Kedudukan Hadis “Memandang Ali Adalah Ibadah”

Kedudukan Hadis “Memandang Ali Adalah Ibadah”

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم النظر إلى علي عبادة

Rasulullah SAW bersabda “Memandang Ali Adalah Ibadah”

Hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat di antaranya, Abdullah bin Mas’ud RA, Abu Bakar RA, Aisyah RA, Usman bin Affan RA, Jabir bin Abdullah RA, Muadz RA, Imran bin Hushain RA, Abu Hurairah RA dan lain-lain. Hadis ini dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/141 hadis Imran bin Hushain no 4681, hadis Ibnu Mas’ud no 4682 dan 4683. Al Hakim berkata pada hadis Imran bin Hushain

حديث صحيح الإسناد وشواهده عن عبد الله بن مسعود صحيحة

Hadis ini shahih yang didukung oleh hadis shahih dari Ibnu Mas’ud.
Adz Dzahabi berkata dalam Talkhis Al Mustadrak

موضوع ، وشاهده صحيح

hadis ini maudhu’ dan penguatnya shahih

.

Syaikh Al Albani dalam kitabnya Silsilah Adh Dhaifah no 4702 menyatakan hadis ini maudhu’ dan menolak pernyataan Hakim dan Adz Dzahabi. Beliau membicarakan panjang lebar sanad hadis ini dan mengkritik satu-persatu sanad hadis tersebut. Semua sanad hadis ini memang tidak satupun lepas dari kritik tetapi hadis ini telah diriwayatkan dengan banyak sanad dan saling kuat-menguatkan. Jalaluddin As Suyuthi telah membawakan banyak syahid atau penguat bagi hadis ini.

Saudara haula syiah dalam salah satu tulisannya mengatakan tentang hadis ini

bahwa walaupun memiliki banyak penguat tapi semuanya lemah dan palsu sehingga tidak dapat merubah kedudukannya yang mudhu’(palsu).

Anehnya, Al Hafiz As Suyuthi telah menyatakan bahwa hadis ini hasan dalam kitabnya Tarikh Al Khulafa 1/70, beliau berkata

وأخرج الطبراني والحاكم عن ابن مسعود رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ” النظر إلى علي عبادة ” إسناده حسن.

Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Hakim dari Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW bersabda “Memandang Ali Adalah Ibadah”. Hadis ini sanadnya hasan

.

Kontradiksi Saudara haulasyiah
Kontradiksi yang saya maksud adalah mengenai dasar-dasar yang beliau gunakan dalam tulisan-tulisannya. Saya akan menerapkan dasar yang ia gunakan dalam salah satu tulisannya yang membantah saudara jakfari untuk menilai tulisannya tentang hadis “Memandang Ali adalah Ibadah”. Ia berkata bahwa Ulama yang meriwayatkan hadis lebih mengetahui hadis yang ia bawakan dibanding orang lain. Berikut saya kutip pernyataan beliau

karena menurut kaedah ilmu hadits: “Perowi itu lebih tahu terhadap hadits yang ia riwayatkan”.

Jika memang begitu maka sudah selayaknya kalau Al Hakim yang meriwayatkan hadis ini dan menyatakan hadis ini shahih lebih dapat diterima daripada mereka yang menyatakan palsunya hadis ini.

Pada tulisannya yang membantah saudara Jakfari itu, ia juga berhujjah dengan Pernyataan Ulama Ibnu Hajar Al Haitsami yang ia katakan sebagai Ulama pakar hadis

Untuk lebih meyakinkan lemahnya hadits diatas, mari kita simak kesimpulan dari seorang pakar hadits, Ibnu Hajar Al-Haitsami rahimahullah:
“Diriwayatkan Thabarani dalam Ash-Shaghir dan Al-Ausath, pada sanadnya terdapat beberapa rawi yang tidak aku ketahui.”

