Bolehkah Memainkan Alat Musik Selain Duff Pada Saat Pernikahan?

Bolehkah Memainkan Alat Musik Selain Duff Pada Saat Pernikahan?

Tahukah anda [para pembaca] bahwa diantara para ulama salafiy dan pengikutnya terdapat orang-orang yang membolehkan alat musik dan nyanyian khusus pada saat pernikahan. Dan itu pun tidak bersifat mutlak hanya terbatas pada alat musik duff, tidak selain itu. Konon kabarnya mereka berhujjah dengan hadis berikut

حدثنا أحمد بن منيع حدثنا هشيم أخبرنا أبو بلج عن محمد بن حاطب الجمحي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم فصل ما بين الحرام والحلال الدف والصوت

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib Al Jumahiy yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “pemisah antara halal dan haram adalah duff dan suara” [Sunan Tirmidzi 3/398 no 1088]

Riwayat ini sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Ahmad bin Manii’ Abu Ja’far Al Baghawiy seorang yang tsiqat hafizh, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/47]
  2. Husyaim bin Basyiir Al Wasithiy seorang yang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/269]. Disini ia telah menyebutkan lafaz penyimakan hadisnya maka selamat dari tadlis dan irsal
  3. Abu Balj Yahya bin Sulaim seorang yang shaduq pernah melakukan kesalahan, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 2/370]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqrib At Tahdziib bahwa Abu Balj seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At Tahdziib no 8003]
  4. Muhammad bin Haathib Al Jumahiy termasuk sahabat Nabi yang shaghiir [Taqriib At Tahdziib 2/65]

Di sisi kami, Abu Balj adalah perawi yang tsiqat. Kami telah membuat tulisan khusus yang membahas secara rinci jarh dan ta’dil terhadap Abu Balj. Silakan merujuk ke tulisan disini.

.

.

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Miizaan Al Islaam hal 226 menyebutkan hadis ini sebagai dalil dianjurkannya memainkan alat musik dan melantunkan nyanyian pada saat pernikahan.

Hal itu benar karena zhahir riwayat Muhammad bin Haathib terdapat lafaz dimana Muhammad bin Haathib mengkritik Abu Balj yang tidak memainkan duff saat pernikahan yaitu dengan lafaz “alangkah buruknya yang kau lakukan” [akan kami tunjukkan riwayat dengan lafaz tersebut nanti]. Maka disini terdapat anjuran untuk melakukannya yaitu lebih baik dibandingkan tidak melakukannya. Seandainya perkara memainkan musik asal hukumnya haram dan diberi rukhshah saat pernikahan maka tidak mengambil rukhshah adalah perkara yang lebih utama tetapi atsar di atas justru menyatakan sebaliknya maka hal ini menunjukkan kelirunya pemahaman bahwa asal hukum bermain musik itu haram. Yang benar adalah asal hukum bermain musik itu mubah dan menjadi dianjurkan dalam pernikahan.

Dan pada kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Miizaan Al Islaam hal 229, Syaikh Al Judai’ mengisyaratkan bahwa hal itu berlaku untuk semua alat musik tidak hanya terbatas pada duff. Adapun penyebutan duff dalam hadis tersebut karena duff adalah alat musik yang masyhur di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 464 membantah Syaikh Al Judai’ dan menuduhnya jahil dalam ilmu ushul fiqih dan kaidahnya. Menurut Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa nash hadis hanya menyebutkan duff jadi tidak bisa diqiyaskan ke alat musik lain.

Apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ itu sudah benar sedangkan bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa keliru. Lafaz duff dalam hadis tersebut bukanlah sebagai pembatas. Silakan perhatikan hadis yang sama dengan lafaz berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن أبي بلج قال قلت لمحمد بن حاطب إني قد تزوجت امرأتين لم يضرب علي بدف قال بئسما صنعت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن فصل ما بين الحلال والحرام الصوت يعني الضرب بالدف

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Balj yang berkata aku berkata kepada Muhammad bin Haathib “aku sungguh telah menikahi dua wanita tidak dengan menabuh duff”. [Muhammad bin Haathib] berkata “alangkah buruknya yang kau lakukan, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya pemisah antara halal dan haram adalah suara yaitu tabuhan duff” [Musnad Ahmad 4/259 no 18306, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”]

حدثنا أبو بكر بن إسحاق أنبأ محمد بن غالب ثنا عمرو بن عون أنبأ وكيع عن شعبة عن أبي بلج يحيى بن سليم قال قلت لمحمد بن حاطب تزوجت امرأتين ما كان في واحدة منهما صوت يعني دفا فقال محمد رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فصل ما بين الحلال والحرام والصوت بالدف

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ghaalib yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aun yang berkata telah memberitakan kepada kami Wakii’ dari Syu’bah dari Abi Balj Yahya bin Sulaim yang berkata aku berkata kepada Muhammad bin Haathib “aku menikahi dua istri dan tidak ada satupun dari keduanya [diadakan] suara yaitu duff”. Maka berkata Muhammad [radiallahu ‘anhu] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “pemisah antara halal dan haram adalah suara dengan duff [Al Mustadrak Al Hakim 2/201 no 2750, dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabiy]

