perawi di sisi mutaqaddimin menunjukkan perawinya tsiqat di sisi mereka [Al Kulliyat Fii Ilm Rijal, Syaikh Ja’far As Subhaniy hal 486]

Berkenaan dengan Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, sebagian ulama Syiah menguatkannya karena telah ternukil pujian dari kalangan mutaqaddimin diantaranya An Najasyiy dan Ath Thuusiy

علي بن محمد بن قتيبة النيشابوري (النيسابوري) – عليه اعتمد أبو عمر والكشي في كتاب الرجال

Aliy bin Muhammad bin Qutaibah An Naisaburiy, Abu ‘Amru Al Kasyiy telah berpegang dengannya dalam kitab Rijal [Rijal An Najasyiy hal 259 no 678]

علي بن محمد القتيبي، تلميذ الفضل بن شاذان، نيسابوري، فاضل

Aliy bin Muhammad Al Qutaibiy murid Fadhl bin Syadzaan, orang Nasaibur, memiliki keutamaan [Rijal Ath Thuusiy hal 429]

Adapun apa yang disebutkan An Najasyiy maka lafaz tersebut tidak kuat sebagai tautsiq karena Al Kasyiy sendiri dikatakan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dan banyak meriwayatkan dari perawi dhaif [Rijal An Najasyiy hal 372 no 1018]. Artinya An Najasyiy sendiri mengakui bahwa Al Kasyiy juga berpegang pada perawi dhaif maka lafaz Al Kasyiy telah berpegang dengannya yang disematkan pada Aliy bin Muhammad bin Qutaibah tidak bernilai tautsiq. Sedangkan lafaz perkataan Ath Thuusiy “fadhl” bukan lafaz tautsiq yang jelas untuk seorang perawi dalam periwayatan hadis sebagaimana yang dikatakan Sayyid Al Khu’iy dalam Mu’jam Rijalul Hadits.

Jika diamati sekilas nampak istilah ilmu hadis dalam Syiah agak mirip dengan ilmu hadis dalam Sunni. Dalam Sunni dikenal juga anggapan bahwa perkataan “hadis shahih” dari seorang ulama tidak mesti diambil sebagai tautsiq terhadap para perawinya karena bisa saja hadis tersebut shahih dengan syawahid [artinya sanadnya sendiri dhaif] atau tashih tersebut tidak mu’tamad karena berasal dari ahli hadis yang dikenal tasahul. Begitu pula lafaz “fadhl” tidak harus bermakna tsiqat atau shaduq karena bisa saja yang dimaksud adalah keutamaan seseorang sebagai faqih atau ahli ibadah dan cukup dikenal bahwa banyak para fuqaha dan ahli ibadah yang dikenal dhaif dalam hadis.

Kedudukan yang rajih mengenai Aliy bin Muhammad bin Qutaibah adalah seorang yang majhul tidak ada lafaz tautsiq yang jelas padanya, Inilah pendapat Sayyid Al Khu’iy, Muhammad bin Aliy Al ‘Ardabiliy dan Muhammad Al Jawahiriy. Sayyid Al Khu’iy menyebutkan dalam biografi Utsman bin Ziyad Al Hamdaaniy

فطريق الصدوق إليه: عبد الواحد بن محمد بن عبدوس العطار النيسابوري، عن علي بن محمد بن قتيبة، عن حمدان بن سليمان، عن محمد بن الحسين، عن عثمان بن عيسى، عن عبد الصمد بن بشير، عن عثمان بن زياد والطريق ضعيف بعبد الواحد، وعلي بن محمد

Maka jalan Ash Shaduq kepadanya : ‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus Al ‘Athaar An Naisaburiy dari Aliy bin Muhammad bi Qutaibah dari Hamdaan bin Sulaiman dari Muhammad bin Husain fari ‘Utsman bin ‘Iisa dari ‘Abdush Shamaad bin Basyiir dari Utsman bin Ziyaad, dan jalan ini dhaif karena ‘Abdul Waahid dan ‘Aliy bin Muhammad [Mu’jam Rijal Al Hadist Sayyid Al Khu’iy 12/120 no 7597]

والى الفضل بن شاذان فيه عبد الواحد بن عبدوس النيشابوري العطار رضي الله عنه وهو غير مذكور وعلي بن محمد بن قتيبة ولم يصرح بالتوثيق

Dan jalan kepada Fadhl bin Syadzaan di dalamnya ada ‘Abdul Waahid bin ‘Abduus An Naisaburiy Al ‘Aththaar [radiallahu ‘anhu] dan ia tidak disebutkan tentangnya, Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, tidak ada tautsiq yang jelas padanya [Jami’ Ar Ruwaat 2/539, Muhammad bin Aliy Al Ardabiliy].