Anehnya Ibnu Hajar Al Haitsami menyatakan hadis ”Memandang Ali adalah ibadah” sebagai hadis hasan dalam kitabnya Ash Shawaiq Al Muhriqah 2/360

أخرج الطبراني والحاكم عن ابن مسعود رضي الله عنه أن النبي قال النظر إلى علي عبادة إسناده حسن

Dikeluarkan oleh Thabrani dan Al Hakim dari Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi berkata “Memandang Ali Adalah Ibadah”. Hadis ini hasan

Ibnu Hajar Al Haitsami adalah ulama sunni yang mengkritik Syiah dalam kitabnya Ash Shawaiq Al Muhriqah. Tetapi beliau sepertinya cukup objektif untuk tetap menyatakan hadis di atas hasan dan tidak menuduh Syiah memalsukan hadis ini. Coba simak kata-kata saudara haulasyiah yang ini

Kalau saja seorang Al-Haitsami, yang merupakan pakar hadits mengatakan demikian, bagaimana dengan kita??! Dimana kadar ilmu kita di bandingkan ilmu mereka??

Agak aneh menurut saya, bukankah pakar hadis yang dikatakan oleh saudara haulasyiah itu justru menghasankan hadis “Memandang Ali adalah ibadah”. Tetapi saudara haulasyiah justru menyatakan hadis tersebut lemah dan palsu.

.

.

Hadis ini tidak hanya diriwayatkan oleh mereka yang dikatakan sebagai pemalsu hadis. Tetapi diriwayatkan juga oleh perawi shaduq yang walaupun sering salah tetapi dikuatkan oleh yang lain

Salah satu sanad hadis Ibnu Mas’ud telah dikritik oleh Syaikh Al Albani karena di dalamnya ada Yahya bin Isa Ar Ramli, beliau Syaikh berkata Ar Ramli telah didhaifkan oleh Ibnu Main dan An Nasa’I mengatakan ia tidak kuat. Hal ini memang benar sebagaimana disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 428, tetapi disana disebutkan juga kalau Yahya Ar Ramli adalah perawi yang dijadikan hujjah oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Imam Ahmad memuji Yahya bahwa ia muqarib Al hadis dan hadisnya hasan. Al Ajli menyatakan ia tsiqat tapi tasyayyu’ dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/311 memberikan predikat shaduq yukhti’u (jujur walau terkadang salah). Dengan kata lain hadis Yahya ini derajatnya hasan jika dikuatkan oleh jalan-jalan lain.

Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 9/157 hadis no 14694 menyebutkan hadis ini dan berkata

رواه الطبراني وفيه أحمد بن بديل اليامي وثقه ابن حبان وقال مستقيم الحديث وابن أبي حاتم وفيه ضعف وبقية رجاله رجال الصحيح

Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya ada Ahmad bin Badil Al Yamiy yang ditsiqatkan Ibnu Hibban (yang berkata “hadisnya lurus”) dan Ibnu Abi Hatim walaupun ada kelemahan padanya, dan perawi lainnya adalah para perawi shahih.

Dalam At Tahdzib juz 1 no 14 disebutkan bahwa An Nasa’I mengatakan la ba’sa bihi (tidak mengapa), Ibnu Abi Hatim berkata Mahalluhu shidqu(tempat kejujuran), dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat. Kelemahan padanya dikarenakan ia meriwayatkan hadis mungkar sehingga Daruquthni berkata Layyin(lemah). Tetapi walaupun begitu ia bukan seorang pemalsu hadis atau pendusta. Oleh karena itu dapat dimaklumi kalau Ibnu Hajar dalam At Taqrib memberikan predikat shaduq lahu auham (jujur tetapi sekali-kali salah).

