Daftar Hadis Aisyah Yang Mengandung Lafaz Qaala [Bagian Kedua]

Daftar Hadis Aisyah Yang Mengandung Lafaz Qaala [Bagian Kedua]

Tulisan ini kami lanjutkan hanya sebagai tambahan dari apa yang pernah kami katakan sebelumnya bahwa dalam hadis-hadis Aisyah sering terdapat lafaz qaala yang terselip diantara perkataan Aisyah. Pada dasarnya lafaz qaala berarti perawi [laki-laki] berkata, maka seorang nashibi [yang bisa dikatakan lemah pemahamannya] beranggapan bahwa setiap ada lafaz qaala dalam hadis Aisyah bermakna idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki sebelum Aisyah.

Anggapan ini keliru, Lafaz qaala dalam hadis Aisyah tidak selalu bermakna idraaj [sisipan]. Lafaz qaala bisa dikatakan sebagai idraaj jika terbukti dalam riwayat lain bahwa lafaz tersebut memang sisipan dari perawi laki-laki sebelum Aisyah. Misalnya dalam riwayat lain tertera bukti jelas idraaj yaitu lafaz “qaala fulan”. Dan seandainya dalam riwayat shahih lain terbukti pula bahwa lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah yaitu dinyatakan dengan lafaz qaalat maka gugurlah klaim idraaj atas lafaz tersebut.

Lafaz qaala dalam hadis Aisyah tidak selalu bermakna idraaj, ia bisa juga bermakna perawi laki-laki berkata melanjutkan hadis Aisyah tersebut. Sehingga disini qaala itu statusnya muttashil [bersambung sanadnya] berbeda dengan idraaj yang tidak muttashil sanadnya sampai Aisyah. Makna qaala sebagai perawi melanjutkan hadis Aisyah telah ma’ruf di sisi para ulama hadis seperti Bukhari, Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya sehingga dapat dimaklumi ada sebagian hadis Aisyah yang mereka tulis mengandung lafaz qaala sebagai perkataan Aisyah. Hal ini terbukti dengan qarinah berikut

  1. Dalam lafaz tersebut mengandung makna bahwa Aisyah sebagai pelaku atau subjek seperti lafaz “kami mengutus” atau “kami shalat” atau “kami melihat” yang mengisyaratkan bahwa itu terjadi di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka lafaz qaala itu bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah
  2. Dalam riwayat lain lafaz qaala itu dibawakan dengan lafaz qaalat maka lafaz qaala itu sebenarnya bermakna perawi laki-laki melanjutkan hadis [perkataan] Aisyah

Dengan adanya kemungkinan lafaz qaala bermakna perawi melanjutkan hadis Aisyah maka tidak seharusnya setiap lafaz qaala dikatakan sebagai idraaj [sisipan] perawi laki-laki sebelum Aisyah. Idraaj harus ditetapkan dengan bukti sharih [tegas] dengan lafaz “qaala fulan” dalam riwayat Aisyah tersebut yang membuktikan bahwa lafaz qaala itu memang sisipan dari fulan [perawi laki-laki]. Dibawah ini akan kami tunjukkan hadis-hadis Aisyah yang mengandung lafaz qaala

.

.

.

Hadis Pertama

ثنا يزيد قال انا بن أبي ذئب عن الزهري عن عروة وعمرة بنت عبد الرحمن عن عائشة ان أم حبيبة بنت جحش استحيضت سبع سنين وكانت امرأة عبد الرحمن بن عوف فسألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن ذلك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنما هذا عرق وليست بحيضة فاغتسلي وصلى قال فكانت تغتسل عند كل صلاة

Telah menceritakan kepada kami Yazid yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b dari Az Zuhriy dari Urwah dan ‘Amrah binti ‘Abdurrahman dari Aisyah bahwa Ummu Habibah binti Jahsy sedang dalam keadaan istihadhah selama tujuh tahun  dan ia adalah istri ‘Abdurrahaman bin ‘Auf maka ia bertanya kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan hal itu. Kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Sesungguhnya ini hanyalah darah penyakit dan bukan haidh maka mandilah dan shalatlah”.  [qaala] “maka Ummu Habibab mandi setiap kali mau shalat[Musnad Ahmad 6/141 no 25138, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim”]

Lafaz qaala fakaanat taghtasilu ‘inda kulli shalati jika menuruti anggapan nashibi adalah idraaj dari perawi laki-laki sebelum Aisyah. Karena dalam sanad ini terdapat Az Zuhriy yang sering melakukan idraaj maka lafaz tersebut dikatakan idraaj Az Zuhriy. Nashibi berkata[qaala] berarti perawi laki-laki berkata dan tidak mungkin dhamir ini kembali pada Aisyah. Dikenal dalam ilmu nahwu bahwa lafaz qaala itu bersifat mudzakkar untuk laki-laki maka sudah jelas itu bukan perkataan Aisyah.

Qaala memang bersifat mudzakkar makanya kita artikan sebagai perawi laki-laki berkata. Yang jadi permasalahan disini adalah apakah perkataan perawi laki-laki itu adalah sisipan dari dirinya sendiri [idraaj] ataukah sebenarnya ia melanjutkan hadis [perkataan] Aisyah. Lafaz qaala pada hadis Musnad Ahmad di atas ternyata diriwayatkan oleh ulama lain diantaranya Ibnu Sa’ad dan Ad Darimiy dengan lafaz qaalat

أخبرنا يزيد بن هارون أخبرنا بن أبي ذئب عن الزهري عن عروة عن عمرة بنت عبد الرحمن عن عائشة أن أم حبيبة بنت جحش استحيضت سبع سنين وكانت تحت عبد الرحمن بن عوف فسألت رسول الله عن ذلك فقال رسول الله إنما هذا عرق وليست بحيضة فاغتسلي وصلي قالت فكانت تغتسل عند كل صلاة

Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Haruun yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b dari Az Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Amrah binti ‘Abdurrahman dari Aisyah bahwa Ummu Habibah binti Jahsy sedang dalam keadaan istihadhah selama tujuh tahun  ketika ia menjadi istri ‘Abdurrahaman bin ‘Auf maka ia bertanya kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan hal itu. Kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Sesungguhnya ini hanyalah darah penyakit dan bukan haidh maka mandilah dan shalatlah”.  Aisyah berkata “maka Ummu Habibab mandi setiap kali mau shalat” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 8/242]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ اسْتُحِيضَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ جَحْشٍ سَبْعَ سِنِينَ وَهِيَ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَاشْتَكَتْ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِحِيضَةٍ إِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي قَالَتْ عَائِشَةُ فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ ثُمَّ تُصَلِّي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Awza’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah berkata Ummu Habibah binti Jahsy mengalami istihadhah selama tujuh tahun ketika ia menjadi istri ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Maka ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasalam]. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepadanya “sesungguhnya itu bukan haidh itu hanyalah penyakit, jika haidh datang maka tinggalkanlah shalat jika selesai maka mandilah dan shalatlah”. Aisyah berkata “maka ia mandi setiap akan shalat kemudian shalat”[Sunan Darimi no 771 dengan sanad shahih]

