Bolehkah Menabuh Alat Musik Duff Selain Pada Saat Pernikahan?

Bolehkah Menabuh Alat Musik Duff Selain Pada Saat Pernikahan?

Tulisan ini masih merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya berkenaan dengan hukum nyanyian dan musik dalam Islam. Terdapat sebagian ulama yang mengharamkan memainkan duff atau alat musik lainnya kecuali dalam situasi khusus yaitu pernikahan dan hari raya Id. Sebagian ulama lain menyelisihi mereka dan menyatakan bahwa memainkan duff walaupun bukan pada saat pernikahan dan hari raya Id adalah perkara yang mubah.

.

.

Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan kekeliruan pendapat ulama yang mengharamkan duff kecuali pada saat pernikahan. Hadis yang menjadi hujjah pemutus dalam masalah ini adalah hadis berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو تميلة يحيى بن واضح أنا حسين بن واقد حدثني عبد الله بن بريدة عن أبيه قال رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم من بعض مغازيه فجاءت جارية سوداء فقالت يا رسول الله انى كنت نذرت ان ردك الله تعالى سالما ان أضرب على رأسك بالدف فقال ان كنت نذرت فافعلي وإلا فلا قالت انى كنت نذرت قال فقعد رسول الله صلى الله عليه و سلم فضربت بالدف

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Tamiilah Yahya bin Waadhih yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waaqid yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah [shallallhu ‘alaihi wasallam] kembali dari perperangannya maka budak wanita hitam datang kepadanya dan berkata “wahai Rasulullah, aku telah bernazar jika Allah ta’ala mengembalikanmu dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh duff di hadapanmu”. Beliau berkata “jika engkau telah bernadzar maka lakukanlah tetapi jika tidak maka jangan kau lakukan”. Ia berkata “aku telah bernadzar”. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk dan ia menabuh duff [Musnad Ahmad 5/356 no 23601, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]

Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal di atas sanadnya jayyid, para perawinya tsiqat dan shaduq. Berikut keterangan tentangnya

  1. Yahya bin Wadhih Al Anshariy Abu Tamiilah seorang yang tsiqat termasuk dalam thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 2/317]
  2. Husain bin Waqid Al Marwadziy seorang yang tsiqat memiliki beberapa kesalahan, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 1/220]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqriib At Tahdziib bahwa ia seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqriib At Tahdziib no 1358]
  3. ‘Abdullah bin Buraidah Al Aslamiy seorang yang tsiqat termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/480]

.

.

.

Hadis Ahmad bin Hanbal di atas adalah hujjah kuat dibolehkannya menabuh duff bukan pada saat pernikahan dan perbuatan menabuh duff tersebut bukan termasuk perbuatan yang haram. Dasarnya adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan budak wanita hitam tersebut untuk memenuhi nadzarnya menabuh duff. Dan disebutkan dalam hadis shahih bahwa tidak ada nadzar dalam perbuatan maksiat atau yang diharamkan.

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik dari Thalhah bin ‘Abdul Malik dari Al Qaasim dari Aisyah [radiallahu ‘anha] dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “barang siapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah maka hendaklah mentaati-Nya dan barang siapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah bermaksiat kepada-Nya [Shahih Bukhariy 8/142 no 6696]

حدثنا داود بن رشيد ثنا شعيب بن إسحاق عن الأوزاعي عن يحيى بن أبي كثير قال حدثني أبو قلابة قال حدثني ثابت بن الضحاك قال نذر رجل على عهد النبي صلى الله عليه و سلم أن ينحر إبلا ببوانة فأتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال إني نذرت أن أنحر إبلا ببوانة فقال النبي صلى الله عليه و سلم هل كان فيها وثن من أوثان الجاهلية يعبد ؟ ” قالوا لا قال ” هل كان فيها عيد من أعيادهم ؟ ” قالوا لا قال النبي صلى الله عليه و سلم ” أوف بنذرك ” فإنه لا وفاء لنذر في معصية الله ولا فيما لا يملك ابن آدم

Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Rasyiid yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Ishaaq dari Al ‘Awza’iy dari Yahya bin Abi Katsiir yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Qilaabah yang berkata telah menceritakan kepadaku Tsabit bin Dhahhaak yang berkata seorang laki-laki bernadzar pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]  untuk menyembelih unta di Buwaanah, maka ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih unta di buwaanah. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasalam] berkata “apakah disana terdapat berhala dari berhala-berhala jahiliah yang disembah?” mereka berkata “tidak”. Beliau berkata “apakah disana terdapat hari raya dari hari raya hari raya mereka?”. Mereka berkata “tidak”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “penuhilah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar dalam perkara maksiat kepada Allah dan tidak pula atas perkara yang tidak dimiliki anak Adam” [Sunan Abu Dawud 5/200-201 no 3313 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Muhammad Kaamil, pentahqiq berkata “sanadnya shahih”]

Hadis Abu Dawud di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berikut keterangan tentang mereka

  1. Dawud bin Rasyiid Al Haasyimiy seorang yang tsiqat termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/279]
  2. Syu’aib bin Ishaaq bin ‘Abdurrahman Al Bashriy seorang yang tsiqat dituduh dengan paham irja’, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 1/418]
  3. ‘Abdurrahman bin ‘Amru Al Awza’iy seorang yang faqiih tsiqat jaliil, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 1/584]
  4. Yahya bin Abi Katsiir Ath Tha’iy seorang yang tsiqat tsabit pernah melakukan tadlis dan irsal, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 2/313].
  5. Abdullah bin Zaid Abu Qilaabah Al Bashriy seorang yang tsiqat fadhl banyak melakukan irsal, termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/494]

Kedua hadis shahih di atas yaitu riwayat Bukhariy dan Abu Dawud menunjukkan bahwa tidak dibolehkan memenuhi nadzar atas perkara maksiat kepada Allah SWT. Melakukan suatu perkara yang diharamkan Allah SWT adalah perkara maksiat maka jika memang menabuh duff tersebut diharamkan sudah pasti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak akan mengizinkan budak wanita hitam tersebut melakukannya.

Jadi hukum asal menabuh duff adalah mubah sehingga ketika budak tersebut bernadzar menabuh duff di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan budak wanita hitam tersebut untuk memenuhi nadzarnya.

.

.

.

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 222 menyatakan bahwa hadis Buraidah Al Aslamiy tersebut merupakan hujjah kuat bolehnya alat musik dan nyanyian selain pada pernikahan. Syaikh juga berdalil dengan hadis larangan memenuhi nazar dalam bermaksiat kepada Allah. Apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ tersebut benar dan sesuai dengan pembahasan di atas.

Kemudian muncullah bantahan ajaib dan mengherankan dari Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa kepada Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 481-486. Kami akan menunjukkan betapa aneh dan lucunya bantahan tersebut.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengatakan justru hadis Buraidah Al Aslamiy menunjukkan keharaman menabuh duff, yaitu pada lafaz

فقال ان كنت نذرت فافعلي وإلا فلا

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “jika engkau telah bernadzar maka lakukanlah tetapi jika tidak maka jangan kau lakukan”.

Menurut Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa, lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah larangan yaitu jika budak wanita hitam itu tidak bernadzar maka jangan melakukannya. Syaikh kemudian berhujjah dengan kaidah bahwa dalam ilmu ushul fiqih larangan merupakan dalil akan keharamannya.

Hujjah Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru bahkan sangat jelas bathil. Larangan memang bisa menunjukkan keharaman, itu perkara yang benar tetapi ada juga larangan terhadap sesuatu yang ternyata tidak menunjukkan keharaman perbuatan tersebut.

Contoh yang sederhana adalah seorang yang wara’ dan zuhud biasanya akan melarang dirinya sendiri dari perkara-perkara mubah [yang biasa dilakukan orang awam] yang menurutnya tidak layak ia lakukan atau ia anggap akan melalaikan dirinya dari mengingat Allah SWT. Tetapi larangan ini tentu tidak bisa dianggap bahwa ia mengharamkan perkara-perkara mubah tersebut.

Kami tidak akan menjadikan contoh sederhana tersebut sebagai hujjah bagi orang-orang yang akalnya sudah tertutupi dengan kebathilan dan fanatisme golongan. Cukup akan kami tunjukkan hadis shahih dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang suatu perkara tetapi perkara tersebut ternyata tidak haram hukumnya.