Dengan memperhatikan riwayat Ath Thabrani dan Al Hakim di atas, dapat dilihat bahwa walaupun ada kelemahan pada sanadnya tetapi kelemahan ini tertutupi oleh sanad-sanadnya yang saling menguatkan. Ini adalah salah satu contoh walaupun hadis ini diperbincangkan sanadnya tetapi sanad-sanadnya banyak dan saling menguatkan sehingga As Suyuthi dan Ibnu Hajar menyatakan hadis tersebut hasan. Bahkan Sayyid Abdul Aziz bin Shiddiq Al Ghumari menulis kitab khusus Al Ifada yang membuktikan keshahihan hadis ini.

Salam Damai

.

.

Catatan : Tulisan ini hanya menampilkan sisi lain atau pendapat lain dari hadis “Memandang Ali Adalah Ibadah” yang dinyatakan palsu oleh sebagian orang.

8 Tanggapan

  1. Pendhaifan-pendhaifan hadits – yang sebelumnya dihukumi shahih oleh para perawi – yang kerap dilakukan oleh ulama Salafy seperti Al-Albani bagi saya menunjukkan beberapa hal;

    (1) Para salafiyun sudah tidak lagi memiliki keyakinan bahwa para perawi hadits memiliki keilmuan dan keadilan yang layak dalam mengumpulkan hadits.
    Ini kan sangat kontradiksi dengan pembelaan-pembelaan yang sering mereka lakukan jika kita mulai berani mengkritik hadits-hadits dari para perawi mereka.

    (2) Syaikh Al-Albani – merupakan tokoh terkini yang hidup beratus tahun setelah para perawi – telah dianggap sebagai seorang ulama yang mampu melakukan pengkoreksian dan pengukuhan terhadap derajat sebuah hadits dengan pembelaan yang luar biasa dari para salafiyun atas ‘kelancangan’nya.

    Dimana itu kalimat-kalimat yang sering mereka gunakan:

    “Perowi itu lebih tahu terhadap hadits yang ia riwayatkan.

    ?

    Bagaimana mereka bisa berpegang teguh terhadap penilaian ulama Al-Albani, sementara di sisi lain mereka juga mengakui akan kelemahan dan kealpaan Beliau? Seperti apa yang mereka tulis sendiri mengenai Beliau berikut ini (http://haulasyiah.wordpress.com/2008/11/22/mengkaji-lagi-hadits-wanita-yang-paling-dicintai-rasulullah-saw-adalah-fatimah/)

    Sebenarnya, kalau kita sering mengkaji kitab-kitab para Ulama’ Ahlus Sunnah, masalah-masalah seperti ini sudah biasa. Bahkan sering kita dapati ulama’ terdahulu dalam satu perkara memiliki dua sampai tiga pendapat. Karena memang mereka berfatwa sesuai dengan ilmu yang telah sampai kepada mereka. Ketika mereka berfatwa dengan sebuah fatwa yang berdasarkan dalil yang ia ketahui, namun ternyata beberapa tahun kemudian ia berfatwa dengan fatwa lain karena mendengar hadits yang belum pernah ia dengar sebelumnya atau dikarenakan dalil yang ia jadikan hujjah adalah lemah.

    Demikian pula dalam menghukumi sebuah hadits, tak jarang kita mendapati seorang imam tertentu memiliki dua pendapat, yang pertama menshahihkan kemudian mendha’ifkan atau sebaliknya, ini disebabkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah keadaan rawi yang semula ia anggap tsiqah ternyata kurang tepat. Demikianlah keadaan ulama’. Ini semua menunjukkan bahwa mereka selalu berusaha untuk mengikuti Al Haq, mereka tidak segan atau malu untuk kembali dari kekeliruan kepada kebenaran.

