Benarkah Mazhab Syi’ah Mengkafirkan Mayoritas Sahabat Nabi?

Benarkah Mazhab Syi’ah Mengkafirkan Mayoritas Sahabat Nabi?

Salah satu diantara Syubhat para pembenci Syi’ah [baik dari kalangan nashibiy atau selainnya] adalah Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi kecuali tiga orang. Mereka mengutip beberapa hadis dalam kitab Syi’ah untuk menunjukkan syubhat tersebut.

Dalam tulisan ini akan kami tunjukkan bahwa syubhat tersebut dusta, yang benar di sisi mazhab Syi’ah adalah para sahabat Nabi telah tersesat dalam perkara Imamah Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] tetapi itu tidak mengeluarkan mereka dari Islam dan terlepas dari perkara Imamah cukup banyak para sahabat Nabi yang dipuji oleh Imam Ahlul Bait [‘alaihis salaam]

Dalam pembahasan ini akan dibahas hadis-hadis mazhab Syi’ah yang sering dijadikan hujjah untuk menunjukkan kekafiran mayoritas sahabat Nabi. Hadis-hadis tersebut terbagi menjadi dua yaitu

  1. Hadis yang dengan jelas menggunakan lafaz “murtad”
  2. Hadis yang tidak menggunakan lafaz “murtad”

.

.

.

Hadis Dengan Lafaz Murtad

Hadis yang menggunakan lafaz murtad dalam masalah ini ada lima hadis, empat hadis kedudukannya dhaif dan satu hadis mengandung illat [cacat] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Berikut hadis-hadis yang dimaksud

Riwayat Pertama

علي بن الحكم عن سيف بن عميرة عن أبي بكر الحضرمي قال قال أبو جعفر (عليه السلام) ارتد الناس إلا ثلاثة نفر سلمان و أبو ذر و المقداد. قال قلت فعمار ؟ قال قد كان جاض جيضة ثم رجع، ثم قال إن أردت الذي لم يشك و لم يدخله شي‏ء فالمقداد، فأما سلمان فإنه عرض في قلبه عارض أن عند أمير المؤمنين (عليه السلام) اسم الله الأعظم لو تكلم به لأخذتهم الأرض و هو هكذا فلبب و وجئت عنقه حتى تركت كالسلقة فمر به أمير المؤمنين (عليه السلام) فقال له يا أبا عبد الله هذا من ذاك بايع فبايع و أما أبو ذر فأمره أمير المؤمنين (عليه السلام) بالسكوت و لم يكن يأخذه في الله لومة لائم فأبى إلا أن يتكلم فمر به عثمان فأمر به، ثم أناب الناس بعد فكان أول من أناب أبو ساسان الأنصاري و أبو عمرة و شتيرة و كانوا سبعة، فلم يكن يعرف حق أمير المؤمنين (عليه السلام) إلا هؤلاء السبعة

Aliy bin Al Hakam dari Saif bin Umairah dari Abi Bakar Al Hadhramiy yang berkata Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata orang-orang murtad kecuali tiga yaitu Salman, Abu Dzar dan Miqdaad. Aku berkata ‘Ammar?. Beliau berkata “sungguh ia telah berpaling kemudian kembali” kemudian Beliau berkata “sesungguhnya orang yang tidak ada keraguan didalamnya sedikitpun adalah Miqdaad, adapun Salman bahwasanya ia nampak dalam hatinya nampak bahwa di sisi Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] terdapat nama Allah yang paling agung yang seandainya ia meminta dengannya maka bumi akan menelan mereka. Dia ditangkap dan diikat lehernya sampai meninggalkan bekas, ketika Amirul mukminin melintasinya, Ia berkata kepadanya [Salman] “wahai Abu ‘Abdullah, inilah akibat perkara ini, berbaiatlah” maka ia berbaiat. Adapun Abu Dzar maka Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] memerintahkannya untuk diam dan tidak terpengaruh dengan celaan para pencela di jalan Allah, ia menolak dan berbicara maka ketika Utsman melintasinya ia memerintahkan dengannya, kemudian orang-orang kembali setelah itudan mereka yang pertama kembali adalah Abu Saasaan Al Anshariy, Abu ‘Amrah dan Syutairah maka mereka jadi bertujuh, tidak ada yang mengenal hak Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] kecuali mereka bertujuh [Rijal Al Kasyiy 1/47 no 24]

Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya dhaif karena terputus Antara Al Kasyiy dan Aliy bin Al Hakaam. Syaikh Ja’far Syubhaaniy berkata

