Shahih Hadis Ath Thayr : Membantah Syubhat Nashibi

Membantah Syubhat Nashibi Terhadap Hadis Ath Thayr

Hadis Ath Thayr adalah hadis keutamaan Imam Aliy yang sangat besar dimana hadis tersebut menyatakan bahwa Imam Aliy adalah manusia yang paling dicintai Allah SWT diantara para sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bisa dimaklumi bahwa hadis Ath Thayr ini menimbulkan kedongkolan yang besar di hati para nashibi. Sehingga bermunculan “orang-orang jahil” yang menyebarkan syubhat mencari-cari celah untuk melemahkan hadis ini. Tulisan ini akan membuktikan keshahihan hadis Ath Thayr dengan membawakan jalan sanad yang jayyid, bisa dijadikan mutaba’ah dan syawahid sekaligus membantah syubhat para nashibi.

أخبرنا أبو غالب بن البنا أنا أبو الحسين بن الابنوسي أنا أبو الحسن الدار قطني نا محمد بن مخلد بن حفص نا حاتم بن الليث نا عبيد الله بن موسى عن عيسى بن عمر القارئ عن السدي نا أنس بن مالك قال أهدي إلى رسول الله ( صلى الله عليه و سلم ) أطيار فقسمها وترك طيرا فقال اللهم ائتني بأحب خلقك إليك يأكل معي من هذا الطير فجاء علي بن أبي طالب فدخل يأكل معه من ذلك الطير

Telah menceritakan kepada kami Abu Ghalib bin Al Banaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain bin Al ‘Abnuusiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Daruquthniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Hatim bin Laits yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Muusa dari ‘Iisa bin ‘Umar Al Qaariy dari As Suudiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik yang berkata dihadiahkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] suatu hidangan maka Beliau membaginya dan menyisakan daging burung. Beliau bersabda “Ya Allah datangkanlah kepadaku makhlukmu yang paling engkau cintai agar dapat makan daging burung ini bersamaku”. Maka datanglah Ali bin Abi Thalib, ia masuk dan makan daging burung itu bersama Beliau. [Tarikh Ibnu Asakir 42/254]

.

.

.

Matan Mungkar Ala Nashibi

Sebelum membahas sanad hadis di atas, maka ada baiknya para pembaca melihat komentar para nashibi yang menunjukkan betapa lemahnya akal mereka. Mereka mengatakan bahwa hadis ini mungkar dengan alasan matannya menunjukkan bahwa Makhluk yang paling dicintai Allah SWT adalah Aliy bin Abi Thalib. Ini jelas dusta atas nama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena makhluk yang paling dicintai Allah SWT adalah Nabi Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam hadis tersebut juga tidak ada pernyataan makhluk yang paling dicintai oleh Allah setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Alasan “matan mungkar” ala nashibi jelas konyol dan mengada-ada. Hanya dilontarkan oleh mereka yang dengki dengan hadis tersebut. Mari kita perhatikan sabda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berikut

اللهم ائتني بأحب خلقك إليك يأكل معي من هذا الطير

Ya Allah, datangkanlah kepadaku makhlukMu yang paling Engkau cintai untuk makan daging burung ini bersamaku

Perhatikan frase yang kami cetak tebal, frase itu jelas mengeluarkan Nabi dari lingkup yang dimaksud. Jadi maksud makhluk yang paling dicintai Allah SWT itu jelas orang yang hidup pada saat itu selain Nabi Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika seseorang berkata “datangkanlah kepadaku” atau “makanlah bersamaku” maka hal itu dimaksudkan untuk orang lain selain dirinya. Ini kaidah bahasa yang sederhana tetapi tidak dimengerti oleh para nashibi. Puji syukur kepada Allah SWT yang menunjukkan betapa lemah dan dangkalnya akal para nashibi tersebut.

.

.

.

Syubhat Sanad Ala Nashibi

Hadis dengan sanad di atas diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan para perawinya tsiqat. Penjelasan tentang para perawinya dapat dilihat dalam tulisan disini. Nashibi yang sok berlagak ulama melemahkan riwayat di atas dengan menyebarkan syubhat sebagai berikut.