.

.

.

Berkenaan dengan riwayat Ash Shaduq tentang Nabi Adam di atas, salah seorang ulama Syi’ah yaitu Syaikh Abdullah Ad Dasytiy telah menegaskan kedhaifannya, ia berkomentar dalam salah satu kitabnya

An Nafis

An Nafis hal 223

والخبر ضعيف ، فالسند الأول فيه عبد الواحد بن محمد بن عبدوس النيسابوري العطار لم يذكر له توثيق صريح

Dan Kabar ini dhaif, dalam sanad yang pertama di dalamnya terdapat ‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus An Naisaabuuriy Al ‘Aththaar tidak disebutkan tautsiq yang jelas terhadapnya [An Nafiis Fi Bayaan Raziitil Khamiis 2/223]

Sebagian ulama syi’ah seperti Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar menakwilkan bahwa makna hasad disana adalah ghibthah yaitu keinginan untuk mendapatkan kedudukan seperti mereka. [Bihar Al Anwar 11/165]. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Allamah Thabathaba’iy dalam kitab tafsirnya Al Mizan Fii Tafsir Al Qur’an, ia berkata

وقوله عليه السلام: فنظر إليهم بعين الحسد وتمنى منزلتهم فيه بيان أن المراد بالحسد تمنى منزلتهم دون الحسد الذي هو أحد الأخلاق الرذيلة

Dan perkataan [Imam] ‘alaihis salaam “maka ia [Adam] melihat mereka dengan mata hasad dan mengingnkan kedudukan mereka, di dalamnya terdapat penjelasan bahwa maksud hasad tersebut adalah menginginkan kedudukan mereka bukan hasad yang merupakan salah satu akhlak tercela [Al Miizan Fii Tafsir Al Qur’an, Allamah Thabathba’iy 1/144]

Sebagaimana diketahui bahwa ghibthah termasuk hasad yang diperbolehkan bagi seorang muslim, hal ini juga sudah dikenal di sisi Ahlus Sunnah

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang, orang yang dikaruniakan Allah harta kekayaan kemudian ia membelanjakannya di atas kebenaran dan orang yang dikaruniakan hikmah oleh Allah kemudian ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya [Shahih Bukhari no 73].

Hasad yang dimaksud dalam hadis Bukhariy di atas tidak lain adalah ghibthah yaitu meginginkan apa yang dimiliki seseorang tetapi tidak berniat untuk menghilangkan hal itu dari orang tersebut.

Kami hanya ingin menunjukkan bagaimana pandangan ulama syiah mengenai riwayat tentang Nabi Adam di atas, yaitu ada yang mendhaifkannya dan ada pula yang menerimanya kemudian menakwilkan makna hasad tersebut sebagai ghibthah dan kami melihat penakwilan tersebut sebagai usaha mereka untuk mensucikan Nabi Adam dari menisbatkan hal yang buruk terhadapnya. Walaupun begitu secara pribadi kami melihat bahwa pendapat yang mendhaifkan riwayat tersebut lebih rajih.

.

.

.

Sungguh mengherankan melihat usaha para pencela yang berusaha merendahkan mazhab Syi’ah dengan riwayat-riwayat yang menurut kacamata awam mereka termasuk merendahkan para Nabi. Sayangnya mereka tidak melihat bahwa di dalam kitab mazhab Ahlus sunnah juga terdapat riwayat yang dinilai menurut kacamata awam seolah-olah merendahkan para Nabi. Apakah dengan begitu mazhab ahlus sunnah akan direndahkan pula. Silakan perhatikan riwayat berikut

حدثنا قتيبة بن سعيد عن مالك بن أنس فيما قرئ عليه عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال تحاج آدم وموسى فحج آدم موسى فقال له موسى أنت آدم الذي أغويت الناس وأخرجتهم من الجنة ؟ فقال آدم أنت الذي أعطاه الله علم كل شئ واصطفاه على الناس برسالته ؟ قال نعم قال فتلومني على أمر قدر علي قبل أن أخلق ؟

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid dari Malik bin ‘Anas dari apa yang telah dibacakan kepadanya dari Abi Az Zanaad dari Al A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata Adam dan Musa pernah berdebat, maka Musa berkata kepada Adam “engkaukah Adam yang telah menyesatkan manusia dan mengeluarkan mereka dari surga?”. Maka Adam berkata “engkaukah yang telah diberikan Allah ilmu tentang segala sesuatu dan telah dipilih atas manusia untuk mengemban risalah-Nya?. Musa berkata “benar”. Adam berkata “maka mengapa engkau mencelaku atas perkara yang telah ditetapkan Allah kepadaku sebelum aku diciptakan” [Shahih Muslim 4/2042 no 2652]