Maka lafaz qaala pada riwayat Ahmad sebenarnya bermakna perawi laki-laki berkata melanjutkan hadis [perkataan] Aisyah. Inilah yang benar dan bukan seperti anggapan yang terjadi jika kita menuruti kekacauan akal nashibi. Jika dituliskan maka terjemahan riwayat Ahmad yang tepat

عن عائشة ان أم حبيبة بنت جحش استحيضت سبع سنين وكانت امرأة عبد الرحمن بن عوف فسألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن ذلك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنما هذا عرق وليست بحيضة فاغتسلي وصلى قال فكانت تغتسل عند كل صلاة

Dari Aisyah bahwa Ummu Habibah binti Jahsy sedang dalam keadaan istihadhah selama tujuh tahun  dan ia adalah istri ‘Abdurrahaman bin ‘Auf maka ia bertanya kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan hal itu. Kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Sesungguhnya ini hanyalah darah penyakit dan bukan haidh maka mandilah dan shalatlah”.  Perawi laki-laki berkata melanjutkan [perkataan Aisyah] “maka Ummu Habibab mandi setiap kali mau shalat” [Musnad Ahmad 6/141 no 25138]

Atau ada nashibi yang mengatakan bahwa ini hanya pengecualian dari kaidah nahwu dalam bahasa Arab. Mungkin yang ingin dikatakan nashibi itu Ahmad bin Hanbal yang menuliskan lafaz qaala dalam hadis Aisyah tersebut sedang mengantuk ketika menuliskan hadis sehingga ia salah dalam menuliskan lafaz yang seharusnya qaalat menjadi qaala.

Hal ini sangat jauh sekali, Ahmad bin Hanbal jelas ulama yang sangat paham kaidah nahwu dalam bahasa Arab maka penulisan lafaz qaala dalam hadis Aisyah tidaklah bertentangan sedikitpun dengan bahasa Arab. Hal ini ma’ruf di sisi para ulama, tidak hanya Ahmad bin Hanbal, bahkan Bukhari, Muslim, Baihaqiy dan yang lainnya dalam kitab hadis mereka ketika menuliskan sebagian hadis Aisyah mereka menuliskan dengan lafaz qaala. Mungkinkah mereka semua tidak paham kaidah bahasa Arab atau nashibi itu yang sebenarnya berlagak pintar padahal tong kosong nyaring bunyinya.

.

.

Hadis Kedua

أخبرنا إسحاق بن منصور قال حدثنا يحيى بن سعيد عن بن جريج قال سمعت بن أبي مليكة يحدث عن ذكوان أبي عمرو عن عائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال استأمروا النساء في أبضاعهن قيل فإن البكر تستحي وتسكت قال هو إذنها

Telah mengabarkan kepada kami Ishaaq bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ibnu Juraij yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah menceritakan hadis dari Dzakwaan Abi ‘Amru dari Aisyah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “mintalah pendapat kaum wanita berkenaan dengan kehormatannya”. Dikatakan bahwa anak gadis malu sehingga diam, Beliau bersabda “itu adalah izinnya” [Sunan Nasa’i Al Kubra 3/281 no 5376]

Perhatikan lafaz “qiila fainnal bikra tastahiiy fataskutu”, diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bahwa lafaz itu diawali dengan lafaz qaala

ثنا يحيى عن بن جريج قال سمعت بن أبي مليكة يحدث عن ذكوان أبي عمرو عن عائشة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال أستأمروا النساء في أبضاعهن قال قيل فإن البكر تستحي فتسكت قال فهو إذنها

Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu Juraij yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah menceritakan hadis dari dzakwaan Abi’ Amru dari Aisyah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “mintalah pendapat kaum wanita berkenaan dengan kehormatannya”. [qaala] Dikatakan bahwa anak gadis malu sehingga diam, Beliau bersabda “itu adalah izinnya” [Musnad Ahmad 6/203 no 25713]

Tentu dengan logika ala nashibi maka lafaz qaala qiila fainnal bikra… dan seterusnya adalah idraj [sisipan] dari perawi laki-laki sebelum Aisyah. Kenyataannya tidak seperti itu, dalam riwayat lain lafaz itu disebutkan dengan lafaz qaalat

نا عَلِيُّ بْنُ إِشْكَابَ نا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ نا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ذَكْوَانَ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ ” اسْتَأْمِرُوا النِّسَاءَ فِي أَبْضَاعِهِنَّ ” . قَالَتْ قِيلَ فَإِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحْيِ أَنْ تَكَلَّمَ  قَالَ : ” سُكُوتُهَا إِذْنُهَا

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Isykaab yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari Dzakwaan Abi ‘Amru mawla Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “mintalah pendapat kaum wanita berkenaan dengan kehormatannya”. Aisyah berkata dikatakan bahwa anak gadis malu untuk berbicara, Beliau bersabda “diamnya adalah izinnya” [Ziyadaah Ala Kitab Al Muzanniy no 409, Ibnu Ziyaad An Naisabury]

.

.

Hadis Ketiga

ثنا علي بن عياش قال ثنا محمد بن مطرف أبو غسان قال ثنا أبو حازم عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن عائشة قالت أمرني نبي الله صلى الله عليه و سلم أن أتصدق بذهب كانت عندنا في مرضه قالت فأفاق فقال ما فعلت قالت لقد شغلني ما رأيت منك قال فهلميها قال فجاءت بها إليه سبعة أو تسعة أبو حازم يشك دنانير فقال حين جاءت بها ما ظن محمد أن لو لقي الله عز و جل وهذه عنده وما تبقى هذه من محمد لو لقي الله عز و جل وهذه عنده

Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Ayyasy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif Abu Ghassaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haazim dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Aisyah yang berkata Nabi Allah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memerintahkanku untuk menyedekahkan emas yang kami miliki ketika ia sakit. Aisyah berkata “maka Beliau bangun dan berkata apa yang telah kamu lakukan. Aisyah berkata “sungguh aku telah disibukkan dengan melihat kondisimu”. Beliau berkata “berikan itu”. [qaala] maka aku membawa kepadanya tujuh atau sembilan dinar [syaak dari Abu Haazim]. Maka Beliau berkata ketika aku memberikannya “bagaimana persangkaan Muhammad jika ia bertemu Allah ‘azza wajalla benda ini masih ada di sisinya, jangan tinggalkan ini dari Muhammad ketika ia bertemu Allah ‘azzawajalla dan ini masih ada di sisinya” [Musnad Ahmad 6/86 no 24604]

Ibnu Jarir Ath Thabariy membawakan hadis serupa dalam kitabnya Tahdzib Al Atsar dengan jalan sanad dari Bakr bin Mudhar dari Musa bin Jubair dari Abu Umamah bin Sahl dari Aisyah dengan lafaz berikut

قَالَ: فَدَعَا بِهَا، ثُمَّ صَبَّهَا فِي كَفِّهِ، فَقَالَ: «مَا ظَنُّ نَبِيِّ اللَّهِ لَوْ لَقِيَ اللَّهَ وَعِنْدَهُ هَذِهِ

