Benarkah Hasan As Saqqaaf Seorang Rafidhah?

Benarkah Hasan As Saqqaaf Seorang Rafidhah?

Banyak sekelompok orang yang sok bergaya seperti ulama menuduh ulama lain [yang tidak satu manhaj dengannya atau yang ia benci] dengan tuduhan dusta. Salah satunya dapat dilihat dalam tulisan penulis “aneh” disini.

http://www.jarh-mufassar.net/2014/12/hasan-as-saqqaf-sunniy-atau-rafidhiy.html

Kami sudah pernah membantah sebagian tulisannya yang memuat celaan terhadap Syi’ah. Tentu bantahan-bantahan kami tersebut tidak bisa dikatakan mewakili mazhab Syi’ah [karena kami bukan penganut mazhab Syi’ah] tetapi sebagai bukti [bagi para pembaca] yang menunjukkan bahwa tidak setiap syubhat yang dituduhkan kepada mazhab Syi’ah itu benar. Dalam perkara ini sang penulis tersebut sangat jelas memiliki kebencian terhadap Syi’ah sehingga ia bermudah-mudahan dalam menuduh Syi’ah. Tulisan-tulisannya tentang Syi’ah [yang kami bantah] benar-benar tidak objektif dan tidak ilmiah.

Begitu pula tulisannya tentang Hasan As Saqqaf dimana ia menuduhnya sebagai Rafidhah, adalah ciri khas tulisan orang jahil. Jahil dalam ilmu logika sederhana sehingga penarikan kesimpulannya jatuh kedalam fallacy yang berujung pada kedustaan terhadap Hasan As Saqqaf.

.

.

.

Penulis tersebut mengutip perkataan Ibnu Katsir mengenai perselisihan antara Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Bidayah juz 10

Bidayah juz 10 hal 563

Hadis ini termasuk mu’jizat kenabian, karena benar-benar telah terjadi seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa sallam]. Dan di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok yang bertikai itu, yakni penduduk Syam dan penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, yang mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan bahwa kelompok Aliy adalah yang paling mendekati kebenaran, itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni Aliy berada di pihak yang benar, dan Mu’awiyah seorang mujtahid dalam perperangannya dan ia telah melakukan kesalahan, dan ia berhak mendapat satu pahala insya Allah. Sedangkan Aliy [radhiallahu ‘anhu] adalah seorang imam berada di pihak yang benar insya Allah, dan berhak mendapat dua pahala. Sebagaimana telah tsabit dalam Shahih Bukhariy hadis ‘Amru bin’Ash bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Jika seorang hakim berijtihad dan benar maka baginya dua pahala dan jika ia berijtihad dan keliru maka baginya satu pahala”. [Al Bidaayah Wa Nihaayah 10/563].

Kemudian setelah itu penulis tersebut mengutip pandangan Hasan As Saqqaaf dalam hal ini sebagaimana dalam kitab Daf’u Syubhah At Tasybih Ibnu Jauziy yang ditahqiq oleh Hasan As Saqqaaf.

Daf'u Syubha

Daf'u Syubha hal 240

قلت: فكيف يقول بعض النواصب الذين يظهرون الاعتدال: لعلي أجران ولمعاوية أجر لأنه مجتهد؟

Aku [Hasan As Saqqaaf] berkata “maka bagaimana bisa sebagian nawaashib mengatakan bagi Aliy dua pahala dan bagi Mu’awiyah satu pahala karena ia seorang mujtahid” [Daf’u Syubhah At Tasybih Ibnu Jauziy tahqiq Hasan As Saqqaaf hal 240]

Dengan nukilan di atas, sang penulis tersebut dengan lucunya berkata

Bukankah yang berpandangan seperti itu adalah Ahlus Sunnah? Dan siapa yang suka menggelari Ahlus Sunnah dengan Nawashib kalau bukan rafidhah?

