Shahih Muawiyah Mencela Imam Aliy : Bantahan Atas Kejahilan Toyib Mutaqin

Shahih Muawiyah Mencela Aliy : Bantahan Atas Kejahilan Toyib Mutaqin

Masih menanggapi tulisan dari orang jahil yang sama yaitu Toyib Mutaqin. Kali ini kami akan menanggapi tulisan yang ia buat dengan judul “Syubhat Syi’ah Secondprince Mu’awiyah Mencela Aliy”. Dari judulnya saja sudah terlihat tingkah buruknya yang memfitnah kami sebagai “Syi’ah”. Seolah ia ingin mengesankan kepada para pembaca bahwa hanya Syi’ah yang mengatakan Mu’awiyah Mencela Aliy.

Padahal para pembaca yang objektif akan melihat bahwa hadis-hadis dalam kitab Ahlus Sunnah telah menyatakan hal tersebut. Para pembaca dapat melihatnya dalam dua tulisan kami sebelumnya

  1. Riwayat Mu’awiyah Mencela Imam Aliy [‘alaihis salaam] Adalah Shahih
  2. Shahih Mu’awiyah Mencela Imam Aliy : Bantahan Bagi Nashibiy

Boleh-boleh saja kalau orang ini tidak setuju dengan tulisan kami tersebut tetapi ia tetap tidak punya dasar sedikitpun untuk menuduh kami Syi’ah. Jika ada diantara pembaca yang ingin melihat tulisannya maka dapat membacanya disini

http://muttaqi89.blogspot.com/2014/12/syubhat-syiah-muawiyah-mencela-ali.html

Berikut kami akan mengungkap kejahilan Toyib Mutaqin dan silakan bagi para pembaca untuk menelaahnya dengan objektif menimbang sesuai dengan kaidah ilmu. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi pembaca, adapun untuk orang jahil tersebut, tidak ada yang kami harapkan darinya bahkan bisa jadi setelah membaca tanggapan kami, ia malah akan bertambah kejahilannya [karena penolakannya terhadap kebenaran].

.

.

.

.

Syubhat Hadis Riwayat Muslim

Kami akan mulai dengan membahas terlebih dahulu hadis dalam Shahih Muslim. Orang jahil ini sok bergaya seperti ahli hadis ingin melemahkan atau paling tidak membuat keraguan riwayat dalam Shahih Muslim. Ia berkata

Imam Muslim meriwayatkan hadits tersebut dari lima jalur, tidak ada yang menyebutkan lafadz: (أَمَرَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سَعْدًا) “Mu’awiyah bin Abi Sufyan memerintah Sa’ad mencaci Ali!?” kecuali riwayat Bukair bin Mismaar. Periwayatan haditsnya sedikit lemah dan menyalahi riwayat yang lebih kuat. Imam Bukhari mengatakan: Hadisnya ada sedikit kejangalan (fiihi nadzar). Adz-Dzahabiy mengatakan: Ada sesuatu (kelemahan dalam riwayatnya) Lihat: At-Taarikh Al-Kabiir karya Imam Bukhariy 2/115, Adh-Dhu’afaa’ Al-Kabiir karya Al-‘Uqailiy 1/150, Al-Kaamil karya Ibnu ‘Adiy 3/42, Al-Kaasyif karya Ad-Dzahabiy 1/276,

Kelima jalur yang dimaksudkan orang itu dapat dilihat dalam Shahih Muslim 4/1870 no 2404 [tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy]. Dan jika diamati kelima jalur sanad tersebut maka sanadnya terdiri dari

  1. Riwayat Sa’id bin Al Musayyab dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash dari Ayahnya secara marfu’ tentang hadis manzilah
  2. Riwayat Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash dari Ayahnya secara marfu’ tentang hadis manzilah
  3. Riwayat Sa’d bin Ibrahim dari Ibrahim bin Sa’d dari Sa’d secara marfu’ tentang hadis manzilah
  4. Riwayat Bukair bin Mismaar dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash dari Ayahnya yang menyebutkan kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d, kemudian Sa’d menyebutkan tiga keutamaan Imam Aliy [salah satunya adalah hadis manzilah]

Riwayat-riwayat selain riwayat Bukair bin Mismaar hanya menyebutkan tentang hadis manzilah saja tanpa menyebutkan sebab atau kisah apapun, hanya lafaz marfu’ hadis manzilah. Sedangkan hadis Bukair bin Mismaar menyebutkan kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d yang menyebabkan Sa’d menyebutkan hadis tiga keutamaan Imam Aliy diantaranya hadis manzilah.

Dengan kata lain tidak ada qarinah [petunjuk] bahwa riwayat-riwayat lain tersebut berasal dari kisah yang sama dengan riwayat Bukair bin Mismaar. Bisa saja Sa’d bin Abi Waqqash di saat yang lain [selain pertemuannya dengan Muawiyah] menceritakan hadis manzilah kepada anak-anaknya. Jadi tidak ada disini bukti atas tuduhan orang jahil tersebut bahwa Bukair bin Mismaar menyalahi riwayat yang lebih kuat.

Bukair bin Mismaar adalah perawi yang tsiqat. Berikut akan dibahas secara rinci pandangan ulama terhadapnya. At Tirmidziy berkata

حدثنا قتيبة حدثنا حاتم بن إسماعيل عن بكير بن مسمار هو مدني ثقة

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma’iil dari Bukair bin Mismaar dan ia orang Madinah yang tsiqat…[Sunan Tirmidzi 5/225 no 2999]

Al Ijliy berkata “Bukair bin Mismaar orang Madinah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 1/254 no 179]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata

بكير بن مِسْمَار أَخُو مهَاجر بن مِسْمَار مولى سعد بن أَبى وَقاص من أهل الْمَدِينَة كنيته أَبُو مُحَمَّد يروي عَن عَامر بن سعد بْن أَبِي وَقاص روى عَنهُ حَاتِم بن إِسْمَاعِيل وَلَيْسَ هَذَا ببكير بن مِسْمَار الَّذِي يروي عَن الزُّهْرِيّ ذَاك ضَعِيف وَمَات بكير هَذَا سنة ثَلَاث وَخمسين وَمِائَة

Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar maula Sa’d bin Abi Waqqash dari penduduk Madinah, kuniyah Abu Muhammad, ia meriwayatkan dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash dan meriwayatkan darinya Haatim bin Isma’iil, ia bukanlah Bukair bin Mismaar yang meriwayatkan dari Az Zuhriy, [Bukair] ini seorang yang dhaif, wafat Bukair pada tahun 153 H [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 6/105-106 no 6917]

Kemudian dalam Al Majruhin, Ibnu Hibban memasukkan nama Bukair bin Mismaar dan mengatakan bahwa ia Syaikh yang meriwayatkan dari Az Zuhriy dan meriwayatkan darinya Abu Bakr Al Hanafiy sebagai perawi dhaif, adapun Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar adalah seorang yang tsiqat [Al Majruuhin Ibnu Hibban 1/222 no 145]

Daruquthniy berkata tentang Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar bahwa ia tsiqat [Ta’liqaat Daaruquthniy ‘Ala Al Majruuhiin hal 61/62]

Orang itu mengutip Al Bukhariy yang katanya melemahkan Bukair bin Mismaar. Inilah yang disebutkan Bukhariy

بكير بن مسمار أخو مهاجر مولى سعد بن أبي وقاص القرشي المديني قال لي أحمد بن حجاج وإبراهيم بن حمزة حدثنا حاتم عن بكير عن عامر بن سعد عن سعد سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يحب الله ورسوله أو يحبه الله ورسوله فتطاولنا فقال ادعوا عليا وسمع الزهري روى عنه أبو بكر الحنفي فيه بعض النظر أبو بكر

Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir maula Sa’d bin Abi Waqqash Al Qurasyiy Al Madiiniy. Telah berkata kepadaku Ahmad bin Hajjaaj dan Ibrahim bin Hamzah yang berkata telah menceritakan kepada kami Haatim dari Bukair dari ‘Aamir bin Sa’d dari Sa’d yang mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada hari Khaibar “Aku akan memberikan panji ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai Allah dan Rasul-Nya maka kami berharap untuk mendapatkannya”. kemudian Beliau berkata “Panggilkan Aliy”. [Bukair] mendengar dari Az Zuhriy dan meriwayatkan darinya Abu Bakr Al Hanafiy, dalam sebagian hadisnya perlu diteliti kembali [Tarikh Al Kabir 2/115 no 1881]

Apa yang dikatakan Al Bukhariy terhadap Bukair bin Mismaar adalah terbatas pada hadisnya dari Az Zuhriy yang diriwayatkan oleh Abu Bakr Al Hanafiy. Ibnu Adiy setelah mengutip jarh Bukhariy tersebut, ia mengatakan tidak menemukan adanya hadis mungkar dari Bukair bin Mismaar dan di sisinya Bukair bin Mismaar hadisnya lurus [Al Kamil Ibnu ‘Adiy 2/216 no 279].