Tentu kalau dilihat dari kacamata awam dan kacamata para pencela maka riwayat di atas adalah amunisi yang baik untuk mencela mazhab Ahlus sunnah. Bukankah zhahir riwayat di atas Musa telah mencela Adam bahwa ia telah menyesatkan manusia dan mengeluarkan manusia dari surga dan Adam tidak membantah pernyataan tersebut hanya mengatakan kepada Musa, mengapa ia mencela apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Dengan kacamata pencela tersebut maka dapat dikatakan bahwa riwayat ini adalah penghinaan mazhab ahlus sunnah terhadap para Nabi [‘alaihis salaam].

Apakah demikian hakikatnya? Tidak, para ulama ahlus sunnah telah menjelaskan hadis di atas dengan penjelasan yang berusaha mensucikan Nabi Adam dan Nabi Musa dari menisbatkan hal-hal yang buruk terhadap keduanya. Maka apa bedanya disini antara ulama ahlus sunnah dan ulama syiah, bukankah mereka sama-sama mensucikan para Nabi dan memuliakan mereka. Lain halnya dengan pencela dan pendengki mereka akan selalu mencari-cari cara untuk merendahkan mazhab yang mereka kafirkan dengan hawa nafsu mereka.

14 Tanggapan

  1. Wahh bongkar2an, kita yang jadi ketiban rejeki ilmu juga (semoga Allah membalas jasa2 SP dengan berlipat dan diberikan keberkahan). Mereka jadi rajin baca literatur syi’ah donk? Barangkali suatu saat bisa dapat hidayah.
    SP tambah produktif nih sejak ada si buyung… 😉

    salam.

  2. Iye nih produktif banget, 2 minggu aja udah 5 artikel terbit.
    Kapan nih tulisan2 SP mau dibukukan?

  3. Ilmunya SP makin mendaki, sedangkan saya masih mengeja-ngeja di tingkat dasarnya. Saya jadi makin “hasad” kepada SP 😀

  4. Ikutan aahh, saya jadi “hasad” jg kayaknya niiee. Tapi yaa sudahlah mang dah nasib kali yeee. Terima ajah :-).

  5. salam mas SP dr Cirobon dan sekitarnya… sikat habis hujjah2 salafi mashibi tulanh fitnah….

  6. semoga bang SP semakin rajin mengkuliti kedunguan salapi

  7. syabas SP……………. jaser si dedengkot hingusan rupanya jahil. kadar2 kopas aja orgnya.

  8. Setelah membaca tulisan-tulisan SP ana jadi lebih ingin mempelajari madhab AhlulBait …….Kang Otong Lenon

  9. Kang SP mana artikelnya yang lain.
    tiap hari aku buka kok belum ada yang baharu, sdh 10 nih, ketagihan artikelnya. tolong dong

  10. Mantap dongengnya gan…

    Kaya baca KOMIK …

  11. Ada bantahan dari pencela yang nashibi, pada dasarnya bantahan yang ia tulis itu sudah saya singgung secara ringkas dalam tulisan di atas. Intinya ia ingin membuktikan bahwa Abdul Wahid bin Muhammad bin Abdus dan Aliy bin Muhammad bin Qutaibah tsiqat. Berikut akan dibahas hujjah-hujjah yang ia kutip

    Mengenai Abdul Wahid bin Muhammad bin ‘Abdus, hujjah pertama yang ia kutip adalah Ash Shaduq menshahihkan hadis ‘Abdul Wahid bin Muhammad bin ‘Abdus dalam kitab U’yun Akhbar Ar Ridha

    أن الشيخ الصدوق في كتابه العيون ج 2 باب 35 حديث 1 قال حدثه سنة 352هـ
    ثم ذكر الحديث برقم 2 من نفس الباب بسند آخر ومع اختلاف في المتن وقال ما هذا نصه : وحديث عبد الواحد بن محمد بن عبدوس رضي الله عنه ، عندي أصح ولا قوة إلا بالله

    Lafaz yang dijadikan hujjah adalah perkataan Ash Shaduq “dan hadis ‘Abdul Wahid bin Muhammad bin ‘Abduus [radiallahu ‘anhu], di sisiku lebih shahih”. Pernyataan ini dijadikan hujjah oleh ulama yang mentautsiq Abdul Wahid sebagai bukti bahwa Ash Shaduq mentautsiq Abdul Wahiid. Pernyataan ini sebenarnya sudah dijawab oleh Sayyid Al Khu’iy bahwa dari lafaz tashih seperti itu tidak bisa diambil tautsiq.