Kalimat macam apa ini, terasa penuh dengan “kesesatan” berpikir. Apakah jika Ahlus Sunnah berpandangan demikian maka tidak boleh ada sebagian Nawaashib yang berpandangan demikian?. Bukankah mazhab Ahlus Sunnah meyakini tiada Tuhan selain Allah SWT maka apakah itu mencegah orang Khawarij, Nawaashib dan firqah lainnya untuk meyakini hal yang sama?. Bagaimana mungkin karena sekedar memiliki keyakinan [tertentu] yang sama maka Ahlus Sunnah dikatakan Khawarij dan dikatakan Nawaashib?.

Seandainya penulis itu paham ilmu logika sederhana, ia akan paham bahwa kesamaan predikat tidak harus memiliki konsekuensi subjeknya sama. Apel berwarna merah dan Tomat berwarna merah. Apakah itu berarti apel adalah tomat?. Ahlus Sunnah berpandangan demikian dan Nawaashib berpandangan demikian, lantas apakah dikatakan Ahlus Sunnah adalah Nawaashib?.

Yang disebutkan Hasan As Saqqaaf itu adalah “sebagian nawaashib”. Mungkin saja As Saqqaaf mengetahui bahwa sebagian ahlus sunnah juga berpandangan demikian atau mungkin juga ia tidak mengetahuinya. Apapun kemungkinannya, tidak ada petunjuk yang menguatkan kalau yang dimaksudkan nawaashib oleh As Saqqaaf tersebut adalah Ahlus Sunnah. Dalam hal pembelaan terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyaan merupakan fenomena yang wajar jika sebagian Ahlus Sunnah dan sebagian Nawaashib memiliki pandangan yang sama.

Jadi bisa disimpulkan bahwa dasar tuduhan Rafidhah terhadap Hasan As Saqqaaf dalam tulisan penulis “aneh” itu hanyalah “kesesatan” berpikir saja. Tidak ilmiah dan tidak objektif alias mengada-ada.

Kami tidak perlu membela semua perkataan Hasan As Saqqaaf dalam kitab-kitabnya. Bagi kami, As Saqqaaf sama seperti ulama lainnya bisa benar juga bisa salah, tinggal dilihat dalil atau hujjah perkataannya apakah sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah atau tidak.

.

.

.

Dalam pembacaan kami terhadap kitab-kitab Hasan As Saqqaaf, tidak ada kami melihat unsur Rafidhah dalam pemikirannya. Paling-paling tuduhan rafidhah itu hanya berdasarkan pemikiran dogmatis sebagian orang yang tidak berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadis. Contoh paling baik dapat para pembaca lihat dari blog secondprince ini yang seringkali dituduh rafidhah. Hasan As Saqqaaf mencela sebagian sahabat Nabi seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyaan dan menjatuhkan keadilannya, ia melakukannya dengan dalil dan hujjah. Sebagian hujjah tersebut lemah dan sebagiannya lagi shahih. As Saqqaaf mengutamakan Aliy [‘alaihis salaam] dibanding Abu Bakar dan Umar, hal inipun memiliki dalil dan hujjah. Para pembaca yang sudah sering membaca blog ini pasti sudah melihat contoh dalil dan hujjah yang dimaksud.

Lihat saja nukilan yang disebutkan penulis tersebut. Kalau para pembaca melihat dalil dan hujjah Hasan As Saqqaaf maka apa yang dikatakan As Saqqaaf itu sudah sesuai dengan hadis shahih. Ia berkata

Daf'u Syubha hal 241

فهل يصح الاجتهاد في قتل المسلمين الموحدين و…..؟

وهل هناك اجتهاد في مورد النص؟! وقد تواتر عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال في سيدنا عمار الذي قاتل مع أمير المؤمنين سيدنا علي: ” تقتله الفئة الباغية ” كما ثبت في البخاري ومسلم؟!!

