Daftar Hadis Aisyah Dengan Lafaz Qaala Sebagai Perkataan Aisyah

Daftar Hadis Aisyah Dengan Lafaz Qaala Sebagai Perkataan Aisyah

Masih seputar syubhat nashibi tentang idraaj hadis Aisyah, pada tulisan sebelumnya kami menampilkan beberapa contoh tentang hadis Aisyah dengan lafaz qaala yang menunjukkan bahwa itu adalah lafaz Aisyah. Kali ini kami akan menambahkan lagi pada para pembaca bahwa lafaz qaala dalam hadis-hadis Aisyah menunjukkan perkataan Aisyah bukan perkataan perawi hadis laki-laki.

.

.

Hadis Pertama

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الملك بن عمرو وقال ثنا بن أبي ذئب عن الزهري عن عروة عن عائشة أن النبي صلى الله عليه و سلم أعتم بصلاة العشاء ذات ليلة فقال عمر يا رسول الله نام النساء والصبيان فخرج النبي صلى الله عليه و سلم فقال ما من الناس من أحد ينتظر هذه الصلاة غيركم قال وذاك قبل أن يفشو الإسلام في الناس

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah mengabarkan kepada kami ayahku yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin ‘Amru dan berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mengakhirkan shalat isyaa’ sampai larut malam maka Umar berkata “wahai Rasulullah wanita dan anak-anak telah tidur” maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar dan berkata “tidak ada manusia yang menunggu shalat ini selain kalian”. [qaala] dan itu terjadi sebelum islam menyebar luas dikalangan manusia [Musnad Ahmad 6/215 no 25849, Syaikh Al Arnauth berkata ”sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim”]

Perhatikan lafaz “wadzaaka qabla an yafsuwal islaam fii naas” [dan itu terjadi sebelum islam menyebar luas di kalangan manusia]. Lafaz ini diawali dengan kata [qaala] yang jika diartikan adalah perawi laki-laki berkata. Tetapi lafaz ini sebenarnya adalah perkataan Aisyah bukan perkataan perawi laki-laki sebagaimana nampak dalam riwayat berikut

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً بِالْعِشَاءِ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَفْشُوَ الْإِسْلَامُ فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى قَالَ عُمَرُ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ فَقَالَ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرَكُمْ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Ibnu Syihaab dari Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengakhirkan shalat isya’ sampai larut malam dan itu terjadi sebelum islam menyebar luas, Beliau tidak keluar sampai Umar berkata “wanita dan anak-anak sudah tidur”. Maka Beliau keluar dan berkata kepada orang-orang di masjid “tidak ada seorangpun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian” [Shahih Bukhari 1/118 no 566]

Faedah yang dapat diambil disini adalah lafaz qaala pada riwayat Ahmad diartikan sebagai perawi [laki-laki] berkata melanjutkan hadis Aisyah bahwa itu terjadi sebelum islam menyebar luas di kalangan manusia. Hal ini sesuai dengan riwayat Bukhari yang mengatakan bahwa Aisyah berkata “dan itu terjadi sebelum islam menyebar luas”. Hadis ini menjadi bukti bahwa lafaz qaala dalam hadis Aisyah tidak semata-mata dikatakan sebagai idraaj [sisipan perawi]. Masih hadis yang sama dengan matan yang sedikit berbeda yaitu riwayat Bukhari berikut

حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ عَنْ سُلَيْمَانَ قَالَ صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ الصَّلَاةَ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ فَقَالَ مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ قَالَ وَلَا يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلَّا بِالْمَدِينَةِ وَكَانُوا يُصَلُّونَ فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ

Telah menceritakan kepada kami Ayuub bin Sulaiman yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Bakar dari Sulaiman yang berkata Shalih bin Kaysaan berkata telah mengabarkan kepadaku Ibnu Syihaab dari Urwah bahwa Aisyah berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengakhirkan shalat isyaa’ sampai larut malam hingga Umar menyeru kepada Beliau “shalat, wanita dan anak-anak sudah tidur”. Maka Beliau keluar dan berkata “tidak ada seorangpun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian”. [qaala] “tidaklah dilaksanakan shalat pada hari itu kecuali di Madinah dan mereka menunaikan shalat tersebut antara hilangnya syafaq hingga sepertiga awal malam” [Shahih Bukhari 1/118 no 569]

Perhatikan lafaz “wa kaanu yushalluuna fiima baina…” yang terletak setelah lafaz [qaala]. Apakah lafaz tersebut idraaj dari perawi laki-laki atau bukan perkataan Aisyah?. Tidak, lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah sebagaimana yang tampak dalam riwayat Thahawiy berikut

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: ثنا أَبُو الْيَمَانِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّ عَائِشَةَ، قَالَتْ: ” أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً بِالْعَتَمَةِ , حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ: نَامَ النَّاسُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ , وَلَا يُصَلِّي يَوْمَئِذٍ إِلَّا بِالْمَدِينَةِ. قَالَتْ وَكَانُوا يُصَلُّونَ الْعَتَمَةَ , فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ غَسَقُ اللَّيْلِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah bahwa Aisyah berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengakhirkan shalat sampai larut malam sehingga Umar menyeru Beliau “wanita dan anak-anak sudah tidur”. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar dan berkata “tidak ada seorangpun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian” dan tidaklah dilaksanakan shalat pada hari itu kecuali di Madinah. Aisyah berkata “dan mereka menunaikan shalat tersebut antara gelap malam hingga sepertiga malam” [Syarh Ma’aanil Atsaar Ath Thahawiy 1/157 no 946, sanadnya shahih]

Maka sekali lagi, lafaz qaala dalam riwayat Bukhari diartikan bahwa perawi laki-laki berkata melanjutkan hadis Aisyah bahwa mereka menunaikan shalat tersebut antara hilangnya syafaaq hingga sepertiga malam. Hal ini sesuai dengan riwayat Thahawiy yang menjadikan lafaz tersebut sebagai lafaz Aisyah.

.

.

.

Hadis Kedua

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا أبو كامل ثنا إبراهيم ثنا بن شهاب عن عروة قال قلت لعائشة أرأيت قول الله عز و جل { إن الصفا والمروة من شعائر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما } والله ما على أحد جناح ان لا يطوف بهما قالت بئسما قلت يا بن أختي انها لو كانت كما أولتها عليه كانت فلا جناح عليه ان لا يطوف بهما إنما أنزلت ان هذا الحي من الأنصار كانوا قبل ان يسلموا يهلوا لمناة الطاغية التي كانوا يعبدون عند المشلل وكان من أهل لها يتحرج ان يطوف بالصفا والمروة فسألوا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن ذلك فأنزل الله عز و جل { إن الصفا والمروة من شعائر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما } قال ثم قد سن رسول الله صلى الله عليه و سلم الطواف بهما فليس ينبغي لأحد ان يدع الطواف بهما

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihaab dari Urwah yang berkata Aku berkata kepada Aisyah bagaimana menurutmu tentang ayat ini “sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya”. Demi Allah, seorangpun tidak berdosa jika tidak mengerjakan sa’i antara keduanya. Aisyah berkata “alangkah buruknya apa yang kamu katakan, bila penafsirannya seperti yang kamu katakan maka tentulah ayatnya “maka tidak ada dosa baginya bila dia tidak mengerjakan sa’i antara keduanya”. Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan perkampungan Anshar yang sebelum masuk islam membaca talbiyah untuk manat ath thaghiyah yang mereka sembah di al musyallal. Orang yang membaca talbiyah untuknya merasa keberatan mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah. Lalu mereka menanyakannya kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya” [QS Al Baqarah 2 ; 158]. [qaala] “sungguh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mencontohkan agar mengerjakan sa’i antara keduanya oleh karena itu tidak layak bagi seorangpun untuk meninggalkannya” [Musnad Ahmad 6/227 no 25947, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih”]

Perhatikan lafaz “tsumma qad sanna Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] thawaafa bihima…” yang dalam riwayat Ahmad di atas diucapkan setelah lafaz [qaala]. Apakah lafaz itu bermakna idraaj [sisipan] dari perawinya?. Jawabannya tidak, lafaz tersebut adalah milik Aisyah sebagaimana yang tampak dalam riwayat Bukhari-hadis yang sama- dengan lafaz

قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَتْرُكَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا

Aisyah [radiallahu ‘anha] berkata “dan sungguh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mencontohkan agar mengerjakan sa’i antara keduanya oleh karena itu tidak layak bagi seorangpun untuk meninggalkannya” [Shahih Bukhari 2/158 no 1643]

.

.

.

Hadis Ketiga

حدثنا عبد الله حدثني أبي قال ثنا بهز قال ثنا شعبة قال ثنا أشعث بن سليم إنه سمع أباه يحدث عن مسروق عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها وعندها رجل قال فتغير وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم كأنه شق عليه فقالت يا رسول الله أخي فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم انظرن ما إخوانكن فإنما الرضاعة من المجاعة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada Bahz yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada kami Asy’ats bin Sulaim yang menceritakan kepada kami bahwa ia mendengar ayahnya menceritakan hadis dari Masruuq dari Aisyah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuinya dan disisinya ada seorang laki-laki. [qaala] maka wajah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berubah seolah-olah ia keberatan dengannya. Maka Aisyah berkata “wahai Rasulullah dia adalah saudaraku”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “perhatikanlah siapa saudara-saudaramu sesungguhnya dinamakan persusuan itu terjadi hanya karena rasa lapar” [Musnad Ahmad 6/94 no 24676, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim”]

Apakah lafaz [qaala] diatas bermakna idraaj [sisipan perawinya]. Apakah keterangan tentang berubahnya wajah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam hadis di atas adalah dhaif karena itu bukan perkataan Aisyah melainkan sisipan perawi laki-laki?. Jawabannya tidak, karena terbukti dalam riwayat lain bahwa itu adalah perkataan Aisyah

حدثنا هناد بن السري حدثنا أبو الأحوص عن أشعث بن أبي الشعثاء عن أبيه عن مسروق قال قالت عائشةدخل رسول الله صلى الله عليه و سلم وعندي رجل قاعد فاشتد ذلك عليه ورأيت الغضب في وجهه قالت فقلت يا رسول الله إنه أخي من الرضاعة قالت فقال انظرن إخوتكن من الرضاعة فإنما الرضاعة من المجاعة

Telah menceritakan kepada kami Hanaad bin As Sariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash dari Asy’ats bin Abi Asy Sya’tsaa’ dari ayahnya dari Masruuq yang berkata Aisyah berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk dan disisiku ada seorang laki-laki, Beliau keberatan atas hal itu dan aku melihat kemarahan di wajahnya maka aku berkata “wahai Rasulullah, ia adalah saudara sepersusuanku”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “perhatikanlah saudara-saudara sepersusuanmu, sesungguhnya yang dinamakan persusuan itu hanya karena rasa lapar” [Shahih Muslim 2/1078 no 1455]

Dalam riwayat Muslim terlihat jelas bahwa berubahnya wajah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena marah adalah perkataan Aisyah yang melihat langsung wajah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka lafaz [qaala] dalam riwayat Ahmad sebelumnya bukanlah idraaj [sisipan] dari perawi melainkan perkataan Aisyah.

