Syi’ah Agama Para Binatang Penganut Seks : Kedustaan Terhadap Syi’ah

Syi’ah Agama Para Binatang Penganut Seks : Kedustaan Terhadap Syi’ah

Tulisan ini akan menunjukkan kepada para pembaca betapa kebencian dan kebodohan bisa menjadi racun yang mematikan akal seorang muslim sehingga melahirkan berbagai kedustaan dan kemungkaran. Itulah yang terjadi pada penulis situs yang menyedihkan dimana ia menulis kedustaannya terhadap Syi’ah. Ia mengatakan bahwa Syi’ah adalah agama para binatang penganut seks. Berikut bukti yang ia tampilkan dan pembahasannya secara objektif

.

.

Bukti Pertama

Penulis itu berkata Syi’ah menjadikan Ibu sendiri sebagai objek pelampiasan syahwat. Ia membawakan nukilan berikut yang katanya dari ulama Syi’ah Hadiy Al Mudarrisiy dalam kitab Manar Al Ilm 4/386

يجوز للإبن أن يعاشر والدته إن كانت ارملة كي لاتهجر هم و تتركهم للبحث عن من يسد شهوتها

Dibolehkan bagi anak menggauli Ibunya jika dia seorang janda agar Ibunya tidak berpisah dengan mereka dan tidak meninggalkan mereka untuk mencari orang lain yang memenuhi syahwatnya

Seorang yang objektif akan menganalisis informasi secara ilmiah. Ia akan bertanya apakah nukilan tersebut benar atau autentik. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah darimana penulis tersebut menukil pernyataan ulama tersebut, apakah dari kitab aslinya atau dari orang lain yang tidak jelas juntrungannya.

Kami menelusuri situs-situs Syi’ah yang memuat berbagai kitab para ulama dan kami tidak menemukan adanya kitab Manar Al Ilm karya Hadiy Al Mudarrisiy. Tentu saja kami juga tidak bisa memastikan bahwa kitab tersebut memang benar-benar tidak ada. Apakah sesuatu yang belum anda temukan bisa anda katakan secara pasti bahwa itu tidak ada?.

Silakan penulis dusta tersebut menyebutkan darimana ia mengambil nukilan tersebut. Kalau memang ia membaca kitab aslinya maka silakan ia bawakan scan kitab aslinya, kalau ia membaca dari situs Syi’ah maka silakan ia menyebutkan situsnya, kalau ia menukil dari ulama ahlus sunnah maka silakan ia menyebutkan nama ulama tersebut beserta kitabnya, dan kalau ia menukil dari situs ahlus sunnah maka silakan ia menyebutkan situsnya.

Mengapa saya berkata demikian?. Karena terdapat qarinah kuat bahwa nukilan tersebut hanyalah dusta. Nukilan tersebut kami temukan dalam akun twitter seseorang yang menyebut dirinya Muhsin Alu ‘Ushfur, dan banyak sekali situs yang menampilkan nukilan tersebut merujuk pada akun twitter yang dimaksud. Inilah yang tertulis di akun twitter yang mengaku sebagai Muhsin Alu ‘Ushfur [kami nukil dari akun facebook seseorang yang menampilkan twitter yg dimaksud]

كما ذكر المرجع هادي المدرسي في كتابه منار العلم ( ٣٨٦/٤) يجوز للأبن أن يعاشر والدته ان كانت ارملة كي لاتهجرهم وتتركهم للبحث عن من يسد شهوتها

Sebagaimana yang disebutkan oleh Marja’ Hadiy Al Mudarrisiy dalam kitabnya Manaar Al Ilm 4/386 Dibolehkan bagi anak menggauli Ibunya jika dia seorang janda agar Ibunya tidak berpisah dengan mereka dan tidak meninggalkan mereka untuk mencari orang lain yang memenuhi syahwatnya

Syaikh Muhsin Alu ‘Ushfur memang adalah salah seorang ulama Syi’ah tetapi masalahnya disini adalah apakah benar akun twitter tersebut milik ulama Syi’ah tersebut atau milik orang yang tidak jelas juntrungannya kemudian mengatasnamakan Syaikh Muhsin Alu ‘Usfur. Apakah sulit berpikir kritis seperti itu?. Apakah kedustaan yang terkait jejaring media sosial adalah perkara yang mustahil atau malah perkara yang ma’ruf?. Bukankah begitu mudah mengaku diri sebagai siapa saja dalam jejaring sosial seperti facebook dan twitter?.

