Studi Kritis Kredibilitas Abu Balj : Yahya bin Abi Sulaim Al Kufiy

Studi Kritis Kredibilitas Abu Balj : Yahya bin Abi Sulaim Al Kufiy

Tulisan ini kami buat sebagai bantahan bagi kaum nashibi. Dalam agenda mereka yang bertujuan menghapus keutamaan ahlul bait, mereka menyebarkan syubhat yang terkesan “ilmiah” bagi orang awam tetapi kenyataannya syubhat itu hanya akal-akalan semata. Salah satu syubhat kaum nashibi adalah melemahkan Yahya bin Abi Sulaim atau Abu Balj yaitu perawi hadis yang meriwayatkan sepuluh keutamaan besar Imam Ali. Kami akan membahas syubhat nashibi secara rinci, membantahnya dan menunjukkan kekeliruannya.

.

.

Ulama Yang Menta’dilkan Abu Balj

Abu Balj Al Fazaariy Al Wasithiy namanya Yahya bin Sulaim bin Balj, ada yang mengatakan Yahya bin Abi Sulaim, ia adalah perawi Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan tsiqat. Bukhari berkata “fiihi nazhar”. Abu Hatim berkata “shalih al hadits tidak ada masalah padanya”. Ibnu Sa’ad mengutip Yazid bin Harun yang berkata “ia banyak mengingat Allah”. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat dan berkata “sering keliru”. Yaqub bin Sufyan berkata “orang kufah yang tidak ada masalah padanya”. Ibrahim bin Ya’qub Al Jawzjaniy dan Abul Fath Al Azdiy berkata “tsiqat”. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menukil Ibnu Ma’in yang mendhaifkannya. Ahmad berkata “ia meriwayatkan hadis mungkar”. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 12 no 184]

Begitulah yang dikutip Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib. Ada beberapa kutipan Ibnu Hajar yang perlu ditinjau kembali. Mengenai pernyataan Abu Hatim maka itu benar adanya tetapi mengenai kutipan Ibnu Ma’in dari Ibnu Jauzi dan Ibnu Abdil Barr maka hal itu keliru karena tidak tsabit dari Ibnu Ma’in. Pernyataan Ibnu Ma’in yang tsabit terhadap Abu Balj adalah ia menyatakan tsiqat.

نا عبد الرحمن قال ذكره ابى عن اسحاق بن منصور عن يحيى بن معين انه قال: ابوبلج ثقة. نا عبد الرحمن قال سألت اپبى عن ابى بلج يحيى بن ابى سليم فقال هو صالح لا بأس به

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata Ayahku menyebutkan dari Ishaq bin manshur dari Yahya bin Ma’in bahwa ia berkata “Abu Balj tsiqat”. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku bertanya kepada ayahku tentang Abu Balj Yahya bin Abi Sulaim, ia berkata “shalih tidak ada masalah padanya” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 9/153 no 634]

Mengenai pernyataan Ibnu Sa’ad kalau Abu Balj tsiqat dan pujian Yazid bin Harun terhadap Abu Balj, itu telah disebutkan Ibnu Sa’ad dalam kitabnya Ath Thabaqat 7/311. Sedangkan untuk ta’dil An Nasa’i kami tidak menemukan kitab Nasa’i yang bisa dirujuk untuk membuktikan tsabit atau tidaknya pernyataan An Nasa’i tersebut. Pernyataan Daruquthni disebutkan oleh muridnya Al Barqaniy dalam Su’alatnya

قلت يحيى بن أبي سليم أبو بلج قال واسطي ثقة

Aku berkata Yahya bin Abi Sulaim Abu Balj, [Daruquthni] berkata Al Wasithiy tsiqat [Su’alat Al Barqaniy no 546]

Perkataan Bukhari “fiihi nazhar” tidak ditemukan dalam kitab Al Bukhari. Bukhari tidak memasukkan Abu Balj dalam Adh Dhu’afa tetapi ia menyebutkan keterangan tentang Abu Balj dalam kitabnya Tarikh Al Kabir tanpa menyebutkan jarh-nya

يحيى بن أبي سليم قال إسحاق نا سويد بن عبد العزيز وهو كوفي ويقال واسطي أبو بلج الفزاري روى عنه الثوري وهشيم ويقال يحيى بن أبي الأسود وقال سهل بن حماد نا شعبة قال نا أبو بلج يحيى بن أبي سليم

Yahya bin Abi Sulaim, Ishaq berkata telah menceritakan kepada kami Suwaid bin ‘Abdul Aziz dan dia adalah orang kufah dan dikatakan orang waasith Abu Balj Al Fazaariy telah meriwayatkan darinya Ats Tsawriy dan Husyaim, dan dikatakan Yahya bin Abil Aswad, Sahl bin Hammaad berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj Yahya bin Abi Sulaim [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 8 no 2996]

Kutipan Al Bukhari ‘fihi nazhar” terhadap Abu Balj disebutkan Ibnu Adiy dalam Al Kamil yang diriwayatkan oleh Ibnu Hammaad dari Al Bukhari

سمعت بن حماد يقول قا البخاري يحيى بن أبى سليم أبو بلج ها سمع محمد بن حاطب وعمرو بن ميمون فيه نظر

[Ibnu Adiy] Aku mendengar Ibnu Hammaad mengatakan Bukhari berkata “Yahya bin Abi Sulaim Abu Balj mendengar dari Muhammad bin Haathib dan ‘Amru bin Maimun “Fiihi nazhar” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/229]

Ibnu Hajar keliru ketika menyatakan Ibnu Hibban menyebutkan Abu Balj dalam Ats Tsiqat. Ibnu Hibban tidak memasukkan Abu Balj dalam Ats Tsiqat, pernyataan Ibnu Hibban “sering keliru” ditemukan dalam Al Majruhin juz 3 no 1197. Kutipan Ibnu Hajar tentang pernyataan Yaqub bin Sufyan terhadap Abu Balj “tidak ada masalah padanya” perlu ditinjau kembali. Inilah yang disebutkan Yaqub bin Sufyan dalam kitabnya Ma’rifat Wal Tarikh

وقَال : حَدَّثَنَا سُفيان عن أبي بلج كوفي لا بأس به

Dan berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan tentang Abu Balj Al Kufiy tidak ada masalah padanya [Ma’rifat Wal Tarikh Ya’qub Al Fasawiy 3/105]

Yaqub bin Sufyan mengutip pernyataan Sufyan Ats Tsawriy yang merupakan murid dari Abu Balj. Ta’dil ini penting karena berasal dari orang yang mengenal dan bertemu langsung dengan Abu Balj. Ibnu Hajar juga keliru ketika mengutip pernyataan Abu Ishaq Al Jawzjaniy yang menyatakan Abu Balj tsiqat. Dalam kitabnya Ahwal Ar Rijal, Al Jawzjaniy justru menyatakan Abu Balj tidak tsiqat [Ahwal Ar Rijal no 190]. Sedangkan untuk pernyataan Abu Fath Al Azdy maka Ibnu Hajar telah diselisihi oleh Ibnu Jauzi, dimana ia dalam kitabnya Ad Dhu’afa menukil pernyataan Al Azdy terhadap Abu Balj “tidak tsiqat” [Ad Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3722].