[qaala] maka aku membawanya kemudian memberikan ke tangannya, maka Beliau bersabda “bagaimana persangkaan Nabi Allah seandainya bertemu Allah dan disisinya masih ada benda ini” [Tahdzib Al Atsar 1/252 no 419]

Hadis dengan sanad yang sama [dengan riwayat Thabariy] juga disebutkan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya yaitu dengan lafaz berikut

قالت : فدعا بها فوضعها في كفه ثم قال ما ظن نبي الله لو لقي الله وهو عنده ؟

Aisyah berkata maka aku membawanya dan meletakkan di tangannya kemudian Beliau bersabda “bagaimana persangkaan Nabi Allah seandainya bertemu Allah dan ini masih di sisinya?” [Shahih Ibnu Hibban no 3213]

Ibnu Hibban dalam Shahih-nya juga membawakan hadis dengan sanad yang sama dengan riwayat Ahmad yaitu dari Abu Haazim dari Abu Salamah dari Aisyah dengan lafaz

قالت : فجئت بها فوضعها في كفه ثم قال ما ظن محمد أن لو لقي الله وهذه عنده ؟ ما ظن محمد أن لو لقي الله وهذه عنده ؟

Aisyah berkata “maka aku membawanya dan meletakkan di tangannya kemudian Beliau berkata “bagaimana persangkaan Muhammad jika ia bertemu Allah ‘azza wajalla benda ini masih ada di sisinya?, bagaimana persangkaan Muhammad jika ia bertemu Allah ‘azza wajalla benda ini masih ada di sisinya?” [Shahih Ibnu Hibban no 715]

Disini terdapat faedah bahwa lafaz qaala dalam riwayat Ahmad dan Thabariy bermakna perawi laki-laki berkata melanjutkan perkataan Aisyah bahwa ia membawanya dan meletakkannya di tangan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Makna qaala disini bermakna sama dengan qaalat.

.

.

Hadis Keempat

ثنا أبو النضر ثنا أبو معاوية عن يحيى يعنى بن أبى كثير عن أبى حفصة مولى عائشة ان عائشة أخبرته لما كسفت الشمس على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم توضأ وأمر فنودي ان الصلاة جامعة فقام فأطال القيام في صلاته قال فاحسبه قرأ سورة البقرة ثم ركع فأطال الركوع ثم قال سمع الله لمن حمده ثم قام مثل ما قام ولم يسجد ثم ركع فسجد ثم قام فصنع مثل ما صنع ثم ركع ركعتين في سجدة ثم جلس وجلى عن الشمس

Telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Yahya yakni bin Abi Katsir dari Abi Hafshah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Beliau berwudhu’ dan memerintahkan untuk adzan shalat berjama’ah. Kemudian Beliau berdiri dan memanjangkan berdiri dalam shalatnya. [qaala] aku mengira Beliau membaca surat Al Baqarah kemudian ruku’ dan memanjangkan ruku’nya. Kemudian membaca “sami’ Allahu liman hamidah” Kemudian Beliau berdiri seperti berdiri sebelumnya, Beliau belum sujud. Kemudian ruku’ dan sujud kemudian berdiri dan melakukan apa yang Beliau lakukan sebelumnya. Beliau ruku’ dua kali dang satu sujud kemudian duduk dan matahari telah nampak kembali [Musnad Ahmad 6/158 no 25287]

Perhatikan lafaz qaala faahsabuhu qara’a suratal baqarat… dan seterusnya. Jika lafaz qaala ini dikatakan idraaj maka semua lafaz tersebut setelah lafaz qaala adalah idraaj dari perawi laki-laki. Kenyataannya tidaklah demikian karena terbukti dalam riwayat lain bahwa lafaz qaala tersebut adalah perkataan Aisyah, yaitu riwayat berikut

ثنا حسن بن موسى ثنا شيبان عن يحيى عن أبي حفصة مولى عائشة أن عائشة أخبرته أنه لما كسفت الشمس على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وتوضأ وأمر فنودي أن الصلاة جامعة فقام فأطال القيام في صلاته قالت فأحسبه قرأ سورة البقرة ثم ركع فأطال الركوع ثم قال سمع الله لمن حمده ثم قام مثل ما قام ولم يسجد ثم ركع فسجد ثم قام فصنع مثل ما صنع ثم ركع ركعتين في سجدة ثم جلس وجلى عن الشمس

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Yahya dari Abi Hafshah maula Aisyah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Beliau berwudhu’ dan memerintahkan untuk adzan shalat berjama’ah. Kemudian Beliau berdiri dan memanjangkan berdiri dalam shalatnya. Aisyah berkata aku mengira Beliau membaca surat Al Baqarah kemudian ruku’ dan memanjangkan ruku’nya. Kemudian membaca “sami’ Allahu liman hamidah” Kemudian Beliau berdiri seperti berdiri sebelumnya, Beliau belum sujud. Kemudian ruku’ dan sujud kemudian berdiri dan melakukan apa yang Beliau lakukan sebelumnya. Beliau ruku’ dua kali dang satu sujud kemudian duduk dan matahari telah nampak kembali [Musnad Ahmad 6/98 no 24714]

.

.

Hadis Kelima

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَمْرَةُ قَالَتْ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ لَمَّا جَاءَ قَتْلُ ابْنِ حَارِثَةَ وَجَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرَفُ فِيهِ الْحُزْنُ قَالَتْ عَائِشَةُ وَأَنَا أَطَّلِعُ مِنْ صَائِرِ الْبَابِ تَعْنِي مِنْ شَقِّ الْبَابِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ نِسَاءَ جَعْفَرٍ قَالَ وَذَكَرَ بُكَاءَهُنَّ فَأَمَرَهُ أَنْ يَنْهَاهُنَّ قَالَ فَذَهَبَ الرَّجُلُ ثُمَّ أَتَى فَقَالَ قَدْ نَهَيْتُهُنَّ وَذَكَرَ أَنَّهُ لَمْ يُطِعْنَهُ قَالَ فَأَمَرَ أَيْضًا فَذَهَبَ ثُمَّ أَتَى فَقَالَ وَاللَّهِ لَقَدْ غَلَبْنَنَا فَزَعَمَتْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَاحْثُ فِي أَفْوَاهِهِنَّ مِنْ التُّرَابِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَرْغَمَ اللَّهُ أَنْفَكَ فَوَاللَّهِ مَا أَنْتَ تَفْعَلُ وَمَا تَرَكْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْعَنَاءِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahab yang berkata aku mendengar Yahya bin Sa’id yang berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Amrah yang berkata aku mendengar ‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata ketika datang berita kematian Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah radliallahu ‘anhum, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk dan tampak tanda kesedihan. Aisyah berkata dan aku mengintip dari lubang pintu, kemudian ada seseorang laki-laki datang berkata “wahai Rasulullah, isteri-isteri Ja’far, laki-laki tersebut menceritakan tangis mereka maka beliau memerintahkan orang tersebut untuk melarang mereka. [qaala] laki-laki tersebut pergi, kemudian datang lagi dengan mengatakan “telah kularang mereka”, lalu ia ceritakan kepada beliau bahwa mereka tidak menaatinya. [qaala] maka Rasulullah memerintahkannya kembali maka ia pergi dan kembali dengan berkata “demi Allah, wanita-wanita itu keras kepala wahai Rasulullah”. Aku [Aisyah] mengira bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Pergilah dan jejalkanlah debu tanah ke mulut mereka!” Aisyah berkata maka aku berkata semoga Allah menghinakanmu, kamu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]  dan kamu tidak  meninggalkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bebas dari kesulitan [Shahih Bukhari no 4263]