Kedustaan dan kemungkaran dari akun twitter yang mengaku Muhsin Alu ‘Ushfur itu sudah cukup banyak dan secara akal waras rasanya sangat tidak pantas hal-hal seperti itu muncul dari seorang Ulama. Sebagai perbandingan berikut ternukil klarifikasi dari Syaikh Muhsin Alu ‘Ushfur yang dimuat dalam situs alwatannews.net yang berjudul

آل عصفور: ظلاميون انتحلوا شخصيتي على «تويتر» لشق صف المسلمين

Alu ‘Ushfur : orang-orang zalim mencuri karakter saya di twitter untuk memecah belah barisan kaum muslimin

Dalam situs itu sudah disebutkan bahwa akun twitter yang mengaku sebagai ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Ushfur adalah dusta. Silakan bagi pembaca yang berminat untuk merujuk ke situs alwatannews.net

Mungkin akan ada yang berkata apa buktinya ucapan di situs alwatannews.net tersebut benar?. Jawabannya ya sama apa buktinya akun twitter tersebut benar. Kalau anda bisa bertanya seperti itu maka mengapa sebelumnya anda tidak menanyakan hal yang sama terhadap akun twitter tersebut. Bukankah ini menunjukkan bahwa pada dasarnya tidak setiap informasi dari jejaring sosial dan dunia maya bisa dijadikan hujjah. Setiap informasi yang akan dijadikan hujjah harus bisa diverifikasi untuk membuktikan kebenarannya.

Kalau memang tidak bisa dipastikan kebenarannya maka mengapa penulis tersebut dan orang-orang awam berhujjah dengannya. Bukankah hal itu hanya menunjukkan kebodohan, dan ketika kebodohan ini bercampur dengan kebencian maka hilanglah akal waras mereka. Kualitas penulis tersebut dan orang-orang yang mencela Syi’ah berdasarkan akun twitter yang tidak jelas adalah sama seperti tukang gosip dan tukang fitnah yang menelan dan menyebarkan apapun setiap ocehan buruk yang mereka dengar.

Seorang yang objektif dan ilmiah akan bersikap tawaqquf dan tidak akan menjadikan akun twitter seperti itu sebagai hujjah, tidak peduli apakah ia Ahlus sunnah ataupun Syi’ah. Kami menilai bukti yang diajukan penulis tersebut tidak ada nilai hujjahnya. Silakan ia buktikan secara valid apa yang ia tulis. Kalau memang ia tidak mengambil dari akun twitter tersebut maka tunjukkan dari mana sumber penukilannya.

.

.

Bukti Kedua

Penulis tersebut membawakan bukti kedua yang katanya menunjukkan bahwa Syi’ah menjadikan anak sendiri sebagai objek pelampiasan syahwat. Ia membawakan riwayat berikut

محمد بن الحسن باسناده عن محمد بن علي بن محبوب، عن محمد بن عيسى عن ابن محبوب، عن أبي ولاد الحناط قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام، إني اقبل بنتا لي صغيرة وأنا صائم فيدخل في جوفي من ريقها شئ؟ قال: فقال لي: لا بأس ليس عليك شئ

Muhammad bin Hasan dengan sanadnya dari Muhammad bin Aliy bin Mahbuub dari Muhammad bin ‘Iisa dari Ibnu Mahbuub dari Abi Walaad Al Hanaath yang berkata aku berkata kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] “aku mencium anak perempuanku yang masih kecil dan aku sedang puasa maka masuklah dalam kerongkonganku sesuatu dari ludahnya. [Abu Walaad] berkata maka Beliau kepadaku “tidak apa-apa, tidak diwajibkan atasmu sesuatupun” [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Amiliy 10/102]

