Ayat Tathhir Khusus Untuk Ahlul Kisa’

Cahaya Di Atas Cahaya

Seterang Apapun Tetap Harus Membuka Mata

Ayat Tathhir Khusus Untuk Ahlul Kisa’

Dalam pembahasan sebelumnya kami pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33 adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Merekalah Ahlul Bait yang dimaksud dan bukan seperti yang dinyatakan oleh sebagian orang bahwa Ahlul Bait tersebut adalah istri-istri Nabi.

إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. (QS : Al Ahzab 33)

Kali ini kami hanya ingin menunjukkan bahwa dalil-dalil yang shahih telah menetapkan dan mengkhususkan bahwa ayat di atas ditujukan kepada mereka yang terkenal dengan sebutan Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 dalam Shahih Sunan Tirmidzi Syaikh Al Albani

عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير

Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.

Hadis ini menjelaskan bahwa Ayat yang saat itu turun di rumah Ummu Salamah RA hanya penggalan Al Ahzab 33 yang berbunyi {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.}. Ayat ini dalam hadis di atas disebutkan bahwa ditujukan untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Ayat ini tidak turun untuk istri-istri Nabi SAW. Buktinya adalah sebagai berikut

Perhatikan Al Ahzab ayat 32,33 dan 34 berikut

Ayat ke-32 berbunyi begini

Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.

Ayat ke-33 berbunyi begini

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.

Ayat ke-34 berbunyi begini

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

Yang dicetak tebal adalah bagian yang khusus untuk Ahlul Kisa’ dan bukan istri-istri Nabi SAW. Sehingga jika digabungkan maka hasilnya begini

Bagian yang untuk Istri-istri Nabi SAW adalah berikut

Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

Sedangkan bagian untuk Ahlul Kisa’ adalah berikut

Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.

Kedua bagian ini diturunkan secara terpisah dan hadis Sunan Tirmidzi di atas adalah bukti jelas bahwa kedua bagian ini turun terpisah. Mari kita buat Rekontruksi.

.

.

Hipotesis Null

Seandainya memang kedua bagian tersebut turun bersamaan maka bunyinya akan seperti ini.

Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

Mari kita andaikan bahwa ayat tersebut turun dengan bunyi(lafaz) seperti ini di rumah Ummu Salamah

Verifikasi

Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi di atas sebagai alat penguji maka ada hal yang aneh disini yaitu

  • Hadis Sunan Tirmidzi hanya menyebutkan bahwa ayat yang turun saat itu hanya bagian yang ini saja Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Tidak sesuai dengan hipotesis}
  • Hadis Sunan Tirmidzi menyebutkan bahwa tepat ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW anehnya tidak memanggil Istri-istri Beliau. Bukankah ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah dan istri-istri Beliau jelas punya rumah sendiri maka jika memang ayat tersebut bunyinya seperti itu dan tertuju untuk istri-istri Beliau maka sudah pasti Beliau akan langsung memanggil Istri-istri Beliau yang lain. Hadis Sunan Tirmidzi malah menunjukkan hal yang berbeda yaitu justru Rasulullah SAW memanggil orang lain yang bukan istriNya yaitu Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. {Tidak sesuai dengan hipotesisnya}
  • Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini adalah aneh dan sangat tidak sinkron karena Apalagi yang perlu ditanyakan, apakah kata-kata awal pada ayat ke-32 Hai Istri-istri Nabi masih kurang jelas sehingga Ummu Salamah perlu bertanya kepada Nabi. Jika memang ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi maka Ummu Salamah tidak akan bertanya apapun. Ya sudah jelas kan kalau beliau adalah istri Nabi. Apakah Ummu Salamah tidak memahami kata-kata yang mudah seperti itu?. Adanya pertanyaan tersebut telah menggugurkan postulat awal bahwa ayat tersebut diturunkan untuk Istri-istri Nabi SAW. {Tidak sesuai dengan hipotesis}

.

.

Hipotesis Tandingan

Ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun sendiri untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

Verifikasi

Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi sebagai penguji maka didapatkan sebagai berikut

  • Hadis Sunan Tirmidzi membuktikan bahwa bunyi ayat yang turun di rumah Ummu Salamah hanyalah ini Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Sesuai dengan hipotesisnya}
  • Dalam hadis Sunan Tirmidzi ketika ayat ini turun Rasulullah SAW memanggil Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS kemudian menutupinya dengan kain. {Sesuai dengan hipotesisnya}
  • Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun dan Rasul SAW menyelimuti Ahlul Kisa’ maka Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini dapat dimengerti karena pada bunyi ayat yang turun itu memang tidak disebutkan kata istri-istri Nabi sehingga Ummu Salamah bertanya apakah Ia bersama mereka sebagai yang dituju dalam ayat tersebut.{Sesuai dengan hipotesisnya bahwa ayat tersebut terpisah dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang berbicara tentang Istri-istri Nabi}.

Dapat dilihat bahwa Hadis Sunan Tirmidzi itu justru membuktikan kebenaran hipotesis tandingan bahwa Ayat tersebut khusus untuk Ahlul Kisa’.

.

.

.

Syubhat Para Penentang

Ada sebagian orang yang menentang pengkhususan Ayat Tathhir untuk Ahlul Kisa’. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut awalnya turun khusus untuk istri-istri Nabi kemudian di perluas kepada Ahlul Kisa’. Kekeliruan mereka telah ditunjukkan oleh Hadis Sunan Tirmidzi di atas dan hadis-hadis lain yang mengkhususkan Ayat Tathhir untuk Ahlul Kisa’(hadis ini akan ditunjukkan nanti). Kami telah membuktikan bahwa Hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas justru menyelisihi pernyataan mereka bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW.

Mereka yang menentang tersebut mengajukan syubhat bahwa adanya doa Rasulullah SAW justru membuktikan bahwa ayat tersebut tidak tertuju untuk mereka. Untuk apa lagi di doakan jika memang ayat tersebut untuk Ahlul Kisa’. Adanya doa menunjukkan bahwa mereka sebelumnya tidak termasuk dalam ayat Tathhir sehingga Rasul SAW berdoa agar Ahlul Kisa’ bisa ikut masuk ke dalam ayat tersebut.

Syubhat ini mengakar pada prakonsepsi bahwa ayat tersebut turun untuk Istri-istri Nabi SAW. Seandainya mereka benar-benar berpegang pada teks hadis Sunan Tirmidzi maka tidak akan muncul syubhat seperti ini.

Perhatikan, pada mulanya ayat tersebut turun dengan bunyi seperti ini Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Ingat hanya kata-kata ini, dan kalau mereka para penentang itu berpegang pada hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas maka kami katakan siapa yang dituju dengan kata-kata ini?. Adakah mereka bisa mengatakannya atau menjawab. Kalau mereka menjawab ayat itu untuk istri-istri Nabi SAW, maka dari mana mereka bisa tahu?. Secara ayat itu hanya berbunyi Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Kalau mereka mengatakan dari ayat sebelum ini(yang ada kata-kata istri Nabi) maka sudah ditunjukkan bahwa Hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas menentang anggapan mereka. Bukankah telah dibuktikan bahwa ayat sebelumnya itu terpisah dari ayat yang kita bicarakan ini.

Maka mari kembali pada Hadis Sunan Tirmidzi di atas. Untuk mengetahui siapa yang dituju oleh ayat ini maka tidak bisa tidak, hanya bersandar pada keterangan Rasulullah SAW. Tepat setelah ayat ini turun maka tugas Beliaulah untuk menjelaskan siapa Ahlul Bait yang dimaksud. Dan Hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan siapa Ahlul bait dalam ayat yang baru turun Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.

Tepat setelah ayat ini turun maka Rasulullah SAW menunjukkan Siapa Ahlul bait yang dimaksud.

  • Beliau langsung memanggil siapa itu orang-orang yang dimaksud Ahlul Bait
  • Beliau mengkhususkannya dengan Perbuatan yaitu menyelimuti orang-orang tersebut dengan kain. Tindakan Rasulullah SAW menyelimuti dengan kain ini hanya bisa dipahami sebagai pengkhususan.
  • Setelah diselimuti maka Beliau kembali menegaskan dengan kata-kata yang jelas yaitu Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Kata-kata ini adalah keputusan final siapa Ahlul Bait yang dimaksud dan Rasulullah SAW menggunakan lafal maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya untuk menunjukkan kepada siapapun yang mendengarnya bahwa inilah Ahlul Bait yang tertera dalam kata-kata Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.

Oleh karena itu tepat setelah Ummu Salamah menyaksikan penyelimutan itu dan mendengar kata-kata Rasulullah SAW, beliau langsung mengerti bahwa merekalah yang dimaksud dalam ayat tersebut dan Ummu Salamah berharap ikut bersama mereka yang dituju oleh ayat tersebut dengan bertanya kepada Rasul SAW ”Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”. Jadi Doa itu justru menjadi penegas yang kuat sebagai pengkhususan Ahlul Bait pada Ahlul Kisa’. Dan ini akan dipahami jika memang berpegang pada teks-teks hadis Sunan Tirmidzi di atas.

Para penentang itu mengajukan syubhat yang lain bahwa jawaban Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” adalah petunjuk bahwa Rasulullah SAW menyadari bahwa Ummu Salamah termasuk dalam ayat tersebut sehingga beliau berkata ”kamu dalam kebaikan”.

Syubhat ini terlihat jelas adalah sebuah pembenaran. Lihat pertanyaan Ummu Salamah adalah ”Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?” . Dan Jawaban pertanyaan ini hanya ada dua yaitu

  • Ummu Salamah bersama Mereka
  • Ummu Salamah tidak bersama Mereka

Jawaban Rasulullah SAW adalah “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. Mereka para penentang itu mengatakan bahwa kata-kata Rasul SAW ini adalah isyarat bahwa Ummu Salamah memang Ahlul Bait yang dimaksud. Bisa dikatakan ini hanyalah klaim yang langsung ditetapkan berdasarkan konsepsi bahwa Ahlul Bait disini adalah istri-istri Nabi. Sama seperti sebelumnya jika mereka memang berpegang pada teks hadis ini maka dapat diketahui bahwa pernyataan mereka itu jelas dipaksakan. Bagaimana Mereka bisa mengartikan bahwa kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” mengandung makna bahwa Ummu Salamah bersama Mereka adalah Ahlul Bait yang tertuju dalam ayat ini?.

Mari kita lihat kata-kata itu “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” Jika dengan kata-kata ini saja maka yang dimaksud adalah Ummu Salamah tetap di tempatnya sendiri atau punya kedudukan sendiri. Kedudukan itu ada dua kemungkinan

  • Bersama Mereka Ahlul Bait
  • Tidak bersama Mereka Ahlul Bait

Hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan apa yang dilakukan Rasul SAW ketika ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya ini turun. Ingat kata-kata ini saja tidak menunjukkan siapa Ahlul Bait yang dimaksud, sekali lagi kami tekankan disitulah Peran Rasulullah SAW. Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas Rasul telah melakukan pengkhususan dengan perkataan dan perbuatan mengenai siapa Ahlul Bait tersebut. Jika memang kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” memiliki arti bahwa Ummu Salamah selaku istri Nabi adalah Ahlul Bait bersama mereka maka Rasulullah SAW akan menetapkan hal yang sama yang ia lakukan pada Ahlul Kisa’ sebelumnya. Maka Beliau akan

  • Memanggil Istri-istriNya
  • Menyelimuti Mereka Istri-istriNya dengan kain
  • Mengatakan dengan kata-kata Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya.

Proses inilah yang dilakukan Rasul SAW kepada siapa yang dituju sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Oleh karena Rasul SAW tidak melakukan hal ini maka arti kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” lebih ke arah bahwa itu berarti Ummu Salamah punya kedudukan sendiri yang berbeda dengan Mereka Ahlul Kisa’. Jadi Ummu Salamah tidak bersama Mereka Ahlul Bait.

Para penentang mengajukan alasan bahwa semua itu tidak perlu dilakukan karena sudah jelas ayat tersebut untuk Istri-istri Nabi sedangkan yang dilakukan Nabi terhadap Ahlul Kisa’ karena mereka tidak tercakup dalam ayat tersebut sehingga Rasulullah SAW repot-repot melakukan ketiga hal yang dimaksud.

Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal, itu sekali lagi menunjukkan kalau mereka lebih berpegang pada konsepsi mereka ketimbang hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa ayat tersebut untuk istri-istri Nabi, jika ayat tersebut bunyinya hanya “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. Ingat Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan bahwa bunyi ayat yang turun itu Cuma ini. Jika mereka mengatakan bahwa dari ayat sebelumnya maka sekali lagi Hadis Shahih Sunan Tirmidzi telah menyelisihi anggapan mereka seperti yang sudah dari awal kami jelaskan.

Begitu pula kata-kata Rasul SAW “dan kamu dalam kebaikan”, Ahlul Bait dalam Ayat Tathhir adalah keutamaan besar dan merupakan kebaikan yang sangat besar oleh karena itu Ummu Salamah berharap ikut masuk dalam ayat ini. Kata-kata “dan kamu dalam kebaikan” jelas tidak bisa begitu saja diartikan sebagai tanda bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait yang dimaksud karena kebaikan itu ada banyak atau dengan kata lain Menjadi Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah satu-satunya kebaikan yang ada walaupun jelas itu adalah kebaikan yang paling besar. Apakah kata-kata “dan kamu dalam kebaikan” ini saja mengandung makna bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait?. Jelas tidak, dan mereka para penentang itu memahaminya begitu karena dari awal mereka sudah menetapkan bahwa Ahlul Bait pada ayat tathhir adalah Istri-istri Nabi. Konsepsi yang dari awal mereka yakini wakaupun hadis Shahih Sunan Tirmidzi diatas menyelisihi anggapan mereka.

Oleh karena itu menyatakan begitu saja bahwa kata-kata “dan kamu dalam kebaikan” sebagai tanda bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait merupakan klaim yang dipaksakan. Kata-kata tersebut juga dapat dipahami sebagai penolakan halus dari Nabi SAW bahwa meskipun Ummu Salamah tidak bersama mereka sebagai Ahlul Bait dalam ayat tathhir maka beliau Ummu Salamah tetaplah memiliki kebaikan tersendiri. Penafsiran ini bersandar pada kata-kata sebelumnya yang tertera dalam hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas.

Syubhat lain yang juga sering dijadikan dasar dalam menolak pengkhususan bahwa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Ayat Tathhir adalah Ahlul Kisa’ adalah tidak adanya kata-kata tegas yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menolak Ummu Salamah sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut.

Perhatikan baik-baik, hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan penetapan Rasulullah SAW mengenai Siapa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Ayat Tathhir maka kata-kata tegas yang menetapkan jelas jauh lebih diperlukan dibanding kata-kata tegas yang menolak. Bukankah jika tidak diketahui siapa Ahlul Bait yang dimaksud maka yang diperlukan adalah kata-kata yang jelas menetapkan siapa mereka dan bukan kata-kata yang jelas menolak. Mereka para penentang berkeras pada isyarat paksaan mereka karena mereka berasa lebih mengetahui duduk perkara sebenarnya dibanding Ummu Salamah Istri Nabi SAW.

Contoh nyata akan sikap ini kami lihat pada salah satu penulis Hafiz Firdaus yang ketika membahas ayat ini beliau menyatakan bahwa Ummu Salamah saat itu bertanya kepada Nabi SAW karena pada saat itu Nabi SAW belum memberitahukan ayat tersebut kepadanya sehingga ia bertanya dalam kondisi tidak tahu.

Hal ini yang kami katakan berasa lebih mengetahui dibanding Ummu Salamah RA sendiri. Syubhat Hafiz Firdaus ini jelas-jelas hanya mencari alasan. Apakah Sampai Ummu Salamah meriwayatkan hadis tersebut, beliau tetap belum diberi tahu oleh Nabi SAW?. Apa buktinya ada sesuatu yang harus diberitahukan Nabi SAW kepada Ummu Salamah?. Jangan-jangan memang tidak ada yang perlu diberitahukan Nabi SAW. Kalau memang ada, kenapa Ummu Salamah tidak mengungkapkannya dalam hadis di atas. Jika memang ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW mengapa hal pertama yang dilakukan oleh Nabi SAW malah memanggil orang lain dan kenapa saat itu Beliau tidak memanggil istri-istrinya?. Syubhat itu justru mengundang banyak pertanyaan yang malah akan menjatuhkannya sendiri

Berikut akan kami kemukakan hadis yang menetapkan pengkhususan bahwa Ahlul Bait dalam ayat tathhir adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS

حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya} turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.

Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitabnya Musykil Al Atsar juz 1 hal 227. Hadis ini juga diriwayatkan dalam Tarikh Al Kabir Al Bukhari juz 2 biografi no 2174(disini Bukhari hanya menyebutkan sanadnya dan sedikit penggalan hadis tersebut) dan Tarikh Ibnu Asakir juz 14 hal 143. Hadis di atas adalah hadis yang shahih dan diriwayatkan oleh para perawi tsiqat(terpercaya).

  • Abu Ja’far Ath Thahawi penulis kitab Musykil Al Atsar adalah seorang Fakih dan Hafiz bermahzab Hanafi, kredibilitasnya jelas sudah tidak diragukan lagi. Dalam kitab ini Ath Thahawi membuat Bab khusus yang menerangkan tentang Ayat Tathhir. Beliau membawakan beberapa riwayat yang berkaitan dengan ini dan kesimpulan dalam pembahasan beliau tersebut adalah Ayat Tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’ saja.
  • Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam juz 20 hal 416 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir juz 48 hal 459 no 5635.
  • Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 7 biografi no 299, Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
  • Jarir bin Abdul Hamid, dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 2 biografi no 116 beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
  • Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Dalam Tahdzib At Tahdzib juz 4 biografi no 386, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
  • Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Ta’jil Al Manfaah juz 1 hal 387 bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Imam Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174 seraya mengutip kalau dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 6 no 7050 bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy.
  • Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 biografi no 787 bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.

Jadi sudah jelas bahwa hadis di atas sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat(terpercaya). Hadis tersebut menjadi bukti yang jelas bahwa Ayat Tathhir Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Dan hadis ini juga menjadi bukti yang menguatkan kalau Hadis Sunan Tirmidzi mengandung makna bahwa Ahlul Bait dalam Ayat Tathhir adalah Ahlul Kisa’ saja.

.

.

Salam Damai

Catatan :

  • Percaya atau tidak, kami sebenarnya malas menulis. Dan kami kembali menulis ini karena kami kembali membicarakan ini. Jika ada yang ingin kami membuat banyak tulisan tentang ini(lagi) maka tolong sering-sering ajak bicaralah Mas SP itu. :mrgreen:
  • Jika anda menangkap elemen kekasaran pada tulisan ini maka lemparkan saja itu ke dunia lain, jangan biarkan dunia anda berubah menjadi dunia lain pula :mrgreen:

34 Tanggapan

  1. “Percaya atau tidak, kami sebenarnya malas menulis. Dan kami kembali menulis ini karena kami kembali membicarakan ini. Jika ada yang ingin kami membuat banyak tulisan tentang ini(lagi) maka tolong sering-sering ajak bicaralah Mas SP itu”

    Ah si es pe itu memang pria yg menyedihkan…

  2. semoga ulil amri, imam mahdi membukakan segala pintu kebenaran didunia ini, peace..

    saya setuju pembahasan ini selalu mendahulukan menggunakan al-quran sebagai referensi utama nya, dan hadist yang senafas dengan al-quran, bukan seperti wahabi yang di al-quran saja sudah jelas tapi karena ulama nya bilang tidak jelas maka gugurlah kebenaran al-quran tersebut.

  3. @Mbak Ayu

    Ah si es pe itu memang pria yg menyedihkan…

    Bener banget :mrgreen:

  4. hanya mereka yang tidak suka pada ahlulbait yang menentang dan menyatakan bahwa ayat tathhir itu untuk isteri-isteri nabi yaitu para wahabi yang berpendapat demikian karena memang wahabi dari dulu hingga sekarang memusuhi ahlulbait

  5. sebarkan ke teman-teman lainhttp://hangtuahbatam.blogspot.com/2008/10/4-tahun-peristiwa-berdarah-takbai.html

  6. @SP

    Ada sedikit kerancuan yang mungkin tidak pernah disadari yang butuh klarifikasi mas, tentang apakah Rasul saw termasuk Ahlulbayt atau bukan. 🙂
    Mas SP kan menulis begini:

    Dalam pembahasan sebelumnya kami pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33 adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

    Apakah ini berarti menurut mas, Rasulullah saw juga adalah Ahlulbayt? Kemudian ada keterangan dari mas juga yang menyebutkan bahwa Rasul saw termasuk Ahlulbayt. Seperti:

    Hadis ini menjelaskan bahwa Ayat yang saat itu turun di rumah Ummu Salamah RA hanya penggalan Al Ahzab 33 yang berbunyi {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.}. Ayat ini dalam hadis di atas disebutkan bahwa ditujukan untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

    Namun di beberapa kalimat sering saya sering mendengar dan membaca kata-kata Nabi “mereka adalah Ahlulbaytku”, seakan-akan Rasul saw sendiri bukan termasuk Ahlulbayt, namun sekedar menunjukkan kepemilikan. Ini juga tertera seperti dalam Hadits Turmudzi yang mas nukil:

    Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.

    Baca di kalimat “Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya

    Dengan menggunakan kata pengganti “mereka”, menurut pengertian saya yang belum kokoh ini, menyatakan bahwa untuk kalimat di atas, Nabi saw bukan termasuk yang dimaksud sebagai Ahlulbayt. Namun sekedar menyatakan bahwa Ahlulbayt adalah “kepunyaan” Rasul saw. Sama seperti jika saya mengucapkan kalimat: “mereka adalah sahabat-sahabatku”, “mereka adalah oran-orang yang kucintai”, dll. Apakah “sahabat-sahabat” dan “orang-orang yang dicintai” juga dimaksudkan diri saya? Saya kira bukan.

    Saya belum tau apakah ini penting atau tidak, namun sementara ini kayaknya butuh diklarifikasi dulu.

    Mohon pencerahannya mas. Maaf ya kalau kurang berkenan.

    Semoga Rahmat Allah swt dilimpahkan kepada kita semua. Amin.

    Salam

  7. http://hangtuahbatam.blogspot.com/

    mohon sebarkan ke teman teman dan doa nya

  8. @ armand

    ketika seseorang berkata A,B,C,D adalah penghuni rumah(ahlul bayt) ku.

    “ku” adalah tanda kepemilikan, jadi secara otomatis sang pemilik rumah juga adalah penghuni rumah…bukankah begitu?

    maaf jika salah.