.

.

.

Hadis Pertama

حدثنا نصر بن علي أنا أبو أحمد يعني الزبيري أخبرنا إسرائيل عن أبي العنبس عن الأغر عن أبي هريرة أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن المباشرة للصائم فرخص له وأتاه آخر فسأله فنهاه فإذا الذي رخص له شيخ والذي نهاه شاب

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad yaitu Az Zubairiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Isra’iil dari Abul ‘Anbas dari Al ‘Aghar dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya tentang bercumbu pada saat berpuasa, maka Beliau memberikan rukhshah kepadanya, dan datang orang lain menanyakan hal itu kepada Beliau maka Beliau melarangnya. Ternyata orang yang Beliau berikan rukhshah adalah orang yang sudah tua dan yang Beliau larang adalah orang yang masih muda [Sunan Abu Dawud 4/62 tahqiq Syaikh Al Arnauth dan Muhammad Kamil no 2387, pentahqiq berkata “sanadnya shahih”]

Dalam tulisan sebelumnya telah kami tunjukkan bahwa hadis Abu Dawud di atas sanadnya shahih para perawinya tsiqat. Apakah larangan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap pemuda tersebut menunjukkan bahwa hukum bercumbu pada saat berpuasa itu haram [atau membatalkan puasanya]?. Tentu saja tidak, banyak hadis yang menunjukkan bolehnya bercumbu [termasuk mencium] istri saat berpuasa dan itu tidak membatalkan puasanya. Yang diharamkan [karena dapat membatalkan puasa] adalah jima’ [bersetubuh]

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb yang berkata dari Syu’bah dari Al Hakam dari Ibrahim dari Al Aswad dari ‘Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mencium dan bercumbu sedang Beliau dalam keadaan berpuasa, dan Beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya diantara kalian [Shahih Bukhariy 3/30 no 1927]

عبد الرزاق عن معمر عن أيوب عن أبي قلابة عن مسروق قال سألت عائشة ما يحل للرجل من امرأته صائما قالت كل شيء إلا الجماع

‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Ayuub dari Abi Qilaabah dari Masruuq yang berkata aku bertanya kepada Aisyah “apa yang halal dari seorang laki-laki terhadap istrinya saat berpuasa”. Aisyah berkata “segala sesuatu kecuali jima’ [bersetubuh]” [Mushannaf ‘Abdurrazaaq 4/190 no 7439]

Atsar Aisyah di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan merupakan penjelasan yang menguatkan dalil dibolehkannya bercumbu saat berpuasa

  1. ‘Abdurrazaaq bin Hammaam seorang tsiqat hafizh penulis terkenal, buta di akhir usianya sehingga hafalannya berubah, ia bertasyayyu’ termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 1/599]
  2. Ma’mar bin Rasyiid Al ‘Azdiy seorang tsiqat tsabit fadhl kecuali riwayatnya dari Tsabit, A’masyiy dan Hisyam bin Urwah, begitu pula hadisnya di Bashrah, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/202].
  3. Ayuub bin Abi Tamiimah Al Bashriy seorang tsiqat tsabit hujjah termasuk ulama fuqaha besar dan ahli ibadah, dari thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/116]
  4. Abdullah bin Zaid Abu Qilaabah Al Bashriy seorang yang tsiqat fadhl banyak melakukan irsal, termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/494]
  5. Masruuq bin Al ‘Ajdaa’ Al Hamdaniy seorang tsiqat faqiih ahli ibadah, mukhadhdhramun, termasuk thabaqat kedua [Taqriib At Tahdziib 2/175].