Syaikh Al Hurr Al Amiliy memaknai riwayat di atas sebagai tidak sengaja menelan sesuatu dari ludah keduanya [istri atau anak] ketika mencium mereka. Ia menyebutkan riwayat tersebut dalam bab

باب جواز مص الصائم لسان امرأته أو ابنته وبالعكس على كراهية، وعدم بطلان الصوم بدخول ريقهما مع عدم التعمد

Bab dibolehkan seorang yang puasa menghisap lidah istrinya atau anaknya begitu pula sebaliknya dengan hukum makruh, dan tidak batal puasa dengan masuknya sesuatu dari ludah mereka berdua jika tidak sengaja [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Amiliy 10/102 bab 34]

Penulis tersebut menjadikan riwayat di atas sebagai bukti bahwa Syi’ah menjadikan anak kecil sebagai objek pelampiasan syahwat. Pertanyaannya adalah pada lafaz mana dalam riwayat yang menyebutkan demikian?. Apakah pada lafaz Abu Walaad menyebutkan ia mencium anak perempuan kecilnya?. Apakah mencium anak sendiri berarti menjadikan anak sebagai objek pelampiasan syahwat?. Dalam pandangan saya pribadi saya tidak melihat lafaz mana yang menunjukkan “objek pelampiasan syahwat”. Silakan para pembaca menilainya

Dalam kitab hadis ahlus sunnah juga ditemukan riwayat dimana menyebutkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mencium Hasan bin Aliy [diantaranya riwayat Abu Hurairah dan riwayat Mu’awiyah].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا جرير عن عبد الرحمن بن عوف الجرشي عن معاوية قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يمص لسانه أو قال شفته يعني الحسن بن علي صلوات الله عليه وانه لن يعذب لسان أو شفتان مصهما رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Qaasim yang berkata telah menceritakan kepada kami Jariir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf Al Jurasyiy dari Mu’awiyah yang berkata aku melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menghisap lidah atau [perawi] berkata mulutnya yakni Hasan bin Aliy shalawat Allah atasnya, dan sesungguhnya tidak akan disiksa lidah atau mulut yang dihisap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Musnad Ahmad 4/93 no 16894]

Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata mengenai hadis ini

إسناده صحيح رجاله ثقات رجال الصحيح غير عبد الرحمن بن أبي عوف الجرشي فقد روى له أبو داود والنسائي وهو ثقة

Sanadnya shahih para perawinya tsiqat perawi shahih selain ‘Abdurrahman bin ‘Auf Al Jurasyiy, sungguh Abu Dawud dan Nasa’i memiliki riwayatnya, dan dia tsiqat [Musnad Ahmad 4/93 no 16894]

Orang yang akalnya dipenuhi kebencian dan pikiran kotor tentu ketika menemukan riwayat dimana seorang Ayah mencium anaknya yang masih kecil maka yang ada dalam pikirannya hanyalah syahwat. Mungkin itulah yang terjadi pada penulis tersebut. Bukti yang ia bawakan hanya menunjukkan kerendahan akal pikirannya.

.

.

Bukti Ketiga

Penulis tersebut berkata bahwa tidak hanya mencium bahkan Syi’ah membolehkan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha anak kecil. Penulis tersebut mengutip Sayyid Khumainiy yang berkata

وأما سائر الاستمتاعات كاللمس بشهوة والضم والتفخيذ فلا بأس بها حتى في الرضيعة

Adapun cara-cara mencari kenikmatan seperti menyentuh dengan syahwat, memeluk, dan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha maka itu tidak mengapa bahkan dengan bayi yang masih menyusui [Tahriir Al Wasiilah Sayyid Al Khumainiy 2/241]

Perkataan tersebut memang ada dalam kitab Sayyid Al Khumainiy yaitu Tahriir Al Wasillah. Jika penulis tersebut memaksudkan bahwa perkataan Khumainiy di atas membolehkan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha anak kecil secara mutlak maka ia telah berdusta.

