Tinjauan Atas Hadis Menabuh Alat Musik Duff Saat Pernikahan

Tinjauan Atas Hadis Menabuh Alat Musik Duff Saat Pernikahan

Masih seputar hukum musik dan nyanyian, tulisan ini berusaha untuk menjelaskan kedudukan yang sebenarnya mengenai hadis kebolehan menabuh duff saat pernikahan. Salah satu hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut

حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Dzakwan dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuiku di pagi hari ketika pernikahanku maka Beliau duduk di atas tempat tidur seperti duduknya engkau [yaitu Khalid bin Dzakwan] dariku. Kemudian datanglah dua anak perempuan menabuh duff sambil bersenandung tentang orang-orang yang terbunuh dari orang tua kami saat perang Badar, hingga akhirnya salah satu dari mereka berkata “dan diantara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “janganlah kamu mengatakan hal ini, ucapkanlah apa yang engkau katakan sebelumnya” [Shahih Bukhariy 5/82 no 4001]

.

.

.

Takhrij Hadis

Hadis di atas juga diriwayatkan Al Bukhariy dalam Shahih-nya 7/19 no 5147, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 13/189 no 5878, Abu Dawud dalam Sunan-nya 7/283 no 4922, At Tirmidzi dalam Sunan-nya 2/385 no 1090, An Nasa’iy dalam Sunan-nya 5/240 no 5538, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 7/288 no 14465, Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 9/46-47 no 2265, Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 24/275 no 698 semuanya dengan jalan sanad Bisyr bin Mufadhdhal dari Khalid bin Dzakwaan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz.

Bisyr bin Mufadhdhal dalam periwayatan dari Khalid bin Dzakwaan memiliki mutaba’ah dari Hammaad bin Salamah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah berikut

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي الْحُسَيْنِ اسْمُهُ : الْمَدَنِيُّ ، قَالَ : كُنَّا بِالْمَدِينَةِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، وَالْجَوَارِي يَضْرِبْنَ بِالدَّفِّ وَيَتَغَنَّيْنَ ، فَدَخَلْنَا عَلَى الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ ، فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهَا ، فَقَالَتْ : دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ صَبِيحَةَ عُرْسِي ، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَانِ ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ ، وَتَقُولاَنِ فِيمَا تَقُولاَنِ : وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدِ ، فَقَالَ : أَمَّا هَذَا فَلاَ تَقُولُوهُ ، مَا يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ إِلاَّ اللَّهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah dari Abi Husain, namanya Al Madaniy, yang berkata kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi, maka kami masuk menemui Rubayyi’ binti Mu’awwidz dan kami menyebutkan hal itu kepadanya. Beliau berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah masuk menemuiku yaitu pada hari pernikahanku dan disisiku terdapat dua anak perempuan yang bernyanyi memuji orang tua kami yang terbunuh pada perang Badar, dan keduanya mengatakan apa yang mereka katakan “dan diantara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “adapun hal ini jangan kalian katakan, tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok hari kecuali Allah” [Sunan Ibnu Majah 3/91 no 1897]

Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Sunan Ibnu Majah berkata tentang hadis di atas “sanadnya shahih” [Sunan Ibnu Majah 3/91 no 1897 tahqiq Syu’aib Al Arnauth]. Begitu pula Basyaar Awwaad Ma’ruuf dalam tahqiqnya terhadap Sunan Ibnu Majah juga berkata “sanadnya shahih” [Sunan Ibnu Majah 3/339 no 1897 tahqiq Basyaar Awwaad Ma’ruuf]. Sanad riwayat Ibnu Majah tersebut memang jayyid. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abu Bakr bin Abi Syaibah adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah seorang tsiqat hafizh memiliki tulisan termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdzib 1/528]
  2. Yaziid bin Harun Al Wasithiy seorang yang tsiqat mutqin ahli ibadah, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 2/333]
  3. Hammaad bin Salamah bin Diinar seorang yang tsiqat ahli ibadah, orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Tsaabit, hafalannya berubah di akhir umurnya, termasuk thabaqat kedelapan [Taqriib At Tahdziib 1/238]. Yaziid bin Haruun termasuk perawi yang mengambil hadis dari Hammaad bin Salamah sebelum hafalannya berubah. Muslim telah mengeluarkan riwayat Yaziid dari Hammaad dalam kitab Shahih-nya dan disebutkan Ibnu Abi Hatim dari Ahmad bin Sinaan dari ‘Affaan bin Muslim yang mengatakan kalau Yaziid bin Haruun mengambil dari Hammaad riwayat yang terjaga. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/295 no 1257]
  4. Abu Husain Al Madaniy yaitu Khaalid bin Dzakwaan seorang yang shaduq, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/257]