    Demikian juga yang terjadi pada diri Syaikh Al Albani Rahimahullah Ta’ala, tak jarang dalam berbagai karyanya kita dapati beliau rujuk, yang semula menshahihkan kini berganti mendha’ifkan atau sebaliknya. Maka tidak benar kalau dikatakan beliau mendha’ifkan hadits ini hanya disebabkan kebenciannya terhadap pihak tertentu, tentu beliau sangat jauh dari sifat ini, semuanya beliau hukumi secara ilmiyah menurut kaedah ilmu hadits yang dipakai ulama’ terdahulu. Sebagai contoh, ketika beliau menghukumi sebuah hadits yang berbicara tentang hukum buang hajat (lihat: Misykah no356), semula beliau mendha’ifkannya karena ada dua cacat fatal pada sanadnya, ternyata beberapa tahun kemudian beliau menshahihkannya dikarenakan ada jalur lain yang menguatkannya, beliau berkata, “Sekarang, baru kami dapati dari Ibnu Qaththan Jazahullahu Khairan sanad yang bagus ini dari selain jalur Ikrimah bin Ammar. Maka wajib untuk memindahkan (hadits ini) dari Dha’if Abi Daud ke Shahih Abi Daud, dari Dha’if Al Jami’ ke Shahih Al Jami’, dari Dha’if At Targhib ke Shahih At Targhib, dan dari Dha’if Ibnu Majah ke Shahih Ibnu Majah.”

    Dalam tempat lain, ketika beliau rujuk dari sebuah hadits yang semula beliau shahihkan kemudian beliau dha’ifkan, “Dahulu aku sempat lalai dari cacat ini ketika aku mentakhrij kitab Syarhu Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, aku pun menshahihkannya (no. 516) karena hanya melihat pada zhahir sanad, sekarang aku rujuk darinya, hanya Allah lah yang memberi taufik dan aku memohon ampun kepada-Nya atas kekeliruanku…”

    Demikian pula ketika beliau rujuk dari menghukumi sebuah hadits yang semula mendha’ifkannya kemudian memaudhu’kannya, “Inilah yang aku sebutkan dalam kitabku Dha’if Al Jami’. Sekarang, aku telah meneliti sanadnya yang muzhlim dan aku perhatikan matannya maka tampaklah bagiku bahwa hadits ini maudhu’. (Adh Dha’ifah no3272)

    “Sekarang, aku telah teliti sanadnya, maka aku rujuk yang semula menghukuminya dha’if menjadi maudhu’ disebabkan riwayat rawi kadzdzab ini…” (Adh Dha’ifah no3290)

    Bahkan beliau tidak segan-segan menerima Al Haq dari siapa saja, “Inilah sebatas yang aku ketahui ‘dan diatas setiap pemilik ilmu masih ada yang lebih berilmu lagi’. Maka barangsiapa yang memiliki faedah bisa memberikannya kepada kami Insya Allah dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no1489)

    “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang keduanya (ketika berbicara suatu sanad) silahkan menghubungi kami, masykuran dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no140)

    Dan tidak jarang beliau menerima masukkan dan pembenaran dari murid atau temannya sendiri, “Aku tidak menemukan lafazh seperti ini, akan tetapi seorang ikhwah memberikanku faidah Jazahullahu Khairan ….”

    “Kemudian yang aku pandang benar dalam Dzammul Hawa hal 39 karya Ibnul Jauzi dari jalur Al Khathib dengan arahan salah seorang ikhwah Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no2460)

    Demikianlah akhak para ulama’ yang patuh kita teladani, bagaimana mereka tidak malu untuk menerima Al Haq dari siapa, kapan, dan dimana saja, serta tidak malu untuk rujuk dari kesalahan, Semoga Allah merahmati mereka semua.

    Salah/keliru adalah suatu kewajaran, karena memang kita bukanlah orang yang makshum, tetapi sudah tidak menjadi suatu kewajaran ketika kita terus dalam kesalahan dan tidak mau rujuk darinya.