Sebenarnya yang dikatakan Al Khumainiy itu berkaitan dengan status anak kecil tersebut sebagai istri seorang suami. Inilah perkataan lengkapnya, Sayyid Al Khumainiy berkata

لا يجوز وطء الزوجة قبل إكمال تسع سنين، دواما كان النكاح أو منقطعا، وأما سائر الاستمتاعات كاللمس بشهوة والضم والتفخيذ فلا بأس بها حتى في الرضيعة،

Tidak diperbolehkan bersetubuh dengan istrinya sebelum ia mencapai usia Sembilan tahun baik itu nikah daim atau nikah mut’ah, Adapun cara-cara mencari kenikmatan seperti menyentuh dengan syahwat, memeluk, dan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha maka itu tidak mengapa bahkan dengan bayi yang masih menyusui [Tahriir Al Wasiilah Sayyid Al Khumainiy 2/241]

Jadi fatwa Sayyid Al Khumainiy menyebutkan bolehnya menikahi anak wanita yang masih kecil tetapi dengan perincian bahwa hubungan badan hanya boleh dilakukan jika usia anak sudah mencapai 9 tahun sedangkan cara mencari kenikmatan lain selain hubungan badan maka itu dibolehkan.

Siapapun boleh mempertanyakan apa dalil dari fatwa seorang ulama kemudian menerima ataupun menolak fatwa tersebut. Syi’ah memiliki dalil soal larangan melakukan hubungan badan dengan istri sampai usia 9 tahun. Adapun soal mencari kesenangan selain hubungan badan maka tidak ada dalil keterangan tentangnya sehingga Sayyid Khumainiy memutlakkan kebolehannya sebagaimana seorang suami boleh mencari kesenangan dengan istrinya. Seandainya pun ada yang tidak setuju dengan fatwa tersebut maka layaknya seorang yang berijtihad, Sayyid Al Khumainiy bisa saja keliru dalam hal ini dan mungkin ulama lain ada yang lebih benar darinya.

Yang kami herankan adalah mengapa penulis tersebut menjadikan fatwa ini sebagai hujjah untuk merendahkan Syi’ah. Apakah penulis tersebut tidak pernah membaca masalah seperti ini dalam kitab ahlus sunnah?. Faktanya masalah ini dibahas juga oleh para ulama Ahlus Sunnah. An Nawawiy pernah berkata

Syarh Shahih Muslim juz 9

An Nawawi Syarh Shahih Muslim jilid 9 hal 206

وأما وقت زفاف الصغيرة المزوجة والدخول بها فإن اتفق الزوج والولي على شيء لا ضرر فيه على الصغيرة عمل به وإن اختلفا فقال أحمد وأبو عبيد تجبر على ذلك بنت تسع سنين دون غيرها وقال مالك والشافعي وأبو حنيفة حد ذلك أن تطيق الجماع ويختلف ذلك باختلافهن ولا يضبط بسن وهذا هو الصحيح

Adapun waktu mengadakan pesta pernikahan anak kecil dan bercampur dengannya maka jika suami dan wali anak tersebut bersepakat atas tidak membahayakan anak tersebut maka hal itu bisa dilakukan dan jika mereka [suami dan wali] berselisih maka Ahmad dan Abu Ubaid berkata boleh dipaksa bercampur jika usia anak sudah mencapai 9 tahun tetapi tidak jika usianya kurang dari itu dan Malik, Syafi’i Abu Hanifah berkata batasannya adalah ia mampu melakukan jima’ dan hal ini berbeda sesuai perbedaan diantara mereka [anak-anak tersebut] dan tidak ada batasan usia, inilah yang shahih. [Syarh Shahih Muslim An Nawawiy 9/206]