وكفى في ضعفها أن الكشي من أعلام القرن الرابع الهجري القمري ، فلا يصح أن يروي عن علي بن الحكم ، سواء أكان المراد منه الأنباري الراوي عن ابن عميرة المتوفى عام ( 217 ه) أو كان المراد الزبيري الذي عده الشيخ من أصحاب الرضا ( عليه السلام ) المتوفى عام 203

Dan cukup untuk melemahkannya bahwa Al Kasyiy termasuk ulama abad keempat Hijrah maka tidak shahih ia meriwayatkan dari Aliy bin Al Hakam, jika yang dimaksud adalah Al Anbariy yang meriwayatkan dari Ibnu Umairah maka ia wafat tahun 217 atau jika yang dimaksud adalah Az Zubairiy yang disebutkan Syaikh dalam sahabat Imam Ar Ridha [‘alaihis salaam] maka ia wafat tahun 203 H [Adhwaa ‘Ala ‘Aqa’id Syi’ah Al Imamiyah, Syaikh Ja’far Syubhaaniy hal 523]

Disebutkan riwayat di atas oleh Al Mufiid dalam Al Ikhtishaash dengan sanad yang bersambung hingga Aliy bin Al Hakam, berikut sanadnya

علي بن الحسين بن يوسف، عن محمد بن الحسن، عن محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن إسماعيل، عن علي بن الحكم، عن سيف بن عميرة، عن أبي بكر الحضرمي قال: قال أبوجعفر عليه السلام: ارتد الناس إلا ثلاثة نفر: سلمان وأبوذر، والمقداد

Aliy bin Husain bin Yuusuf dari Muhammad bin Hasan dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad bin Isma’iil dari ‘Aliy bin Al Hakam dari Saif bin ‘Umairah dari Abu Bakar Al Hadhramiy yang berkata Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata “orang-orang telah murtad kecuali tiga yaitu Salmaan, Abu Dzar dan Miqdaad…[Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid hal 10]

Terlepas dari kontroversi mengenai kitab Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid. Riwayat Al Mufiid di atas sanadnya dhaif sampai Aliy bin Al Hakam karena Aliy bin Husain bin Yuusuf dan Muhammad bin Isma’iil majhul

  1. Aliy bin Husain bin Yusuf, Syaikh Asy Syahruudiy dalam biografinya menyatakan “mereka tidak menyebutkannya” [Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy 5/359 no 9957]
  2. Muhammad bin Isma’iil Al Qummiy meriwayatkan dari Aliy bin Al Hakam dan telah meriwayatkan darinya Muhammad bin Yahya [Mu’jam Rijal Al Hadits 16/118 no 10293]. Disebutkan bahwa ia majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 502]

Kesimpulannya riwayat di atas dhaif tidak tsabit sanadnya sampai ke Aliy bin Al Hakam maka tidak bisa dijadikan hujjah

.

.

Riwayat Kedua 

محمد بن إسماعيل، قال حدثني الفصل بن شاذان، عن ابن أبي عمير عن إبراهيم بن عبد الحميد، عن أبي بصير، قال: قلت لأبي عبد الله ارتد الناس الا ثلاثة أبو ذر وسلمان والمقداد قال: فقال أبو عبد الله عليه السلام: فأين أبو ساسان وأبو عمرة الأنصاري؟

Muhammad bin Isma’iil berkata telah menceritakan kepadaku Al Fadhl bin Syadzaan dari Ibnu Abi ‘Umair dari Ibrahiim bin ‘Abdul Hamiid dari Abi Bashiir yang berkata aku berkata kepada Abu ‘Abdullah “orang-orang telah murtad kecuali tiga yaitu Abu Dzar, Salmaan dan Miqdaad”. Maka Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata “maka dimana Abu Saasaan dan Abu ‘Amrah Al Anshaariy?” [Rijal Al Kasyiy 1/38 no 17]

Riwayat ini sanadnya dhaif karena Muhammad bin Isma’iil An Naisaburiy yang meriwayatkan dari Fadhl bin Syadzaan adalah seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 500]

.

.

