Dhaif Atsar Abdullah bin Mas’ud : Nyanyian Menumbuhkan Kemunafikan Dalam Hati

Dhaif Atsar Ibnu Mas’ud : Nyanyian Menumbuhkan Kemunafikan Dalam Hati

Sedikit membicarakan mengenai masalah Nyanyian. Sudah dikenal bahwa terdapat sekelompok orang islam [baca : salafiy] yang sangat keras dalam mengharamkan musik dan nyanyian. Diantara mereka ada yang membawakan dan berhujjah dengan atsar Ibnu Mas’ud [radiallahu ‘anhu] bahwa Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati. Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa berdasarkan pendapat yang rajih kedudukan sebenarnya atsar tersebut di sisi ilmu hadis adalah dhaif.

.

.

Riwayat Pertama

حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالا حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah dan Ubaidillah bin ‘Umar keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah dari Al Hakam dari Hammaad dari Ibrahiim yang berkata ‘Abdullah bin Mas’ud berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 42 no 31, tahqiq ‘Amru bin Abdul Mun’im bin Saliim]

Ibnu Abi Dunyaa juga menyebutkan sanad di atas dalam kitabnya Dzammul Malaaahiy hadis no 34, riwayat Ibnu Abi Dunyaa ini juga dikeluarkan oleh Al Baihaqiy dalam kitabnya Sunan Al Kubra 10/223 no 2795 dan Syu’ab Al Iman 4/278 no 5098

Ghundaar dalam periwayatan atsar di atas dari Syu’bah memiliki mutaba’ah dari

  1. Sa’iid bin ‘Aamir sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 36
  2. Waki’ bin Jarrah sebagaimana disebutkan Al Khallaal dalam kitabnya As Sunnah 5/76 no 1659

Al Hakam bin Utaibah dalam periwayatan atsar di atas dari Hammaad bin Abi Sulaiman memiliki mutaba’ah sebagai berikut

  1. Manshuur bin Mu’tamar sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malaahiy hadis no 35, Al Khallal dalam As Sunnah 5/73 no 1647, Al Baihaqiy dalam Syu’ab Al Imaan 4/279 no 5099, dan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iman 2/703 no 945 semuanya dengan jalan sanad Sufyan dari Manshur dari Hammad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Malaahiy hadis no 37 juga menyebutkan dengan sanad Syariik dari Manshuur dari Ibrahim yang berkata mereka mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati [tanpa menyebutkan Ibnu Mas’ud]. Riwayat Syarik tidak mahfuuzh dibanding riwayat Sufyaan karena Syarik jelek hafalannya.
  2. Abu Awanah Wadhaah bin ‘Abdullah sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 38 dengan jalan sanad Abu Awanah dari Hammad dari Ibrahim seperti hadis tersebut [mitslahu]. Lafaz mitslahu secara zhahir merujuk pada hadis sebelumnya pada no 37 yaitu riwayat Syarik dengan lafaz Ibrahim berkata “mereka mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” tanpa menyebutkan Ibnu Mas’ud.
  3. ‘Awwaam bin Hausyab sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 39, Al Khallaal dalam As Sunnah 5/72 no 1646 dan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iman 2/704 no 947 dengan jalan sanad dari Husyaim dari ‘Awwaam dari Hammad dari Ibnu Mas’ud [tanpa menyebutkan Ibrahim An Nakha’iy]. Sanad ini tidak mahfuuzh karena Husyaim dikenal sebagai mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah.
  4. Syu’bah bin Hajjaaj sebagaimana disebutkan Al Khallaal dalam kitabnya As Sunnah 5/76 no 1659. Dalam riwayat Al Khallal ini disebutkan bahwa Syu’bah setelah mendengar atsar itu dari Al Hakam maka ia mendatangi Hammaad dan Hammaad menyebutkan atsar tersebut kepadanya.