.

.

.
Hadis Keempat

Ada contoh hadis lain dimana lafaz qaala bermakna qaalat. Sebenarnya Aisyah yang berkata tetapi digunakan lafaz qaala.

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا عبد الصمد ثنا همام ثنا قتادة عن مطرف عن عائشة انها صنعت لرسول الله صلى الله عليه و سلم حلة من صوف سوداء فلبسها فلما عرق وجد ريح الصوف فقذفها قال وأحسبه قال وكانت تعجبه الريح الطيبة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdush Shamad yang berkata telah menceritakan kepada kami Hamaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Mutharrif dari Aisyah bahwa ia membuat baju hitam untuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lalu Beliau memakainya. Ketika Beliau berkeringat, Beliau mencium bau wol maka Beliau melepasnya. [qaala]  aku menduganya berkata [qaala] “Beliau menyukai bau yang wangi” [Musnad Ahmad 6/249 no 26160, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih”]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد انا همام عن قتادة عن مطرف عن عائشة قالت جعل للنبي صلى الله عليه و سلم بردة سوداء من صوف فذكر بياض النبي صلى الله عليه و سلم وسوادها فلما عرق وجد منها ريح الصوف فقذفها قال وأحسبه قد قالت كان يعجبه الريح الطيبة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaam dari Qatadah dari Mutharrif dari Aisyah yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah dibuatkan selimut yang terbuat dari wol sehingga Beliau teringat putihnya kulit Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan hitamnya selimut tersebut. Ketika Beliau berkeringat tercium bau wol maka Beliau membuangnya. [qaala] aku menduganya sungguh telah berkata [qaalat] “Beliau menyukai bau yang wangi” [Musnad Ahmad 6/144 no 25160, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih”]

Perhatikan lafaz “Beliau menyukai bau yang wangi”. Dalam riwayat Ahmad pertama lafaz tersebut diucapkan dengan lafaz [qaala] tetapi dalam riwayat Ahmad kedua lafaz tersebut diucapkan dengan lafaz [qaalat]. Dari sini dapat diambil faedah bahwa terkadang perawi menggunakan lafaz [qaala] untuk menyatakan perkataan Aisyah.

.

.

.

Hadis Kelima

Jika sebelumnya kami menunjukkan hal itu dengan membawakan hadis-hadis lain yang semisal tetapi menggunakan lafaz qaalat maka ada contoh lain dimana lafaz qaala adalah perkataan Aisyah dan buktinya terletak pada riwayat itu sendiri

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن إسماعيل بن أبي خالد عن قيس بن أبي حازم عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم في مرضه الذي مات فيه وددت أن عندي بعض أصحابي قلنا يا رسول الله ألا ندعو لك أبا بكر فسكت قلنا يا رسول الله ألا ندعو لك عمر فسكت قلنا يا رسول الله ألا ندعو لك عليا فسكت قلنا ألا ندعو لك عثمان قال بلى قال أرسلنا إلى عثمان فجاء فخلا به فجعل يكلمه ووجه عثمان يتغير

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Wakii’ dari Isma’iil bin Abi Khaalid dari Qais bin Abi Haazim dari Aisyah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda saat sakit yang menyebabkan Beliau wafat “aku ingin sekali jika disisiku ada sebagian sahabatku”. Kami berkata “wahai Rasulullah maukah kami panggilkan untukmu Abu Bakar?. Beliau diam. Kami berkata “wahai Rasulullah maukah kami panggilkan untukmu Umar?”. Beliau diam. Kami berkata “wahai Rasulullah maukah kami panggilkan untukmu Aliy?. Beliau diam. Kami berkata “wahai Rasulullah maukah kami panggilkan untukmu Utsman?. Beliau menjawab “ya”. [Qaala] “kami mengutus seseorang menemui Utsman, kemudian ia datang dan menemani Beliau, Beliau berbicara dengannya dan wajah Utsman berubah [Musnad Ahmad 6/214 no 25839, sanadnya shahih]

Riwayat Ahmad diatas sanadnya shahih para perawinya tsiqat perawi Bukhari Muslim. Silakan pembaca perhatikan lafaz “qaala arsalnaa ilaa ‘Utsman” yang jika diterjemahkan adalah “qaala kami mengutus kepada Utsman”. Siapakah yang mengucapkan lafaz [qaala] tersebut?. Apakah lafaz tersebut diartikan perawi hadis laki-laki berkata “kami mengutus kepada Utsman”?. Kami jawab hal ini tidak mungkin, karena perawi laki-laki dalam sanad di atas bukanlah sahabat Nabi yang pada saat itu ada di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Lafaz [qaala] disana tidak lain berarti Aisyah berkata “kami mengutus seseorang menemui Utsman”.

.

.

Contoh-contoh di atas sudah cukup sebagai bantahan untuk syubhat nashibi yang menyedihkan. Mereka sok berbicara atas nama ilmu hadis padahal hanya menyebarkan syubhat murahan demi membela hawa nafsu mereka. Kasus hadis Aisyah tentang kemarahan Sayyidah Fathimah kepada Abu Bakar hingga wafat tidaklah berbeda dengan kasus hadis-hadis di atas. Dimana lafaz [qaala] dalam hadis Aisyah tersebut bukan bermakna idraaj [sisipan] perawi melainkan itu adalah perkataan Aisyah. Bukti-bukti hal itu dapat dilihat dalam tulisan kami sebelumnya.

Fenomena Idraaj dalam ilmu hadis bukan perkara yang bisa ditetapkan dengan syubhat tetapi atas dasar bukti dalam riwayat bukan sekedar persangkaan atau anda-andai dengan bukti palsu. Kami sarankan pada para nashibi agar belajar ilmu hadis dengan benar. Menyedihkan sekali kalau hal yang sederhana seperti ini harus dibahas dengan berpanjang-panjang. Semoga bermanfaat bagi sebagian pembaca. Salam Damai

22 Tanggapan

  1. Salam. Terima kasih SP atas perkongsian ilmu nya.

    tak lupa, kami ingin ucapkan Selamat Hari Raya Aidilfitri. Maaf lahir dan batin dari kami Sepuluh Penjejak Bumi. 🙂

  2. Selamat Hari Raya ‘idul Fitri 1 Syawal 1433 H, mohon maaf lahir dan batin.

    Mudah2an Bang Sp tetap berjuang dan istiqomah utk mengajari kita2 yg masih awam…

  3. minal aidzin wal faidzin ustadz
    sungguh banyak sekali ilmu yang ustadz bagikan terutama untuk diri saya.. terima kasih sekali.
    semenjak memasuki bulan rhamadhan baru saya menemukan website ustadz..
    dan sungguh sangat banyak memberikan manfaat… sehingga saya lebih terbuka wawasannya untuk lebih mencintai nabi muhammad dan ahlu baitnya..

  4. Ada tanggapan konyol dari abul jauzaa an nashibi tersebut yang menunjukkan sekali lagi kelemahan akalnya. Ia berkata menanggapi hadis pertama yang saya kutip bahwa itu adalah idraaj Az Zuhriy yaitu dengan hujjah berikut

    Namun dalam riwayat ‘Abdurrazzaaq disebutkan :

    أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَنَادَاهُ عُمَرُ، فَقَالَ: نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: ” مَا يَنْتَظِرُ هَذِهِ الصَّلاةَ أَحَدٌ غَيْرُكُمْ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ “، قَالَ الزُّهْرِيُّ: ” وَلَمْ يَكُنْ يُصَلِّي يَوْمَئِذٍ إِلا مَنْ بِالْمَدِينَةِ ”

    “…….Az-Zuhriy berkata : dan pada saat itu tidak ada seorangpun yang mengerjakannya kecuali penduduk Madinah” [Al-Mushannaf no. 2116].

    Jelas sekali penunjukkannya bahwa lafadh wa lam yakun yushalli…dst. dari jalur Az-Zuhriy ini merupakan idraaj dari Az-Zuhriy.

    Lha yang kita bicarakan hadis Aisyah dan idraaj pada hadis Aisyah. Anehnya ia malah mengutip hadis Ibnu Umar. Tentu saja itu bukan idraaj melainkan pernyataan Az Zuhriy yang ia dapat dari hadis Aisyah yang ia riwayatkan. Mana bisa idraaj ditetapkan dengan model begini. Sederhana saja jika anda mengetahui suatu hadis kemudian anda mengatakan pendapat berdasar hadis tersebut tetapi tidak menyebutkan hadisnya maka apakah orang bisa dengan mudah menyatakan bahwa itu adalah perkataan yang berasal dari anda sendiri padahal di saat lain ketika ditanya anda menyebutkan lengkap beserta hadisnya. Maka apakah bisa dikatakan anda membuat-buat hadis berdasarkan perkataan anda sendiri. Justru faktanya anda berkata sesuai dengan hadis yang anda yakini. Nah itulah duduk persoalannya.

    Bukannya seperti kesimpulan ngawur nashibi itu. Orang ini sudah keracunan idraaj, sehingga setiap hadis Aisyah walaupun sudah terbukti dinyatakan dengan lafaz [qaalat] kalau ia menemukan Az Zuhriy mengatakan demikian, akan ia nafikan perkataan Aisyah itu sebagai idraaj.

    Yang lucunya ia membuktikan bahwa lafaz idraaj Az Zuhriy adalah dan pada saat itu tidak ada seorangpun yang mengerjakannya kecuali penduduk Madinah. yaitu dengan membawakan riwayat dalam al mushannaf tetapi ia berkata dengan konyolnya Justru riwayat Ibnu Abi Dzi’b yang pertama di atas menjadi hujjah bahwa lafadh wa dzaalika qabla an yasyfuwal-Islaam merupakan idraaj perawi sebelum ‘Aaisyah – yang besar kemungkinannya adalah Az-Zuhriy.. Lihatlah lain yang disimpulkan lain yang dibuktikan, cara berhujjah yang benar-benar sembarangan

    Sebagai tambahan info, Muhibuddin Ath Thabariy dalam Riyadh An Nadhirah mengutip hadis Aisyah di atas dan menyatakan dalam kutipannya bahwa lafaz “dan pada saat itu tidak ada seorangpun yang mengerjakannya kecuali penduduk Madinah” adalah milik Aisyah

    وعن عائشة قالت: اعتم رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة بالعتمة، فناداه عمر نام النساء والصبيان، فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: ” ما من الناس أحد ينتظر الصلاة غيركم ” . قالت: ولم يكن يصلي يومئذ إلا بالمدينة، خرجه النسائي

    Bukti lainnya yaitu riwayat Ath Thabraniy dalam Musnad Asy Syamiyyin, dimana dalam lafaznya terdapat perkataan “shalat bersama kami”. Ucapan yang tidak mungkin diucapkan oleh Az Zuhriy yaitu riwayat berikut

    حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ أَحْمَدَ ، ثنا جَدِّي لأُمِّي خَطَّابٌ . ح وَحَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عِرْقٍ الْحِمْصِيُّ ، ثنا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ ، قَالا : ثنا مُحَمَّدُ بْنُ حِمْيَرٍ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَتَمَةَ ، فَنَادَاهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ : الصَّلاةَ ، نَامَ الصِّبْيَانُ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : ” مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ غَيْرُكُمْ ” فَلا يُصَلِّي بِنَا يَوْمَئِذٍ إِلا بِالْمَدِينَةِ ، كَانُوا يُصَلُّونَ صَلاةَ الْعَتَمَةِ فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

    Perhatikan lafaz “Falaa yushalli bina”, ucapan ini hanya bisa dipahami sebagai perkataan Aisyah bukannya Az Zuhriy.Kesimpulannya bantahan nashibi itu tidak bernilai

    Satu contoh saja yang dapat saya komentari, karena akan terlalu panjang jika mengomentari secara keseluruhan.