Perkataan Ahmad bin Hanbal “meriwayatkan hadis mungkar” tidak memiliki asal penukilan yang tsabit. Selain Ibnu Hajar, kutipan ini juga disebutkan oleh Ibnu Jauzi dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3722]. Ahmad bin Hanbal tidak menyebutkan hal ini dalam kitab Al Ilal dan tidak pula diriwayatkan oleh para muridnya dalam Su’alat Ahmad.

Adz Dzahabi juga menyebutkan biografi Abu Balj dalam kitabnya Mizan Al ‘Itidal. Ia menuliskan Yahya bin Sulaim atau Ibnu Abi Sulaim Abu Balj Al Fazaariy Al Wasithiy meriwayatkan dari ‘Amru bin Maimun Al Awdiy dan Muhammad bin Haathib Al Jimaahiy telah meriwayatkan darinya Syu’bah dan Husyaim. Ditsiqatkan oleh Ibnu Ma’in dan yang lainnya, Muhammad bin Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni. Abu Hatim berkata “shalih al hadits dan tidak ada masalah padanya”. Yazid bin Harun berkata “aku melihatnya dan ia banyak mengingat Allah”. Bukhari berkata “fiihi nazhar”. Ahmad berkata “meriwayatkan hadis mungkar”. Ibnu Hibban berkata “sering keliru”. Al Jawzjaniy berkata “tidak tsiqat”[Mizan Al I’tidal Adz Dzahabi juz 4 no 9539]

Sejauh ini mari kita kelompokkan pendapat para ulama terhadap Abu Balj atau Yahya bin Abi Sulaim. Ulama yang menta’dilkan Abu Balj adalah

  1. Syu’bah [dimana ia meriwayatkan dari perawi yang ia anggap tsiqat]
  2. Sufyan Ats Tsawriy [tidak ada masalah padanya]
  3. Yazid bin Harun [banyak mengingat Allah]
  4. Abu Hatim [shalih tidak ada masalah padanya]
  5. Ibnu Ma’in [tsiqat]
  6. Daruquthni [tsiqat]
  7. Ibnu Sa’ad [tsiqat]
  8. Nasa’i [tsiqat]

Sedangkan ulama yang menjarh Abu Balj

  1. Bukhari [fiihi nazhar]
  2. Ibnu Hibban [sering keliru]
  3. Al Jawzjaniy [tidak tsiqat]
  4. Abu Fath Al Azdiy [tidak tsiqat]
  5. Ahmad bin Hanbal [meriwayatkan hadis mungkar]

.

.

.

Pernyataan Bukhari “Fiihi nazhar”

Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, kutipan “Fiihi nazhar” Bukhari terhadap Abu Balj tidak disebutkan Bukhari dalam kitabnya Tarikh Al Kabir tetapi disebutkan oleh Ibnu Adiy dari syaikh [gurunya] yaitu Ibnu Hammaad dari Al Bukhari. Perkataan Bukhari “fiihi nazhar” terhadap seorang perawi bukanlah jarh yang bersifat syadid [keras] seperti yang dikatakan oleh para ulama muta’akhirin yaitu Adz Dzahabi, Ibnu Katsir dan yang lainnya.

Bukhari sendiri terkadang menta’dilkan perawi yang ia katakan “fiihi nazhar”. Murid Al Bukhari seperti Imam Tirmidzi tidak memahami lafaz “fiihi nazhar” Bukhari sebagai jarh syadid begitu pula Ibnu Adiy yang merupakan murid Ibnu Hammad [muridnya Al Bukhari] dalam kitabnya Al Kamil tidak menjadikan perkataan “fiihi nazhar” Bukhari sebagai jarh syadid. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari gurunya Al Bukhari tentang seorang perawi yang dikatakannya “fiihi nazhar”

وحكيم بن جبير لنا فيه نظر ولم يعزم فيه على شيء

[Bukhari berkata] Dan Hakim bin Jubair bagi kami adalah Fiihi nazhar, [At Tirmidzi berkata] ia tidak memaksudkan apa-apa tentang perkataannya itu. [Tartib Ilal Tirmidzi no 71]

Sebagai seorang murid Bukhari maka Tirmidzi jelas jauh lebih paham terhadap perkataan gurunya. Ini adalah bukti kuat bahwa perkataan “fiihi nazhar” juga berarti Bukhari bertawaqquf atas perawi yang dimaksud. Bahkan Bukhari sendiri pernah menta’dilkan perawi yang ia katakan “fiihi nazhar”.

عمرو بن هاشم أبو مالك الجنبي عن بن إسحاق فيه نظر

‘Amru bin Haasyim Abu Malik Al Janabiy meriwayatkan dari Ibnu Ishaq, fiihi nazhar [Tarikh Al Kabir Al Bukhari juz 6 no 2072]

Kemudian Tirmidzi ketika bertanya kepada gurunya Al Bukhari, Al Bukhari malah menta’dilkan perawi tersebut.

وَسَأَلتُ مُحَمدًا عن أبي مالك الجنبي فقال أبو مالك عمرو بن هاشم الجنبي مقارب الحديث

Dan aku bertanya pada Muhammad [Bukhari] tentang Abu Malik Al Janabiy, ia berkata Abu Malik ‘Amru bin Haasyim Al Janabiy “muqarrib al hadis” [Tartib Ilal Tirmidzi no 140]

Perkataan Bukhari “muqarrib al hadits” [hadisnya mendekati] adalah salah satu bentuk ta’dil. Hal ini terbukti bahwa Bukhari telah menyatakan shahih hadis perawi yang ia katakan “muqarrib al hadits”. At Tirmidzi meriwayatkan bahwa Bukhari berkata

وحديث عبد الله بن عبد الرحمن الطائفي عن عمرو بن شعيب ، عَن أَبِيه عن جده في هذا الباب هو صحيح أيضا وعبد الله بن عبد الرحمن الطائفي مقارب الحديث

Dan hadis ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ath Thaa’ifiy dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya tentang bab ini adalah shahih dan ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ath Thaa’ifiy muqarrib al hadits [Tartib Ilal Tirmidzi no 154]

Selain itu Bukhari juga pernah menyatakan shahih hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dikatakannya “fiihi nazhar”.

حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري عن النعمان روى عنه أبو بشر وبشير بن ثابت ومحمد بن المنتشر وخالد بن عرفطة وإبراهيم بن مهاجر وهو كاتب النعمان فيه نظر

Habib bin Saalim mawla Nu’man bin Basyiir Al Anshariy meriwayatkan dari Nu’man dan telah meriwayatkan darinya Abu Bisyr, Basyiir bin Tsaabit, Muhammad bin Muntasyir, Khalid bin ‘Urthufah, Ibrahim bin Muhaajir dan ia jusru tulis Nu’man. Fiihi nazhar [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 2 no 2606].