Dalam nukilan di atas An Nawawiy membolehkan bercampur dengan anak kecil yang sudah menjadi istri jika suami dan wali bersepakat atas tidak membahayakan bagi anak tersebut dan jika suami dan wali tidak bersepakat maka hal itu tergantung apakah anak tersebut sudah mampu melakukan jima’ dan hal ini tidak ada batasan usianya. Dalam kitabnya yang lain An Nawawiy mengakui akan bolehnya menikah dengan anak kecil yang masih menyusui [Raudathul Thaalibin An Nawawiy 4/379], An Nawawiy berkata

Raudhatul Thalibin

Raudhatul Thalibin Nawawi hal 379

يجوز وقف ما يراد لعين تستفاد منه ، كالأشجار للثمار ، والحيوان للبن والصوف والوبر والبيض ، وما يراد لمنفعة تستوفى منه ، كالدار ، والأرض ، ولا يشترط حصول المنفعة والفائدة في الحال ، بل يجوز وقف العبد والجحش الصغيرين ، والزمن الذي يرجى زوال زمانته ، كما يجوز نكاح الرضيعة

Dibolehkan mewakafkan sesuatu yang dapat diambil hasilnya seperti pohon untuk diambil buahnya, hewan untuk diambil susu, rambut, bulu dan telurnya. [dan dibolehkan mewakafkan] sesuatu yang dapat digunakan manfaatnya seperti rumah dan tanah. Tidak disyaratkan bahwa hasil manfaat dan faidahnya bisa diperoleh pada saat itu. Bahkan dibolehkan mewakafkan budak dan keledai yang masih kecil dan waktu yang diharapkan akan habis, sebagaimana dibolehkan menikahi bayi yang masih menyusui [Raudhathul Thaalibin An Nawawiy 4/379]

Silakan para pembaca memperhatikan apa bedanya fatwa Sayyid Al Khumainiy dengan apa yang dikatakan An Nawawiy. Bahkan An Nawawiy membolehkan suami bercampur dengan istrinya yang masih kecil jika suami dan waliy bersepakat atas tidak membahayakan anak tersebut. Sedangkan Al Khumainiy memutlakkan bahwa bercampur hanya boleh dilakukan ketika usia 9 tahun tetapi mencari kesenangan selain bercampur itu dibolehkan. Kalau dengan fatwa Sayyid Al Khumainiy membuat mazhab Syi’ah jadi tercela maka dengan fatwa An Nawawiy juga bisa dikatakan mazhab ahlus sunnah tercela.

Contoh lain datang dari Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughniy dimana ia membolehkan mencumbui budak walaupun ia adalah anak yang masih kecil

Mughniy Ibnu Qudamah juz 11

Mughniy Ibnu Qudamah

فأما الصغيرة التي لا يوطأ مثلها ، فظاهر كلام الخرقي تحريم قبلتها ومباشرتها لشهوة قبل استبرائها وهو ظاهر كلام أحمد ، وفي أكثر الروايات عنه ، قال تستبرأ ، وإن كانت في المهد . وروي عنه أنه قال إن كانت صغيرة بأي شيء تستبرأ إذا كانت رضيعة . وقال في رواية أخرى : تستبرأ بحيضة إذا كانت ممن تحيض ، وإلا بثلاثة أشهر إن كانت ممن توطأ وتحبل . فظاهر هذا أنه لا يجب استبراؤها ، ولا تحرم مباشرتها . وهذا اختيار ابن أبي موسى ، وقول مالك ، وهو الصحيح  لأن سبب الإباحة متحقق . وليس على تحريمها دليل ، فإنه لا نص فيه ، ولا معنى نص ; لأن تحريم مباشرة الكبيرة إنما كان لكونه داعيا إلى الوطء المحرم ، أو خشية أن تكون أم ولد لغيره ، ولا يتوهم هذا في هذه ، فوجب العمل بمقتضى الإباحة