Perhatikan lafaz yang kami cetak biru, lafaz itu diawali dengan kata qaala, maka menurut logika ngawur ala nashibi maka lafaz tersebut adalah perkataan perawi laki-laki sebelum Aisyah dan dinyatakan idraaj. Apakah benar demikian? Tentu saja tidak, itu hanya waham yang muncul dari logika ngawur nashibi. Ibnu Hibban menyebutkan lafaz tersebut dengan lafaz qaalat

قالت عائشة : وأنا أطلع من شق الباب فأتاه رجل فقال : يا رسول الله إن نساء جعفر قد كثر بكاؤهن فأمره رسول الله صلى الله عليه و سلم أن ينهاهن قالت عائشة : فذهب الرجل ثم جاء فقال : قد نهيتهن وإنهن لم يطعنني

Aisyah berkata dan aku mengintip dari lubang pintu, kemudian ada seseorang laki-laki datang berkata “wahai Rasulullah, isteri-isteri Ja’far, laki-laki tersebut menceritakan tangis mereka maka beliau memerintahkan orang tersebut untuk melarang mereka. Aisyah berkata”maka laki-laki tersebut pergi, kemudian datang dan berkata “telah kularang mereka dan mereka tidak mentaatiku” [Shahih Ibnu Hibban no 3155]

Maka lafaz qaala dalam riwayat Bukhari sebelumnya bermakna perawi laki-laki berkata melanjutkan perkataan Aisyah. Terjemahan yang benar lafaz qaala dalam riwayat Bukhari tersebut adalah

عَائِشَةُ وَأَنَا أَطَّلِعُ مِنْ صَائِرِ الْبَابِ تَعْنِي مِنْ شَقِّ الْبَابِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ نِسَاءَ جَعْفَرٍ قَالَ وَذَكَرَ بُكَاءَهُنَّ فَأَمَرَهُ أَنْ يَنْهَاهُنَّ قَالَ فَذَهَبَ الرَّجُلُ ثُمَّ أَتَى فَقَالَ قَدْ نَهَيْتُهُنَّ وَذَكَرَ أَنَّهُ لَمْ يُطِعْنَهُ قَالَ فَأَمَرَ أَيْضًا فَذَهَبَ ثُمَّ أَتَى فَقَالَ وَاللَّهِ لَقَدْ غَلَبْنَنَا

Aisyah berkata dan aku mengintip dari lubang pintu, kemudian ada seseorang laki-laki datang berkata “wahai Rasulullah, isteri-isteri Ja’far, laki-laki tersebut menceritakan tangis mereka maka beliau memerintahkan orang tersebut untuk melarang mereka. Perawi laki-laki berkata melanjutkan [perkataan Aisyah] maka laki-laki tersebut pergi, kemudian datang dengan mengatakan “telah kularang mereka”, lalu ia ceritakan kepada beliau bahwa mereka tidak menaatinya. Perawi laki-laki berkata melanjutkan [perkataan Aisyah] maka Rasulullah memerintahkannya kembali maka ia pergi dan kembali dengan berkata “demi Allah, wanita-wanita itu keras kepala wahai Rasulullah”.

.

.

Hadis Keenam

ثنا يعقوب قال ثنا أبي عن بن إسحاق قال حدثني هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم قالت مرت برسول الله صلى الله عليه و سلم الحولاء بنت تويت فقيل له يا رسول الله إنها تصلى بالليل صلاة كثيرة فإذا غلبها النوم ارتبطت بحبل فتعلقت به قال فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم فلتصل ما قويت على الصلاة فإذا نعست فلتنم

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Ibnu Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Hisyaam bin Urwah dari Ayahnya dari Aisyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “Haulaa’ binti Tuwait melewati Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], lalu dikatakan kepada Beliau “wahai Rasulullah sesungguhnya dia banyak shalat malam, bila dia mengantuk dia mengikat tali lalu bergelantungan padanya”. [qaala] maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Hendaklah dia shalat semampunya jika dia mengantuk hendaknya dia tidur” [Musnad Ahmad 6/268 no 26352]

Jika kita memakai logika ngawur ala nashibi yaitu lafaz qaala dalam hadis di atas adalah milik perawi laki-laki sebelum Aisyah maka jika diterjemahkan adalah sebagai berikut

قال فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم فلتصل ما قويت على الصلاة فإذا نعست فلتنم

Perawi laki-laki berkata “maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Hendaklah dia shalat semampunya jika dia mengantuk hendaknya dia tidur”

Oleh karena perawi laki-laki tersebut tidak bertemu dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka bisa dipastikan hadis tersebut mursal sehingga kedudukannya dhaif. Jadi tidak perlu ilmu hadis yang canggih canggih, cukup dengan melihat ada lafaz qaala saja maka hadis itu sudah jelas mursalnya. Tetapi benarkah demikian, lantas apa kata para muhaqqiq soal hadis ini. Syaikh Al Arnauth berkata

إسناده حسن من أجل محمد بن إسحاق

Sanadnya hasan dengan adanya Muhammad bin Ishaaq [Musnad Ahmad 6/268 no 26352]

Hamzah Zain berkata dalam tahqiq-nya terhadap Musnad Ahmad “sanadnya shahih”. Sepertinya Syaikh Al Arnauth dan Hamzah Zain ini tidak paham kaidah bahasa Arab [nahwu] yang sederhana bahwa qaala itu lafaz mudzakkar jadi ia milik perawi laki-laki bukan milik Aisyah. Nah itulah wahamnya nashibi, ia merasa lebih pintar dari syaikh Al Arnauth dan Hamzah Zain perihal ilmu nahwu yang sederhana.

Fakta sebenarnya tidaklah seperti itu, lafaz qaala itu bermakna perawi laki-laki berkata melanjutkan hadis Aisyah, maka terjemahan yang benar adalah

قال فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم فلتصل ما قويت على الصلاة فإذا نعست فلتنم

Perawi laki-laki berkata melanjutkan [perkataan Aisyah] “maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Hendaklah dia shalat semampunya jika dia mengantuk hendaknya dia tidur”

Makna seperti inilah yang dipahami oleh Syaikh Al Arnauth dan Hamzah Zain sehingga mereka tidak ragu menguatkan hadis Aisyah tersebut bukan seperti nashibi yang sok pintar padahal ia hanya menunjukkan kejahilan.

.

.