Ubaidillah bin Musa walaupun perawi tsiqat, ia adalah seorang syiah maka hadisnya disini tidak bisa diterima karena menguatkan aqidahnya. Jawabannya mudah sekali, Hadis Ath Thayr tidak bicara soal akidah syiah tetapi berbicara tentang keutamaan Imam Ali. Lain ceritanya jika nashibi beranggapan bahwa keutamaan Imam Ali hanya milik orang Syiah. Disini nashibi menunjukkan kemunafikan mereka. Jika setiap keutamaan Imam Ali dinyatakan sebagai Syiah maka hampir semua orang islam adalah Syiah.

Satu hal lagi tidak ada bukti bahwa Ubaidillah bin Musa adalah Syiah dalam arti penganut Syiah Rafidhah. Hal ini perlu ditelusuri karena tuduhan Syiah terhadap sebagian perawi bisa jadi adalah tasyayyu’ yang artinya lebih mengutamakan Imam Ali dibanding para sahabat lain. Dalam pengertian ini maka sangat wajar kalau Ubaidillah bin Musa bertasyayyu’ karena ia sendiri meriwayatkan hadis yang menunjukkan keutamaan Imam Ali diatas para sahabat yang lain. Meyakini hadis shahih yang ia dapatkan adalah hal yang benar. Jadi tidak ada alasan menolak hadis diatas dengan tuduhan Ubaidillah bin Musa bertasyayyu’. Argumen seperti itu hanya menunjukkan logika sirkuler yang menyesatkan.

Syubhat lain adalah mereka berusaha membuat keraguan tentang kredibilitas As Suddiy. Nashibi mengatakan bahwa terdapat perbincangan yang banyak tentang As Suddiy. Ibnu Ma’in melemahkannya. Abu Hatim berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Laits mendustakannya. Abdurrahman bin Mahdiy menyatakan dhaif. Al Azdiy berkata “matruk”. Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata shaduq terkadang keliru dan dituduh bertasyayyu’. Adz Dzahabiy memasukkannya dalam Al Mughni Adh Dhu’afa.

Memang benar bahwa terdapat perbincangan terhadap Isma’il bin ‘Abdurrahman atau As Suddiy. Sebagian ulama menta’dilkannya dan sebagian menjarh-nya. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia tsiqat. [Aqwaal Ahmad no 167]. Syu’bah, Sufyan, Za’idah dan Yahya Al Qaththan menyatakan tsiqat [Sunan Tirmidzi no 3721]. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Adiy berkata “hadisnya lurus, shaduq tidak ada masalah padanya”. Al Ijliy berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 572].

Terdapat perselisihan soal pendapat ‘Abdurrahman bin Mahdiy, memang ternukil riwayat yang menyatakan dhaif tetapi ternukil pula riwayat dari Ahmad bin Hanbal bahwa Ibnu Mahdiy pernah sangat marah kepada Ibnu Ma’in karena melemahkan Ibrahim bin Muhajir dan As Suddiy [Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 167].

La’its menuduh As Suddiy dusta tetapi hal ini tidak bisa dijadikan pegangan karena La’its bin Abi Sulaim sendiri adalah seorang yang dhaif. Jarh Al Azdiy yang menyatakan matruk juga tidak bisa dijadikan pegangan karena Al Azdiy sendiri seorang yang dhaif.

Pernyataan Abu Hatim “tidak bisa dijadikan hujjah” tidak menjadikan As Suddiy seorang yang dhaif karena Abu Hatim dikenal tasyaddud dalam melemahkan perawi apalagi As Suddiy telah ditsiqatkan oleh banyak ulama lain. Adz Dzahabiy walaupun memasukkannya dalam Al Mughniy Adh Dhu’afa, ia sendiri berkata dalam Al Kasyf “hasanul hadits” [Al Kasyf no 391]. Perlu diketahui bahwa riwayat As Suddiy dari Anas telah dijadikan hujjah oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya maka riwayat As Suddiy dari Anas adalah shahih berdasarkan syarat Muslim.