Hadis shahih di atas menyatakan bahwa pemisah antara halal haram adalah suara dalam pernikahan dan suara yang dimaksud adalah tabuhan duff. Pertanyaannya adalah apakah duff dalam hadis tersebut adalah pembatas sehingga tidak dibolehkan selain duff?. Apakah maksud hadis itu adalah suara dalam pernikahan yang dimaksud hanyalah tabuhan duff? Atau suara dalam pernikahan tersebut juga mencakup selain duff, jadi duff hanya salah satu saja dari “suara dalam pernikahan” yang dimaksud?. Jawabannya ada dalam hadis yang sama dengan lafaz berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا أبو عوانة ثنا أبو بلج عن محمد بن حاطب قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم فصل ما بين الحلال والحرام الصوت وضرب الدف

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya pemisah antara halal dan haram adalah suara dan tabuhan duff” [Musnad Ahmad 4/259 no 18305, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا هشيم أنا أبو بلح عن محمد بن حاطب الجمحي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم فصل بين الحلال والحرام الدف والصوت في النكاح

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib Al Jumahiy yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya pemisah antara halal dan haram adalah duff dan suara dalam pernikahan” [Musnad Ahmad 3/418 no 15489, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”]

Kedua hadis di atas adalah riwayat Abu ‘Awanah dan Husyaim dari Abu Balj dimana keduanya menyebutkan lafaz “suara dan duff” sedangkan riwayat Syu’bah menyebutkan lafaz “suara yaitu duff”. Yang manakah yang benar? Keduanya benar karena

  1. Syu’bah adalah seorang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawriy mengatakan ia amirul mu’minin dalam hadis [Taqriib At Tahdziib 1/418]. Maka tafarrud lafaz darinya diterima berdasarkan kaidah ilmu hadis
  2. Abu ‘Awanah seorang yang tsiqat tsabit [Taqriib At Tahdziib 2/282-283] dan ia dikuatkan oleh Husyaim bin Basyiir seorang yang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy [Taqriib At Tahdziib 2/269]. Dua orang yang tsiqat tsabit saling menguatkan maka lafaz hadis dari keduanya diterima.

Jika dalam satu hadis disebut “suara dalam pernikahan” adalah duff kemudian dalam hadis lain disebut “suara dalam pernikahan dan duff” maka tidak mungkin dikatakan bahwa duff disana bersifat pembatas karena kalau dikatakan pembatas itu berarti makna “suara dalam pernikahan” adalah duff itu sendiri sehingga tidak mungkin ada lafaz “suara dalam pernikahan dan duff”. Penjelasan yang lebih masuk akal adalah Duff termasuk “suara dalam pernikahan” tetapi tidak hanya duff oleh karena itu lafaz “suara” bisa disebut beriringan dengan “duff”.

Kalau begitu mengapa harus disebutkan “duff” secara khusus kalau memang ia adalah bagian dari “suara dalam pernikahan”. Penjelasan Syaikh Al Judai’ bahwa duff merupakan alat musik masyhur saat itu adalah kemungkinan penjelasannya [walaupun kami tidak berani memastikan kemungkinan tersebut]. Dan kalau ada yang merasa aneh dengan cara penyampaian bahasa seperti itu maka perhatikanlah ayat Al Qur’an berikut

 مَنْ كَانَ عَدُوًّا ِللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

Barang siapa yang menjadi musuh Allah dan Malaikat-malaikat-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan Jibril dan Mika’il maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir [QS Al Baqarah : 98]

Jibril dan Mik’ail itu sudah termasuk dalam lafaz “Malaikat-malaikat-Nya” tetapi tetap saja disebutkan dalam satu kalimat beriringan. Hanya saja lafaz malaikat-Nya itu lebih umum [dimana Jibril dan Mika’il termasuk di dalamnya]. Maka tidak ada yang aneh dengan hadis di atas soal penyebutan duff dan suara. Lafaz suara bersifat umum [dimana duff termasuk di dalamnya].

.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 466 menyebutkan bahwa Syaikh Al Judai’ mengalami tanaqudh [kontradiksi] ketika mengatakan duff adalah alat musik yang masyhur di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi dalam bagian kitabnya yang lain Syaikh Al Judai’ menyebutkan kalau gendang dan seruling sudah ada di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Mungkin Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa kurang bisa memahami maksud Syaikh Al Judai’. Kami bisa memahami apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ karena sesuatu yang mayshur memang sudah pasti wujud tetapi sesuatu yang wujud belum tentu masyhur. Menurut Syaikh Al Judai’ duff, gendang [thabl] dan seruling [mizmaar] memang sudah ada di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi duff adalah alat musik yang masyhur diantara yang lainnya.

Hadis Muhammad bin Haathib di atas memang berkaitan dengan mengumumkan atau menyiarkan pernikahan. Hal ini memang disunahkan berdasarkan hadis hasan yang disebutkan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tetapi keliru jika Syaikh membatasi bahwa alat musik yang dibolehkan hanyalah duff.