    Tidak usah banyak bicara, kalau memang mampu silakan komentari semua yang kami tulis. Jangan tong kosong nyaring bunyinya.

  5. bung SP, komen diatas sdh di counter oleh abul jauzaa

  6. @nubie

    saya sudah lihat komentarnya dan maaf saja komentarnya nol besar. Ia berkata

    Maka lafadh falaa yushallii binaa menyelisihi shighah lafadh para perawi yang meriwayatkan dari Az-Zuhriy. Makna yang ditimbulkannya pun akan berlainan, yaitu dalam hal subjeknya. Misal :

    1. Shaalih bin Kaisaan membawakan dengan lafadh : wa laa yushalli yaumaidzin illaa bil-Madiinah.

    2. Ma’mar membawakan dengan lafadh : wa lam yakun ahadun yaumaidzin yushalli ghaira ahlil-Madiinah.

    3. Syu’aib bin Abi Hamzah membawakan dengan lafadh : wa laa yushalli yaumaidzin illa bil-Madiinah.

    Dimana letak menyelisihi yang ia maksud. Semua lafaz itu adalah perkataan Aisyah maka tidak ada yang menyelisihi, justru riwayat Thabraniy menegaskan dengan pasti bahwa lafaz tersebut adalah milik Aisyah.

    Nashibi yang kurang akal itu beranggapan menyelisihi karena dari awal ia sudah terkena waham bahwa lafaz Aisyah tersebut adalah idraaj Az Zuhriy. Padahal tidak ada bukti sharih [tegas] bahwa itu adalah idraaj Az Zuhriy. Perkataan Az Zuhriy yang dibawakannya dalam riwayat Ibnu Umar tidak menjadi bukti idraaj dalam riwayat Aisyah. Idraaj tidak ditetapkan dengan model syubhat murahan seperti itu. Bukti idraaj yang benar adalah jika dalam riwayat Aisyah terdapat sisipan yang menyatakan bahwa “Az Zuhriy berkata”. Faktanya tidak ada riwayat seperti itu. Riwayat Ibnu Himyar jelas shahih, perbedaan sighat itu tidaklah menyelisihi riwayat lain

    Dan lucunya nashibi itu cuma bisa mengomentari orang lain padahal ia sendiri melakukan hal yang sama. Bukankah ia berhujjah dengan riwayat Shalih bin Kaisan dengan lafaz “qala wala yushalli” nah lafaz qala ini hanya adalam riwayat Shalih sedangkan dalam lafaz Ma’mar dan Syu’aib yang ia katakan dua orang yang paling tsabit riwayatnya dari Az Zuhriy tidak mengandung lafaz “qala”. Jika menuruti logika ngawur nashibi itu, maka lafaz qaala dalam riwayat Shalih menyelisihi riwayat Ma’mar dan Syu’aib yaitu pada subjeknya oleh karena itu tambahan qaala itu adalah kekeliruan dalam membawakan lafaz riwayat. Tidak tahu diri nih ye :mrgreen:

    Sekali lagi kami ingatkan bahwa lafaz “qala” dalam riwayat Shalih bukanlah bukti idraaj karena kalau memang idraaj lafaznya adalah “qala Az Zuhriy”. Bukti Idraaj selalu memuat nama perawi yang melakukan idraaj. Hadis Aisyah yang mengandung lafaz qaala sebagaimana yang telah kami buktikan banyak terdapat dalam kitab hadis. Kalau nashibi itu pura-pura buta akan hal ini maka itu hanya menunjukkan kelemahan akalnya. Intinya tidak ada satupun bantahannya yang bernilai kecuali mengulang ngeyelisme gak penting.

  7. Dan sebagai tambahan informasi, Az-Zuhriy sendiri dalam riwayat Ibnu ‘Umar yang dibawakan oleh An-Nasaa’iy menggabungkan perkataannya itu dengan lafadh perkataan Ibnu ‘Umar :

    أَخْبَرَنَا نُوحُ بْنُ حَبِيبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَنَادَاهُ عُمَرُ، فَقَالَ: نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: ” مَا يَنْتَظِرُ هَذِهِ الصَّلاةَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ غَيْرُكُمْ “، وَلَمْ يَكُنْ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلا بِالْمَد

    Ya kalau keterangan ini tidak dianggap sebagai idraaj, saya persilakan orang Raafidlah itu mencontohkan hadits mudraj menurut pemahaman yang dimilikinya.

    Tentu saja itu idraaj dan faktanya adalah lafaz tersebut adalah idraaj Az Zuhriy dalam hadis Ibnu Umar. Sedangkan dalam hadis Aisyah ya itu perkara lain, silakan ia bawakan buktinya kalau memang ada dalam riwayat Aisyah lafaz “qala Az Zuhriy”. kalau ada maka kami akan sepakat dengannya bahwa itu idraaj.

    Tetapi itu tidak membenarkan kekonyolan hujjah nashibi itu bahwa lafaz yang lain yang gak ada sangkut pautnya mau diikut-ikutkan sebagai idraaj. Itu yang kami katakan serampangan.

    Fakta sebenarnya adalah idraaj Az Zuhriy dalam hadis Ibnu Umar itu berasal dari Aisyah sebagaimana yang tampak dalam riwayat Thabraniy yang sudah kami kutip. Riwayat ini jelas menggugurkan idraaj Az Zuhriy dalam hadis Aisyah sebaliknya itu menerangkan bahwa Az Zuhriy berkata dalam hadis Ibnu Umar sesuai dengan hadis Aisyah yang ia dapat

    apakah menjadi salah maknanya ?. Bukankah itu sesuai dengan tata bahasa Arab ?. Bukankah itu berkesesuaian dengan lafadh dan makna dalam jalan Ibnu ‘Umar yang saya bawakan di atas ?. Atau,… mungkin pikiran orang Raafidlah yang memang rada-rada kocak itu menandaskan bahwa lafadh Al-Bukhaariy itu seharusnya menjadi : qaala ‘Aaisyah : wa laa yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah. Silakan belajar nahwu kembali……

    Komentar ini cukup dijawab dengan pernyataan sebagian ulama yang menurut nashibi itu rada-rada kocak yaitu Ibnu Hajar, Adz Dzahabiy dan Ibnu Taimiyyah

    Berkata Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari, silakan lihat di link ini http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=52&ID=2223&idfrom=7506&idto=7517&bookid=52&startno=1

    ولكن حدثني سعيد بن المسيب وعروة وعلقمة وعبيد الله كلهم عن عائشة قال : الذي تولى كبره عبد الله بن أبي

    Berkata Adz Dzahabiy dalam As Siyar, silakan lihat di link ini http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=60&ID=2&idfrom=1&idto=316&bookid=60&startno=86

    ابن إسحاق : عن محمد بن جعفر بن الزبير ، عن عباد بن عبد الله بن الزبير ، عن عائشة قال : تهجد رسول الله

    Berkata Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah, silakan lihat di link ini http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=108&ID=505&idfrom=864&idto=879&bookid=108&startno=1

    وأخرجه مسلم عن عائشة قال : دخل رجلان على النبي

    Agak aneh memang dan bisa dibilang kami agak pura-pura bingung dalam perkara ini :mrgreen:

  8. sdh disanggah kembali oleh abul jauzaa

  9. Ibnu Hajar berkata :

    كذا في رواية عبد الرزاق وزاد ” ولكن حدثني سعيد بن المسيب وعروة وعلقمة وعبيد الله كلهم عن عائشة قال : الذي تولى كبره عبد الله بن أبي

    Katanya, Ibnu Hajar ini sekocak dirinya. Jauh sekali atuh bung… Perhatikan dulu konteks kalimatnya. Ibnu Hajar ini sedang menjelaskan perbedaan riwayat yang dibawakan ‘Abdurrazzaaq.

    Alangkah lemahnya akal anda, justru kami ingin menunjukkan bahwa penggunaan lafaz qala untuk menyatakan suatu hadis sebagai perkataan Aisyah adalah hal yang wajar-wajar saja dalam ilmu hadis. Tidak perlu kami bersusah-susah untuk mengatakan bahwa seharusnya lafaz itu qaalat. Intinya adalah seorang ulama ketika membawakan hadis Aisyah mereka tidak memiliki masalah untuk meriwayatkan dengan lafaz qaala dan tidak memaksudkannya sebagai idraaj. Kembali ke hadis Aisyah di atas apa susahnya tuh qaala diartikan perawi berkata dalam hadis Aisyah tersebut atau perawi berkata melanjutkan hadis Aisyah. Makna seperti ini banyak dalam hadis-hadis Aisyah telah kami bawakan contoh-contohnya. Jadi lafaz qaala saja tidaklah cukup sebagai bukti idraaj dalam hadis Aisyah. Itulah inti tulisan kami, lucunya anda seolah-olah beranggapan bahwa ini masalah nahwu atau tata bahasa, konyol sekali pikiran anda wahai nashibi.

    Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah pun juga sama, yaitu :

    وأخرجه مسلم عن عائشة قال : دخل رجلان على النبي

    “Diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aaisyah, ia (Muslim) berkata (qaala) : “Dua orang laki-laki masuk menemui Nabi…..”.

    Lha itu anda bisa menerjemahkannya dengan baik, lantas apa masalah anda dengan hadis Aisyah yang kami bawakan di atas. Kami juga tidak akan begitu bodohnya mengatakan bahwa lafaz qaala itu adalah perkataan Muslim atau idraaj Muslim padahal jelas dalam riwayat bahwa itu perkataan Aisyah. Intinya sekali lagi, mana bisa lafaz [qaala] saja dalam riwayat Aisyah mau dikatakan idraaj. Ia harus ditetapkan dengan sharih misalnya kalau anda mengatakan itu idraaj Az Zuhriy maka harus ada lafaz qalaa Az Zuhriy dalam riwayat Aisyah tersebut sebagai penanda bahwa lafaz tersebut adalah idraaj.