Yaziid bin Haruun dalam periwayatannya dari Hammaad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari

  1. ‘Affan bin Muslim sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 6/360 no 27072. Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 24/273 no 695 menyebutkan dengan jalan sanad dari Zakariya bin Hamdawaih Ash Shaffaar dari ‘Affan dari Hammad dari Abu Ja’far Al Khaththamiy dari Rubayyi’. Sanad Ath Thabraniy tidak mahfuuzh [terjaga] karena Zakariya bin Hamdawaih tidak dikenal kredibilitasnya dan telah menyelisihi Ahmad bin Hanbal seorang yang dikenal ketinggian dan keilmuannya dalam hadis.
  2. Hasan bin Muusa ‘Abu ‘Aliy Al Baghdadiy sebagaimana disebutkan ‘Abdu bin Humaid dalam Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/422 no 1587
  3. ‘Abdush Shamad bin ‘Abdul Waarits sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 6/359 no 27066 dan Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 5/143 no 2266
  4. Muhanna’ bin ‘Abdul Hamiid sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 6/359 no 27066.
  5. Muusa bin Isma’iil Al Munqariy sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’d dalam Thabaqat Ibnu Sa’d 10/416

.

.

.

Penjelasan Matan Hadis

Hal yang perlu diperhatikan dari riwayat Hammaad bin Salamah adalah riwayat tersebut mengandung tambahan sebab munculnya hadis tersebut dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Hal ini dapat dilihat dari riwayat Yaziid bin Haruun, ‘Affaan dan Hasan bin Muusa dari Hammaad bin Salamah

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا عفان قال ثنا حماد بن سلمة قال ثنا أبو حسين قال كان يوم لأهل المدينة يلعبون فدخلت على الربيع بنت معوذ بن عفراء فقالت دخل على رسول الله صلى الله عليه و سلم فقعد على موضع فراشي هذا وعندي جاريتان تندبان آبائي الذين قتلوا يوم بدر تضربان بالدفوف وقال عفان مرة بالدف فقالتا فيما تقولان وفينا نبي يعلم ما يكون في غد فقال أما هذا فلا تقولاه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain yang berkata pada suatu hari penduduk Madinah bermain-main [bersenang-senang] maka aku menemui Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afraa’, ia berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemuiku kemudian duduk di atas tempat tidurku ini dan disisiku terdapat dua anak perempuan bersenandung tentang orang tua kami yang terbunuh pada perang Badar sambil mereka menabuh duff-duff. [‘Affan terkadang berkata “dengan duff”]. Kemudian keduanya mengatakan apa yang mereka katakan “dan diantara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka Beliau berkata “adapun ini jangan kalian katakan” [Musnad Ahmad 6/360 no 27072, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Muslim”]

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ خَالِدِ بْنِ ذَكْوَانَ أَبِي الْحُسَيْنِ قَالَ كَانَتِ النِّسَاءُ يَضْرِبْنَ بِالدُّفُوفِ  فَذَكَرْتُ ذَلِكَ للرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ  فَقَالَتْ ” دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي ، فَقَعَدَ عِنْدَ مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا ، وَعِنْدَنَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولانِ فِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا فَلا تَقُولاهُ

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah dari Khalid bin Dzakwaan Abu Husain yang berkata “Para wanita menabuh duff maka aku menyebutkan hal itu kepada Rubayyi’ binti Mu’awwidz, kemudian ia berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuiku pada hari pernikahanku kemudian Beliau duduk di atas tempat tidurku ini, dan di sisi kami terdapat dua anak perempuan yang menauh duff dan bersenandung tentang orang tua kami yang terbunuh pada perang Badar. Maka keduanya mengatakan apa yang mereka katakan “di antara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “adapun ini jangan kalian katakan” [Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/422 no 1587]

Khalid bin Dzakwaan atau Abu Husain Al Madaniy suatu ketika melihat penduduk Madinah bermain-main dimana para wanita dan anak-anak perempuan bernyanyi sambil menabuh duff yaitu pada hari ‘Asyuura’, maka Khalid mendatangi Rubayyi’ binti Mu’awwidz dan menanyakan hal tersebut kepadanya. Rubayyi’ binti Mu’awwidz menceritakan hadis tersebut sebagai hujjah bahwa hal itu boleh dilakukan.