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Ibnu Hibban telah membedakan Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar dengan Bukair bin Mismaar yang mendengar dari Az Zuhriy dan meriwayatkan darinya Abu Bakr Al Hanafiy. Yang pertama tsiqat dan yang kedua dhaif. Sedangkan Al Bukhariy menganggap keduanya perawi yang sama. Ibnu Hajar berkata dalam biografi Bukair bin Mismaar setelah mengutip perkataan Ibnu Hibban

قلت وأما البخاري فجمع بينهما في التاريخ لكنه ما قال فيه نظر الا عند ما ذكر روايته عن الزهري ورواية أبي بكر الحنفي عنه

Aku [Ibnu Hajar] berkata “adapun Al Bukhariy telah menggabungkan keduanya dalam kitab Tarikh [Al Kabir], akan tetapi tidaklah ia mengatakan “fiihi nazhar” kecuali hanya pada riwayatnya [Bukair] dari Az Zuhriy dan riwayat Abu Bakr Al Hanafiy yang meriwayatkan darinya” [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/455-456 no 916]

Ibnu Hajar lebih merajihkan apa yang dikatakan Ibnu Hibban, oleh karena itu dalam Taqrib At Tahdziib ia telah membedakan keduanya, Ibnu Hajar berkata

بكير بن مسمار الزهري المدني أبو محمد أخو مهاجر صدوق من الرابعة مات سنة ثلاث وخمسين

Bukair bin Mismaar Az Zuhriy Al Madiiniy Abu Muhammad saudara Muhaajir seorang yang shaduq termasuk thabaqat keempat wafat pada tahun 153 H [Taqriib At Tahdzib 1/138]

بكير بن مسمار آخر يروي عن الزهري ضعيف من السابعة

Bukair bin Mismaar [yang lain] meriwayatkan dari Az Zuhriy, seorang yang dhaif termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdzib 1/138]

Adapun Adz Dzahabiy telah berkata tentang Bukair bin Mismaar “ada sesuatu tentangnya” [Al Kasyf 1/276 no 648]. Sebenarnya Adz Dzahabiy juga menta’dilkan Bukair bin Mismaar. Adz Dzahabiy berkata dalam Diiwaan Adh Dhu’afa “Bukair bin Mismaar seorang yang shaduq dan dilemahkan oleh Ibnu Hibban” [Diiwaan Adh Dhu’afa no 658]. Adz Dzahabiy juga mengatakan hal yang sama dalam kitabnya Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 57.

Telah ditunjukkan bahwa hal ini keliru, Ibnu Hibban justru menyatakan Bukair bin Mismaar tsiqat sedangkan perawi yang dilemahkan oleh Ibnu Hibban adalah Bukair bin Mismaar yang meriwayatkan dari Az Zuhriy. Anehnya dalam Mizan Al I’tidaal, Adz Dzahabiy malah menukil tautsiq dari Ibnu Hibbaan, setelah menukil jarh Bukhariy [Mizan Al I’tidaal Adz Dzahabiy 2/68 no 1312]. Maka hal paling mungkin yang dimaksudkan Adz Dzahabiy “tentang sesuatu” tersebut tidak lain adalah jarh Bukhariy.

Kesimpulannya adalah satu-satunya kelemahan yang dinisbatkan pada Bukair bin Mismaar adalah jarh Bukhariy pada sebagian hadisnya yaitu hadisnya dari Az Zuhriy dan yang diriwayatkan dari Abu Bakr Al Hanafiy. Jika memang ia adalah orang yang sama maka jarh ini tidak membahayakan hadis Muslim di atas karena hadis tersebut bukan riwayatnya dari Az Zuhriy.

Tetapi kami lebih merajihkan bahwa Bukair bin Mismaar yang meriwayatkan dari Az Zuhriy adalah perawi yang berbeda dengan Bukair bin Mismaar yang tsiqat sebagaimana dikatakan Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar. Apalagi Ibnu Adiy telah bersaksi bahwa ia tidak menemukan hadis Bukair bin Mismaar yang mungkar maka hal ini qarinah menguatkan bahwa Bukair yang dhaif dan hadisnya bermasalah adalah perawi yang berbeda dengan Bukair bin Mismaar yang tsiqat.

Dengan demikian lafadz tersebut lemah dan mungkar

Dan sepertinya lafadz tambahan tersebut adalah perkataan Bukair, sebab jika itu adalah perkataan Sa’ad maka lafadznya akan seperti ini: “Mu’awiyah memerintahkan aku”.

Buktinya pada riwayat Al-Hakim, Bukair bin Mismaar tidak menyebutkan lafadz tersebut. [Mustadrak Al-Hakim 3/117 no.4575]

Lafaz itu bukanlah perkataan Bukair. Orang ini hanya mengada-adakan sesuatu tanpa dasar bukti. Disini ia ingin mengesankan lafaz tersebut adalah idraaj [sisipan] dari Bukair bin Mismaar. Kami katakan padanya wahai jahil silakan belajar terlebih dahulu ilmu hadis kaidah yang digunakan untuk dapat membuktikan suatu lafaz sebagai idraaj.

Idraaj dalam hadis harus ditetapkan dengan bukti riwayat yang jelas bukan dengan sesuka hati. Jika tidak ada qarinah yang menunjukkan hal lain maka lafaz itu berdasarkan sanad Muslim dalam Shahih-nya adalah milik Sa’d bin Abi Waqqash [radiallahu ‘anhu]. Atau lafaz tersebut milik ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash sebagaimana tampak dalam riwayat Nasa’iy [dan dalam hal ini ‘Aamir bin Sa’d terkadang menisbatkan lafaz tersebut pada ayahnya sebagaimana nampak dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi]

أخبرنا قتيبة بن سعيد وهشام بن عمار قالا حدثنا حاتم عن بكير بن مسمار عن عامر بن سعد بن أبي وقاص قال أمر معاوية سعدا

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid dan Hisyaam bin ‘Ammaar, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Haatim dari Bukair bin Mismaar dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash yang berkata Mu’awiyah memerintahkan Sa’d…[Sunan Nasa’iy Al Kubra 7/410 no 8342]

Maka penjelasan yang masuk akal disini adalah ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash menyaksikan peristiwa tersebut yaitu kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d. Oleh karena itu terkadang ia menisbatkan hadis itu kepada Ayahnya dan terkadang menceritakan seolah menyaksikannya sendiri.

Adapun riwayat Al Hakim yang disebutkan olehnya maka sanadnya dapat dilihat sebagai berikut

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا محمد بن سنان القزاز ثنا عبيد الله بن عبد المجيد الحنفي
وأخبرني أحمد بن جعفر القطيعي ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثني أبي ثنا أبو بكر الحنفي ثنا بكير بن مسمار قال : سمعت عامر بن سعد يقول قال معاوية لسعد بن أبي وقاص رضي الله عنهما ما يمنعك أن تسب ابن أبي طالب

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbaas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinaan Al Qazaaz yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin ‘Abdul Majiid Al Hanafiy dan telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Ja’far Al Qathii’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Al Hanafiy  yang berkata telah menceritakan kepada kami Bukair bin Mismaar yang berkata aku mendengar ‘Aamir bin Sa’d mengatakan Mu’awiyah berkata kepada Sa’d bin Abi Waqqaash “apa yang mencegahmu untuk mencaci Ibnu Abi Thalib”…[Al Mustadrak Al Hakim 3/117 no 4575]

Sanad pertama dhaif karena Muhammad bin Sinaan ia dikatakan Ibnu Hajar seorang yang dhaif [Taqriib At Tahdziib 2/83]. Sanad kedua yang berujung pada Abu Bakr Al Hanafiy dari Bukair dari ‘Aamir bin Sa’d adalah shahih dimana Abu Bakr Al Hanafiy yaitu ‘Abdul Kabiir bin ‘Abdul Majiid seorang yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/610].