    Lain kali bung Rafidlah, sebaiknya Anda lebih cermat. Yang dibicarakan adalah kontent riwayat secara lengkap beserta sanadnya dengan pemahaman dlamir yang ada dalam setiap lafadh.

    Gak usah berlagak bung nashibi, silakan perhatikan berbagai hadis Aisyah yang telah kami tulis dimana terdapat lafaz qaala dan ternyata dibuktikan dalam riwayat lain bahwa itu adalah perkataan Aisyah dengan bukti adanya lafaz qaalat. Riwayat kemarahan Fathimah pun sama kedudukannya seperti itu, lafaz qaala yang anda katakan idraaj ternyata dibawakan dalam riwayat lain dengan lafaz qaalat, maka sudah jelas itu bukan idraaj. Siapa sih yang sedang ngeyel mempertahankan hawa nafsunya tanpa dalil, ya anda sendiri. Sok bicara perhatikan konteks riwayat dan dhamir, mungkin maksudnya perhatikan isi waham di kepala anda kali

    Dan coba dipikir-pikir,… lantas apa faedah bahasa sanad yang dibawakan perawi dengan membedakan antara penisbatan dlamir laki-laki dan perempuan, yaitu qaala dan qaalat jika Anda mengatakan maknanya sama saja ?.

    Lucu, itu anda sendiri yang salah memahami apa yang kami tulis. Dalam hadis-hadis Aisyah yang terdapat lafaz qaala ternyata lafaz qaala itu bermakna sama dengan qaalat yaitu menunjukkan bahwa lafaz tersebut berasal dari Aisyah.Qaala disana bermakna sang perawimmebawakan perkataan Aisyah. Dan itu sudah kami buktikan dalam banyak riwayat. Jika anda buta maka jangan salahkan orang lain yang melihat 🙂

    Hukum asal setiap kalimat dinisbatkan pada setiap dlamir yang dikandungnya, kembali ke siapa. Kalau orang Raafidlah itu menafikkan kaedah bahasa seperti ini, ya mending ke laut aja deh.. Cape deh….

    Wah maaf gak ada kok kami menafikan kaedah ini. Justru andalah yang tidak paham apa yang ditulis orang lain. Jadi gak perlu banyak bicara kalau argumen orang lain saja tidak mengerti.

    Kalaupun misal ada beberapa kalimat yang tidak menunjukkan kaedah bahasa seperti itu, maka itu bisa dilihat dari konteks kalimat sebagaimana telah dituliskan dalam beberapa komentar di atas. Intinya sebenarnya mudah kok, gak sulit.

    Kalimat mana yang anda maksud tidak menunjukkan kaedah bahasa. Jangan sok deh wahai nashibi. apa anda sendiri memahami konteks lafaz qala dalam riwayat kemarahan Fathimah. Bukankah itu yang anda katakan tidak sesuai kaedah bahasa. Sok bicara kaedah umum padahal anda sendiri tidak menerapkannya. Sikap anda yang bersikeras menyatakan itu idraaj Az Zuhriy hanya ngeyelisme yang tidak didukung dalil.

    Bukti kengeyelan anda adalah setelah kami bawakan hadis dengan lafaz qaalat anda malah berkata itu adalah ringkasan dan harus dipalingkan pada riwayat dengan lafaz qaala. Orang seperti anda hanya mau menang sendiri, padahal hadis dengan lafaz qaalat adalah bukti shahih akan gugurnya mereka yang mengklaim adanya idraaj. Kami tidak tahu kaidah darimana hadis lafaz qaalat sebagai perkataan Aisyah digugurkan dengan hadis lafaz qaala dan dinyatakan idraaj. Yah begitulah ilmu hadis ala nashibi yang menguatkan apa-apa yang sesuai dengan hawa nafsunya

    Bukti lain kengeyelan anda adalah ketika kami membawakan hadis Aisyah yang diringkas ulama dengan lafaz qaala dan membawakan bukti bahwa lafaz qaala bukan idraaj. Anda menunjukkan sikap ngeyel dengan berkata beda banget karena hadis tersebut dalam konteks membandingkan riwayat. Itu hanya bualan anda semata karena telah kami bawakan tuh hadis peringkasan bukan dalam konteks membandingkan riwayat. Silakan dicek kembali, tulisan yang sudah kami beri tambahan di https://secondprince.wordpress.com/2012/07/30/kesalahan-nashibi-perihal-idraaj-dalam-hadis-aisyah-berlafaz-qaala/

    Dan yang barusan di atas, ketika membahas hadis Aisyah dengan lafaz “wala Yushalli” anda katakan itu idraaj Az Zuhriy dengan membawakan hadis Ibnu Umar. Anehnya klaim idraaj itu sendiri tidak terbukti dalam riwayat Aisyah bahkan terbukti dalam riwayat Aisyah [Ath Thabraniy] lafaz pasti itu perkataan Aisyah. karena tidak sesuai dengan hawa nafsu anda maka anda seenaknya melemahkan hadis shahih dengan alasan yang dibuat-buat. Ya silakan anda hidup dalam dunia anda. Apa anda pikir ilmu hadis itu hanya anda sendiri yang mempelajarinya? kasihan sekali orang-orang yang tidak bisa mengambil hikmah karena kebencian yang salah alamat.Ya seperti anda ini yang berpikir bahwa kami adalah rafidhah yang sedang mempertahankan aqidah rafidhah. Pernyataan ini sama baiknya dengan perkataan bahwa anda adalah nashibi dan sedang mempertahankan aqidah nashibi.

    Kesimpulannya apapun hujjah yang kami sampaikan akan selalu anda tolak karena anda memang bukan sedang ingin berdiskusi tetapi menginginkan bahwa anda benar atau merasa benar atau ingin dianggap benar oleh para pengikut anda. Silakan silakan tidak ada yang melarang anda untuk berbahagia dengan waham kebesaran anda :mrgreen:

  10. He..he..he.. Abu Al-Jauzaa’ ngeyelnya enggak habis-habis…. Argumentnya hanya berputar2 ke itu-itu saja.

  11. sdh disanggah kmbli

  12. @nubie

    apanya yang disanggah, ia kan hanya mengulang apa yang ia katakan sebelumnya. Saya hanya akan mengomentari sebagian perkataannya

    Dalam contoh hadits shalat ‘isyak yang dibawakan orang Raafidlah itu, yang bersangkutan mengakui bahwa lafadh wa lam yakun yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah dari jalur Ibnu ‘Umar merupakan idraaj dari Az-Zuhriy – dengan melihat kenyataan bahwa Az-Zuhriy pun mencampurkan lafadhnya itu dengan lafadh Ibnu ‘Umar. Pengakuan orang Raafidlah itu didasari karena dalam sebagian riwayat jelads disebutkan dengan lafadh qaala Az-Zuhriy : wa lam yakun….dst.. Tapi anehnya ketika ia melihat sebagian riwayat ‘Aaisyah yang menyebutkan dengan lafadh qaala : wa laa yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah bukan sebagai qarinah idraaj Az-Zuhriy. Pertanyaannya : “Lantas apa bedanya qaala Az-Zuhriy dengan qaala saja (tanpa menyebutkan Az-Zuhriy) ?”.

    Ya beda dong wahai nashibi. Rasanya cuma orang yang lemah akalnya yang tidak mengerti apa yang dikatakan orang lain berulang-ulang. Kami mengakui idraaj Az Zuhriy dalam hadis Ibnu Umar karena bukti sharihnya jelas.

    Sedangkan dalam hadis Aisyah ya tidak bung Nashibi karena lafaz qaala saja tidak cukup sebagai bukti idraaj. Ditambah lagi ternyata dalam riwayat shahih yang lain yaitu riwayat Thabraniy lafaznya menunjukkan dengan pasti bahwa itu perkataan Aisyah. Maka idraaj Az Zuhriy dalam hadis Ibnu Umar sebenarnya berasal dari perkataan Aisyah. Az Zuhriy mengatakannya berdasarkan hadis Aisyah yang ia riwayatkan. Jadi pendapat Az Zuhriy itu bukan dari pendapatnya sendiri melainkan informasi yang ia dapatkan dari Urwah dari Aisyah. Mudah sekali dimengerti. Beda dengan nashibi yang memaksakan hawa nafsunya maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menolak riwayat Thabraniy yang shahih dengan alasan yang dibuat-buat.

    Sebenarnya kalau diperhatikan dengan baik nampak bahwa lafaz qaala dalam hadis Aisyah tentang shalat isya’ itu bukan bermakna idraaj. Dalam riwayat Shalih disebutkan dengan lafaz

    قَالَ وَلَا يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلَّا بِالْمَدِينَةِ وَكَانُوا يُصَلُّونَ فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ

    Jika qaala ini bermakna idraaj maka semua lafaz tersebut adalah perkataan Az Zuhriy tetapi faktanya tidak. Dalam riwayat Syu’aib [HR Thahawiy] tertulis

    قَالَتْ وَكَانُوا يُصَلُّونَ الْعَتَمَةَ , فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ غَسَقُ اللَّيْلِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

    Dan dalam riwayat Thabraniy tertulis

    فَلا يُصَلِّي بِنَا يَوْمَئِذٍ إِلا بِالْمَدِينَةِ ، كَانُوا يُصَلُّونَ صَلاةَ الْعَتَمَةِ فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

    Kedua riwayat ini menunjukkan dengan pasti bahwa lafaz qaala dalam riwayat Shalih bermakna perawi berkata melanjutkan perkataan Aisyah.