Sekilas seolah nampak adanya idhthirab yaitu dari sisi Hammaad bin Abi Sulaiman tetapi jika ditelaah dengan baik nampak bahwa yang rajih dan mahfuuzh adalah riwayat Hammaad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud sebagaimana yang disebutkan Syu’bah, Al Hakam bin Utaibah dan Manshuur bin Mu’tamar. Adapun riwayat Abu Awanah bisa dijamak dengan riwayat Syu’bah, Al Hakam dan Manshuur yaitu bahwa diantara mereka yang dimaksudkan Ibrahim adalah Ibnu Mas’ud.

Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy disebutkan biografinya dalam At Tahdzib dan Ibnu Hajar menukil bahwa Abu Nu’aim mengatakan ia wafat tahun 96 H dan umurnya ada yang mengatakan 49 tahun dan ada yang mengatakan 58 tahun [Tahdzib At Tahdzib juz 1 no 325]. Berdasarkan keterangan ini maka Ibrahim lahir tahun 38 H atau 47 H. Sedangkan Abdullah bin Mas’ud disebutkan dalam At Tahdzib bahwa ia wafat tahun 32 H atau 33 H [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 43]. Maka dapat disimpulkan bahwa Ibrahim tidak menemui masa Ibnu Mas’ud maka riwayatnya terputus [inqitha’] dan kedudukannya dhaif.

.

.

.

Syaikh Al Albani dalam Tahrim Alati Tharb hal 145 mengakui bahwa sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud inqitha’ [terputus sanadnya] hanya saja dalam pandangan Syaikh Al Albaniy mursal Ibrahim khususnya dari Ibnu Mas’ud kedudukannya shahih. Diantara hujjah Syaikh Al Albani adalah riwayat berikut

حدثنا أبو عبيدة بن أبي السفر الكوفي حدثنا سعيد بن عامر عن شعبة عن سليمان الأعمش قال قلت لإبراهيم النخعي أسند لي عن عبد الله بن مسعود فقال إبراهيم إذا حدثتك عن رجل عن عبد الله فهو الذي سميت وإذا قلت قال عبد الله فهو عن غير واحد عن عبد الله

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ubaidah bin Abi As Safri Al Kuufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Aaamir dari Syu’bah dari Sulaiman Al A’masyi yang berkata aku berkata kepada Ibrahim An Nakha’iy “berikan sanad kepadaku dari ‘Abdullah bin Mas’ud”. Ibrahim berkata “jika aku menceritakan kepadamu dari seseorang dari ‘Abdullah maka ia adalah orang yang aku sebutkan namanya dan jika aku berkata Abdullah berkata maka itu dari lebih dari seorang dari ‘Abdullah [Sunan Tirmidzi Kitab Al Ilaal hal 249]

Riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk menyatakan bahwa mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud kedudukannya shahih. Faedah yang didapatkan dari riwayat di atas adalah jika Ibrahim berkata Ibnu Mas’ud berkata maka sanadnya adalah Ibrahim dari lebih dari seorang dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sanad ini tetap saja tidak bisa dijadikan hujjah karena mubham-nya orang-orang yang disebutkan Ibrahim dari Abdullah bin Mas’ud.

Mubham-nya orang-orang yang dimaksud mengandung kemungkinan bahwa bisa saja orang-orang tersebut tergolong dhaif atau majhul sehingga hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi Ibrahim bin Yazid tidak dikenal sebagai perawi yang meriwayatkan hanya dari perawi tsiqat saja. Bahkan Aliy bin Madiniy menyatakan kalau Ibrahim bin Yazid juga meriwayatkan dari perawi majhul. Disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal biografi Yazid bin Aus Al Kuufiy

فقال رجل يَا أَبَا الحسن فإبراهيم النخعي عمن روى من المجهولين ؟ فقال روى عن يزيد بْن أوس عَن علقمة فمن يزيد بْن أوس ؟ لا نعلم أحدا روى عنه غير إِبْرَاهِيم

Seorang laki-laki berkata “ wahai Abul Hasan apakah Ibrahim An Nakha’iy termasuk yang meriwayatkan dari orang-orang majhul?. Maka ia [Aliy bin Madiniy] berkata “ia telah meriwayatkan dari Yazid bin Aus dari Alqamah maka siapakah Yazid bin Aus?, tidak seorangpun diketahui meriwayatkan darinya kecuali Ibrahim [Tahdzib Al Kamal 32/91 no 6966]