Lafaz “Mu’awiyah memerintah Sa’d” ada dalam riwayat Haatim bin Ismaa’iil dari Bukair bin Mismaar sedangkan dalam riwayat Abu Bakr Al Hanafiy dari Bukair bin Mismaar lafaz tersebut tidak ada. Haatim bin Ismaa’iil seorang yang tsiqat. Ibnu Sa’d berkata tentangnya “tsiqat ma’mun banyak meriwayatkan hadis” [Thabaqat Ibnu Sa’d 7/603 no 2273]. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 1/275 no 235]. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 3/259 no 1154] dan Daruquthniy berkata “Haatim tsiqat dan ziyadahnya diterima” [Al Ilal Daruquthniy 2/168]. Jadi lafaz tersebut adalah bagian dari ziyadah tsiqat Haatim bin Isma’iil dan diterima kedudukannya.

kalaupun itu hadits hasan seperti dikatakan ibnu hajar maka lafadznya adalah bukan amaro tapi ammaro yg berarti menjadikannya amir bukan memerintahkan mencela.

Cukuplah kami menunjukkan kepada para pembaca kitab-kitab hadis Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Sunan An Nasa’iy yang sudah ditahqiq [dimana semuanya menyebutkan lafaz amara] untuk membuktikan kejahilan orang ini.

Shahih Muslim tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy


Shahih Muslim tahqiq M Fuad Abdul Baqiy

Shahih Muslim no 2404

Sunan Tirmidzi Tahqiq Basyaar ‘Awwaad Ma’ruf


Sunan Tirmidzi tahqiq Basyaar

Sunan Tirmidzi 3724

Sunan Al Kubra An Nasa’iy Tahqiq Hasan bin ‘Abdul Mun’im Syalbiy


Sunan Nasa'iy Al Kubra

Sunan Nasa'iy no 8342

.

.

kalaupun shohih maka Lafadz tersebut tidak menunjukkan secara jelas bahwa Mu’awiyah memerintahkan Sa’ad untuk mencaci Ali. Lafadz tersebut menunjukkan bahwa Mu’awiyah ingin tahu alasan Sa’ad tidak mencaci Ali, oleh sebab itu Mu’awiyah tidak marah ketika mendengar jawaban Sa’ad dan tidak menghukumnya. Dan sikap Mu’awiyah yang tidak menanggapi perkataan Sa’ad menunjukkan bahwa Mu’awiyah mengakui keutamaan Ali.

Orang ini hanya mengulang-ngulang takwil An Nawawiy terhadap hadis tersebut. Seebelumnya telah kami tunjukkan ulama seperti Al Hafizh As Sindiy dan Ibnu Taimiyyah yang memahami lafaz dalam hadis Muslim tersebut sebagai Muawiyah memerintahkan Sa’d mencaci Aliy. Dan pemahaman ini telah kami bahas dalam tulisan sebelumnya sangat sesuai dengan lafaz hadisnya tidak seperti takwil An Nawawiy yang jauh sekali dari lafaz hadisnya. Berikut tambahan ulama yang memahami lafaz tersebut sebagai “Mu’awiyah memerintahkan Sa’d untuk mencaci Aliy”.

Syaikh Muusa Syaahiin Laasyiin Dalam Fathul Mun’im Syarh Shahih Muslim 9/332


Fathul Mun'im Syarh Shahih Muslim

Fath Al Mun'im Syarh Shahih Muslim juz 9 hal 332

Syaikh Muhammad Amin bin ‘Abdullah Al ‘Alawiy Asy Syafi’iy Dalam Al Kaukab Al Wahhaaj Wa Ar Raudha Al Bahhaaj Fii Syarh Shahih Muslim 23/444


Al Kaukab Syarh Shahih Muslim

Al Kaukab Syarh Shahih Muslim juz 23 hal 444

Adapun respon Mu’awiyah setelah mendengar keutamaan Imam Aliy yang disebutkan Sa’d bin Abi Waqqash dapat dilihat dalam riwayat Al Hakim dimana terdapat lafaz

قال : فلا والله ما ذكره معاوية حتى خرج من المدينة

[‘Aamir bin Sa’d] berkata “maka demi Allah Mu’awiyah tidak lagi menyebutnya sampai ia keluar dari Madinah” [Al Mustadrak Al Hakim 3/117 no 4575]

Seandainya Mu’awiyah tidak pernah mencaci atau memerintahkan mencaci Aliy maka mengapa bisa ada lafaz di atas. Kalau Mu’awiyah sekedar ingin tahu alasan Sa’d maka apa yang mencegahnya untuk menyebutkan tentang Aliy. Justru lebih masuk akal dikatakan Mu’awiyah akan lebih sering menyebutkan tentang Aliy dan keutamaannya yang ia dengar dari Sa’d tersebut.

Lain ceritanya jika sebelumnya Mu’awiyah memang mencaci Aliy bin Abi Thalib atau memerintahkan Sa’d mencaci Aliy bin Abi Thalib maka setelah mendengar hujjah Sa’d tersebut ia tidak lagi menyebutkan tentang Aliy sampai ia keluar Madinah.

Kami objektif saja disini, lafaz tersebut memang menunjukkan Mu’awiyah mengakui keutamaan Imam Aliy. Kami sedikitpun tidak pernah menafikan hal ini. Apakah orang jahil tersebut berpikir kalau para sahabat yang mencaci Aliy bin Abi Thalib seperti Mughirah bin Syu’bah dan Mu’awiyah tidak mengetahui keutamaan Aliy bin Thalib?. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] seringkali menyebutkan keutamaan Imam Aliy bin Abi Thalib di depan orang banyak misalnya sebagaimana yang tampak dalam hadis Ghadir Khum. Mereka mengakui keutamaannya tetapi mungkin kebencian membuat mereka tetap mencaci Aliy bin Abi Thalib.

Apalagi terkait hadis yang sedang dibahas ini, menurut kami Mu’awiyah sudah mengetahui hadis yang disebutkan Sa’d bin Abi Waqqash tersebut karena diantara keutamaan yang disebutkan Sa’d adalah hadis manzilah yang diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat perang Tabuk dan saat itu Mu’awiyah juga ikut bersama para sahabat lainnya dalam perang Tabuk.

.

.

adapun perkataan Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy,maka syiah telah curang memotong perkataan beliau,coba ditulis lebih lengkap akan tersingkap tipu daya mereka.mari kita lihat lanjutannya :

وَمَنْشَأ ذَلِكَ الْأُمُور الدُّنْيَوِيَّة الَّتِي كَانَتْ بَيْنهمَا وَلَا حَوْل وَلَا قُوَّة إِلَّا بِاَللَّهِ وَاَللَّهُ يَغْفِرُ لَنَا وَيَتَجَاوَز عَنْ سَيِّئَاتنَا وَمُقْتَضَى حُسْن الظَّنّ أَنْ يُحْمَل السَّبّ عَلَى التَّخْطِئَة وَنَحْوهَا مِمَّا يَجُوز بِالنِّسْبَةِ إِلَى أَهْل الِاجْتِهَاد لَا اللَّعْن وَغَيْره

dan sebabnya itu karena perkara dunia yg terjadi antara keduanya,semoga alloh mengampuni kita dan kesalahan kita dan HUSNUDHON menuntut kita untuk membawa celaan itu kepada menganggap salah atau semisalnya yg dibolehkan ijtihad BUKAN MELAKNAT ATAU SEMISALNYA.