    Sedangkan logika nashibi itu adalah kedua riwayat itu harus dinafikan dan dipalingkan pada riwayat Shalih dengan lafaz qaala. Karena yang namanya qaala pasti bukan Aisyah dan pasti idraaj. Itulah yang kami katakan keliru karena banyak sekali hadis-hadis Aisyah yang menggunakan lafaz qaala padahal lafaz tersebut sebenarnya adalah milik Aisyah. Kami telah bawakan banyak contohnya dan masih banyak lagi yang seperti itu. Jadi tidak ada gunanya nashibi itu sibuk dengan masalah nahwu karena tidak ada yang mempermasalahkan nahwu disini. Lucunya oh lucunya

    Ngomong-ngomong kok kami tidak melihat komentarnya atas hadis Aisyah yang diringkas dengan lafaz qaala. Bukankah riwayat Bukhari dalam Tarikh Al Awsath itu ia jadikan bukti kuat idraaj

    حدثنا أبو اليمان انا شعيب عن الزهري أخبرني عروة بن الزبير عن عائشة فذكر الحديث قال وعاشت فاطمة بعد النبي صلى الله عليه وسلم ستة أشهر ودفنها علي

    Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah lalu menyebutkan hadis, [qaala] “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy [Tarikh Ash Shaghiir juz 1 no 116]

    Menurut nashibi, qaala itu bermakna idraaj padahal telah kami tunjukkan buktinya bahwa itu bukan idraaj contohnya ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah yang kami bawakan

    ثنا محمد بن بشار ثنا أبو بكر ـ يعني الحنفي ـ ثنا أفلح قال سمعت القاسم بن محمد عن عائشة قالت فدخل علي رسول الله صلى الله عليه و سلم و أنا أبكي فقال : ما شأنك ؟ قالت : لا أصلي قال : فلا يضرك إنما أنت من بنات آدم كتب الله عليك ما كتب عليهن فذكر الحديث و قال : حتى نزل المحصب و نزلنا معه فدعا عبد الرحمن بن أبي بكر فقال : أخرج بأختك فلتهله بعمرة

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar yakni Al Hanafiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Aflah yang berkata aku mendengar Qaasim bin Muhammad dari Aisyah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemuiku dan saat itu aku sedang menangis, maka Beliau berkata “apa yang terjadi denganmu?”. Aku menjawab “aku tidak shalat”. Beliau berkata “hal itu tidak merugikanmu, sesungguhnya kamu hanyalah seorang wanita dari putri-putri Adam, Allah menetapkan atasmu apa yang Alah tetapkan atas mereka [kaum wanita], maka ia menyebutkan hadis dan [qaala] “Hingga Beliau sampai di Al Muhashshab [tempat melempar jumrah di Mina] dan kami pun berhenti bersama Beliau, maka Beliau memanggil Abdurrahman bin Abi Bakar dan berkata “keluarlah kamu dengan saudaramu dan lakukan ihram untuk umrah” [Shahih Ibnu Khuzaimah 4/360 no 3076]

    Apa lafaz “hatta nazal muhashshab…” adalah idraaj dari perawi laki-laki hanya karena diawali dengan lafaz qaala?. Jawabannya tidak, telah sharih dalam riwayat Bukhari bahwa itu perkataan Aisyah.

    قَالَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ مَعَهُ فِي النَّفْرِ الْآخِرِ حَتَّى نَزَلَ الْمُحَصَّبَ وَنَزَلْنَا مَعَهُ فَدَعَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ اخْرُجْ بِأُخْتِكَ مِنْ الْحَرَمِ فَلْتُهِلَّ بِعُمْرَةٍ

    Maka lafaz qaala itu bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah

    Berulang kali kami tunjukkan dengan membawakan banyak hadis Aisyah yang mengandung lafaz qaala dan lafaz qaala tersebut bukanlah idraaj seperti yang dinyatakan nashibi itu. Buktinya dalam riwayat lain lafaz tersebut dinyatakan dengan qaalat. Jadi dalam hadis Aisyah lafaz qaala tidak mesti dinyatakan idraaj tetapi perkataan perawi laki-laki yang melanjutkan hadis Aisyah. Inilah kedudukan sebenarnya

    قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، قَالَ: وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

    (‘Aaisyah berkata :)….Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah?”. Perawi (laki-laki) berkata melanjutkan [perkataan Aisyah] : “Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam…..” [selesai]

    Yang dicetak hitam itu adalah terjemahan yang kami buat dan lebih tepat dalam perkara ini karena telah shahih bahwa lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah

    حدثنا محمد بن عوف حدثنا عثمان بن سعيد حدثنا شعيب بن أبي حمزة عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله ص بعد رسول الله ص ستة اشهر

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafat Rasulullah selama enam bulan” [Adz Dzuriyat Ath Thaahirah Ad Duulabiy hal 110]

    Lafaz qaalat ini adalah bukti kuat yang mengugurkan pernyataan nashibi bahwa lafaz [qaala] sebelumnya adalah idraaj. Jadi tidak ada idraaj dalam riwayat ini. Nashibi yang tidak tahu diri itu pura-pura tidak mengerti padahal lafaz qaala dengan makna perawi melanjutkan perkataan Aisyah bertaburan dalam kitab-kitab hadis.

    Bagi yang mengerti bahasa ‘Arab, tentu keanehan orang Raafidlah itu kentara sekali. Atau mungkin yang bersangkutan tidak paham bahasa ‘Arab sehingga tidak memahami dlamir mustatir yang terkandung pada kata qaala ?

    Bagi yang mengerti bahasa arab dan akrab dengan kitab-kitab hadis maka ia akan mengerti apa yang kami sampaikan. Ibnu Hajar yang mensharh kitab Shahih Bukhari juga tidak pernah menyatakan bahwa lafaz qaala dalam riwayat Aisyah soal Fathimah hidup enam bulan sebagai idraaj karena Ia paham bahasa Arab dan sudah akrab dengan hadis-hadis Aisyah berlafaz qaala, beda banget dengan nashibi yang sok berbicara atas nama ilmu tapi hanya menyebarkan syubhat dan mengumbar kejahilan.

    Bukti bahwa lafaz kemarahan Fathimah bukanlah Idraaj adalah qarinah qarinah berikut
    1.Riwayat Az Zuhriy sendiri dimana terdapat lafaz sharih bahwa itu adalah perkataan Aisyah yaitu dengan lafaz qaalat.
    2.Adanya lafaz qaala dalam riwayat Aisyah tersebut tidak menunjukkan adanya idraaj melainkan bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah karena dengan mengumpulkan semua riwayat maka nampak lafaz qaala tersebut berpindah-pindah tempatnya dan pada sebagian riwayat berubah menjadi lafaz qaalat
    3.Tidak ada lafaz sharih [tegas] bahwa Az Zuhriy yang mengatakan soal kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar. Orang yang mengatakan itu adalah idraaj Az Zuhriy maka ia harus membawakan bukti bahwa Az Zuhriy yang berkata demikian dalam riwayat Aisyah tersebut.
    4.Hasan bin Muhammad juga mengisyaratkan bahwa telah terjadi sesuatu antara Sayyidah Fathimah dan Abu Bakar sehingga Sayyidah Fathimah mewasiatkan agar dikubur di malam hari dan tidak dishalatkan oleh Abu Bakar. Jadi kemarahan Sayyidah Fathimah itu sudah masyhur di kalangan ahlul bait bukan dari semata-mata idraaj atau andai-andainya Az Zuhriy

    Sekali lagi yang namanya idraaj itu ditetapkan atasa dasar bukti bukannya syubhat dan andai-andai kemungkinan lafaz “qaala” padahal lafaz qaala dalm hadis Aisyah bisa bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah [sebagaimana nampak dalam banyak hadis Aisyah].

    Selain itu anggapan nashibi jika terdapat lafaz Az Zuhriy yang berkata [dan dikenal ia melakukan idraaj] maka setiap lafaz dimana Az Zuhriy berkata tersebut harus dinyatakan idraaj walaupun ada riwayat shahih bahwa itu perkataan Aisyah. Anggapan ini jelas adalah anggapan yang bathil. Justru idraaj itu menjadi gugur jika telah shahih bahwa itu adalah perkataan Aisyah [dengan adanya lafaz qaalat]. Bagi yang mengerti ilmu hadis maka mereka pasti mengerti kalau nashibi itu hanya menunjukkan kejahilan yang nyata.

  13. ada sanggahan kembali.

  14. assalamu’alaikum
    Kalau saya sih simple untuk menyikapi hadist diatas…..Apakah Imam Bukhari dan Imam yang meriwayatkan hadist diatas memberi keterangan bahwa keterangan “Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam “ hadist diatas ada idraaj Az-zuhry…? ataukah ada imam imam yang muktabar lainnya yang menyatakan demikian ….? semisal Imam Ibnu Hajar, Imam Daraquthni, imam Baihaqi dll… ataukah… Abul jauza lebih pandai dan hafidh daripada Imam Bukhari, Imam Ibnu Hajar, dan Imam -imam kaum muslimin lainnya…? ataukah abul jauza telah berani mengatakan bahwa hadist diatas palsu walaupun diriwayatkan oleh Imam Bukhari…? Dan secara tidak langsung juga telah menuduh Az-Zuhry berdusta atas hadist yang ia sampaikan (karena ia berani menambah nambahi berita bohong…?)…lama lama saya juga agak bingung dengan Abul Jauza ini, beliau ini mbela siapa sih… , Bisa saja to..qolaa diatas keterangan dari URWAH, ..YANG HARUS ABUL JAUZA HADIRKAN ADALAH HADIST DENGAN KETERANGAN AZ-ZUHRY BERKATA ….“ Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”…
    KEMUDIAN INTINYA , APAKAH ABUL JAUZA MENDHOIFKAN KETERANGAN (ATAU MENGANGGAP PALSU) keterangan “ Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” ….DISINI KALAU DIA MENGANGGAP KETERANGAN INI PALSU ,MAKA DIA JUGA TELAH MENUDUH AZ-ZUHRY BERDUSTA…SEDANGKAN AZ-ZUHRY ADALAH PERAWI HADIST NUMBER ONE. (KARENA DIA BERKEYAKINAN KALIMAT TERSEBUT ADALAH IDRAAJ AZ-ZUHRY….)…SILAHKAN DIPILIH ABUL JAUZA….? PESAN KAMI , UNTUK MEMBELA KEBENARAN TIDAK HARUS MBULET MBULET DALAM BERKELIT….KITA HARUS JANTAN MENGAKUI KEBENARAN WALAUPUN TIDAK SESUAI DENGAN HAWA NAFSU KITA…KALAU UNTUK MEMBELA HARUSNYA SYARAHNYA YANG HARUS DIJELASKAN, BUKAN MENCARI – CARI JALAN UNTUK MELEMAHKAN HADIST…..
    “barang siapa dikehendaki Alloh kebaikan pada dirinya , maka ia akan di fahamkan akan agamanya”
    Semoga kita semua diberi hidayah…..

  15. SEKEDAR UNTUK MENAMBAH KEJELASAN…

    Contoh dugaan IDRAAJ… ( dugaan sisipan dari Abu Hurairah TENTANG MEMANJANGKAN CAHAYA WUDHU)

    Shahih Bukhari 133: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Khalid dari Sa’id bin Abu Hilal dari Nu’aim bin Al Mujmir berkata, “Aku mendaki masjid bersama Abu Hurairah, lalu dia berwudlu’ dan berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah berseri-seri karena sisa air wudlu, barangsiapa di antara kalian bisa memperpanjang cahayanya hendaklah ia lakukan.”

    Musnad Ahmad 10360: Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin ‘Amru, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Nu’aim bin Abdullah bahwasanya ia pernah menemui Abu Hurairah di depan masjid yang sedang berwudlu, lalu Abu Hurairah mengangkat kedua lengannya seraya membalikkan badan ke arahku, kemudian ia berkata; Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya umatku kelak pada hari kiamat putih bercahaya karena bekas air wudlu, maka barangsiapa mampu memanjangkan cahayanya hendaklah ia lakukan.” Aku tidak tahu apakah itu dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau Abu Hurairah.”