وهل يصح الاجتهاد مع ورود نصوص كثيرة متواترة وصحيحة منها قوله صلى الله عليه وسلم في حق سيدنا علي رضي الله عنه:

” من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه ” قال الحافظ الذهبي في ” سير أعلام النبلاء ” (8 / 335) عن هذا الحديث متواتر

Maka apakah dibenarkan ijtihad dalam memerangi kaum muslimin orang-orang yang bertauhid? Dan apakah ada ijtihad ketika sudah ada nash?. Dan sungguh telah mutawatir dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Beliau berkata tentang Sayyidina ‘Ammaar yang berperang bersama Amirul Mukminin Sayyidina ‘Aliy “ia akan dibunuh oleh kelompok pembangkang” sebagaimana telah tsabit dalam hadis Bukhariy dan Muslim. Dan apakah dibenarkah ijtihad bersamaan dengan adanya nash-nash yang banyak mutawatir dan shahih dari perkataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang kebenaran Sayyidina Aliy [radiallahu ‘anhu] “barang siapa yang Aku adalah maulanya maka Aliy adalah maulanya, Ya Allah dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah oranng yang memusuhinya” Al Hafizh Adz Dzahabiy berkata dalam Siyaar A’laam An Nubalaa’ 8/335 tentang hadis ini “mutawatir” [Daf’u Syubhah At Tasybih Ibnu Jauziy tahqiq Hasan As Saqqaaf hal 241]

Apa yang dikatakan Hasan As Saqqaaf tersebut benar. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan kebenaran Aliy [‘alaihis salaam] dan kesesatan Mu’awiyah. Bisa ditambahkan juga disini dalil keharusan untuk mengikuti Aliy [‘alaihis salaam] adalah hadis Tsaqalain perintah berpegang teguh pada Al Qur’an dan Ahlul Bait. Jadi intinya tidak ada ruang ijtihad bagi Mu’awiyah dalam perkara ini karena nash-nash kebenaran Aliy [‘alaihis salaam] itu sudah jelas.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz bin Mukhtaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaalid Al Hadzdzaa’ dari ‘Ikrimah yang berkata Ibnu ‘Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya Aliy “pergilah kalian kepada Abu Sa’iid dan dengarkanlah hadis darinya”. Maka kami pergi menemuinya ketika ia sedang memperbaiki dindingnya, ia mengambil kain duduk ihtiba’ kemudian berbicara kepada kami sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid maka ia berkata “kami membawa batu satu persatu dan ‘Ammaar membawa dua dua, maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, Beliau berkata sambil meniup tanah yang melekat padanya “kasihan ‘Ammaar ia akan dibunuh kelompok pembangkang, ia mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka. [perawi] berkata ‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhariy 1/97 no 447].

Hadis di atas adalah bukti jelas bahwa kelompok Mu’awiyah yang membunuh ‘Ammaar [radiallahu ‘anhu] adalah kelompok pembangkang yang menyeru atau mengajak ke neraka. Dakwah atau ajakan kelompok Mu’awiyah adalah ke neraka maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa Mu’awiyah adalah mujtahid yang mendapat satu pahala atas kesalahannya dalam hal ini. Jadi klaim bahwa Mu’awiyah mujtahid yang mendapat pahala atas kesalahannya disini telah bertentangan dengan kabar shahih. Dan kami tidak menemukan satupun dalil yang membuktikan bahwa Mu’awiyah berhak mendapat satu pahala atas kesalahannya.

Seorang yang objektif akan mendudukkan hadis apa adanya sesuai dengan lafaz riwayat. Ia tidak akan berhujjah melampaui lafaz yang ada dan tidak akan berhujjah dengan asumsi khayalnya dan mencampuradukkan asumsi khayal itu ke dalam hadis.