Inilah akibatnya kalau orang jahil sok ingin membantah orang lain. Wahai pendusta, tidak ada yang curang disini dan tidak ada yang sedang melakukan tipu daya. Silakan anda lihat kembali tulisan kami yang mengutip ucapan Al Hafizh Al Sindiy. Perkara yang sedang dibahas saat itu adalah lafaz Mu’awiyah memerintah Sa’d. Kami sebelumnya berkata

Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy termasuk ulama yang mengartikan riwayat Muslim sebagai Muawiyah memerintah Sa’ad untuk mencaci Imam Ali.

Seandainya kami kutip lebih panjang [seperti yang anda lakukan] maka perkataan Al Hafizh As Sindiy tersebut tetap saja Beliau memang memahami lafaz Muslim sebagai Mu’awiyah memerintah Sa’d mencaci Aliy.

قوله : ( فنال منه ) أي نال معاوية من علي ووقع فيه وسبه بل أمر سعدا بالسب كما : قيل في مسلم والترمذي ومنشأ ذلك الأمور الدنيوية التي كانت بينهما – ولا حول ولا قوة إلا بالله – والله يغفر لنا ويتجاوز عن سيئاتنا ومقتضى حسن الظن أن يحمل السب على التخطئة ونحوها مما يجوز بالنسبة إلى أهل الاجتهاد لا اللعن وغيره

Perkataannya “Fanaala minhu” yaitu bermakna Mu’awiyah mencela Aliy, berkata buruk tentangnya dan mencacinya bahkan ia memerintahkan Sa’d untuk mencaci Aliy sebagaimana dikatakan dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi dan hal ini disebabkan urusan dunia antara keduanya –tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah- semoga Allah mengampuni kita dan menghapuskan kesalahan kita, dan berprasangka baik menuntut kita untuk membawa lafaz cacian tersebut kepada menyalahkan atau perkara semisalnya yang dibolehkan atas orang-orang yang berijtihad bukan melaknat atau yang lainnya [Haasyiyah As Sindiy ‘Ala Ibnu Majah hadis no 121]

Perhatikanlah apa yang kami cetak tebal di atas, itu adalah pemahaman Al Hafizh As Sindiy atas lafaz riwayat Muslim. Itulah yang kami katakan tidak ada yang curang atau menipu disini. Adapun perkara prasangka baik yang dikatakan Al Hafizh adalah asumsi pribadinya dan tidak memiliki nilai hujjah di sisi kami, oleh karena itu tidak kami kutip.

Kalau kita berpikir kritis maka prasangka baik yang dimaksud yaitu membawa lafaz mencaci dengan makna menyalahkan atas perkara tertentu karena ijtihad, hal itu malah bertentangan dengan lafaz hadisnya. Pertentangan dalam hal ijtihad atau saling menyalahkan adalah perkara yang lumrah di kalangan sahabat Nabi, maka jika Mu’awiyah ingin memerintahkan Sa’d menyalahkan Aliy maka reaksi yang wajar dari Sa’d adalah menilai perkara tersebut yang mana ijtihad yang benar antara Mu’awiyah dan Aliy, jika dalil bersama Mu’awiyah maka Sa’d tinggal menyalahkan Aliy dan jika dalil bersama Aliy maka Sa’d tinggal menyalahkan Mu’awiyah. Sa’d tidak perlu membawa-bawa hadis keutamaan Imam Aliy disini karena yang sedang dipermasalahkan adalah suatu perkara dimana dibolehkan dalam ijtihad untuk menyalahkan satu sama lain.

Faktanya justru Sa’d bin Abi Waqqash malah membawa hadis keutamaan Imam Aliy. Maka lafaz mencaci disini lebih cocok bermakna merendahkan atau menghina pribadi Aliy bin Abi Thalib oleh karena itu reaksi Sa’d bin Abi Waqqash menolak untuk mencaci Aliy dengan membawakan keutamaan Imam Aliy. Hal itu untuk menegaskan bahwa kedudukan Aliy itu sangat tinggi di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sehingga tidak pantas untuk dicaci, dihina dan direndahkan.

Siapapun yang berakal lurus akan memahami perkara ini dengan baik dan tidak ada disini urusannya dengan orang Syi’ah. Orang jahil itu dan orang sejenis dirinya memang mengidap penyakit bahwa setiap apapun yang menyudutkan sahabat mesti dikatakan ulah Syi’ah. Sampah tetaplah sampah meskipun ia diletakkan di atas singgasana dan berlian akan tetap berlian meskipun ia tenggelam di dalam lumpur.

.

.

.

.

Syubhat Riwayat Ibnu Majah

Berikutnya kami akan membahas syubhat orang tersebut atas hadis Ibnu Majah. Ia mengatakan bahwa hadis tersebut dhaif dan memiliki banyak cacat, ia berkata

1) Adapun riwayat Ibnu Majah lemah karena Abu Mu’awiyah Adh-Dharir; ibnu hajar dalam taqribnya :Riwayatnya dari selain Al-A’masy terkadang terdapat kekeliruan. Al-Hakim mengatakan: Ia terkenal berlebihan dalam madzhab syi’ah.imam ahmad ibn hanbal : Riwayatnya dari selain Al-A’masy muththorib (guncang) dan tidak menghafalnya dg hafalan yg baik,

Ia menyalahi riwayat Abdussalam, sebagaimana dalam As-Sunan Al-Kubra kayra An-Nasa’iy 7/411 no.8343:

قال: أَخْبَرَنَا حَرَمِيُّ بْنُ يُونُسَ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ، عَنْ مُوسَى الصَّغِيرِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا فَتَنَقَصُّوا عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ …

Sa’ad berkata: Suatu hari aku duduk (dalam satu majlis) kemudian mereka merendahkan Ali bin Abi Thalib …

Dalam riwayat ini tidak disebutkan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.

Perkataannya soal Abu Mu’awiyah bahwa riwayatnya dari selain Al A’masyiy terdapat kekeliruan atau idhthirab itu benar, tetapi bukan berarti semua hadis Abu Mu’awiyah dari selain Al A’masyiy menjadi dhaif kedudukannya. Betapa banyak riwayat Abu Mu’awiyah dari selain Al A’masyiy dalam kitab Shahih seperti dari Isma’il bin Abi Khalid, Abu Burdah bin Abu Muusa, Dawud bin Abi Hind, Suhail bin Abi Shalih, ‘Aashim Al Ahwal, dan Hisyam bin ‘Urwah [Tahdzib Al Kamal 25/123 no 5173]. Abu Mu’awiyah seorang yang tsiqat tetapi sering keliru dan idhthirab dalam riwayat selain Al A’masyiy.

‘Abdus Salaam bin Harb juga seorang yang tsiqat tetapi ternukil sedikit kelemahan padanya. Ibnu Mubarak melemahkannya sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari Al Uqailiy dalam kitabnya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1037]. Ibnu Sa’d berkata “ada kelemahan padanya”. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat dalam hadisnya layyin” [Mizan Al I’tidaal Adz Dzahabiy 4/347 no 5051]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh tetapi memiliki riwayat-riwayat mungkar” [Taqrib At Tahdziib 1/599].

Riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb dan riwayat Abu Mu’awiyah saling melengkapi, dalam riwayat Nasa’iy memang disebutkan dengan lafaz

كُنْتُ جَالِسًا فَتَنَقَصُّوا عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِب

Aku [Sa’d] duduk [dalam suatu majelis] kemudian mereka menghina Aliy bin Abi Thalib

Tidak ada disebutkan nama Mu’awiyah bin Abu Sufyaan sebagaimana dalam riwayat Abu Mu’awiyah tetapi dalam riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb yang disebutkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 42/115], lafaznya adalah

كنت جالسا عند فلان فذكروا عليا فتنقضوه

Aku [Sa’d] duduk di sisi fulan [dalam suatu majelis] kemudian mereka menyebut Aliy dan menghinanya

Justru lafaz “fulan” dalam riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb dijelaskan dalam riwayat Abu Mu’awiyah bahwa ia adalah Muawiyah bin Abu Sufyaan. Jadi tidak ada istilah riwayat Abu Muawiyah menyalahi riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb.