Adapun anak yang masih kecil yang belum bisa disetubuhi, maka Al Kharqiy mengatakan haram untuk menciumnya dan mencumbuinya dengan syahwat sebelum ia istibra’. Dan ini juga perkataan Ahmad dan dalam banyak riwayat darinya, ia berkata “harus istibra’ meskipun dia masih dalam buaian”. Dan diriwayatkan darinya bahwa ia berkata “sesungguhnya anak yang masih kecil dengan apa ia istibra’  jika ia masih menyusui. Dan dalam riwayat lain “istibra’ itu dengan haid jika ia masih mengalami haidh jika tidak maka dengan tiga bulan untuk perempuan yang bisa disetubuhi dan bisa hamil”. Maka yang nampak disini adalah tidak wajib istibra’-nya dan tidak haram mencumbuinya, inilah pendapat yang dipilih Ibnu Abi Muusa dan perkataan Malik. Dan inilah yang shahih karena sudah ada sebab pembolehannya dan tidak ada dalil pengharamannya, tidak ada nash tentangnya dan juga tidak ada makna nash. Karena pengharaman mencumbui perempuan dewasa hanya disebabkan karena dapat mendorong terjadinya persetubuhan yang diharamkan atau kekhawatiran kemungkinan ia Ibu dari anak laki-laki lain dan itu tidak mungkin terjadi pada kasus ini. Maka wajib untuk menetapkan kebolehannya. [Al Mughniy Ibnu Qudamah 11/276]

Orang yang objektif akan menilai informasi apa adanya dan tidak menjadikan kebenciannya menutupi akal warasnya. Tidak suka terhadap mazhab Syi’ah ya boleh-boleh saja tetapi silakan katakan yang benar tentang mereka dan kritiklah mereka secara ilmiah.

.

.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa bukti-bukti yang dibawakan penulis tersebut atas tuduhannya Syi’ah agama binatang penganut seks semuanya tidak bernilai. Orang yang menjadikan hal-hal seperti itu sebagai bukti hanya menunjukkan bahwa ia ingin menipu orang awam atau ia seorang yang pura-pura bodoh sehingga ketika hal itu bercampur dengan kebencian maka lahirlah kedustaan dan kemungkaran. Kami berlindung kepada Allah SWT dari orang-orang yang seperti ini.

8 Tanggapan

  1. mantaf

  2. Thx pak Yai..

  3. […] sudah pernah saya sampaikan bantahan mengenai kepalsuan twitter tersebut atas nama ulama Syi’ah dalam tulisan disini. Petunjuk lain akan kepalsuannya adalah jika para pembaca mengklik link tersebut yang dahulu […]

  4. Saya yakin kebenaran ajaran Islam tidak bisa dicapai dengan rasa egoisme, prasangka buruk dan benci. Harus sabar, terus belajar dan tabayyun, insyaallah akan turun hidayah kebenaran itu. Wallahua’lam,

  5. Pertanyaan saya, nukilan2 di atas, ternyata memang ada ya di kitab2 agama syiah?

  6. Nukilan2 yg sy maksud, ini..
    —-
    Bab dibolehkan seorang yang puasa menghisap lidah istrinya atau anaknya begitu pula sebaliknya dengan hukum makruh, dan tidak batal puasa dengan masuknya sesuatu dari ludah mereka berdua jika tidak sengaja [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Amiliy 10/102 bab 34]
    —-
    Tidak diperbolehkan bersetubuh dengan istrinya sebelum ia mencapai usia Sembilan tahun baik itu nikah daim atau nikah mut’ah, Adapun cara-cara mencari kenikmatan seperti menyentuh dengan syahwat, memeluk, dan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha maka itu tidak mengapa bahkan dengan bayi yang masih menyusui [Tahriir Al Wasiilah Sayyid Al Khumainiy 2/241]
    —-

  7. […] sudah pernah saya sampaikan bantahan mengenai kepalsuan twitter tersebut atas nama ulama Syi’ah dalam tulisan disini. Petunjuk lain akan kepalsuannya adalah jika para pembaca mengklik link tersebut yang dahulu […]

Tinggalkan komentar