Hadis yang disebutkan Rubayyi’ tersebut adalah hadis dimana anak perempuan menabuh duff di sisi Nabi yaitu pada hari pernikahannya kemudian ia jadikan hadis tersebut sebagai hujjah membolehkan apa yang dilakukan penduduk Madinah pada hari ‘Aasyuuraa’. Hal itu menunjukkan bahwa hadis menabuh duff pada saat pernikahan Rubayyi’ bukanlah pembatas atau pengkhususan bahwa itu hanya boleh dilakukan pada saat pernikahan saja. Hukum yang dapat diambil dari hadis Rubayyi’ tersebut adalah menabuh duff dibolehkan dan tidak dibatasi pada saat pernikahan saja.

Biasanya syubhat para pengingkar [yang begitu semangat mengharamkan musik] terhadap hadis riwayat Ibnu Majah [yang menyebutkan lafaz hari ‘Aasyuuraa’] adalah bisa saja pada saat itu adalah hari pernikahan seseorang dari penduduk Madinah.

Jawaban atas syubhat ini cukup sederhana, sebagai suatu kemungkinan maka kami katakan apapun bisa dibuat mungkin apapun bisa diandai-andaikan. Pertanyaannya adalah “manakah hujjah atau qarinah yang menguatkan bahwa hari itu adalah saat pernikahan”. Kami cukup berhujjah dengan zhahir riwayat Ibnu Majah yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada hari Aasyuuraa’. Kalau memang saat itu adalah hari pernikahan maka Khalid bin Dzakwaan pasti akan menyebutkannya.

Qarinah lain yang menguatkan adalah pada riwayat ‘Affaan terdapat lafaz “penduduk Madinah bermain-main”. Lafaz ini lebih menguatkan bahwa hal itu bukan saat pernikahan karena lafaz tersebut menyiratkan sebagian besar penduduk Madinah bersenang-senang dalam permainan termasuk di dalamnya para wanita dan anak perempuan menabuh duff.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد أنا حميد قال سمعت أنس بن مالك قال قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية قال أن الله عز و جل قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid yang berkata aku mendengar Anas bin Malik berkata “Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah, mereka [penduduk Madinah] memiliki dua hari dimana mereka bermain-main. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “dua hari apakah ini?”. Mereka mengatakan “kami biasa bermain-main di hari tersebut pada masa jahiliyah”. Beliau berkata “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah memberikan kepada kalian dua hari yang lebih baik dari kedua hari tersebut yaitu Idul Fitri dan Idul Kurban” [Musnad Ahmad 3/250 no 13647, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا سهل بن يوسف يعني المسمعي عن حميد ويزيد بن هارون أنا حميد عن أنس قال قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة ولأهل المدينة يومان يلعبون فيهما فقال قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما فإن الله قد أبدلكم يومين خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Yuusuf yaitu Al Misma’iy dari Humaid dan Yaziid bin Haaruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Anas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah dan penduduk Madinah memiliki dua hari dimana mereka bermain-main. Beliau berkata “aku datang kepada kalian dan kalian telah memiliki dua hari dimana kalian bermain-main, maka sesungguhnya Allah telah mengganti bagi kalian dua hari yang lebih baik dari keduanya yaitu Idul Fitri dan Idul Kurban [Musnad Ahmad 3/178 no 12850, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhariy Muslim”]

Dalam hadis riwayat Ahmad di atas terdapat petunjuk bahwa penduduk Madinah gemar bermain-main pada hari tertentu. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah, Beliau telah mengganti kedua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri.