Bukti lain yang menunjukkan ketidaklayakkan Mu’awiyah disebut sebagai mujtahid [dalam perkara ini] adalah ketika telah jelas dalil atau nash dihadapannya ia bukannya menyadari kesalahannya tetapi malah mencela Aliy dengan menuduh bahwa Aliy yang harusnya disebut membunuh ‘Ammar dan disebut kelompok pembangkang

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata kepadanya “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Aliy dan sahabatnya, mereka membawanya hingga melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih”]

Silakan saja jika ada orang [yang agak kurang waras] mengatakan kalau Mu’awiyah sedang berijtihad ketika mencela Aliy [‘alaihis salaam] bahwa Beliaulah yang membunuh ‘Ammaar karena membawanya berperang. Bukankah perkara itu sama seperti menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membunuh para sahabat Beliau ketika mereka gugur dalam memerangi orang kafir. Akhir kata pandangan Hasan As Saqqaaf dalam perkara ini adalah benar dan sesuai dengan dalil shahih di sisi Ahlus Sunnah. Adapun apa yang diklaim oleh sebagian orang [termasuk penulis tersebut] sebagai pandangan mazhab Ahlus Sunnah ternyata tidak memiliki landasan yang shahih.

3 Tanggapan

  1. Numpang komen dulu ahh….

    Jadi gini, Si orang wahabi tersebut sebenarnya merasa sakit hati kalau Imamnya diserang (Muawiyah)…Jadi maksud dari kalimat ahlussunnah yaah “Wahabi”, bukan ahlussunnah sebenarnya. Harus lebih hati2 kalau ada orang wahabi yang merujuk misal ulama ahlussunnah atau ustadz ahlussunnah atau manhaj ahlussunnah kalimat2 itu harus dibaca sebagai: ulama wahabi, ustadz wahabi dan manhaj wahabi dan semisalnya. karena banyak orang tertipu dipikirnya ahlussunnah beneran..eehh gak tahunya ahlussunnah kw2-an

    Jadi tidak usah dibela atau dibantah tulisan si orang wahabi itu…karena ahlussunnah yang dimaksud adalah kelompoknya sendiri (wahabi). apabila seandainya di dalam wahabi ada orang2 yang membenci ahlul bait yah bukan tanggung jawab ahlussunnah untuk membelanya biar kelompok mereka saja yang membantahnya. Betul tidak

  2. Berikut tanggapan dari penulis tersebut, Insya Allah saya akan berusaha menanggapinya dengan objektif. Ia berkata

    Terima kasih atas pemberitahuannya. Saya fikir bantahan anak mut’ah tersebut akan berbobot, namun ternyata hanyalah tulisan dari tong kosong yang menggelikan bunyinya. Pada intinya dia menyatakan bahwa bisa saja nawashib yang dimaksud oleh Hasan As-Saqqaf bukanlah Ahlus Sunnah meski Ahlus Sunnah juga berpendapat demikian –sebagaimana dinukil Ibnu Katsir– sehingga nawashib yang dimaksud Hasan As-Saqqaf tidak tertuju kepada Ibnu Katsir dan Ahlus Sunnah secara umum.

    Seperti biasa penulis ini memang dari dulu berlisan kotor, kalau ia mengatakan bahwa saya adalah anak mut’ah maka silakan ia buktikan perkataannya tersebut. Kalau ia tidak bisa maka sudah jelas dia adalah pendusta. Dan saya dengan pasti akan mengatakan kepada para pembaca bahwa saya bukan anak mut’ah maka sudah jelas di sisi saya penulis tersebut tidak lebih dari seorang pendusta.

    Silakan pembaca perhatikan dengan baik, apa yang saya tulis dalam tulisan di atas adalah penjelasan ketidakvalidan dasar tuduhan rafidhah kepada Hasan As Saqqaaf. Sebagai suatu kemungkinan ya bisa saja dikatakan bahwa nawashib yang dimaksud oleh Hasan As Saqqaaf bukan Ahlus Sunnah secara umum. Alasannya sederhana karena Hasan As Saqqaaf ini termasuk ulama yang tergolong Ahlus Sunnah juga [walaupun sebagian orang menuduhnya begini begitu]. Kitab-kitabnya adalah bukti bahwa ia berdiri di atas dasar Ahlus Sunnah. Hal sederhana untuk melihat seseorang sebagai Ahlus Sunnah adalah tulisan-tulisannya yang memuat keyakinannya dimana ia bersandar pada kitab-kitab hadis Ahlus sunnah dan meyakininya. Jadi apa mungkin Hasan As Saqqaaf akan mengatakan bahwa Ahlus Sunnah sebagai nawashib.