Dan Abu Mu’awiyah tidak menyendiri dalam penyebutan Mu’awiyah bin Abu Sufyaan. Ia memiliki mutaba’ah dari Jarir bin Haazim sebagaimana diriwayatkan Abu Hasan Aliy bin Hasan Al Khila’iy dalam kitab Fawaid Al Muntaqaah Al Hissaan Min Ash Shihaah Wal Gharaa’ib

Fawaid Al Muntaqa

Fawaid Al Muntaqa no 707

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ بْنِ نَظِيفٍ الْفَرَّاءُ , قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو الْفَوَارِسِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ الصَّابُونِيُّ , قَالَ : أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ , قَالَ :حَدَّثَنَا أَسَدُ بْنُ مُوسَى , قَالَ :حَدَّثَنِي جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ , عَنْ مُوسَى الصَّغِيرِ , عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ , قَالَ : قَدِمَ مُعَاوِيَةُ , رَحِمَهُ اللَّهُ حَاجًّا , فَأَتَاهُ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ , قَالَ : فَذَكَرُوا عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلامُ , فَعَابَهُ , فَقَالَ سَعْدٌ : تَقُولُ لِرَجُلٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ : ” ثَلاثُ خِصَالٍ لَئِنْ يَكُونَ لِي خَصْلَةٌ مِنْهَا أَخْيَرُ إِلَيَّ أَنْ تَكُونَ لِي الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا َسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ : ” أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلا أَنَّهُ لا نَبِيَّ بَعْدِي

Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Muhammad bin Fadhl bin Nazhiif Al Farraa’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Fawaaris Ahmad bin Muhammad bin Husain Ash Shaabuuniy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Rabii’ bin Sulaiman yang berkata telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepadaku Jariir bin Haazim dari Muusa Ash Shaghiir dari ‘Abdurrahman bin Saabith yang berkata Mu’awiyah pergi Haji maka Sa’d bin Abi Waqqaash mendatanginya. Mereka menyebutkan tentang Aliy maka Ia mencelanya. Maka Sa’d berkata “kamu mengatakan ini pada seseorang dimana aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mengatakan tiga hal dimana jika aku memiliki salah satunya maka itu lebih baik bagiku daripada memiliki dunia dan seisinya. Aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “Engkau bagi-Ku seperti kedudukan Haruun di sisi Muusa hanya saja tidak ada Nabi sepeninggal-Ku” [Al Fawaid Al Muntaqaah Al Hissaan Min Ash Shihaah Wal Gharaa’ib hal 280 no 707]

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat shaduq, berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Muhammad bin Fadhl bin Nazhiif dikatakan Adz Dzahabiy adalah seorang Syaikh Al ‘Aalim Al Musnid Al Mu’ammar [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 17/476 no 314]. Hasan bin Nashr Asy Syaasyiy berkata “dia termasuk orang Mesir yang paling baik” [Al Muqaffaa Al Kabiir Al Maqriiziy 6/524 no 3028]
  2. Abul Fawaaris Ahmad bin Muhammad bin Husain Ash Shabuuniy disebutkan oleh Adz Dzahabi kalau ia seorang yang tsiqat [Al ‘Ibar Fi Khabar Min Ghabar 2/287]
  3. Rabi’ bin Sulaiman Al Muradiy seorang yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/294]
  4. Asad bin Muusa Abu Sa’iid seorang hafizh imam tsiqat [Siyaar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahabiy 10/162 no 26]
  5. Jariir bin Haazim Al Azdiy seorang yang tsiqat tetapi hadisnya dari Qatadah dhaif dan memiliki kesalahan ketika menceritakan hadis dari hafalannya [Taqriib At Tahdziib 1/158]
  6. Muusa bin Muslim As Shaghiir seorang yang tsiqat [Al Kasyf Adz Dzahabiy 2/308 no 5734]
  7. ‘Abdurrahman bin Saabith seorang yang tsiqat banyak melakukan irsal [Taqriib At Tahdziib Ibnu Hajar 1/570].

Jika kita melihat dengan baik riwayat di atas ‘Abdurrahman bin Saabith tidak menyebutkan sanadnya dari Sa’d bin Abi Waqqaash sebagaimana yang nampak dalam riwayat Abu Mu’awiyah dan ‘Abdus Salaam bin Harb sebelumnya.

Kasus ini mirip seperti kasus riwayat Bukair bin Mismaar sebelumnya dimana terkadang sanadnya berakhir pada ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqaash dan terkadang berakhir pada Sa’d [radiallahu ‘anhu]. Keduanya benar karena ‘Aamir bin Sa’d menyaksikan peristiwa tersebut.

Maka begitu pula riwayat Ibnu Saabith di atas, kuat dugaan bahwa Ibnu Saabith menyaksikan peristiwa tersebut oleh karena itu terkadang ia menisbatkan sanadnya pada Sa’d dan terkadang langsung menceritakan kisah tersebut.

Salah satu petunjuk yang menguatkan hal ini adalah Abu Mu’awiyah terkadang meriwayatkan dengan akhir sanad pada Sa’d [radiallahu ‘anhu] dan terkadang pada Ibnu Saabith. Silakan lihat riwayat Abu Mu’awiyah berikut

ثنا أَبُو بَكْرٍ ، وَأَبُو الرَّبِيعِ ، قَالا : ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنِ الشَّيْبَانِيِّ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ ، قَالَ : قَدِمَ مُعَاوِيَةُ فِي بَعْضِ حَجَّاتِهِ ، فَأَتَاهُ سَعْدٌ ، فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ فِي عَلِيٍّ ثَلاثَ خِصَالٍ ، لأَنْ يَكُونُ لِي وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ : ” مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ ” ، ” وَأَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى ” ، ” وَلأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr dan Abu Rabi’ keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Asy Syaibaniy dari ‘Abdurrahman bin Saabith yang berkata Mu’awiyah pergi dalam salah satu hajinya maka Sa’d mendatanginya, Ia berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan tentang Aliy tiga hal yang seandainya aku memiliki salah satu darinya itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya. Aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “barang siapa yang aku maulanya”, “engkau bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa” dan “akan aku berikan bendera ini” [As Sunnah Ibnu Abi ‘Aashim 2/920 no 1421]

Jika dikatakan hal itu adalah idhthirab Abu Mu’awiyah maka tidak tepat karena riwayatnya dengan akhir sanad dari Sa’d telah dikuatkan oleh riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb dan riwayatnya dengan akhir sanad dari Ibnu Saabith telah dikuatkan oleh riwayat Jarir bin Haazim. Maka kesimpulan yang masuk akal adalah kedua sanadnya benar dan hal ini bisa dipahami dengan menganggap Ibnu Saabith menyaksikan kejadian tersebut.

Telah kami buktikan sebelumnya bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith sudah mendengar hadis dari Jabir ketika Imam Husain masih hidup yaitu sebelum tahun 61 H [wafatnya Imam Husain bin Aliy]. Dan ‘Abdurrahman bin Saabith adalah seorang tabiin Makkah maka sangat mungkin ia menyaksikan peristiwa tersebut ketika Mu’awiyah dan Sa’d bin Abi Waqqaash pergi haji ke Makkah.

Selain itu, Abdurrahman bin Sabith tidak pernah mendengar hadits dari Sa’ad bin Waqqash sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ma’in [ Lihat: Taarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad-Duuriy 3/87, Jaami’ At-Tahshiil karya Al-‘Alaaiy hal.222, Tuhfah At-Tahshiil karya Abu Zur’ah Al-‘Iraqiy hal.197.],

ibnu hajar : tidak shohih dia mendengar dari sahabat(ishobah 5/228)

dengan demikian sanadnya juga terputus.