Tetapi sepertinya seiring dengan berlalunya waktu, penduduk Madinah juga menjadikan hari Aasyuuraa’ sebagai hari untuk bermain. Terdapat hadis yang menunjukkan bahwa hari ‘Aasyuraa’ dikenal oleh penduduk Madinah sebagai hari yang besar atau baik

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ السَّخْتِيَانِيُّ عَنْ ابْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub As Sakhtiyaaniy dari Ibnu Sa’id bin Jubair dari Ayahnyadari Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhum] bahwasanya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika datang ke Madinah maka Beliau menemui mereka berpuasa pada hari ‘Aasyuraa’, mereka berkata “ini adalah hari yang besar yaitu hari dimana Allah menyelamatkan Muusa dan menenggelamkan Fir’aun, maka Muusa berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami lebih berhak atas Muusa daripada kalian, maka Beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa” [Shahih Bukhariy 4/153 no 3397]

Dalam hadis di atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari ucapan mereka [kaum Yahudiy] bahwa hari ‘Aasyuuraa’ tersebut adalah hari yang besar atau baik bahkan Beliau juga memerintahkan kepada kaum Anshar penduduk Madinah untuk berpuasa juga di hari itu

وحدثني أبو بكر بن نافع العبدي حدثنا بشر بن المفضل بن لاحق حدثنا خالد بن ذكوان عن الربيع بنت معوذ بن عفراء قالت أرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار التي حول المدينة من كان أصبح صائما فليتم صومه ومن كان أصبح مفطرا فليتم بقية يومه فكنا بعد ذلك نصومه ونصوم صبياننا الصغار منهم إن شاء الله ونذهب إلى المسجد فنجعل لهم اللعبة من العهن فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناها إياه عند الإفطار

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Naafi’ Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal bin Lahiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Dzakwaan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afraa’ yang berkata Rasulullah [shalallahu ‘alaihi wa sallam] mengirim utusan pada pagi hari ‘Aasyuuraa’ ke kampung-kampung kaum Anshar di sekitar Madinah, [dan menyerukan] Barang siapa yang berpuasa pada pagi ini, hendaklah menyempurnakan puasanya, dan barang siapa yang tidak berpuasa, hendaklah berpuasa pada sisa harinya. Maka setelah itu kami berpuasa serta mengajak anak-anak kecil kami untuk ikut berpuasa, insya Allah. Kemudian kami pergi menuju masjid dan membuatkan mereka mainan dari bulu, jika salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan mainan tersebut [agar mereka lalai dari rasa lapar] hingga tiba waktu berbuka. [Shahih Muslim 2/798 no 1136]

Terlepas dari kontroversi soal hadis-hadis puasa hari ‘Aasyuuraa’, hadis shahih di atas menunjukkan bahwa penduduk Madinah menganggap hari ‘Aasyuuraa’ sebagai hari baik dimana dianjurkan untuk berpuasa [bagi yang ingin berpuasa] dan mereka mengajak anak-anak mereka untuk berpuasa dan bermain-main dengan mereka sampai waktu berbuka.

Kami tidak akan memastikan bahwa memang itulah yang terjadi pada saat Khalid bin Dzakwaan bertanya kepada Rubayyi’ binti Mu’awwidz [radiallahu ‘anha] tetapi zhahir lafaz memang menyebutkan hari itu adalah hari ‘Aasyuuraa’ dan qarinah [seperti yang kami sebutkan di atas] menunjukkan bahwa penduduk Madinah memang menganggap hari tersebut sebagai hari baik dan mereka bermain bersama anak-anak mereka [dan menabuh duff termasuk dalam permainan].

.

.

.

Syubhat Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga membahas hadis ini dalam kitabnya dan menyimpulkan bahwa hadis tersebut memang khusus hanya pada saat pernikahan. Syubhat pertama Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 474 adalah dengan menggunakan kaidah ushul bahwa hikayat perbuatan tidak menunjukkan keumuman karena perbuatan itu memiliki banyak kemungkinan. Maka hujjah dengan hikayat Khalid bin Dzakwan disini adalah hikayat perbuatan, maka tidak benar berhujjah dengannya karena mengandung kemungkinan atau tidak bisa dijadikan hujjah sampai ada dalil yang menjelaskan hakikat perbuatan tersebut.

Maksud Syaikh disini adalah lafaz riwayat Khalid bin Dzakwan “kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi” adalah hikayat perbuatan yang mengandung banyak kemungkinan termasuk kemungkinan bisa saja hari itu sebenarnya hari pernikahan seorang penduduk Madinah.