Syaikh Al Muallimiy telah membahas perkataan Ibrahim kepada A’masyiy tersebut dan menurutnya riwayat tersebut tidaklah mengangkat inqitha’ sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud karena masih mengandung kemungkinan bahwa lafaz “lebih dari seorang” itu termasuk mereka yang tidak bertemu dengan Ibnu Mas’ud atau bertemu dengannya tetapi tidak tsiqat [At Tankiil Al Mu’allimiy 2/142]

Sebagian orang mengatakan bahwa terdapat lafaz riwayat dimana Ibrahim menyebutkan “lebih dari seorang sahabatnya [Ibnu Mas’ud]” maka hal itu berarti sanad tersebut muttashil [bersambung] dan tidak ada sahabat Ibnu Mas’ud yang tidak tsiqat. Pernyataan ini juga tidak sepenuhnya benar, karena ketersambungan sanad tidak semata-mata berlandaskan pada lafaz “sahabat” karena seorang perawi bisa saja melakukan tadlis terhadap sahabatnya dan tidak ada jaminan bahwa semua sahabat Ibnu Mas’ud adalah tsiqat.

Mungkin orang tersebut bisa membawakan nama murid atau sahabat Ibnu Mas’ud yang menurutnya tsiqat dalam berbagai kitab Rijal tetapi apa yang ada dalam kitab Rijal bukanlah pembatas yang memustahilkan orang-orang majhul atau dhaif meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud. Nampak jelas disini bahwa sebagian orang memaksakan asumsinya sendiri berandai-andai dengan kemungkinan demi menyatakan shahih hadis yang sesuai keyakinannya.

Secara zhahir riwayat A’masyiy masih mengandung berbagai kemungkinan sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengangkat kelemahan inqitha’ sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud. Bukankah terdapat kemungkinan bahwa bisa saja perkataan Ibrahim tersebut khusus untuk riwayat yang ia ceritakan kepada A’masyiy saja?. Apa jaminannya bahwa itu berlaku untuk semua riwayat dimana Ibrahim berkata “qaala Ibnu Mas’ud”?. Maka bagaimana mungkin bisa dinyatakan shahih jika terdapat berbagai kemungkinan yang melemahkan.

.

.

.

Syaikh Al Albaniy kemudian menukil dari Al Ala’iy yang menyebutkan bahwa jama’ah Imam telah menshahihkan riwayat mursal Ibrahim dan Al Baihaqiy telah mengkhususkan shahih mursalnya dari Ibnu Mas’ud. Pernyataan Al Ala’iy ini dapat dilihat dalam kitabnya Jami’ At Tahshiil Fii Ahkam Al Marasiil no 13 biografi Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy.

Apa yang dikatakan oleh Al Ala’iy dan dinukil oleh Syaikh Al Albaniy tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang terdapat sebagian ulama yang menyatakan shahih mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan sebagian ulama lain tetap menyatakan dhaif termasuk Al Baihaqiy. Maka penisbatan terhadap Al Baihaqiy tersebut tidak benar. Ulama yang menguatkan riwayat Ibrahim dari Ibnu Mas’ud diantaranya adalah

  1. Ath Thahawiy termasuk ulama yang menyatakan shahih riwayat mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan hujjahnya adalah berdasarkan riwayat Al A’masyiy di atas [Syarh Ma’aniy Al Atsar 1/226]. Seperti yang telah kami jelaskan di atas bahwa riwayat A’masyiy tersebut jika ditelaah secara kritis tidaklah menjadi bukti untuk menshahihkan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud.
  2. Ibnu Rajab Al Hanbaliy dalam Syarh Ilal Tirmidzi menjadikan riwayat Al A’masyiy tersebut sebagai hujjah untuk mentarjihkan riwayat mursal atas musnad dan ini berlaku khusus bagi Ibrahim An Nakha’iy dan terkhusus untuk riwayat irsal-nya dari Ibnu Mas’ud. [Syarh Ilal Tirmdizi 1/542].