    Bukankah ini adalah hal yang aneh? 🙄 Tau bahwa ulama mereka lemah dan sering alpa namun mereka tetap gigih dan teguh memegang penilaian derajat hadits. Bagaimana berikutnya mereka-mereka bisa meyakini akan kebenaran Al-Albani dalam menentukan derajat hadits setelah mengerti akan kelemahan dan kealpaan Beliau? Apa jaminan bahwa penilaian Beliau kemudian benar? Bukankah potensi kekeliruan sangat mungkin terulang lagi? 🙄

    Saya pribadi sangat menghargai dan mengagumi akan kerendahan hati Beliau untuk mengakui bahwa Beliau telah melakukan kekeliruan dan memperbaikinya. Namun kerendahan hati saja kan tidak cukup untuk melakukan koreksi thd derajat sebuah hadits? Apalagi mendhaifkan hadits shahih?

    Semoga ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para pencari kebenaran yang ingin bergabung dalam salafiyun :mrgreen:

    Salam

  2. @SP
    Terimah kasih mas, makin banyak mas mengeluarkan hadits yang saling pro dan kontra atau yang mengatakan shahih dan yang mengatakan maudhu, maka makin banyak ilmu yang kita dapat dan kita berusaha menggali untuk mendapat kebenaran. Kita berusaha mencari kebenaran dan jangan hanya TAKLID aja pada ustadz. Apalagi uztadz2 yang hanya menerima doktrin .
    Sebab berdasarkan riwayat bahwa Umar b. Khattab membakar banyak hadits dari para sahabat yang yang telah mereka tulis dan melarang menyampaikan yang mereka para sahabat telah hapal ( diriwayakan oleh : Al-Hakim dlm Mustadrak 1/64-65; Sunan ad-Darimi, 1/85; Tadzkira al-Huffadz 1/524, Sunan Majah 1/281 dll.). Dengan demikian setiap hadits yang kita ketemukan perlu diragukan. Yakni hadits2 dari para sahabat. Wasalam

  3. @SP
    Counter attack to Haulasyiah…hehehe…

  4. Pendhaifan-pendhaifan hadits – yang sebelumnya dihukumi shahih oleh para perawi – yang kerap dilakukan oleh ulama Salafy seperti Al-Albani bagi saya menunjukkan beberapa hal;

    (1) Para salafiyun sudah tidak lagi memiliki keyakinan bahwa para perawi hadits memiliki keilmuan dan keadilan yang layak dalam mengumpulkan hadits.
    Ini kan sangat kontradiksi dengan pembelaan-pembelaan yang sering mereka lakukan jika kita mulai berani mengkritik hadits-hadits dari para perawi mereka.

    (2) Syaikh Al-Albani – merupakan tokoh terkini yang hidup beratus tahun setelah para perawi – telah dianggap sebagai seorang ulama yang mampu melakukan pengkoreksian dan pengukuhan terhadap derajat sebuah hadits dengan pembelaan yang luar biasa dari para salafiyun atas ‘kelancangan’nya.

    Dimana itu kalimat-kalimat yang sering mereka gunakan:

    “Perowi itu lebih tahu terhadap hadits yang ia riwayatkan.

    ?

    Bagaimana mereka bisa berpegang teguh terhadap penilaian ulama Al-Albani, sementara di sisi lain mereka juga mengakui akan kelemahan dan kealpaan Beliau? Seperti apa yang mereka tulis sendiri mengenai Beliau berikut ini (http://haulasyiah.wordpress.com/2008/11/22/mengkaji-lagi-hadits-wanita-yang-paling-dicintai-rasulullah-saw-adalah-fatimah/)

    Sebenarnya, kalau kita sering mengkaji kitab-kitab para Ulama’ Ahlus Sunnah, masalah-masalah seperti ini sudah biasa. Bahkan sering kita dapati ulama’ terdahulu dalam satu perkara memiliki dua sampai tiga pendapat. Karena memang mereka berfatwa sesuai dengan ilmu yang telah sampai kepada mereka. Ketika mereka berfatwa dengan sebuah fatwa yang berdasarkan dalil yang ia ketahui, namun ternyata beberapa tahun kemudian ia berfatwa dengan fatwa lain karena mendengar hadits yang belum pernah ia dengar sebelumnya atau dikarenakan dalil yang ia jadikan hujjah adalah lemah.