Riwayat Ketiga    

عدة من أصحابنا، عن محمد بن الحسن عن محمد بن الحسن الصفار، عن أيوب بن نوح، عن صفوان بن يحيى، عن مثنى بن الوليد الحناط، عن بريد بن معاوية، عن أبي جعفر عليه السلام قال: ارتد الناس بعد النبي صلى الله عليه وآله إلا ثلاثة نفر: المقداد بن الأسود، وأبو ذر الغفاري وسلمان الفارسي، ثم إن الناس عرفوا ولحقوا بعد

Sekelompok dari sahabat kami dari Muhammad bin Hasan dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Ayuub bin Nuuh dari Shafwaan bin Yahya dari Mutsanna bin Waliid Al Hanaath dari Buraid bin Mu’awiyah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata “orang-orang telah murtad sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] keucali tiga yaitu Miqdaad bin Aswad, Abu Dzar Al Ghifaariy, dan Salman Al Faarisiy kemudian orang-orang mengenal dan mengikuti setelahnya [Al Ikhtishaas Syaikh Mufiid hal 6]

Riwayat Al Mufiid di atas kedudukannya dhaif karena tidak dikenal siapakah “sekelompok sahabat” yang dimaksudkan dalam sanad tersebut.

.

.

Riwayat Keempat

وعنه عن محمد بن الحسن، عن محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن الحسين، عن موسى بن سعدان، عن عبد الله بن القاسم الحضرمي، عن عمرو بن ثابت قال سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول إن النبي صلى الله عليه وآله لما قبض ارتد الناس على أعقابهم كفارا ” إلا ثلاثا ” سلمان والمقداد، وأبو ذر الغفاري، إنه لما قبض رسول الله صلى الله عليه وآله جاء أربعون رجلا ” إلى علي بن أبي طالب عليه السلام فقالوا لا والله لا نعطي أحدا ” طاعة بعدك أبدا “، قال ولم؟ قالوا إنا سمعنا من رسول الله صلى الله عليه وآله فيك يوم غدير [خم]، قال وتفعلون؟ قالوا نعم قال فأتوني غدا ” محلقين، قال فما أتاه إلا هؤلاء الثلاثة، قال وجاءه عمار بن ياسر بعد الظهر فضرب يده على صدره، ثم قال له مالك أن تستيقظ من نومة الغفلة، ارجعوا فلا حاجة لي فيكم أنتم لم تطيعوني في حلق الرأس فكيف تطيعوني في قتال جبال الحديد، ارجعوا فلا حاجة لي فيكم

Dan darinya dari Muhammad bin Hasan dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad bin Husain dari Muusa bin Sa’dan dari ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy dari ‘Amru bin Tsabit yang berkata aku mendengar ‘Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan “Sesungguhnya setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, maka orang-orang murtad kecuali tiga orang yaitu Salman, Miqdad dan Abu Dzar Al Ghiffariy. Sesungguhnya setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, datanglah empat puluh orang lelaki kepada Aliy bin Abi Talib. Mereka berkata “Tidak, demi Allah! Selamanya kami tidak akan mentaati sesiapapun kecuali kepadamu. Beliau berkata Mengapa?. Mereka berkata “Sesungguhnya kami telah mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan tentangmu pada hari Ghadir [Khum]. Beliau berkata “apakah kamu semua akan melakukannya?” Mereka berkata “ya”. Beliau berkata “datanglah kamu besok dengan mencukur kepala”. [Abu ‘Abdillah] berkata “Tidak datang kepada Ali kecuali mereka bertiga. [Abu ‘Abdillah] berkata: ‘Ammar bin Yasir datang setelah Zuhur. Beliau memukul tangan ke atas dadanya dan berkata kepada Ammar Mengapa kamu tidak bangkit daripada tidur kelalaian? Kembalilah kamu, kerana aku tidak memerlukan kamu. Jika kamu tidak mentaati aku untuk mencukur kepala, lantas bagaimana kamu akan mentaati aku untuk memerangi gunung besi, kembalilah kamu, aku tidak memerlukan kamu” [Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid hal 6]

Riwayat Syaikh Al Mufiid di atas berdasarkan Ilmu Rijal Syi’ah sanadnya dhaif jiddan karena Musa bin Sa’dan dan ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy

  1. Muusa bin Sa’dan Al Hanath ia adalah seorang yang dhaif dalam hadis [Rijal An Najasyiy hal 404 no 1072]
  2. ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy seorang pendusta dan ghuluw [Rijal An Najasyiy hal 226 no 594]

.

.