    Sekali lagi, pernyataannya tersebut sungguh menggelikan. Bagaimana bisa nawashib dan Ahlus Sunnah beraqidah sama dalam hal tersebut (bagi ‘Ali 2 pahala dan Mu’awiyyah 1 pahala) sedangkan sudah jelas-jelas bahwa nawashib adalah mereka yang memusuhi Ahlul Bait?!! Masihkah bagi nawashib yang membenci Ahlul Bait menyempatkan hati mereka untuk mengatakan bagi ‘Ali 2 pahala karena ‘Ali benar? Silahkan saja dia membuktikannya siapa dari nawashib yang berkeyakinan demikian. Karena antara yang mengatakan “ada” dan “tiada” maka pihak yang mengatakan “ada” lah yang harus membuktikan.

    Aduhai wahai penulis yang hanya bisa bicara, apa sekarang anda ingin mengatakan bahwa pengertian nawashib yang dimaksud Hasan As Saqqaaf dalam kalimat tersebut adalah pembenci Ahlul Bait. Kalau begitu gampang saja silakan lihat pengertian rafidhah yang anda tuduhkan pada Hasan As Saqqaaf. Kalau memang anda membaca kitab-kitab Hasan As Saqqaaf, maka Beliau sering menyebutkan sahabat Abu Bakar dan Umar dengan sebutan taradhi bahkan sebagian dengan sebutan “Sayyidina”. Apakah ada rafidhah yang demikian wahai penulis?.

    Menurut saya nawashib yang dimaksud dalam kalimat Hasan As Saqqaaf tersebut adalah orang-orang yang membela musuh-musuh Ahlul Bait dengan syubhat-syubhat yang mengangkat derajat mereka. Memang ini hanya kemungkinan, intinya lafaz “nawashib” yang dimaksudkan oleh Hasan As Saqqaaf tersebut tidak jelas tertuju pada siapa. Kalau anda ingin menuduh Hasan As Saqqaaf maka silakan bawakan bukti dari perkataan As Saqqaaf bahwa nawashib yang ia maksud dalam kalimat tersebut adalah Ahlus Sunnah secara umum.

    Ibnu Hajar sendiri telah berkata dalam syarhnya terhadap suatu hadits :

    وفي هذا الحديث علم من أعلام النبوة وفضيلة ظاهرة لعلي ولعمار ورد على النواصب الزاعمين أن عليا لم يكن مصيبا في حروبه

    “Dalam hadits ini terdapat salah satu mukjizat Nubuwwah, fadhilah (keutamaan) yang jelas bagi ‘Ali dan ‘Ammar, dan bantahan kepada golongan nawashib yang mengklaim bahwa ‘Ali bukanlah pihak yang benar dalam semua peperangannya.” [Fathul-Bariy, 1/646]

    Perhatikan perkataan Ibnu Hajar; “bantahan terhadap nawashib” dan “Ali bukanlah pihak yang benar dalam setiap peperangannya”. Maka bagaimana bisa nawashib mengatakan bagi ‘Ali 2 pahala karena ‘Ali benar? Maka hendaknya si anak mut’ah tidak tahu diri itu memeriksa kembali logika rendahannya tersebut.

    Anda tidak perlu susah susah mengutip pengertian nawashib di sisi para ulama lain. Bukankah anda sedang membicarakan Hasan As Saqqaaf. Perhatikanlah baik-baik kalimat Hasan As Saqqaaf tersebut yang mengandung lafaz “sebagian nawashib”. Dan maaf anda sendiri mengetahui bahwa Hasan As Saqqaaf juga sering menuduh nawashib kepada ulama-ulama tertentu di kalangan Ahlus Sunnah. Ini adalah hal yang ma’ruf bagi orang yang membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah. Saya pun tidak sepakat dengan Hasan As Saqqaaf dalam tuduhan ini tetapi bukan berarti karena As Saqqaf menuduh ulama tertentu sebagai nawashib maka itu menjadi bukti bahwa ia rafidhah. Banyak para ulama yang menuduh ulama lain sebagai nawashib walaupun mereka sama-sama tergolong ahlus sunnah.