Kemudian Syaikh melanjutkan dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 476 bahwa yang nampak secara zhahir adalah hal itu terjadi pada saat hari pernikahan dimana Khalid bin Dzakwaan mengingkari tabuhan duff tersebut kemudian menanyakan kepada Rubayyi’ binti Mu’awwidz dan ia menjawab dengan menyebutkan hadis shahih bolehnya menabuh duff dimana hadis tersebut menceritakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendengarkan duff pada saat Beliau datang ke pernikahan Rubayyi’ binti Mu’awwidz [radiallahu ‘anha]. Lafaz “hari pernikahan” pada hadis Rubayyi’ binti Mu’awwidz inilah yang menurut Syaikh secara zhahir menunjukkan bahwa apa yang disaksikan Khaalid bin Dzakwaan pada hari ‘Aasyuuraa’ itu adalah saat pernikahan.

Jawaban : Kaidah hikayat perbuatan tidak menunjukkan keumuman karena banyak mengandung kemungkinan adalah kaidah yang benar. Hanya saja ada yang aneh dalam penerapan Syaikh tersebut dalam masalah ini. Silakan perhatikan perbedaan kedua lafaz berikut

  1. Kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi
  2. Kami pernah berada di Madinah pada hari pernikahan dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi

Apa yang membedakan kedua kalimat tersebut?. Jawabannya adalah penunjukkan waktunya yaitu yang satu pada hari ‘Aasyuuraa’ dan yang satu lagi pada hari pernikahan. Kalau dikatakan kalimat pertama adalah hikayat perbuatan maka kalimat kedua pun bisa dikatakan hikayat perbuatan. Penunjukkan waktu itu sudah jelas merupakan peristiwa khusus. Artinya hikayat perbuatan dalam lafaz tersebut sudah khusus penunjukkan waktunya.

Lain ceritanya jika lafaz tersebut berbunyi “Kami pernah berada di Madinah pada suatu hari dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi”. Maka lafaz ini masuk dalam lingkup apa yang disebut “hikayat perbuatan yang mengandung banyak kemungkinan” yaitu pada saat waktu apakah itu? Bisa saja itu hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, hari ‘Aasyuuraa’, hari pernikahan, hari peringatan khitanan dan sebagainya. Kalau sudah disebut hari ‘Aasyuura’ maka itu sudah jelas berdasarkan zhahir lafaz, waktunya adalah pada saat hari ‘Aasyuuraa’.

Keanehannya disini adalah seolah-olah Syaikh ingin memaksakan bahwa hari ‘Aasyuuraa’ yang dimaksud adalah juga hari pernikahan. Sebagai suatu kemungkinan maka kami katakan “itu hal yang mungkin saja”. Tetapi kemungkinan ini tidak ada hubungannya dengan kaidah ushul soal hikayat perbuatan yang dijadikan hujjah oleh Syaikh.

Silakan perhatikan berbagai hadis yang menunjukkan waktu tertentu, seperti hal-nya hadis kebolehan menabuh alat musik duff pada saat hari raya Id. Bagaimanakah riwayat tersebut dipahami secara zhahirnya?. Hukum menabuh duff pada saat hari Id dibolehkan. Mengapa tidak dikatakan mungkin saja itu bertepatan dengan hari pernikahan?. Sebagai suatu kemungkinan ya bisa-bisa saja tetapi kemungkinan ini tidak bisa memalingkan lafaz “hari Id” tersebut sampai dibuktikan bahwa hari Id itu memang juga hari pernikahan. Maka begitu pula lafaz hari ‘Aasyuura’, zhahir lafaz tidak bisa dipalingkan dengan kemungkinan bisa saja itu bertepatan dengan hari pernikahan sampai dibuktikan bahwa hari ‘Aasyuuraa’ itu memang juga hari pernikahan. Silakan buktikan dengan hujjah riwayat bahwa hari ‘Aasyuura’ tersebut bertepatan dengan hari pernikahan.

Pada dasarnya perawi hadis ketika menceritakan permasalahan dengan maksud bertanya kepada sahabat maka ia akan menyebutkan inti masalahnya dengan jelas. Jika dipaksakan bahwa apa yang disaksikan Khalid bin Dzakwaan di Madinah tersebut adalah pada saat pernikahan maka apa perlunya ia menyebutkan lafaz hari ‘Aasyuura’ harusnya dari awal saja ia menyebutkan hari pernikahan.

.

.

Syubhat kedua Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 476-477 berusaha melemahkan ziyadah [tambahan] lafaz “kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi” karena hadis itu telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tanpa tambahan lafaz tersebut.