Riwayat Kelima

حنان، عن أبيه، عن أبي جعفر (ع) قال: كان الناس أهل ردة بعد النبي (صلى الله عليه وآله) إلا ثلاثة فقلت: ومن الثلاثة؟ فقال: المقداد بن الاسود وأبوذر الغفاري و سلمان الفارسي رحمة الله وبركاته عليهم ثم عرف اناس بعد يسير وقال: هؤلاء الذين دارت عليهم الرحا وأبوا أن يبايعوا حتى جاؤوا بأمير المؤمنين (ع) مكرها فبايع وذلك قول الله تعالى: ” وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين

Hannan dari ayahnya [Sadiir], dari Abu Ja‘far [‘alaihis salaam] yang berkata “Sesungguhnya orang-orang adalah Ahli riddah [murtad] setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wa alihi] wafat kecuali tiga orang. [Sadiir] berkata ‘Siapa ketiga orang itu?’ Maka Beliau berkata ‘Miqdaad bin Aswad, Abu Dzar Al Ghifariy dan Salman Al Farisiy [semoga Allah memberikan rahmat dan barakah kepada mereka]. Kemudian orang-orang mengetahui sesudah itu. Beliau berkata mereka itulah yang menghadapi segala kesulitan dan tidak memberikan ba’iat sampai mereka mendatangi Amirul Mukminin [‘alaihissalaam] yang dipaksa mereka memberi ba’iat. Demikianlah yang difirmankan Allah SWT “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang, barang siapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur [Al Kafiy Al Kulainiy 8/246 no 341]

Sebagian orang mendhaifkan sanad ini dengan mengatakan bahwa riwayat Al Kulainiy terputus Antara Al Kulainiy dan Hanaan bin Sadiir. Nampaknya hal ini tidak benar berdasarkan penjelasan berikut

Riwayat di atas juga disebutkan Al Kasyiy dalam kitab Rijal-nya dengan sanad Dari Hamdawaih dan Ibrahim bin Nashiir dari Muhammad bin ‘Utsman dari Hannan dari Ayahnya dari Abu Ja’far [Rijal Al Kasyiy 1/26 no 12]. Al Majlisiy dalam kitabnya Bihar Al Anwar mengutip hadis Al Kasyiy tersebut kemudian mengutip sanad Al Kafiy dengan perkataan berikut

الكافي: علي عن أبيه عن حنان مثله

Al Kafiy : Aliy [bin Ibrahim] dari Ayahnya dari Hanaan seperti di atas [Bihar Al Anwar 28/237]

Al Kulainiy menyebutkan dalam Al Kafiy pada riwayat sebelumnya sanad yang sama yaitu nampak dalam riwayat berikut

علي بن ابراهيم، عن أبيه، عن حنان بن سدير، ومحمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد عن محمد بن إسماعيل، عن حنان بن سدير، عن أبيه قال: سألت أبا جعفر

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Hanaan bin Sadiir dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Muhammad bin Isma’iil dari Hanaan bin Sudair dari Ayahnya yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]… [Al Kafiy Al Kulainiy 8/246 no 340]

Maka disini dapat dipahami bahwa dalam pandangan Al Majlisiy sanad utuh riwayat tersebut adalah Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Hanaan dari Ayahnya dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam]

Sanad ini para perawinya tsiqat selain Sadiir bin Hakiim Ash Shairaafiy, ia tidak dikenal tautsiq-nya dari kalangan ulama mutaqaddimin Syi’ah tetapi Allamah Al Hilliy telah menyebutkannya dalam bagian pertama kitabnya yang memuat perawi yang terpuji dan diterima di sisi-nya. Dalam kitabnya tersebut Al Hilliy juga menukil Sayyid Aliy bin Ahmad Al Aqiiqiy yang berkata tentang Sadiir bahwa ia seorang yang mukhalith [kacau atau tercampur] [Khulashah Al Aqwaal hal 165 no 3]. Pentahqiq kitab Khulashah Al Aqwal berkata bahwa lafaz mukhalith tersebut bermakna riwayatnya ma’ruf dan mungkar

Dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Allamah Al Hilliy, Sadiir bin Hakiim termasuk perawi yang diterima hanya saja dalam sebagian riwayatnya kacau sehingga diingkari. Kedudukan perawi seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud dan tidak diterima hadisnya jika bertentangan dengan riwayat perawi tsiqat. Berikut riwayat shahih dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang membuktikan keislaman para sahabat pada saat itu

أبى رحمه الله قال: حدثنا سعد بن عبد الله قال: حدثنا أحمد بن محمد ابن عيسى، عن العباس بن معروف، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن بريد بن معاوية، عن أبي جعفر ” ع ” قال: إن عليا ” ع ” لم يمنعه من أن يدعو الناس إلى نفسه إلا انهم ان يكونوا ضلالا لا يرجعون عن الاسلام أحب إليه من أن يدعوهم فيأبوا عليه فيصيرون كفارا كلهم