  9. @SP

    Dijadikan thread khusus nich…saya setuju mas biar focus… dan saya merasa bahwa sayalah yang dimaksud para penentang tsb paling tidak salah satunya… tetapi ga dosa kan mas jika sedikit menentang pendapat anda? :mrgreen:

    CAHAYA DI ATAS CAHAYA
    SETERANG APAPUN HARUS MEMBUKA MATA
    TETAPI JIKA MATA SUDAH TIDAK KUAT MAKA PEJAMKANLAH MATA
    KARENA KALAU TIDAK, MATA AKAN MENJADI BUTA

    Ayat Tathhir Turun Untuk Istri-istri Nabi dan juga Ahlul Kisa’

    Hipotesis Null

    Seandainya memang kedua bagian tersebut turun bersamaan maka bunyinya akan seperti ini.

    Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

    Mari kita andaikan bahwa ayat tersebut turun dengan bunyi seperti ini di rumah Ummu Salamah

    Verifikasi

    Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi di atas sebagai alat penguji maka TIDAK ADA hal yang aneh disini yaitu :

    • Hadis Sunan Tirmidzi hanya menyebutkan bahwa ayat yang turun saat itu hanya bagian yang ini saja ”Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. Mengapa hanya bagian di atas saja yang disebutkan, karena memang syahid dari hadits ini adalah ingin menunjukkan bahwa Ahlul Bait Nabi bukan hanya istri-istri Nabi saja tetapi juga ahlul bait Nabi berdasarkan nasab (sesuai hipotesis)

    • Tidak dipanggilnya istri-istri Nabi karena sekali lagi syahid hadits di atas adalah untuk menjelaskan makna lebih luas dari ahlul bait yang ada dlm ayat tsb, sedangkan istri-istri Nabi sudah jelas termasuk ahlul bait yang dimaksud berdasarkan konteks dan urutan ayat tsb dan ayat tersebut turun di rumah istri Nabi. Tidak syak lagi. (sesuai hipotesis)

    • Pertanyaan Ummu Salamah ”apakah aku bersama mereka, Ya Nabi Allah?” adalah tidak aneh dan wajar untuk meminta kejelasan dari Nabi, karena yang dimaksud ”bersama mereka” ada 2 pengertian :

    1. Dalam Selimut
    2. Ahlul Bait

    • Jika yang dimaksud ”bersama mereka” di dalam selimut, Rasulullah menjawab ”tetaplah di tempatmu” ”kamu dalam kebaikan”, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Mubarakfuri (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ Tirmidzi, juz 9 hal. 48-49) bahwa dicegahnya Ummu Salamah masuk ke dalam selimut karena ada Ali yang bukan mahramnya.

    • Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ternyata akhirnya Ummu Salamah pun dibolehkan masuk ke dalam selimut setelah Rasulullah berdo’a untuk keluarga Fathimah.

    • Jika yang dimaksud ”bersama mereka” adalah ahlul bait, bisa diartikan bahwa Rasulullah membedakan ahlul bait beliau berdasar nasab dengn ahlul bait berdasar hubungan suami istri, bukan berarti jawaban beliau tsb menafikan bahwa Ummu Salamah bukanlah ahlul bait beliau yang dimaksud dalam ayat tsb, hal ini dapat disimpulkan dari jawaban beliau “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”, kalimat ”tetap pada kedudukanmu” di sini bisa diartikan bahwa beliau adalah termasuk ahlul bait Nabi juga, tetapi berdasarkan hubungan suami istri dengan Nabi bukan atas dasar nasab. sedangkan sudah jelas QS 33:30-34 pada dasarnya turun untuk istri-istri Nabi.

    • Hal ini dikuatkan dengan pengertian Ahlul Bait dari hadits riwayat Zaid bin Arqam dan juga dalam Bukhari ketika rasulullah memanggil Aisyah dengan sebutan ahlul baiti.

    • Dalam hadits riwayat Ahmad dengan jelas Nabi mengiyakan bahwa Ummu Salamah adalah termasuk ahlul baitnya. (sesuai hipotesis)

    Hipotesis Terbaik

    Ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun sendiri untuk Rasulullah SAW, Istri-istri Nabi, Sayyidah Fatimah ra, Imam Ali ra, Imam Hasan ra dan Imam Husain ra. dan ahlul bait nabi ra yang lainnya.

    Verifikasi

    Dengan menggunakan konteks dan urutan ayat Al-Ahzab 30-34, ayat-ayat lain yang relevan, hadits-hadits Nabi SAW termasuk haditsul kisa’, atsar-atsar dari shahabat maupun tabi’in serta para ulama.

    • Ayat Al-Ahzab 32-33 berbicara mengenai istri-istri Nabi, baik secara konteks maupun urutan ayat, tidak diragukan lagi bahwa ayat tersebut turun kepada istri-istri Nabi tanpa ada pemenggalan ataupun penyisipan untuk konteks yang lain, jikapun ada sebenarnya hanyalah perluasan makna dari ahlul bait tanpa meninggalkan mereka (istri-istri Nabi SAW) didalamnya
    .
    Karena pada awal ayat dibuka dengan kalimat:
    يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ…….
    Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.… (al-Ahzaab: 32)

    Kemudian diakhiri pada ayat berikutnya dengan kalimat:
    إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا. الأحزاب: 32-33
    Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (al-Ahzaab: 33)

    • Ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an juga menggunakan kata ”ahlul bait” untuk menyebut istri-istri para Nabi :

    Surat Huud : 72-73

    قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَاْ عَجُوزٌ وَهَـذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَـذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ {72}
    Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”

    قَالُواْ أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ {73}
    Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

    Lihatlah siapa yang dimaksud ahlul bait pada ayat 73 surat Huud diatas? Tidak lain adalah istri Nabi Ibrahim as (tidak ada keraguan sedikitpun). Adakah Malaikat bicara dengan selain istri Nabi Ibrahim saat itu? Coba kita bandingkan dengan Al-Ahzab : 32-33,

    يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا {32}
    Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,

    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا {33}
    dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

    Terlihat KEMIRIPAN ayat ini dengan ayat dari surat Huud di atas. Nah apakah kita terima jika istri-istri Nabi di dalam surat Al-Ahzab:33 dibuang begitu saja dari lingkup ahlul bait? Padahal ayat tsb berbicara tentang mereka…

    Kemudian lihatlah Surat Thaha : 10

    إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّي آتِيكُم مِّنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى {10}
    Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya (istri Nabi Musa as anak dari Nabi Syua’ib as): “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.”

    • Di dalam hadits juga ada penggunaan kata ahlul bait untuk istri-istri Nabi SAW:

    “Lalu Rasulullah s.a.w. pergi ke bilik Aisyah r.a. dan berkata: ‘Assalamu Alaikum Ya Ahlul Bait Wa Rahmatullah, maka Aisyah menjawah: Wa Alaikassalam Wa Rahmatullah, bagaimana dengan Ahli (isteri) kamu (Zainab Bt. Jahsy), semoga Allah memberi berkat kepada mu,” (Sahih Bukhari, Kitab Tafsir. Peristiwa ini berlaku selepas Rasulullah diakad nikah dengan Zainab bt. Jahsy r.a. dan selesai jamuan walimah)

    Apakah istri-istrinya termasuk ahlul bait? Zaid radhiallahu ‘anhu menjawab: Istri-istri beliau termasuk ahlul baitnya (HR. Muslim dalam shahihnya dengan Syarh Nawawi)

    • Ahlul Bait yang dimaksud dalam Al-Ahzab : 33 juga termasuk keluarga Ali ra yang terdiri dari Ali ra, Fathimah ra, Hassan ra dan Hussein ra berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad.

    Berikut ini hadits riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan bahwa Ummu Salamah termasuk ahlul bait Nabi:

    Imam Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan dari Syahr bin Hausyab yang mengatakan, Saya mendengar Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi, ketika datang kabar kematian Husain bin Ali, melaknat penduduk Irak. Ummu Salamah berkata, Mereka telah membunuh Husain bin Ali, semoga Allah membinasakan mereka. Mereka telah membuat tipu muslihat terhadap Husain dan mereka telah menghinanya, semoga Allah melaknat mereka.

    Sesungguhnya saya pernah melihat Rasulullah didatangi oleh Fatimah pagi-pagi. Ia membawa periuk (terbuat dari tanah) yang berisi bubur yang ia buat untuk Rasulullah. Periuk itu ia bawa dengan dilambari talam. Kemudian ia meletakkannya dihadapan Nabi. Maka Nabi bertanya, “Dimana anak pamanmu (maksudnya Ali -pen)?” Fatimah menjawab, “Ia di rumah.” Nabi bersabda, Pergilah dan panggillah Ali, dan bawa serta kedua anaknya (yaitu Hasan dan Husain -pen.)

    Ummu Salamah berkata, Setelah itu datanglah Fatimah kembali dengan menuntun kedua puteranya, masing-masing berada pada satu tangan. Sedangkan Ali berjalan dibelakangnya. Sampai akhirnya mereka masuk menemui Rasulullah. Maka beliau mendudukkan kedua anak Ali di pangkuan beliau. Sementara Ali duduk di sebelah kanan Rasulullah dan Fatimah duduk di sebelah kirinya. Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, Kemudian Rasulullah menarik selimut yang berasal dari Khaibar yang ada dibawahku. Selimut itu biasa sebagai hamparan kami di tempat tidur di Madinah. Selanjutnya Rasulullah menyelimutkan selimut itu kepada semuanya (Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain -pen.) Kedua ujung selimut itu dipegangi dengan tangan kiri beliau, sedangkan tangan kanannya, beliau isyaratkan kepada Allah seraya berdo’a,

    Ya Allah, (mereka adalah) ahli bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Ya Allah, (mereka adalah) ahli bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Ya Allah, (mereka adalah) ahli bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.

    Aku (Ummu Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk ahli bait (keluarga)mu?” Beliau menjawab, “Tentu, masuklah ke dalam selimut.” Maka aku pun masuk ke balik kain itu setelah selesainya doa Beliau untuk anak pamannya, kedua putra Beliau dan Fatimah putri Beliau
    Hadits di atas, dikatakan oleh pensyarah, yaitu Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Az-Zain, “Sanadnya hasan.” Lihat Musnad Imam Ahmad, Syarah Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Az-Zain, hadits no. 26429 jilid 28, cet. I 1416H/1995.

    • Yang termasuk Ahlul Bait disamping keluarga Ali adalah keluarga Abbas, Keluarga Aqil dan Keluarga Ja’far yang diharamkan menerima sedekah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam di atas.

    • Pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini tentang istri-istri nabi adalah pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah, Atha’, Al-Kalbi, Muqathil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ayat ini turun tentang istri-istri nabi. Kemudian berkata Ikrimah: “Barangsiapa yang mau, aku akan bermubahalah dengannya tentang ayat ini turun tentang istri-istri nabi” (Lihat Tuhfatul Ahwazi Syarh Jami’ Tirmidzi , Juz 9 hal. 48).

    • Ketika mengulas hadis ini (hadits riwayat Tirmidzi), Shah Abdul Aziz al-Dahlawi berkata: “Hadis ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa ayat ini turun pada hak isteri-isteri Rasulllllah s.a.w. saja. Rasulullah s.a.w. telah memasukkan mereka berempat r.a. dalam kelebihan ini dengan doanya yang berkat. Sekiranya ayat ini turun pada mereka (Ali, Fatimah, Hasan dan Husin r.a., maka tentulah doa tidak perlu; kerana Rasulullah tidak melakukan sesuatu yang telah berhasil (tahsilul Hasil) Pemahaman ini didukung oleh hadis sahih riwayat Imam Baihaqi bahawa Rasulullah berbuat demikian juga terhadap al-Abbas dan anak-anaknya. (Lihat at-Tuhfah al-Ithna ‘Asyariah”, lkhtisar Syed Mahmud Syukri al-Alusi”, hlm. 151)

    • Yang nyata daripada ayat ini ialah umum untuk semua Ahlul Bait yang meliputi isteri-isteri dan keluarga yang lain. Adapun tentang perkataan wa yuthahhirukum (penggunaan jamak mudzakar), ialah karena Rasulullah s.a.w. Ali, Hasan dan Husin termasuk dalam Ahlul Bait; kerana (menurut kaedah Bahasa Arab), apabila berkumpul “mudzakar” (laki-laki) dan “muannast” (perempuan), maka dimenangkan lelaki. Dengan demikian jelaslah ayat ini menunjukkan isteri-isteri Rasulullah s.a.w. adalah daripada kalangan Ahlul Bait kerana ayat ini menyentuh tentang mereka. Orang yang dihalakan cakap juga adalah mereka berasaskan urutan dan kontek percakapan. (Ahlul Bait menurut pandangan Sunnah dan Syiah, Wan Zahidi Wan Teh)

    • Sangat baik sekali pendapat para ulama seperti al-Qurthubi dan Ibnu Katsier yang menya-takan bahwa ucapan yang bijaksana dalam masalah ini adalah: “Ayat ini mencakup istri-istri nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mencakup pula Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Adapun istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun masuknya Ali, Fatimah, Hasan dan Husein karena mereka adalah kerabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam nasab. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan kewajibannya terhadap yang lainnya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ Tirmidzi, Imam Muhammad Abdurrahman Ibnu Abdurrahim al-Mubarakfuuri, juz 9 hal. 49).

    Konklusi

    Karena telah jelas bahwa ayat ini menunjukkan tentang istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam , maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum dan menyatakan bahwa mereka juga ahlul bait, walaupun tidak disebut secara jelas dalam ayat di atas.

    Syubhat sang penulis yang merasa ditentang:

    Penulis sekaligus pemilik blog yang merasa ditentang pendapatnya melemparkan syubhat bahwa Ayat Tathhir dikhususkan untuk Ahlul Kisa’ saja dan membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat tersebut hanya berdasarkan hadits tirmidzi (sedangkan hadits tsb sebenarnya tidaklah bertentangan). Padahal telah jelas sebagaimana penjelasan di atas bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi, sedangkan ahlul kisa’ sebagai perluasan dari makna ahlul bait di dlm ayat tsb berdasarkan hadits tirmidzi. Maka ini sungguh suatu kekeliruan yang amat sangat jika mereka membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat tersebut padahal sebenarnya merekalah shahibul ayat tsb. Dan juga penulis mengabaikan dalil-dalil yang lain, baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang lain. Dan penulis menganggap bahwa hadits Tirmidzi tsb sebagai dasar pemisahan ayat Tathhir dari ayat sebelum dan sesudahnya. Syubhat ini mengakar pada prakonsepsi bahwa ayat tersebut turun khusus untuk ahlul kisa’ saja. Seandainya mereka benar-benar berpegang pada keterangan ayat yang lain, hadits bukhari, hadits riwayat Ahmad dll maka tidak akan muncul syubhat seperti ini.

    Sang Penulis menulis :

    Adakah mereka bisa mengatakannya atau menjawab. Kalau mereka menjawab ayat itu untuk istri-istri Nabi SAW, maka dari mana mereka bisa tahu?. Secara ayat itu hanya berbunyi Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.

    Dan yang senada :

    Para penentang mengajukan alasan bahwa semua itu tidak perlu dilakukan karena sudah jelas ayat tersebut untuk Istri-istri Nabi sedangkan yang dilakukan Nabi terhadap Ahlul Kisa’ karena mereka tidak tercakup dalam ayat tersebut sehingga Rasulullah SAW repot-repot melakukan ketiga hal yang dimaksud.

    Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal, itu sekali lagi menunjukkan kalau mereka lebih berpegang pada konsepsi mereka ketimbang hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa ayat tersebut untuk istri-istri Nabi, jika ayat tersebut bunyinya hanya Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Ingat Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan bahwa bunyi ayat yang turun itu Cuma ini. Jika mereka mengatakan bahwa dari ayat sebelumnya maka sekali lagi Hadis Shahih Sunan Tirmidzi telah menyelisihi anggapan mereka seperti yang sudah dari awal kami jelaskan.

    Kita sudah jelaskan di atas bahwa ahlul bait ini adalah istri-istri Nabi (tidak syak lagi) berdasarkan konteks ayat tsb turun untuk mereka, keterangan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang lain yang menyebut istri-istri Nabi dengan sebutan Ahlul Bait, disamping itu juga keterangan dari hadits riwayat Bukhari ketika Rasulullah memanggil istrinya Aisyah dengan panggilan Ahlul Bait. Hadits kisa’ riwayat Ahmad dll. Jadi begitu terangnya maksud dari ayat tsb bahwa merekalah yang dimaksud ahlul bait tsb, atau dengan kata lain termasuk dalam lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat Tathhir tsb.

    Baik untuk lebih jelasnya ayat tersebut turun seperti ini

    Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.

    Dan misalnya tidak ada hadits riwayat Tirmidzi, maka kita semua akan tahu dengan jelas dan otomatis bahwa yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut adalah istri-istri Nabi tanpa ada keraguan sedikitpun, berdasarkan keterangan yang sudah saya kemukakan di atas, tetapi masalahnya kita tidak akan tahu kalau ahlul bait Nabi yang lain (ahlul bait Nabi berdasarkan nasab) juga termasuk dalam pengertian ahlul bait pada ayat tersebut, sehingga disinilah fungsi daripada hadits Tirmidzi dan Ahmad untuk melengkapi penjelasan mengenai pengertian Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Dan bukan untuk menafikan atau membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yg dimaksud ayat tersebut karena pada dasarnya ayat tersebut asalnya memang berkaitan erat dengan istri-istri Nabi. Maka membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat tersebut adalah suatu kekeliruan dan suatu yang terlalu dipaksakan karena sang penulis mengambil satu dalil dan mengabaikan dalil yang lainnya. Wallahu A’lam bishowab.

    Peace & Peace…

    Catatan:

    • Percaya atau tidak sebenarnya kami (komentator) malas menulis, tetapi karena harus menulis ya kami akhirnya menulis :mrgreen:

  10. apakah Siti Aisyah binti Abu Bakar ( salah satu dari isteri Nabi SAWW ) juga harus termasuk orang-orang yg dimaksud dalam surat At Thathhir ??? Karena beliau adalah pemimpin perang JAMAL, perang tsb bertujuan untuk mengkudeta pemerintahanan yg sah pd waktu itu, yaitu pemerintahan Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib. menewaskan ratusan jiwa orang muslimin dgn sia-sia.
    CAHAYA DI ATAS CAHAYA
    KESUCIAN BERSINAR SEPERTI CAHAYA YANG TERANG BENDERANG
    ADAKAH CAHAYA YANG REDUP NAN BURAM SANGGUP MENYINARI KEHIDUPAN YANG FANA INI ??? ……..

  11. CAHAYA DI ATAS CAHAYA
    KESUCIAN BERSINAR SEPERTI CAHAYA YANG TERANG BENDERANG
    JIKA TERLIHAT REDUP DAN BURAM BUKANLAH SALAH DARI CAHAYA
    TETAPI MATA YANG KENA KATARAKLAH PENYEBABNYA
    MAKA KATARAK PADA MATA HARUS DIOPERASI SECEPATNYA
    :MRGREEN:

  12. CAHAYA DI ATAS CAHAYA
    KESUCIAN BERSINAR SEPERTI CAHAYA YANG TERANG BENDERANG
    JIKA TERLIHAT REDUP DAN BURAM BUKANLAH SALAH DARI CAHAYA
    TETAPI MATA YANG KENA KATARAKLAH PENYEBABNYA
    MAKA KATARAK PADA MATA HARUS DIOPERASI SECEPATNYA


    BIN BAZ DUNK …!

  13. Mas SP,

    apakah surat Al Ahzab 33 ini termasuk dengan keturunan nabi yang ada sekarang ini.

    apakah mereka suci atau tidak ya….

    Mohon penjelasannya.

    peace..peace.

  14. @ All

    Ada yg mengatakan bahwa QS 33:33 utk istri2 Rasul ada yg mengatakan utk Rasul, istrinya dan Ali, Fatimah, Hasan dan Husen. Ada yg mengatakan Rasul, Ali, Fatimah, Hasan dan Husen. Dan ada pula yg mengatakan hanya Ali, Fatimah, Hasan dan Husen malahan ada yg bertanya, apakah ketrurnan Rasul yg sekarang termasuk Ahlulbait yg disucikan?
    Semua ini ada kemungkunan. Tapi yg benar yg mana. Se-tidak2nya mendekati kebenaran.
    Utk ini perlu kita berpikir. Kita semua yg ingin mencari kebenaran yakin bahwa setiap firman Allah dlm Alqur’an ada hikmahnya atau mempunyai maksud dan tujuan. Tdk ada satu ayatpun yg sia2.
    QS 33:33 juga mempunyai maksud dan tujuan. Islam ini adalah Agama Allah agar umatnya berpegang teguh dan meyakini bahwa hanya Islam yg dibawah oleh Rasul yg bisa menyelamatkan kita dari siksa Allah dan terlepas dari kejahiliaan. Dan kita yakini bahwa tdk ada agama Allah lain selain Islam yg disampaikan oleh Rasulullah sebagi Nabi terakhir. Dan kita ketahui bahwa sebagai manusia Rasul akan meninggal. Apakah sepeninggal Rasul agama ini tdk perlu Seorang Pemimpin yg adil, bijaksana, yang ma’rifat terhadap agama ini, yg mampu menegakkan keadilan dan yg sanggup menjaga agar Umat ini tdk keluar dari ketentuan Allah.
    Saya yakin harus ada orang2 seperti itu. Karena sepeninggal Rasul umat ini msh menjalini hidup be-ribu2 tahun lagi dan Islam sebagai agamanya.
    Maha Suci Allah dari kealpaan utk mempersiapkan orang2 utk memimpin setelah Rasul. Dan yg akan memimpin nanti adalah orang2 yg suci dari dosa (Maksum). Dan salah satu persiapan Allah ini adalah dgn QS 33:33.
    Sekarang timbul pertanyaan apakah termasuk istri2 Rasul dlm QS 33:33?
    Kalau QS 33:33 utk mempersiapkan pimpinanan pasca Rasul maka istri2 tdk termasuk ini logika.
    Tapi kalau QS 33:33 bukan utk persiapan pemimpin pasca Rasul lalu utk apa? Hanya utk mengatakan bahwa mereka istri2 Rasul suci dan bersih. Lalu bgm doa Rasul hampir setiap hari dan didengar olh umat pd waktu itu. Buat apa Allah memberi peringatan pd istri2 Rasul, apabila mereka2 termasuk yg sdh disucikan. Banyak ayat2 yg turun utk memperingati istri2 Rasul pra dan pasca QS 33:33. Saya tdk perlu banyak menjelaskan mengenai istri2 Rasul.
    Jadi menurut keyakinan saya setelah mempelajari QS 33 : 33 diturnkan khusus utk Imam Ali AS, Sayyidah Fatimah AS, Imam Hasan AS dan Imam Husein AS termasuk Rasulullah. Wasalam

  15. Percaya atau tidak percaya….
    saya setuju sekali dengan Mas Aburahat….
    Klo istri2 nabi termasuk ahlul bait koq bisa ya sesama alul bait berperang (perang Jamal)……. :mrgreen:
    :mrgreen:

  16. Kalau saya lebih cenderung memilih pendapt mas bims bahwa ayat QS 33:33 buat semua ahlul bait yaitu istri-istri rasul dan juga ahlul bait yg lain… jadi semuanya dapet ga ada pilih kasih… soal perang Jamal, setahu saya itu bukan salah kedua tokoh ahlul bait tersebut, tetapi para pembunuh Utsman lah yang memprovokasi peperangan itu…:)

  17. @seno

    “bahwa ayat QS 33:33 buat semua ahlul bait yaitu istri-istri rasul dan juga ahlul bait yg lain… jadi semuanya dapet ga ada pilih kasih…”

    Permasalahan disini bukanlah pilih kasih (Allah dan Rasul-Nya pilih kasih ????), anda harus melihat yg melatar belakangi/sejarah dari ayat ini, kita/anda baca dan lihat kembali…silahkan, yuk dadah…

  18. @Seno
    Allah swt dan Rasul pilih kasih? :mrgreen:
    Emang Allah swt sama Rasul-Nya kayak bos-bos kita?
    Mendingan supaya ga dianggap pilih kasih, sekalian aja Ahlulbayt ditafsirkan untuk semua sahabat Rasul saw yang semuanya telah dianggap beriman. Bukankah Abubakar, Umar lebih utama dari Aisyah dan isteri-isteri Nabi saw yang lain?
    Tidakkah mas sadari bahwa tafsiran memasukkan isteri-isteri Nabi saw ke dalam Ahlulbayt adalah salah satu upaya dari Pembenci Ahlulbayt (Imam Ali, isteri dan anak-anaknya) di masa itu untuk melemahkan keutamaan-keutamaan dan kemuliaan mereka?