حَدَّثَنا قتيبة ، حَدَّثَنا أبو عوانة عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر ، عَن أَبِيه عن حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين والجمعة ب {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} و {هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ} وربما اجتمعا في يوم فيقرأ بهما سَألْتُ مُحَمدًا عن هذا الحديث ، فقال : هو حديث صحيح وكان ابن عيينة يروي هذا الحديث عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر فيضطرب في روايته قال مرة حبيب بن سالم ، عَن أَبِيه عن النعمان بن بشير وهو وهم والصحيح حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Ibrahim bin Muhammad bin Muntasyir dari ayahnya dari Habib bin Saalim dari Nu’man bin Basyiir bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] biasa membaca dalam kedua shalat Id dan Jum’at “Sabbihis marabbikal a’la” dan “Hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah” begitu pula ketika hari Id bersamaan dengan hari Jum’at maka Beliau membaca keduanya. Aku [Trimidzi] bertanya kepada Muhammad [Bukhari] tentang hadis ini dan ia berkata “itu hadis shahih dan Ibnu Uyainah meriwayatkan hadis ini dari Ibrahim bin Muhammad bin Muntasyir dan mengalami idhthirab dalam riwayatnya, ia berkata Habib bin Saalim dari ayahnya dari Nu’man bin Basyiir dan ini keliru, yang shahih adalah Habib bin Saalim dari Nu’man bin Basyiir [Tartib Ilal Tirmidzi no 152]

Para nashibi lebih suka bertaklid buta pada pernyataan Adz Dzahabi dan Ibnu Katsir bahwa lafaz “fiihi nazhar” di sisi Bukhari berarti perawi tersebut sangat rendah kedudukannya di sisi Bukhari. Adz Dzahabi dalam biografi ‘Abdullah bin Dawud Al Wasithiy berkata

. وقد قال البخاري : فيه نظر ، ولا يقول هذا إلا فيمن يتهمه غالبا

Sungguh telah berkata Bukhari “fiihi nazhar” dan tidaklah ia mengatakan ini kecuali orang itu termasuk orang yang dituduhnya [Mizan Al I’tidal juz 2 no 4294]

Dalam kitabnya Al Muuqizhah Fi Ilm Musthalah Hadits, Adz Dzahabi juga mengatakan hal yang sama

وكذا عادته إذا قال فيه نظر بمعنى أنه متهم أو ليس بثقة فهو عنده أسوأ حالا من الضعيف

Dan Bukhari jika berkata “fiihi nazhar” maka itu bermakna bahwa ia tertuduh atau tidak tsiqat, di sisinya kedudukannya lebih buruk dari dhaif [Al Muuqizhah Adz Dzahabi hal 83]

Pernyataan Adz Dzahabi ini diikuti oleh Ibnu Katsir dan sebagian ulama dari kalangan muta’akhirin. Pada dasarnya pendapat ini tidaklah shahih dari Imam Bukhari tetapi hal ini dimengerti dari melihat berbagai pernyataan Bukhari terhadap perawi. Terkadang Bukhari menjarh seseorang dengan jarh syadid seperti “munkar al hadits” atau “sakatu ‘anhu” kemudian di saat lain ia menyatakan “fiihi nazhar”. Hal inilah membuat para ulama seperti Adz Dzahabi menyamakan “fiihi nazhar” dengan jarh syadid lainnya.

Pernyataan ini tidak tepat diterapkan secara mutlak karena memang Bukhari tidak menyatakan demikian. Cukup banyak kasus perawi yang menolak anggapan demikian. Sebut saja misalnya seorang sahabat Nabi yaitu Sha’sha’ah bin Najiyah, Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir dan berkata “fiihi nazhar” [Tarikh Al Kabir juz 4 no 2978]. Sangat tidak mungkin kalau sahabat Nabi ini dikatakan perawi yang sangat dhaif hanya karena Bukhari berkata “fiihi nazhar”.

Para nashibi terpaksa berbasa basi dengan mengatakan maksud “fiihi nazhar” itu tertuju pada hadis yang disebutkan Bukhari tentang kisah Sha’sha’ah bin Najiyah yang mendatangi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].  Pernyataan ini perlu ditinjau kembali, kalau memang yang tertuju dengan kata “fiihi nazhar” adalah hadis yang bermasalah maka lafaz yang seharusnya dipakai Bukhari adalah  “fii haditsihi nazhar” atau “fii isnadihi nazhar”. Lafaz itu sering dipakai Bukhari dalam kitabnya. Lafaz “fiihi nazhar” yang disebutkan Bukhari dalam kitabnya tertuju pada perawi yang dimaksud bukan hadisnya. Makna “fiihi nazhar” yang dimaksud Bukhari terhadap Sha’ sha’ah adalah ia bertawaqquf atasnya atau ragu apakah Sha’sha’ah termasuk sahabat Nabi atau bukan. Sehingga di sisi Bukhari, Sha’sha’ah ini tidaklah tsabit sebagai sahabat Nabi. Ibnu Hajar dalam biografi ‘Abdurrahman bin Haani’ bin Sa’id Al Kufiy berkata

وقال البخاري فيه نظر وهو في الأصل صدوق

Bukhari berkata “fiihi nazhar dan ia pada dasarnya shaduq” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 568]

Kesimpulannya lafaz “fiihi nazhar” di sisi Bukhari pada asalnya bermakna pertengahan, bisa tertuju pada perawi yang sangat dhaif dan bisa pula tertuju pada perawi yang shaduq. Hal ini tergantung qarinah qarinah yang menguatkan. Jika perawi yang dikatakan “fiihi nazhar” itu ternyata dijarh juga dengan sebutan “munkar al hadits” atau “sakatu ‘anhu” maka fiihi nazhar bersifat jarh syadid. Jika perawi yang dikatakan “fiihi nazhar” itu dita’dilkan oleh Bukhari di tempat lain maka fiihi nazhar itu bersifat jarh ringan atau sedikit keraguan terhadapnya.

Bagaimana jika Bukhari hanya berkata “fiihi nazhar” dan di tempat lain ia tidak menjarh keras dan tidak pula menta’dilkannya?. Maka itu berarti Bukhari bertawaqquf atas perawi tersebut atau jarh-nya bersifat ringan atau bisa dilihat qarinah qarinah lain. Kembali pada kedudukan Abu Balj di atas. Perkataan “fiihi nazhar” Bukhari terhadap Abu Balj bukan bersifat jarh syadid tetapi diartikan Bukhari bertawaqquf padanya atau ada sedikit keraguan terhadapnya. Hal ini dapat dlihat dari berbagai qarinah berikut