    Apa yang dikatakan Sayyid Al Khu’iy itu benar, kalau diperhatikan dengan baik lafaz “hadis ini di sisiku lebih shahih” menunjukkan bahwa sebelumnya terjadi ikhtilaf riwayat-riwayat di sisi Ash Shaduq kemudian ia merajihkan bahwa hadis Abdul Wahid lebih shahih. Seperti yang kami katakan di atas antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin terdapat perbedaan dalam istilah “hadis shahih”. Istilah hadis shahih yang bermakna semua perawinya tsiqat dalam semua rantai sanad hingga imam ma’shum adalah istilah yang dikenal di kalangan muta’akhirin dan pengertian ini tidaklah mayshur di kalangan mutaqaddimin.

    Syaikh Ash Shaduq adalah ulama mutaqaddimin maka tidak dikenal di sisinya kaidah bahwa hadis shahih itu harus semua para perawinya tsiqat dari awal sanad hingga imam ma’shum. Disini terdapat kemungkinan bahwa maksud hadis shahih disini yaitu matannya yang shahih menurut Ash Shaduq adalah matan dalam riwayat Abdul Wahid. Hal inilah yang ditegaskan oleh Sayyid Khumainiy dalam Makasib Al Muhramah 2/55 dimana ia membantah hujjah sebagian ulama yang mentautsiq Abdul Wahid berdasarkan tashih Syaikh Ash Shaduq

    Jadi tashih Ash Shaduq ini dipersepsi berbeda oleh para ulama Syi’ah. Sebagian menjadikan ini sebagai dasar tautsiq dan sebagian lagi menolaknya. Hujjah yang menolak jelas lebih kuat karena qarinahnya seperti yang disebutkan bahwa di sisi ulama mutaqaddimin termasuk Ash Shaduq tidak dikenal kaidah hadis shahih harus semua perawinya tsiqat dari awal sanad sampai imam ma’shum. Ini kaidah yang dikenal di kalangan ulama Syi’ah muta’akhirin.

    Kemudian sebagian ulama menyatakan tsiqat kepada Abdul Wahid bin Muhammad bin ‘Abdus dengan berdasarkan taradhi Ash Shaduq. Hujjah ini lemah dan telah kami bahas dalam tulisan khusus. Intinya taradhi Ash Shaduq tidak bermakna tautsiq.

    Sebagai tambahan diantara ulama yang dinukil oleh nashibi tersebut yang menghasankan hadis Abdul Wahid bin Muhammad bin ‘Abduus terdapat Al Majlisiy dan Al Majlisi dalam kitabnya Al Wajizah no 1135 menyatakan bahwa Abdul Wahid bin Muhammad bn ‘Abduus sebagai majhul. Hal ini membuktikan Al Majlisiy mengalami tanaqudh atau ia menghasankan hadisnya karena ada penguat dari hadis-hadis lain.

    Mengenai Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, itu juga sudah kami bahas dalam tulisan khusus. Silakan jika pencela nashibi itu berminat mengomentarinya. Kami hanya ingin menunjukkan ketidakakuratan penukilannya. Dalam komentarnya, ia mengatakan

    Ath-Thusiy berkata:

    علي بن محمد بن قتيبة النيسابوري أبو الحسن القتيبي تلميذ الفضل بن شاذان وصاحبه عالم فاضل اعتمد الكشي في كتاب الرجال له كتب

    “’Ali bin Muhammad bin Qutaibah An-Naisaburiy Abul Hasan Al-Qutaibiy, murid Al-Fadhl bin Syadzan dan sahabatnya. Seorang yang ‘alim (berilmu) dan fadhil (memiliki keutamaan). Al-Kisyi berpegang padanya dalam kitab rijal. Ia memiliki kitab-kitab.” [Tahdzibul Ahkam oleh Ath-Thusiy, 10/76]

    Perkataan di atas bukanlah perkataan Syaikh Ath Thuusiy, yang dikatakan Ath Thuusiy mengenai Aliy bin Muhammad bin Qutaibah adalah fadhl tanpa tambahan kata ‘alim [sebagaimana dalam Rijal Ath Thuusiy] sedangkan perkataan “Al Kisyiy berpegang padanya dalam kitab Rijal” adalah perkataan An Najasyiy. Pemilik perkataan di atas menggabungkan apa yang dikatakan Ath Thuusiy dan An Najasyiy, mungkin nashibi itu mengutip dari situs ini