    Yang saya permasalahkan disini adalah dasar anda menuduh As Saqqaaf rafidhah adalah karena menurut anda As Saqqaaf menyebut ahlus sunnah dengan kata nawashib. Hal ini yang saya tolak karena mana mungkin As Saqqaaf menyebut ahlus sunnah sebagai nawashib. Anda harus membuktikan bahwa nawashib yang dimaksud oleh As Saqqaf adalah ahlus sunnah secara umum, dan cara membuktikannya bukan dengan mengutip ulama lain tetapi mengutip perkataan Hasan As Saqqaaf sendiri. Tulisan anda yang mengutip Ibnu Katsir di atas bukanlah bukti atas As Saqqaaf karena mengandung banyak kemungkinan, seperti yang saya tulis di atas bisa saja nawashib yang dimaksud bukan ahlus sunnah. Kalau mau berhujjah ya silakan berhujjah dengan objektif yaitu dengan bukti bukan dengan waham khayal anda.

    Jika pun mengikuti pola fikir anak mut’ah tersebut, maka terlebih dulu kita harus melihat siapakah nawashib di sisi Hasan As-Saqqaf? Apakah Ahlus Sunnah termasuk di dalamnya? Sebenarnya apabila dia memang sudah membaca kitab-kitab Hasan As-Saqqaf, tentu tidak asing lagi bagaimana pandangan Hasan As-Saqqaf terhadap para ulama Ahlus Sunnah. Oleh karena itu sengaja tidak saya paparkan pada tulisan di atas agar tidak berkepanjangan.

    Semakin panjang ia berbicara ia justru menguatkan apa yang saya maksud. Penulis ini justru tidak paham kalau ia ingin menuduh seorang ulama begini begitu maka yang harus ia jadikan bukti adalah lafaz perkataan ulama bukan konsekuensi dari lafaz perkataan ulama tersebut. Saya akan berikan contoh, misalkan begini ulama seperti Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik pernah mengatakan bahwa barang siapa yang mencela sahabat maka ia bukan orang islam. Ini adalah lafaz perkataan mereka. Kemudian ternyata ada kasus dimana sebagian sahabat seperti Mughirah bin Syu’bah dan sebagian tabiin mencela sahabat tertentu. Artinya berdasarkan konsekuensi perkataan Ahmad dan Malik maka Mughirah bin Syu’bah dan sebagian tabiin tersebut sudah keluar dari Islam. Lantas apakah bisa dikatakan bahwa konsekuensi perkataan Imam Ahmad dan Imam Malik tersebut adalah i’tiqad keduanya terhadap Mughirah dan tabiin yang dimaksud?, Tentu saja tidak. Sepertinya kaidah inilah yang tidak dipahami penulis tersebut sehingga ia mudah sekali menuduh ulama yang tidak semazhab dengannya. Kaidah ini dikenal dengan sebutan lazimul qaul laisa bi qaul. Dengan kaidah ini kita dapat berhati-hati dalam menetapkan tuduhan atas ulama karena hal yang ma’ruf bahwa para ulama sering keliru, tanaqudh, inkonsisten atas tulisan-tulisan dalam kitab-kitab mereka.

    Dalam kitab Hasan-Saqqaf yang berjudul زهر الريحان في الرد على تحقيق البيان pada hal. 136-137, ia menyatakan bahwa Ahlus Sunnah terbagi menjadi 3 bagian dimana pada bagian ke-3 nya adalah nawashib. Kemudian Hasan As-Saqqaf membagi lagi bagian ketiga ini (nawashib) menjadi dua. Untuk yang pertama, An-Nawawiy termasuk di dalamnya. Dan yang kedua, adalah semisal Al-Jauzjaniy dan Ibnul-‘Arabiy Al-Malikiy.