  1. Bukhari sendiri dalam kitab Tarikh Al Kabir menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacat terhadapnya bahkan ia menegaskan Syu’bah telah meriwayatkan darinya.
  2. Bukhari tidak memasukkannya dalam kitabnya Adh Dhu’afa As Saghiir padahal jarh ini berasal dari Ibnu Hammaad salah satu murid Bukhari yang juga meriwayatkan kitab Adh Dhu’afa As Saghiir.
  3. Ibnu Adiy yang merupakan murid Ibnu Hammaad tidak mengartikan jarh fiihi nazhar terhadap Abu Balj sebagai jarh syadid karena ia berkata tentang Abu Balj “tidak ada masalah dengan hadisnya” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/230]
  4. Bukhari sendiri berhujjah dengan keterangan Abu Balj ketika menjelaskan tentang perawi lain. Dalam biografi Muhammad bin Haatib Al Qurasyiy [salah seorang sahabat] Bukhari mengutip Abu Balj yang berkata Muhammad bin Haatib berkata kepada kami “aku lahir pada awal hijrah di Habsyah” [Tarikh Al Kabir juz 1 no 8]. Jika Abu Balj ini kedudukannya sangat rendah di mata Bukhari dengan alasan jarh “fiihi nazhar” maka tidak mungkin ia akan berhujjah dengan riwayatnya. Mirip sekali dengan keadaan perawi Habib bin Saliim yang juga dikatakan “fiihi nazhar”. Bukhari juga berhujjah dengan perkataan Habib dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyiir, Bukhari mengutip Habib bin Saalim berkata “Yazid termasuk sahabat Umar bin ‘Abdul Aziz” [Tarikh Al Kabir juz 8 no 3347]. Maka tidak heran kalau Bukhari juga menshahihkan hadis Habib bin Saalim seperti yang telah kami tunjukkan sebelumnya.
  5. Ibnu Hajar dalam kitabnya Badzlu Al Ma’un Fii Fadhli Ath Tha’un hal 117 menjelaskan bahwa maksud fiihi nazhar terhadap Abu Balj adalah bermakna pertengahan dan Ibnu Hajar menyatakan shahih hadis riwayat Abu Balj. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Hajar tidak menafsirkan fiihi nazhar Bukhari kepada Abu Balj sebagai jarh syadid.

Semua qarinah di atas sudah cukup untuk menyatakan bahwa jarh fiihi nazhar terhadap Abu Balj bukan jarh yang bersifat menjatuhkan tetapi itu bermakna Bukhari memiliki sedikit keraguan terhadapnya dan bisa jadi dalam pandangan Bukhari pada dasarnya Abu Balj seorang yang shaduq hanya saja ada keraguan terhadapnya. Tentu saja hal ini tidak akan menjatuhkan sedikitpun kedudukan Abu Balj yang sudah dita’dilkan oleh ulama ulama mu’tabar karena jarh fiihi nazhar bukan jarh yang bersifat mufassar melainkan jarh mubham yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Dalam kaidah ilmu hadis, ta’dil lebih didahulukan daripada jarh mubham.

.

.

.

Pandangan Ibnu Hibban Terhadap Abu Balj

Ibnu Hibban dalam kitabnya Al Majruhin menyatakan bahwa Abu Balj sering melakukan kesalahan yang membuatnya layak untuk ditinggalkan sehingga tidak bisa dijadikan hujjah jika ia menyendiri dalam meriwayatkan hadis [Al Majruhin juz 3 no 1197].

Perlu diketahui bahwa manhaj Ibnu Hibban dalam kitabnya Al Majruhin adalah ia akan menyebutkan hadis-hadis dimana perawi tersebut menjadi tertuduh karenanya. Sangat penting untuk menilai apakah benar atau tidak hadis tersebut menjadi kesalahan dari perawi tersebut karena cukup dikenal Ibnu Hibban sering keliru akan pernyataannya. Tidak jarang ia menjarh perawi shahih dengan jarh yang keras sehingga para ulama menolak pendapat Ibnu Hibban tersebut. Misalnya

  • Ibnu Hibban pernah berkata terhadap Aflah bin Sa’id bahwa ia meriwayatkan dari perawi tsiqat hadis hadis maudhu’ sehingga tidak boleh berhujjah dan meriwayatkan darinya [Al Majruhin juz 1 no 111] padahal Aflah bin Sa’id termasuk perawi Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Sa’ad. Nasa’i berkata tidak ada masalah padanya [At Tahdzib juz 1 670] sehingga Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi bersepakat menyatakan ia shaduq dan menolak jarh Ibnu Hibban.
  • Ibnu Hibban pernah berkata terhadap Muhammad bin Fadhl As Saduusiy bahwa ia mengalami ikhtilath di akhir umurnya dan banyak meriwayatkan hadis mungkar [Al Majruhin juz 2 no 997] padahal ia termasuk perawi Bukhari Muslim  yang disepakati tsiqat dan pernyataan Ibnu Hibban ditolak oleh Ibnu Hajar dan yang lainnya [At Tahdzib juz 9 no 659]
  • Ibnu Hibban pernah berkata terhadap Suwaid bin ‘Amru Al Kalbiy bahwa ia sering membolak balik sanad sehingga tidak boleh berhujjah dengannya [Al Majruhin juz 1 no 455]. Padahal ia termasuk perawi Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Nasa’I, ibnu Ma’in dan Al Ijli [At Tahdzib juz 4 no 486]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutlak dan menolak pernyataan Ibnu Hibban [At Taqrib 1/404]

Ketika menyebutkan Abu Balj, Ibnu Hibban membawakan hadis yang menurutnya menjadi bukti kesalahan Abu Balj yaitu

وهو الذي روى عن محمد بن حاطب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال فصل بين الحلال والحرام الدف والصوت في النكاح أخبرناه أبو خزيمة قال حدثنا يعقوب بن إبراهيم الدروقي قال حدثنا هشيم قال حدثنا أبو بلج عن محمد بن حاطب

Dan ia yang meriwayatkan dari Muhammad bin Haathib dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata pemisah antara halal dan haram adalah tabuhan duff dan suara dalam pernikahan. Telah mengabarkannya kepada kami Abu Khuzaimah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim Ad Dawraqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib [Al Majruhin juz 3 no 1197]

Perlu diketahui hadis ini telah dishahihkan atau dikuatkan oleh para ulama bahkan salafy sendiri berhujjah dengan hadis ini. Tetapi cukuplah kami tunjukkan bagaimana pandangan ulama terhadap hadis ini. Hadis Abu Balj ini disebutkan Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi dimana Beliau menguatkan hadis ini

قال أبو عيسى حديث محمد بن حاطب حديث حسن و أبو بلج اسمه يحيى بن أبي سليم ويقال ابن سليم و محمد بن حاطب قد رأى النبي صلى الله عليه و سلم وهو غلام صغير

Abu Isa berkata “hadis Muhammad bin Haathib adalah hadis hasan dan Abu Balj namanya Yahya bin Abi Sulaim ada yang mengatakan Ibnu Sulaim, Muhammad bin Haathib sunggung telah melihat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan waktu itu ia anak yang masih kecil [Sunan Tirmidzi 3/398 no 1088].

Selain Imam Tirmidzi, Ibnu Qaisaraniy juga menyebutkan hadis ini dalam salah satu kitabnya dan menyatakan hadis tersebut shahih.