Zhahir sanad atsar Aisyah di atas shahih, hanya saja mengandung sedikit illat [cacat] yaitu Ma’mar dalam hadisnya di Bashrah terdapat beberapa kekeliruan dan Ayub bin Abi Tamiimah adalah orang Bashrah. Tetapi riwayat Ma’mar dari Ayub telah dikeluarkan oleh Bukhariy dan Muslim dalam kitab Shahih mereka. Riwayat ‘Abdurrazaaq di atas dikuatkan oleh riwayat Ath Thahawiy berikut

حدثنا ربيع المؤذن قال ثنا شعيب قال ثنا الليث عن بكير بن عبد الله بن الأشج عن أبى مرة مولى عقيل عن حكيم بن عقال أنه قال سألت عائشة رضي الله عنها ما يحرم على من امرأتي وأنا صائم قالت فرجها

Telah menceritakan kepada kami Rabii’ Al Mu’adzin yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Bukair bin ‘Abdullah Al ‘Asyja dari Abi Murrah maula ‘Aqiil dari Hakiim bin ‘Iqaal bahwasanya ia bertanya kepada Aisyah [radiallahu ‘anha] “apa yang haram bagiku atas istriku ketika aku berpuasa?”. Beliau menjawab “kemaluannya” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 2/95 no 3400]

Riwayat Ath Thahawiy di atas memiliki sanad yang shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan tentang mereka

  1. Rabii’ bin Sulaiman Al Muraadiy seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kesebelas [Taqriib At Tahdziib 1/294].
  2. Syu’aib bin Laits bin Sa’d seorang yang tsiqat nabiil faqiih termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/420]
  3. Laits bin Sa’d Al Mishriy seorang yang tsiqat tsabit faqiih imam masyhur termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/48]
  4. Bukair bin ‘Abdullah Al ‘Asyja seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/137]
  5. Yaziid Abu Murrah maula ‘Aqiil seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 2/335]
  6. Hakiim bin ‘Iqaal seorang tabiin yang tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat Al Ijliy hal 317 no 348]

.

.

Hadis Kedua

حدثنا أحمد بن حنبل ثنا عبد الرحمن بن مهدي عن سفيان عن عبد الرحمن بن عابس عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال حدثني رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن الحجامة والمواصلة ولم يحرمهما إبقاء على أصحابه فقيل له يارسول الله إنك تواصل إلى السحر فقال ” إني أواصل إلى السحر وربي يطعمني ويسقيني

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdiy dari Sufyaan dari ‘Abdurrahman bin ‘Aabis dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila yang berkata telah menceritakan kepadaku seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang berbekam dan puasa wishal tidak mengharamkan keduanya sebagai belas kasih kepada para sahabatnya. Dikatakan pada Beliau “wahai Rasulullah, sesuangguhnya anda melakukan puasa wishal hingga sahur”. Beliau menjawab “aku melakukan wishal hingga sahur dan Rabb-Ku memberiku makan dan minum” [Sunan Abu Dawud 4/52 no 2374, tahqiq Syaikh Al Arnauth dan Muhammad Kaamil, pentahqiq berkata “sanadnya shahih”]

Hadis riwayat Abdu Dawud di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya.

  1. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam tsiqat faqiih hafizh hujjah dan ia pemimpin thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/44]
  2. ‘Abdurrahman bin Mahdiy Al ‘Anbariy seorang tsiqat tsabit hafiiz, ‘arif dalam Rijal dan Hadis, Ibnu Madiiniy berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih alim darinya”, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 1/592]
  3. Sufyaan bin Sa’iid Ats Tsawriy seorang tsiqat hafiiz faqiih ahli ibadah imam hujjah termasuk pemimpin thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 1/371]
  4. ‘Abdurrahman bin ‘Aabis An Nakha’iy seorang yang tsiqat termasuk thabaqat keempat [Taqriib At Tahdziib 1/576]
  5. ‘Abdurrahman bin Abi Laila Al Anshariy seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kedua [Taqriib At Tahdziib 1/588]

Hadis Abu Dawud di atas adalah sebaik-baik hujjah untuk membantah syubhat Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa. Lafaz hadis Abu Dawud tersebut dengan jelas telah menunjukkan bahwa ada larangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang tidak bersifat mengharamkan.

.

.