حدثنا محمد بن سهل بن عسكر قال ثنا يحيى بن صالح قال ثنا سليمان بن بلال عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر بن عبد الله قال كان الجواري إذا نكحوا كانوا يمرون بالكبر والمزامير ويتركون النبي صلى الله عليه وسلم قائما على المنبر وينفضون إليها فأنزل الله وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sahl bin ‘Askar yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Shaalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilaal dari Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Jabir bin ‘Abdullah yang berkata para budak wanita apabila ada yang menikah, mereka lewat sambil menabuh gendang dan [memainkan] seruling. Dan mereka [para sahabat] meninggalkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdiri di atas mimbar dan menuju kepadanya [permainan musik tersebut]. Maka Allah menurunkan ayat “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya” [Tafsir Ath Thabariy 22/648]

Riwayat Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu ‘anhu] di atas memiliki sanad yang shahih. Para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Muhammad bin Sahl bin ‘Askar seorang yang tsiqat termasuk thabaqat kesebelas [Taqriib At Tahdziib 2/83]
  2. Yahya bin Shaalih Al Wuhazhiy seorang yang shaduq termasuk ahlu ra’yu, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 2/305]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqriib At Tahdziib bahwa Yahya bin Shaalih seorang yang tsiqat [Tahrir Taqriib At Tahdziib no 7568]
  3. Sulaiman bin Bilaal At Taimiy seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kedelapan [Taqriib At Tahdziib 1/383]
  4. Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy [‘alaihis salaam] seorang yang shaduq faqiih imam, termasuk thabaqat keenam [Taqriib At Tahdziib 1/163]
  5. Muhammad bin ‘Aliy bin Husain [‘alaihis salaam] seorang yang tsiqat fadhl termasuk thabaqat keempat [Taqriib At Tahdziib 2/114]

Riwayat di atas menjelaskan bahwa para budak wanita menabuh gendang dan memainkan seruling ketika terjadi pernikahan maka para sahabat meninggalkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang sedang berkhutbah di atas mimbar, oleh karena itu Allah SWT menurunkan Al Jumu’ah ayat 11 sebagai teguran kepada para sahabat.

Lahwu [permainan] atau hiburan saat pernikahan adalah sesuatu yang dianjurkan tetapi tetap saja tidak boleh dilakukan atau disibukkan dengannya sampai meninggalkan kewajiban atau membuat seseorang melanggar perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Kedudukan “lahwu” disini sama halnya dengan “perniagaan” yaitu dilarang dilakukan ketika khutbah pada hari Jum’at. Hukum asal keduanya dibolehkan tetapi menjadi dilarang pada saat khutbah Jum’at.

Lafaz yang dijadikan hujjah dalam perkara ini adalah lafaz “kabar” dan “mazaamiir” keduanya bermakna gendang dan seruling. Ibnu Atsir menyebutkan bahwa salah satu makna lafaz “kabar” adalah thabl yaitu gendang [An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar hal 789]. Ibnu Qudaamah ketika menjelaskan mengenai lafaz azan yaitu Allaahu Akbar jika ditambahkan alif dalam penyebutan Akbar menjadi Akbaar, ia berkata

فيصير جمع كبر ، وهو الطبل

Maka itu menjadi jamak dari kabar dan kabar adalah thabl [gendang] [Al Mughniy Ibnu Qudaamah 2/90]

Maka hadis Jabir [radiallahu ‘anhu] di atas merupakan hujjah bahwa “suara” yang dimaksud dalam pernikahan itu tidak terbatas pada duff tetapi juga pada kabar [thabl] yaitu gendang dan mazaamiir yaitu seruling.

.

.

.

Syubhat Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa Atas Hadis Jabir

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengetahui adanya hadis Jabir [radiallahu ‘anhu] tersebut tetapi Syaikh membuat syubhat untuk melemahkan hadis tersebut. Dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 455-460, Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa melemahkan Yahya bin Shaalih perawi hadis Jabir tersebut.

Sebelum kami membantah Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa maka kami akan tunjukkan kedudukan sebenarnya Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy. Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy termasuk perawi Bukhariy dan Muslim, ia termasuk gurunya Bukhariy dan Abu Hatim. Yahya bin Ma’in berkata tentangnya “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 9/158 no 657]. Al Bukhariy berkata tentang Yahya dalam biografi Sulaiman bin ‘Atha’

سليمان بن عطاء سمع مسلمة بن عبد الله روى عنه يحيى بن صالح الشامي ويحيى ثقة وفي حديثه بعض المناكير

Sulaiman bin ‘Athaa’ mendengar dari Maslamah bin ‘Abdullah, telah meriwayatkan darinya Yahya bin Shaalih Asy Syaamiy dan Yahya seorang yang tsiqat. Dan dalam hadisnya [Sulaiman bin ‘Athaa’] sebagian mungkar [Adh Dhu’afa Ash Shaghiir no 145]

Abu ‘Awanah berkata tentangnya “hasanul hadis tetapi ia shahib ra’yu”. Ibnu Adiy menyebutkannya dalam orang-orang tsiqat dari penduduk Syam. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abul Yamaan Hakam bin Nafii’ Al Bahraniy berkata “aku tidak mengetahui ada yang lebih tsiqat dari Yahya bin Shaalih”. As Sajiy berkata “ia di sisi para ulama termasuk orang yang jujur dan amanah”. Al Khaliliy menyatakan ia tsiqat. [Tahdziib At Tahdziib juz 11 no 372].