Ada syubhat lain yang dilontarkan oleh Nashibi perihal hadis Ath Thayr riwayat As Suddiy dari Anas. Mereka menyatakan bahwa ini bukan riwayat As Suddiy melainkan riwayat Ismail bin Salman Al Azraaq. Ubaidillah bin Musa keliru atau mengalami idhthirab dalam periwayatannya, mereka menjadikan riwayat Al Bazzar dengan sanad berikut sebagai hujjah

حدثنا أحمد بن عثمان بن حكيم، نا عبيد الله بن موسى نا إسماعيل بن سلمان الأزرق عن أنس بن مالك

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Utsman bin Hakiim yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin Salman Al Azraaq dari Anas bin Malik –al hadits- [Bahr Az Zukhaar Musnad Al Bazzar 14/80]

Mari kita tunjukkan kemunafikan nashibi dalam berhujjah. Nashibi bisa dibilang tidak memiliki metode konsisten dalam ilmu hadis. Kebiasaan buruk mereka adalah menukil jarh perawi seenaknya untuk melemahkan hadis. Contohnya As Suddiy yang mereka nukil jarh-nya untuk melemahkan hadis Ath Thayr.

Lucunya mereka tidak sadar diri dalam berhujjah dengan hadis Al Bazzar di atas. Kalau kita menuruti cara nashibi yang seenaknya menukil jarh maka riwayat Al Bazzar pun bisa dilemah-lemahkan. Al Bazzar adalah Ahmad bin ‘Amru Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar ia juga diperbincangkan oleh Abu Ahmad Al Hakim dan Daruquthniy karena sering keliru dalam sanad dan matan hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750] dan Adz Dzahabiy memasukkannya dalam Al Mughniy Adh Dhu’afa no 392

Kami pribadi tidak menolak riwayat Al Bazzaar di atas tetapi itu bukanlah hujjah bahwa Ubaidillah mengalami kekacauan dalam periwayatannya. Riwayat ini membuktikan bahwa Ubaidillah bin Musa memiliki lebih dari satu jalur periwayatan hadis Ath Thayr diantaranya adalah

  1. Ubaidillah bin Musa meriwayatkan dari Isa bin Umar Al Qaariy dari As Suddiy dari Anas [Tarikh Ibnu Asakir 42/254 & Sunan Tirmidzi no 3721]
  2. Ubaidillah bin Musa meriwayatkan dari Ismaiil bin Salman Al Azraaq dari Anas [Musnad Al Bazzaar 14/80 dan Tarikh Al Kabir Bukhari juz 1 no 1132]

Apalagi Ubaidillah bin Musa tidaklah menyendiri dalam meriwayatkan dari Isa bin Umar Al Qaariy dari As Suddiy dari Anas, ia memiliki mutaba’ah yaitu Mushr bin ‘Abdul Malik bin Sal’

حدثنا الحسن بن حماد حدثنا مسهر بن عبد الملك بن سلع ثقة حدثنا عيسى بن عمر عن إسماعيل السدي عن أنس بن مالك

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Mushr bin ‘Abdul Malik bin Sal’ tsiqat yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin Umar dari Isma’il As Suddiy dari Anas bin Malik-al hadits-[Musnad Abu Ya’la 7/105 no 4052]

Riwayat diatas sanadnya jayyid. Al Hasan bin Hammaad Al Warraaq adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/203]. Mushr bin ‘Abdul Malik terdapat perbincangan atasnya. Bukhari berkata “padanya ada sebagian hal yang perlu diteliti”. Abu Daud berkata “adapun Hasan bin Ali Al Khallaal aku melihat ia sangat memujinya sedangkan sahabat kami, aku melihat mereka tidak memujinya”. Nasa’i berkata “tidak kuat” Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Hasan bin Hammaad Al Warraaq menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 285].

Mushr bin ‘Abdul Malik telah dita’dilkan oleh Hasan bin Hammad Al Warraaq dan Hasan bin Aliy. Ibnu Hibban telah memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Hasan bin Hammad yang termasuk murid Mushr tentu lebih mengenal Mushr dibanding selainnya.

Adapun jarh terhadap Mushr adalah jarh mubham. Jarh Bukhari bukanlah termasuk jarh yang syadiid [pembahasan lafaz jarh Bukhari dapat dilihat disini] dan ia sendiri tidak memasukkan Mushr dalam kitabnya Adh Dhu’afa. Pernyataan Abu Daud soal “sahabat kami yang tidak memujinya” tidaklah menjadi hujjah untuk melemahkan karena tidak jelas siapa sahabat kami yang dimaksud Abu Dawud apakah tsiqat atau dhaif ataukah dapat dijadikan pegangan jarh-nya. Pernyataan Nasa’i “tidak kuat” bukan berarti dhaif tetapi itu berarti hadisnya tidak mencapai derajat shahih hanya mencapai taragf hasanul hadits. Pendapat yang rajih adalah Mushr bin ‘Abdul Malik seorang yang shaduq hasanul hadits.