نَبَّأَنَا إِبْرَاهِيمُ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْمَحَامِلِيُّ نَبَّأَنَا مَحْمُودُ بْنُ حِرَاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ أَنْبَأَنَا أَبُو بَلْجٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ ” ، هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ

Telah memberitakan kepada kami Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Ismail Al Muhamiliy yang berkata telah memberitakan kepada kami Mahmuud bin Hiraasy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah memberitakan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda pemisah antara halal dan haram adalah tabuhan duff dan suara dalam pernikahan. Hadis ini shahih [As Samaa’ Ibnu Qaisaraniy no 24]

Begitu pula Al Hakim memasukkan hadis ini dalam kitabnya Al Mustadrak dan menyatakan hadis tersebut shahih

حدثنا أبو بكر بن إسحاق أنبأ محمد بن غالب حدثنا عمرو بن عون أنبأ وكيع عن شعبة عن أبي بلج يحيى بن سليم قال قلت لمحمد بن حاطب تزوجت امرأتين ما كان في واحدة منهما صوت يعني دفا فقال محمد رضى الله تعالى عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فصل ما بين الحلال والحرام الصوت بالدف هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ghaalib yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aun yang berkata telah memberitakan kepada kami Waki’ dari Syu’bah dari Abi Balj Yahya bin Sulaim yang berkata aku berkata kepada Muhammad bin Haathib “aku telah menikahi dua orang wanita dan tidak ada satupun dari keduanya ada tabuhan suara duff. Muhammad radiallahu ta’ala anhu berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “pemisah antara halal dan haram adalah suara tabuhan duff” hadis ini shahih sanadnya tetapi Bukhari Muslim tidak mengeluarkannya [Al Mustadrak juz 2 no 2750]

Hadis yang dipermasalahkan Ibnu Hibban sebagai bukti kesalahan Abu Balj ternyata telah dikuatkan oleh para ulama lain yaitu Imam Tirmidzi, Ibnu Qaisaraniy dan Al Hakim. Ibnu Hibban tidak menyebutkan alasan mengapa ia memasukkan hadis tersebut sebagai kesalahan Abu Balj maka jelas pernyataan Ibnu Hibban tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak beralasan dan  bertentangan dengan pernyataan ulama lain.

.

.

.

Pernyataan Ahmad bin Hanbal Terhadap Abu Balj

Pandangan Ahmad bin Hanbal telah dinukil sebagian ulama yaitu diantaranya Abu Ahmad Al Hakim, Ibnu Jauzi dan Ibnu Hajar. Tetapi perkataan Ahmad bin Hanbal tidak terbukti memiliki sanad yang tsabit hingga Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Hanbal dalam kitab Ilal Ma’rifat Ar Rijal [melalui riwayat Abdullah bin Ahmad] telah menyebutkan keterangan  dan hadis Abu Balj tetapi tidak seikitpun ia mencela atau mengkritiknya [Al Ilal Ma’rifat Ar Rijal juz 1 no 1237, 1238, 1239 dan juz 2 no 2131 dan 2250].

Ulama yang pertama kali mengutip jarh Ahmad bin Hanbal terhadap Abu Balj adalah Abu Ahmad Al Hakim dalam kitabnya Al ‘Asamiy Wal Kuna

أبو بلج ويقال أبو صالح يحيى بن أبي سليم ويقال ابن أبي الأسود الفزاري الكوفي ويقال الوسطي عن أبي القاسم محمد بن حاطب الجمحي وأبي عبد الله عمرو بن ميمون الأودي ضعفة أحمد بن حنب

Abu Balj dikatakan Abu Shalih Yahya bin Abi Sulaim dikatakan Ibnu Abil Aswad Al Fazaariy dikatakan Al Wasithiy, meriwayatkan dari Abu Qasim Muhammad bin Haathib Al Jumahiy dan Abu ‘Abdullah ‘Amru bin Maimun Al Awdiy, ia telah dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal [Al ‘Asamiy Wal Kuna 2/352 no 886]

Abu Ahmad Al Hakim lahir pada tahun 285 H dan wafat tahun 378 H sedangkan Ahmad bin Hanbal wafat pada tahun 241 H. Artinya Abu Ahmad Al Hakim tidak bertemu dengan Ahmad bin Hanbal bahkan ia tidak bertemu dengan murid murid Ahmad bin Hanbal seperti Abdullah bin Ahmad [wafat 290 H], Shalih bin Ahmad [wafat 266 H] dan Abu Bakar Al Atsram [wafat 273 H]. Jadi penukilan perkataan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan dhaif mutlak terhadap Abu Balj terbukti tidak tsabit.

Ibnu Hajar dalam At Tahdzib menukil perkataan Ahmad tentang Abu Balj yaitu Ahmad berkata ia meriwayatkan hadis mungkar [At Tahdzib juz 12 no 184]. Hal yang sama juga dinukil Ibnu Jauzi dalam Al Maudhu’at, ia berkata

قال أحمد روى أبو بلج حديثاً منكراً سدوا الأبواب

Ahmad berkata Abu Balj meriwayatkan hadis mungkar “tutuplah pintu pintu masjid” [Al Maudhu’at Ibnu Jauzi 1/366]

Ibnu Rajab dalam Syarh Al Ilal Tirmidzi juga menukil pengingkaran Imam Ahmad terhadap hadis keutamaan Imam Ali dalam biografi Abu Balj

يروي عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أحاديث منها حديث طويل في فضل علي أنكرها ( الإمام ) أحمد في رواية الأثرم وقيل له : عمرو بن ميمون يروى عن ابن عباس ؟ قال : ما أدري ما أعلمه

Ia [Abu Balj] meriwayatkan dari ‘Amru bin Maimun dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] hadis yang panjang tentang keutamaan Imam Ali, Imam Ahmad mengingkarinya dalam riwayatnya dari Al Atsram, dikatakan kepadanya “apakah ‘Amru bin Maimun meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas?. Ia berkata “tidak tahu, aku tidak mengetahuinya” [Syarh Al Ilal Tirmidzi 1/400]

Semua penukilan Ahmad ini tidak ada yang terbukti tsabit karena memang tidak ada sanad shahihnya sampai kepada Ahmad bin Hanbal. Kami juga sudah merujuk pada Su’alat Ahmad dari Al Atsram tetapi tidak menemukan kutipan Ibnu Rajab tersebut. Seandainya kita anggap kutipan Ahmad bin Hanbal tersebut tsabit maka inipun tidak masalah karena Ahmad bin Hanbal terbukti keliru.

Hadis yang dikatakan mungkar oleh Ahmad bin Hanbal yaitu “tutuplah pintu pintu masjid” itu adalah hadis shahih sebagaimana telah kami bahas takhrijnya dalam salah satu tulisan kami [silakan lihat disini]. Sedangkan riwayat Al Atsram dari Ahmad bin Hanbal bahwa ia tidak mengetahui ‘Amru bin Maimun meriwayatkan dari Ibnu Abbas juga tidak bisa dijadikan hujjah. Perkataan Ahmad bin Hanbal “aku tidak mengetahuinya” bisa berarti ia memang tidak mengenal ‘Amru bin Maimun meriwayatkan dari Ibnu Abbas atau bisa jadi di sisinya tidaklah tsabit kalau ‘Amru bin Maimun meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Banyak para nashibi [yang berhujjah dengan kutipan Ibnu Rajab] ingin menunjukkan bahwa pengingkaran Ahmad bin Hanbal itu tidak lain karena hanya Abu Balj yang menyebutkan riwayat ‘Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas.

Jika memang Ahmad bin Hanbal mengatakan demikian maka beliau telah keliru. Riwayat ‘Amru bin Ma’imun dari Ibnu Abbas telah disebutkan dengan sanad yang shahih dalam Shahih Bukhari yaitu dalam kisah terbunuhnya Umar. Dimana ‘Amru bin Maimun menyaksikan dan mendengar perkataan para sahabat saat itu termasuk di antaranya Ibnu Abbas. Disebutkan dalam Shahih Bukhari 5/15 no 3700 bahwa ‘Amru bin Maimun meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahkan mendengar langsung Ibnu ‘Abbas mengatakan orang yang membunuh Umar adalah budaknya Mughirah. Maka sudah jelas Ahmad bin Hanbal keliru, itupun jika perkataan tersebut memang tsabit dari Ahmad bin Hanbal.