Adz Dzahabiy berkata tentang Yahya bin Shaalih “seorang yang masyhur tsiqat dibicarakan karena faham Jahmiah yang ada padanya” [Al Mughniy no 6991]. Adz Dzahabiy juga mengatakan tsiqat hanya saja dibicarakan karena ra’yunya [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]. Adz Dzahabiy juga berkata “seorang hafizh faqiih” [Al Kasyf no 6183]. Jadi di sisi Adz Dzahabiy ia seorang yang hafizh faqih tsiqat tetapi dibicarakan karena ra’yu-nya ataubid’ah Jahmiyah.

Pendapat yang rajih Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy seorang yang tsiqat tetapi ia dibicarakan karena bid’ah Jahmiyah yang dituduhkan padanya. Dalam ilmu hadis kedudukan perawi seperti ini diterima hadisnya selagi tidak menguatkan faham bid’ah Jahmiyah-nya.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengutip pendapat sebagian ulama yang mencela Yahya bin Shaalih dalam hal bid’ah yang ada padanya yaitu faham Jahmiyah

سألت أبي عن يحيى بن صالح الحمصي الوحاظي فقال رأيته في جنازة أبي المغيرة فجعل أبي يصفه قال أبي أخبرني إنسان من أصحاب الحديث قال قال يحيى بن صالح لو ترك أصحاب الحديث عشرة أحاديث يعني هذه الأحاديث التي في الرؤية قال أبي كأنه نزع إلى رأي جهم

Aku bertanya kepada Ayahku tentang Yahya bin Shaalih Al Himshiy Al Wuhaazhiy yang berkata aku melihatnya saat pemakaman Abu Mughirah maka ayahku mensifatkannya. Ayahku berkata telah mengabarkan kepadaku seorang dari ahli hadis yang berkata Yahya bin Shaalih berkata “seandainya ahli hadis meninggalkan sepuluh hadis yaitu hadis tentang ru’yah”. Ayahku berkata “seolah-olah ia menyeru kepada faham Jahm” [Al Ilal Ahmad bin Hanbal no 1232]

Atsar Abdullah bin Ahmad dari ayahnya ini juga disebutkan oleh Al Uqailiy dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabir juz 4 no 2038. Baik dalam kitab Al Ilal Wal Ma’rifat Ar Rijal Ahmad bin Hanbal dan Adh Dhu’afa Al Uqailiy digunakan lafaz فجعل أبي يصفه yang bermakna “Ayahku mensifatkannya” tetapi dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir 64/281 digunakan lafaz فجعل أبي يضعفه yang bermakna “Ayahku mendhaifkannya”.

Nampaknya apa yang tertulis dalam kitab Ibnu Asakir adalah tashif karena Ibnu Asakir meriwayatkan atsar tersebut dengan menukil dari Al Uqailiy padahal Al Uqailiy menyebutkan lafaz “mensifatkannya” bukan lafaz “mendhaifkannya”. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa menukil lafaz ”mendhaifkannya” dan hal ini keliru karena merupakan tashif.

Adapun apakah benar Yahya bin Shaalih mengatakan perkataan tersebut maka hal ini tidaklah shahih karena Ahmad bin Hanbal tidak menyebutkan siapa ahli hadis yang menukil perkataan Yahya bin Shaalih tersebut. Bisa saja ahli hadis tersebut tsiqat dalam pandangan Ahmad sehingga ia mempercayainya tetapi bisa saja ia dhaif dalam pandangan ulama lain. Bisa saja ia seorang yang shaduq tetapi lemah dalam dhabit-nya. Oleh karena tidak diketahui kedudukan sebenarnya ahli hadis tersebut maka periwayatannya tidak bisa dijadikan hujjah.

قال عبد الله بن أحمد قال أبي لم اكتب عنه لأني رأيته في مسجد الجامع يسيء الصلاة

Abdullah bin Ahmad berkata Ayahku berkata “jangan menulis darinya karena aku melihatnya di masjid Jaami’ dan ia buruk shalatnya” [Tahdziib At Tahdziib juz 11 no 372].

وقال مهنى بن يحيى سألت أحمد بن حنبل عن يحيى بن صالح فقال رأيته ولم يحمده

Muhanna bin Yahya berkata aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang Yahya bin Shaalih, maka ia berkata “aku telah melihatnya dan tidak memujinya” [Tahdziib Al Kamal 31/378 no 6846]

Kedua atsar di atas bisa digabungkan bahwa Ahmad bin Hanbal tidak memujinya dan tidak mau menulis darinya karena buruknya shalat Yahya bin Shaalih dalam pandangannya. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mendhaifkan Yahya bin Shaalih. Apalagi ternukil pula pujian Ahmad bin Hanbal terhadapnya