Pendapat ini telah dinukil oleh sebagian ulama hadis. Al Iraqiy berkata tentang hadis yang diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dimana didalam sanadnya ada Mushr bin ‘Abdul Malik “riwayat Ath Thabraniy dari hadis Ibnu Mas’ud dengan sanad yang hasan” [Mughniy An Haml Al Asfaar 1/25 no 78]. Ibnu Hajar juga berkata “sungguh telah dikeluarkan oleh Ath Thabraniy dengan sanad yang hasan dari hadis Ibnu Mas’ud” [Fath Al Bariy 11/477]. Al Mubarakfuriy juga menghasankan hadis Ath Thabraniy tersebut [Tuhfatul Ahwaziy 6/281]

.

.

Pernyataan sebagian ulama yang menolak hadis Ath Thayr dengan alasan tidak ada jalan sanad yang shahih dari Anas bukanlah hujjah jika ternyata terbukti ada riwayat shahih dari Anas. Seperti halnya Al Bazzaar yang mengatakan semua riwayat hadis ini dari Anas tidak kuat. Begitu pula dengan Al Khaliliy dan Al Bukhari. Riwayat As Suddiy dari Anas diatas memang tsabit dan ini menjadi hujjah untuk membatalkan pernyataan bahwa tidak ada perawi tsiqat yang meriwayatkan hadis Ath Thayr dari Anas. Perlu diketahui bahwa Ismail Al Azraaq bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis ini dari Anas jadi aneh sekali kalau hadis dari perawi lain dari Anas mesti dilemah-lemahkan dengan alasan hadis itu sebenarnya milik Ismail Al Azraaq.

Pernyataan Bukhari yang heran dan mengingkari riwayat As Suddiy dari Anas yang disebutkan Tirmidzi tidak menjadi hujjah karena bisa saja Bukhari menolak riwayat Tirmidzi karena ia tidak mengenal riwayat tersebut dari Ubaidillah bin Musa dan riwayat Tirmidzi itu bersumber dari Sufyan bin Waki’ dari Ubaidillah bin Musa dan Sufyan ini dhaif dalam pandangan Bukhari. Tetapi faktanya selain Sufyan bin Waki’ ternyata hadis Ath Thayr juga diriwayatkan oleh Hatim bin Laits seorang yang tsiqat tsabit dari Ubaidillah bin Musa dengan jalan As Suddiy dari Anas. Maka keheranan dan pengingkaran Bukhari itu hanya menunjukkan ketidaktahuannya.Yang tahu menjadi hujjah bagi yang tidak tahu, ini adalah kaidah dasar dalam ilmu.

Ada sebagian nashibi yang berkeras menyatakan bahwa riwayat As Suddiy di atas termasuk kemungkaran Ubaidillah bin Musa, ia salah dalam meriwayatkan sehingga perawi yang sebenarnya Ismail bin Salman Al Azraaq disebut dengan nama Ismail As Suddiy.

Pernyataan ini adalah pernyataan nashibi yang paling bodoh. Karena faktanya yang menyebutkan nama As Suddiy adalah Isa bin Umar Al Qaariy, dan yang meriwayatkan dari Isa bin Umar adalah Ubaidillah bin Musa dan Mushr bin Abdul Malik. Bagaimana mungkin dikatakan Ubaidillah bin Musa yang salah menyebutkan nama?.

Riwayat dengan penyebutan nama As Suddiy dari Anas jelas lebih kuat dari riwayat yang menyebutkan Ismail bin Salman Al Azraaq karena Ubaidillah bin Musa memiliki mutaba’ah dalam riwayat Isa bin Umar dari As Suddiy dari Anas sedangkan dalam riwayat Ismail Al Azraaq dari Anas, Ubaidillah bin Musa tafarrud dalam periwayatannya.

.

.

.

As Suddiy dalam periwayatannya dari Anas, tidaklah menyendiri. Ia memiliki mutaba’ah yaitu dari Utsman Ath Thawil dari Anas bin Malik. Dengan jalan sanad yang disebutkan Bukhari dalam Tarikh Al Kabir

قال لي محمد بن يوسف حدثنا أحمد قال ثنا زهير قال ثنا عثمان الطويل عن أنس بن مالك

Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Utsman Ath Thawiil dari Anas bin Malik [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1488].