Kesimpulan

Periwayatan hadis Aisyah dengan lafaz qaala ma’ruf di sisi para ulama hadis dan mereka tidak menganggapnya sebagai idraaj. Jika ada lafaz yang dianggap sebagai idraaj [sisipan] maka harus ada riwayat shahih yang menyebutkan “qaala fulan” sebagai bukti bahwa lafaz tersebut adalah idraaj. Lafaz “qaala” saja dalam hadis Aisyah tidak bisa langsung dinyatakan idraaj karena ia bisa saja bermakna perawi laki-laki berkata melanjutkan hadis [perkataan] Aisyah sebagaimana yang telah kami bawakan contoh-contohnya.

30 Tanggapan

  1. sudah disanggah kembali oleh abul jauzaa

  2. @nubie

    Tanggapan apanya, ia malah membenarkan apa yang kami tulis bahwa lafaz qaala memang bermakna perawi melanjutkan hadis Aisyah. Kalau dibandingkan dengan riwayat kemarahan Fathimah, maka saya tanya pada nashibi yang tidak tahu malu itu, tetapkan dulu lafaz mana yang mau anda jadikan idraaj. Jangan sembarangan loncat sana loncat sini.Apa lafaz marahnya Sayyidah Fathimah? apa lafaz Sayyidah Fathimah hidup enam bulan?. Apa lafaz Sayyidah Fathimah dikuburkan di malam hari?.

    Setelah itu bawakan bukti idraajnya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah lafaz Sayyidah Fathimah hidup enam bulan setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Ia katakan itu idraaj dengan bukti apa, bukti riwayat Bukhari dalam Tarikh Al Awsath yaitu lafaz qaala. Sudah kami jawab bahwa lafaz qaala dalam peringkasan hadis Aisyah adalah ma’ruf [contoh-contohnya sudah banyak],

    Bahkan Ibnu Hajar dalam Syarh Shahih Bukhari pada hadis Uqail mengisyaratkan bahwa lafaz Muslim yang mengandung lafaz qaala sebagai maushul [mana tanggapan nashibi tersebut soal ini].Hal ini membuktikan bahwa di sisi Ibnu Hajar lafaz qaala dalam riwayat Muslim tidak ia pandang sebagai idraaj.Ibnu Hajar beranggapan bahwa lafaz Fathimah hidup enam bulan adalah perkataan Aisyah. Hal ini dikuatkan dengan pernyataannya dalam Al Ishabah 8/57 no 11583

    وقد ثبت في الصحيح عن عائشة أن فاطمة عاشت بعد النبي صلى الله عليه و سلم ستة أشهر

    Sungguh telah tsabit dalam kitab Ash Shahih [Bukhari Muslim] dari Aisyah bahwa Fathimah hidup enam bulan setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

    Kemudian sudah kami bawakan contoh hadis Ibnu Khuzaimah sebagai contoh hadis Aisyah yang diringkas dan menggunakan lafaz qaala dan bukan sebagai idraaj. Hadis ini yang tidak bisa dikomentari oleh nashibi karena memang menentang hawa nafsunya [mana pula tanggapannya soal hadis Ibnu Khuzaimah yang kami kutip].

    Kemudian bukti lain yang dibawkaan nashibi itu adalah riwayat Ahmad bin Mansuur dari Abdurrazaaq yang disebutkan Baihaqiy. Riwayat dengan ziyadah pertanyaan Ma’mar kepada Az Zuhriy tidak diriwayatkan oleh jama’ah dari ‘Abdurrazaq bahkan sebagian mereka meriwayatkan lafaz itu sebagai bagian dari lafaz Aisyah. Jadi bukti idraaj ini saja masih bisa diperdebatkan autentisitasnya.

    Apalagi telah kami bawakan riwayat Ad Duulabiy, Baihaqiy dan Abu Nu’aim dengan lafaz qaalat. Ia mentahkan bukti ini dengan alasan peringkasan. Lha Baihaqiy pemilik riwayat yang dikatakan nashibi sebagai bukti idraaj malah memahami bahwa lafaz peringkasan itu sebagai lafaz Aisyah.

    Baihaqiy berkata dalam Ad Dala’il ketika membawakan lafaz yang kata nashibi adalah peringkasan

    وأصح الروايات رواية الزهري عن عروة عن عائشة قالت مكثت فاطمة بعد وفاة رسول الله ستة أشهر أخبرناه أبو الحسين بن الفضل القطان أخبرنا عبد الله بن جعفر حدثنا يعقوب بن سفيان حدثنا أبو اليمان قال أخبرنا شعيب قال وأخبرنا الحجاج بن أبي منيع حدثنا جدي جميعا عن الزهري قال حدثنا عروة أن عائشة أخبرته قالت
    عاشت فاطمة بنت رسول الله بعد وفاة رسول الله ستة أشه

    Lihatlah baik-baik wahai pembaca, Baihaqiy menyatakan shahih riwayat Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah pada lafaz Sayyidah Fathimah hidup enam bulan. Kalau memang Baihaqiy memahami lafaz tersebut sebagai idraaj berdasarkan riwayat Ahmad bin Manshuur dalam Sunan Baihaqiy maka tidak mungkin ia akan menshahihkannya justru Ia akan dengan jelas menyatakan itu idraaj dari Az Zuhriy dan kedudukannya dhaif. Maka riwayat dalam kitab Ad Dala’il ini di sisi Baihaqiy jelas menggugurkan klaim idraaj Az Zuhriy pada lafaz Sayyidah Fathimah hidup enam bulan.

    Kami berpanjang-panjang membahas perihal Baihaqiy ini sebagai bukti yang menunjukkan bahwa riwayat yang kami kutip [Ad Duulabiy, Abu Nu’aim, dan Baihaqiy] menggugurkan klaim idraaj Az Zuhriy

    حدثنا محمد بن عوف حدثنا عثمان بن سعيد حدثنا شعيب بن أبي حمزة عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله ص بعد رسول الله ص ستة اشهر

    Bukankah nashibi itu berkeras bahwa lafaz qaala itu dzahirnya adalah laki-laki maka kita bersikeras pula pada nashibi itu bahwa lafaz qaalat itu dzahirnya ya perempuan. Maka lafaz Aisyah qaalat diatas jelas milik perempuan bukannya laki-laki. Kemana kaidah yang ia pertahankan itu, kok seenaknya saja ia nafikan dengan alasan peringkasan. Kalau ia bisa berkelit dengan alasan peringkasan, kita pun bisa berkelit bahwa perkataan Az Zuhriy itu taklid pada perkataan Aisyah maka tidak ada satupun riwayat yang kita nafikan,yang lafaz mengandung makna idraaj [di sisi nashibi tersebut] kita terima dan riwayat Aisyah dengan lafaz qaalat kita terima.