Hal inipun sebenarnya sudah kami bahas sebelumnya. Tentu kami tidak keberatan untuk membahasnya kembali. Inilah yang dikatakan Yahya bin Ma’in

سمعت يحيى يقول قال بن جريج حدثني عبد الرحمن بن سابط قيل ليحيى سمع عبد الرحمن بن سابط من سعد قال من سعد بن إبراهيم قالوا لا من سعد بن أبى وقاص قال لا قيل ليحيى سمع من أبى أمامة قال لا قيل ليحيى سمع من جابر قال لا هو مرسل كان مذهب يحيى أن عبد الرحمن بن سابط يرسل عنهم ولم يسمع منهم

Aku mendengar Yahya mengatakan Ibnu Juraij berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Saabith, dikatakan kepada Yahya, apakah ‘Abdurrahman bin Saabith mendengar dari Sa’ad?. Yahya berkata “Sa’ad bin Ibrahim?”. Mereka menjawab “bukan”, dari Sa’ad bin Abi Waqaash. Yahya berkata “tidak”. Dikatakan kepada Yahya, apakah ia mendengar dari Abu Umamah. Yahya menjawab “tidak”. Dikatakan kepada Yahya apakah ia mendengar dari Jabir. Yahya menjawab “tidak, itu mursal”. Mazhab Yahya adalah ‘Abdurrahman bin Saabith mengirsalkan hadis dari mereka dan tidak mendengar dari mereka [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 366]

Dan inilah perkataan lengkap Ibnu Hajar dalam kitabnya Al Ishabah dimana ia juga mengutip perkataan Yahya bin Ma’in.

كثير الإرسال ويقلل لا يصح له سماع من صحابي أرسل عن النبي صلى الله عليه وسلم كثيرا وعن معاذ وعمر وعباس بن أبي ربيعة وسعد بن أبي وقاص والعباس بن عبد المطلب وأبي ثعلبة فيقال انه لم يدرك أحدا منهم قال الدوري سئل بن معين هل سمع من سعد فقال لا قيل من أبي امامة قال لا قيل من جابر قال لا قلت وقد أدرك هذين وله رواية أيضا عن بن عباس وعائشة وعن بعض التابعين

Banyak melakukan irsal, dan dikatakan tidak shahih ia mendengar dari sahabat, ia banyak melakukan irsal dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], dan dari Mu’adz, Umar, ‘Abbaas bin Abi Rabii’ah, Sa’d bin Abi Waqqaash, ‘Abbaas bin ‘Abdul Muthalib dan Abu Tsa’labah, makai dikatakan bahwa ia tidak menemui satupun dari mereka. Ad Duuriy berkata Ibnu Ma’in ditanya apakah ia mendengar dari Sa’d, ia menjawab “tidak” dikatakan “dari Abu Umamah” ia berkata “tidak” dikatakan “dari Jabir” ia berkata tidak. Aku [Ibnu Hajar] berkata “sungguh ia telah menemui keduanya [Abu Umamah dan Jabir] dan ia memiliki riwayat dari Ibnu ‘Abbaas, Aisyah dan dari sebagian tabiin [Al Ishabah Ibnu Hajar 5/228-229 no 6691].

Apa yang dinukil Ibnu Hajar bahwa dikatakan tidak shahih mendengar dari sahabat sudah terbukti keliru karena terdapat bukti shahih bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu].

Pertanyaannya adalah adakah ulama yang menyatakan hal yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Yahya bin Ma’in dan dinukil oleh Ibnu Hajar. Jawabannya ada yaitu Al Hafizh Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy. Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy memasukkan hadis Ibnu Saabith di atas dalam kitabnya Al Ahaadits Al Mukhtarah no 1008 dalam bab “Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘anhu]”.

Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy seorang ulama hadis yang lahir tahun 569 H artinya ia lebih dahulu dibanding Ibnu Hajar. Dan ia telah mensyaratkan dalam kitabnya Al ‘Ahadiits Al Mukhtarah bahwa hadis-hadis di dalamnya adalah shahih di sisinya. Maka dari itu di sisi Al Maqdisiy riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘ahu] kedudukannya muttasil. Ibnu Najjaar telah berkata tentangnya

كتبت عنه ببغداد ونيسابور ودمشق ، وهو حافظ متقن ثبت صدوق نبيل حجة عالم بالحديث وأحوال الرجال

Aku menulis darinya di Bagdhad, Naisabur dan Dimasyiq, dan ia seorang hafizh mutqin tsabit shaduq mulia hujjah alim dalam ilmu hadis dan keadaan perawi [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 23/129-130 no 97]

Tentu secara umum kita katakan bahwa ulama mutaqaddimin seperti Yahya bin Ma’in lebih mu’tabar dibandingkan ulama muta’akhirin seperti Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy. Tetapi dalam kasus ini terdapat qarinah petunjuk yang menyatakan bahwa mazhab Yahya bin Ma’in [sebagaimana yang ditegaskan Ad Duuriy] adalah keliru yaitu telah tsabit bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu] sehingga membuat kami bertawaqquf atas pendapat Yahya bin Ma’in bahwa Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’d dan Abu Umamah.

adaupun tuduhan ibnu ma’in keliru,karena ibn sabith bertemu jabir,maka

Abdurrahamn bin tsabit itu kata banyak ulama, mursilul hadits, semua nama sahabat yang dia sebutkan itu adalah bentuk tadlisnya. ia memperoleh nama-nama sahabat itu dari para tabiin kibar meskipun tidak semua, ada beberapa yang ia temui langsung (terutama sahabat yang ada di mekah) dan ada juga melaui perantaraan sahabat yang dekat dengannya, hanya saja ibnu jabir ini suka tidak mau menyebutkan nama mereka, seolah kesannya ia bertemu langsung dengan mereka.

Sebaiknya orang ini belajar terlebih dahulu ilmu logika, bagaimana menarik kesimpulan dengan benar dan cara berhujjah dengan benar. Perkara seorang tabiin mengirsalkan hadis dari sahabat adalah perkara yang ma’ruf dalam ilmu hadis. Kaidah dalam ilmu hadis yang sudah disepakati adalah lafaz ‘an anah perawi tsiqat semasa dengan perawi lainnya dimana perawi tsiqat tersebut bukan mudallis maka dihukumi muttashil kecuali jika ternukil ulama mu’tabar yang menyatakan inqitha’ [terputus] atau mursal.

Perkataan ulama tentang irsal pun bukanlah perkara yang bersifat pasti benar jika terdapat bukti kuat bahwa kedua perawi tersebut bertemu maka perkataan ulama tersebut tertolak. Dalam kasus ini telah terbukti dengan sanad yang shahih bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith telah mendengar secara langsung dari Jabir [radiallahu ‘anhu] maka mazhab Yahya bin Ma’in pada sisi ini memang terbukti keliru.

Kalau orang itu ingin bertaklid pada Yahya bin Ma’in maka kami persilakan padanya tetapi kalau memang ingin membahas secara ilmiah maka silakan tampilkan hujjah dengan benar bukan sembarangan mencampuradukkan waham khayal ke dalam hujjah. Orang ini bahkan tidak mengerti perbedaan irsal dan tadlis. Secara sederhana irsal itu menafikan adanya pertemuan antara dua perawi sedangkan tadlis itu sudah jelas pernah terjadi pertemuan antara dua perawi. Tidak ada satupun ulama hadis mu’tabar yang menuduh ‘Abdurrahman bin Saabith dengan tadlis seperti yang dikatakan orang ini.

berikut bukti bahwa ibnu tsabit sebelum menyebut nama sahabat ia menyebut nama tabiin kibar (yang semasa dengannya) terlebih dahulu:

ثنا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، ثنا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ حَسَّانِ بْنِ عَطِيَّةَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الأَوْدِيِّ قَالَ: قدم عَلَيْنَا مُعَاذٌ الْيَمَنَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشِّحْرِ، رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ، أَجَشَّ الصَّوْتِ، فَأُلْقِيَتْ عَلَيْهِ مَحَبَّتِي، فَمَا فَارَقْتُهُ حَتَّى حَثَوْتُ عَلَيْهِ التُّرَابَ، ثُمَّ نَظَرْتُ إِلَى أَفْقَهِ النَّاسِ بَعْدَهُ، فَأَتَيْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ،

(tarikh islam adz dzahabi. hal 457)

Amru bin Maimun Al Adawi adalah tabiin kibar.