Hadis Ketiga

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا غندر عن شعبة ح وحدثنا محمد بن المثنى وابن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن منصور عن عبدالله بن مرة عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه نهى عن النذر وقال إنه لا يأتي بخير وإنما يستخرج من البخيل

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyaar [lafaz ini milik Ibnu Mutsanna] telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Manshuur dari ‘Abdullah bin Murrah dari Ibnu ‘Umar dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwasanya Beliau melarang nadzar dan berkata “sesungguhnya itu tidak mendatangkan kebaikan, dan itu hanya dikeluarkan oleh orang yang bakhiil” [Shahih Muslim 3/1260 no 1639]

Hadis shahih di atas dengan jelas menyatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melarang nadzar. Maka apakah itu menunjukkan bahwa hukum nadzar diharamkan?. Tentu saja tidak banyak dalil shahih mengenai bolehnya melakukan nadzar seperti yang sudah ditunjukkan diatas hadis shahih bahwa barang siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah SWT maka hendaklah ia menunaikannya.

.

.

Hadis Keempat

وحدثني أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا كثير بن هشام عن هشام الدستوائي عن أبي الزبير عن جابر قال نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن أكل البصل والكراث فغلبتنا الحاجة فأكلنا منها فقال من أكل من هذه الشجرة المنتنة فلا يقربن مسجدنا فإن الملائكة تأذى مما يتأذى منه الإنس

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Hisyaam dari Hisyaam Ad Dustuwaa’iy dari Abu Zubair dari Jabir yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang memakan bawang merah dan bawang bakung, maka kami mendapat keperluan yang menyebabkan kami memakannya. Beliau berkata “barang siapa yang memakan tumbuhan yang berbau busuk ini maka janganlah mendekati masjid kami karena malaikat terganggu sebagaimana manusia terganggu dengannya” [Shahih Muslim 1/394 no 563]

حدثنا محمد بن المثنى وابن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد ابن جعفر حدثنا شعبة عن سماك بن حرب عن جابر بن سمرة عن أبي أيوب الأنصاري قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا أتي بطعام أكل منه وبعث بفضله إلي وإنه بعث إلي يوما بفضلة لم يأكل منها لأن فيها ثوما فسألته أحرام هو ؟ قال ( لا ولكني أكرهه من أجل ريحه ) قال فإني أكره ما كرهت

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyaar [dan ini lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Simmaak bin Harb dari Jaabir bin Samurah dari Abu Ayyuub Al Anshariy yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] apabila diberi makanan maka Beliau memakannya dan memberikan kelebihan sisanya. Dan suatu ketika Beliau memberikan kepadaku tanpa Beliau memakannya karena di dalamnya terdapat bawang putih. Maka aku bertanya kepada Beliau “apakah itu diharamkan?”. Beliau berkata “tidak, akan tetapi aku membencinya karena baunya”. [Abu Ayyuub] berkata “maka aku membenci apa yang engkau benci” [Shahih Muslim 3/1623 no 2053]

Hadis shahih di atas menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang memakan bawang dan membencinya tetapi Beliau menyatakan bahwa makanan itu tidak haram. Hal ini membuktikan bahwa tidak setiap yang dilarang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berstatus haram hukumnya.

.

.

.

Jika telah diketahui ada larangan yang bersifat mengharamkan dan ada larangan yang tidak bersifat mengharamkan. Maka masuk dalam kategori manakah larangan dalam hadis Buraidah Al Aslamiy tentang menabuh duff [jika ia tidak bernadzar]?.

Jawabannya sudah jelas, larangan tersebut tidak bersifat mengharamkan karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] malah mengizinkan budak wanita hitam itu melakukannya untuk memenuhi nadzarnya. Adalah sesuatu yang mustahil jika perkara yang diharamkan menjadi dibolehkan hanya karena orang tersebut telah bernadzar. Justru nadzar tersebut sudah bathil dengan sendirinya karena nadzar dengan melakukan perkara yang diharamkan adalah maksiat kepada Allah SWT dan  hadis shahih telah melarangnya.