    Sedangkan nashibi yang tidak tahu diri itu menafikan riwayat Ad Duulabiy, Baihaqiy dan Abu Nu’aim] yang jelas2 menyatakan lafaz qaalat. Jadi yang ingin ia katakan adalah Ad Duulabiy, Baihaqiy dan Abu Nu’aim itu telah keliru dalam meringkas riwayat karena menjadikan perkataan Az Zuhriy sebagai perkataan Aisyah. Buktinya sih pasti ujung-ujungnya ke riwayat yang disebutkan Baihaqiy dalam Sunan-nya. Kayaknya orang yang paling mengerti riwayat itu adalah Baihaqiy deh ketimbang nashibi yang entah berasal dari planet mana. Basi teriak basi, capeee deh :mrgreen:

  3. Terlihat sekali Abu Al-Jauzaa’ ini begitu terpontang-panting mempertahankan hujjahnya …. jadi ingat “teman” ana yg berinisial HOS yang hobi sekali mengeluarkan jurus ngeyelisme asal jawab yang penting kasih bantahan seolah-olah telah menanggapi padahal sekedar berputar2 kata dan tak beranjak dari pendapatnya yang lemah yg dipertahankan mati-matian.

  4. Abul Jauzaa’ dalam salah satu komentarnya memberikan contoh-contoh hadis yang mengandung idraaj. Kami katakan padanya kami sudah mengetahui hadis-hadis seperti itu dan masih banyak contoh yang lain. kami tidak pernah menafikan sedikitpun adanya idraaj dalam hadis. Yang kami bantah adalah logika sesat dan ngeyel anda perihal idraaj dalam hadis kemarahan Fathimah. Silakan bandingkan dengan contoh-contoh yang anda berikan, wah beda banget gitu loh.

    Kami hanya akan menanggapi komentar anda yang ngawur, misalnya dalam hadis Busrah

    إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ، وَالْمَرْأَةُ مِثْلُ ذَلِكَ

    “Apabilasalah seorang di antara kalian menyentuh farjinya, hendaklah ia berwudlu. Dan begitu juga dengan wanita” [Shahih Ibnu Hibbaan no. 1117, Al-Baihaqiy 1/132]..

    Hadis yang anda bawakan ini jelas mengandung idraaj, buktinya ada pada riwayat Baihaqiy

    أَخْبَرَنَاهُ أَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو ، أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الشَّيْبَانِيُّ ، نا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ ، ثنا أَبُو مُوسَى الأَنْصَارِيُّ ، ثنا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ نَمِرٍ ، قَالَ : سَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ عَنْ مَسِّ الْمَرْأَةِ فَرْجَهَا : أَتَتَوَضَّأُ ؟ فَقَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ ، عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ ، أَن ّرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ ” , قَالَ : وَالْمَرْأَةُ كَذَلِكَ ,

    Terlihat jelas bahwa perawi bertanya pada Az Zuhriy apakah wanita yang menyentuh kemaluannya harus berwudhu’ maka Az Zuhriy membawakan hadis Busrah dan menegaskan bahwa wanita juga demikian yaitu masuk dalam lingkup hadis Busrah. Jadi zhahir riwayat Baihaqiy memang menyatakan lafaz “wanita pun demikian” adalah jawaban Az Zuhriy kepada si penanya. Abul Jauzaa’ itu berkata

    Lihatlah cara pandang Al-Baihaqiy. Pertama Al-Baihaqiy menghukumi tambahan lafadh dalam dhahir riwayat yang ia bawakan menunjukkan bahwa ia bukan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ataupun perkataan Busrah bintu Shafwaan. Tidak lain dikarenakan lafadh yang ia bawakan menggunakan shighah setelah perkataan Nabi qaala : wal-mar-atu mitslu dzaalika.

    Bukan semata-mata karena ada lafaz qaala tetapi karena memang zhahir keseluruhan riwayat menunjukkan bahwa itu jawaban Az Zuhriy kepada si penanya. Disini didapat faedah bahwa jawaban Az Zuhriy atas si penanya itu berdasarkan hadis Busrah yang ia riwayatkan. Lafaz hadis Busrah adalah lafaz umum yang menyatakan siapa saja yang menyentuh kemaluannya maka ia hendaknya berwudhu’ dan dipahami oleh Az Zuhriy bahwa ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.

    Kedua, ia lalu menguatkan hal itu dengan qarinah jalan periwayatan lain dari kalangan ashhaab Az-Zuhriy yang tidak membawakan tambahan lafadh tersebut. Al-Baihaqiy tidak mena’wilkan dengan : Perawi laki-laki berkata (melanjutkan perkataan Nabi/Busrah), karena tidak ada qarinah yang cukup kuat untuk memalingkan pada makna itu.

    Lha ini bukan masalah penakwilan itu perkataan Nabi atau bukan, justru dari keseluruhan riwayat Baihaqiy mana mungkin itu dikatakan perkataan Nabi.

    Siapapun yang belajar ilmu hadis akan paham kok bahwa bukti idraaj itu adalah riwayat [selain kasus dimana matan lafaznya jelas menunjukkan idraaj] dan bukan anda-andai. Begitu pula klaim idraaj bisa tertolak juga dengan hujjah riwayat. Contohnya Ibnu Hajar ketika mensyarh hadis Bukhari berikut

    حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا جبلة بن سحيم قال أصابنا عام سنة مع ابن الزبير فرزقنا تمرا فكان عبد الله بن عمر يمر بنا ونحن نأكل ويقول لا تقارنوا فإن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن القران ثم يقول إلا أن يستأذن الرجل أخاه قال شعبة الإذن من قول ابن عمر

    yaitu pada lafaz izin, zhahir riwayat menunjukkan bahwa itu adalah idraaj Ibnu Umar. Tetapi Ibnu Hajar dalam Syarh Shahih Bukhari membawakan riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa itu marfu’ kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kami tidak perlu menerangkan apakah Ibnu Hajar itu benar atau tidak dalam hujjah riwayatnya tetapi yang perlu dipahami bahwa dalam pandangan Ibnu Hajar klaim idraaj itu bisa gugur dengan bukti riwayat.

    Kita katakan pada nashibi yang sok paham itu, silaakan tuh tunjukkan bukti idraaj dalam riwayat kemarahan Sayyidah Fathimah pada Abu Bakar. Bukannya dengan qarinah-qarinah tidak jelas. Misalnya dengan mengatakan hanya ada pada sebagian riwayat Az Zuhriy, memangnya yang meriwayatkan dari Az Zuhriy itu siapa? bukankah Syu’aib, Shalih, Uqail dan Ma’mar, nah mereka cukup kok sebagai hujjah. Lucunya oh lucunya, ia mengira bahwa apa yang ia lakukan sama seperti yang para ulama lakukan padahal hanya jahil bin ngeyel

    Anehnya nashibi itu cuma bisa mengomentari orang lain padahal ia sendiri melakukan hal yang sama bahkan jauh lebih parah. Riwayat Baihaqiy yang ia jadikan bukti idraaj lafaz Fathimah hidup enam bulan hanya diriwayatkan oleh Ahmad bin Manshur dari ‘Abdurrazaq sedangkan jama’ah perawi tsiqat tidak meriwayatkan tambahan lafaz itu dari ‘Abdurrazaq. Mengapa tidak ia lemahkan riwayat yang ia jadikan hujjah? ya karena riwayat itu bersesuaian dengan hawa nafsunya. Lucunya oh lucunya, ia mengira bahwa apa yang ia lakukan sama seperti yang para ulama lakukan padahal hanya jahil bin ngeyel

  5. sdh di tanggapi lg bung

  6. copas dr abul jauzaa :
    Dasar pemilah-milahan antara satu pemilik lafadh dengan yang lainnya itu apa ?. Lupa ya ?. Coba terangkan pada saya barang separagraf atau dua paragraf. Asli, saya pingin tahu jalan pemahaman Anda.