    Salam

  19. @seno

    buat semua ahlul bait yaitu istri-istri rasul dan juga ahlul bait yg lain… jadi semuanya dapet ga ada pilih kasih…

    Pilih kasih???..kembali kata2 ini muncul. Maaf Seno, kata2 seperti ini hanya muncul dari mereka2 yang ada kedngkian dalam hati mereka (semoga Allah menjauhkan kita semua dijauhkan dari sifat ini).
    Mas Seno, setiap saat pilihan harus diambil. Semakin tinggi derajat seseorang pilihan yang diambilnya semakin bertanggung jawab atau dalam kata lain semakin kecil/sedikit nafsu yang menyertai dasar2 pemilihan tsb. Apalagi jika pilihan tsb dilakukan Sang Maha Memilih, Sang Maha Bijak, Sang Maha Mulia, tentunya pilihan Allah memeiliki dasar2 yang sesuai dengan Sifat2-Nya. Pada saat seperti inilah Iblis bermain, Iblis akan masuk dari lubang (kedengkian) sehingga memanipulasi pilihan yang terbaik tsb. Misalnya saya tanya sama mas Seno, apa salahnya jika ahlul bayt yang dimaksud dalam QS: 33: 33 tidak termasuk istri2 Rasul, pasti mereka tidak ada yang bisa menjawab, karena memang Ali, Fatimah, Hasan Husein memang berbeda dan memiliki derajat yang juga berbeda (sayangnya tidak sedikit yang tidak senang dengan kenyataan ini (dengki) dan berusaha memanipulasinya).
    Apakah umat Islam akan terjebak sebagaimana Yahudi & Nasrani, ketika Iblis menipu mereka melalui kedengkian agar menolak Sayyidina Muhammad adalah Utusan Allah? semoga kita terlindung dari hal tsb.
    Apakah mas Seno, menerima complain2 yang mengatakan Allah pilih kasih dengan menurunkan banyak Nabi2 dari bangsa Yahudi? Argumen yang sama :pilih kasih bisa kita sampaikan jika menggunakan logika mas Seno.
    Apakah mas Seno bisa menangkap hikmah dikabulkannya do’a Nabi Ibrahim yang memohon agar keturunannya menjadi imam2?. Apakah hal yang sama tidak bisa berlaku bagi Sayyidina Muhammad?. Apakah bukannya Allah memberi pelajaran kepada kita bahwa kemuliaan yang diberikan kepada sebagian manusia bukanlah pilih kasih.
    Apakah Allah memilih mereka hanya karena keturunan, salah mas Seno mereka memang memiliki kemulian garis nasab, namun juga mereka memang layak mendapatkan kemuliaan tsb (akhlak, ilmu, ketaqwaan, iman, pengorbanan, keikhlasan dll).

    soal perang Jamal, setahu saya itu bukan salah kedua tokoh ahlul bait tersebut, tetapi para pembunuh Utsman lah yang memprovokasi peperangan itu…:)

    Mas Seno kita tidak sedang membicarakan penyebab perang tsb. Apapun penyebabnya maka bagi mereka manusia2 yang memiliki derajat ahlul bayt (disucikan/suci) maka tidak mungkin diantara mereka terjadi sengketa. Apakah sebegitu mudah seorang ahlul bayt diprovokasi untuk menentang ahlul bayt lainnya??. Mudah tidaknya seseorang diprovokasi juga menunjukkan derajatnya.
    Kedengkian adalah sumber sengketa umat Islam dan umat2 sebelum islam. Sengketa Bani Umayyah vs Bani Hasyim, hadir dari kedengkian mereka atas kelebihan Bani Hasyim. Sayangnya kedengkian tersebut dengan mudah diwariskan kepada umat2 setelah mereka. Kedengkian ini pulalah yang menyebabkan terjadinya distorsi/reduksi terhadap dalil2 kemuliaan Ahlul Bayt, dan kedengkian ini pula yang menyebabkan kita temukan dalil yang memuliakan Bani Umayyah, kedengkian ini pulang menyebabkan kita sulit menemukan dalil kedzaliman & kejahilan Bani Umayyah, kedengkian ini pula yang menyebabkan Hadits2 shahih hilang dari peredaran, dan hadits dhaif merajalela. Kedengkian ini pula yang menyebabkan tidak sedikit ulama yang menyimpan berita2 kemuliaan Ahlul Bayt.

    Yaa Allah tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka (ahlul bayt); bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

    Wassalam

  20. Adanya 2 pendapat dalam menafsirkan siapa Ahlul Bait dlm QS Ahzab 33 salah satunya merupakan konsekwensi dari perbedaan “filosofi” yang mendasari pandangan masing2 sbg akibat dari perbedaan dalam menempatkan aspek2 agama.

    Pihak yg menganggap Ahlul Bait hanya terdiri dari Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan, Husein adalah pihak yang berpandangan bahwa masalah Imamah adalah merupakan bagian dari Akidah/Ushuludin dan berangkat dari dalil naqli bahwa ke-Imamahan tidak berlaku bagi orang2 dzalim (QS Al-Baqarah 124), sehingga berpandangan bahwa ayat “Thathhir” tsb merupakan bagian atau ada hubungannya dg masalah KEPEMIMPINAN ILAHIYAH yang merupakan kelanjutan dari NUBUWWAH yang mempersyaratkan Kemaksumam (disebut Ahlul Bait) . Sementara pihak yg memandang isteri2 dan kerabat Rasulullah termasuk dalam Ahlul Bait adalah pihak yg berpandangan bahwa Imamah hanya bagian dari Furu’iyyah (disebut Ahlu Sunnah) shg berpandangan bahwa ayat “Thathhir” tsb TIDAK ADA hubungannya dengan msalah pemimpinan/Imamah .

    Konsekwensi lebih lanjut dari pandangan Ahlul Bait ini adalah bahwa posisi Imamah harus dijabat oleh orang2 maksum sebagaimana halnya posisi Kenabian. Sementara itu pihak Ahlu Sunnah menganggap posisi Imamah bisa dijabat siapa saja (tidak perlu maksum) karena tidak dipilih oleh Allah dan Rasul-Nya tetapi oleh umat.

    Sebenarnya apa yang sudah dijelaskan oleh mas SP dg berbagai dalilnya menurut saya sudah cukup memadai. Namun kemudian “dikaburkan” oleh mas bims sesuai filosofi ahlu sunnah. Dalam kenyataan sejarah apa yang diperbuat oleh istri2 Nabi spt Perang Jamal dll bertentangan dg ayat “Penyucian” diatas kalau memang para istri Nabi termasuk dalam Ahlul Bait nabi. Kenapa ada pihak yang ngotot memasukkan isteri2 nabi dalam kelompok Ahlul Bait ? Tujuannya tidak lain adalah untuk mengaburkan makna QS Ahzab 33 sekaligus mengerdilkan peran kepemimpinan Ahlul Bait pasca wafatnya nabi saw dan menjastifikasi perbuatan2 mereka (para sahabat dan istri2 Nabi) yang menyalahi nash sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah.

    Barangkali apa yg akan saya sampaikan dibawah ini mampu sedikit menghilangkan “warna abu2” atau kekaburan yang sempat melanda pembaca.

    Benar, bahwa kata ganti “kum” bisa terdiri dari gabungan muanats (wanita) dan muzakar (laki2). Tapi coba kita simak secara mendalam QS Ahazab 33 ini.

    Ayat ini diawali dg kata “Innama”, yg dlm istilah Nahwu Sharaf disebut “adatul hashr”, artinya “pengkhususan pada sesuatu dan tdk menyebar pada yg lainnya”. Jadi Allah SWT menghendaki kesucian hanya untuk ORANG2 TERTENTU SAJA. Sampai di sini memang masih ada celah yang “debatable” yg bisa dimanfaatkan oleh pihak2 tertentu. Tapi coba simak lagi pada ujung ayat tsb, Allah menggunakan bentuk fi’il mudhore + maf’ul muthlaq (wa yuthohhirokum THATHHIRO), artinya apa ? Artinya Allah SWT menghendaki SIFAT SUCI YANG BERKESINAMBUNGAN” untuk mereka. Sifat Suci Yang Berkesinambungan ini sejalan dengan QS Al-Baqarah 124 “la yanalu ahdiz dzaalimin”, “ke-Imamahan ini tidak berlaku bagi orang2 dzalim”. Perhatikan kata “dzaalimin” yang berwazan isim fa’il yang tidak terpengaruh waktu. Artinya maqom Imamah tidak bisa dijabat oleh orang yg dulunya dzalim (mantan zalim) apalagi sekarang dzalim.

    Hal tsb juga dikuatkan dg adanya penggunaan kata “an” dan bukan “min” dalam kalimat “…liyudzhiba ankumu rijsa ahlal bait..” Dalam kaedah bahasa Arab kata “an” digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata “min” digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu kalimat tsb berarti “untuk menghilangkan kotoran dari kalian ahlul bait (sebelum kotoran mengenai kalian)” dg kata lain “mencegah kalian dari kotoran”. Hal ini menunjukkan “Ishmah” (kemaksuman). Artinya Allah hanya menyucikan orang2 yang dari dulunya sudah suci.

    Kita melihat dari sejarah bahwa sebelum munculnya Islam, Nabi Muhammad saw, Khadijah dan anak2nya dan Ali adalah salah satu kelompok dari Bani Hasyim yang tidak pernah menyembah berhala dan perbuatan2 keji lainnya.

    Pertanyaannya apakah para istri Nabi di luar Khadijah masuk kriteria tsb diatas ?

    Orang2 Quraisy di luar yang saya sebutkan pada umumnya adalah mantan2 penyembah berhala, melakukan riba, memakan bangkai, meminum miras, mengubur anak hidup2 dsb.

    Khusus para istri Nabi kita simak informasi baik Al-Quran maupun riwayat2 sahih berikut ini :
    1. Allah mengecam Aisyah dan Hafsah dlm QS At-Tahrim 3 – 5). Asbabun nuzul ayat tsb adalah sbb: Biasanya Rasul saw setiap pagi minum madu di rumah Zainab (salah seorang istri Nabi). Aisyah dan Hafsah cemburu dan sepakat untuk menyindir Rasul saw. Sepulang dari sana, Rasul saw bertemu dg Aisyah yg sedang bersama Hafsah, kemudian Aisyah dan Hafsah berkata:”Kau telah makan maghafir (getah yg baunya busuk sekali yg berasal dr pohon urfuth). Rasul menjawab:”Tidak, aku hanya minum madu di tempat Zainab”. Kemudian salah satu dari mereka berkata:”Jika demikian mungkin lebahnya telah menghisap pohon urfuth sehingga berbau maghafir.”
    Setelah itu turunlah QS At-Tahrim 3-5) yg berisi kecaman atas tindakan Aisyah dan Hafsah.

    2. Kehadiran Mariyah (ibu dari Ibrahim, putra Rasul saw yg meninggal pada waktu masih bayi) telah membuat cemburu Aisyah, apalagi Mariyah telah memberikan anak laki2 kepada Rasul saw.
    Hafsah pun pernah mengakui penentangan dirinya kepada Rasul saw.
    Padahal dalam Surat Al Ahzab 57 Allah akan melaknat di dunia dan akhirat orang2 yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya.

    3. Terjadinya Perang jamal, dikarenakan Talhah dan Zubair menuntut hak istimewa pada Imam Ali dalam pemerintahan beliau. Akhirnya Talhah bergabung dg Aisyah yang memang telah kecewa dengan terbai’atnya Imam Ali sbg Khalifah. Aisyah berharap Talhahlah yg mesti menjadi Khalifah. Kemudian mereka membentuk kelompok Mekkah untuk menggulingkan Imam Ali as dg dalih menuntut darah Usman. Jelas sekali alasan ini sangat mengada-ada. Dari sinilah mulai timbul fitnah. Segera Imam Ali as menyuruh Panglimanya, Malik Al-Asytar untuk memperingatkan Aisyah bahwa Rasulullah saw menyuruh istri2nya untuk tinggal di rumah sepeninggal Rasul saw.
    Aisyah bahkan mengajak Ummu Salamah ra untuk bergabung. Tapi dijawab :”Hai Aisyah, engkau tahu sendiri kedudukan Ali di sisi Rasulullah, apa yg ingin engkau capai dg melawan Ali ? Hai Aisyah, bukankah Allah SWT memerintahkan para istri Rasul untuk tetap tinggal di rumah, pulanglah ke Madinah dan tinggal saja di rumah !”.
    Aisyah tetap bergerak menuju Basrah dg menunggangi onta “Askar”. Ketika mereka sampai di Hauab, maka terdengarlah suara anjing menggonggong. Aisyah segera teringat perintah Rasul saw untuk tdk menaiki onta tsb dan tdk melanjutkan perjalanan. Tetapi Talhah menyuruh orang2 di sekitar tempat tsb. untuk bersumpah bahwa tempat tsb. bukan Hau’ab. Akhirnya Aisyah memilih untuk mempercayai kesaksian tsb padahal sebelumnya sudah tahu tempat itu Hau’ab dan tetap memilih memerangi Imam Ali as.
    Para ahli sejarah mengatakan bahwa kesaksian palsu pertama yg terjadi dalam Islam ketika Talhah menyuruh orang2 di sekitar Hau’ab untuk bersaksi palsu.

    Jelas sekali pada peristiwa ini Aisyah telah melakukan kesalahan besar, karena telah melanggar perintah Rasul :
    1). Keluar rumah sepeninggal Rasul saw.
    2). Tidak segera kembali, ketika digonggong anjing di Hau’ab.
    3). Memerangi Imam Ali as sbg Khalifah yang sah dan Rasul saw telah memerintahkan umatnya untuk mencintai dan mentaati Imam Ali as.

    4. Karena sering menyakiti Nabi saw dan menuntut dunia dan perhiasannya, maka Allah mengancam akan menceraikan istri2 Nabi (Aisyah dan Hafsah) (at-Tahrim 5 dan Al-Ahzab 28).

    Sumber :
    – Tafsir Ibnu Katsir
    – Haikal dlm “Hayat Muhammad”
    – Sahih Bukhori
    – Ibnu Qutaibah dlm “Al-Imamah Wa Siyasah”
    – Ibnu Athir dlm “Tarikh Al-Kamil
    – Al Hamid Al Khusaini dlm “Imamul Muhtadin”

    Dengan fakta2 diatas apakah pantas istri2 nabi termasuk dalam Ahlul Bait Nabi saw yang disucikan Allah SWT ?

    Tambahan lagi menurut Az Zabidi dlm “Taaj al-‘Arus” istilah ahlul bait yang ditujukan pada istri lebih bersifat “kiasan” (majaz). Tapi istilah ahlul bait pada hakekatnya hanya tertuju pada anak, bisa juga merambat pada cucu-cucu. Ini diperkuat oleh hadis Sahih Muslim dari Zaid bin Arqam, ketika ditanya siapa Ahlul Bait ? Apakah istri2 Nabi? Kemudian Zaid menjawab :”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu, jika sumainya menceraikannya dia akan KEMBALI KEPADA ORANG TUA DAN KAUMNYA. Ahul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah.”

    Jadi pada hakekatnya yang merupakan keluarga (al) dari suami adalah anak2nya sampai kepada cucu2nya.

    Lagi pula dalam sejarah para istri Nabi tidak pernah mengklaim bahwa mereka merasa bangga sebagai bagian dari Ahlul Bait dan tidak pernah pula berhujjah dengan ayat “Thathhir”. Yang berhujjah dg ayat “Thathhir” hanya Ahlul Bait yang asli (Ali as, Fatimah as, Hasan as, Husein as).

  21. @khalisa
    Trim’s. Amat mencerahkan.

  22. Terima kasih teman2 semua atas komentarnya, tetapi bagi saya yang masih awwam soal agama ini lebih mudah menerima penjelasan bahwa mereka semua adalah keluarga Rasulullah dan mereka harus kita muliakan, saya nggak ingin membeda-bedakan mereka, takut kena peringatan kanjeng nabi mengenai keluarganya… bagi saya keluarga Rasul adalah mulia semuanya… dan mereka adalah suri tauladan buat kita umat islam… saya lebih memilih pendapat bahwa perselisihan diantara mereka disebabkan fitnah musuh-musuh Islam saat itu… dan keluarga Rasulullah semuanya akan selalu tetap bersih untuk selamanya seperti yang disampaikan oleh Al-Ahzab:33. maaf ya teman2 kalau saya berbeda. Allahumma sholi ala muhammad wa ala aalihi wa shahbihi aj’main…

  23. @seno
    Allahumma Shalli ala Muhammad wa ali Muhammad

  24. @bims

    Dijadikan thread khusus nich…saya setuju mas biar focus… dan saya merasa bahwa sayalah yang dimaksud para penentang tsb paling tidak salah satunya… tetapi ga dosa kan masjikasedikitmenentang pendapat anda?

    Silakan, silakan karena soal dosa itu sudah ada yang mengurusnya

    CAHAYA DI ATAS CAHAYA
    SETERANG APAPUN HARUS MEMBUKA MATA
    TETAPI JIKA MATA SUDAH TIDAK KUAT MAKA PEJAMKANLAH MATA
    KARENA KALAU TIDAK, MATA AKAN MENJADI BUTA

    Berarti Cahaya Itu Benar-benar sangat kuat :mrgreen:

    Ayat Tathhir Turun Untuk Istri-istri Nabi dan juga Ahlul Kisa’

    Baik mari kita bahas komentar anda, dan sebelum itu saya menganggap bahwa judul di atas adalah inti sebenarnya yang ingin anda sampaikan. Saya akan pegang ini baik-baik dan melihat sejauh mana anda konsisten terhadap pandangan anda sendiri.

    Hipotesis Null
    Seandainya memang kedua bagian tersebut turun bersamaan maka bunyinya akan seperti ini.
    Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.
    Mari kita andaikan bahwa ayat tersebut turun dengan bunyi seperti ini di rumah Ummu Salamah

    Sepertinya anda meyakini hipotesis ini :mrgreen:

    Verifikasi
    Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi di atas sebagai alat penguji maka TIDAK ADA hal yang aneh disini yaitu :

    Ok, konsisten untuk memverifikasi dengan hadis Sunan Tirmidzi

    • Hadis Sunan Tirmidzi hanya menyebutkan bahwa ayat yang turun saat itu hanya bagian yang ini saja ”Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. Mengapa hanya bagian di atas saja yang disebutkan, karena memang syahid dari hadits ini adalah ingin menunjukkan bahwa Ahlul Bait Nabi bukan hanya istri-istri Nabi saja tetapi juga ahlul bait Nabi berdasarkan nasab (sesuai hipotesis)

    Mana verifikasinya Mas, anda hanya menambahkan asumsi anda sendiri. Verifikasi saya yang pertama adalah Hadis Sunan Tirmidzi hanya menyebutkan bahwa ayat yang turun saat itu hanya bagian yang ini saja Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Pernyataan bahwa ayat yang turun Cuma ini jelas tertera dalam hadis Sunan Tirmidzi. Sedangkan verifikasi anda adalah Mengapa hanya bagian di atas saja yang disebutkan, karena memang syahid dari hadits ini adalah ingin menunjukkan bahwa Ahlul Bait Nabi bukan hanya istri-istri Nabi saja tetapi juga ahlul bait Nabi berdasarkan nasab . Pernyataan ini bersandar pada hipotesis bahwa Ahlul Bait Nabi adalah istri-istri Nabi dan yang ini justru yang mau kita verifikasi. Jadi anda memverifikasi hipotesis dengan hipotesis juga. Metode ini jelas cacat dan tidak punya nilai hujjah. Sepertinya anda kurang paham apa itu verifikasi. Saya kasih tahu ya Mas, jika anda mau memverifikasi dengan hadis Sunan Tirmidzi maka gunakan teks pada hadis tersebut sebagai bukti bukannya malah menggunakan asumsi anda sendiri. Jadi hipotesis anda belum diverifikasi sama sekali.

    • Tidak dipanggilnya istri-istri Nabi karena sekali lagi syahid hadits di atas adalah untuk menjelaskan makna lebih luas dari ahlul bait yang ada dlm ayat tsb, sedangkan istri-istri Nabi sudah jelas termasuk ahlul bait yang dimaksud berdasarkan konteks dan urutan ayat tsb dan ayat tersebut turun di rumah istri Nabi. Tidak syak lagi. (sesuai hipotesis)

    Maaf Mas kali ini metode anda juga salah sama sekali. Anda tidak konsisten. Kalau anda mau memverifikasi maka gunakan hadis Sunan Tirmidzi seperti yang anda katakan dari awal bukannya malah memverifikasi dengan berdasarkan konteks dan urutan ayat tsb , bagian mana itu dari hadis Sunan Tirmidzi?kok saya gak lihat ya. Ayat tersebut turun kepada Rasulullah SAW dan saat itu Rasul SAW berada di rumah Ummu Salamah, sang pemilik rumah sendiri yaitu Ummu Salamah tidak memahami bahwa ayat tersebut turun untuknya, yang ia tahu ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’ sehingga beliau melihat ketika ayat tersebut turun Rasul SAW memanggil Ahlul Kisa’, Begitulah yang tertera dalam hadis Sunan Tirmidzi. Verifikasi saya jelas bersandar pada teks hadis Sunan Tirmidzi bahwa yang dipanggil oleh Rasul SAW bukan istri-istri Nabi.