Ayahku [rahimahullah] berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari ‘Abbaas bin Ma’ruuf dari Hammad bin Iisa dari Hariiz dari Buraid bin Mu’awiyah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata sesungguhnya Aliy [‘alaihis salaam], tidak ada yang mencegahnya mengajak manusia kepadanya kecuali bahwa mereka dalam keadaan tersesat tetapi tidak keluar dari Islam lebih ia sukai daripada ia mengajak mereka dan mereka menolaknya maka mereka menjadi kafir seluruhnya [Ilal Asy Syara’i Syaikh Ash Shaduq 1/150 no 10]

Riwayat Syaikh Ash Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan para perawinya

  1. Ayah Syaikh Shaduq adalah ‘Aliy bin Husain bin Musa bn Babawaih Al Qummiy disebutkan oleh An Najasyiy Syaikh yang faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684]
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
  3. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  4. ‘Abbaas bin Ma’ruf Abu Fadhl Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 281 no 743]
  5. Hammaad bin Iisa Abu Muhammad Al Juhaniy seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370]
  6. Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]
  7. Buraid bin Mu’awiyah meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat faqiih [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 81-82]

Riwayat Syaikh Ash Shaduq dengan jelas menyatakan bahwa para sahabat yang tidak membaiat Imam Aliy [‘alaihis salaam] pada saat itu memang dalam keadaan tersesat tetapi tidak keluar dari Islam.

.

.

.
Hadis Yang Tidak Ada Lafaz Murtad

Ada dua hadis yang tidak mengandung lafaz “murtad” hanya menunjukkan bahwa mereka para sahabat meninggalkan baiat atau telah tersesat dan celaka kecuali tiga orang. Dan berdasarkan hadis shahih sebelumnya [riwayat Syaikh Ash Shaduq] mereka para sahabat yang tidak membaiat Imam Aliy adalah orang-orang yang tersesat tetapi tidak keluar dari Islam

.

Riwayat Pertama

محمد بن مسعود، قال حدثني علي بن الحسن بن فضال، قال حدثني العباس ابن عامر، وجعفر بن محمد بن حكيم، عن أبان بن عثمان، عن الحارث النصري بن المغيرة، قال سمعت عبد الملك بن أعين، يسأل أبا عبد الله عليه السلام قال فلم يزل يسأله حتى قال له: فهلك الناس إذا؟ قال: أي والله يا ابن أعين هلك الناس أجمعون قلت من في الشرق ومن في الغرب؟ قال، فقال: انها فتحت على الضلال أي والله هلكوا الا ثلاثة ثم لحق أبو ساسان وعمار وشتيرة وأبو عمرة فصاروا سبعة

Muhammad bin Mas’ud berkata telah menceritakan kepadaku Aliy bin Hasan bin Fadhl yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abbas Ibnu ‘Aamir dan Ja’far bin Muhammad bin Hukaim dari Aban bin ‘Utsman dari Al Harits An Nashriy bin Mughiirah yang berkata aku mendengar ‘Abdul Malik bin ‘A’yun bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], ia tidak henti-hentinya bertanya kepadanya sampai ia berkata kepadanya “maka orang-orang telah celaka?”. Beliau berkata “demi Allah, wahai Ibnu A’yun orang-orang telah celaka seluruhnya”. Aku berkata “orang-orang yang di Timur dan orang-orang yang di Barat?”. Beliau berkata “sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan, demi Allah mereka celaka kecuali tiga kemudian diikuti Abu Saasaan, ‘Ammar, Syutairah dan Abu ‘Amrah hingga mereka jadi bertujuh [Rijal Al Kasyiy 1/34-35 no 14]

Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya muwatstsaq para perawinya tsiqat hanya saja Aliy bin Hasan bin Fadhl disebutkan bahwa ia bermazhab Fathahiy dan Aban bin ‘Utsman bermazhab menyimpang

  1. Muhammad bin Mas’ud termasuk guru Al Kasyiy dan ia seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 350 no 944]
  2. Aliy bin Hasan bin Fadhl orang Kufah yang faqih, terkemuka, tsiqat dan arif dalam ilmu hadis [Rijal An Najasyiy hal 257 no 676]
  3. ‘Abbaas bin ‘Aamir bin Rabah, Abu Fadhl Ats Tsaqafiy seorang syaikh shaduq tsiqat banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 281 no 744]
  4. Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3]
  5. Al Harits bin Mughiirah meriwayatkan dari Abu Ja’far, Ja’far, Musa bin Ja’far dan Zaid bin Aliy, tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 139 no 361]
  6. Abdul Malik bin A’yun termasuk sahabat Imam Baqir [‘alaihis salaam] dan Imam Shadiq [‘alaihis salaam], disebutkan dalam riwayat shahih oleh Al Kasyiy mengenai kebaikannya dan istiqamah-nya [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 356]. Allamah Al Hilliy memasukkannya ke dalam daftar perawi yang terpuji atau diterima di sisinya [Khulashah Al Aqwaal hal 206 no 5]

Riwayat Al Kasyiy di atas tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi karena dalam lafaz riwayat-nya memang tidak terdapat kata-kata kafir atau murtad. Riwayat diatas menjelaskan bahwa para sahabat telah celaka dan mengalami kesesatan [karena perkara wilayah] tetapi hal ini tidaklah mengeluarkan mereka dari Islam sebagaimana telah ditunjukkan riwayat shahih sebelumnya.
.