Jawaban : Kami akan menanggapi syubhat ini secara ilmiah. Dalam pembahasan takhrij hadis di atas dapat dilihat bahwa perawi yang meriwayatkan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz adalah Khalid bin Dzakwan dan yang meriwayatkan dari Khalid bin Dzakwaan adalah

  1. Bisyr bin Mufadhdhal yang tidak menyebutkan ziyadah lafaz
  2. Hammaad bin Salamah yang menyebutkan ziyadah lafaz [pada salah satu riwayatnya]

Perawi yang meriwayatkan dari Hammaad bin Salamah ada enam orang yaitu

  1. Yaziid bin Haruun
  2. ‘Affan bin Muslim
  3. Hasan bin Muusa ‘Abu ‘Aliy Al Baghdadiy
  4. ‘Abdush Shamad bin ‘Abdul Waarits
  5. Muhanna’ bin ‘Abdul Hamiid
  6. Muusa bin Isma’iil Al Munqariy

Yaziid bin Haruun, Affaan bin Muslim dan Hasan bin Muusa meriwayatkan dengan tambahan lafaz dari Khalid bin Dzakwaan, sedangkan ketiga perawi lainnya tidak menyebutkan ada tambahan lafaz dari Khalid bin Dzakwaan. Tambahan lafaz Yaziid bin Haruun, Affaan bin Muslim dan Hasan bin Muusa tidak benar-benar persis lafaznya

  1. Yaziid bin Haruun menyebutkan lafaz “kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi”
  2. ‘Affaan bin Muslim menyebutkan lafaz “pada suatu hari penduduk Madinah bermain-main [bersenang-senang]”
  3. Hasan bin Muusa menyebutkan lafaz “Para wanita menabuh duff”

Bagaimana status tambahan lafaz ketiganya?. Tambahan lafaz Hasan bin Muusa menguatkan tambahan lafaz Yaziid bin Haruun soal “tabuhan duff” oleh karena itu kami akan memfokuskan pada ‘Affan bin Muslim dan Yaziid bin Haruun. Riwayat keduanya dari Hammaad bin Salamah lebih didahulukan dibanding perawi lainnya

حدثني أبو خيثمة قال سمعت يحيى بن سعيد يقول من أراد أن يكتب حديث حماد بن سلمة فعليه بعفان بن مسلم

Telah menceritakan kepadaku Abu Khaitsamah yang berkata aku mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan “barang siapa yang ingin menulis hadis Hammaad bin Salamah maka hendaknya ia berpegang pada ‘Affaan bin Muslim” [Al Ilal Ahmad bin Hanbal no 4042]

Adapun Yaziid bin Haruun Al Wasithiy adalah seorang yang alim hafizh masyhur. Aliy bin Madiniy mengatakan ia tsiqat dan berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih hafizh darinya”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijliy berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakr bin Abi Syaibah berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih mutqin hafizh selain darinya”. Abu Hatim berkata ”tsiqat imam shaduq tidak dipertanyakan orang yang sepertinya”. ‘Affaan bin Muslim menyatakan bahwa Yaziid bin Haruun mengambil dari Hammaad bin Salamah riwayat yang terjaga. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qaani’ berkata “tsiqat ma’mun” [Tahdziib At Tahdziib Ibnu Hajar juz 11 no 612]. Ibnu Hajar berkata tentang Yaziid bin Haruun “tsiqat mutqin ahli ibadah, termasuk thabaqat kesembilan” [Taqriib At Tahdziib 2/333]

Jadi Yaziid bin Haruun adalah seorang yang dikenal hafizh tsiqat mutqin, cukuplah mengenai ketinggian kedudukannya seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal

وقال الفضل بن زياد سمعت أبا عبد الله، وقيل له يزيد بن هارون، له فقه؟ قال نعم، ما كان أفطنه وأذكاه وأفهمه. قيل له فابن علية؟ فقال كان له فقه، إلا أني لم أخبره خبري يزيد بن هارون، ما كان أجمع أمر يزيد، صاحب صلاة، حافظ متقن للحديث، صرامة، وحسن مذهب