    • Pertanyaan Ummu Salamah ”apakah aku bersama mereka, Ya Nabi Allah?” adalah tidak aneh dan wajar untuk meminta kejelasan dari Nabi, karena yang dimaksud ”bersama mereka” ada 2 pengertian :

    Apakah anda orang yang sama dengan orang sebelumnya yang berkata iniatau Ummu Salamah sudah mengetahui namun heran dengan apa yang dilakukan oleh Nabi kepada anak, cucu dan menantu beliau. Saya yakin seandainya saya di posisi Ummu Salamah pasti saya juga akan bertanya, soalnya memasukkan orang2 ke dalam satu selimut adalah pemandangan yg sangat jarang terjadi dan mungkin kelihatan aneh, sedangkan beliau merasa sebagai istri Nabi.. Tidak konsisten :mrgreen:

    1. Dalam Selimut
    2. Ahlul Bait
    • Jika yang dimaksud ”bersama mereka” di dalam selimut, Rasulullah menjawab ”tetaplah di tempatmu” ”kamu dalam kebaikan”, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Mubarakfuri (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ Tirmidzi, juz 9 hal. 48-49) bahwa dicegahnya Ummu Salamah masuk ke dalam selimut karena ada Ali yang bukan mahramnya.

    Mana verifikasinya Mas, apa dalam hadis Sunan Tirmidzi itu ada kata-kata Rasul SAW bahwa Beliau melarang Ummu Salamah masuk karena ada Ali yang bukan mahramnya. Lucu sekali, dari awal berkata mau memverifikasi berdasarkan hadis Sunan Tirmidzi eh sekarang malah memverifikasi dengan Perkataan Al Mubarakfuri. Tidak konsisten secara metode

    • Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ternyata akhirnya Ummu Salamah pun dibolehkan masuk ke dalam selimut setelah Rasulullah berdo’a untuk keluarga Fathimah.

    Nah apalagi ini, kan anda sendiri yang bilang mau memverifikasi dengan hadis Sunan Tirmidzi, eh kok malah sekarang memverifikasi dengan hadis riwayat Ahmad. Tidak konsisten nih dengan metodenya atau sebenarnya anda memang konsisten dengan ketidakkonsistenan anda :mrgreen:
    Ngomong2 soal riwayat Ahmad, gak nyadar nih Mas kalau sebelumnya bilang Beliau melarang Ummu Salamah masuk karena ada Ali yang bukan mahramnya. Berdasarkan riwayat Ahmad yang Mas bawa-bawa itu, Rasulullah SAW mengizinkan Ummu Salamah masuk, apa Rasul SAW gak tahu kalau Ali bukan mahram Ummu Salamah?. Makanya berhujjahlah dengan dasar yang konsisten, jangan setengah2 dan dengan dasar-dasar yang malah saling menjatuhkan. Kan repot kalau argumen anda malah menyerang balik anda sendiri.

    • Jika yang dimaksud ”bersama mereka” adalah ahlul bait, bisa diartikan bahwa Rasulullah membedakan ahlul bait beliau berdasar nasab dengn ahlul bait berdasar hubungan suami istri, bukan berarti jawaban beliau tsb menafikan bahwa Ummu Salamah bukanlah ahlul bait beliau yang dimaksud dalam ayat tsb, hal ini dapat disimpulkan dari jawaban beliau “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”, kalimat ”tetap pada kedudukanmu” di sini bisa diartikan bahwa beliau adalah termasuk ahlul bait Nabi juga, tetapi berdasarkan hubungan suami istri dengan Nabi bukan atas dasar nasab. sedangkan sudah jelas QS 33:30-34 pada dasarnya turun untuk istri-istri Nabi.

    Hadis Sunan Tirmidzi menyebutkan “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. Kalimat ini tidak memverifikasi semua yang anda sampaikan. Anda Cuma langsung memvonis bahwa kalimat itu berarti Nabi SAW menyatakan bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait. Asal vonis sih tiap orang bisa dan orang lain dengan mudah bisa memvonis sebaliknya.

    • Hal ini dikuatkan dengan pengertian Ahlul Bait dari hadits riwayat Zaid bin Arqam dan juga dalam Bukhari ketika rasulullah memanggil Aisyah dengan sebutan ahlul baiti.

    Lagi-lagi tidak konsisten, katanya mau memverifikasi dengan hadis Sunan Tirmidzi eh malah bicara hadis Zaid dalam Shahih Muslim. Risih juga saya mengulang2 terus hal yang sama. Apa memang Mas benar2 membaca hadis Zaid dalam Shahih Muslim ini. Tepat di bawah hadis yang Mas bilang ada hadis Zaid juga yang menyatakan hal yang sebaliknya bahwa Istri-istri Nabi SAW bukan Ahlul Bait. Silakan dilihat

    • Dalam hadits riwayat Ahmad dengan jelas Nabi mengiyakan bahwa Ummu Salamah adalah termasuk ahlul baitnya. (sesuai hipotesis)

    Hadis riwayat Ahmad bukan Hadis Sunan Tirmidzi. Jadi anda tidak memverifikasi sama sekali dengan Hadis Sunan Tirmidzi. Soal hadis riwayat Ahmad yang anda singgung sudah saya bahas dalam tulisan khusus.
    Catatan buat Mas, yang namanya verifikasi dengan suatu hadis adalah membuktikan dengann melihat teks hadisnya bukan dengan memasukkan asumsi-asumsi sendiri. Kita mau menilai apakah asumsi kita itu sesuai dengan teks hadis bukannya malah menyesuaikan agar teks hadisnya membenarkan asumsi kita. Verifikasi saya bersandar pada teksnya, silakan saja anda lihat sendiri tapi verifikasi anda kebanyakan asumsi anda sendiri dan sangat tidak konsisten. Anda tidak membuktikan apapun dengan Hadis Sunan Tirmidzi di atas.

    Hipotesis Terbaik
    Ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun sendiri untuk Rasulullah SAW, Istri-istri Nabi, Sayyidah Fatimah ra, Imam Ali ra, Imam Hasan ra dan Imam Husain ra. dan ahlul bait nabi ra yang lainnya.

    IMHO, hipotesis ini secara metode bahkan lebih buruk dari hipotesis yang mengatakan bahwa Ayat Tathhir khusus untuk Istri-istri Nabi SAW. Alasannya akan anda lihat nanti

    Verifikasi
    Dengan menggunakan konteks dan urutan ayat Al-Ahzab 30-34, ayat-ayat lain yang relevan, hadits-hadits Nabi SAW termasuk haditsul kisa’, atsar-atsar dari shahabat maupun tabi’in serta para ulama

    Mari kita lihat apakah anda benar-benar konsisten

    Ayat Al-Ahzab 32-33 berbicara mengenai istri-istri Nabi, baik secara konteks maupun urutan ayat, tidak diragukan lagi bahwa ayat tersebut turun kepada istri-istri Nabi tanpa ada pemenggalan ataupun penyisipan untuk konteks yang lain, jikapun ada sebenarnya hanyalah perluasan makna dari ahlul bait tanpa meninggalkan mereka (istri-istri Nabi SAW) didalamnya

    Dengan urutan ayat maka anda bermaksud mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW. Silakan saja, Hadis Sunan Trimidzi telah membuktikan kalau ayat tathhir turun terpisah sama seperti halnya hadis Shahih Bukhari telah membuktikan bahwa ada bagian Al Maidah ayat 3 yang turun terpisah dari bagian Al Maidah ayat 3 sebelum maupun sesudahnya.
    .

    Karena pada awal ayat dibuka dengan kalimat:
    يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ…….
    Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.… (al-Ahzaab: 32)
    Kemudian diakhiri pada ayat berikutnya dengan kalimat:
    الأحزاب: 32-33إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا.
    Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (al-Ahzaab: 33)

    Mengapa Ummu Salamah tidak paham akan kata-kata hai Istri2 Nabi, kalau memang seperti yang anda bilang maka Ummu Salamah jelas adalah Ahlul bait yang dimaksud maka mengapa pula Ia malah berharap agar Rasulullah SAW memasukkannya sebagai Ahlul Bait. Bukankah mengharapkan sesuatu yang sudah ditetapkan adalah hal yang aneh kalau tidak mau disebut tidak masuk akal.

    • Ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an juga menggunakan kata ”ahlul bait” untuk menyebut istri-istri para Nabi :
    Surat Huud : 72-73
    قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَاْ عَجُوزٌ وَهَـذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَـذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ {72}
    Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”
    قَالُواْ أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ {73}
    Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” Lihatlah siapa yang dimaksud ahlul bait pada ayat 73 surat Huud diatas? Tidak lain adalah istri Nabi Ibrahim as (tidak ada keraguan sedikitpun). Adakah Malaikat bicara dengan selain istri Nabi Ibrahim saat itu?

    Lihat lagi ayat Al Qurannya, siapa yang sedang ada disitu? Bukankah Nabi Ibrahim AS juga ada di sana. Apakah rahmat itu hanya diperuntukkan untuk Istri Nabi Ibrahim saja. Jika anda melihat lagi ayatnya maka yang dimaksud Ahlul Bait disitu adalah Nabi Ibrahim beserta Istri Beliau. Bukankah ada kata Alaikum disana yang merujuk pada apa yang anda bilang digunakan untuk menunjukkan bahwa yang dituju adalah laki-laki bersama wanita. Dan kalau anda lebih cermat lagi melihat, maka Perkataan Ahlul bait itu dipakai setelah mendapat ketetapan Allah SWT bahwa akan lahir dari mereka Ishaq dan dari Ishaq akan lahir Ya’qub. Jadi rahmat itu terkait dengan Keturunan. Dengan kata lain Al Quran menggunakan Terminologi Ahlul Bait untuk kekerabatan yang diikat oleh Nasab(keturunan) bukan oleh pernikahan. Jadi pada saat itu status Istri Nabi Ibrahim adalah sebagai wanita yang akan meneruskan keturunan Nabi Ibrahim dengan melahirkan Ishaq dan dari Ishaq akan lahir Ya’qub.

    Coba kita bandingkan dengan Al-Ahzab : 32-33,
    يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا {32}
    Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,
    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا {33}
    dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
    Terlihat KEMIRIPAN ayat ini dengan ayat dari surat Huud di atas. Nah apakah kita terima jika istri-istri Nabi di dalam surat Al-Ahzab:33 dibuang begitu saja dari lingkup ahlul bait? Padahal ayat tsb berbicara tentang mereka…,

    Sudah saya katakan sebelumnya kalau tidak ada dalil shahih yang menyatakan bahwa ayat Tathhir turun terpisah dan untuk pribadi2 lain maka saya tidak akan menyatakan bahwa Ahlul Bait dalam ayat tathhir bukan istri-istri Nabi. Dalil shahihlah yang membuat saya mengkhususkan Ahlul bait pada Ahlul Kisa’.

    Kemudian lihatlah Surat Thaha : 10
    إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّي آتِيكُم مِّنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى {10}
    Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya (istri Nabi Musa as anak dari Nabi Syua’ib as): “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.”

    Ayat ini justru membuktikan apa yang saya katakan sebelumnya mengenai surah Hud. Untuk Istri Nabi Musa AS di atas term yang dipakai adalah Ahli(keluarga) bukan Ahlul Bait(sepertinya Mas tidak melihat bahwa dalam ayat ini tidak ada kata-kata Ahlul Bait tetapi Ahli). Hal ini karena Terminologi Ahlul Bait dalam Al Quran adalah untuk kekerabatan yang diikat oleh Nasab(keturunan) sedangkan ayat di atas sedikitpun tidak ada kaitannya dengan keturunan sehingga term yang dipakai adalah Ahli bukan Ahlul Bait.

    • Di dalam hadits juga ada penggunaan kata ahlul bait untuk istri-istri Nabi SAW:
    “Lalu Rasulullah s.a.w. pergi ke bilik Aisyah r.a. dan berkata: ‘Assalamu Alaikum Ya Ahlul Bait Wa Rahmatullah, maka Aisyah menjawah: Wa Alaikassalam Wa Rahmatullah, bagaimana dengan Ahli (isteri) kamu (Zainab Bt. Jahsy), semoga Allah memberi berkat kepada mu,” (Sahih Bukhari, Kitab Tafsir. Peristiwa ini berlaku selepas Rasulullah diakad nikah dengan Zainab bt. Jahsy r.a. dan selesai jamuan walimah)

    Hadis ini memang Shahih dan saya juga tidak akan menolaknya. Tapi Mas saya tidak keberatan jika orang mau menyebutkan Istri-istri Nabi sebagai Ahlul bait. Pendapat saya itu adalah Ahlul bait dalam Ayat tathhir itu bukan istri-istri Nabi SAW. Hadis di atas tidak ada kaitan sedikitpun dengan ayat Tathhir. 🙂

    Apakah istri-istrinya termasuk ahlul bait? Zaid radhiallahu ‘anhu menjawab: Istri-istri beliau termasuk ahlul baitnya (HR. Muslim dalam shahihnya dengan Syarh Nawawi)

    Jangan mengutip riwayat ini saja Mas, justru hadis-hadis Zaid yang lain malah menyatakan dengan jelas bahwa Istri-istri Nabi bukan Ahlul Bait

    • Ahlul Bait yang dimaksud dalam Al-Ahzab : 33 juga termasuk keluarga Ali ra yang terdiri dari Ali ra, Fathimah ra, Hassan ra dan Hussein ra berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad.
    Berikut ini hadits riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan bahwa Ummu Salamah termasuk ahlul bait Nabi:
    Imam Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan dari Syahr bin Hausyab yang mengatakan, Saya mendengar Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi, ketika datang kabar kematian Husain bin Ali, melaknat penduduk Irak. Ummu Salamah berkata, Mereka telah membunuh Husain bin Ali, semoga Allah membinasakan mereka. Mereka telah membuat tipu muslihat terhadap Husain dan mereka telah menghinanya, semoga Allah melaknat mereka.
    Sesungguhnya saya pernah melihat Rasulullah didatangi oleh Fatimah pagi-pagi. Ia membawa periuk (terbuat dari tanah) yang berisi bubur yang ia buat untuk Rasulullah. Periuk itu ia bawa dengan dilambari talam. Kemudian ia meletakkannya dihadapan Nabi. Maka Nabi bertanya, “Dimana anak pamanmu (maksudnya Ali -pen)?” Fatimah menjawab, “Ia di rumah.” Nabi bersabda, Pergilah dan panggillah Ali, dan bawa serta kedua anaknya (yaitu Hasan dan Husain -pen.)
    Ummu Salamah berkata, Setelah itu datanglah Fatimah kembali dengan menuntun kedua puteranya, masing-masing berada pada satu tangan. Sedangkan Ali berjalan dibelakangnya. Sampai akhirnya mereka masuk menemui Rasulullah. Maka beliau mendudukkan kedua anak Ali di pangkuan beliau. Sementara Ali duduk di sebelah kanan Rasulullah dan Fatimah duduk di sebelah kirinya. Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, Kemudian Rasulullah menarik selimut yang berasal dari Khaibar yang ada dibawahku. Selimut itu biasa sebagai hamparan kami di tempat tidur di Madinah. Selanjutnya Rasulullah menyelimutkan selimut itu kepada semuanya (Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain -pen.) Kedua ujung selimut itu dipegangi dengan tangan kiri beliau, sedangkan tangan kanannya, beliau isyaratkan kepada Allah seraya berdo’a,
    Ya Allah, (mereka adalah) ahli bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Ya Allah, (mereka adalah) ahli bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Ya Allah, (mereka adalah) ahli bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Aku (Ummu Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk ahli bait (keluarga)mu?” Beliau menjawab, “Tentu, masuklah ke dalam selimut.” Maka aku pun masuk ke balik kain itu setelah selesainya doa Beliau untuk anak pamannya, kedua putra Beliau dan Fatimah putri Beliau
    Hadits di atas, dikatakan oleh pensyarah, yaitu Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Az-Zain, “Sanadnya hasan.” Lihat Musnad Imam Ahmad, Syarah Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Az-Zain, hadits no. 26429 jilid 28, cet. I 1416H/1995.

    Sudah saya bahas hadis ini dalam tulisan khusus dan silakan koreksi kesalahan anda

    • Yang termasuk Ahlul Bait disamping keluarga Ali adalah keluarga Abbas, Keluarga Aqil dan Keluarga Ja’far yang diharamkan menerima sedekah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam di atas.

    Hadis Riwayat Zaid memuat pendapat Zaid mengenai siapa Ahlul Bait. Sedangkan Hadis Sunan Tirmidzi adalah pengkhususan Rasulullah SAW mengenai siapa Ahlul bait dalam ayat Tathhir.

    Pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini tentang istri-istri nabi adalah pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah, Atha’, Al-Kalbi, Muqathil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ayat ini turun tentang istri-istri nabi. Kemudian berkata Ikrimah: “Barangsiapa yang mau, aku akan bermubahalah dengannya tentang ayat ini turun tentang istri-istri nabi” (Lihat Tuhfatul Ahwazi Syarh Jami’ Tirmidzi , Juz 9 hal. 48).

    Tahu tidak Mas, bagian yang ini justru membatalkan hujjah anda sama sekali. Anda membuang satu kata yang membuat perbedaan besar. Dalam Tuhfatul Ahwadzi yang tertulis itu adalah Ibnu Abbas, Ikrimah, Atha’, Al-Kalbi, Muqathil, Sa’id bin Jubair menyatakan bahwa ayat ini khusus tentang istri-istri Nabi. Anda membuang kata khusus, karena sebenarnya pendapat mereka yang anda sebutkan justru menentang pendapat anda sendiri yang berkata Ayat Tathhir Turun Untuk Istri-istri Nabi dan juga Ahlul Kisa’. Mereka yang anda sebutkan justru mengkhususkan Ahlul Bait dalam ayat tersebut hanya untuk istri-istri Nabi SAW. Selain itu kalau anda memang benar membaca Tuhfatul Ahwadzi maka anda pasti juga telah membaca kalau Abu Said Al Khudri RA, Mujahid dan Qatadah menyatakan bahwa Ahlul Bait dalam ayat Tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’. Nah bagaimana itu dari sumber sama yang Mas pakai saya juga bisa menegakkan hujjah saya.

    • Ketika mengulas hadis ini (hadits riwayat Tirmidzi), Shah Abdul Aziz al-Dahlawi berkata: “Hadis ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa ayat ini turun pada hak isteri-isteri Rasulllllah s.a.w. saja. Rasulullah s.a.w. telah memasukkan mereka berempat r.a. dalam kelebihan ini dengan doanya yang berkat. Sekiranya ayat ini turun pada mereka (Ali, Fatimah, Hasan dan Husin r.a., maka tentulah doa tidak perlu; kerana Rasulullah tidak melakukan sesuatu yang telah berhasil (tahsilul Hasil) Pemahaman ini didukung oleh hadis sahih riwayat Imam Baihaqi bahawa Rasulullah berbuat demikian juga terhadap al-Abbas dan anak-anaknya. (Lihat at-Tuhfah al-Ithna ‘Asyariah”, lkhtisar Syed Mahmud Syukri al-Alusi”, hlm. 151)

    Bukankah kata-kata Ad Dahlawi bahwa ayat ini turun pada hak isteri-isteri Rasulllllah s.a.w. saja. jelas membatalkan hujjah anda sendiri yang mengatakan Ayat Tathhir Turun Untuk Istri-istri Nabi dan juga Ahlul Kisa’. Ad Dahlawi tidak mengatakan ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’ seperti yang anda kutip Sekiranya ayat ini turun pada mereka (Ali, Fatimah, Hasan dan Husin r.a., maka tentulah doa tidak perlu. Mengenai doa yang anda ributkan terus itu, maka sudah saya jawab bahwa jika tidak ada doa tersebut maka tidak akan ada yang tahu bahwa Ahlul Bait dalam ayat tathhir adalah Ahlul Kisa’ saja. Doa tersebut sebagai penegasan kepada siapapun yang mendengar bahwa Merekalah Ahlul bait dalam Ayat Tathhir. Soal Ad Dahlawi yang mengatakan bahwa riwayat baihaqi itu adalah shahih maka saya katakan riwayat tersebut dhaif dan tidak shahih, silakan tunjukkan dimana letak keshahihannya. Kalau sekedar berhujjah dengan perkataan Ad Dahlawi dalam Kitab Tuhfah nya maka saya katakan bahkan dalam kitab tersebut beliau telah berhujjah dengan hadis-hadis dhaif dan palsu. Salah satunya yaitu hadis “Ambillah separuh agamamu dari humairah”. Beliau Ad Dahlawi dalam kitabnya telah mengkritik hadis Tsaqalain dengan hadis ini yang jelas2 adalah hadis palsu.

    Yang nyata daripada ayat ini ialah umum untuk semua Ahlul Bait yang meliputi isteri-isteri dan keluarga yang lain. Adapun tentang perkataan wa yuthahhirukum (penggunaan jamak mudzakar), ialah karena Rasulullah s.a.w. Ali, Hasan dan Husin termasuk dalam Ahlul Bait; kerana (menurut kaedah Bahasa Arab), apabila berkumpul “mudzakar” (laki-laki) dan “muannast” (perempuan), maka dimenangkan lelaki. Dengan demikian jelaslah ayat ini menunjukkan isteri-isteri Rasulullah s.a.w. adalah daripada kalangan Ahlul Bait kerana ayat ini menyentuh tentang mereka. Orang yang dihalakan cakap juga adalah mereka berasaskan urutan dan kontek percakapan. (Ahlul Bait menurut pandangan Sunnah dan Syiah, Wan Zahidi Wan Teh)

    .
    Penggunaan kata kum adalah karena Ahlul Kisa’ terdiri dari laki-laki dan wanita maka lafal kum tidak menafikan bahwa Ayat Tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’. Jika anda mau berpegang pada urutan ayat maka ayat tersebut khusus bicara tentang wanita, anda dapat lihat pada kata-kata tetaplah di rumahmu, janganlah tunduk dalam berbicara, jangan berhias. Ini jelas khusus wanita.
    Seandainya benar seperti kata anda bahwa lafal Muzakkar karena ia juga mencakup untuk Rasulullah SAW, Ali, Hasan dan Husain maka anda sudah tidak konsisten. Jika mau berpegang pada urutan ayat maka Ahlul bait di ayat tersebut adalah mereka yang diharuskan untuk tetaplah di rumahmu, janganlah tunduk dalam berbicara, jangan berhias ini perintah khusus wanita, tetapi anda mengatakan dengan lafal muzakkar bahwa Ahlul bait juga termasuk laki-laki. Bagaimana bisa itu, kalau mau berpegang pada urutan ayat maka Ahlul bait itu adalah khusus wanita dan bukan mencakup laki-laki. Bagaimana mungkin Allah SWT menurunkan ayat dengan perintah khusus wanita untuk Ahlul bait laki-laki.
    Allah SWT menurunkan Ayat tathhir dengan lafal Muzakkar. Anda mengatakan bahwa lafal muzakkar merujuk pada jika laki-laki dan perempuan berkumpul bersama. Jika klaim anda ini benar maka pernyataan Ibnu Abbas, Ikrimah, Atha’, Al-Kalbi, Muqathil, Sa’id bin Jubair dan ad Dahlawi yang menyatakan bahwa ayat ini khusus tentang istri-istri Nabi saja adalah benar-benar keliru karena Allah menurunkan ayat dengan lafal muzakkar berarti ayat tersebut tidak mungkin khusus untuk wanita.