أنبأنا أبو القاسم علي بن إبراهيم نا عبد العزيز بن أحمد أنا أبو محمد بن أبي نصر أنا أبو الميمون نا أبو زرعة قال لم يقل يعني أحمد بن حنبل في يحيى بن صالح إلا خيرا

Telah memberitakan kepada kami Abu Qaasim ‘Aliy bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz bin Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Abi Nashr yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Maimuun yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah yang berkata “tidaklah Ahmad bin Hanbal mengatakan tentang Yahya bin Shaalih kecuali kebaikan” [Tarikh Ibnu Asakir 64/280]

Atsar Abu Zur’ah di atas sanadnya jayyid, semua perawinya tsiqat dan shaduq. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abul Qaasim ‘Aliy bin Ibrahiim, syaikh islam muhaddis tsiqat [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 19/358-359 no 212]
  2. ‘Abdul ‘Aziiz bin Ahmad Al Kattaniy, imam hafizh shaduq muhaddis dimasyiq [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 18/248 no 122]
  3. Abu Muhammad bin Abi Nashr syaikh imam seorang yang tsiqat ma’mun [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 17/366-368 no 230]
  4. Abul Maimuun Al Bajalliy syaikh imam tsiqat ma’mun [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 15/533 no 310]
  5. Abu Zur’ah Ad Dimasyiq seorang yang shaduq tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/267 no 1259]

Atsar ini bisa digabungkan dengan atsar sebelumnya bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah menyebutkan Yahya bin Shaalih kecuali dengan kebaikan sampai akhirnya ia melihat buruknya shalat Yahya bin Shaalih, oleh karena itu ia meninggalkannya. Pandangan Ahmad bin Hanbal soal buruknya shalat Yahya bin Shaalih tidak bisa dijadikan hujjah mendhaifkan karena perkara tersebut sifatnya relatif dan tidak berkaitan dengan kredibilitas dalam periwayatan hadis. Apalagi Yahya bin Shaalih telah dinyatakan tsiqat oleh ulama lainnya.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa kemudian menukil perkataan Ishaaq bin Manshuur bahwa Yahya bin Shaalih seorang murjiah. Hal ini memang benar dikatakan Ishaaq bin Manshuur tetapi telah dibantah Adz Dzahabiy bahwa Yahya bin Shaalih justru mengingkari irja’. [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/456 no 150]. Syaikh juga menukil Al Uqailiy yang menyatakan bahwa Yahya bin Shaalih penganut bid’ah Jahmiyah. Hal ini jika memang benar tetap tidak bisa dijadikan dasar untuk mendhaifkan Yahya bin Shaalih.

Dalam ilmu hadis sudah menjadi hal yang umum kalau mazhab bid’ah yang dianut seseorang tidak menjadi alasan untuk mendhaifkan perawi tersebut jika perawi itu telah dinyatakan tsiqat oleh ulama yang mu’tabar. Cukup banyak perawi hadis dalam kutubus sittah yang berfaham khawarij, murji’ah, qadariy, rafidhah yang tetap dinyatakan tsiqat atau shaduq.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa menukil jarh dari Haiwah bin Syuraih yang disebutkan Ibnu Asakir dalam kitabnya

وقال أبو إسحاق إبراهيم بن الهيثم بن المهلب البلدي كان حيوة بن شريح ينهاني أن أكتب عن يحيى بن صالح الوحاظي وقال هو كذا وكذا

Abu Ishaaq Ibrahim bin Al Haitsam bin Al Muhallab Al Baladiy berkata Haiwah bin Syuraih telah melarangku menulis hadis dari Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy dan berkata “ia begini begitu” [Tarikh Ibnu Asakir 64/282]

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa berkata lafaz “kadzaa wa kadzaa” adalah sighat tadh’if [mendhaifkan] dengan dalil Haiwah melarang menulis darinya. Hujjah Syaikh ini terlalu dipaksakan, lafaz “kadza wa kadzaa” mengandung banyak kemungkinan bahkan lafaz itu bisa bergabung dengan lafaz ta’dil

سألته عن إبراهيم بن المهاجر قال ليس به بأس هو كذا وكذا

[‘Abdullah bin Ahmad] berkata “aku bertanya kepadanya [Ahmad bin Hanbal] tentang Ibrahiim bin Al Muhaajir, maka ia berkata “tidak ada masalah padanya ia kadzaa wa kadzaa” [Al Ilal Ahmad bin Hanbal no 2511]

Begitu pula dengan dalil Haiwah melarang menulis darinya juga mengandung kemungkinan bisa saja hal itu karena faham bid’ah yang dituduhkan oleh Yahya bin Shaalih atau seperti Ahmad bin Hanbal karena ia melihat Yahya bin Shaalih buruk shalatnya. Kemungkinan seperti ini tidaklah mendhaifkan dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengalahkan tautsiq para ulama mu’tabar terhadap Yahya bin Shaalih.

Jika seorang perawi telah mendapat tautsiq dari ulama mu’tabar maka jarh terhadapnya harus bersifat mufassar dan jarh Haiwah bin Syuraih di atas tidak bersifat mufassar, tidak diketahui dari sisi apa larangan menulis hadis Haiwah tersebut, apakah karena ‘adalah-nya? apakah karena dhabit-nya? apakah karena faham bid’ah-nya? apakah karena amalan-nya?.