    Justru kalau penulis itu ingin menerapkan pengertian nawashib dalam pandangan Hasan As Saqqaaf maka tuduhan rafidhah atas As Saqqaaf tersebut akan mentah dengan sendirinya. Karena As Saqqaaf tidak pernah mengatakan nawashib kepada ahlus sunnah secara umum tetapi ia mensifatkan nashibiy pada sebagian ulama karena perkataan mereka. Menurut As Saqqaf ada yang terjatuh dalam kenashibian secara tidak sengaja [seperti An Nawawiy] karena konsekuensi perkataannya ada juga yang memang karena sengaja seperti [Al Jauzjaniy] karena perkataannya. Kami pun tidak sepenuhnya sepakat dengan As Saqqaaf dalam hal ini tetapi hal ini tidak menjadi bukti kalau As Saqqaaf adalah rafidhah.

    Coba lihat kasus Al Jauzjaniy yang penulis tersebut nukil, Siapakah yang mengatakan ia nashibiy? tidak lain juga ulama ahlus sunnah sendiri seperti yang dikatakan Ibnu Hajar dalam At Taqrib. Dan buktinya juga dapat dilihat dari perkataan Al Jauzjaniy yang dinukil oleh Daruquthniy. Maka apakah ulama yang menuduh Al Jauzjaniy nashibiy itu menjadi bukti bahwa mereka rafidhah?. Tentu saja tidak.

    Kita memang berlepas diri dari pembagian versi Hasan As-Saqqaf tersebut, namun dari pola pemahamannya mengenai Ahlus Sunnah dapat difahami bahwa nawashib mencakup Ahlus Sunnah Wa Al-Jama’ah di sisi Hasan As-Saqqaf. Dengan ini jelas bahwa perkataan Hasan As-Saqqaf dengan “nawashib” pada artikel di atas dapat tertuju kepada Ahlus Sunnah.

    Kalau penulis itu mau berpegang pada perkataan As Saqqaaf maka nawashib yang dimaksud itu bisa saja tertuju pada sebagian ahlus sunnah yang disebutkan jatuh dalam kenashibian baik sadar ataupun tidak sadar bukan ahlus sunnah secara umum. Dan menuduh perorangan ulama tertentu sebagai nashibiy [karena perkataannya] tidak menjadi bukti rafidhahnya si penuduh. Tetap saja penulis tersebut jatuh dalam fallacy generalisasi, seorang ulama menuduh ulama ahlus sunnah tertentu sebagai nawashib bukan berarti ulama tersebut menuduh mazhab ahlus sunnah adalah nawashib.

    Telah jelas sebelumnya dimana Ibnu Katsir menyatakan bahwa aqidah Ahlus Sunnah adalah bagi ‘Ali 2 pahala dan bagi Mu’awiyyah 1 pahala, lalu diketahui pula pernyataan Hasan As-Saqqaf bahwa Ibnu Katsir adalah nashibiy, maka bagaimana bisa anak mut’ah tersebut mengatakan bahwa pernyataan Hasan As-Saqqaf; “bagaimana bisa sebagian nawashib menyatakan bagi ‘Ali 2 pahala dan bagi Mu’awiyyah 1 pahala” tidak tertuju kepada Ahlus Sunnah?

    Seandainya pun yang dimaksudkan oleh As Saqqaaf dalam kalimat yang anda jadikan hujjah itu adalah Ibnu Katsir dan sebagian ulama ahlus sunnah yang lain yang dituduhnya sebagai nawashib hal itu tetap tidak berarti As Saqqaaf menuduh ahlus sunnah sebagai nawashib. Jauh sekali perbedaannya, As Saqqaaf menuduh sebagian ulama sebagai nashibiy dengan dasar dari perkataan-perkataan mereka baik terhadap ahlul bait dan pembelaan terhadap musuh-musuhnya. Hal itu tidak berarti As Saqqaaf menuduh mazhab ahlus sunnah sebagai nawashib. Apapun ocehan anda disini wahai penulis logika anda itu sangat jelas rusaknya

    Pertama : Anda wahai penulis tidak memiliki bukti sharih dari perkataan As Saqaaf bahwa lafaz “sebagian nawashib” itu tertuju pada siapa. Kalau anda berasumsi itu tertuju pada Ibnu Katsir, Al Jauzjaniy, Ibnu Arabiy dan ulama lain yang dituduh nawashib oleh As Saqqaf maka itu tidak berarti As Saqqaaf menuduh ahlus sunnah secara umum sebagai nawashib.