Adapun ulama yang tetap menyatakan dhaif inqitha’ Ibrahim dari Ibnu Mas’ud adalah Al Baihaqiy, Al Bukhariy [sebagaimana dinukil Al Baihaqiy], Al Jurqaaniy, Adz Dzahabiy dan An Nawawiy.

Al Khilafiyat Al Baihaqiy

Al Khilafiyat juz 3 hal 356

Al Baihaqiy dalam kitabnya Al Khilaafiyyaat pernah menukil riwayat Ibrahim dari Ibnu Mas’ud kemudian ia berkata

وهذا مرسل إبراهيم لم يسمع من عبد الله بن مسعود ومرسلات إبراهيم ليست بشيء

Riwayat ini mursal, Ibrahim tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud dan riwayat-riwayat mursal Ibrahim tidak ada apa-apanya [Al Khilaafiyyaat Al Baihaqiy 2/356]


Qiraat Khalaf Imam Baihaqiy

Qiraat Khalaf Imam Baihaqiy hal 212

Al Baihaqiy dalam kitabnya Qiraa’ah Khalaf Al Imaam hal 212 menukil dari Al Bukhariy yang membawakan riwayat Salamah bin Kuhail dari Ibrahim dari Abdullah kemudian Bukhariy berkata riwayat ini mursal tidak dapat dijadikan hujjah dengannya


Abathil Jurqaniy

Abathil Jurqaniy juz 2 hal 231

Al Jurqaaniy dalam kitabnya Al Abathiil Wal Manakiir 2/231 membawakan riwayat Hammaad dari Ibrahim dari Abdullah kemudian ia menyatakan riwayat tersebut bathil mudhtharib dan Ibrahim tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud sedikitpun.


Mizan Itidal juz 1

Mizan Itidal juz 1 hal 204

Adz Dzahabiy dalam kitabnya Mizan Al I’tidal biografi Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy menyebutkan

وأنه إذا أرسل عن ابن مسعود وغيره فليس ذلك بحجة

Bahwasanya ia [Ibrahim] jika mengirsalkan dari Ibnu Mas’ud dan selainnya maka tidaklah menjadi hujjah [Mizan Al I’tidal 1/204 no 252]


Al Majmu' Nawawi juz 3

Al Majmu' Nawawi juz 3 hal 311

An Nawawiy dalam kitabnya Al Majmu’ ketika menyebutkan riwayat dari Hammaad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud maka ia berkata

 وهو ان إبراهيم النخعي لم يدرك ابن مسعود بالاتفاق فهو منقطع ضعيف

Dan ia sesungguhnya Ibrahim An Nakha’iy telah disepakati tidak menemui masa Ibnu Mas’ud maka ia munqathi’ [terputus sanadnya] dhaif [Al Majmu’ An Nawawiy 3/311-312]

Apa yang kami sebutkan di atas hanya ingin menunjukkan bahwa sebagian ulama menguatkan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan sebagian yang lain tetap melemahkan inqitha’ antara Ibrahim dan Ibnu Mas’ud. Pada dasarnya pendapat ulama yang berselisih harus ditimbang dengan kaidah ilmu manakah yang lebih rajih. Berdasarkan pembahasan sebelumnya nampak bahwa yang lebih rajih adalah tetap menyatakan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dhaif dan hal ini sudah sesuai dengan kaidah ilmu hadis.

.

.

Riwayat Kedua

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ كَعْبٍ الْمُرَادِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَإِنَّ الذِّكْرَ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman dari Muhammad bin Thalhah dari Sa’id bin Ka’b Al Muraadiy dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud yang berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman dan Dzikir menumbuhkan iman di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman” [As Sunah Al Khalaal 5/73-74 no 1650]

Atsar ini juga diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Malaaahiy hal 41 no 30 dan Al Baihaqiy dalam kitab Sunan-nya 10/223 no 2796 semuanya dengan jalan sanad Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud.