Kedudukan hadis ini pun sudah kami bahas dalam tulisan ini. Disini kami hanya akan membantah syubhat nashibi terhadap sanad di atas. Nashibi melemahkan hadis ini dengan alasan Bukhari menyatakan “tidak diketahui bahwa Utsman mendengar dari Anas”.

Pernyataan ini tidaklah cukup untuk membuktikan sanad ini munqathi’ [terputus]. Nashibi tersebut memang tidak mengerti lafaz-lafaz dalam ilmu hadis. Lafaz Bukhari “tidaklah diketahui bahwa Utsman mendengar dari Anas” berbeda dengan lafaz “Utsman tidak mendengar dari Anas”. Lafaz pertama menunjukkan ketidaktahuan Bukhari karena ia tidak menemukan adanya riwayat Utsman mendengar langsung dari Anas. Dalam lafaz tersebut tidak ada Bukhari menafikan Utsman mendengar dari Anas. Ketidaktahuan Bukhari ini memang menjadi masalah bagi Bukhari karena ia sendiri menetapkan persyaratan shahihnya hadis harus ada bukti pertemuan antara dua orang perawi tidak cukup dengan lafaz ‘an anah. Dengan kata lain hadis mu’an an di sisi Bukhari tidak menjadi hujjah tetapi jumhur ulama hadis telah berhujjah dengan hadis mu’anan. Jadi pernyataan Bukhari itu tidak menjadi cacat bagi hadis tersebut.

Nashibi juga menyebutkan Syubhat lain bahwa Utsman Ath Thawil majhul. Pernyataan ini keliru. Utsman Ath Thawil telah disebutkan biografinya oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 6/173 no 950] dan Bukhari [Tarikh Al Kabir juz 6 no 2338]. Abu Hatim menyatakan “syaikh”. Lafaz “syaikh” di sisi ilmu hadis dan disisi Abu Hatim termasuk lafaz ta’dil yang ringan. Telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqat diantaranya Syu’bah, ‘Anbasah dan Zuhair bin Mu’awiyah. Syu’bah dikenal sebagai perawi yang hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat dalam pandangannya maka disini terdapat isyarat bahwa Syu’bah menta’dilkan Utsman Ath Thawil.

Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “melakukan kesalahan” [Ats Tsiqat juz 5 no 4352]. Lafaz yang dikatakan Ibnu Hibban menunjukkan bahwa perawi tersebut tidaklah majhul di sisi Ibnu Hibban, ia dimasukkan Ibnu Hibban ke dalam perawi tsiqat walaupun pernah melakukan kesalahan. Cukup banyak perawi yang dikatakan Ibnu Hibban dengan lafaz tersebut [dalam Ats Tsiqat] ia jadikan hujjah dalam kitabnya Shahih Ibnu Hibban. Perawi yang dinyatakan Ibnu Hibban dengan lafaz tersebut berarti ia seorang yang hadisnya tidak mencapai derajat shahih hanya mencapai derajat hasan.

Pendapat yang rajih dengan melihat keseluruhan keterangan diatas adalah Utsman Ath Thawil seorang yang shaduq hasanul hadits. Dan riwayatnya dari Anas bin Malik bisa diterima karena tidak ada keterangan ulama yang menyatakan bahwa ia tidak mendengar dari Anas bin Malik. ‘An anah perawi tsiqat dianggap muttasil sampai ada bukti yang menyatakan ia munqathi’ [terputus]

Nashibi juga melemahkan Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu Hasan Al Harraaniy dimana mereka mengutip Abu Hatim yang menyatakan ia dhaif. Pernyataan ini hanya gaya basi nashibi dalam berhujjah. Mereka sudah biasa mengutip jarh sesuka hati tanpa perlu meneliti kedudukan sebenarnya perawi tersebut.

Ahmad bin Yazid Abu Hasan Al Harraaniy termasuk perawi Bukhari dalam Shahih-nya. Nasa’i menyatakan ia orang Mesir yang tsiqat [Al Ikmal 1/41]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 8 no 12038]. Abu Hatim dikenal sebagai ulama yang mutasyaddud dalam mencela perawi maka perkataannya harus ditimbang dengan perkataan ulama lain apalagi jarh-nya adalah jarh mubham. Disini ternukil bahwa Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat ditambah lagi Bukhari memasukkannya sebagai perawi dalam Shahih-nya. Maka pendapat yang rajih Ahmad bin Yazid Abu Hasan Al Harraaniy adalah seorang yang tsiqat minimal shaduq.