    Demikian pula dalam menghukumi sebuah hadits, tak jarang kita mendapati seorang imam tertentu memiliki dua pendapat, yang pertama menshahihkan kemudian mendha’ifkan atau sebaliknya, ini disebabkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah keadaan rawi yang semula ia anggap tsiqah ternyata kurang tepat. Demikianlah keadaan ulama’. Ini semua menunjukkan bahwa mereka selalu berusaha untuk mengikuti Al Haq, mereka tidak segan atau malu untuk kembali dari kekeliruan kepada kebenaran.

    Demikian juga yang terjadi pada diri Syaikh Al Albani Rahimahullah Ta’ala, tak jarang dalam berbagai karyanya kita dapati beliau rujuk, yang semula menshahihkan kini berganti mendha’ifkan atau sebaliknya. Maka tidak benar kalau dikatakan beliau mendha’ifkan hadits ini hanya disebabkan kebenciannya terhadap pihak tertentu, tentu beliau sangat jauh dari sifat ini, semuanya beliau hukumi secara ilmiyah menurut kaedah ilmu hadits yang dipakai ulama’ terdahulu. Sebagai contoh, ketika beliau menghukumi sebuah hadits yang berbicara tentang hukum buang hajat (lihat: Misykah no356), semula beliau mendha’ifkannya karena ada dua cacat fatal pada sanadnya, ternyata beberapa tahun kemudian beliau menshahihkannya dikarenakan ada jalur lain yang menguatkannya, beliau berkata, “Sekarang, baru kami dapati dari Ibnu Qaththan Jazahullahu Khairan sanad yang bagus ini dari selain jalur Ikrimah bin Ammar. Maka wajib untuk memindahkan (hadits ini) dari Dha’if Abi Daud ke Shahih Abi Daud, dari Dha’if Al Jami’ ke Shahih Al Jami’, dari Dha’if At Targhib ke Shahih At Targhib, dan dari Dha’if Ibnu Majah ke Shahih Ibnu Majah.”

    Dalam tempat lain, ketika beliau rujuk dari sebuah hadits yang semula beliau shahihkan kemudian beliau dha’ifkan, “Dahulu aku sempat lalai dari cacat ini ketika aku mentakhrij kitab Syarhu Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, aku pun menshahihkannya (no. 516) karena hanya melihat pada zhahir sanad, sekarang aku rujuk darinya, hanya Allah lah yang memberi taufik dan aku memohon ampun kepada-Nya atas kekeliruanku…”

    Demikian pula ketika beliau rujuk dari menghukumi sebuah hadits yang semula mendha’ifkannya kemudian memaudhu’kannya, “Inilah yang aku sebutkan dalam kitabku Dha’if Al Jami’. Sekarang, aku telah meneliti sanadnya yang muzhlim dan aku perhatikan matannya maka tampaklah bagiku bahwa hadits ini maudhu’. (Adh Dha’ifah no3272)

    “Sekarang, aku telah teliti sanadnya, maka aku rujuk yang semula menghukuminya dha’if menjadi maudhu’ disebabkan riwayat rawi kadzdzab ini…” (Adh Dha’ifah no3290)

    Bahkan beliau tidak segan-segan menerima Al Haq dari siapa saja, “Inilah sebatas yang aku ketahui ‘dan diatas setiap pemilik ilmu masih ada yang lebih berilmu lagi’. Maka barangsiapa yang memiliki faedah bisa memberikannya kepada kami Insya Allah dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no1489)

    “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang keduanya (ketika berbicara suatu sanad) silahkan menghubungi kami, masykuran dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no140)

    Dan tidak jarang beliau menerima masukkan dan pembenaran dari murid atau temannya sendiri, “Aku tidak menemukan lafazh seperti ini, akan tetapi seorang ikhwah memberikanku faidah Jazahullahu Khairan ….”