    Padahal sebenarnya jika ia lebih berhati-hati dan melihat hal pertama kitab tersebut maka akan nampak bahwa bagian yang ia kutip berasal dari kitab Syarh Masyaikhah Tahdzib Al Ahkam oleh Sayyid Hasan Musawiy

    شرح مشيخة تهذيب الأحكام تأليف سيدنا الحجة السيد حسن الموسوي

    Syarh Masyaikhah Tahdzib Al Ahkam penulis : Sayyid kami Al Hujjah Sayyid Hasan Al Musawiy

    Jadi menisbatkan perkataan di atas sebagai perkataan Ath Thuusiy adalah keliru kalau tidak mau dibilang dusta. Maka kami sarankan agar jangan terburu-buru dalam berkomentar, teliti dengan baik hujjah anda wahai nashibi sebelum disampaikan ke orang lain.

    Apapun bantahan nashibi tersebut hasilnya akan sia-sia saja karena seperti yang kami tulis dalam tulisan di atas. Riwayat yang ia kutip di sisi Syi’ah disikapi oleh ulama-ulama Syi’ah dalam dua kelompok yaitu mereka yang mendhaifkan dan mereka yang menshahihkan. Mereka yang menshahihkan atau menerima hadis tersebut menakwilkan hasad disana sebagai ghibthah, terlepas dari nashibi itu menolak penakwilan ini maka itu adalah urusannya. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa ulama Syi’ah yang menerima riwayat ini telah menunjukkan itiqad baiknya dengan menakwilkan zhahir lafaz untuk mensucikan Nabi Adam.

    Dan telah kami tunjukkan bahwa terdapat riwayat yang sama di sisi Ahlus Sunnah yang mengesankan hinaan kepada Nabi Adam. Kalau nashibi itu merasa terhina dalam riwayat di atas Nabi Adam bersikap hasad, maka mengapa ia tidak merasa terhina dengan riwayat Ahlus sunnah yang shahih bahwa Nabi Adam telah menyesatkan manusia. Sungguh aneh sekali

  12. Mas SP,

    Anda jenius!

  13. @SP

    Semoga Allah SWT selalu merahmati mas dan memberikan balasan yang berlipat atas tuisan2 mas di blog ini.

    Ada bagian dari kitab Anwar Al Wilayah hal 153 Ayatullah Al Kalbayakaniy di atas menyatakan demikian;

    “…….. Maka berhati-hatilah engkau dari melihat mereka dengan mata kedengkian, maka Aku akan mengeluarkanmu dari kedekatan denganku. Namun Adam memandang mereka dengan mata hasad dan menginginkan kedudukan mereka, maka setan pun menguasainya hingga Adam memakan dari pohon yang dilarang. Dan setan pun turut menguasai Hawa hingga Hawa memandang Fathimah dengan mata hasad hingga dia memakan dari pohon tersebut sebagaimana Adam melakukannya. Maka Allah mengeluarkan keduanya dari Surga-Nya dan menjauhkan keduanya dari Kedekatakan dengan-Nya ke bumi”.

    Perhatikan kalimat: “Aku akan mengeluarkanmu dari kedekatan denganku” dan kalimat: “maka setan pun menguasainya hingga Adam memakan dari pohon yang dilarang” serta kalimat “Maka Allah mengeluarkan keduanya dari Surga-Nya dan menjauhkan keduanya dari Kedekatakan dengan-Nya ke bumi”.

    Keliatannya bisa dipahami dg mudah bahwa Al Kalbayakaniy memang bermaksud menyatakan bahwa Nabi Adam as hasud dan dengki yang berkonotasi negatif, sehingga rasanya terlalu dipaksakan kalau diartikan ghibthah?

    Salam

  14. Sepertinya orang akan dengan mudahnya mengolok2 ulama Syiah yang mensahihkan hadith riwayat Nabi Adam (as).

    Sungguh mengherankan apa kiranya yang menghalangi dan membingungkan bagi orang2 untuk memahami makna dalam riwayat hadis bahwa dosa yang dilakukan oleh Nabi Adam dan Hawa dikarenakan mereka iri dengan para Imam (as) sebagai ghibtah sedangkan orang2 yang datang setelah mereka melakukan tindakan yang jauh lebih berani dari apa2 yang dilakukan oleh Adam dan Hawa bukan hanya iri dengan kemulian dari para Imam (as) bahkan mengklaim diri mereka atas otoritas dan bahkan kemuliaan para Imam seolah biasa2 saja. Mengapa?

Tinggalkan komentar