Sanad ini dhaif karena Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy tidak dikenal kredibilitasnya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat 8/262 no 13345 dan menyebutkan Muhammad bin Thalhah meriwayatkan darinya. Ibnu Abi Hatim menyebutkan biografinya dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil 4/57 no 249 tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil dan hanya menyebutkan Muhammad bin Thalhah yang meriwayatkan darinya. Berdasarkan hal ini nampak bahwa Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy adalah perawi yang majhul ‘ain karena hanya seorang yang meriwayatkan darinya, adapun penyebutan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tidak memiliki qarinah yang menguatkan ta’dilnya.

Al Bukhariy menyebutkan tentangnya hanya saja dengan nama Sa’iid bin Kulaib. Ia berkata dalam kitab Tarikh-nya

سعيد بن كليب عن محمد بن عبد الرحمن بن يزيد مرسل روى عنه محمد بن طلحة الكوفي

Sa’iid bin Kulaib meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid mursal dan telah meriwayatkan darinya Muhammad bin Thalhah Al Kuufiy [Tarikh Al Kabiir juz 3 no 1694]

Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid An Nakha’iy adalah seorang yang tsiqat termasuk perawi thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 2/106] dan Ibnu Hajar menyebutkan bahwa perawi thabaqat keenam tidak tsabit bertemu dengan seorangpun dari sahabat Nabi [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/25]. Oleh karena itu sanad di atas juga dhaif karena munqathi’ [terputus sanadnya] yaitu Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid tidak bertemu dengan Ibnu Mas’ud.

Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa perawi diantara Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dan Ibnu Mas’ud adalah Ayahnya, hanya saja riwayat ini tidak mahfuzh.

وَحَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا جَرِيرٌ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ  الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

Dan telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Laits dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dari Ayahnya yang berkata ‘Abdullah berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [As Sunnah Al Khallaal 5/73 no 1649]

Riwayat ini tidak mahfuzh karena Laits bin Abi Sulaim, ia seorang yang shaduq hanya saja mengalami ikhtilath yang berat [bercampur hafalannya] dan hadisnya tidak bisa dibedakan sehingga ditinggalkan [Taqrib At Tahdzib 2/48]. Apalagi terdapat qarinah bahwa Laits mengalami idhthirab dalam periwayatan atsar ini, sebagaimana nampak dalam riwayat berikut

حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aliy bin Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Thalhah bin Musharrif yang berkata ‘Abdullah berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 45 no 40]

Riwayat di atas menjadi bukti bahwa Laits mengalami idhthirab [kekacauan dalam periwayatan], ia terkadang meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dari ayahnya dari Ibnu Mas’ud dan terkadang meriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif dari Ibnu Mas’ud. Kekacauan periwayatan ini memang sudah dikenal terjadi padanya, oleh karena itu riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.

.

.

Riwayat Ketiga

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا وَكِيعٌ عَنْ سَلامِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ شَيْخٍ لَهُمْ لَمْ يَكُنْ يُسَمِّيهِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ أَنَّهُ دُعِيَ إِلَى وَلِيمَةٍ فَرَأَى لَعَّابِينَ فَخَرَجَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الْبَقْلَ

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Salaam bin Miskiin dari Syaikh mereka yang tidak disebutkan namanya dari Abi Wail bahwasanya ia diundang ke suatu walimah [pernikahan] maka ia melihat permainan [musik] maka ia keluar dan berkata aku mendengar Ibnu Mas’ud mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran [As Sunnah Al Khallaal 5/76 no 1658]

Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iiman 2/703 no 946 juga dengan jalan sanad Waki’ dari Salaam bin Miskiin dari Syaikh dari Abu Wail dari Ibnu Mas’ud secara mauquf.

Waki’ dalam periwayatan dari Salaam bin Miskiin tentang atsar Ibnu Mas’ud di atas secara mauquf telah diselisihi oleh

  1. Muslim bin Ibrahim yang meriwayatkan dari Salaam bin Miskiin secara marfu’ sebagaimana disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya 2/699 no 4927
  2. Haramiy bin ‘Umarah yang meriwayatkan dari Salaam bin Miskiin secara marfu’ sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malaahiy hal 45 no 41 dan Al Baihaqiy dalam kitab Sunan-nya 10/223 no 20797

Baik atsar tersebut mauquf atau marfu’ maka sanadnya tetap dhaif karena Syaikh yang disebutkan Salaam bin Miskiin tersebut majhul. Apalagi matan riwayat ini sudah jelas mungkar [karena bertentangan dengan hadis shahih], baik ulama yang mengharamkan musik maupun yang membolehkannya telah sepakat bahwa terdapat dalil shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mendengarkan nyanyian saat acara walimah.