  7. @SP
    Para salafy sadar gak ya kenapa SP menanggapi tulisan dan komentar melalui blog SP sendiri dan tidak langsung ke blog Abul Jauzaa (AJ)?

    salam.

  8. KUTIPAN ABU JAUZA
    “Kemarin ana ngibul dan sekarang tetap konsisten ngibul. Kalau anda katakan bahwa riwayat tersebut adalah ringkasan ya silakan itu hujjah yang terlalu lemah untuk ditanggapi. Justru bukti kuat bahwa itu perkataan Aisyah anda nafikan seenaknya dengan alasan itu ringkasan dan harus dipalingkan pada riwayat idraaj” [selesai].

    SEHARUSNYA

    Kemarin anda ngibul dan sekarang tetap konsisten ngibul. Kalau anda katakan bahwa riwayat tersebut adalah ringkasan ya silakan itu hujjah yang terlalu lemah untuk ditanggapi. Justru bukti kuat bahwa itu perkataan Aisyah anda nafikan seenaknya dengan alasan itu ringkasan dan harus dipalingkan pada riwayat idraaj.

    Disitu ..anda diganti ana…. sedikit beda penulisan tetapi merubah makna….

  9. 😀

  10. Tragedi Sampang

    Beberapa hari yang lalu sebelum terjadinya tragedi sampang seorang anak gadis pulang ke rumahnya sambil menangis. Melihat itu ibunya bertanya kepadanya,

    Ibu : “Kamu kenapa nak?”
    Si anak: “Saya dipaksa Tajul Muluk ‘oral sex’, Bu..”
    Ibu : “Kurang ajar, lantas kenapa enggak kamu gigit aja burungnya si Tajul Muluk itu, biar putus sekalian?”
    Si anak: “Enggak bisa bu..”
    Ibu : “Loh…kenapa?”
    Si anak: “Bagaimana saya bisa bu…, saya kan VEGETARIAN…”

    tidak terima dengan pelecahan ini sang ibu mulailah mengadu ke masyarakat akan pelecehan sex yang dilakukan Tajul Muluk…Inilah awal mula terjadinya tragedi sampang.

  11. jgn Sembarangan manggil nama Tajul Muluk,
    Sekarang derajatnya menjadi Marja’ Ayyatullah Sayyid Tajul Muluk Al-madurani… Marja’ cabang sampang. hihihihi

  12. He he he mau percaya aja cerita murahan salafi……! Syiah mau dilarang di Indonesia ? Ngimpi kale…..

  13. sobat saya yg super.. Awalnya memang mimpi. Beranilah bermimpi. dan beranilah bermut’ah

  14. mbok ya sekali2 antum secondprince bahas masalah fiqh islam gitu loh atau fiqih syi’ah deh biar kita2 nih bisa melek bagaimana sebenarnya ajaran fiqih syi’ah. Tolong pertimbangkan ya kangmas brow. Jangan mau kalah ama rekan antum, Abul Jauzaa’

  15. he he he willy apa engga ada “amunisi” lain buat nembak Syiah ? Silakan aja mimpi…. ya mimpi abadi

  16. Untuk dihyah, buku2 mengenai fiqih Syiah sekarang ini sdh banyak terdapat di toko2 buku atau melalui website Ahlul Bait/Syiah. Buku mengenai Fiqih yg layak dibaca adalah yg berjudul “Fiqih Lima Mashab” karangan Muh Jawad AlMughniyah penerbit Lentera.

  17. kutip boss dihyah
    “mbok ya sekali2 antum secondprince bahas masalah fiqh islam gitu loh atau fiqih syi’ah deh biar kita2 nih bisa melek bagaimana sebenarnya ajaran fiqih syi’ah”
    boss dihyah ga mungkin lah si boss syiahprince ntu ngebahas haditsnye syiah, pan si syiahprince ntu si penganalisis pencari kebenaran, nyang pastinye ntu dah diperiksalah kevalidan haditsnye syiah

    pan di syiah ntu ade nyang namanye taqiyah aka dusta, nyang akhirnye hadits syiah merupakan hadits nyang ditinggalkan dan tidak dapat diambil sebagai hujjah

    nah si penganalisis pencari kebenaran ntu jadinye males, karena pondasinye dah bobrok (dengan taqiyah) nyang implikasinye bangunannye (haditsnye syiah) ntu bakalan runtuh dengan sendirinye

    sehingga die ga berkompetensi dalam hal eni, nanti taqiyahnye si penganalisis pencari kebenaran bakalan kebongkar karena bakalan ngesohehin hadits syiah nyang nyatanye……

    koq si boss penganalisis pencari kebenaran, malu2 kucing persia ye kalo ngakuin dirinye syiah, apakah sangat tercela serta menjijikan kalo mengakui dirinye syiah
    parah emang bocah2 syiah, ga mau ngakuin kalo agamanye ntu syiah
    -dasar bocah2 syiah durhaka-

  18. He he he begitulah kalo sdh tdk mampu berhujjah ya paling caci maki…lebih bloon lagi menganggap tqiyah sama dg dusta..

  19. kutip boss iwanoel
    “begitulah kalo sdh tdk mampu berhujjah ya paling caci maki”
    boss kalo caci maki kayak di blog gw di http://tanyasyiah.wordpress.com/ dijudul gonggongan rafidog dah ampe seri 69, kalo elo mau nyumbang ya tafadhal untuk seri nyang ke 70

    kutip boss iwanoel
    “lebih bloon lagi menganggap tqiyah sama dg dusta”
    jelasin dong boss apa ntu taqiyah? elo kan master syiah, mohon petunjuknye ye

    elo boss emang gentle ngakuin kalo elo ntu syiah, ga kayak kawanan lo nyang sejenis nyang ga ngaku syiah, emang boss kawanan lo nyang sejenis nyang ga ngaku syiah ntu merupakan bocah2 syiah durhaka nyang malu ama agamanye sendiri. parah ye boss

  20. berdebatlah yang bijak

  21. si syiahprince eni pro kemane ye?
    ape pro ke khomeini ataw pro ke khomenei
    ape pro ke hasan ataw pro ke yasir
    ape pro ke mujtaba ataw pro ke khomenei