Apalagi Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa kemudian menambahkan bahwa Haiwah bin Syuraih adalah orang Himsh dan Yahya bin Shalih juga orang Himsh maka ia sebagai orang satu negri dan semasa dengan Yahya bin Shalih lebih mengetahui keadaannya.

Bukankah Syaikh telah membaca kitab Tarikh Ibnu Asakir biografi Yahya bin Shaalih maka Syaikh pasti sudah menemukan ta’dil Abul Yamaan Hakam bin Naafi’ terhadap Yahya bin Shaalih dimana Abul Yamaan mengatakan kalau ia tidak mengenal orang yang lebih tsiqat dari Yahya bin Shaalih [Tarikh Ibnu Asakir 64/282]. Ibnu Asakir membawakan sanadnya sampai Abul Yamaan tentang ta’dilnya terhadap Yahya bin Shaalih, sebagian sanadnya adalah sebagai berikut

وأنبأنا أبو محمد بن الأكفاني نا عبد العزيز لفظا وقرأت على أبي الوفاء حفاظ بن الحسن عن عبد العزيز أنا ابن أبي نصر أنا خيثمة بن سليمان نا سليمان بن عبد الحميد البهراني قال سمعت أبا اليماني

Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad bin Al ‘Akfaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz. Dan aku membacakakan kepada Abu Wafaa’ Hifaazh bin Hasan dari ‘Abdul Aziiz yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Nashr yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaitsamah bin Sulaiman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid Al Bahraniy yang berkata aku mendengar Abul Yamaan… [Tarikh Ibnu Asakir 64/282]

Sanad ini jayyid sampai Abul Yaman. Abu Muhammad bin Al ‘Akfaniy dan Abul Wafaa’ keduanya adalah guru Ibnu Asakir. Berikut keterangan para perawi dalam sanad tersebut

  1. Abu Muhammad bin Al ‘Akfaaniy seorang syaikh imam, Ibnu Asakir mengatakan ia tsiqat tsabit [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 19/576-577 no 330]. Abul Wafaa’ Hifaazh bin Hasan seorang syaikh shalih [Al Muntakhab Min Mu’jam Syuyukh As Sam’aniy no 322]
  2. ‘Abdul ‘Aziiz bin Ahmad Al Kattaniy, imam hafizh shaduq muhaddis dimasyiq [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 18/248 no 122]
  3. Abu Muhammad bin Abi Nashr syaikh imam seorang yang tsiqat ma’mun [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 17/366-368 no 230]
  4. Khaitsamah bin Sulaiman imam tsiqat muhaddis syam [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 15/412 no 230]
  5. Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid Al Bahraniy seorang yang shaduq [Taqriib At Tahdziib 1/388]. Sedikit catatan tentang Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid Al Bahraniy. Abu Hatim telah memujinya dan menulis hadis darinya. Ibnu Abi Hatim berkata “aku mendengar darinya di Himsh dan ia shaduq”. Nasa’iy berkata “pendusta, tidak tsiqat dan tidak ma’mun”. Masalamah bin Qaasim berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengatakan ia termasuk yang hafizh dalam hadis. [Tahdziib At Tahdziib juz 4 no 350]. Abu ‘Aliy Al Jayaaniy menyatakan ia tsiqat [Tasmiyah Syuyukh Abu Dawud hal 126 no 335]. Pendapat yang rajih ia seorang yang shaduq karena Abu Hatim dan anaknya Ibnu Abi Hatim termasuk muridnya dan keduanya lebih mengenal gurunya yaitu Sulaiman dibandingkan An Nasa’iy. Apalagi An Nasa’iy juga terkenal tasyadud dalam jarh [anehnya An Nasa’iy tidak memasukkan nama Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid dalam kitabnya Adh Dhu’afa].

Abul Yamaan adalah seorang hafizh imam hujjah dan dia juga orang Himsh serta semasa dengan Yahya bin Shaalih [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/319 no 77]. Kenapa tidak dikatakan pula kalau Abul Yamaan lebih mengenal kedudukan Yahya bin Shaalih. Al Bukhariy dan Abu Hatim adalah murid dari Yahya bin Shaalih dan keduanya adalah ulama mu’tabar dalam jarh wat ta’dil maka ta’dil keduanya disini lebih mu’tamad dan tidak bisa dikalahkan hanya dengan jarh yang tidak jelas seperti “kadzaa wa kadzaa”.

.

.

Kemudian Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa menukil jarh yang ia katakan jarh syadiid terhadap Yahya bin Shaalih

قال أحمد بن صالح المصري حدثنا يحيى بن صالح بثلاثة عشر حديثا عن مالك ما وجدنا لها أصلا عند غيره

Ahmad bin Shaalih Al Mishriy berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Shaalih tiga puluh hadis dari Malik yang tidak kami temukan asalnya pada selain dia [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/455 no 150]

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa mengatakan bahwa Imam Maalik memiliki banyak murid hingga mencapai lebih dari seribu maka bagaimana bisa Yahya bin Shaalih meriwayatkan tiga puluh hadis [gharib] dari Maalik tanpa diikuti oleh yang lainnya.