    Kedua : Konsekuensi perkataan Ibnu Katsir atas perkataan As Saqqaaf tidak bisa diterapkan pada i’tiqad As Saqqaaf karena terbentur kaidah lazimul qaul laisa bi qaul sebagaimana sudah kami jelaskan. Apalagi telah kami buktikan justru perkataan Ibnu Katsir dalam hal Muawiyah mendapat pahala atas kesalahannya bertentangan dengan hadis shahih maka bagaimana bisa itu dinisbatkan sebagai mazhab Ahlus Sunnah. Justru apa yang disebutkan As Saqqaaf dalam hal ini sudah sesuai dengan hadis shahih.

    Ketiga : Perkataan anda “Dan siapa yang suka menggelari Ahlus Sunnah dengan Nawashib kalau bukan rafidhah?”. Hal itu tertuju pada sebagian ulama Syi’ah atau pengikut Syi’ah yang menyebut ahlus sunnah secara umum sebagai nawashib. Oleh karna itu anda harus membuktikan dari perkataan As Saqqaaf bahwa ia juga menuduh ahlus sunnah secara umum sebagai nawashib.

    Maka banyak-banyaklah membaca wahai anak mut’ah, kumpulkan refrensi sebelum berkoar-koar. Ataukah karena kedengkian para hamba mut’ah terhadap Mu’awiyyah radhiyallaahu ‘anhu lah yang menyebabkan otak mereka menjadi lemah?

    Tidak perlu sok banyak referensi wahai penulis kalau anda sendiri tidak paham logika penarikan kesimpulan yang benar. Kalau cuma pamer referensi tapi kosong nilai hujjah maka itu hanya menunjukkan kebodohan. Dimana letak kekuatan hujjah anda dalam hal tuduhan rafidhah kepada As Saqqaaf. Adapun soal Mu’awiyah anda tidak perlu sok bicara mengutip ulama sana sini.

    Siapapun ulama bisa ditolak perkataannya jika bertentangan dengan hadis shahih. Dan maaf wahai penulis kami sudah menampilkan hadis-hadis shahih yang menunjukkan ketidaklayakkan Mu’awiyah disebut sebagai mujtahid dalam hal peperangannya dengan Imam Aliy [‘alaihis salaam]. Tidak ada tanggapan sedikitpun dari anda karena sepertinya anda hanya bisa membeo pada pandangan ulama yang sesuai dengan hawa nafsu anda saja.

    موتوا بغيظكم

    “Matilah kalian karena kemarahan kalian itu.”

    Wallaahu A’lam.

    Insya Allah kalau saya akan berusaha bersikap objektif dalam hal ini. Saya tidak punya kepentingan apapun disini. Saya bukan pengikut As Saqqaaf maka saya tidak punya ikatan emosional dengannya. Saya hanya ingin menunjukkan kepada para pembaca kesesatan berpikir sebagian orang yang gampang sekali berdusta dalam menuduh ulama yang tidak semazhab dengannya.

  3. Alhamdulillah akhirnya dibuat pembahasan mengenai Hasan Saqqaf, salah satu ulama yang Saya kagumi.

    Saya kira nama Hasan Saqqaf mulai dikenal dan dituduh pasca munculnya video berjudul “dajjal tuhan wahabi”, kita bisa melihat bagaimana cara beliau berdialog dengan Adnan Aroor yang dikenal oleh sebagian atau mungkin seluruh orang sebagai anti Syiah.

    Terlalu mudah bagi setiap orang yang memiliki kesesatan dalam berlogika untuk menuduh orang lain sesat. Dan alhamdulillah bung SP dalam tulisan ini membongkar cara berlogika tersebut.

Tinggalkan komentar