.

.

.

Hadis Ath Thayr juga diriwayatkan oleh Yahya bin Abi Katsir dari Anas bin Malik dengan sanad yang shahih hingga Yahya bin Abi Katsir. Berikut jalan sanadnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath Thabraniy

حدثنا أحمد قال حدثنا سلمة بن شبيب قال حدثنا عبد الرزاق قال أخبرنا الأوزاعي عن يحيى بن أبي كثير عن أنس بن مالك

Telah menceritakan kepada kami Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah mengabarkan kepada kami Al Auzaa’iy bin Yahya bin Abi Katsiir dari Anas bin Malik -al hadits- [Mu’jam Al Ausath Thabraniy 2/206 no 1744]

Para perawi hadis ini semuanya tsiqat. Ahmad adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdul Aziz bin Ja’d Abu Bakar Al Jauhariy. Daruquthni berkata “tidak ada masalah padanya”. Adz Dzahabiy berkata “syaikh tsiqat ‘alim” [Irsyad Al Qadhi no 192]. Salamah bin Syabiib termasuk perawi Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/377]. Abdurrazaaq bin Hammaam adalah hafizh tsiqat mengalami perubahan hafalan ketika usianya tua dan buta [At Taqrib 1/599]. Periwayatan Salamah bin Syabib dari ‘Abdurrazaaq diambil Muslim dalam kitab Shahih-nya. Al Auzaa’iy adalah perawi Bukhari Muslim yang faqih tsiqat [At Taqrib 1/584]. Yahya bin Abi Katsiir seorang perawi Bukhari Muslim yang tsiqat tsabit melakukan tadlis dan irsal [At Taqrib 2/313]. Mengenai tadlisnya, Ibnu Hajar memasukkannya dalam mudallis thabaqat kedua yang berarti riwayat ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab Shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 63].

Riwayat Yahya bin Abi Katsiir dari Anas bin Malik adalah mursal, ia pernah melihat Anas bin Malik tetapi tidak mendengar hadis darinya [Al Jarh Wat Ta’dil 9/141 no 599]. Jadi riwayat di atas lemah karena inqitha’ antara Yahya bin Abi Katsiir dan Anas bin Malik tetapi riwayat ini bisa dijadikan i’tibar. Apalagi Abu Hatim berkata tentang Yahya bin Abi Katsiir “Imam tidak meriwayatkan hadis kecuali dari perawi tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 9/142 no 599]. Maka disini terdapat qarinah yang menguatkan bahwa perawi antara Yahya bin Abi Katsiir dan Anas bin Malik adalah perawi tsiqat

.

.

Terdapat riwayat lain yang juga bisa dijadikan i’tibar yaitu dinukil oleh Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir dengan sanad Ishaaq bin Yusuf Al Azraaq dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Anas bin Malik [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1488]. Riwayat Abdul Malik bin Abi Sulaiman ini juga disebutkan Ibnu Katsiir dengan menukil riwayat Ibnu Abi Hatim dari ‘Ammar bin Khalid Al Waasithiy dari Ishaaq Al Azraaq dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Anas [Al Bidayah 7/387-388].

Para perawinya tsiqat, Ishaaq bin Yusuf Al Azraaq adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/87], Abdul Malik bin Abi Sulaiman dinyatakan tsiqat oleh Ahmad dan Ibnu Ma’in. Ibnu ‘Ammar menyatakan tsiqat hujjah, Al Ijliy berkata “tsabit dalam hadis”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Tirmidzi berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 6 no 751] hanya saja riwayat Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Anas adalah mursal [Jami’ Al Tahsil fii Ahkam Al Maraasil no 470]

.

.

.