.

.

.

Perkataan Abdul Ghaniy bin Sa’id Terhadap Abu Balj

Para nashibi juga berhujjah dengan kutipan Ibnu Rajab yang menukil Abdul Ghaniy bin Sa’id sebagai bukti kekeliruan riwayat Abu Balj.

وذكر عبد الغني بن سعيد المصري الحافظ أن أبا بلج أخطأ في اسم عمرو بن ميمون هذا ، وليس هو بعمرو بن ميمون المشهور  إنما هو ميمون أبو عبد الله مولى عبد الرحمن بن سمرة ، وهو ضعيف ، وهذا ليس ببعيد . والله أعلم

Dan disebutkan ‘Abdu Ghaniy bin Sa’id Al Mishriy Al Hafizh bahwa Abu Balj keliru dalam nama ‘Amru bin Maimun disini, bukanlah ia ‘Amru bin Maimun yang masyhur sesungguhnya ia adalah Maimun ‘Abu ‘Abdullah mawla ‘Abdurrahman bin Samarah dan ia dhaif, hal ini tidaklah jauh, wallahu a’lam [Syarh Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab 1/400]

Yang perlu dicermati dari perkataan ‘Abdul Ghaniy disini adalah itu hanyalah sebuah kemungkinan yang dikatakan oleh ‘Abdul Ghaniy sebagaimana terlihat dari lafal “hal itu tidaklah jauh”. Sebagai sebuah kemungkinan ya silakan saja tetapi itu tidak bisa dijadikan hujjah dengan berbagai alasan berikut

  • Abu Balj dikenal meriwayatkan dari ‘Amru bin Maimun tetapi Abu Balj tidak dikenal meriwayatkan dari Maimun Abu ‘Abdullah. Dalam biografi Abu Balj tidak ditemukan nama salah satu gurunya adalah Maimun Abu Abdullah begitu pula dalam biografi Maimun Abu Abdullah tidak ditemukan ada muridnya yang bernama Abu Balj.
  • Sangat jauh sekali kemungkinan Abu Balj salah menyebutkan nama orang yang telah ia temui dan mendengar langsung hadis darinya. Abu Balj seorang yang tsiqat maka pernyataannya bahwa ia mengambil riwayat tersebut dari ‘Amru bin Maimun jelas lebih bernilai hujjah dibandingkan dengan orang kemudian yang hanya menduga duga tanpa dasar.
  • Hadis Maimun Abu Abdullah “tutuplah pintu masjid” adalah hadis Maimun Abu Abdullah dari Zaid bin Arqam radiallahu ‘anhu sedangkan hadis Abu Balj adalah hadis ‘Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas. Abdul Ghaniy tidak hanya menuduh Abu Balj salah menyebutkan nama bahkan ia juga menuduh Abu Balj salah menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut. Kemungkinan ini sangat jauh sekali.
  • ‘Amru bin Maimun memang dikenal meriwayatkan dari Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari bahwa ‘Amru bin Maimun bertemu dan mendengar langsung perkataan Ibnu Abbas.

Berbagai qarinah di atas lebih dari cukup untuk membuktikan kekeliruan perkataan Abdul Ghaniy bin Sa’id. Bagaimana bisa menyatakan perawi tsiqat mengalami kekeliruan hanya dengan dugaan tanpa dasar?.
.

.

.

Abu Fath Al Azdiy dan Al Jauzjaniy

Kedua ulama ini menyatakan bahwa Abu Balj tidak tsiqat. Pernyataan Abu Fath Al Azdiy “tidak tsiqat” dinukil oleh Ibnu Jauzi [Ad Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3722]. Sedangkan pernyataan Al Jauzjaniy dapat dilihat dalam kitabnya [Ahwal Ar Rijal no 190]

Pernyataan Abu Fath Al Azdiy tidak bisa dijadikan pegangan karena ia sendiri seorang yang dhaif. Abu Fath Al Azdiy adalah Muhammad bin Husain Abu Fath Al Azdiy , Al Barqaniy mendhaifkannya. Al Khatib berkata “di dalam hadisnya terdapat hal-hal mungkar” [Lisan Al Mizan juz 5 no 464]. Jadi pernyataannya tidak bisa dijadikan pegangan untuk mencacatkan perawi tsiqat.

Abu Ishaq Al Jauzjaniy tidak bisa diandalkan pendapatnya terhadap orang-orang Kufah, sebagaimana hal ini telah dijelaskan Ibnu Hajar

فان الحاذق إذا تأمل ثلب أبي إسحاق الجوزجاني لأهل الكوفة رأى العجب وذلك لشدة انحرافه في النصب وشهرة أهلها بالتشيع فتراه لا يتوقف في جرح من ذكره منهم بلسان ذلقة وعبارة طلقة حتى انه أخذ يلين مثل الأعمش وأبي نعيم وعبيد الله بن موسى وإساطين الحديث واركان الرواية

Maka orang yang jeli jika melihat perkataan Abu Ishaq Al Jauzjaniy kepada peduduk Kufah maka ia akan melihat hal hal yang mengherankan, hal itu karena ia sangat menyimpang dengan kenashibian dan penduduk Kufah terkenal dengan tasyayyu’. Dapat dilihat bahwa ia tidak segan segan mencacatkan orang yang ia sebutkan dari mereka [penduduk Kufah] dengan lisan kasar dan lafaz yang menjatuhkan bahkan ia melemahkan orang seperti A’masyi, Abu Nu’aim, Ubaidillah bin Musa, tokoh tokoh hadis dan pilar pilar periwayatan [Lisan Al Mizan 1/16]

Abu Balj termasuk orang kufah, jadi pencacatan Abu Ishaq Al Jauzjaniy terhadapnya tidak bisa diterima karena hanya berdasarkan dugaan atau kecenderungan nafsu semata. Seolah olah dalam pandangan Al Jauzjaniy setiap penduduk Kufah tercela karena tasyayyu’.

.

.

.

Pandangan Adz Dzahabi Terhadap Abu Balj

Sebagian dari nashibi menukil pendapat Adz Dzahabi bahwa ia melemahkan Abu Balj. Hal ini dapat dimengerti karena Adz Dzahabi termasuk orang yang berpandangan bahwa Abu Balj meriwayatkan hadis hadis mungkar. Hadis hadis tersebut disebutkan Adz Dzahabi dalam biografi Abu Balj [Mizan Al I’tidal juz 4 no 9539]

Adz Dzahabi menyebutkan dua hadis mungkar Abu Balj. Hadis pertama adalah hadis keutamaan Imam Ali tutuplah pintu pintu masjid. Seperti yang telah kami nyatakan sebelumnya, hadis ini tidaklah mungkar kami telah membahas hadis tersebut baik sanad dan matannya.