Yahya bin Shaalih sudah terbukti tsiqat maka tidak ada maslah dengan riwayat gharib dari seorang yang tsiqat. Apa yang dikatakan Ahmad bin Shaalih tersebut lebih tepat dikatakan bahwa hal itu terbatas dengan apa yang ia ketahui saja. Tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja Ahmad bin Shalih tidak mengetahui kalau ternyata hadis Yahya bin Shaalih dari Malik tersebut memiliki mutaba’ah. Tentu untuk memastikan hal ini adalah dengan melihat tiga puluh hadis yang dimaksud tetapi disini tiga puluh hadis itu tidak disebutkan oleh Ahmad bin Shalih.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa membawakan contoh hadis Yahya bin Shalih dari Malik yang tidak memiliki mutaba’ah sebagaimana disebutkan Al Khaliliy.

يحيى بن صالح الوحاظي ثقة يروي عنه الائمة وروى حديثا عن مالك لا يتابع عليه حدثنا عبد الله بن محمد القاضي حدثنا الحسن بن محمد بن عثمان الفارسي بالبصرة حدثنا يعقوب بن سفيان الفسوي حدثنا يحيى بن صالح حدثنا مالك عن الزهري عن سالم عن ابيه ان النبي صلى الله عليه و سلم وأبا بكر وعمر كانوا يمشون امام الجنازة وهذا منكر من حديث مالك

Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy tsiqat, telah meriwayatkan darinya para imam, ia meriwayatkan hadis dari Malik yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al Qaadhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muhammad bin ‘Utsman Al Faarisiy di Bashrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Sufyaan Al Fasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Shaalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Maalik dari Zuhriy dari Saalim dari Ayahnya bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar, Umar mereka pernah berjalan kaki di depan jenazah, hadis ini mungkar dari hadis Malik [Al Irsyad Al Khaliliy no 108]

Apa yang disebutkan Al Khaliliy justru menguatkan kemungkinan yang kami katakan bahwa bisa saja hadis Yahya bin Shaalih dari Malik tersebut memiliki mutaba’ah hanya saja ulama tersebut [dalam hal ini Al Khaliliy] tidak mengetahuinya. Yahya bin Shalih dalam hadis Malik yang disebutkan Al Khaliliy di atas memiliki mutaba’ah sebagaimana riwayat berikut

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبَرَاثِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْخَرَّازُ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَمْشُونَ أَمَامَ الْجِنَازَةِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al Baraatsiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Aun Al Kharraaz yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Az Zuhriy dari Saalim dari Ayahnya yang berkata aku melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar dan Umar pernah berjalan kaki di depan jenazah [Mu’jam Fii ‘Asaamiy Syuyuukh Abu Bakr Al Isma’iiliy hal 314 no 3]

Ahmad bin Muhammad Al Baraatsiy adalah seorang yang tsiqat ma’mun [Su’alat Hamzah As Sahmiy hal 139 no 123]. ‘Abdullah bin ‘Aun Al Kharraaz seorang yang tsiqat ahli ibadah [Taqriib At Tahdziib 1/520].

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengutip jarh dari Abu Ahmad Al Hakim yang berkata tentang “Yahya bin Shaalih” yaitu “tidak hafizh di sisi para ulama”. Kemudian syaikh mengatakan bahwa jarh tersebut menunjukkan bahwa para ulama tidak memasukkannya kedalam derajat hafizh maka riwayatnya ditolak jika bertentangan dengan perawi hafizh.

Jarh Abu Ahmad Al Hakim yaitu “tidak hafizh di sisi para ulama” perlu ditinjau kembali karena sebagaimana telah kami kutip pendapat para ulama mu’tabar maka tidak ada satupun yang membicarakan hafalan Yahya bin Shaalih. Bukhariy, Yahya bin Ma’in, Ibnu Adiy menyatakan tsiqat bahkan Abul Yaman menyatakan dengan lafaz yang lebih tinggi “aku tidak mengenal yang lebih tsiqat dari Yahya bin Shaalih”. Adz Dzahabiy berkata tentang Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy

وممن وثقه ابن عدي وابن حبان ، وغمزه بعض الأئمة لبدعة فيه ، لا لعدم إتقان

Dan termasuk ditsiqatkan Ibnu Adiy dan Ibnu Hibbaan, sebagian imam mencelanya karena bid’ah yang ada padanya bukan karena tidak ada sifat itqan [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/455 no 150]

Makna dari perkataan Adz Dzahabiy adalah sebagian ulama mencela Yahya bin Shaalih karena bid’ah yang ada padanya bukan karena ia tidak bersifat itqan yaitu bermasalah hafalannya oleh karena itu Adz Dzahabiy tetap menyatakan Yahya bin Shaalih sebagai hafizh faqiih.