  22. boss syiahprince sang penganalisis pencari kebenaran emang hebat, mau merima saran dan kritik serta berlapang dada

    cuman atu kurangnye, ga ngaku syiah, mungkin malu ye boss kayak kucing persia

  23. tanyasyiah: boss syiahprince sang penganalisis pencari kebenaran emang hebat, mau merima saran dan kritik serta berlapang dada

    cuman atu kurangnye, ga ngaku syiah, mungkin malu ye boss kayak kucing persia

    wah emang eloe tuh ngomong dengkul melulu. Yang namanya mencari kebenaran ya harus netral dululah, harus dibuang dulu keyakinan dari nenek moyang atau warisan dari ortu. Umpamanya eloe terlahor sunni punya niat mencari kebenaran dlm Islam, ya buang dululah sementara keyakinan warisan nenek moyang lu. dan kaji semua aliran dlm Islam secara obyektif dan adil dan berdayakan akal yg eloe terima dari Allah.. Insya Allah pandangan eloe terhdp aliran apapun dlm Islam pasti akan lebih baik dari sekarang ini
    Nah begitu pula SP yg sedang mencari kebenaran harus memposisikan dirinya terlepas dari Sunni dan Syiah agar penilaiannya lebih obyektif

  24. boss elo ntu boss iwanoel ape boss Jefry Rasyad sich? kayaknye seneng amat bikin klonengan, supaya keliatan banyak ye boss cheerleadersnye

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “wah emang eloe tuh ngomong dengkul melulu”
    syiah ntu dengkul ye boss, pan gw dari tadi ngomongin syiah melulu

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Yang namanya mencari kebenaran ya harus netral dululah, harus dibuang dulu keyakinan dari nenek moyang atau warisan dari ortu”
    masa sich boss, si syiahprince ntu netral, boss elo kan merupakan kawanan sejenis ye boss ama syiahprince, pastinye elo tau dong kalo si syiahprince ntu siape, nyang pastinye si syiahprince ntu ga netral lah, intinye syiah bangetz!!!

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “kaji semua aliran dlm Islam secara obyektif dan adil dan berdayakan akal yg eloe”
    mantap si boss boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad dah kaji semua aliran dlm Islam secara obyektif dan adil dan berdayakan akal
    kalo syiah ntu sesat ga boss?

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Nah begitu pula SP yg sedang mencari kebenaran harus memposisikan dirinya terlepas dari Sunni dan Syiah agar penilaiannya lebih obyektif”
    bukannye si syiahprince gi taqiyah ga ngaku syiah, durhaka banget ye boss si bocah2 syiah. parah!!! malu ama agama syiahnye
    bukannye si syiahprince sang penganalisis pencari kebenaran ntu bersifat subyektif, mane ade si khomeini di kritik, mane ade syiah dikritik

    two thumbs down payah!!!

  25. Mas skrg kok agak susah masuk ke SP ?

  26. Cing eloe tuh lucu banget deh. Kalo memang Syiah itu dengkul kok ente repot2 buat “fatwa” di sini ? Engga tahan dg irisan pisau tajamnya SP ? Memang kebenaran itu pahit cing spt brotowali tp bisa jug spt obat untuk jiwa yg lagi sakit

  27. kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Cing eloe tuh lucu banget deh”
    nyang lebih lucu lagi ade syiah gi taqiyah ga ngaku syiah, tapi defend banget ama syiah, elo tau kan siape die?

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Kalo memang Syiah itu dengkul kok ente repot2 buat “fatwa” di sini ?”
    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “wah emang eloe tuh ngomong dengkul melulu”
    syiah ntu dengkul ye boss, pan gw dari tadi ngomongin syiah melulu

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Engga tahan dg irisan pisau tajamnya SP ?”
    kalo gw liat komen2nye kan agak monoton, nah gw warnain dikitlah

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Memang kebenaran itu pahit cing spt brotowali tp bisa jug spt obat untuk jiwa yg lagi sakit”
    nah si syiahprince ntu kan sang penganalisis pencari kebenaran, jangan2 jiwanye si syiahprince gi sakit ye boss, taqiyah mulu ga ngaku syiah. emang parah ye boss si bocah2 syiah durhaka, malu ngakuin kalo agamanye syiah

  28. Yah ane bisa ngerasain betapa sakitnya hati ente ketika tokoh2 gacoan dan pujaan eloe di hajar habis2an di sini tanpa ente bisa berbuat ape2 selain ngedumel.

    Ane dulu juga begitu den waktu masih pake warisan nenek moyang. Cuma bedanya ane bisa masuk gigi netral dulu untuk studi komparatif.

    Tapi ya buat ape sih ngotot bertahan kalo emang sdh tdk bisa dipertahankan lagi? Jadinya yg keluar cuma rintihan penyelesalan/kemarahan yg diulang2 terus sama SP.

  29. kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Yah ane bisa ngerasain betapa sakitnya hati ente ketika tokoh2 gacoan dan pujaan eloe di hajar habis2an di sini tanpa ente bisa berbuat ape2 selain ngedumel”
    gacoan dan pujaan eloe juga di hajar habis2an di http://tanyasyiah.wordpress.com/

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Ane dulu juga begitu den waktu masih pake warisan nenek moyang. Cuma bedanya ane bisa masuk gigi netral dulu untuk studi komparatif.”
    taqiyah lagi taqiyah lagi, mangnye elo ga capek boss taqiyah mulu

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Tapi ya buat ape sih ngotot bertahan kalo emang sdh tdk bisa dipertahankan lagi?”
    masa sich boss, ga percaya gw, kalo taqiyah aka dusta trus mut’ah aka zina dah jelas2 sesat, masih juga dipertahanin ama elo2 pade para bocah mut’ah

    kutip boss iwanoel aka boss Jefry Rasyad
    “Jadinya yg keluar cuma rintihan penyelesalan/kemarahan yg diulang2 terus sama SP”
    nah nyang menariknye ntu si syiahprince gi taqiyah ga ngaku syiah, trus berhujjah dengan hadits kaum muslimin, kalo die berhujjah dengan hadits syiah, bakalan ga mungkin lah, pan si syiahprince ntu si penganalisis pencari kebenaran, nyang pastinye ntu dah diperiksalah kevalidan haditsnye syiah

    pan di syiah ntu ade nyang namanye taqiyah aka dusta, nyang akhirnye hadits syiah merupakan hadits nyang ditinggalkan dan tidak dapat diambil sebagai hujjah

    nah si penganalisis pencari kebenaran ntu jadinye males, karena pondasinye dah bobrok (dengan taqiyah) nyang implikasinye bangunannye (haditsnye syiah) ntu bakalan runtuh dengan sendirinye

    sehingga die ga berkompetensi dalam hal eni, nanti taqiyahnye si penganalisis pencari kebenaran bakalan kebongkar karena bakalan ngesohehin hadits syiah nyang nyatanye……

    koq si boss penganalisis pencari kebenaran, malu2 kucing persia ye kalo ngakuin dirinye syiah, apakah sangat tercela serta menjijikan kalo mengakui dirinye syiah
    parah emang bocah2 syiah, ga mau ngakuin kalo agamanye ntu syiah
    -dasar bocah2 syiah durhaka-

  30. Mas, sudah lama tdk menulis ke mana saja?.
    lagi ngambek ya?
    kangen sama tulisan mas yang menggigit.
    ayo mas jangan males nulis lagi
    aku tunggu artikelnya yg hot

Tinggalkan komentar