Hadis kedua adalah perkataan Ibnu Umar yang menurut Adz Dzahabi matannya mungkar yaitu riwayat Al Fasawi dalam Tarikh-nya

الفسوى في تاريخه ، حدثنا بندار ، عن أبى داود ، عن شعبة ، عن أبى بلج ، عن عمرو بن ميمون ، عن عبدالله بن عمرو أنه قال : ليأتين على جهنم زمان تخفق أبوابها ليس فيها أحد . وهذا منكر . قال ثابت البنانى : سألت الحسن عن هذا فأنكره

Al Fasawi dalam Tarikh-nya berkata telah menceritakan kepada kami Bindaar dari Abi Dawud dari Syu’bah dari Abi Balj dari ‘Amru bin Maimun dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwasanya ia berkata akan datang atas Jahannam masa dimana pintu-pintunya dibuka dan tidak ada satupun orang di dalamnya. Hadis ini mungkar. Tsabit Al Banaaniy berkata aku bertanya pada hasan tentang hadis ini maka ia mengingkarinya [Mizan Al I’tidal juz 4 no 9539]

Perkataan Abdullah bin ‘Amru ini diriwayatkan oleh Al Fasawi dalam Ma’rifat Wal Tarikh 2/102 dan Musnad Al Bazzar no 2478 dimana dalam lafaz Al Bazzar terdapat tambahan “yaitu dari golongan orang yang bertauhid”. Hadis ini tidaklah mungkar, maksud perkataan Abdullah bin ‘Amru itu adalah bahwa “tidak ada orang” di dalam neraka itu maksudnya dari golongan orang yang bertauhid.

Pengingkaran Hasan Bashri terhadap hadis ini tidak menjadi hujjah karena ia mengingkari perkataan Abdullah bin ‘Amru tersebut tanpa alasan. Padahal maksud perkataan Abdullah bin ‘Amru adalah akan ada masa dimana tidak ada satupun orang yang bertauhid di dalam neraka. Berikut contoh hadis dimana pengingkaran seorang tabiin tidak menjadi hujjah

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا محمد بن جعفر نا شعبة عن عمرو بن مرة عن أبي حمزة عن زيد بن أرقم قال أول من اسلم مع رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب قال فذكرت ذلك للنخعي فأنكره وقال أول من اسلم أبو بكر مع رسول الله عليه السلام

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Amru bin Murrah dari Abu Hamzah dari Zaid bin Arqam yang berkata ““Orang  yang pertama kali masuk Islam dengan Rasulullah SAW adalah Ali bin Abu Thalib”. Berkata Amru bin Murrah “aku ceritakan hadis itu kepada An Nakha’i [Ibrahim] dan dia mengingkarinya. Ia berkata “orang yang pertama masuk Islam adalah Abu Bakar” [Fadha’il Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 1000]

Pengingkaran An Nakha’i terhadap hadis Zaid bin Arqam itu tidak memiliki nilai hujjah karena Zaid bin Arqam jelas lebih mengetahui siapa yang pertama kali memeluk islam dibanding Ibrahim An Nakaha’i. Maka pengingkaran Al Hasan terhadap perkataan Abdullah bin ‘Amru juga tidak memiliki nilai hujjah karena Abdullah bin ‘Amru sendiri menjelaskan bahwa maksud perkataannya itu adalah orang orang yang bertauhid.

Jadi hadis-hadis yang dituduhkan sebagai hadis mungkar yang diriwayatkan Abu Balj tidak terbukti sebagai hadis mungkar maka Adz Dzahabi telah keliru dalam melemahkan Abu Balj. Seperti yang dinyatakan para ulama mutaqaddimin bahwa Abu Balj seorang yang tsiqat atau shaduq.

.

.

.

Ulama Yang Menshahihkan Hadis Abu Balj

Ulama lain juga menguatkan ta’dil kepada Abu Balj diantaranya Al Iraqi, Al Bushairi dan Ibnu Abdil Barr [selain Tirmidzi dan Ibnu Qaisarani di atas]. Al Iraqi berkata dalam salah satu kitabnya

رواه أحمد والطبرانى من رواية أبى بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس فذكر فضايل لعلى ثم قال وكان أول من أسلم من الناس بعد خديجة  وهذا إسناد جيد وأبو بلج وإن قال البخارى فيه نظر فقد وثقه ابن معين وأبو حاتم والنسائى وابن سعد والدارقطنى

Riwayat Ahmad dan Thabraniy yaitu dari riwayat Abu Balj dari ‘Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas yang menyebutkan keutamaan Ali kemudian berkata “ia adalah orang pertama yang masuk islam setelah khadijah”. Hadis ini sanadnya jayyid dan Abu Balj, Bukhari berkata “fiihi nazhar” dan ditsiqatkan oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Daruquthni [Taqyiid Wal Iidhah hal 84-85]

Pernyataan Al Iraqi “sanadnya jayyid” menunjukkan bahwa di sisinya Abu Balj seorang yang shaduq atau tsiqat. Hal ini perlu diperhatikan walaupun ia mengetahui Bukhari menyatakan “fiihi nazhar” Al Iraqi tetap menguatkan hadis Abu Balj. Al Bushairi dalam kitabnya Ithaf Al Khiyarah telah menyatakan shahih hadis yang didalam sanadnya terdapat Abu Balj. Ia berkata

وعن ابن عباس- رضى الله عنهما أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال لعلي: أنت ولي كل مؤمن بعدي رواه أبو داود الطيالسي بسند صحيح

Dari Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada Ali “engkau pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalku”. Riwayat Abu Dawud Ath Thayalisi dengan sanad yang shahih [Ithaf Al Khiyarah Al Bushairi no 6630]

Hadis Ibnu Abbas ini disebutkan Abu Dawud Ath Thayalisi dengan jalan sanad dari Abu Awanah dari Abu Balj dari ‘Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752]. Penshahihan Al Bushairi menunjukkan bahwa dalam pandangannya Abu Balj seorang yang tsiqat. Begitu pula yang disebutkan Ibnu Abdil Barr

حدثنا عبد الوارث بن سفيان قال حدثنا قاسم بن اصبغ قال حدثنا أحمد بن زهير بن حرب قال حدثنا الحسن بن حماد حدثنا أبو عوانة عن أبى بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال كان على بن أبى طالب أول من آمن من الناس بعد خديجة رضى الله عنهما ال أبو عمر رحمه الله هذا إسناد لا مطعن فيه لأحد لصحته وثقة نقلته

Telah menceritakan kepada kami Abdul Waarits bin Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair bin Harb yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Abu Balj dari ‘Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang beriman setelah Khadijah radiallahu ‘anhuma. Abu Umar [Ibnu Abdil Barr] berkata “sanad ini tidak ada satupun yang mengkritik keshahihannya dan ia dinukil oleh para perawi tsiwat” [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 3/1091]

Pernyataan Ibnu Abdil Barr bahwa sanadnya diriwayatkan para perawi tsiqat menunjukkan bahwa di sisi Ibnu Abdil Barr, Abu Balj adalah seorang yang tsiqat dan hadisnya shahih. Ada lagi syubhat salafy lainnya mereka menuduh Abu Balj seorang syiah atau tasyayyu’. Tuduhan ini cuma asal bunyi semata karena dalam biografi Abu Balj tidak ada ulama mutaqaddimin yang menyatakan bahwa ia seorang syiah. Lain ceritanya jika Abu Balj dituduh syiah oleh nashibi karena ia sering meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait maka tuduhan seperti itu hanya logika sirkuler yang menyesatkan. Seorang perawi dikatakan syiah karena hadisnya tentang keutamaan Ahlul Bait kemudian hadis keutamaan Ahlul Bait itu dilemahkan karena perawi tersebut telah dikatakan syiah.