Perkara yang sama pernah terjadi pada perawi Bukhariy dan Muslim lainnya yaitu ‘Abdul Kariim bin Maalik Al Jazariy ia telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama mu’tabar. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsabit”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu ‘Ammaar, Al Ijliy, Abu Zur’ah, Abu Hatim menyatakan tsiqat. [Tahdziib At Tahdziib juz 6 no 717]

Kemudian Adz Dzahabiy memasukkannya dalam Al Mizaan. Adz Dzahabiy menukil Ibnu Hibban yang menyatakan ia shaduq tetapi sering meriwayatkan tafarrud dari perawi tsiqat sesuatu yang mungkar dan Adz Dzahabiy menukil Abu Ahmad Al Hakim yang berkata “tidak hafizh di sisi para ulama” [Mizaan Al I’tidaal 4/387 no 5174].

Tetapi Adz Dzahabiy tetap menyatakan ‘Abdul Kariim bin Malik seorang imam hafizh [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 6/80 no 19] dan tetap menyatakan tsiqat [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq hal 345 no 222]. Hal ini menunjukkan bahwa Adz Dzahabiy menolak jarh Abu Ahmad Al Hakim “tidak hafizh di sisi para ulama” karena memang tidak ditemukan ada ulama yang mempermasalahkan hafalannya.

.

.

.

Syubhat terakhir Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengatakan bahwa riwayat Yahya bin Shaalih di atas mungkar atau syaadz karena bertentangan dengan riwayat perawi tsiqat yaitu sebagaimana diriwayatkan Bukhariy dan Muslim mengenai asbabun nuzul Al Jumu’ah ayat 11 yaitu

حَدَّثَنَا طَلْقُ بْنُ غَنَّامٍ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ سَالِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي جَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ مِنْ الشَّأْمِ عِيرٌ تَحْمِلُ طَعَامًا فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فَنَزَلَتْ {وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا}

Telah menceritakan kepada kami Thalq bin Ghannaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaa’idah dari Hushain dari Saalim yang berkata telah menceritakan kepadaku Jabir [radiallahu ‘anhu] yang berkata ketika kami sedang shalat bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka datanglah kabilah dari Syam berkendaraan unta yang membawa barang makanan, maka mereka [para sahabat] menuju kepadanya hingga tidak ada yang tersisa bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kecuali dua belas orang maka turunlah ayat “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya” [Shahih Bukhariy 3/55 no 2058]

Riwayat Bukhariy di atas shahih dan para perawinya tsiqat begitu pula riwayat Ath Thabariy sebelumnya shahih dan para perawinya tsiqat. Syubhat bahwa riwayat Yahya bin Shaalih mungkar atau syadz adalah tidak benar. Yang meriwayatkan dari Jabir [radiallahu ‘anhu] dalam Shahih Bukhariy adalah Salim bin Abi Ja’d seorang yang tsiqat banyak melakukan irsal [Taqriib At Tahdziib 1/334]. Sedangkan yang meriwayatkan dari Jabir [radiallahu ‘anhu] dalam Tafsir Ath Thabariy adalah Muhammad bin ‘Aliy bin Husain [‘alaihis salaam] Al Baqiir seorang yang tsiqat fadhl termasuk thabaqat keempat [Taqriib At Tahdziib 2/114].

Kalau riwayat Bukhariy dan Ath Thabariy mau dipertentangkan maka letak perselisihan bukan pada Yahya bin Shaalih tetapi pada Muhammad Al Baqir [‘alaihis salaam] yang bertentangan dengan Salim bin Abil Ja’d. Muhammad bin Ali Al Baqir adalah ahlul bait yang tsiqat faqiih fadhl dan telah dikenal keluasan ilmunya maka tafarrud dari Beliau disini diterima.

Kedua riwayat tersebut shahih dan bisa dijamak bahwa perkara yang menjadi sebab asbabun nuzul Al Jumu’ah ayat 11 ada dua yaitu perniagaan [sebagaimana yang nampak dalam riwayat Bukhariy] kemudian lahwu [sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ath Thabariy]. Hal ini sesuai dengan zhahir lafaz Al Jumu’ah ayat 11 yang memang menyebutkan kedua lafaz tersebut [perniagaan atau lahwu]. Atau kedua riwayat shahih tersebut bisa dijamak bahwa Al Jumu’ah ayat 11 tersebut turun dua kali, pertama karena sebab perniagaan kedua karena sebab lahwu [permainan gendang dan seruling saat pernikahan]. Penjamakan ini bukan sesuatu yang mustahil dan bisa saja terjadi sebagaimana diisyaratkan Ibnu Hajar dalam Syarh Shahih Bukhariy tentang hadis Jabir tersebut [Fath Al Bariy 2/424].

.

.

.

Kesimpulan

Memainkan alat musik baik berupa duff dan alat musik lainnya seperti gendang dan seruling adalah perkara yang dianjurkan dalam pernikahan. Tidak ada nash larangan yang membatasi bahwa alat musik tersebut hanya terbatas pada duff saja.

Satu Tanggapan

  1. Bung SP, kemana saja bung kok tidak pernah meng up date blognya?, semoga bung SP baik-baik saja. kami elu-ulukan artikel terbarunya, jangan biarkan diri kami membuka blog ini 2 sd 3 kali sehari dengan tangan hampa. semoga bung SP segera bangkit kembali dan mengakhiri kehausan kami.

Tinggalkan komentar