  16. @nubie

    sanggahan sok pintar tapi isinya nol. Ngapain nashibi itu mengutip hadis-hadis yang sudah jelas terbukti idraaj. Hal itu sesuai dengan yang kami sampaikan sebelumnya, jika dalam hadis tersebut terbukti terdapat sisipan “qaala Az Zuhriy” dan “qaala Urwah” maka tetaplah itu sebagai bukti idraaj. Tidak ada yang menafikan hal itu, para pemula yang belajar ilmu hadispun akan tahu hal-hal yang seperti itu. Nah ini komentarnya yang lucu

    Perawi (laki-laki) berkata melanjutkan [perkataan Abu Hurairah] : “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu …..” [selesai].
    Atau :
    Az-Zuhriy berkata melanjutkan [perkataan Abu Hurairah] : “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu …..” [selesai].
    Ini saya tulis berdasarkan referensi apologi orang Raafidlah itu ketika mereka-reka sanggahannya . Diterima menurut perasaan rekan Raafidliy, namun tidak menurut para ulama hadits kita.
    Dan seandainya saja saya ubah Abu Hurairah menjadi ‘Aaisyah, maka esensinya sama seperti hadits yang sedang dibicarakan di atas

    Ya jelas beda, seperti yang kami katakan berulang-ulang yang sekali lagi menunjukkan kelemahan akal dalam taraf yang keterlaluan. Lafaz Sayyaidah Fathimah wafat enam bulan itu sudah terbukti dalam riwayat shahih sebagai perkataan Aisyah

    حدثنا محمد بن عوف حدثنا عثمان بن سعيد حدثنا شعيب بن أبي حمزة عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله ص بعد رسول الله ص ستة اشهر

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafat Rasulullah selama enam bulan” [Adz Dzuriyat Ath Thaahirah Ad Duulabiy hal 110]

    Inilah yang ia nafikan berulang kali. Silakan saja, rasanya orang idiot pun masih bisa diajarkan setelah berulang-ulang, beda dengan nashibi satu ini. Ia sibuk membicarakan lafaz qaala sebagai perawi laki-laki dan qaalat sebagai perawi perempuan. Kalau begitu kita tanya pada nashibi itu untuk kesekian kalianya, lafaz qaalat dalam riwayat Duulabiy di atas adalah milik siapa?. Kalau tidak bisa jawab ya kita bantu yaitu milik Aisyah.

    Jadi shahih dari Aisyah bahwa Fathimah hidup enam bulan setelah Rasulullah wafat. Perkara ada riwayat Baihaqi dalam Sunan-nya dimana Az Zuhriy mengatakan hal yang sama dan ia menyatakan itu idraaj jelas gugur oleh adanya riwayat shahih Aisyah di atas. Bahkan Al Baihaqi sendiri dalam kitabnya Ad Dala’il menegaskan itu sebagai perkataan Aisyah, ia berkata

    وأصح الروايات رواية الزهري عن عروة عن عائشة قالت مكثت فاطمة بعد وفاة رسول الله ستة أشهر أخبرناه أبو الحسين بن الفضل القطان أخبرنا عبد الله بن جعفر حدثنا يعقوب بن سفيان حدثنا أبو اليمان قال أخبرنا شعيب قال وأخبرنا الحجاج بن أبي منيع حدثنا جدي جميعا عن الزهري قال حدثنا عروة أن عائشة أخبرته قالت
    عاشت فاطمة بنت رسول الله بعد وفاة رسول الله ستة أشهر

    Jadi lafaz idraaj yang digembargemborkan oleh nashibi itu tertolak dengan adanya riwayat shahih bahwa itu perkataan Aisyah. Maka sangat wajar kalau lafaz ‘qaala’ dalam sebagian riwayat diterjemahkan sebagai perawi berkata melanjutkan perkataan Aisyah. Sekali lagi kami tekankan hal yang seperti ini banyak dalam hadis-hadis Aisyah.

    Ditulis nama Az-Zuhriy ataupun tidak – seandainya Abu Hurairah saya ganti dengan ‘Aaisyah – maka itu tidak mengubah metodologi pemahaman para ulama dalam menghukumi idraaj Az-Zuhriy. Seandainya perkataan itu milik Az-Zuhriy, maka ditulis qaala Az-Zuhriy atau hanya qaala saja (tanpa Az-Zuhriy), ya maknanya podho wae….. Mengatakan makna keduanya menjadi beda hanyalah alasan yang mengada-ada saja…….

    Ya jelas beda dong, memangnya para ulama itu tahu darimana itu idraaj milik siapa jika tidak ditulis nama perawinya. Memangnya para ulama itu dapat wangsit atau main tembak sesuka hati dalam menetapkan idraaj. Lucu ya nashibi itu, jelas penyebutan lafaz “qaala fulan” itulah bukti idraaj bukannya lafaz “qaala” saja.

    Namun dalam jalur lain disebutkan :

    عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “ إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “. وَقَالَ عُرْوَةُ: “ إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ، أَوْ رَفْغَيْهِ، أَوْ أُنْثَيَيْهِ فَلْيَتَوَضَّأْ “

    Di situ disebutkan bahwa yang mengatakan : au rafghaihi au untsayaihi adalah ‘Urwah. Dan Ad-Daaruquthniy dan juga para ulama yang lain menyebutkan bahwa kalimat itu adalah mudraj, bukan dari perkataan Busrah ataupun Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada bedanya misalnya disebutkan qaala ‘Urwah ataupun hanya qaala saja (tanpa ditulis ‘Urwah) untuk memberikan keterangan bahwa lafadh tersebut mudraj.

    Contoh yang ini lumayan menarik, sayangnya nashibi itu lupa menyebutkan bahwa para ulama juga berselisihi tentang apakah lafaz tersebut termasuk idraaj atau bukan diantara yang menolak bahwa lafaz tersebut idraaj adalah Ibnu Daqiq, Al Iraqiy dan Ibnu Turkumaniy. Mengapa bisa ada ulama yang menolak, ya karena diriwayatkan dengan sebagian sanad shahih bahwa tambahan itu dimarfu’kan oleh Urwah bin Zubair. Diantaranya riwayat berikut

    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ ، ثنا عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ الطُّوسِيُّ ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ الْبُرْسَانِيُّ ، ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : ” مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ أَوْ أُنْثَيَيْهِ أَوْ رُفْغَيْهِ فَلْيَتَوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلاةِ

    Ini riwayat yang disebutkan nashibi itu yaitu Abdul Hamiid bin Ja’far. Riwayat ini disebutkan oleh Al Khatib dan ia berkata bahwa Abdul Hamiid bin Ja’far menyendiri dalam penyebutan lafaz marfu’. Faktanya tidak seperti itu, ia tidaklah menyendiri, berikut riwayat penguat

    حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ ، ثنا أَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ ، ثنا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ ، ثنا أَيُّوبُ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ ، قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ أَوْ أُنْثَيَيْهِ أَوْ رُفْغَيْهِ فَلْيَتَوَضَّأْ ”

    حَدَّثنا إِبراهِيمُ بن حَمّادٍ القاضِي ، قال : حَدَّثَنا أَحمَد بن عُبَيدِ الله العَنبَرِيُّ ، قال : حَدَّثَنا يَزِيد بن زُرَيعٍ ، قال : حَدَّثنا أَيُّوبُ ، عَن هِشامِ بنِ عُروَة ، عَن أَبِيهِ ، عَن بُسرَة بِنتِ صَفوان ، قالَت : قال رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلم : إِذا مَسّ أَحَدُكُم ذَكَرَهُ أَو رُفغَهُ أَو أُنثَيَيهِ فَليَتَوَضَّأ.

    حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَحْمَدَ الْقَرْمِيسِينِيُّ ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاذِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ حَمَّادٍ التُّسْتَرِيُّ ، ثنا يَحْيَى بْنُ غَيْلانَ ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُزَيْعٍ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ ، أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ ، أَوْ أُنْثَيَيْهِ ، فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ ”

    حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الرِّجَالِ , نا أَبُو حُمَيْدٍ الْمِصِّيصِيُّ ، قَالَ : سَمِعْتُ حَجَّاجًا , يَقُولُ : قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ مَرْوَانَ , عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ , وَقَدْ كَانَتْ صَحِبَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ أَوْ أُنْثَيَيْهِ فَلا يُصَلِّي حَتَّى يَتَوَضَّأَ ”

    Intinya riwayat-riwayat tersebut dijadikan hujjah oleh sebagian ulama untuk menolak klaim sebagian ulama lain bahwa lafaz tersebut idraaj. Ibnu Turkumaniy berkata

    * قلت * عبد الحميد هذا وثقه جماعة واحتج به مسلم وقد زاد الرفغ وتقدم الحكم للرافع لزيادته كيف وقد تابعة على ذلك غيره فروى الدارقطني هذا الحديث في بعض طرقه من جهة ابن جريج عن هشام وفيه ذكر الانثيين وكذا رواه الطبراني الا انه ادخل بين عروة وبسرة مروان ولفظه من مس ذكره أو انثييه فليتوضأ وتابع ابن جزير عبد الحميد ثم ان الغلط في الادراج انما يكون في لفظ يمكن استقلاله عن اللفظ السابق فيدرجه الراوى

    dan Al Hafizh Al Iraqiy berkata

    قال الدارقطنى كذا رواه عبد الحميد عن هشام ووهما فى ذكر الأنثيين والرفع وإدراجه ذلك فى حديث بسرة قال والمحفوظ أن ذلك من قول عروة غير مرفوع قال وكذلك رواه الثقات عن هشام منهم أيوب السخستيانى وحماد بن زيد وغيرهما ثم رواه من رواية أيوب ففصل قول عروة من المرفوع وقال الخطيب فى كتابه المذكور تفرد عبد الحميد بذكر الانثيين والرفعين وليس من كلام رسول الله صلى الله عليه و سلم وإنما هو من قول أبى عروة فأدرجه الراوى فى متن الحديث وقد بين ذلك حماد وأيوب قلت ولم ينفرد به عبد الحميد كما قال الخطيب فقد رواه الطبرانى فى المعجم الكبير من رواية يزيد بن زريع عن أيوب عن هشام بلفظ إذا أمس أحدكم ذكره أو انثييه أو رفعه فيتوضأ وزاد الدارقطنى فيه أيضا ذكر الأنثيين من رواية ابن جريج عن هشام عن أبيه عن مروان بن الحكم عن بسرة وقد ضعف بن دقيق العيد فى الاقتراح الحكم بالادراج على ما وقع فى أثناء لفظ الرسول صلى الله عليه و سلم معطوفا بواو العطف والله أعلم

    Kami tidak perlu merajihkan pendapat yang mana. Yang perlu diperhatikan adalah idraaj itu sendiri ditegakkan berdasarkan bukti yang sharih [tegas]. Dalam hal ini bukti itu memang ada yaitu dari riwayat dengan lafaz “Urwah berkata”. Tetapi klaim idraaj juga bisa gugur jika terdapat riwayat shahih yang menunjukkan lafaz itu marfu’.

    Bandingkan dengan nashibi yang menyatakan idraaj dengan lafaz “qaala” saja dan dengan seenaknya ia menetapkan lafaz mana yang merupakan idraaj pada hadis kemarahan Sayyidah Fathimah.