.

.

Kesimpulan

Abu Balj telah dita’dilkan oleh banyak ulama yaitu Ibnu Ma’in, Daruquthni, Nasa’i, Syu’bah, Yazid bin Harun, Sufyan Ats Tsawriy, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad, At Tirmidzi, Ibnu Qaisraniy, Ibnu Abdil Barr, Al Bushairi, Al Iraqi dan Ibnu Hajar. Sedangkan jarh terhadapnya sudah dibahas dan ternyata tidak beralasan sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk melemahkan Abu Balj. Kesimpulannya Abu Balj seorang yang tsiqat

15 Tanggapan

  1. Kalau demikian sebenarnya musuh (yang akan dihancurkan) dari Wahaby,Salafy/Nashibi adalah Ahlulbait sedangkan Syiah adalah batu loncatan. Akhirnya saya jadi ragu atas keislaman mereka. Pada tahun 8 puluhan saya pernah membaca dalam buku readers waktu mengomentari buku Omar Hasyim TANTANGAN TERHADP VAN KRUIFF. kELUAR. Buku ini karena ada perjuangan dari Theologi Belanda untuk menkristenisasi Umat Islam di Indonesia.
    Reader berbicara: Apabila anda mau hancurkan Islam maka yang harus dihancurkan duluan AHLULBAIT. Karena para Wahaby.Salafy/Nashabi malu srbagai orang Islam, maka Syiah yang menjadi sasaran. Karena Syiah pencinta Ahlulbait. Apakah ini adalah ide merekan atau diperintah oleh majikan mereka atau dibayar oleh pencetus ide ini

  2. @sp

    Saya heran dengan anda. Banyak sekali kitab yang anda baca dan nukil. lagipula secara spesifik pula anda mampu menyebutkan berdasar perawi ketika membahasnya.

    Yg terpikir di kepala saya adalah dua kemungkinan :
    A. Anda hapal kitab2 tersebut atau paling sangat mengerti sehingga dapat mencari perawi2 yg ingin anda nilai jarh Dan ta’dilnya
    B. Atau semua kitab itu dalam bentuk ebook shg memudahkan anda dalam indexing ataupun searching…

    Yg pasti, luar biasa buat anda..

  3. @sp
    Saya juga heran dengan anda. Banyak sekali kitab yang anda nukil tanpa dibaca dengan benar. lagipula secara spesifik pula anda sangat-sangat tidak mampu menyebutkan jarh wa tadil perawi dengan adil ketika membahasnya.

    Yg terpikir di kepala saya adalah dua kemungkinan :
    A. Anda sok mengerti memahami kitab2 tersebut atau paling sok sangat mengerti sehingga dapat mencari perawi2 yg ingin anda nilai jarh Dan ta’dilnya dengan sangat ngawur dan jauh dari kebenaran bahkan anda telah tersesat sangat jauh,
    B. Atau semua kitab itu dalam bentuk ebook shg sulit bagi anda membaca semuanya dan membuat anda ngalir-ngidul membahsanya…

    Yg pasti, luar binasa buat anda..

  4. @salafy
    Setahu saya bukan B

  5. sedikit menambahkan: hanya orang bodoh dan tolol saja yang mempercayai tulisan sampah seperti ini. beginilah nasib katak dalam tempurung yang merindukan bulan. tak bisa ditahan dan dilarang untuk bernyanyi di musin ujan. lebih lucunya lagi yang menulis adalah dirinya sendiri dan yang berkomentar adalah dirinya sendiri, benar2 katak yang haus air hujan di saat hujan sedang banyak turun, bukankah sebuah keanehan bila ada katak yang haus di tengah hujan yang turun?!

  6. @bub
    ya sya stuju sekali di musim hujan seperti ini sangat aneh sekali bila ada katak yang kehausan?! tulisan di atas setelah saya baca, isinya cuma pemutar balikan fakta saja, ingin sekali saya tanggapi tapi tak usalah, karena memperbaiki batu yang sudah jadi patung menjadi batu kembali tentu sangat susah, jadi kita biarkan saja dia jadi patung,kita biarkan saja mereka sesat dengan agama mereka. karena tak ada guna kita halangi mereka dari kesesasatan sebab takdir mereka adalah agama sesat.

  7. @chono
    memang blog ini bukan utk2 orang2 sprt anda,krn kami tau kebencian kalian trhdp ahlulbait sdh membutakan kalian ttg kebenaran,apapun yg disampaikan ke kalian jwbnnya dr kalian hanyalah kedengkian n hasut.
    blog ini utk kami2,agar kami bertambah keyakinan ttg keutamaan ahlul bait.
    klu orang sprt anda masuk diblog ini dgn membawa tulisan n komen2 bodoh tanpa ilmu,maka kami bertambah yakin ttg kesatan kalian,krn membenci ahlul bait

  8. @all
    Saya bawakan suatu cerita yang pernag terjadi. Saya ingat cerita karena ocehan chono.
    Dalam majelis pengajian mereka sedang diajarkan mengaji Alqur’an. Tiba2 masuk seseorang dengan pakaian compang caping mencaci maki orang dalam majelis sambil berkata nyanyian apa yang kamu nyanyikan begitu jelek. Begitu cara orang yang tidak mengerti berbicara. Waalam

  9. @semua

    Bagi pembaca yang tidak sependapat dengan SP:
    “Sampaikanlah hujjah Anda dengan membawa dasar. Bila Anda hanya mencela, mencaci, dan menghujat SP tanpa membawakan rujukan yang valid, maka tuduhan Anda hanyalah sebatas tuduhan yang tidak berdasar.

    Komentar tambahan:
    Dalam jarh dan ta’dil pun sangat mungkin dipengaruhi oleh subyektivitas ulama yang memberikan penilaian.

    Salam,

    Abu Yusuf

  10. Pembahasanya jeles, mudah dipahami.

  11. @SK
    Menurut anda pembahasan jelas mudah dipahami walaupun dia seorang AWAM.
    Halau belum ada juga yang memahami, kita namakan apa orang2 tsb?

  12. Sungguh mngkagumkan penjelasan SP.. blog y mnjadi kegemarah di tempat saya.. pnjelasannya logik dan dalil yang jelas.. senang untuk disebarkan

  13. masih eksis y mas bro…he he..

  14. @ sp

    saya ingin tanya pada abad keberapa muncul buku2/kitab2 jarh wa ta’dil. saat dinasti./kerajaan siapa kitab2 itu mucul.

    Dan knp Kitab shohih bukhori paling nyinyir dlm hal berkaitan dengan keutamaan ahlul bait as. apalah karena kenyinyirannya ini maka dihadiahi kitab sohih atau ada maksud tertentu sehingga di bungkus dagangan shohih…pls share,,

  15. […] Di sisi kami, Abu Balj adalah perawi yang tsiqat. Kami telah membuat tulisan khusus yang membahas secara rinci jarh dan ta’dil terhadap Abu Balj. Silakan merujuk ke tulisan disini. […]

Tinggalkan komentar