    Sangat baik sekali pendapat para ulama seperti al-Qurthubi dan Ibnu Katsier yang menya-takan bahwa ucapan yang bijaksana dalam masalah ini adalah: “Ayat ini mencakup istri-istri nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mencakup pula Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Adapun istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun masuknya Ali, Fatimah, Hasan dan Husein karena mereka adalah kerabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam nasab. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan kewajibannya terhadap yang lainnya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ Tirmidzi, Imam Muhammad Abdurrahman Ibnu Abdurrahim al-Mubarakfuuri, juz 9 hal. 49).

    Menggabungkan Istri-istri Nabi dan Ahlul Kisa’ sebagai Ahlul bait dalam ayat tathhir adalah hal yang tidak punya dasar sama sekali. Kalau mau berpegang pada urutan ayat maka sudah jelas ayat tersebut bicara khusus untuk wanita. Kalau mau berpegang pada hadis Shahih maka Ahlul bait itu terkhusus pada Ahlul Kisa’ saja. Kalau mau berhujjah dengan pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah, Atha’, Al-Kalbi, Muqathil, Sa’id bin Jubair maka ayat tathhir terkhusus untuk istri2 Nabi sedangkan kalau mau berpegang pada pendapat Abu Said Al Khudri RA, Qatadah dan Mujahid maka ayat tathhir terkhusus untuk Ahlul Kisa’ saja. Yah kecuali kalau anda berdalil dengan gaya separuh separuh seperti yang anda perlihatkan 

    Konklusi
    Karena telah jelas bahwa ayat ini menunjukkan tentang istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam , maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum dan menyatakan bahwa mereka juga ahlul bait, walaupun tidak disebut secara jelas dalam ayat di atas.

    Silakan lihat sekali dasar-dasar yang anda pakai, sangat tidak konsisten 

    Syubhat sang penulis yang merasa ditentang:
    Penulis sekaligus pemilik blog yang merasa ditentang pendapatnya melemparkan syubhat bahwa Ayat Tathhir dikhususkan untuk Ahlul Kisa’ saja dan membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat tersebut hanya berdasarkan hadits tirmidzi (sedangkan hadits tsb sebenarnya tidaklah bertentangan).

    Bertentangan atau tidak, maka dapat dilihat dari teks hadisnya sendiri bukan klaim-klaim yang dipaksakan. Teks hadis itu memang menyebutkan ayat yang turun itu terpisah. Teks hadis juga menyebutkan ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’. Teks hadis juga menyebutkan bahwa Ummu Salamah bertanya dan berharap kepada Nabi agar ia bersama ahlul kisa’. Untuk apa lagi Ummu Salamah mengharapkan sesuatu yang sudah menjadi miliknya. Jika berdasarkan urutan ayat maka Ummu Salamah adalah ahlul bait dan ia tidak akan mengharap hal itu lagi dari Rasul. Tapi teks hadis menunjukkan hal yang bertentangan yaitu Ummu Salamah justru berharap kepada Rasul SAW agar ikut bersama ahlul kisa’ sebagai ahlul bait dalam ayat tathhir.

    Padahal telah jelas sebagaimana penjelasan di atas bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi, sedangkan ahlul kisa’ sebagai perluasan dari makna ahlul bait di dlm ayat tsb berdasarkan hadits tirmidzi. Maka ini sungguh suatu kekeliruan yang amat sangat jika mereka membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat tersebut padahal sebenarnya merekalah shahibul ayat tsb.

    Anda tidak berhujjah dengan dasar yang kuat. Anda hanya berpegang pada separuh dasar yang satu dan separuh dasar yang lain. Jika anda benar-benar berpegang pada satu dasar secara utuh alias tidak setengah2 maka kemungkinannya hanya ada dua, Ayat tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’ atau ayat tathhir khusus untuk istri-istri Nabi.

    Dan juga penulis mengabaikan dalil-dalil yang lain, baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang lain.

    Silakan bawa ayat Al Quran dan hadis lain yang benar-benar relevan. Dan peganglah dengan utuh jangan setengah2. Kalau mau berpegang pada ayat Al Quran maka lihat juga Al Qashash 12(disini lafal Ahlul Bait merujuk pada Ibu Nabi Musa AS) dan kumpulkan dengan Hud 73 yang anda bawa itu maka anda akan lihat term Ahlul bait dalam Al Quran adalah term untuk kekerabatan yang diikat dengan nasab(keturunan).

    Oleh karena itulah Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33 adalah Ahlul Kisa’ yang terikat dengan nasab sedangkan istri-istri Nabi SAW tidak. Mereka istri-istri Nabi SAW adalah Ahlu Nabi SAW(sama seperti surah Thaha 10 yang anda bawa-bawa itu) bukanlah Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33.

    Dan penulis menganggap bahwa hadits Tirmidzi tsb sebagai dasar pemisahan ayat Tathhir dari ayat sebelum dan sesudahnya.

    Hadis Sunan Tirmidzi adalah bukti kuat bahwa ayat tersebut turun terpisah. Tidaklah mungkin dalam menyebutkan asbabun nuzul suatu ayat maka bagian ayat tersebut tidak disebutkan. Jika kemungkinan ini dibenarkan maka bagaimana dengan asbabun nuzul ayat-ayat lain. Kita dapat saja seenaknya mengatakan bahwa ayat sebelum maupun sesudah ayat tersebut juga turun saat itu walaupun hal ini tidak disebutkan. Contohnya Al Maidah ayat 3 adalah ayat yang terakhir turun dan itu tidak seluruhnya, hanya bagian yang dimulai dari Alyawma(ini terletak pada pertengahan ayat) sedangkan bagian lain al maidah ayat 3 yang berkaitan dengan hukum halal haram makanan(terletak di awal dan akhir almaidah ayat 3) turun di saat lain. Jika kita bicara seenaknya bahwa semua Al Maidah ayat 3 dan ayat 4 turun bersamaan dengan bagian alyawma maka umat islam saat itu belum mengetahui hukum halal dan haram makanan sampai al Quran terakhir diturunkan. Nah bagaimana itu, sudah jelas bahwa ayat yang terakhir turun hanya bagian alyawma karena hadis shahih hanya menyebut bagian ini. Jika ada asbabun nuzul yang shahih maka sudah jelas lebih diutamakan dibanding urutan ayat karena urutan ayat adalah penulisan. Dalam penulisan Al Quran, Ayat tathhir dan Al maidah ayat 3 yang terkahir turun memang diletakkan pada tempatnya sekarang tetapi secara historis ayat tersebut turun terpisah dari bagian sebelum dan sesudahnya dan hal ini telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil shahih. Jadi konsep dasar saya tetap seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa saya akan berpegang pada urutan ayat jika tidak ada dalil shahih yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun secara terpisah.

    Syubhat ini mengakar pada prakonsepsi bahwa ayat tersebut turun khusus untuk ahlul kisa’ saja.

    Dan begitulah kenyataan yang tertera pada teksnya, itu berarti prakonsepsi saya didukung oleh hadis shahih sedangkan prakonsepsi Mas ditolak oleh hadis Sunan Tirmidzi

    seandainya mereka benar-benar berpegang pada keterangan ayat yang lain, hadits bukhari, hadits riwayat Ahmad dll maka tidak akan muncul syubhat seperti ini.

    Yah seandainya saya berpegang setengah-setengah pada ayat lain, berpegang pada hadis-hadis lain yang tidak ada relevannya sama sekali dengan ayat tathhir dan hadis yang masih diperselisihkan sanadnya maka mungkin saja saya akan sama seperti Mas.

    Sang Penulis menulis :
    Adakah mereka bisa mengatakannya atau menjawab. Kalau mereka menjawab ayat itu untuk istri-istri Nabi SAW, maka dari mana mereka bisa tahu?. Secara ayat itu hanya berbunyi Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
    Dan yang senada :
    Para penentang mengajukan alasan bahwa semua itu tidak perlu dilakukan karena sudah jelas ayat tersebut untuk Istri-istri Nabi sedangkan yang dilakukan Nabi terhadap Ahlul Kisa’ karena mereka tidak tercakup dalam ayat tersebut sehingga Rasulullah SAW repot-repot melakukan ketiga hal yang dimaksud.
    Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal, itu sekali lagi menunjukkan kalau mereka lebih berpegang pada konsepsi mereka ketimbang hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa ayat tersebut untuk istri-istri Nabi, jika ayat tersebut bunyinya hanya Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Ingat Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan bahwa bunyi ayat yang turun itu Cuma ini. Jika mereka mengatakan bahwa dari ayat sebelumnya maka sekali lagi Hadis Shahih Sunan Tirmidzi telah menyelisihi anggapan mereka seperti yang sudah dari awal kami jelaskan.
    Kita sudah jelaskan di atas bahwa ahlul bait ini adalah istri-istri Nabi (tidak syak lagi) berdasarkan konteks ayat tsb turun untuk mereka, keterangan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang lain yang menyebut istri-istri Nabi dengan sebutan Ahlul Bait, disamping itu juga keterangan dari hadits riwayat Bukhari ketika Rasulullah memanggil istrinya Aisyah dengan panggilan Ahlul Bait. Hadits kisa’ riwayat Ahmad dll. Jadi begitu terangnya maksud dari ayat tsb bahwa merekalah yang dimaksud ahlul bait tsb, atau dengan kata lain termasuk dalam lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat Tathhir tsb.

    Saya sudah bahas semua dalil-dalil yang Mas sampaikan dan intinya Mas benar-benar tidak mmahami dalil-dalil yang Mas bawa sendiri. Hadis Sunan Tirmidzi pun tidak benar-benar anda pahami sehingga bagian teks yang menolak prakonsepsi anda justru tidak anda gubris. Bahkan dalil yang memberatkan anda sendiri tetap anda bawa dan celakanya anda sendiri tidak sadar kalau dalil tersebut menjatuhkan anda sendiri. Kasihan 

    Baik untuk lebih jelasnya ayat tersebut turun seperti ini
    Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.
    Dan misalnya tidak ada hadits riwayat Tirmidzi, maka kita semua akan tahu dengan jelas dan otomatis bahwa yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut adalah istri-istri Nabi tanpa ada keraguan sedikitpun, berdasarkan keterangan yang sudah saya kemukakan di atas, tetapi masalahnya kita tidak akan tahu kalau ahlul bait Nabi yang lain (ahlul bait Nabi berdasarkan nasab) juga termasuk dalam pengertian ahlul bait pada ayat tersebut, sehingga disinilah fungsi daripada hadits Tirmidzi dan Ahmad untuk melengkapi penjelasan mengenai pengertian Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Dan bukan untuk menafikan atau membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yg dimaksud ayat tersebut karena pada dasarnya ayat tersebut asalnya memang berkaitan erat dengan istri-istri Nabi.

    Hadis Tirmidzi jelas menolak ayat tersebut turun dengan bunyi demikian dan buktinya sudah ditunjukkan Ummu Salamah sendiri, beliau tidak akan mengharapkan menjadi ahlul bait jika memang ayat tersebut turun dan berbunyi seperti yang Mas sebutkan. Teks hadis membantah klaim anda tapi anda berkeras memasukkan pemahaman anda sendiri.

    Maka membuang istri-istri Nabi dari lingkup ahlul bait yang dimaksud ayat tersebut adalah suatu kekeliruan dan suatu yang terlalu dipaksakan karena sang penulis mengambil satu dalil dan mengabaikan dalil yang lainnya. Wallahu A’lam bishowab.

    Ngomong2 soal mengabaikan, anda bahkan tidak menyinggung sama sekali riwayat Ummu Salamah yang saya ambil dari Kitab Musykil Al Atsar yang membantah semua penjelasan anda. Setahu saya, saya punya banyak dalil yang mengkhususkan Ahlul Bait dalam Ayat tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’ saja, hanya saja saya menuliskan apa yang saya anggap perlu dan cukup.

    Peace & Peace…
    Catatan:
    • Percaya atau tidak sebenarnya kami (komentator) malas menulis, tetapi karena harus menulis ya kami akhirnya menulis

    Salam damai, semoga anda tidak bosan dengan kata-kata saya dan semoga saya juga tidak bosan dengan kata-kata anda.

  25. @SP

    Syukron atas tanggapannya mas 🙂

    Jadi anda memverifikasi hipotesis dengan hipotesis juga. Metode ini jelas cacat dan tidak punya nilai hujjah. Sepertinya anda kurang paham apa itu verifikasi. Saya kasih tahu ya Mas, jika anda mau memverifikasi dengan hadis Sunan Tirmidzi maka gunakan teks pada hadis tersebut sebagai bukti bukannya malah menggunakan asumsi anda sendiri. Jadi hipotesis anda belum diverifikasi sama sekali.

    Kalau membaca tanggapan anda di atas, saya ingat akan kisah yang anda bawakan sendiri di sini :

    Ksatria Terkutuk

    dimana metode yang anda pakai dalam penyusunan essay anda ditolak oleh para dosen pembimbing anda gara-gara metode yang anda pakai menurut mereka tidak memenuhi standar yang objektif dalam dunia ilmiah… dan respon mereka dalam kisah yg anda tulis tsb spt ini:

    “Pembahasan Metode adalah diluar diskusi Esai, seharusnya dalam pembuatan Esai hendaknya menaati standar metode yang ada dan bukannya malah meributkan Metode yang paling mungkin”

    He he he posisi anda sekarang ini menurut saya sebagai dosen pembimbing di atas dan saya adalah anda :)… memang agak OOT tetapi di sini saya mau mengatakan bahwa metode kita memang berbeda, kalau anda dalam menafsirkan ayat Tathhir hanya memakai hadits Tirmidzi, sedangkan saya tidak bisa berhenti hanya pada hadits tersebut saja tetapi juga dari ayat-ayat Al-Qur’an yang lain, hadits-hadits lain dan atsar para sahabat, tabi’in dan ulama’ tetapi penolakan thd metode yang berbeda yang saya pakai tidaklah kemudian membuat saya merasa terkutuk seperti anda :mrgreen:

    Anda mungkin melihat ketidak-konsistenan dari masing-masing dalil dan pendapat yang saya kemukakan tetapi kan saya memilih yang terbaik dari dalil dan pendapat mereka dan hal tersebut sudah saya tuliskan di bagian konklusi. Contoh jika ada atsar shahabat dan tabi’in yang berpendapat bahwa ayat Tathhir turun untuk istri-istri Nabi saja, pendapat ini akan langsung menghantam pendapat dari kalangan yang sama (shahabat dan tabi’in) bahwa ayat tathhir turun untuk ahlul kisa’ saja. Hadits Nabi dari Ummu Salamah riwayat Tirmidzi yang di situ Nabi menegasi ummu salamah (walaupun sebenarnya jawaban beliau tidaklah tegas) dihantam oleh hadits Nabi dari Ummu Salamah juga tetapi riwayat Ahmad yang mengiyakan ummu salamah sebagai bagian dari ahli baitnya.

    Jadi itulah metode yang saya pakai 🙂

    Kalau saya lihat, anda tidak memasukkan istri-istri Nabi dalam lingkup ahlul bait hanya karena pertanyaan Ummu Salamah kepada Nabi dan jawaban beliau yang termuat pada hadits Tirmidzi dan hal tersebut sudah saya jawab.

    Lihat lagi ayat Al Qurannya, siapa yang sedang ada disitu? Bukankah Nabi Ibrahim AS juga ada di sana. Apakah rahmat itu hanya diperuntukkan untuk Istri Nabi Ibrahim saja. Jika anda melihat lagi ayatnya maka yang dimaksud Ahlul Bait disitu adalah Nabi Ibrahim beserta Istri Beliau. Bukankah ada kata Alaikum disana yang merujuk pada apa yang anda bilang digunakan untuk menunjukkan bahwa yang dituju adalah laki-laki bersama wanita. Dan kalau anda lebih cermat lagi melihat, maka Perkataan Ahlul bait itu dipakai setelah mendapat ketetapan Allah SWT bahwa akan lahir dari mereka Ishaq dan dari Ishaq akan lahir Ya’qub. Jadi rahmat itu terkait dengan Keturunan. Dengan kata lain Al Quran menggunakan Terminologi Ahlul Bait untuk kekerabatan yang diikat oleh Nasab(keturunan) bukan oleh pernikahan. Jadi pada saat itu status Istri Nabi Ibrahim adalah sebagai wanita yang akan meneruskan keturunan Nabi Ibrahim dengan melahirkan Ishaq dan dari Ishaq akan lahir Ya’qub.

    Dan ini

    Kalau mau berpegang pada ayat Al Quran maka lihat juga Al Qashash 12(disini lafal Ahlul Bait merujuk pada Ibu Nabi Musa AS) dan kumpulkan dengan Hud 73 yang anda bawa itu maka anda akan lihat term Ahlul bait dalam Al Quran adalah term untuk kekerabatan yang diikat dengan nasab(keturunan).
    Oleh karena itulah Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33 adalah Ahlul Kisa’ yang terikat dengan nasab sedangkan istri-istri Nabi SAW tidak. Mereka istri-istri Nabi SAW adalah Ahlu Nabi SAW(sama seperti surah Thaha 10 yang anda bawa-bawa itu) bukanlah Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33.

    Ternyata anda suka berasumsi menurut pendapat pribadi juga ya :mrgreen: tetapi ga pa-pa kok sah2 saja…tetapi maaf dasar anda tidak kuat, bagaimana dengan Khadijah ra? Dia adalah ibu Fathimah ra tetapi beliau juga adalah salah satu istri-istri Nabi SAW juga bagaimana dengan Maria Al-Qibtiyah yang melahirkan Ibrahim anak Rasulullah? dan surat Al-Ahzab turun mengandung perintah dan larangan (hukum) untuk semua istri-istri Nabi secara umum tak terkecuali…

    Justru yang saya lihat dengan sangat nyata dari Al-Qashas:12, Hud:73 dan Al-Ahzab:33 yang disebut ahlul bait adalah mereka para wanita yang bekedudukan sebagai seorang istri dan hal ini tidak bisa disangkal lagi dan sangat sesuai dengan terminologi ahlul bait yaitu mereka yang menempati dan tinggal di rumah-rumah suami mereka. Sedangkan yang kita tahu yang tinggal di rumah-rumah Nabi adalah istri-istrinya baik yang punya keturunan maupun yang tidak punya keturunan dari Nabi, ayat tathhir pun turun di rumah Nabi yang ditempati oleh istrinya, sedangkan Fathimah tinggal di rumah Ali suaminya. Makanya mereka dipanggil oleh Nabi ke rumah beliau yang ditempati oleh Ummu Salamah yang hal tersebut menunjukkan bahwa mereka adalah ahlul bait Nabi juga. Jika istri-istri Nabi saja mendapatkan ayat tathhir, tentu mereka anak-anak Nabi-pun lebih utama untuk mendapatkannya.

    Baik mohon perhatikan, walaupun memang ada Nabi Ibrahim as di situ tetapi dari ayat 71-73 yang di ajak bicara oleh Malaikat adalah istri Nabi Ibrahim, jadi dialah yang dimaksud ahlul bait tsb, ahlul bait-nya Nabi Ibrahim as.

    71. Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’qub.
    72. Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”
    73. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

    Sedangkan asumsi anda bahwa penyebutan ahlul bait kepada istri Nabi dan istri Imran disebabkan mereka mendapatkan keturunan atau istilah anda term untuk kekerabatan yang diikat dengan nasab(keturunan) maka jawabannya ada di Al-Qashas : 12

    Al-Qashas : 12 berbunyi :

    dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?.”

    Lihatlah yang berkata kepada istri Fir’aun adalah saudari Musa yang tentunya dia merahasiakan bahwa Musa adalah saudaranya dan dia menunjukkan ahlul bait (ibu Musa) yang akan memeliharanya untuk istri Fir’aun. Tentunya jika yang dimaksud Ahlul Bait di situ adalah Ibu sebenarnya dari Musa atau yang berhubungan dengan keturunan maka akan ketahuanlah oleh istri Fir’aun bahwa Musa adalah anak dari ibu yang akan menyusuinya tersebut dan akan terbongkarlah identitas Musa sebenarnya dan hal ini bisa berbahaya bagi eksistensi Musa dan keluarganya saat itu. Tentunya tidaklah demikian yang dimaksud dari saudari Musa tsb dengan istilah ahlul bait ketika ia berbicara dengan istri Fir’aun, yang dimaksud ahlul bait di sini adalah ibu rumah tangga (household) atau istri dari seseorang yang tinggal bersama keluarganya di rumah yang akan memelihara Musa untuknya. Untuk lebih jelasnya silahkan baca tafsir Ibnu Katsir mengenai ayat di atas di :

    http://www.tafsir.com/default.asp?sid=28&tid=38843

    Dengan logika ini saja asumsi anda terpatahkan…

    Baik, saya lihat anda masih mempersoalkan dan membedakan istilah “ahlu” dengan “ahlul bait”, marilah kita buat perbandingan:

    Istri-istri Nabi disebut dengan istilah “ahlu” : dalilnya dalam Al-Qur’an spt Thaha : 10, dalam hadits spt hadits kisa’ riwayat ahmad

    Istri-istri Nabi disebut dengan istilah “ahlul bait” : dalam Al-Qur’an spt : Huud : 73, Al-Ahzab:33, dalam hadits spt hadits riwayat Bukhari dan Muslim yg sudah saya sebutkan di atas.

    Anak-anak keturunan Nabi disebut dengan istilah “ahlu” : dalam Al-Qur’an spt Huud : 45

    Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.”