    Itu omong kosong saja karena tidak paham mengenai idraaj. Anda memang tidak punya metode jelas dalam menentukan idraaj dalam matan. Saya tidak akan mengulang apa yang telah saya tulis di atas. Hanya saja saya akan tambahi, bahwa lafadh itu merupakan idraaj dari Az-Zuhriy bukan merupakan karangan saya. Ibnu Rajab dalam Fathul-Baariy (4/84 & 87) yang mengatakan bahwa lafadh dari jalur ‘Aaisyah itu mudraj dari perkataan Az-Zuhriy.

    Justru andalah yang omong kosong. Apa yang dikatakan Ibnu Rajab jelas keliru dan kami sudah membacanya sebelumnya, bahkan ia menyatakan lafaz wakanu yushalluna..juga sebagai idraaj padahal telah shahih dalam riwayat Thahawiy bahwa itu perkataan Aisyah.

    Tentu saja yang menjadi hujjah adalah riwayat bukannya taklid terhadap perkataan ulama. Justru sekarang nashibi yang sok kritis itu melempem taklid pada ulama karena kebetulan sang ulama bersesuaian dengan hawa nafsunya

    Adapun omong kosong Anda yang membawakan riwayat Ibnu Himyar yang dibawakan Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin sebagai hujjah, itu dilatarbelakangi karena kemalasan Anda menengok kenyataan bahwa riwayat Ibnu Himyar yang dibawakan An-Nasaa’iy adalah berkesesuaian dengan lafadh jama’ah. Justru versi lafadh An-Nasaa’iy itulah yang lebih tepat. Dan perlu dicatat, perbedaan lafadh ini ada pada thabaqah Ibnu Himyar (thabaqah ke-9 – shighaaru atbaa’ut-taabi’iin) dimana Ibnu Himyar hanya berstatus shaduuq.

    Lha memangnya Ibnu Himyar disitu menyelisihi siapa wahai bung nashibi. Apa ada dalam riwayat jamaah yang anda maksud lafaz yang menetang atau menyelisihi lafaz Ibnu Himyar?. Jadi gak usah buru-buru sok bilang mana yang lebih tepat kalau tidak bisa menunjukkan bukti penyelisihan lafaz-lafaznya

    Lafadh Ibnu Himyar yang dibawakan oleh Ath-Thabaraaniy menegaskan bahwa perawi (yaitu ‘Aaisyah) ikut andil shalat bersama penduduk Madiinah di masjid – padahal diketahui bahwa umumnya istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumah mereka. Adapun lafadh jama’ah, maka ia hanya menceritakan fenomena yang ia lihat atau ia dengar.

    Cih basi sekali argumen anda, apa istri Nabi mustahil ikut shalat padahal rumah Aisyah berada di samping masjid. Apa ada dalam riwayat jamaah lafaz yang menunjukkan bahwa Aisyah melihat atau mendengar saja dan tidak ikut shalat tersebut?. Justru lafaz jama’ah yang anda klaim itu masih bersesuaian dengan lafaz Ibnu Himyar. Lucunya oh lucunya

    Lafadh qaala itu apapun keadaannya mesti diartikan bahwa perawi laki-laki yang berkata. Ini kaedah asal. Makanya itu bung, pijaklah dulu kaedah asal, jangan langsung sibuk mencari pengecualian. Mata Anda sakit kalau mencari sesuatu yang jarang. Kaedah dalam cabang ilmu apapun, maka pasti atau hampir bisa dipastikan akan menerima pengecualian.

    Wahai bung nashibi gak ada yang bilang bahwa lafaz qaala itu untuk perempuan. Rasanya sampai sejauh ini kami katakan bahwa lafaz qaala mengandung makna perawi laki-laki melanjutkan perkataan Aisyah. Dan lafaz qaala yang ada dalam hadis-hadis Aisyah bukanlah pengecualian seperti yang disangkakan oleh akal anda yang memang agak kurang. Para ulama sering kali menggunakan lafaz qaala ketika mereka menuliskan hadis Aisyah walaupun tidak seluruh hadis Aisyah tetapi penulisan seperti itu banyak dalam hadis-hadis Aisyah.

    Kalau dibilang pengecualian maka atas dasar apa bung? apa para ulama itu sedang mengantuk ketika menuliskan lafaz qaala pada hadis Aisyah. Jadi jangan sok berlagak pintar wahai nashibi kalau cuma tong kosong nyaring bunyinya.

    Namanya bualan ya tetap saja bualan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

    وأشار البيهقي إلى أن في قوله: “وعاشت إلخ” إدراجا، وذلك أنه وقع عند مسلم من طريق أخرى عن الزهري فذكر الحديث وقال في آخره: “قلت للزهري: كم عاشت فاطمة بعده: قال: ستة أشهر” وعزا هذه الرواية لمسلم، ولم يقع عند مسلم هكذا بل فيه كما عند البخاري موصولا. والله أعلم.

    “Dan Al-Baihaqiy mengisyaratkan bahwa dalam perkataannya : “Dan Faathimah hidup….dst. (wa ‘aasyat….) MERUPAKAN IDRAAJ……..” [Fathul-Baariy, 7/494].

    Aduhai betapa celakanya jika seseorang berkomentar sembarangan seolah ingin menunjukkan kepintarannya padahal ia hanya menunjukkan kejahilannya dalam memahami perkataan atau bahasa manusia pada umumnya. Kami sebelumnya berkata

    Ibnu Hajar yang mensharh kitab Shahih Bukhari juga tidak pernah menyatakan bahwa lafaz qaala dalam riwayat Aisyah soal Fathimah hidup enam bulan sebagai idraaj karena Ia paham bahasa Arab dan sudah akrab dengan hadis-hadis Aisyah berlafaz qaala

    Tentu saja yang kami maksudkan itu adalah hadis Aisyah berlafaz qaala dalam riwayat Bukhari bukannya riwayat Baihaqiy yang mengandung lafaz Az Zuhriy berkata. Riwayat Baihaqiy yang ia maksudkan itu memang mengandung kemungkinan idraaj karena disitu tertera bahwa Az Zuhriy berkata, tetapi telah kami tunjukkan bahwa dalam riwayat Abdurrazaq dengan sanad sama dengan Baihaqiy bahwa itu bukanlah idraaj melainkan perkataan Aisyah dengan lafaz qaalat. Begitu pula dengan bukti berbagai riwayat Ad Dulabiy, Abu Nu’aim dan Baihaqiy. Seperti yang telah kami tuliskan Baihaqiy sendiri ternyata berpandangan bahwa lafaz tersebut adalah milik Aisyah dalam Ad Dala’il

    Yang kami maksudkan adalah apakah Ibnu Hajar yang mensharh kitab Shahih Bukhari menjadikan lafaz “qala” dalam hadis Aisyah [seperti riwayat Bukhari yang dijadikan hujjah nashibi itu] sebagai bukti idraaj. Jawabannnya tidak, lbnu Hajar sendiri berkata

    بل فيه كما عند البخاري موصولا

    Yang kami herankan adalah bagian mana dari pernyataan Ibnu Hajar yang menyatakan kalau ia sependapat dengan Baihaqiy. Perkara Ibnu Hajar mengutip pernyataan ulama lain ya sah sah saja dan tidak mesti itu mencerminkan perkataan Ibnu Hajar.

    Tentang riwayat Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath, gak ada masalah, karena gak ada yang berbeda atas apa yang saya pahami sepekan yang lalu hingga hari ini mengenai idraaj Az-Zuhriy tersebut.

    Kemarin anda ngibul dan sekarang tetap konsisten ngibul. Kalau anda katakan bahwa riwayat tersebut adalah ringkasan ya silakan itu hujjah yang terlalu lemah untuk ditanggapi. Justru bukti kuat bahwa itu perkataan Aisyah anda nafikan seenaknya dengan alasan itu ringkasan dan harus dipalingkan pada riwayat idraaj. Ya sudah intinya kan anda nashibi akan selalu ngeyel sesuka hati. Baihaqiy sendiri dalam Ad Dala’il termasuk orang yang meriwayatkan dengan lafaz qaalat dan ia menyatakan bahwa lafaz itu shahih dari Aisyah. Mengapa Baihaqiy yang anda klaim sebagai menyatakan idraaj ternyata ketika meringkas hadis tersebut tetap menyatakan itu perkataan Aisyah?. Silakan dijawab bung nashibidan tidak perlu ngeyel berbasa basi :mrgreen:

  17. sudah disanggah kembali mas SP

  18. nubie, saya sdh baca tulisan2 abu jausa itu isinya boleh dibilang pelintiran atau permainan dari makna riwayat2 yg sdh sangat jelas dan kuat….jadi cape deh….

  19. @iwanoel
    sudah jgn bnyk meracau, sanggah saja perkatan abu jausa yg ente bilang pelintiran

  20. @nubie

    Ada yang lucu dari bantahannya, ia mengira bahwa pemahaman orang lain yang keliru padahal pemahamannya sendiri yang keliru. Ia berkata

    Namun Ibnu Hajar memahami bahwa riwayat yang dibawakan oleh Al-Baihaqiy itu mengkonsekuensikan adanya idraaj dalam lafadh wa ‘aasyat Faathimah. Makanya di atas saya sebut sebagai pemahaman Ibnu Hajar atas riwayat yang dibawakan Al-Baihaqiy.

    Bukankah sudah saya sebutkan di atas dengan kata-kata Tentu saja yang kami maksudkan itu adalah hadis Aisyah berlafaz qaala dalam riwayat Bukhari bukannya riwayat Baihaqiy yang mengandung lafaz Az Zuhriy berkata. Riwayat Baihaqiy yang ia maksudkan itu memang mengandung kemungkinan idraaj karena disitu tertera bahwa Az Zuhriy berkata,

    Riwayat Baihaqiy memang menunjukkan kemungkinan idraaj karena disitu tertera lafaz Az Zuhriy berkata. Jadi tidak ada kaitannya dengan lafaz qaala dalam riwayat Bukhari [dalam Tarikh Al Awsath atau riwayat lainnya]. nashibi itu berkata

    Adapun perkataan Ibnu Hajar :

    بل فيه كما عند البخاري موصولا

    “Akan tetapi lafadh itu masuk padanya (hadits ‘AAisyah) sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhaariy secara maushul”.

    ini terkait dengan perkataan Ibnu Hajar sebelum kalimat itu, yaitu :

    وعزا هذه الرواية لمسلم , ولم يقع عند مسلم هكذا

    “Dan Al-Baihaqiy menyandarkan riwayat ini pada Muslim, namun tidak ada pada riwayat Muslim yang seperti itu”.

    Nah, setelah itu, baru Ibnu Hajar mengatakan : bal fiihi kamaa ‘indal-Bukhaariy maushulan.