Apa sebenarnya yang mau dibuktikan orang ini?. Dalam kitab-kitab Rijal seperti Tahdzib Al Kamal dan yang lainnya sudah disebutkan bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith tidak hanya meriwayatkan dari sahabat Nabi, ia juga meriwayatkan dari tabiin termasuk tabiin yang anda sebutkan. Jadi sebenarnya ia tidak sedang membuktikan apapun. Seorang tabiin yang meriwayatkan dari sahabat bisa saja meriwayatkan pula dari tabiin kibaar dari sahabat lain. Ini adalah perkara yang ma’ruf dalam kitab hadis.

sedikit logika saja, kalau memang abdurrahman bin tsabit itu memang mendengar dari jabir harusnya ia juga mendengar dari shahabat nabi lainnya, tapi faktanya tak ada satupun hadis yang menunjukan hal tersebut kucuali hanya berupa an’anah semata. moso’ sih dari sekian sahabat yang didengar/dijumpai langsung cuma abdullah bin jabir doang?!

Maaf, orang ini tidak sedang menggunakan logika tetapi ia sedang berkhayal. Perkara ‘Abdurrahman bin Saabith mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu] itu sudah terbukti secara shahih dan ditegaskan oleh Abu Hatim dan Al Bukhariy. Perkataannya, kalau memang Ibnu Saabith mendengar dari Jabir maka ia harusnya juga mendengar dari sahabat lainnya [dan karena Ibnu Saabith hanya menggunakan lafaz ‘an anah maka itu berarti mursal dan mana mungkin Ibnu Saabith hanya mendengar dari Jabir saja]. Maaf ini bukan logika tetapi khayalannya saja.

Orang ini memang jahil dalam ilmu hadis, lafaz ‘an anah dalam hadis adalah lafaz periwayatan yang ma’ruf, jika kedua perawi tersebut berada dalam satu masa maka kaidah awal adalah lafaz tersebut dianggap muttasil jika perawi tersebut tsiqat dan bukan mudallis. Mursal atau tidaknya perawi itu tergantung apakah ternukil dari perkataan ulama mu’tabar atau tidak, bukan seperti asumsinya kalau Ibnu Saabith mendengar dari Jabir harusnya mendengar pula dari sahabat lainnya. Apa ia pikir ilmu hadis itu harus menuruti hawa nafsunya?. Tolonglah belajar dahulu dengan baik sebelum sok membantah orang lain.

dan bukti lain adalah terjadinya syadz matan antara waki dengan abdullah bin numeir

versi waki (Bidayah wan Nihayah, hal: 282):

وَكِيْعٌ: حَدَّثَنَا رَبِيْع بنُ سَعْدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَابِطٍ، عَنْ جَابِرٍ:

أَنَّهُ قَالَ – وَقَدْ دَخَلَ الحُسَيْنُ المَسْجِدَ -: (مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى سَيِّدِ شَبَابِ

ngga ada tuh ada lafal yang mengatakan:

كنت مع جابر”

sebagaimana yang terdapat pada

حدثنا أبي، قال حدثنا ربيع بن سعد عن عبد الرحمن بن سابط قال: كنت مع جابر، فدخل حسين بن علي رضي الله عنهما، فقال جابر: من سره أن ينظر الى رجل من أهل الجنة فلينظر الى هذا، فأشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقوله .

(Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab 5/92)

‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy seorang yang tsiqat, ahli hadis dari kalangan ahlus sunnah [Taqriib At Tahdziib 1/542]. Ia adalah seorang hafizh tsiqat imam [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 9/244 no 70]. Adz Dzahabiy juga mengatakan bahwa ia adalah hujjah [Al Kasyf 1/604 no 3024]. Ibnu Hibban berkata tentangnya

عبد الله بن نمير الهمداني أبو هشام من المتقنين مات سنة تسع وتسعين ومائة

‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy Abu Hisyaam termasuk golongan orang mutqin, wafat tahun 199 H [Masyaahiir ‘Ulamaa’ Al Amshaar no 1377]

‘Abdullah bin Numair seorang hafizh tsiqat mutqin hujjah, maka sesuai dengan kaidah ilmu hadis, tambahan matan dari perawi seperti kedudukan dirinya dalam periwayatan hadis adalah ziyadah tsiqat yang maqbul [diterima] kedudukannya. Apalagi dalam hal ini lafaz yang ia sebutkan tidaklah menyelisihi atau bertentangan dengan matan hadis yang disebutkan Waki’. Oleh karena itu keduanya benar dan saling melengkapi.

Contoh lain hadis dimana Abdurrahman bin Saabith mendengar langsung dari Jabir [radiallahu ‘anhu] dapat dilihat dalam kitab Al Ba’ts Wan Nusyuur Ibnu Abi Dawuud hal 16 no 5.


Al Ba'ts Wan Nusyuur Ibnu Abi Dawud

Al Ba'ts Wan Nusyuur Ibnu Abi Dawud no 5

Para perawiyat hadis tersebut sanadnya shahih sampai ‘Abdurrahman bin Saabith, berikut keterangannya

  1. Ayuub bin Muhammad Al Wazzaan seorang perawi yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/118]
  2. Marwaan bin Mu’awiyah Al Fazaariy seorang yang tsiqat dan hafizh [Taqriib At Tahdziib 2/172].
  3. Rabii’ bin Sa’d Al Ju’fiy seorang perawi yang tsiqat [Tarikh Yahya bin Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2216]

.

.

.

kalaupun benar ibn tsabit mendengar jabir maka itu tidak serta merta mendengar sa’ad karena hukum asalnya adalah mursal sampai ada tahdits darinya.

Hal itu benar kalau orang ini taklid pada perkataan Yahya bin Ma’in karena ia adalah satu-satunya ulama terdahulu yang menyatakan riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d bin Abi Waqqaash mursal. Kami telah menunjukkan ulama lain yang menyatakan riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d shahih maka sanadnya muttashil [bersambung] yaitu Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy.

Secara sederhana bisa dikatakan Yahya bin Ma’in lebih mu’tabar dibanding Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy tetapi dalam kasus ini terdapat qarinah [petunjuk] yang menguatkan kami untuk merajihkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dibanding Yahya bin Ma’in.

Pertama, Yahya bin Ma’in telah terbukti keliru ketika mengatakan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu]. Kalau ada yang mengatakan maka bukan berarti perkataannya soal Sa’d bisa langsung dikatakan keliru. Ya itu benar, tetapi sangat wajar untuk bertawaqquf atas perkataan Yahya bin Ma’in karena mazhabnya dalam hal ini terbukti keliru [apalagi ia menyatakan hal itu dalam satu lafaz perkataan].

Analogi yang pas untuk kasus ini adalah Jika seorang teman yang anda percayai mengatakan kepada anda ada tiga orang yang datang ke rumah anda kemarin ketika anda tidak ada di rumah yaitu Ahmad, Ali dan Budi. Padahal anda pergi seharian bersama Ahmad kemarin maka anda bisa mengatakan bahwa apa yang dikatakan teman anda tersebut tidak benar. Anda bisa merasa pasti bahwa Ahmad tidak kerumah anda kemarin. Maka sangat wajar anda tidak mempercayai kalau Aliy dan Budi datang ke rumah anda kemarin sampai anda mendapatkan bukti atau konfirmasi kalau memang mereka berdua ke rumah anda kemarin.

Kedua, Kami telah membuktikan bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith semasa dengan Sa’d bin Abi Waqqash yaitu terbukti dalam riwayat shahih bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith telah melihat Husain bin Aliy yang wafat tahun 61 H, artinya ia melihat Husain bin Aliy dan bersama Jabir [radiallahu ‘anhu] sebelum tahun 61 H. Sedangkan Sa’d bin Abi Waqqash wafat tahun 55 H. Maka hal ini tidaklah jauh perbedaan waktunya sehingga memungkinkan bagi Ibnu Saabith untuk bertemu Sa’d bin Abi Waqqaash. Oleh karena itu lebih memungkinkan lagi bagi Ibnu Saabith untuk menyaksikan kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d ketika mereka haji di Makkah karena Ibnu Saabith memang termasuk penduduk Makkah.

Selain itu Ibnu Saabith meriwayatkan hadis dari Aisyah [radiallahu ‘anha] dan tidak ada satupun ulama mu’tabar yang menyatakan riwayatnya dari Aisyah mursal bahkan sebagian hafizh telah menshahihkan riwayatnya dari Aisyah [radiallahu ‘anhu].