    Hadits riwayat Muslim

    Dalam peristiwa Mubahalah Nabi saw. memanggil Hasan dan Husain, Fathimah dan Ali ra .kemudian beliau mengatakan أللهم هؤلاء اهلي. “Ya Allah, mereka adalah Ahli (keluarga)ku”

    Anak-anak keturunan Nabi disebut dengan istilah “ahlul bait” : dalam Al-Qur’an tidak disebutkan dengan jelas mengenai mereka tetapi berdasarkan Hadits Kisa’ yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad dll mereka juga termasuk ahlul bait yang termaksud dalam ayat tathhir Al-Ahzab:33.

    Kalau mas mau memperhatikan hadits kisa’ riwayat Ahmad dengan cermat, di situ Rasulullah menyebut ahlul kisa’ dengan istilah “ahlu” dan juga “ahlul bait”, hal ini menunjukan bahwa kedua istilah tersebut sebenarnya maknanya tidaklah berbeda.

    Nah jelas, kalau kita lihat dalil-dalil di atas baik istri-istri Nabi maupun anak keturunan Nabi sama-sama di sebut “Ahlu” maupun “Ahlul Bait”. Jadi kalau anda mengatakan bahwa istri-isri Nabi adalah “Ahlu”, anak-anak Nabi pun disebut juga dengan “Ahlu”, kalau anda mengatakan bahwa anak keturunan Nabi adalah “Ahlul Bait”, istri-istri Nabipun dlm dalil2 di atas juga disebut “Ahlul Bait”. So what gitu loh?

    • Di dalam hadits juga ada penggunaan kata ahlul bait untuk istri-istri Nabi SAW:

    “Lalu Rasulullah s.a.w. pergi ke bilik Aisyah r.a. dan berkata: ‘Assalamu Alaikum Ya Ahlul Bait Wa Rahmatullah, maka Aisyah menjawah: Wa Alaikassalam Wa Rahmatullah, bagaimana dengan Ahli (isteri) kamu (Zainab Bt. Jahsy), semoga Allah memberi berkat kepada mu,” (Sahih Bukhari, Kitab Tafsir. Peristiwa ini berlaku selepas Rasulullah diakad nikah dengan Zainab bt. Jahsy r.a. dan selesai jamuan walimah)

    Hadis ini memang Shahih dan saya juga tidak akan menolaknya. Tapi Mas saya tidak keberatan jika orang mau menyebutkan Istri-istri Nabi sebagai Ahlul bait. Pendapat saya itu adalah Ahlul bait dalam Ayat tathhir itu bukan istri-istri Nabi SAW. Hadis di atas tidak ada kaitan sedikitpun dengan ayat Tathhir.

    Begini bunyi lengkapnya

    Dari Anas r.a, ia berkata : “Nabi SAW melangsungkan pernikahan dengan Zainab binti Jahsy dengan hidangan roti dan daging maka saya mengirim makanan. Lalu Nabi SAW keluar dan menuju kamar Aisyah seraya berkata, ‘Assalamu’alaikum ahlul bait wa rahmatullah (salam sejahtera atas kamu, wahai ahlul bait dan semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepadamu)’ Maka Aisyah menjawab, ‘Wa alaika salam wa rahmatullah (dan semoga kesejahteraan dan rahmat Allah atasmu). ‘Lalu Nabi SAW mengitari kamar semua istrinya dan berkata kepada mereka seperti yang dikatakan kepada Aisyah, dan merekapun menjawab seperti jawaban Aisyah” (H.R.Shahih Bukhari)

    Saya heran dengan pendapat anda di atas, Rasulullah memanggil semua istrinya dengan sebutan ahlul bait, dan ini adalah hal yg sangat jelas dan tidak bisa disangkal lagi menunjukkan bahwa istri-istri Rasulullah adalah juga ahlul bait beliau baik yang berketurunan ataupun yang tidak (ini mematahkan argumentasi anda bahwa ahlul bait hanya untuk term yg terikat nasab saja) dan istilah ini akan dipakai/disandang oleh mereka selamanya, dan tentunya tidak hanya pada saat itu saja, jika kemudian ada ayat turun yang konteksnya adalah untuk mereka dan bahkan dengan jelas Allah menyebut mereka “Ahlul Bait” bagaimana anda bisa mengatakan bahwa ayat tersebut tidak ada kaitan sedikitpun dengan mereka? Jelas-jelas sesuatu yang dipaksakan. Dan anda begitu entengnya mengatakan “Tapi Mas saya tidak keberatan jika orang mau menyebutkan istri-istri Nabi sebagai Ahlul bait”. Mas yang menyebut mereka ahlul bait adalah Rasulullah sendiri bukan orang lain dan anda mengakui kesahihan hadits tsb, jadi anda ya memang ga boleh berat hati. 🙂

    Contohnya Al Maidah ayat 3 adalah ayat yang terakhir turun dan itu tidak seluruhnya, hanya bagian yang dimulai dari Alyawma(ini terletak pada pertengahan ayat) sedangkan bagian lain al maidah ayat 3 yang berkaitan dengan hukum halal haram makanan(terletak di awal dan akhir almaidah ayat 3) turun di saat lain. Jika kita bicara seenaknya bahwa semua Al Maidah ayat 3 dan ayat 4 turun bersamaan dengan bagian alyawma maka umat islam saat itu belum mengetahui hukum halal dan haram makanan sampai al Quran terakhir diturunkan.

    Sudah saya jawab, bahwa Al-Ahzab 33 berbeda dengan Al-Maidah:3, bagi saya hadits Tirmidzi tsb bukan untuk memisahkan ayat tersebut dari urutan dan konteks ayat yang ada tetapi merupakan penjelasan lebih luas terhadap makna ahlul bait di ayat tathhir. kalau anda menganggap urutan ayat pada Al-Maidah : 3 tidak saling berhubungan, saya bisa memaklumi tetapi untuk Al-Ahzab : 33 urutannya sangat berhubungan, jadi sesuatu hal yang dipaksakan jika ingin memisahkan ayat tathhir dg urutan dan konteks ayat yg ada sebagaimana hal tidak masuk akal untuk memisahkan istilah ahlul bait dari konteks yg ada dalam surat Huud : 73, karena kedua ayat tsb sangat mirip.

    Syubhat ini mengakar pada prakonsepsi bahwa ayat tersebut turun khusus untuk ahlul kisa’ saja.

    Dan begitulah kenyataan yang tertera pada teksnya, itu berarti prakonsepsi saya didukung oleh hadis shahih sedangkan prakonsepsi Mas ditolak oleh hadis Sunan Tirmidzi

    Maaf itu hanya klaim saja dan siapapun bisa meng-klaim seperti itu.

    seandainya mereka benar-benar berpegang pada keterangan ayat yang lain, hadits bukhari, hadits riwayat Ahmad dll maka tidak akan muncul syubhat seperti ini.

    Yah seandainya saya berpegang setengah-setengah pada ayat lain, berpegang pada hadis-hadis lain yang tidak ada relevannya sama sekali dengan ayat tathhir dan hadis yang masih diperselisihkan sanadnya maka mungkin saja saya akan sama seperti Mas.

    Di tempat lain anda berprinsip bahwa dalam membahas suatu hadits perlu dikumpulkan jalan-jalannya. Dan tentang hadits yg menurut anda masih diperselisihkan sanadnya, di sini saya memilih pendapat yang menshahihkan hadits tsb sebagaimana anda memilih pendapat yang menshahihkan hadits asbabun nuzul surat Al-Wilayah yaitu kisah tentang Ali yang menyedekahkan cincinnya ketika sedang rukuk :mrgreen:

    Hadis Tirmidzi jelas menolak ayat tersebut turun dengan bunyi demikian dan buktinya sudah ditunjukkan Ummu Salamah sendiri, beliau tidak akan mengharapkan menjadi ahlul bait jika memang ayat tersebut turun dan berbunyi seperti yang Mas sebutkan. Teks hadis membantah klaim anda tapi anda berkeras memasukkan pemahaman anda sendiri.

    Andaikan tanpa keterangan apapun mengenai ayat tersebut, orang awwam pun sudah langsung bisa mengetahui bahwa ayat tsb turun untuk istri-istri Nabi, apalagi kalau mereka mau melihat ayat-ayat lain yang relevan, dan hadits-hadits lainnya.

    Ngomong2 soal mengabaikan, anda bahkan tidak menyinggung sama sekali riwayat Ummu Salamah yang saya ambil dari Kitab Musykil Al Atsar yang membantah semua penjelasan anda. Setahu saya, saya punya banyak dalil yang mengkhususkan Ahlul Bait dalam Ayat tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’ saja, hanya saja saya menuliskan apa yang saya anggap perlu dan cukup.

    Maaf saya belum mendapat kesempatan untuk membuka kitab yang anda sebutkan di atas jadi saya belum bisa berkomentar banyak, tetapi timbul pertanyaan pada diri saya, mengapa anda tidak cantumkan juga riwayat dari Imam Bukhari di Tarikh Al-Kabir? Jika sanadnya telah disebutkan oleh beliau mengapa Imam Bukhari hanya mencantumkan sedikit penggalan dari hadits tsb?

    Wallahu A’lam

    Semoga mas SP tidak bosan dengan komentator model saya ini… :mrgreen:

    Peace @ Peace

  26. @SP

    Bukti Pertama
    Hadis Musnad Ahmad di atas memiliki perbedaan yang nyata dengan hadis Sunan Tirmidzi. Dalam hadis Sunan Tirmidzi yang kami kutip terdapat teks yang berbunyi

    Ayat ini turun kepada Nabi SAW (Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.).
    Sedangkan pada hadis Musnad Ahmad tidak ada satupun kata-kata yang menyebutkan tentang Ayat Al Ahzab 33 yang turun. Jadi bagaimana bisa langsung main pukul rata kalau hadis Musnad Ahmad bicara soal Asbabun Nuzul Ayat Tathhir.

    Mas anda boleh pegang metode anda yaitu berpegang pada text hadits secara tekstual, itu hak anda dan sah-sah saja (jadi ingat kisah anak kecil yang suka minum teh botol sosro :mrgreen: ). Tetapi anda seharusnya paham bahwa hadits itu bukan ayat Al-Qur’an yang sudah baku dan ma’sum text-nya, hadits banyak periwayatnya, kadang dalam menyampaikan hadits, perawi bisa berbeda redaksi dengan perawi yang lain walaupun maksudnya sama dan sumber mereka juga sama. Contoh di dalam hadits kisa’ ini yang sumbernya adalah sama yaitu Ummu Salamah. Dalam hadits Tirmidzi, yang meriwayatkan setelah Ummu Salamah adalah Umar bin Abi Salamah sedangkan di dalam hadits Ahmad yang meriwayatkan setelah Ummu Salamah adalah Syahr bin Hausab. Sehingga bisa dimaklumi jika terdapat perbedaan redaksi diantara kedua hadits tsb. Tetapi yang jelas di dalam kedua hadits tersebut terdapat persamaan yang esensial yang dimuat, yaitu peristiwa penyelimutan Nabi terhadap keluarga Fatimah ra dan do’a beliau untuk mereka. Maka akal kita akan langsung bisa menerima jika sebenarnya peristiwa yang diceritakan oleh kedua hadits tersebut adalah peristiwa yang sama, di rumah yang sama dan di waktu yang sama. Di sinilah diperlukan para ulama hadits untuk mensinkronkan kedua hadits tersebut jika terdapat perbedaan pada redaksinya dan kemudian mengambil kesimpulan dari-nya. Jadi bagi saya kedua hadits tsb menceritakan peristiwa yang sama.

    Yang kalau terjemahannya adalah
    Ya Allah (mereka adalah) Ahli(keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Ya Allah (mereka adalah) Ahlul BaitKu, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Ya Allah (mereka adalah) Ahlul BaitKu, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
    Aku (Ummu Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk ahli (keluarga)mu?” Beliau menjawab, “Tentu, masuklah ke dalam selimut.”.
    Perbedaannya, dengan teks yang ditulis oleh orang itu maka seolah-olah Nabi menyatakan kalau Ummu Salamah adalah Ahlul Bait Beliau. Padahal kalau dengan teks yang sebenarnya maka yang dimaksud itu Nabi menyatakan bahwa Ummu Salamah adalah Ahli nya bukan dengan kata-kata Ahlul Baitnya. Ummu Salamah juga menggunakan kata-kata Ahli bukan Ahul Bait(bukankah aku termasuk ahli (keluarga)mu?). Dan dengan kekeliruan ini orang tersebut langsung mengambil hujjah.

    Jadi pernyataan orang itu

    Dalam hadits riwayat Ahmad dengan jelas Nabi mengiyakan bahwa Ummu Salamah adalah termasuk ahlul baitnya

    Adalah keliru karena pernyataan ini berlandaskan pada penulisan hadis yang keliru.

    Terima kasih atas ralatnya mas, tetapi saya akan jawab komentar mas :

    1. Baik, di dalam hadits tersebut Rasulullah mengiyakan bahwa Ummu Salamah adalah Ahlu (keluarga) beliau, tetapi ketika Rasulullah berdo’a untuk keluarga Fathimah beliau juga menyebut mereka sebagai “Ahlu” beliau di baris pertama, dan di baris ke dua dan ketiga beliau menyebut mereka “ahlul bait”, hal ini menunjukan bahwa kedua istilah tersebut sebenarnya maknanya tidaklah berbeda yaitu keluarga Rasulullah baik sebagai istri maupun keluarga berdasarkan nasab.

    2. Baik, saya lihat anda masih mempersoalkan dan membedakan istilah “ahlu” dengan “ahlul bait”, marilah kita buat perbandingan:

    Istri-istri Nabi disebut dengan istilah “ahlu” : dalilnya dalam Al-Qur’an spt Thaha : 10, hadits kisa’ riwayat ahmad

    Istri-istri Nabi disebut dengan istilah “ahlul bait” : dalam Al-Qur’an spt : Huud : 73, Al-Ahzab:33, hadits riwayat Bukhari dan Muslim yg sudah saya sebutkan di atas.

    Anak-anak keturunan Nabi disebut dengan istilah “ahlu” : dalam Al-Qur’an spt Huud : 45
    وَنَادَى نُوحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ {45}

    Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.”

    Hadits riwayat Muslim

    Dalam peristiwa Mubahalah Nabi saw. memanggil Hasan dan Husain, Fathimah dan Ali ra .kemudian beliau mengatakan أللهم هؤلاء اهلي. “Ya Allah, mereka adalah Ahli (keluarga)ku”

    Anak-anak keturunan Nabi disebut dengan istilah “ahlul bait” : dalam Al-Qur’an tidak disebutkan dengan jelas mengenai mereka tetapi berdasarkan Hadits Kisa’ yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad dll mereka juga termasuk ahlul bait yang termaksud dalam ayat tathhir Al-Ahzab:33.

    Nah jelas, kalau kita lihat dalil-dalil di atas baik istri-istri Nabi maupun anak keturunan Nabi sama-sama di sebut “Ahlu” maupun “Ahlul Bait”. Jadi kalau anda mengatakan bahwa istri-isri Nabi adalah “Ahlu”, anak-anak Nabi pun disebut juga dengan “Ahlu”, kalau anda mengatakan bahwa anak keturunan Nabi adalah “Ahlul Bait”, istri-istri Nabipun berdasarkan dalil2 di atas juga disebut “Ahlul Bait”. Jadi so what gitu loh? :mrgreen:

    Mengenai kemungkinan-kemungkinan yang anda kemukakan, menurut saya terlalu dipaksakan, sebenarnya kedua hadits tersebut menceritakan peristiwa yang sama, hal itu dibuktikan dengan peristiwa penyelimutan yang sama dan do’a dengan lafadz yang mirip juga. sedangkan mengenai tidak tercantumnya ayat tsb dan jawaban Rasulullah yang keliatan berbeda kepada Ummu Salamah di hadits riwayat Ahmad, ya menurut saya wajar-wajar saja, sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya, redaksi bisa berbeda tetapi pasti ada persamaan yang esensial dari keduanya sehingga bisa disimpulkan bahwa kedua hadits tersebut menceritakan peristiwa yang sama dan keduanya sebenarnya saling melengkapi.

    Kesimpulan Hadis
    • Hadis ini tidak memuat sedikitpun hujjah bahwa Al Ahzab ayat 33 turun untuk istri-istri Nabi SAW. karena memang hadis tersebut tidak menceritakan soal turunnya Al Ahzab ayat 33
    • Hadis ini hanya menceritakan kalau Ummu Salamah adalah Ahlu Nabi, sayangnya beliau bukan termasuk dalam mereka yang didoakan oleh Nabi SAW sebanyak 3 kali dan jelas bukan Ahlul Bait dalam Ayat tathir. Hal ini tampak dalam kata-kata terakhir hadis tersebut bahwa Ummu Salamah masuk ke dalam selimut setelah doanya selesai.

    Jika anda mengatakan bahwa hadits di atas tidak memuat sedikitpun hujjah bahwa Al-Ahzab : 33 turun untuk istri-istri Nabi SAW, maka sekali lagi menurut saya terlalu dipaksakan.

    Mengenai tidak didoakan Ummu Salamah dalam riwayat tersebut, sudah saya jawab berkali-kali karena beliau sudah dalam kebaikan (hadits Tirmidzi) dengan turunnya ayat tathhir tsb kepada istri-istri Nabi 🙂

    Semoga mas SP tidak bosan dengan komentator model kyk saya ini :mrgreen:

    Peace @ Peace

    Wassalam

  27. @bims

    Kalau membaca tanggapan anda di atas, saya ingat akan kisah yang anda bawakan sendiri di sini :

    Ksatria Terkutuk


    dimana metode yang anda pakai dalam penyusunan essay anda ditolak oleh para dosen pembimbing anda gara-gara metode yang anda pakai menurut mereka tidak memenuhi standar yang objektif dalam dunia ilmiah… dan respon mereka dalam kisah yg anda tulis tsb spt ini:
    “Pembahasan Metode adalah diluar diskusi Esai, seharusnya dalam pembuatan Esai hendaknya menaati standar metode yang ada dan bukannya malah meributkan Metode yang paling mungkin”

    Wah, wah aneh juga Mas ini. Tulisan yang itu bisa dikatakan hanya bisa dimengerti oleh mereka yang terlibat dan memang untuk itulah tulisan itu dibuat. Kalau anda memahami tulisan itu dengan baik maka yang sebenarnya adalah Essay itu ditolak bukan karena tidak memenuhi standar ilmiah tapi karena metodenya bukan Eksperimental. Dalam pembukaan essay disebutkan soal perincian metode yang digunakan yaitu studi literatur. Mereka yang bukanlah dosen pembimbing saya, menolak essay tersebut karena syarat essay harus bersifat eksperimental bukan suatu studi literatur. Kalau soal metode maka saya rasa cukup jelas kok kalau metode eksperimental bukan satu-satunya metode ilmiah. Metode noneksperimental alias deskriptif, case control, cross sectional, cohort dan metaanalitik adalah metode yang benar-benar dikenal di kalangan ilmiah dan itu bukan eksperimental. Jadi tidak perlulah Mas menganalogikan dengan kisah yang tidak Mas pahami :mrgreen:

    He he he posisi anda sekarang ini menurut saya sebagai dosen pembimbing di atas dan saya adalah anda :)… memang agak OOT tetapi di sini saya mau mengatakan bahwa metode kita memang berbeda, kalau anda dalam menafsirkan ayat Tathhir hanya memakai hadits Tirmidzi, sedangkan saya tidak bisa berhenti hanya pada hadits tersebut saja tetapi juga dari ayat-ayat Al-Qur’an yang lain, hadits-hadits lain dan atsar para sahabat, tabi’in dan ulama’

    Begini Mas kan dalam komentar Mas sebelumnya, anda menulis dengan kata-kata ini Verifikasi
    Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi di atas sebagai alat penguji maka TIDAK ADA hal yang aneh disini yaitu
    . Nah saya kan Cuma mengomentari kata-kata Mas sendiri. Kalau memang Mas mau menggunakan Hadis Sunan Tirmidzi sebagai alat penguji maka mana buktinya. Sederhana saja kan, kalau ada orang yang bilang saya mau memakai dokumen A sebagai barang bukti maka seharusnya ia berhujjah dengan dokumen A tersebut bukannya dengan dokumen lain. Itu kan inkonsisten namanya kalau memang tidak mau dibilang bohong.
    Kemudian Mas saya tidak pernah bilang kalau saya hanya berhujjah dengan hadis Tirmidzi. Banyak hadis-hadis lain yang menjelaskan bahwa ayat tathhir khusus untuk ahlul kisa’ saja. Bukankah sudah saya sebutkan salah satu hadis lain itu yang benar-benar menunjukkan kepada siapa ayat tathhir diturunkan. Soal atsar sahabat dan tabiin, maka saya katakan apa Mas lupa bahwa saya mengutip pendapat Abu Said Al Khudri RA, Mujahid dan Qatadah bahwa ayat tersebut khusus untuk Ahlul Kisa’. Soal pendapat Ulama maka saya pun sudah mengutip pernyataan Abu Ja’far At Thahawi yang mengkhususkan ayat tathhir untuk ahlul kisa’ saja. Jadi saya gak pake hanya Mas :mrgreen:

    tetapi penolakan thd metode yang berbeda yang saya pakai tidaklah kemudian membuat saya merasa terkutuk seperti anda

    Seperti biasa Mas tidak mengerti apa sebenarnya maksud saya menulis itu, karena memang tulisan itu hanya bisa dimengerti dengan baik oleh mereka yang terlibat dalam tulisan itu. Just It.

    Anda mungkin melihat ketidak-konsistenan dari masing-masing dalil dan pendapat yang saya kemukakan tetapi kan saya memilih yang terbaik dari dalil dan pendapat mereka dan hal tersebut sudah saya tuliskan di bagian konklusi.

    Begini nih Mas, pendapat yang punya dalil itu ada dua yaitu pertama menyatakan bahwa Ayat Tathhir khusus untuk ahlul kisa’ dan kedua menyatakan bahwa ayat tathhir khusus untuk istri-istri Nabi. Kesimpulan yang anda buat tidaklah memilih salah satu dari pendapat itu tapi anehnya malah membuat pendapat baru bahwa ayat tathir untuk ahlul kisa’ beserta istri Nabi. Pendapat ini tidak memiliki dalil sama sekali. Kalau anda mau berhujjah dengan hadis maka banyak hadis yang mengkhususkan Ayat tathir kepada ahlul kisa’. Kalau mau berhujjah dengan urutan ayat maka ayat tathhir hanya untuk istri-istri Nabi SAW. Bukankah sudah saya katakan Jika anda mau berpegang pada urutan ayat maka ayat tersebut khusus bicara tentang wanita, anda dapat lihat pada kata-kata tetaplah di rumahmu, janganlah tunduk dalam berbicara, jangan berhias. Ini jelas khusus wanita. Jadi urutan ayat membuat ayat tersebut sangat tidak mungkin ditujukan pada Rasulullah, Ali, Hasan dan Husain. Masa’ saya harus mengulang2 terus. Jadi pendapat yang anda katakan terbaik itu adalah pendapat yang tidak berdasar sama sekali. Tidak perlu bicara soal klaim, tapi tunjukkan jika anda berpegang pada dalil yang kuat. Mengatakan orang lain membuat klaim itu sangat mudah sama halnya membuat klaim itu sendiri. Bukankah kita sedang berdiskusi dan membandingkan dalil masing-masing yang dipakai. Tidak perlu seperti orang yang kehabisan hujjah sehingga dengan terpaksa berkata “yah itu kan Cuma klaim doing”. :mrgreen:

    Contoh jika ada atsar shahabat dan tabi’in yang berpendapat bahwa ayat Tathhir turun untuk istri-istri Nabi saja, pendapat ini akan langsung menghantam pendapat dari kalangan yang sama (shahabat dan tabi’in) bahwa ayat tathhir turun untuk ahlul kisa’ saja.