Anas bin Malik memiliki syahid yaitu dari Safinah maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dengan sanad berikut

حدثنا عبيد العجلي ثنا إبراهيم بن سعيد الجوهري ثنا حسين بن محمد ثنا سليمان بن قرم عن فطر بن خليفة عن عبد الرحمن بن أبي نعم عن سفينة مولى النبي صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Ubaid Al Ijliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Sa’id Al Jauhariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Qarm dari Fithr bin Khalifah dari ‘Abdurrahman bin Abi Na’m dari Safiinah maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] –alhadits- [Mu’jam Al Kabir 7/82 no 6437]

Kedudukan hadis ini juga telah dibahas dalam tulisan disini. Riwayat Safiinah ini para perawinya tsiqat kecuali Sulaiman bin Qarm, ia seorang yang diperbincangkan dan kedudukannya bisa dijadikan sebagai syawahid atau mutaba’ah atau hadisnya hasan dengan adanya penguat dari yang lain.

Sulaiman bin Qarm adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq dan perawi Muslim dalam Shahih-nya. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia tsiqat [Aqwaal Ahmad 1066]. Ibnu Adiy berkata “ia memiliki hadis-hadis hasan” [Al Kamil Ibnu Adiy 8/182]. Ibnu Ma’in berkata “dhaif” [Tarikh Ad Duuri 2/234]. Abu Hatim menyatakan ia tidak kuat [Al Jarh Wat Ta’dil 4/597]. Nasa’i berkata “tidak kuat” [Ad Dhu’afa no 251]. Daruquthni menshahihkan hadisnya, itu berarti dalam pandangannya Sulaiman bin Qarm tsiqat [Sunan Daruquthniy 2/175 no 18]. Baihaqiy juga menshahihkan hadis Sulaiman bin Qarm, maka itu berarti dalam pandangannya Sulaiman seorang yang tsiqat [Sunan Baihaqiy 4/203 no 7705]. Al Bazzar berkata “tidak ada masalah padanya” [Musnad Al Bazzaar no 1516]. Adz Dzahabiy berkata “shalih al hadits” [Tarikh Al Islam 10/247].

Pendapat yang rajih tentang Sulaiman bin Qarm adalah ia seorang yang shaduq tetapi bermasalah dalam hafalan atau dhabitnya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri tetapi hadisnya bisa dijadikan syawahid atau mutaba’ah. Inilah manhaj yang diambil Bukhari [secara ta’liq] dan Muslim terhadap Sulaiman bin Qarm sehingga mereka tetap mengambil hadisnya dalam kitab Shahih sebagai syawahid atau mutaba’ah.

Jadi jika ada nashibi yang mempermasalahkan kredibilitas Sulaiman bin Qarm maka memang benar ia diperselisihkan kedudukannya tetapi statusnya dalam hadis Ath Thayr ini adalah sebagai i’tibar yang menguatkan hadis-hadis Ath Thayr yang lain.

Sebagian nashibi menyebarkan syubhat lain mengenai hadis Safinah di atas yaitu kemungkinan keterputusan antara Fithr bin Khalifah dan Abdurrahman bin Abi Na’m. Abdurrahman wafat sebelum tahun 100 H dan Fithr tidak meriwayatkan dari para perawi sebelum tahun tersebut, bahkan Yahya bin Sa’id mengatakan ia tidak mendengar dari Atha’ dan Atha’ wafat tahun 114 H.

Pernyataan nashibi ini patut diberikan catatan, Ibnu Hajar dalam At Taqrib memang menyatakan Abdurrahman bin Abi Na’m wafat sebelum tahun 100 H [At Taqrib 1/593]. Tetapi Adz Dzahabi dalam As Siyaar berkata “wafat setelah tahun 100 H” [As Siyaar 5/63]

Perlu diketahui bahwa terminologi Ibnu Hajar soal tahun wafat dengan lafaz “wafat sebelum tahun 100 H” menunjukkan bahwa tidak diketahui tahun berapa pastinya ia wafat tetapi tidaklah berjauhan dari tahun 100 H. Ibnu Hajar dalam At Taqrib juga menyatakan bahwa Fithr bin Khalifah wafat setelah tahun 150 H [At Taqrib 2/16]. Ibnu Hajar memang tidak memastikan tahun berapa ia wafat tetapi lafaz Ibnu Hajar itu bermakna tidak jauh dari tahun 150 H. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Adz Dzahabiy dalam Al Kasyf bahwa Fithr wafat tahun 153 H [Al Kasyf no 4494].