.

.

.

Kesimpulan

Secara ringkas ada tiga riwayat Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, yaitu

  1. Riwayat Ibrahim An Nakha’iy dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena sanadnya terputus
  2. Riwayat Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena terdapat perawi majhul dan sanadnya terputus
  3. Riwayat Abu Wail dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena terdapat perawi majhul

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun atsar dengan sanad shahih dimana ‘Abdullah bin Mas’ud [radiallahu ‘anhu] mengatakan bahwa Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.

5 Tanggapan

  1. Assalamu ‘alaikum wr.wb
    Sebuah analisis yg sangat mantap…
    Maaf bang, saya keluar topik dikit. Sy ingin menanyakan tentang status Atsar berikut dalam kitab Kanzul Ummal yang dihimpun oleh Al Muttaqi Al Hindi, pada riwayat nomer 31.530, Imam Ali berkata :”Jika kalian melihat bendera-bendera Hitam, tetaplah kalian di tempat kalian berada, jangan beranjak dan jangan menggerakkan tangan dan kaki kalian (artinya tetap tenang, jangan menyambut seruan mereka, jangan larut dalam euforia mendukung pasukan itu), kemudian akan muncul kaum lemah (lemah akal sehat dan imannya), tiada yang peduli pada mereka, hati mereka seperti besi (hati keras membatu jauh dari cahaya hidayah), mereka akan mengaku sebagai Ashabul Daulah (pemilik Negara, dan saat ini ISIS telah mengumumkan berdirinya Daulah Islam di Iraq dan Syam), mereka tidak pernah menepati janji, mereka berdakwah pada Al Haq (kebenaran) tapi mereka bukan Ahlul Haq (pemegang kebenaran), namanya dari sebuah julukan, marganya dari nama daerah, rambut mereka tak pernah dicukur, panjang seperti rambut perempuan, jangan bertindak apapun sampai nanti terjadi perselisihan di antara mereka sendiri, kemudian Allah mendatangkan kebenaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya”

    Apakah atsar tersebut shohih atau dhoif??
    Terima kasih sebelumnya. Wassalam…..

  2. bang SP, tolong dijawab!!

  3. @Rayhan

    Insya Allah akan saya buat tulisan khusus tentang atsar tersebut. Salam

  4. […] siapapun yang berhujjah dengan atsar Imam Aliy tersebut. Tulisan ini kami buat sebagai jawaban dari salah satu pembaca blog ini yang menanyakan shahih tidaknya atsar tersebut dimana ia menukil dari kitab Kanz Al ‘Ummaal Muttaqiy Al Hindiy no […]

  5. rasanya ada yg kurang jika satu hari saja tidak mengunjungi blog SP. karena artikel-artikel bapak amat ilmiah sekali, setiap hari mengundang keingintahuan saya untuk tetap setia berkunjung.
    berikut dibawah saya ingin bertanya, mohon kiranya bapak bisa memberi paparan tentang benar salahnya ustad yg cukup mumpuni asal Saudi yaitu ustad Hasan Farhan Maliki dalam artikel beliau berikut ini:

    Kajian Ilmu Hadis (Bag.1) : Lima Belas Renungan Untuk Ahli Hadis


    pada bagian ini:
    Renungan Keenam: Ahli Hadis merugi akibat menjauhi sekte-sekte lain. Mereka tidak mengambil manfaat dari “akal Mu’tazilah”, tidak pula “keimanan Syi’ah” dan tidak juga “kejujuran Khawarij” [1] serta cakrawala filosofi.

    apakah benar kaum khawarij itu jujur? seberapa jauh kejujurannya? dan dalam hal apa mereka jujur? jujur saja saya belum pernah dengar atau membaca tentang kejujuran kaum khawarij.

Tinggalkan komentar