Kalau begitu mengapa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan jika budak tersebut tidak bernadzar maka jangan melakukannya?. Jawabannya tidak ada yang pasti [karena tidak ada dalil yang menyebutkan alasan pastinya] semuanya bersifat kemungkinan. Bisa saja kemungkinan alasannya adalah

  1. Karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan orang yang menyukai hal-hal seperti itu. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah orang yang paling wara’ dan zuhud
  2. Karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] baru pulang dari perperangan dan merasa lelah sehingga lebih menginginkan istirahat dari pada mendengar tabuhan duff
  3. Karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memiliki keperluan lain yang lebih mendesak sehingga pada saat itu Beliau merasa bukan saat yang tepat untuk mendengar tabuhan duff

Kami tidak akan memastikan apa alasannya tetapi dalil shahih telah jelas menyatakan bahwa larangan itu tidak bersifat mengharamkan maka dari itu pasti ada alasan khusus yang mendasarinya. Dan apapun alasan itu di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah dikalahkan oleh kewajiban memenuhi nadzar, oleh karena itu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan budak wanita hitam tersebut menabuh duff.

.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa menyebutkan syubhat kedua bahwa nadzar budak wanita hitam menabuh duff tersebut adalah khusus untuk Nabi saja sebagaimana lafaz

فقالت يا رسول الله انى كنت نذرت ان ردك الله تعالى سالما ان أضرب على رأسك بالدف

Budak wanita hitam itu berkata “wahai Rasulullah, aku telah bernazar jika Allah ta’ala mengembalikanmu dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh duff di hadapanmu”

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga mengutip penjelasan dari Syaikh Al Albaniy mengenai hadis Buraidah tersebut

والذي يبدو لي في ذلك أن نذرها لما كان فرحا منها بقدومه عليه السلام صالحا منتصرا ، اغتفر لها السبب الذي نذرته لإظهار فرحها ، خصوصية له صلى الله عليه وسلم دون الناس جميعا ، فلا يؤخذ منه جواز الدف في الأفراح كلها ، لأنه ليس هناك من يُفرح به كالفرح به صلى الله عليه وسلم

Dan nampak bagiku tentang hal itu adalah bahwa nadzar-nya [budak wanita hitam tersebut] disebabkan kegembiraan karena kedatangan Beliau [shallallaahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan selamat, sehat, dan menang. Beliau memaafkannya atas penyebab nadzarnya untuk meluapkan kegembiraannya. Hal ini adalah kekhususan bagi Beliau [shallallaahu ‘alaihi wasallam], bukan untuk seluruh manusia. Maka tidak boleh dijadikan dalil kebolehan memukul duff pada setiap kegembiraan. Hal ini karena tidak ada yang lebih menggembirakan seperti kegembiraan atas datangnya Beliau [shallallaahu ’alaihi wasallam] [Silsilah Al ‘Ahaadiits Ash Shahiihah 4/142 no 1609]

Syubhat ini tidak ada nilai hujjahnya sedikitpun. Apakah karena nadzar tersebut khusus untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka hal itu bisa membolehkan perkara yang haram?. Mari kita berandai-andai, Bagaimana kalau ada sahabat yang bernadzar akan meminum khamar di hadapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jika Beliau pulang dengan selamat dari perperangan. Apakah karena pengkhususan sebab kegembiraan karena keselamatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau pengkhususan melakukannya di hadapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka meminum khamar itu akan menjadi perkara yang dibolehkan. Tentu ini hanya andai-andai tetapi pengandaian ini akan membantu siapapun yang akalnya masih baik akan berhati-hati menisbatkan pembolehan sesuatu yang haram secara khusus karena sebab Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Bagaimana mungkin dikatakan saking gembiranya atas keselamatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dibolehkan melakukan perkara yang haram atau diberikan udzur untuk melakukan hal yang diharamkan. Dalam syariat islam tidak ada perasaan baik kegembiraan dan kesedihan yang menjadi uzur untuk membolehkan perkara yang haram. Bukankah ketika kematian putra Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] Ibrahim, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sangat bersedih tetapi Beliau tetap menjaga diri dari hal-hal yang melanggar syari’at

فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata, “Sungguh kedua mata telah berlinang air mata, hati telah bersedih, hanya saja kami tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kami. Dan sesungguhnya kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim” [Shahih Bukhariy 2/83 no 1303]

Sebenarnya tidak ada hujjah mengenai pengkhususan dalam kasus ini. Kalau memang hukum asal menabuh duff itu haram dan menabuh duff tersebut memang terjadi di hadapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sebagian orang yang berada atau tinggal di dekat tempat tabuhan duff juga akan mendengar suara tabuhan duff tersebut. Jadi baik sedikit ataupun banyak akan ada orang-orang yang mendengar suara tabuhan duff tersebut. Membolehkan budak wanita tersebut menabuh duff tidak hanya membolehkan wanita tersebut melakukan yang haram tetapi juga membolehkan orang-orang lain untuk melakukan hal yang haram pula yaitu mendengar suara tabuhan duff. Apakah hal ini tidak terpikirkan oleh Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa dan para pengikutnya [dalam masalah ini]?.