.

Riwayat Kedua

حمدويه، قال حدثنا أيوب عن محمد بن الفضل وصفوان، عن أبي خالد القماط، عن حمران، قال: قلت لأبي جعفر عليه السلام ما أقلنا لو اجتمعنا على شاة ما أفنيناها! قال، فقال: الا أخبرك بأعجب من ذلك؟ قال، فقلت: بلي. قال: المهاجرون والأنصار ذهبوا (وأشار بيده) الا ثلاثة

Hamdawaih berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub dari Muhammad bin Fadhl dan Shafwaan dari Abi Khalid Al Qamaath dari Hamran yang berkata aku berkata kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] “betapa sedikitnya jumlah kita, seandainya kita berkumpul pada hidangan kambing maka kita tidak akan menghabiskannya”. Maka Beliau berkata “maukah aku kabarkan kepadamu hal yang lebih mengherankan daripada itu?”. Aku berkata “ya”. Beliau berkata “Muhajirin dan Anshar meninggalkan [dan ia berisyarat dengan tangannya] kecuali tiga [Rijal Al Kasyiy 1/37 no 15]

Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Hamdawaih bin Nashiir dia seorang yang memiliki banyak ilmu dan riwayat, tsiqat baik mazhabnya [Rijal Ath Thuusiy hal 421]
  2. Ayuub bin Nuuh bin Daraaj, agung kedudukannya di sisi Abu Hasan dan Abu Muhammad [‘alaihimus salaam], ma’mun, sangat wara’, banyak beribadah dan tsiqat dalam riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 102 no 254]
  3. Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
  4. Yaziid Abu Khalid Al Qammaath seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 452 no 1223]
  5. Hamran bin A’yun termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2]

Riwayat Al Kasyiy di atas juga tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi karena tidak ada dalam riwayat tersebut lafaz kafir atau murtad. Riwayat ini menunjukkan bahwa para sahabat meninggalkan Imam Aliy dan membaiat khalifah Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dan sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih sebelumnya bahwa mereka telah tersesat tetapi hal itu tidak mengeluarkan mereka dari Islam.

.

.

Kesimpulan

Dalam mazhab Syi’ah, Para sahabat Nabi yang tidak membaiat Imam Aliy [‘alaihis salaam] telah tersesat [kecuali tiga orang] karena menurut mazhab Syi’ah, Imamah Aliy bin Abi Thalib telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi walaupun begitu disebutkan juga dalam hadis shahih mazhab Syi’ah bahwa kesesatan para sahabat tersebut tidaklah mengeluarkan mereka dari islam.

88 Tanggapan

  1. Assalamu`alaykum

    Pada artikel antum yg berjudul “Bukti Shahih Mazhab Syi’ah Memuji Sahabat Nabi” disebutkan pada 6 riwayat dlm tulisan itu ttg pujian utk shahabat2 lain yg jumlahnya sampai 12 ribu dan pada bbrp riwayat disitu ada yg menyebutkan nama shahabat.

    Lalu bagaimana mengkompromikannya dengan riwayat pada artikel ini yg menyatakan bahwa manusia (para shahabat) telah tersesat (meskipun tidak keluar dari islam) kecuali 3 orang –dan pada salah satu riwayat disebutkan kecuali 7 orang (Salman, Miqdad, Abu Dzar, Abu Saasaan, ‘Ammar, Syutairah dan Abu ‘Amrah)–. Mafhumnya, selain 3 orang itu atau 7 orang itu maka selebihnya sesat (meskipun tidak keluar dari islam) ?

    Mohon tanggapannya, terimakasih 🙂

  2. Asww, pembahasan yang menarik dari Bung SP. Yang ingin saya tanyakan bagaimana pandangan yang diyakini Bung SP tentang status sahabat yang tidak meyakini Imamah Sayyidina Ali ra? Bagaimana juga pendapat Bung SP tentang kepemimpinan ketiga orang Khalifah yang diakui oleh Ahlu sunnah? Mohon pencerahannya. Wassalam.