Berdasarkan tahun wafat Fithr dan ‘Abdurrahman ini maka dapat disimpulkan kalau Fithr bin Khalifah menemui masa ‘Abdurrahman bin Abi Na’m. Terdapat riwayat shahih yang menyebutkan bahwa Fithr bin Khalifah pernah menemui Sa’id bin Jubair sebagaimana yang disebutkan Ibnu Sa’ad [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/276] dan Sa’id bin Jubair wafat sebelum tahun 100 H. Bahkan dalam At Tahdzib Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Fithr meriwayatkan dari ‘Amru bin Huraits dan ia wafat tahun 85 H. Hadis mu’an an perawi tsiqat yang semasa dianggap muttashil berdasarkan syarat Muslim dan inilah yang disepakati jumhur ulama hadis.

Fithr bin Khalifah tidak dikenal sebagai perawi yang melakukan tadlis dan irsal. Adapun pernyataan Yahya bin Sa’id bahwa ia tidak mendengar dari Atha’ adalah keliru karena terbukti dalam riwayat shahih [Ibnu Abi Syaibah] bahwa Fithr bin Khalifah mendengar dari Atha’ bin Abi Rabah [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/170 no 1951]. Fithr bin Khalifah juga dikenal mendengar dari salah seorang sahabat Nabi yaitu Abu Thufail [Musnad Ahmad 1/229 no 2029] dan Abu Thufail wafat tahun 110 H.

Cukuplah pernyataan Bukhari berikut sebagai hujjah yang membatalkan syubhat nashibi. Bukhari menyebutkan dalam biografi Fithr bin Khalifah

فطر بن خليفة مولى عمرو بن حريث الخياط الكوفي سمع أبا الطفيل وعمرو بن حريث المخزومي وعكرمة وعطاء روى عنه وكيع وأبو نعيم

Fithr bin Khalifah maula ‘Amru bin Huraits Al Khayyaath Al Kufiy mendengar dari Abu Thufail, ‘Amru bin Huraits Al Makhzuumiy, Ikrimah dan Atha’. Telah meriwayatkan darinya Waki’ dan Abu Nu’aim [Tarikh Al Kabir juz 7 no 625]

Bukhari menetapkan bahwa Fithr bin Khalifah mendengar dari ‘Amru bin Huraits Al Makhzuumiy dan ‘Amru bin Huraits wafat tahun 85 H maka sudah jelas Fithr bin Khalifah tidak ada masalah mendengar dari ‘Abdurrahman bin Abi Na’m.

Sebenarnya tidak ada alasan sedikitpun untuk menyatakan sanad tersebut terputus. Dengan kata lain jika nashibi ingin menyatakan sanad tersebut munqathi’ [terputus] maka ia harus membawakan bukti untuk itu bukannya berandai-andai dengan persangkaan yang tidak bernilai sebagai bukti.

.

.

.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat kita buat ringkasan hadis Ath Thayr yang sanadnya jayyid dan bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah

  1. Hadis As Suddiy dari Anas kedudukannya shahih dengan syarat Muslim [Muslim telah berhujjah dengan hadis As Suddy dari Anas]
  2. Hadis Utsman Ath Thawil dari Anas kedudukannya hasan karena Utsman seorang yang shaduq hasanul hadits
  3. Hadis Yahya bin Abi Katsir dari Anas kedudukannya shahih sampai Yahya dan lemah karena inqitha’ Yahya dari Anas. Bisa dijadikan i’tibar
  4. Hadis Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Anas kedudukannya lemah karena inqitha’ antara Abdul Malik dan Anas, bisa dijadikan i’tibar
  5. Hadis Safinah maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kedudukannya hasan dengan adanya penguat dari yang lain.

Kelima hadis di atas saling menguatkan maka tidak diragukan lagi bahwa hadis Ath Thayr kedudukannya Shahih. Tidak ada hujjah sedikitpun bagi nashibi pendengki untuk menyatakan hadis tersebut palsu. Silakan para pembaca perhatikan hadis-hadis yang kami bahas di atas tidak ada satupun perawi dalam sanad hadis tersebut yang kualitasnya sangat dhaif atau dikatakan pemalsu hadis. Jadi darimana datangnya tuduhan hadis Ath Thayr maudhu’, tidak lain hanya dari hawa nafsu dengki dan kebencian semata. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita dan menghancurkan kebusukan nashibi sehancur-hancurnya.

Tinggalkan komentar