Ataukah ada yang ingin mengatakan bahwa budak wanita hitam tersebut punya kemampuan ketika menabuh duff maka suaranya tidak akan menyebar kemana-mana hanya ke telinga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Atau ketika budak wanita hitam tersebut menabuh duff, semua orang di sekitarnya mendadak tuli selain Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Atau ketika budak wanita hitam tersebut menabuh duff maka area batas terdengarnya suara duff telah dikosongkan oleh orang-orang selain Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Daripada repot-repot membolehkan budak wanita hitam tersebut melakukan yang haram bukankah lebih baik menasehati budak wanita hitam tersebut bahwa nadzar yang ia lakukan tersebut bathil dan tidak boleh dilakukan [alias gugur dengan sendirinya].

Makin dipikirkan maka syubhat pengkhususan ini malah semakin aneh dan semakin batil. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal dalam menjelaskan kisah ini adalah karena menabuh duff itu sendiri adalah perkara yang mubah atau tidak diharamkan sedangkan menunaikan nadzar itu hukumnya wajib.

.

.

Hal aneh lain dari Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa adalah Beliau justru menganggap bathil cara berdalil Syaikh Al Judai’ yang berhujjah dengan hadis larangan bernadzar atas perkara maksiat. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa membawakan contoh hukum-hukum pengecualian seperti

  1. Meminum khamar dan bangkai saat sekarat karena kehausan dan kelaparan dan tidak ditemukan apa-apa yang bisa diminum dan dimakan selain khamar dan bangkai tersebut.
  2. Memakai sutra yang dibolehkan pada laki-laki karena penyakit tertentu pada kulitnya.

Menurut Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa, pengecualian dan pengkhususan seperti ini tidaklah dikatakan maksiat. Begitu pula tindakan menabuh duff tersebut bukanlah maksiat karena merupakan kasus pengecualian atau pengkhususan.

Justru bantahan inilah yang bathil, contoh-contoh yang disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa adalah kasus yang sifatnya darurat dimana sang pelaku akan mengalami mudharat jika tidak melakukannya dengan kata lain tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang pelaku untuk menghilangkan kemudharatan itu kecuali dengan melakukan perkara haram tersebut. Pengecualian dan pengkhususan seperti ini jelas bukan maksiat bahkan itulah syariat yang sudah Allah SWT tetapkan.

Dimana letak kesamaannya kasus-kasus tersebut dengan kasus budak wanita hitam dan tabuhan duff-nya?. Situasi darurat apa yang ia alami?. Kalau memang menabuh duff haram, itu berarti sudah dari awal budak wanita hitam tersebut berniat melakukan perkara yang haram [sesuai dengan nadzar-nya] dan setelah ia mengadu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Beliau tidak mengingkari nadzar wanita itu malah memerintahkan wanita itu untuk memenuhi nadzarnya. Tidak ada unsur keterpaksaan pada diri budak wanita tersebut. Tidak ada pula unsur mudharat yang akan menimpanya disini. Jadi alangkah bathilnya bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut dan bertambah besar kebathilannya ketika ia malah mengatakan penjelasan Syaikh Al Judai’ [yang sudah benar] sebagai hal yang bathil.

.

.

Kesimpulannya adalah jika memang hukum asal menabuh duff haram maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentu tidak akan mengizinkan untuk memenuhi nadzar tersebut. Dalil shahih telah menunjukkan bahwa tidak boleh memenuhi nadzar untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Apalagi jika penyebab nadzar tersebut adalah kegembiraan atas keselamatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sebab seperti ini lebih tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan perkara yang diharamkan.

2 Tanggapan

  1. Penjelasan yang mantap dari Bung SP.

  2. dalam hal ini saya sepakat

Tinggalkan komentar