  3. @Ahmad

    Pandangan saya tentang para sahabat dan ketiga khalifah sudah saya sebutkan disini

    Apa Mazhab Penulis Blog Secondprince?

    Silakan membacanya pada link tersebut

  4. @Naufal Assagaf

    Wa ‘alaikum salam. Bagi saya itu sudah jelas, bahwa kesesatan yang dimaksud adalah dalam hal mereka tidak membaiat Imam Aliy. Terlepas dari perkara itu para sahabat adalah orang-orang yang mulia. Pada dasarnya manusia itu tidak benar-benar hitam dan benar-benar putih. Semua orang memiliki kebaikan dan keburukan hanya saja berbeda kadarnya, begitu pula para sahabat. Secara umum para sahabat memiliki keutamaan dan kemuliaan tetapi bukan berarti mereka tidak pernah salah atau tersesat dalam perkara tertentu. Adapun masalah hisab mereka itu nanti urusannya kembali kepada Allah SWT.

    Jadi dari sisi saya pribadi, saya melihat tidak ada pertentangan antara riwayat Syi’ah yang menyatakan para sahabat tersesat dalam perkara Imamah dengan riwayat Syi’ah yang menyatakan keutamaan sahabat

  5. Maaf bung SP saya belum mendapatkan keterangan yang jelas dari link artikel sebelumnya yang antum tulis. Artikel itu pun saya sudah pernah baca. Yang ingin saya tanyakan berdasarkan pendapat Anda pribadi apakah kepemimpinan tiga khalifah awal yang diyakini Ahlu Sunnah adalah sah? Soalnya menurut saya hal ini sangat penting & prinsip. Afwan.

  6. @Ahmad

    Kalau saudara tidak bisa memahaminya dari tulisan yang saya berikan maka saya tidak keberatan menjelaskannya. Dalam pandangan saya berdasarkan hadis-hadis shahih yang jadi pegangan saya, Imam Aliy adalah Pemimpin sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang harus dipegang teguh. Beliau adalah pedoman bagi umat islam agar tidak tersesat. Para sahabat termasuk ketiga khalifah yang ternyata tidak menjadikan Imam Aliy sebagai pemimpin jelas keliru, saya tidak akan berbasa-basi mengatakannya.

    Kesimpulannya dalam pandangan saya, para sahabat telah melakukan kekeliruan dalam hal kepemimpinan tersebut, yang benar adalah mereka seharusnya menjadikan Imam Aliy sebagai pemimpin berdasarkan nash dan wasiat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi walaupun begitu kesalahan mereka tidaklah membuat mereka menjadi kafir, bahkan Imam Aliy sendiri walaupun mengakui kepemimpinan dirinya, Beliau tetap berbaiat kepada ketiga khalifah dan masih tetap menghormati mereka. Insya Allah saya akan berusaha meneladani apa yang dilakukan Imam Aliy tersebut yaitu tetap mengakui ketiga khalifah dan menghormati mereka walaupun mereka telah melakukan kesalahan karena tidak menjadikan Imam Aliy sebagai pemimpin

  7. Terimakasih atas tanggapannya. Semoga ga keberatan saya ada pertanyaan lanjutan dari tanggapan antum itu, yaitu jika kepemimpinan Imam Ali AS sebagai khalifah Rasulullah SAW adalah suatu yang di wasiatkan/diperintahkan oleh beliau SAW, maka tentunya membaiat Ali AS sbg khalifah adalah suatu kewajiban bagi seluruh ummat Rasulullah SAW pada saat itu yaitu para shahabatnya, dan jika mereka tidak membaiat Ali sbg khalifah dan malah membaiat orang lain selain Ali (yaitu Abu Bakar) maka berarti mereka telah mengkhianati wasiat Rasulullah SAW, orang yg mengkhianati Rasulullah pastinya adalah sesat, lalu bagaimana antum mengatakan bahwa mereka sesat dalam hal mereka tidak membaiat Imam Aliy, tapi mereka masih dipuji dengan pujian dan kemuliaan? Sepertinya jadi terkesan kontradiksi antara mengkhianati wasiat Rasulullah SAW dengan mendapat pujian dan kemuliaan?