    Makanya telaah terhadap kedua pendapat itu jelas sangat diperlukan. Yang mana dari kedua pendapat tersebut yang didukung oleh dalil yang shahih dan kuat.

    Hadits Nabi dari Ummu Salamah riwayat Tirmidzi yang di situ Nabi menegasi ummu salamah (walaupun sebenarnya jawaban beliau tidaklah tegas) dihantam oleh hadits Nabi dari Ummu Salamah juga tetapi riwayat Ahmad yang mengiyakan ummu salamah sebagai bagian dari ahli baitnya.

    Dari segi sanad Hadis Sunan Tirmidzi lebih kuat dibanding hadis riwayat Ahmad. Dari segi matan maka kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Hadis Sunan Tirmidzi menyatakan bahwa Ummu Salamah tidak bersama Ahlul Kisa’ dalam Ayat Tathhir sedangkan hadis riwayat Ahmad menyatakan bahwa Ummu Salamah tidak bersama Ahlul Kisa’ dalam doa Rasulullah SAW yang lafaznya mirip dengan lafaz ayat tathhir. Inti keduanya kan sama saja, Ummu Salamah sebagai istri Nabi SAW bukan Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat tathhir. Lagipula, Mas kembali melakukan kekeliruan yang sama, Hadis riwayat Ahmad tidak pernah menyebutkan kalau Ummu Salamah adalah Ahlul Bait Nabi. Apa yang begitu saja tidak bisa dilihat Mas? Saya sudah capek2 menulis tuh.

    Jadi itulah metode yang saya pakai

    Ya itu metodenya Cuma separuh-separuh. Membentuk pendapat baru dari dalil pendapat lain yang dipotong-potong. Silakan saja, saya Cuma bilang kalau pendapat Mas itu tidak ada dasarnya sama sekali. Contoh sederhana saja, apakah bisa anda menyebutkan Sahabat Nabi yang menyatakan bahwa Ahlul bait dalam ayat tathhir adalah ahlul kisa’ beserta istri-istri Nabi?.

    Kalau saya lihat, anda tidak memasukkan istri-istri Nabi dalam lingkup ahlul bait hanya karena pertanyaan Ummu Salamah kepada Nabi dan jawaban beliau yang termuat pada hadits Tirmidzi dan hal tersebut sudah saya jawab.

    Kalau saya lihat jawaban Mas adalah karena Ummu Salamah belum diberitahu oleh Nabi SAW bahwa ayat tersebut turun untuknya. Bukankah jawaban seperti ini sudah saya tanggapi bahwa Apakah Sampai Ummu Salamah meriwayatkan hadis tersebut, beliau tetap belum diberi tahu oleh Nabi SAW?. Apa buktinya ada sesuatu yang harus diberitahukan Nabi SAW kepada Ummu Salamah?. Bukankah dalam hadis Sunan Tirmidzi tidak ada keterangan bahwa Nabi SAW memberitahu istri-istrinya bahwa ayat tathir turun untuk mereka. Kalau memang ada, kenapa Ummu Salamah tidak mengungkapkannya dalam hadis tersebut. Jika memang ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW mengapa hal pertama yang dilakukan oleh Nabi SAW malah memanggil orang lain dan kenapa saat itu Beliau tidak memanggil istri-istrinya?. Alasan anda itu hanya dicari-cari dan tidak memiliki bukti sama sekali. Apa buktinya kalau Nabi SAW memberitahu Istri-istrinya bahwa merekalah ayat tathir yang dimaksud. Saya berpegang pada teks hadis Sunan Tirmidzi dan hadis-hadis lain yang sedikitpun tidak memuat keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah memberitahu istri-istrinya kalau ayat tathhir turun untuk mereka. Semua hadis tersebut justru menjelaskan bahwa ayat tathhir turun untuk mereka ahlul kisa’.

    Ternyata anda suka berasumsi menurut pendapat pribadi juga ya tetapi ga pa-pa kok sah2 saja…tetapi maaf dasar anda tidak kuat, bagaimana dengan Khadijah ra? Dia adalah ibu Fathimah ra tetapi beliau juga adalah salah satu istri-istri Nabi SAW juga bagaimana dengan Maria Al-Qibtiyah yang melahirkan Ibrahim anak Rasulullah?

    Lho bagi saya jelas kok kalau Al Quran mau menceritakan tentang Khadijah RA atau Maria Al Qibtiyah maka mungkin saja term yang digunakan adalah Ahlul Bait. Dari awal saya tidak pernah menentang kalau istri-istri Nabi sebagai Ahlul Bait. Pandangan saya itu bukan pada penyebutan Ahlul Bait tetapi pada siapa Ahlul Bait dalam ayat tathhir?. Dalil-dalil yang shahih menetapkan bahwa Ahlul bait dalam ayat tathhir adalah Ahlul Kisa’ dan bukan istri-istri Nabi.

    dan surat Al-Ahzab turun mengandung perintah dan larangan (hukum) untuk semua istri-istri Nabi secara umum tak terkecuali…

    Makanya kalau Mas berhujjah dengan mengandalkan urutan ayat maka saya katakan sangat tidak berdasar Mas memasukkan Rasulullah, Ali, Hasan dan Husain sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Jelas saja ayat tersebut mengandung perintah dan larangan khusus bagi wanita maka bagaimana mungkin itu diperuntukkan bagi laki-laki.

    Justru yang saya lihat dengan sangat nyata dari Al-Qashas:12, Hud:73 dan Al-Ahzab:33 yang disebut ahlul bait adalah mereka para wanita yang bekedudukan sebagai seorang istri dan hal ini tidak bisa disangkal lagi dan sangat sesuai dengan terminologi ahlul bait yaitu mereka yang menempati dan tinggal di rumah-rumah suami mereka.

    Lho bukannya sebelumnya Mas juga mengutip Thaha 10. Ayat ini justru membuktikan apa yang saya katakan sebelumnya mengenai surah Hud. Untuk Istri Nabi Musa AS di atas term yang dipakai adalah Ahli(keluarga) bukan Ahlul Bait(sepertinya Mas tidak melihat bahwa dalam ayat ini tidak ada kata-kata Ahlul Bait tetapi Ahli). Bukankah Al Quran menggunakan term yang berbeda yaitu Ahlu dan Ahlul Bait. 🙂

    Sedangkan yang kita tahu yang tinggal di rumah-rumah Nabi adalah istri-istrinya baik yang punya keturunan maupun yang tidak punya keturunan dari Nabi, ayat tathhir pun turun di rumah Nabi yang ditempati oleh istrinya, sedangkan Fathimah tinggal di rumah Ali suaminya. Makanya mereka dipanggil oleh Nabi ke rumah beliau yang ditempati oleh Ummu Salamah yang hal tersebut menunjukkan bahwa mereka adalah ahlul bait Nabi juga.

    Lantas mengapa Ummu Salamah yang tinggal disitu tidak dimasukkan oleh Nabi bersama mereka sebagai Ahlul Bait dalam ayat tathhir. Bukankah istri-istri Nabi yang lain punya rumah sendiri dan mengapa ketika ayat ini turun Nabi SAW tidak memanggil mereka semua. Bukankah ayat ini seperti kata Mas turun untuk mereka. Mengapa hanya Ahlul Kisa’ saja yang dipanggil? Jawabannya karena jelas ayat itu hanya untuk mereka. Mengenai ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah maka saya katakana ayat tersebut turun kepada Nabi SAW ketika Nabi berada di rumah Ummu Salamah, bukan berarti ayat tersebut turun untuk Ummu Salamah. Mengapa Ummu Salamah perlu berharap untuk bersama Ahlul Kisa’ jika ayat tersebut sudah jelas turun untuknya.

    Jika istri-istri Nabi saja mendapatkan ayat tathhir, tentu mereka anak-anak Nabi-pun lebih utama untuk mendapatkannya.

    Saya seringkali melihat orang-orang yang berbicara tanpa dasar dan sering pembicaraan mereka meluas tidak karuan. Apa sih dasar anda untuk mengatakan jika istri-istri Nabi mendapatkan ayat tathhir maka anak-anak Nabi lebih utama mendapatkannya. Siapa anak-anak Nabi yang Mas maksud?. Apakah Ali itu adalah anak Nabi?. Terkadang ada yang berkata Ayat Tathhir untuk Ahlul Kisa’ beserta Istri-istri Nabi, terkadang ada yang berkata ayat tathir untuk semua keluarga Nabi secara umum termasuk keluarga Abbas. Anehnya bagaimana dengan keluarga Aqil dan keluarga Ja’far yang sedikitpun tidak disebut-sebut. Dan anehnya saya juga mendengar ada orang yang berkata ayat tersebut untuk semua wanita muslim karena perintah dalam ayat tersebut umum mencakup semua wanita muslim dan tidak hanya istri Nabi. Yah makin lama yang namanya keutamaan Ahlul Bait itu menjadi makin tidak berasa saja :mrgreen:

    Baik mohon perhatikan, walaupun memang ada Nabi Ibrahim as di situ tetapi dari ayat 71-73 yang di ajak bicara oleh Malaikat adalah istri Nabi Ibrahim, jadi dialah yang dimaksud ahlul bait tsb, ahlul bait-nya Nabi Ibrahim as.

    Awalnya kan Malaikat itu berbicara dengan Nabi Ibrahim, lihat ayat 70. Kemudian 71.

    Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’qub.
    72. Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”
    Lihat ayat 72 yang dikatakan oleh Istri Nabi Ibrahim, beliau juga berkata ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula. Sudah jelas dalam hal ini Nabi Ibrahim beserta istrinya.
    73. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

    Kata-kata rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Adalah doa yang tidak hanya diperuntukkan untuk istri Nabi Ibrahim tetapi juga buat Nabi Ibrahim. Lahirnya Ishaq adalah rahmat bagi Ibrahim dan Istrinya dan mereka berdualah yang dimaksud sebagai Ahlul Bait. Bukankah hal ini cocok dengan penggunaan kata kum pada ayat tersebut yang berarti lafal tersebut untuk laki-laki atau laki-laki bersama perempuan.

    Lihatlah yang berkata kepada istri Fir’aun adalah saudari Musa yang tentunya dia merahasiakan bahwa Musa adalah saudaranya dan dia menunjukkan ahlul bait (ibu Musa) yang akan memeliharanya untuk istri Fir’aun. Tentunya jika yang dimaksud Ahlul Bait di situ adalah Ibu sebenarnya dari Musa atau yang berhubungan dengan keturunan maka akan ketahuanlah oleh istri Fir’aun bahwa Musa adalah anak dari ibu yang akan menyusuinya tersebut dan akan terbongkarlah identitas Musa sebenarnya dan hal ini bisa berbahaya bagi eksistensi Musa dan keluarganya saat itu. Tentunya tidaklah demikian yang dimaksud dari saudari Musa tsb dengan istilah ahlul bait ketika ia berbicara dengan istri Fir’aun, yang dimaksud ahlul bait di sini adalah ibu rumah tangga (household) atau istri dari seseorang yang tinggal bersama keluarganya di rumah yang akan memelihara Musa untuknya.

    Kata-kata nya seperti ini dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?.” Saudari Musa mengatakan Ahlul Bait bukan sedang menjelaskan status Ibu Nabi Musa sebagai Istri Imran. Silakan saja lihat di bagian mana dari ayat tersebut baik sebelum maupun sesudahnya yang menyebut nama Imran. Sudah jelas ayat tersebut bercerita tentang Ibu Musa. Disini saudari Musa menggunakan term ahlul bait karena merujuk kepada seorang wanita yang sudah memiliki anak yang dapat merawat bayi itu dengan baik. Selain itu pada akhir kata-katanya, saudari Musa menggunakan kata-kata mereka dapat berlaku baik kepadanya?. Hal ini berarti term ahlul bait juga mencakup ia sendiri sebagai saudari Musa. Istri Firaun memahami perkataan saudari Musa dengan anggapan bahwa Ahlul Bait disana adalah keluarga yang terdiri dari seorang Ibu dan anak yaitu Saudari Musa dan Ibunya. Dalam hal ini Saudari Musa tidak sedikitpun menyebutkan statusnya Ibunya sebagai Istri Imran tetapi sebagai Ibu yang sudah pernah merawat dan membesarkan anak dan beliau juga tidak sedang membuka identitas Ibu Musa yang sebenarnya. So term Ahlul Bait dalam Al Quran sangat berkaitan dengan nasab.

    Dengan logika ini saja asumsi anda terpatahkan…

    Silakan dilihat, anda belum mematahkan apapun :mrgreen:

    Baik, saya lihat anda masih mempersoalkan dan membedakan istilah “ahlu” dengan “ahlul bait”, marilah kita buat perbandingan:
    Istri-istri Nabi disebut dengan istilah “ahlu” : dalilnya dalam Al-Qur’an spt Thaha : 10, dalam hadits spt hadits kisa’ riwayat ahmad
    Istri-istri Nabi disebut dengan istilah “ahlul bait” : dalam Al-Qur’an spt : Huud : 73, Al-Ahzab:33, dalam hadits spt hadits riwayat Bukhari dan Muslim yg sudah saya sebutkan di atas.
    Anak-anak keturunan Nabi disebut dengan istilah “ahlu” : dalam Al-Qur’an spt Huud : 45
    Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.”

    Saya membahas penggunaan kata Ahlul Bait dalam Al Quran karena andalah yang mengangkat masalah itu pertama kali. Kata Ahlu salah satunya memiliki makna keluarga dan itu bisa berarti anak, istri dan kerabat dekat lainnya. Kata Ahlul Bait dalam Al Quran lebih spesifik sifatnya ia menyangkut kekerabatan yang diikat dengan nasab termasuk Istri yang sudah memiliki anak. Jadi seorang istri yang sudah memiliki anak dan anak-anak jelas tercakup dalam kata ahlu dan ahlul bait sedangkan Istri yang tidak memiliki anak(tidak diikat dengan nasab) hanya tercakup dalam term Ahlu. Tapi Mas anda hanya membuang-buang waktu membahas masalah ini. Saya tidak pernah menentang penggunaan term Ahlul Bait kepada istri Nabi. Komentar saya di atas hanya analisis saya mengenai term Ahlul Bait dalam Al Quran. Saya jelas menerima hadis shahih yang menyatakan bahwa Nabi SAW memanggil istri2 nya dengan sebutan Ahlul bait. Saya rasa Mas tidak memahami pandangan saya dengan baik. Saya mengatakan bahwa Istri-istri Nabi SAW jelas bukan Ahlul Bait dalam ayat tathhir. Sepertinya anda tidak mengerti bahwa Ahlul Bait dalam ayat tathhir adalah bersifat khusus dan pengkhususan ini dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan menyelimuti Ahlul Kisa’ dan mengatakan merekalah Ahlul Bait yang disucikan. Apalagi anda malah membawa ayat Al Mubahalah yang justru malah memperkuat pengkhususan Nabi SAW terhadap keluarga Beliau.

    Hadits riwayat Muslim
    Dalam peristiwa Mubahalah Nabi saw. memanggil Hasan dan Husain, Fathimah dan Ali ra .kemudian beliau mengatakan أللهم هؤلاء اهلي. “Ya Allah, mereka adalah Ahli (keluarga)ku”

    Hadis ini adalah konsekuensi dari perintah Ayat Mubahalah yang mana kedua belah pihak diperintahkan memanggil istri-istri dan anak-anaknya. Dan dalam hal ini hadis shahih telah menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dalam peristiwa Mubahalah. Beliau tidak memanggil istri-istrinya. Dengan melihat ayat Mubahalah secara sepintas maka akan dengan mudah seorang anak smp akan mengatakan bahwa Rasulullah SAW pasti memanggil Istri-istrinya dalam peristiwa Mubahalah tetapi dalil shahih telah menjelaskan bahwa Rasulullah SAW malah memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Bukankah istri-istri Nabi juga adalah Ahlu Nabi tapi mereka tidak satupun yang diajak bermubahalah. Berarti dalam hal ini Rasulullah SAW telah mengkhususkan bahwa keluarga Beliau yang diajak untuk bermubahalah hanyalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Sedangkan keluarga yang lain tidak diikut sertakan. Oleh karena itu hal ini menjadi keutamaan Ahlul Kisa’ yang cukup dikenal di kalangan sahabat. Sama seperti halnya ayat tathhir maka Ahlul Bait dalam ayat tersebut sudah dikhususkan oleh Nabi SAW teruntuk Ahlul Kisa’. Oleh karena itu saya kutip perkataan Mas Bagir berikut

    Sayyid Ali Al Sahmud, sbgmna dinukil oleh Sayid Alwi bin Thahir Al Haddad, berkata (Al Qaul Al Fashl, 2 /292-293) :
    ” Pendapat ini telah dipilih oleh jumhur ahli hadis karena telah datang dari empat belas sahabat Nabi Saww, yaitu Ali, Hasan, Husain, Abdullah bin Ja’far, Ibnu Abbas, Aisyah, Umu Salamh dan putranya, Watsilah, Anas, Sa’ad Abu Hamra, dan Ma’qiul. Riwayat2 tentangnya dapat digolongkan riwayat mutawatir secara kandungan. Dan ia juga dinukil dari Zainal Abidin, Al Baqir, dan Ash Shadiq, serta Mujahid dan Qatadah.”
    ”Dan menafsirkan ayat tersebut DERNGAN SELAIN Ahlul Kisa (mereka yg ditutupi dengn selimut oleh Nabi) TERTOLAK dan MENGADA-ADA (bid’ah). Dan yang membuktikan kesahihan pendapat jumhur dan menjelaskan kebatilan pendapat KAUM PENYIMPANG (pendapat kedua) adalah hadis sahih yang menyebutkan bahwa Nabi saww menolak (tidak mengizinkan) Aisyah dan Ummu Salamah untuk masuk bersama mereka kedalam selimut”
    ” Jadi pendapat yang mengatakan ayat tersebut KHUSUS untuk Ahlul Kisa saja telah diriwayatkan dari jalur yang shahih dari kelompok sahabat dan para ulama muhaqqiqin (yg tekun meneliti) shg seakan telah terjadi ijma”
    ”Al Muhaddist Hasan az Zaman dlm Al Qaul al Muhtahsan, menukil dari tafsir Asy Syihab Al Sahrudi, mengatakan ” Dan seluruh sahabat, selain Ibnu Abbas (mksdnya riwayat Ibn Abbas yg dr Ikrimah bks budaknya) berpendapat bahwa Ayat ini turun KHUSUS untuk Rasulullah saww, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Pendapat ini yang didukung oleh yang terbanyak, maka ia lebih unggul”

    kemudian kata-kata Mas

    Nah jelas, kalau kita lihat dalil-dalil di atas baik istri-istri Nabi maupun anak keturunan Nabi sama-sama di sebut “Ahlu” maupun “Ahlul Bait”. Jadi kalau anda mengatakan bahwa istri-isri Nabi adalah “Ahlu”, anak-anak Nabi pun disebut juga dengan “Ahlu”, kalau anda mengatakan bahwa anak keturunan Nabi adalah “Ahlul Bait”, istri-istri Nabipun dlm dalil2 di atas juga disebut “Ahlul Bait”. So what gitu loh?

    Lho silakan saja Mas, saya mah tidak menentang siapa yang disebut Ahlul bait. Pernyataan saya adalah Ahlul bait dalam ayat tathhir itu adalah ahlul kisa’ saja. Saya menafikan istri-istri nabi sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut karena banyak dalil shahih yang mengatakan begitu. Rasulullah SAW yang telah mengkhususkan siapa Ahlul Bait yang dimaksud sama hal nya Rasulullah SAW mengkhususkan siapa keluarga yang beliau ajak untuk bermubahalah. Lihat saja dalam tulisan saya disini, sudah jauh-jauh hari saya menulis ini Mas.

    Saya heran dengan pendapat anda di atas, Rasulullah memanggil semua istrinya dengan sebutan ahlul bait, dan ini adalah hal yg sangat jelas dan tidak bisa disangkal lagi menunjukkan bahwa istri-istri Rasulullah adalah juga ahlul bait beliau baik yang berketurunan ataupun yang tidak (ini mematahkan argumentasi anda bahwa ahlul bait hanya untuk term yg terikat nasab saja)

    Ketika saya berbicara Ahlul Bait sebagai term yang berkaitan dengan nasab saja maka ketika itu saya sedang membicarakan term Ahlul bait dalam Al Quran. Silakan dicek lagi Mas.

    dan istilah ini akan dipakai/disandang oleh mereka selamanya, dan tentunya tidak hanya pada saat itu saja, jika kemudian ada ayat turun yang konteksnya adalah untuk mereka dan bahkan dengan jelas Allah menyebut mereka “Ahlul Bait” bagaimana anda bisa mengatakan bahwa ayat tersebut tidak ada kaitan sedikitpun dengan mereka?

    Apa buktinya ayat tersebut turun untuk mereka? Mas tidak pernah bisa membuktikan ini. Tapi saya telah membuktikan bahwa Ayat Tathhir turun untuk Ahlul Kisa’. Hadis-hadis shahih telah menetapkan kalau penggalan Al Ahzab 33 yang disebut Ayat Tathhir jelas turun untuk Ahlul Kisa’ saja. Ada banyak riwayat yang menjelaskan tentang ini. Kalau Mas hanya mau mengandalkan akal Mas semata bahwa karena letaknya berurutan sehingga ayat tersebut sudah jelas untuk istri-istri Nabi maka banyak permasalahan yang tidak akan bisa Mas jawab. Seperti yang saya bilang urutan ayat telah mengkhususkan bahwa yang diajak bicara adalah istri-istri Nabi dan perintah dan larangan yang ditetapkan adalah khusus bagi wanita. Lantas mengapa anda bisa memasukkan Rasulullah SAW, Ali, Hasan dan Husain sebagai pribadi yang dituju pada ayat tersebut. Apakah Ali, Hasan dan Husain itu adalah istri-istri Nabi?.