    “Kemudian yang aku pandang benar dalam Dzammul Hawa hal 39 karya Ibnul Jauzi dari jalur Al Khathib dengan arahan salah seorang ikhwah Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no2460)

    Demikianlah akhak para ulama’ yang patuh kita teladani, bagaimana mereka tidak malu untuk menerima Al Haq dari siapa, kapan, dan dimana saja, serta tidak malu untuk rujuk dari kesalahan, Semoga Allah merahmati mereka semua.

    Salah/keliru adalah suatu kewajaran, karena memang kita bukanlah orang yang makshum, tetapi sudah tidak menjadi suatu kewajaran ketika kita terus dalam kesalahan dan tidak mau rujuk darinya.

    Bukankah ini adalah hal yang aneh? 🙄 Tau bahwa ulama mereka lemah dan sering alpa namun mereka tetap gigih dan teguh memegang penilaian derajat hadits darinya. Bagaimana berikutnya mereka-mereka bisa meyakini akan kebenaran Al-Albani dalam menentukan derajat hadits setelah mengerti akan kelemahan dan kealpaan Beliau? Apa jaminan bahwa penilaian Beliau kemudian benar? Bukankah potensi kekeliruan sangat mungkin terulang lagi? 🙄

    Saya pribadi sangat menghargai dan mengagumi akan kerendahan hati Beliau untuk mengakui bahwa Beliau telah melakukan kekeliruan dan memperbaikinya. Namun kerendahan hati saja kan tidak cukup untuk melakukan koreksi thd derajat sebuah hadits? Apalagi mendhaifkan hadits shahih?

    Semoga ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para pencari kebenaran yang ingin bergabung dalam salafiyun :mrgreen:

    Salam

  5. pembahasan yang menarik dan tajam…!

    ternyata tulisan haulasyiah tentang hadis ini, selain disanggah mas SP juga disanggah oleh Ibnu Jakfari. sebagai tambahan boleh juga ditengok tulisan Ibnu jakfari di blognya:

    1. Hadis memandang wajah Ali adalah Ibadah Shahih (1)

    Hadis Memandang Wajah Ali adalah Ibadah Shahih! (1)

    2. Hadis memandang wajah Ali adalah Ibadah Shahih (2)

    Hadis Memandang Wajah Ali adalah Ibadah Shahih! (2)

    selamat berdiskusi !!

  6. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم النظر إلى علي عبادة

    Rasulullah SAW bersabda “Memandang Ali Adalah Ibadah”

    Hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat di antaranya, Abdullah bin Mas’ud RA, Abu Bakar RA, Aisyah RA, Usman bin Affan RA, Jabir bin Abdullah RA, Muadz RA, Imran bin Hushain RA, Abu Hurairah RA dan lain-lain. Hadis ini dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/141 hadis Imran bin Hushain no 4681, hadis Ibnu Mas’ud no 4682 dan 4683. Al Hakim berkata pada hadis Imran bin Hushain

    Hhmm, sudah banyak sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut, terkadang kita bingung, masih sajaaa ada golongan tertentu yang selalu mendhaifkannya…..golongan yang aneh…bisa disebut inkar sunnah tuh, peace ah

  7. Waduh, kalau begitu Ibadah memandang wajah Imam Ali sudah terhapus donk semenjak beliau wafat. Nabi aja ga pernah sekalipun bersabda “memandang wajahku adalah ibadah”

  8. […] Tulisan kali ini tidak akan membahas secara detail takhrij hadis melihat Ali ibadah tetapi hanya membawakan hadis-hadis yang sanadnya kuat dan saling menguatkan. Bisa dikatakan kalau tulisan ini hanyalah tambahan terhadap tulisan kami sebelumnya. […]

Tinggalkan komentar