Hadis Ibnu Saabith dari Aisyah diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah no 1338 dimana Al Hafizh Al Buushiiriy berkata “hadis ini sanadnya shahih para perawinya tsiqat” [Mishbaah Az Zujaajah Fii Zawaa’id Ibnu Majah no 474] dan Al Hafizh Ibnu Katsiir berkata tentang hadis Ibnu Saabith dari Aisyah tersebut “hadis ini sanadnya jayyid” [Fadha’il Qur’an Ibnu Katsiir hal 192-193]. Perlu diketahui bahwa penghukuman suatu sanad hadis dengan lafaz “sanadnya shahih” atau “sanadnya jayyid” memiliki konsekuensi hukum sanadnya muttashil di sisi kedua hafizh tersebut

Aisyah [radiallahu ‘anha] wafat tahun 57 H berdekatan dengan tahun wafatnya Sa’d bin Abi Waqqaash [radiallahu ‘anhu]. Jika ‘Abdurrahman bin Saabith riwayatnya muttashil [bersambung] dari Aisyah [radiallahu ‘anha] maka hal itu berarti ‘Abdurrahman bin Saabith satu masa dengan Sa’d bin Abi Waqqash [radiallahu ‘anhu] dan memungkinkan untuk bertemu dengannya.

Dan soal syekh albani nampaknya syekh Albaniy rahimahullah men-sahih-kan hadits ini hanya lafadz yang marfuu’ (perkataan Rasulullah tentang keutamaan Ali) sebagaimana dalam dalam kitabnya silsilah hadits sahih 4/335 no.1750.

Memang benar orang satu ini hanya bisa menukil tanpa paham apa yang ia nukil. Sok ilmiah tetapi sebenarnya jahil. Kalau ia memang membaca kitab Silsilah Al Ahaadiits Ash Shahiihah 4/335 no 1730, maka inilah perkataan Syaikh Al Albani yang tertera dalam kitabnya

Silsilah Shahihah  juz 4 hal 335

Perhatikanlah Syaikh Al Albani menukil riwayat ‘Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘anhu] yang disebutkan dalam Sunan Ibnu Majah no 121, kemudian Syaikh berkata “sanadnya shahih”. Jadi yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albaniy adalah sanadnya, artinya Syaikh menganggap sanad Ibnu Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘anhu] itu muttashil. Orang yang baru belajar ilmu hadis pun akan tahu bahwa pernyataan “sanadnya shahih” mencakup sanadnya yang muttashil [bersambung].

Sebelum Syaikh Al Albani, Al Hafizh Ibnu Katsir telah lebih dulu menguatkan hadis Ibnu Saabith tersebut. Ia berkata “sanadnya hasan” [Al Bidayah Wan Nihayah 11/50]. Hal ini menunjukkan di sisi Ibnu Katsir sanad Ibnu Saabith dari Sa’d bin Abi Waqqaash [radiallahu ‘anhu] adalah muttashil.


Al Bidayah juz 11

Al Bidayah juz 11 hal 50

.

.

.

Penutup

Kesimpulannya di sisi kami berdasarkan pendapat yang rajih riwayat Ibnu Saabith tersebut shahih. Pembahasannya sudah kami sebutkan dalam tulisan yang lalu dan dilengkapi dengan tulisan di atas. Silakan saja kalau orang jahil tersebut bersikeras untuk mendhaifkan riwayat Ibnu Majah. Hal itu tidak sedikitpun meruntuhkan hujjah tulisan kami karena bahkan telah kami tulis dalam tulisan sebelumnya [dan tidak ada bantahan dari orang jahil tersebut] hadis lain yang menjadi bukti bahwa Mu’awiyah mencela Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Perhatikan hadis di atas setelah mengetahui ‘Ammar bin Yasar radiallahu ‘anhu terbunuh dan terdapat hadis bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang maka Muawiyah menolaknya bahkan melemparkan hal itu sebagai kesalahan Imam Ali. Menurut Muawiyah, Imam Ali dan para sahabatnya yang membunuh ‘Ammar karena membawanya ke medan perang dan menurut Muawiyah Imam Ali itu yang seharusnya dikatakan sebagai kelompok pembangkang. Sudah jelas ini adalah celaan yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya.

Tentu saja itu sama halnya seperti Muawiyah menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membunuh para sahabat Badar dan Uhud yang syahid di medan perang karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membawa mereka ke medan perang. Bayangkan jika perkataan dengan “logika Muawiyah” ini diucapkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami yakin orang-orang akan menyatakan kafir orang yang mengatakannya.

Satu lagi yang perlu diberikan catatan kami tidak pernah dalam tulisan sebelumnya dan tulisan di atas menyatakan bahwa Mu’awiyah mencela Aliy itu adalah maksudnya melaknat Aliy. Kami tidak akan berhujjah melampaui teks riwayat yang ada, begitulah cara berhujjah dengan objektif, lafaz riwayat menyatakan “mencela” maka itu sudah cukup sebagai hujjah. Kami tidak akan berlebihan menyatakan yang dimaksud mencela adalah melaknat [karena hal itu membutuhkan dalil] tetapi kami tidak akan membuat bermacam-macam takwil demi membela Mu’awiyah seperti yang dilakukan orang-orang jahil. Jadi kami sarankan kepada orang-orang jahil itu kalau ingin membantah kami maka jangan mencampuradukkan waham khayal kalian tentang Syi’ah kepada kami. Salam Damai

6 Tanggapan

  1. kasihan benar nashibi yg satu ini, bersusah payah membela sesembahannya si tulaqa’ ibn tulaqa’ laknatullah alaihim hingga mempermalukan dirinya sendiri. tampak luar biasa dungunya. ilmunya tidak sampai tapi bersikeras membantah yang asal membantah saja.
    tabayun hai nashibi.

  2. Pak SP, hari ini sekitar jam 16.00 blog abusalafy tidak bisa diakses lagi.
    kemungkinan dilaporkan oleh orang-orang salafy ke wordpress dan akhirnya abusalafy dicancel oleh wordpress.

    sebelumnya sekitar 6 bulan yg lalu salafy telah berhasil minta ke FB untuk memblock link abusalafy di FB. mereka ramai-ramai kirim ke FB agar abusalafy tidak bisa dibuat linknya di FB

    saya khawatir secondprince akan mengalami nasib yg sama, maka oleh karena itu saya sarankan agar bapak membuat backupnya yg rapi sejak sekarang.

    kalau bapak bisa membantu abusalafy membicarakan/ mengkomplainkan ke wordpress silakan saja.

    balasan ini tdk usah dimuat blog ini. hanya untuk bapak pribadi saja.
    saya tidak ingin blog ini hilang seperti abusalafy krn hanya 2 blog ini yg paling mumpuni melawan salafy
    terima kasih

  3. salam alaikum

    pesan untuk bung SP secara pribadi.

    ada benarnya apa yang dikatakan oleh bung Hariadi, link dari bung SP pun sudah tidak bisa dilampirkan di fb sejak 1 tahun yang lalu.

    sebaiknya bung SP membuat back up atau sitedraft supaya ilmu yang dibagikan tidak bernasib sama seperti perpustakaan Islam yang dibakar pada masa lampau.

  4. @hariadi alhamdulillah blog abusalafy masih bisa diakses kok. meski demikian saya juga setuju kalau dibuat back up nya, sekedr antisipasi tidak ada salahnya kan? jzk

  5. salam..saya dari negara jiran..saya juga kalau SP buat backup..banyak yang saya belajar dari blog SP dan Abusalafy..adalah satu yg merugikan kalau blog SP dan Abusalafy disekat..apalagi kami disini sangat terhad bahan bacaan yg berkaitan ahlulbait dari segi apapun..

  6. hariadi
    alhamdulillah bloq abu salafy sdh bisa diakses sekarang. dan tulisan terbaru beliau tgl 16 januari sudah muncul dan bisa diakses.silahkan lihat tulisan terbaru abu salafy disini

    Seri Kejahatan Mu’awiyah (1): Mu’awiyah Orang Pertama Yang Menawan dan Memperbudak Wanita-wanita Muslimat!

Tinggalkan komentar