    Jelas-jelas sesuatu yang dipaksakan. Dan anda begitu entengnya mengatakan “Tapi Mas saya tidak keberatan jika orang mau menyebutkan istri-istri Nabi sebagai Ahlul bait”. Mas yang menyebut mereka ahlul bait adalah Rasulullah sendiri bukan orang lain dan anda mengakui kesahihan hadits tsb, jadi anda ya memang ga boleh berat hati

    Saya memang nggak berat hati dan memang tidak keberatan. Berat hati yang pernah saya tulis jelas tertuju pada anda karena saya harus mengulang-ngulang penjelasan saya. Sejauh ini saya mengikuti alur pembahasan anda yang meluas kemana-mana sehingga saya membuat tulisan khusus tentang itu, bagi saya itu tidak masalah. Secara saya hanya menyampaikan tanggapan saja

    Sudah saya jawab, bahwa Al-Ahzab 33 berbeda dengan Al-Maidah:3, bagi saya hadits Tirmidzi tsb bukan untuk memisahkan ayat tersebut dari urutan dan konteks ayat yang ada tetapi merupakan penjelasan lebih luas terhadap makna ahlul bait di ayat tathhir.

    Baik Hadis yang menjelaskan asbabun nuzul Ayat Tathhir dan hadis yang menjelaskan asbabun nuzul al maidah ayat 3 sama-sama menyebutkan hanya bagian itu yang turun. Jadi tidak ada dasar untuk mengikutkan bahwa ayat sebelum maupun sesudahnya turun pula pada saat yang sama. Hal itu justru membuktikan penggalan ayat sebelum dan sesudahnya turun untuk peristiwa lain.

    kalau anda menganggap urutan ayat pada Al-Maidah : 3 tidak saling berhubungan, saya bisa memaklumi tetapi untuk Al-Ahzab : 33 urutannya sangat berhubungan, jadi sesuatu hal yang dipaksakan jika ingin memisahkan ayat tathhir dg urutan dan konteks ayat yg ada sebagaimana hal tidak masuk akal untuk memisahkan istilah ahlul bait dari konteks yg ada dalam surat Huud : 73, karena kedua ayat tsb sangat mirip.

    Saya memisahkan berdasarkan dalil atau hadis shahih, pendapat anda bahwa hadis tersebut sebagai penjelasan lebih luas makna Ahlul bait dalam ayat tathhir adalah keliru karena Ahlul bait dalam hadis yang dibicarakan itu sudah jelas dikhususkan bahkan Ummu Salamah sebagai istri Nabi SAW tidak diikutkan bersama mereka. So saya selalu berpegang pada hadis Shahih Mas. Dan Hadis riwayat Ahmad juga menjelaskan bahwa Ummu Salamah tidak ikut dalam doa yang lafaznya mirip dengan ayat tathhir tersebut. Tapi kedua hadis tersebut riwayat ahmad dan Tirmidzi sama-sama mengungkapkan keinginan Ummu Salamah untuk bersama Ahlul Kisa’ sebagai Ahlul Bait. Dari sini dapat dimengerti bahwa awalnya Ummu Salamah tidak meyakini bahwa Ia sebagai istri Nabi adalah ahlul bait dalam ayat tathhir. Mengenai surat Huud 73 maka bagi saya itu juga tidak masalah dan sedikitpun ayat tersebut tidak berkaitan dengan ayat tathhir. Intinya jelas kan Mas 

    Maaf itu hanya klaim saja dan siapapun bisa meng-klaim seperti itu.

    Dari awal kan yang mengklaim terus itu adalah Mas. Saya sudah membuktikan dengan hadis-hadis shahih mengenai pandangan saya. Saya juga telah membuktikan dengan teks-teks hadisnya mengenai pemahaman saya. Oleh karena itu saya berani berkata seperti itu. Anda tidak memahami hadis Sunan Tirmidzi dan Hadis Ahmad yang anda bawa. Padahal hadis tersebut telah membatalkan pendapat anda dalam masalah ini. Siapa yang Cuma mengklaim sangat jelas terlihat dari siapa yang sebenarnya bersandar pada teks hadis yang dibawa dan siapa yang bersandar pada asumsi-asumsi sendiri.

    Di tempat lain anda berprinsip bahwa dalam membahas suatu hadits perlu dikumpulkan jalan-jalannya.

    Mengapa anda harus melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Anda mengatakan sesuatu seolah-olah anda mengerti apa yang anda katakan. Tetapi kenyataannya anda sendiri tidak memahami dengan baik maksud dari mengumpulkan jalan-jalannya. Lihat saja pada pembahasan anda soal hadis 73 golongan dengan kata-kata bahwa yang selamat itu adalah yang para sahabatku ada di atasnya. Hadis dengan matan ini jelas dhaif dan matan ini hanya diriwayatkan oleh dua sanad yang dhaif sedangkan matan berpecah belah menjadi 73 golongan adalah matan yang diriwayatkan dengan banyak sanad. Kalau anda mau pukul rata dengan menggabungkan seenaknya matan dhaif dengan matan yang mutawatir itu maka saya katakan anda telah melakukan tadlis alias campur aduk dan sudah jelas salah. Ketika saya membahas ayat tathhir saya mengumpulkan hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat tathhir bukan hadis-hadis lain yang tidak ada hubungannya sama sekali. Seharusnya anda sadar bahwa hadis riwayat ahmad itu sudah saya ketahui sebelum anda menyampaikannya. Oleh karena itu saya dengan sigap langsung menyampaikan kekeliruan yang anda buat. Apakah anda sendiri sudah melihat hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat tathhir selain hadis Tirmidzi dan hadis riwayat Ahmad yang anda bawa.

    Dan tentang hadits yg menurut anda masih diperselisihkan sanadnya, di sini saya memilih pendapat yang menshahihkan hadits tsb sebagaimana anda memilih pendapat yang menshahihkan hadits asbabun nuzul surat Al-Wilayah yaitu kisah tentang Ali yang menyedekahkan cincinnya ketika sedang rukuk

    Soal pilihan anda ya terserah, mau seenaknya kah atau mau berpegang pada metode Ilmu Hadis(mau dikemanakan itu kaidah Jarh didahulukan dibanding ta’dil) atau mau bertaklid maka itu jelas bukan urusan saya. Hanya saja saya agak sedikit tidak terima dengan penyamaan bahwa anda seenaknya memilih sama halnya saya menshahihkan hadis asbabun nuzul Ayat Al Wilayah. Sudah jelas ada perbedaan mendasar, analisis saya didukung oleh adanya riwayat yang menolak Inqitha’ sanad tersebut. Sedangkan pilihan anda, bagi saya tidak ada dasarnya sama sekali, hanya karena ada yang menghasankan hadis tersebut(memangnya siapa yang menshahihkan hadis tersebut Mas).

    Andaikan tanpa keterangan apapun mengenai ayat tersebut, orang awwam pun sudah langsung bisa mengetahui bahwa ayat tsb turun untuk istri-istri Nabi, apalagi kalau mereka mau melihat ayat-ayat lain yang relevan, dan hadits-hadits lainnya.

    Sama halnya dengan ayat Mubahalah, orang awam akan langsung mengira bahwa Rasulullah SAW akan memanggil istri-istrinya untuk bermubahalah tapi kenyataannya Hadis Shahih menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husain untuk bermubahalah. Bagi saya pribadi Apa yang Rasulullah SAW tafsirkan jauh lebih utama daripada tafsiran orang awam :mrgreen:

    Maaf saya belum mendapat kesempatan untuk membuka kitab yang anda sebutkan di atas jadi saya belum bisa berkomentar banyak,

    Memangnya sejauh ini apakah anda benar-benar melihat kitab yang anda rujuk?. Sejauh kita diskusi saya menduga Mas mengutip hadis yang Mas bawa seperti riwayat Ahmad tidak dari kitab Aslinya. Buktinya Mas berulang kali menyampaikan penulisan hadis yang keliru dan pemotongan kutipan hadis tersebut. Begitu pula mengenai Kitab Tuhfatul Ahwazi yang anda sebutkan, anda juga tidak menuliskan kutipan itu dengan sempurna. Walaupun begitu itu juga bukan urusan saya.

    tetapi timbul pertanyaan pada diri saya, mengapa anda tidak cantumkan juga riwayat dari Imam Bukhari di Tarikh Al-Kabir? Jika sanadnya telah disebutkan oleh beliau mengapa Imam Bukhari hanya mencantumkan sedikit penggalan dari hadits tsb?

    Apa anda pernah melihat Kitab Tarikh Al Kabir?, kitab itu bukan kitab hadis tetapi kitab tentang biografi perawi hadis. Terkadang dalam menjelaskan salah satu perawi hadis Imam Bukhari menyebutkan juga sanad hadis yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dengan sedikit potongan matan hadis tersebut. Karena dalam hal ini Bukhari tidak sedang menjelaskan hadisnya tapi menjelaskan siapa perawi dalam sanad hadis tersebut. Lagipula Mas sepertinya kata-kata sedikit pengalan dari hadis tersebut justru anda tahu dari apa yang saya tulis. Saya tidak tahu dimana letak masalahnya. Bagi saya pribadi justru hadis- hadis seperti ini menunjukkan bahwa Hadis Tirmidzi itu mengkhususkan Ayat Tahhir untuk Ahlul Kisa’ dan bukan seperti penjelasan anda. Ketidaktahuan anda maka saya katakan itu adalah urusan anda sendiri dan saya sudah menyampaikan apa yang seharusnya saya sampaikan 

    Mas anda boleh pegang metode anda yaitu berpegang pada text hadits secara tekstual, itu hak anda dan sah-sah saja (jadi ingat kisah anak kecil yang suka minum teh botol sosro ).

    Saya juga teringat cerita soal orang tua yang keras kepala dan hanya bisa mengklaim bahwa teh itu adalah teh botol sosro hanya untuk menenangkan anaknya. Padahal anaknya sudah cukup besar untuk membedakan rasa teh sosro dan teh yang lain. Anak tersebut sudah berulang kali minum teh sosro sehingga ia tahu kalau orang tuanya berbohong :mrgreen:

    Tetapi anda seharusnya paham bahwa hadits itu bukan ayat Al-Qur’an yang sudah baku dan ma’sum text-nya, hadits banyak periwayatnya, kadang dalam menyampaikan hadits, perawi bisa berbeda redaksi dengan perawi yang lain walaupun maksudnya sama dan sumber mereka juga sama.

    Saya teringat dengan Poirot yang mengatakan bahwa ajaklah seorang pembunuh untuk terus berbicara maka ia akan terus berbicara banyak hal hingga ia tidak sadar kalau kata-katanya justru menyerang dirinya sendiri. Anda tidak perlu mengatakan hal yang seperti itu, karena kita berbicara dalam kerangka metode Mas. Lantas apa gunanya semboyan popular bahwa Hadis sebagai penjelas Al Quran. Bukankah Hadis shahih Bukhari telah berhasil memisahkan almaidah ayat 3 jadi mengapa pula anda mempermasalahkan ayat tathhir. Hadis riwayat Ahmad yang anda bawa sudah jelas tidak memuat satupun kata-kata tentang turunnya ayat tathhir.

    Contoh di dalam hadits kisa’ ini yang sumbernya adalah sama yaitu Ummu Salamah. Dalam hadits Tirmidzi, yang meriwayatkan setelah Ummu Salamah adalah Umar bin Abi Salamah sedangkan di dalam hadits Ahmad yang meriwayatkan setelah Ummu Salamah adalah Syahr bin Hausab.

    Dan seandainya terjadi perbedaan seperti yang anda maksud maka seharusnya anda mentarjih riwayat Umar bin Abu Salamah karena Syahr bin Hausab sendiri diperselisihkan kedudukannya.

    Sehingga bisa dimaklumi jika terdapat perbedaan redaksi diantara kedua hadits tsb. Tetapi yang jelas di dalam kedua hadits tersebut terdapat persamaan yang esensial yang dimuat, yaitu peristiwa penyelimutan Nabi terhadap keluarga Fatimah ra dan do’a beliau untuk mereka.

    Dan seharusnya anda juga melihat kedua hadis tersebut esensinya juga sama yaitu menolak bahwa Ummu Salamah bersama mereka Ahlul Kisa’ sebagai Ahlul Bait dalam ayat Tathhir.

    Maka akal kita akan langsung bisa menerima jika sebenarnya peristiwa yang diceritakan oleh kedua hadits tersebut adalah peristiwa yang sama, di rumah yang sama dan di waktu yang sama. Di sinilah diperlukan para ulama hadits untuk mensinkronkan kedua hadits tersebut jika terdapat perbedaan pada redaksinya dan kemudian mengambil kesimpulan dari-nya. Jadi bagi saya kedua hadits tsb menceritakan peristiwa yang sama.

    Lha peristiwanya memang sama tetapi waktunya saja yang berlainan(menurut saya), dan pernyataan ini berlandaskan teks hadisnya sendiri yang memang tidak menyebutkan asbabun nuzul ayat tathhir. Lagi-lagi sayalah yang berpegang pada teks hadisnya dan anda kembali berkeras pada asumsi anda sendiri bahwa hadis riwayat ahmad adalah asbabun nuzul ayat tathhir. Seandainya saya menuruti asumsi anda pun maka tetap saja pada saat itu Ummu Salamah tidak termasuk dalam doa yang merupakan satu-satunya yang memiliki kaitan dengan Al Ahzab ayat 33. Apakah anda memahami bahwa hadis riwayat ahmad tidak bersama dengan pandangan anda.

    Baik, di dalam hadits tersebut Rasulullah mengiyakan bahwa Ummu Salamah adalah Ahlu (keluarga) beliau, tetapi ketika Rasulullah berdo’a untuk keluarga Fathimah beliau juga menyebut mereka sebagai “Ahlu” beliau di baris pertama, dan di baris ke dua dan ketiga beliau menyebut mereka “ahlul bait”, hal ini menunjukan bahwa kedua istilah tersebut sebenarnya maknanya tidaklah berbeda yaitu keluarga Rasulullah baik sebagai istri maupun keluarga berdasarkan nasab.

    Perhatikan hadisnya Mas, Ahlu dalam doa Nabi yang pertama ditujukan buat Ahlul Kisa’ bukan Ummu Salamah, sedangkan pernyataan Rasulullah SAW hanyalah menjawab bahwa Ummu Salamah memang adalah ahlu beliau dan tidak tercakup dalam doa tersebut. Karena Ummu Salamah sendiri mengakui bahwa ia tidak bersama Ahlul Kisa’ dalam doa Rasul SAW tersebut. Nah itu kan intinya

    Jika anda mengatakan bahwa hadits di atas tidak memuat sedikitpun hujjah bahwa Al-Ahzab : 33 turun untuk istri-istri Nabi SAW, maka sekali lagi menurut saya terlalu dipaksakan.

    Yang maksa itu kan adalah orang yang membuat asumsi-asumsi sendiri padahal teksnya tidak menyebutkan soal itu. Apakah anda mengakui kalau Hadis riwayat Ahmad tidak menyebutkan soal asbabun nuzul ayat tathhir? Jika anda mengakui maka sudah jelas penjelasan saya tidak maksa tapi benar-benar berlandaskan pada teks hadisnya. Dan jika anda mau berkeras bahwa Doa tersebut berkaitan dengan ayat tathhir maka saya katakan Ummu Salamah tetap tidak bersama mereka dalam doa tersebut.

    Mengenai tidak didoakan Ummu Salamah dalam riwayat tersebut, sudah saya jawab berkali-kali karena beliau sudah dalam kebaikan (hadits Tirmidzi) dengan turunnya ayat tathhir tsb kepada istri-istri Nabi

    Lagi-lagi anda keliru dalam hal ini, hadis Sunan Tirmidzi tidak pernah menyatakan dengan turunnya ayat tathhir tsb kepada istri-istri Nabi. Itu kan kata-kata anda sendiri, kata-kata dalam sunan Tirmidzi adalah dalam kebaikan yang anda artikan seenaknya bahwa itu berarti Ayat tathhir turun untuk Ummu Salamah. Sungguh cara menarik dalil yang lebih pantas disebut maksa dan anehnya cukup membuat saya merasa kasihan.  Padahal sudah jelas Ummu Salamah sendiri tidak pernah memahami bahwa ayat tathir turun untuknya selaku istri Nabi, bahkan sampai saat Ummu Salamah meriwayatkan hadis tersebut sedikitpun ia tidak pernah menyinggung bahwa ayat tersebut turun untuknya dan sebaliknya ia meyakini bahwa ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’.

    Semoga mas SP tidak bosan dengan komentator model kyk saya ini&lt

    .
    Gapapa kok Mas, saya sudah biasa berdiskusi dengan orang-orang seperti anda dan seperti biasa saya hanya mengulang kembali apa yang sudah saya bicarakan.
    Kalau anda tidak keberatan saya mengajukan syarat, sebelumnya saya selalu menanggapi semua komentar yang Mas tulis tetapi Mas tidak membahas semua jwaban saya. Hal ini musykil bagi saya, apakah Mas setuju atau tidak setuju dengan jawaban saya tersebut. Saya menyadari bahwa mengapa saya seringkali mengulang2 apa yang saya katakan karena saya sudah menyampaikan sebelumnya tapi tidak ditanggapi oleh Mas. Jadi untuk berikutnya saya ingin setiap jawaban saya anda tanggapi, baik dengan setuju, tidak setuju atau no commen. Jadi arah diskusi ini jelas mau kemana. Ok terimakasih
    Salam 🙂

  28. Buat mas SP;
    Semoga mas tetap istiqamah dan diberikan tambahan kesabaran 🙂

    Buat mas Bims;
    Semoga mas tidak lagi membuat asumsi-asumsi yang tidak berdasar, mulai konsisten dengan pernyataan mas, mulai fokus dan tidak berlari-lari tanpa arah yg jelas 🙂

    Salam

  29. Pertanyaannya adalah: Apakah kita sedang mempertahankan kebenaran yang kita yakini, ataukah kita sedang mencari kebenaran.
    Semua kriteria bagi Ahlul Bayt (Imam Ali a.s., Sayyidah Fatimah a.s., Imam Hasan a.s., Imam Husein as.), semua dalil/nash sudah terpenuhi untuk mereka menjadi panutan, pemimpin, kecintaan kita, ditambah lagi dengan kedekatan hubungan mereka kepada Rasulullah, Kecintaan Rasulullah kepada mereka, kemuliaan akhlak mereka, sepertinya jikalau pun tidak ada perintah eksplisit untuk mencintai, meneladani, berpedoman kepada mereka, maka tetap saja kita akan melakukannya.
    Jika Nabi Ibrahim tidak cukup diberi kemuliaan sebagai seorang Nabi, sehingga beliau diangkat menjadi seorang Imam dan diberi kemuliaan keturunan2 beliau (yang tidak dzalim) pun mendapat kemuliaan tsb.
    Jika Allah secara khusus memerintahkan Rasulullah utk tidak meminta imbalan atas Risalah yang beliau sampaikan kecuali kecintan umat Islam atas keluarga beliau.
    Ketika Allah memberikan kemuliaan kepada beliau dengan perintah agar umat Islam bershalawat kepada beliau & keluarga beliau, tanpa terkecuali bahkan pada saat kita berhubungan (shalat) kepada Allah. Dan Allah bahkan meninggikan derajat/nilai shalawat ini dengan menyatakan bahwa Allah dan Malaikat pun melakukan shalawat.
    Ketika terhubungnya kita kepada Allah diharuskan melalui terhubungnya kita kepada Rasulullah, dan terhubungnya kita kepada Rasulullah dengan mensyaratkan terhubungnya kita kepada keluarganya.
    Ketika semua ini belum cukup bagi kita untuk menerima mereka sebagai pedoman kita, maka tidak heran mengapa bangsa Yahudi begitu bebal, begitu sombong, begitu dengki dan begitu ingkar kepada Allah.

    Semua adalah pilihan bagi kita, dan sayangnya memang pilihan2 seperti ini selalu akan menghadirkan Nafs & Iblis sebagai batu sandungan yang menutup kejernihan kebenaran tsb.

    Wassalam

  30. @atasku

    Ketika Allah memberikan kemuliaan kepada beliau dengan perintah agar umat Islam bershalawat kepada beliau & keluarga beliau, tanpa terkecuali bahkan pada saat kita berhubungan (shalat) kepada Allah. Dan Allah bahkan meninggikan derajat/nilai shalawat ini dengan menyatakan bahwa Allah dan Malaikat pun melakukan shalawat.

    Setuju mas… siip dah!…. 🙂

  31. Salam Alaykum

    @bims
    “Semoga mas SP tidak bosan dengan komentator model kyk saya ini&lt”

    Mas bims, Insya Allah mas SP punya kesabaran di atas rata2 sehingga tidak akan pernah bosan meladeni orang2 seperti mas bims. Yang kami takutkan saya dan orang2 yang maqam-nya jauh dibawah mas SP, jadi gak sabar & gregetan, menyimak pernyataan/komentar yang mbulet, tidak fokus dan kadang keluar topik”

  32. […] sendiri sudah membahas panjang lebar mengenai hal ini dalam berbagai tulisan. ini salah satunya Ayat Tathir Khusus Untuk Ahlul Kisa’ Ketua Departemen Dakwah DPP Wahdah ini sambil memegang laptop yang dilengkapi dengan program […]

  33. Waduh ribet euy.
    Gw dah baca sekilas nih, sekilas doang coz ribet sih maklumlah maqam gw msh rendah. K’lo yg gw tangekp nih yah :
    1. Ahlul bait (penghuni rumah) itu bisa berdasarkan nasab, seagaimana dalil 33:33 dan hadis 2x penjelasnya (Tirmidzi keq, apa keq lupa dh gw, maklumlah ribet euy).
    2. Ahlul bait berdasarkan istri 2x nabi seperti ayat Al-Qur’an yg di bawa oleh Bims.

    Nah persamaannya dan perbedaannya apa ?
    Persamaannya : keduanya sama 2x bergelar ahlul bait coz ahlul bait artinya penghuni rumah.
    Perbedaannya : Ahlul Bait no 1 (Ahlul Kisa) DISUCIKAN atw dicegah dari kotoran sesuai dgn dalil, sdgkn ahlul bait no 2 TIDAK DISUCIKAN (gw blm liat nashnya tuh). Ini sesuai dgn fakta sejarah bhw ada istri 2x nabi yg melawan perintah suaminya seperti Aisyah (ups, sori yah bwt wahabi dan aswaja), istri nabi Luth, trus nabi Nuh jg yah…?

    Matiin cahayanya, hemat listrik dong, hehehe…piss 3x

Tinggalkan komentar