    Ibnu Hajar disitu menyatakan bahwa riwayat Muslim itu sama seperti riwayat Bukhari yang maushul. Anehnya nashibi itu tidak melihat riwayat Muslim yang sebenarnya, inilah riwayat Muslim dengan jalur Bukhari yaitu dari Laits dari Uqail

    فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا ، الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا ، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِي

    Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya makan dari harta ini. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakar. [qaala]“Ia meng-hajr Abu Bakr dan tidak berbicara kepadanya hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] ketika ia wafat suaminya Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar dan Ali yang menshalatkannya. [Shahih Muslim no 1759]

    Dalam riwayat Muslim lafaz wa ‘aasyat ba’da…terletak setelah lafaz qaala. Dan Ibnu Hajar memahami lafaz ini sebagai maushul sama seperti riwayat Bukhari yang tidak mengandung lafaz qaala. Jadi Ibnu Hajar tidak memahami lafaz “qaala” tersebut sebagai idraaj.

    Adapun riwayat Baihaqiy yang mengandung lafaz Az Zuhriy berkata maka klaim idraaj itu tertolak dengan riwayat lain yang menetapkannya sebagai lafaz qaalat. Jika Baihaqiy sendiri mengakui lafaz itu sebagai lafaz Aisyah dalam Ad Dala’il maka benarlah apa yang kami sampaikan bahwa lafaz qaalat Aisyah itu menggugurkan klaim idraaj Az Zuhriy dalam riwayat Baihaqiy [dalam As Sunan]

    NB : Kalau Anda merasa memahami dan mengakui bahwa beberapa contoh hadits yang saya bawakan di atas merupakan hadits mudraj, maka saya persilakan Anda membuat benang merah pengenalan hadits mudraj. Separagraf dua paragraf boleh, sehingga saya bisa tahu metode Anda dalam menentukan idraaj dalam matan.

    Maaf apa sih sebenarnya yang ada di dalam otak anda. Rasanya sudah berulang kali saya katakan idraaj itu ditetapkan dalam riwayat dengan lafaz “qaala fulan” dan ia harus terletak pada riwayat yang diklaim terjadi idraaj. Kalau anda mengatakan riwayat Aisyah terdapat idraaj ya buktinya adalah lafaz “qaala fulan” dalam riwayat Aisyah tersebut yang menegaskan bagian mana yang menjadi idraaj dan siapa perawi yang melakukan idraaj.

    Dan idraaj ini tidaklah mutlak jika ternyata dalam riwayat lain terdapat lafaz qaalat Aisyah yang menegaskan bahwa perkataan tersebut adalah perkataan Aisyah maka gugurlah klaim idraaj tersebut. Alangkah anehnya jika lafaz qaalat yang memang perkataan Aisyah dikatakan idraaj hanya karena ada perawi laki-laki yang mengatakannya. Bisa saja dipahami bahwa perawi laki-laki tersebut mengatakan seperti itu karena ia taklid pada perkataan Aisyah.

    Rafidhah memang hebat …
    sampek jungkir balik “mempelajari” hadits-hadits milik ahl as-Sunnah (Sunniy), tetapi dengan kaidah yang dibuat-buat sendiri, tidak melalui jalan yang di tempuh oleh ‘aimmah hadits, terlalu pede dengan “kecerdasannya”..

    seandainya otak dan energi mereka dicurahkan untuk mengkritisi riwayat-riwayat mereka sendiri yang amburadul, tentu akan lebih bermanfaat bagi banyak orang ..

    Nashibi itu memang hebat, ia sampai jungkir balik mempelajari hadis Sunni dengan kaidah yang dibuat-buat sendiri tidak melalui jalan yang ditempuh ‘aimmah hadis. Ia terlalu pede dengan kecerdasannya. Jika lafaz qaala dalam hadis Aisyah otomatis dikatakan idraaj maka banyak sekali hadis Aisyah dalam kitab Shahih [Bukhari Muslim] Musnad Ahmad dan lainnya harus dinilai kembali, karena dalam sebagian hadis-hadis Aisyah tersebut terselip lafaz qaala yang dinyatakan oleh nashibi itu adalah idraaj.

    Sama halnya dengan riwayat Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/300 no. 12733 dan dalam Ad-Dalaail 7/279, serta Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 4/198-199 no. 3097. Maka riwayat ringkas yang dibawakan Ad-Duulabiy dalam Adz-Dzuriyyah, Al-Baihaqiy dalam Ad-Dalaail, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah yang menyebutkan lafadh qaalat ‘Aaisyah; mesti dibawa kepada lafadh yang lengkap. Jadi lafadh qaalat ada awal riwayat mulai kedatangan Faathimah kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa.

    Maaf ya bung nashibi, justru riwayat itu menjadi bukti nyata bahwa lafaz wa ‘aasyat ba’da adalah perkataan Aisyah. Setidaknya para perawi yang anda katakan meringkas hadis tersebut memahami lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah.

    Dan ngomong-ngomong riwayat Baihaqiy yang anda jadikan bukti idraaj yaitu lafaz Ma’mar bertanya kepada Az Zuhriy itu hanya ada pada riwayat Ahmad bin Manshur dari ‘Abdurrazaaq sedangkan riwayat jama’ah dari ‘Abdurrazaq tidak meriwayatkan lafaz pertanyaan Ma’mar tersebut.Bahkan dalam kitab Mushannaf ‘Abdurrazaq ia menjadikan lafaz itu sebagai bagian perkataan Aisyah yang diawali dengan lafaz qaalat. Begitu pula dalam riwayat Abu Awanah [dengan jalan sanad dari Adz Dzuhliy, Muhammad bin Aliy Ash Shan’aniy dan Ishaaq Ad Dabariy dari ‘Abdurrazaaq] Ini yang kami katakan bahwa klaim idraaj itu sudah gugur dengan riwayat lafaz qaalat

    Kemudian datang riwayat Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath 1/114 no. 93 yang membawakan riwayat ringkas lain :

    حَدَّثَنَا محمد قال: حَدَّثَنَا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني عروة بْن الزبير، عن عائشة….فذكر الحديث، وقال: وعاشت فاطمة بعد النبي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ستة أشهر ودفنها علي.

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah,… lalu ia menyebutkan hadits. Dan perawi (laki-laki) berkata : “Dan Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan, dan kemudian wafat, dikuburkan oleh ‘Aliy” [selesai].

    Kalau riwayat ini anda katakan bukti idraaj lebih baik anda terjun ke laut sana hehehe. lafaz qaala dalam riwayat Bukhari sudah kami terangkan maksudnya bahwa itu perkataan perawi yang melanjutkan hadis Aisyah tersebut. Model peringkasan hadis Aisyah dengan lafaz qaala ini sudah kami tunjukkan seperti yang dibawakan Ibnu Khuzaimah tetapi anda tidak bisa mengomentarinya karena membatalkan hujjah anda hehehe. kami sebelumnya pernah berkata seperti ini

    Menurut nashibi, qaala itu bermakna idraaj padahal telah kami tunjukkan buktinya bahwa itu bukan idraaj contohnya ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah yang kami bawakan

    ثنا محمد بن بشار ثنا أبو بكر ـ يعني الحنفي ـ ثنا أفلح قال سمعت القاسم بن محمد عن عائشة قالت فدخل علي رسول الله صلى الله عليه و سلم و أنا أبكي فقال : ما شأنك ؟ قالت : لا أصلي قال : فلا يضرك إنما أنت من بنات آدم كتب الله عليك ما كتب عليهن فذكر الحديث و قال : حتى نزل المحصب و نزلنا معه فدعا عبد الرحمن بن أبي بكر فقال : أخرج بأختك فلتهله بعمرة

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar yakni Al Hanafiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Aflah yang berkata aku mendengar Qaasim bin Muhammad dari Aisyah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemuiku dan saat itu aku sedang menangis, maka Beliau berkata “apa yang terjadi denganmu?”. Aku menjawab “aku tidak shalat”. Beliau berkata “hal itu tidak merugikanmu, sesungguhnya kamu hanyalah seorang wanita dari putri-putri Adam, Allah menetapkan atasmu apa yang Alah tetapkan atas mereka [kaum wanita], maka ia menyebutkan hadis dan [qaala] “Hingga Beliau sampai di Al Muhashshab [tempat melempar jumrah di Mina] dan kami pun berhenti bersama Beliau, maka Beliau memanggil Abdurrahman bin Abi Bakar dan berkata “keluarlah kamu dengan saudaramu dan lakukan ihram untuk umrah” [Shahih Ibnu Khuzaimah 4/360 no 3076]

    Apa lafaz “hatta nazal muhashshab…” adalah idraaj dari perawi laki-laki hanya karena diawali dengan lafaz qaala?. Jawabannya tidak, telah sharih dalam riwayat Bukhari bahwa itu perkataan Aisyah.

    قَالَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ مَعَهُ فِي النَّفْرِ الْآخِرِ حَتَّى نَزَلَ الْمُحَصَّبَ وَنَزَلْنَا مَعَهُ فَدَعَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ اخْرُجْ بِأُخْتِكَ مِنْ الْحَرَمِ فَلْتُهِلَّ بِعُمْرَةٍ

    Maka lafaz qaala itu bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah. Sebenarnya tanpa riwayat Bukhari pun riwayat Ibnu Khuzaimah yang diawali lafaz qaala itu sudah jelas perkataan Aisyah karena terdapat kata-kata “dan kami pun berhenti bersama Beliau”. Jadi lafaz qaala dalam hadis Aisyah yang diringkas adalah perkara yang ma’ruf dan bukan idraaj. Apa yang dilakukan Ibnu Khuzaimah itu sama dengan apa yang dilakukan Bukhari. Itu bukan idraaj tetapi model biasa peringkasan riwayat. Waduh kasihan sekali anda wahai nashibi

  21. nubie :
    @iwanoel
    sudah jgn bnyk meracau, sanggah saja perkatan abu jausa yg ente bilang pelintiran

    Udah ane sanggah gan walalupun secara singkat saja. Intinya kang Abu mau memisahkan antara Kitabullah dan Ahlul Bait. Dia menafsirkan kalimat :”kuperingatkan kalian kepada Ahlul Baitku” sbg perintah untuk menjaga hak-hak Ahlul Bait.

    Kang Abu rupanya lupa bahwa dalam hadis sahih yang lain ada kalimat penutup yang berbunyi :”….keduanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di Telaga Haudh.”
    Artinya antara Kitabullah dan Ahlul Bait itu tidak dapat dipisahkan. Bagaimana mungkin umat mau melaksanakan perintah2 AlQuran tanpa petunjuk pelaksanaannya yang dikehendaki Allah (yakni Ahlul Bait)?

    Jadi sangat jelas betapa sangat dibuat2nya penafsiran spt itu dan sangat dipaksanakan. Itu sebabnya ane bilang pelintiran.

  22. Aneh Si Abu Jausa, emang orangnya suka berdebat sih jadi begitu, padahal judul artikelnya, “Daftar Hadis Aisyah Dengan Lafaz Qaala Sebagai Perkataan Aisyah” sebetulnya kan SP mau menegaskan bahwa hal itu sebagai sesuatu yang lumrah dan tidak perlu di perdebatkan

Tinggalkan komentar