Fadhl bin Ziyaad berkata aku mendengar Abu ‘Abdullah [Ahmad bin Hanbal] dan dikatakan kepadanya “apakah Yazid bin Haruun seorang yang faqih?. Ia berkata “benar, tidak ada yang seperti kepintarannya, kecerdasannya dan kefahamannya”. Dikatakan kepadanya “bagaimana dengan Ibnu ‘Ulayyah?”. [Ahmad bin Hanbal] berkata “ia juga seorang yang faqih hanya saja aku tidak mengetahui kabarnya seperti kabar Yaziid bin Haarun dimana orang-orang bersepakat atas Yaziid bahwa ia seorang yang rajin shalat, hafizh mutqin dalam hadis, berpikiran tajam dan bermazhab baik [Mausu’ah Aqwaal Ahmad bin Hanbaal no 2966]

Ziyadah lafaz dari perawi seperti Yaziid bin Haruun yang dikenal hafizh tsiqat mutqin jelas diterima apalagi ‘Affaan bin Muslim sendiri menyatakan bahwa Yaziid bin Haruun mengambil riwayat yang terjaga dari Hammaad bin Salamah.

Jadi tambahan lafaz baik dari ‘Affaan bin Muslim dan Yaziid bin Haruun diterima, dan kedua tambahan tersebut tidaklah bertentangan melainkan saling melengkapi sehingga makna tambahan lafaz tersebut adalah Khalid bin Dzakwaan melihat penduduk Madinah bermain-main termasuk diantaranya wanita dan anak-anak perempuan yang menabuh duff pada hari ‘Aasyuraa’.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 477 menyatakan bahwa Hammaad bin Salamah telah keliru dalam tambahan lafaz tersebut, ia walaupun seorang yang tsiqat tetapi berubah hafalannya ketika tua dan disini ia telah menyelisihi perawi yang lebih tsiqat dan hafizh darinya yaitu Bisyr bin Mufadhdhal.

Jawaban : Hammaad bin Salamah memang dikatakan telah mengalami perubahan hafalan di akhir umurnya. Abu Hatim berkata tentang Hisyaam bin ‘Abdul Maalik Abu Waliid Ath Thayaalisiy

كان يقال سماعه من حماد بن سلمة فيه شئ كأنه سمع منه باخرة، وكان حماد ساء حفظه في آخر عمره

Ia [Abu Waliid] dikatakan pendengarannya dari Hammaad bin Salamah terdapat sesuatu sepertinya ia mendengar darinya di akhir hidupnya [Hammaad] dan Hammaad buruk hafalannya di akhir hidupnya [Al Jarh Wat Ta’dil 9/66 no 253]

وقال البيهقي هو أحد أئمة المسلمين إلا أنه لما كبر ساء حفظه فلذا تركه البخاري وأما مسلم فاجتهد وأخرج من حديثه عن ثابت ما سمع منه قبل تغيره وما سوى حديثه عن ثابت لا يبلغ اثني عشر حديثا أخرجها في الشواهد

Dan Al Baihaqiy berkata “ia [Hammaad] seorang imam kaum muslimin hanya saja ketika ia tua hafalannya menjadi buruk oleh karena hal itu maka Bukhariy meninggalkannya. Adapun Muslim berijtihad dan mengeluarkan hadisnya dari Tsaabit apa yang didengar darinya sebelum hafalannya berubah, adapun selain hadisnya dari Tsaabit tidak mencapai dua belas hadis dan dikeluarkannya sebagai syawahid [Tahdziib At Tahdziib Ibnu Hajaar juz 3 no 14]

Tetapi Hammaad bin Salamah telah disepakati sebagai perawi yang tsiqat hanya saja ia buruk hafalannya di akhir hidupnya oleh karena itu Ibnu Hajar berkata

حماد بن سلمة بن دينار البصري أبو سلمة ثقه عابد أثبت الناس في ثابت وتغير حفظه بأخرة

Hammaad bin Salamah bin Diinar Al Bashriy Abu Salamah seorang tsiqat ahli ibadah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Tsaabit dan ia berubah hafalannya di akhir hidupnya [Taqriib At Tahdziib 1/238]

Jadi kesalahan dalam hadis dan hadis mungkar yang dituduhkan pada Hammaad bin Salamah bersumber dari perubahan hafalannya di akhir umurnya. Adapun hadis ini telah diriwayatkan dari ‘Affaan bin Muslim dan Yaziid bin Haruun dari Hammaad bin Salamah, dimana keduanya telah ditunjukkan di atas termasuk perawi yang  meriwayatkan dari Hammaad bin Salamah hadis yang terjaga atau dengan kata lain telah meriwayatkan darinya sebelum hafalannya berubah.

Hammaad bin Salamah sebelum hafalannya berubah adalah seorang yang tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “Hammaad bin Salamah di sisi kami tsiqat” [Al Kamil Ibnu Adiy 3/39 no 431]. Hajjaaj bin Minhaal menyebutnya “termasuk imam dalam agama” dan ‘Affaan bin Muslim menyebutnya “amirul mu’minin” [Al Kamil Ibnu Adiy 3/39 no 431]. Wuhaib berkata “Hammaad orang yang paling alim diantara kami dan Sayyid kami” [Al Kamil Ibnu Adiy 3/45 no 431]. ‘Abdurrahman bin Mahdiy mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorangpun yang seperti Hammaad bin Salamah dan Maalik bin Anas [Tarikh Al Kabir Bukhariy juz 3 no 89]

قيل ليحيى بن معين أيما أحب إليك في ثابت سليمان بن المغيرة أو حماد بن سلمة؟ قال كلاهما ثقة ثبت، وحماد بن سلمة أعرف بحديث ثابت من سليمان، وسليمان ثقة

Dikatakan kepada Yahya bin Ma’iin “manakah yang lebih engkau sukai dalam riwayat Tsaabit yaitu Sulaiman bin Mughiirah atau Hammaad bin Salamah?. Maka ia berkata “keduanya tsiqat tsabit dan Hammaad bin Salamah lebih mengenal hadis Tsaabit dibanding Sulaiman, dan Sulaiman tsiqat [Su’alat Ibnu Junaid no 172]

As Saajiy berkata “seorang hafizh tsiqat ma’mun”. Al Ijliy berkata “tsiqat seorang yang shalih hasanul hadis”. Nasa’iy berkata “tsiqat” [Tahdziib At Tahdziib juz 3 no 14].

سَمِعْتُ أَبَا داود قَالَ ما حَدَّث أحدُ بالبصرة أحسنَ حديثٍ من حماد بْن سلمة

Aku mendengar Abu Dawud mengatakan “tidak ada seorangpun yang menceritakan hadis di Bashrah yang lebih baik hadisnya dibanding Hammaad bin Salamah” [Su’alat Abu ‘Ubaid Al Ajurriy no 1150]

Adz Dzahabiy menyebutkan Hammad bin Salamah dalam kitabnya Siyaar A’laam An Nubalaa’ sebagai Imam Qudwah Syaikh Al Islam, kemudian berkata

وكان مع إمامته في الحديث إماما كبيرا في العربية فقيها فصيحا رأسا في السنة صاحب تصانيف

Dan ia bersamaan dengan keimaman-nya dalam hadis juga imam yang besar dalam bahasa arab faqiih fasih pemimpin dalam sunnah dan memiliki tulisan [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 7/447 no 168]

Walaupun dalam kitab itu, Adz Dzahabiy juga mengakui kalau Hammaad bin Salamah memiliki beberapa kesalahan dan ia tidak seperti Hammaad bin Zaiid.

Kesalahan yang dinisbatkan kepada Hammaad bin Salamah termasuk dalam kelemahan hafalannya di akhir umurnya. Adapun riwayatnya disini [yaitu dari ‘Affaan dan Yaziid bin Haruun] itu sebelum hafalannya berubah maka ketika itu Hammaad bin Salamah seorang yang tsiqat tsabit hafizh dan imam dalam hadis. Kedudukan Hammaad bin Salamah ketika hafalannya terjaga tidaklah lebih rendah dibandingkan Bisyr bin Mufadhdhal. Oleh karena itu ziyadah [tambahan] lafaz hadis ini dari Hammaad bin Salamah bisa diterima.

.

.

.

 Kesimpulan

Hadis Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengenai bolehnya menabuh duff pada saat pernikahan tidak bersifat membatasi khusus hanya dalam pernikahan karena Rubayyi’ binti Mu’awwidz sendiri selaku sahabat [wanita] yang meriwayatkan hadis ini telah berhujjah dengan hadis ini untuk membolehkan penduduk Madinah bermain-main termasuk para wanita menabuh duff pada hari ‘Aasyuuraa’.

Tinggalkan komentar