    Terimakasih sebelumnya atas penjelasannya 🙂

  8. @Naufal Assagaf

    Menurut saya apa yang dilakukan oleh Imam Aliy itu sudah jelas. Dalam hal ini saya berusaha berpedoman pada apa yang dilakukan Imam Aliy. Dan menurut saya itu tidak kontradiksi, saya memahaminya seperti ini. Kesesatan disini adalah dalam hal mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nash. Pertanyaannya adalah apakah kesesatan yang mereka lakukan ini kontradiksi dengan keutamaan mereka. Tentu saja tidak wahai saudara, silakan gunakan bahasa yang sederhana. Menurut anda para sahabat itu bisa salah atau tidak. Jika anda mengatakan tidak bisa salah maka itu berarti anda ghuluw terhadap sahabat tetapi jika anda mengatakan para sahabat bisa salah, lantas apakah itu berarti harus menolak semua keutamaan para sahabat. Pahamilah dalil atau nash sesuai dengan proporsinya masing-masing. Berhati-hatilah dalam menempatkan asumsi ke dalam dalil atau nash tersebut.

    Cobalah untuk memahami bahwa para sahabat itu bersamaan dengan keutamaan yang mereka miliki tetaplah semuanya adalah manusia yang bisa melakukan kesalahan atau tersesat dalam perkara tertentu. Saya tidak akan terjebak dengan sebagian pihak yang justru menafikan kesalahan sahabat dengan adanya keutamaan mereka atau sebagian pihak yang justru menafikan keutamaan sahabat dengan adanya kesalahan mereka. Tidak ada yang perlu dinafikan, pahami nash atau dalil tersebut dengan apa adanya.

  9. terimakasih penjelasannya, saya selalu berusaha memahami kondisi mereka secara objektif sebagaimana yg antum jelaskan bahwa mereka tidak terbebas dari kesalahan. Lalu bagaimana pandapat antum ttg knp Imam Aliy membiarkan 3 khalifah sblm beliau, sedangkan Mu’awiyah diperangi? jika 3 khalifah pertama tidak berhak atas kepemimpinan yg harusnya diserahkan ke Imam Aliy, maka tentu Imam Aliy punya alasan berdasarkan nash wasiat Rasulullah utk merebut kepemimpinan mereka (seperti beliau memerangi Mu’awiyah), atau minimal beliau tidak membaiat mereka.

  10. @Naufal Assegaf

    Saya pribadi tidak mau terjebak dalam perkara sebagai seseorang yang lebih tahu bagaimana seharusnya Imam Aliy begini begitu. Apa yang anda permasalahkan itu pada dasarnya hampir sama dengan syubhat mengenai Imam Hasan membaiat Mu’awiyah. Sebagian orang berkata kalau memang Mu’awiyah begini begitu maka mengapa Imam Hasan membaiatnya. Kalau memang Imam Hasan mengakui kepemimpinannya mengapa membaiat Mu’awiyah. Bagi saya, ahlul bait adalah pedoman maka mereka yang menjadikan ahlul bait pedoman seharusnya mengikuti apa yang dilakukan ahlul bait. Terlepas dari apakah hal itu bisa dimengerti atau tidak dan disukai atau tidak.

    Saya ingin meminta konfirmasi dulu dari anda. Pertanyaan anda tersebut, apakah anda menginginkan jawaban dari sudut pandang saya dalam hal apa yang saya yakini dan saya pegang atau menginginkan jawaban dari sudut pandang mazhab Syi’ah yang saya ketahui?. Silakan dijawab terlebih dahulu

  11. Terimakasih atas penjelasan antum yg cukup bijak.
    Adapun jawaban yg saya harapkan dari antum tentunya adalah dari sudut pandang pendapat pribadi yg antum yakini sendiri. Tapi kalo antum juga berkenan menambahkannya dgn informasi pendapat pandangan syi’ah yg antum ketahui, maka itu lebih bagus karena bisa menambah wawasan saya dan pembaca lainnya.

  12. @Naufal Assegaf

    Pandangan saya pribadi mengenai pertanyaan anda, akan saya jawab berdasarkan persepsi saya. Persepsi saya : Imam Aliy membiarkan ketiga khalifah karena Beliau tidak mau menjadi orang yang memecah belah kaum muslimin pada saat itu. Adapun Mu’awiyah maka justru ia adalah orang yang membuat makar memecah belah kaum muslimin karena pada saat itu Imam Aliy sudah menjadi pemimpin atau sudah dibaiat oleh kaum muslimin maka sudah tugas Imam Aliy untuk memerangi Mu’awiyah

    Adapun sudut pandang mazhab Syi’ah [sejauh yang saya pahami]. Imam Aliy membiarkan ketiga khalifah dapat dilihat pada riwayat Ash Shaduq dalam tulisan di atas bahwa Beliau lebih suka mereka para sahabat tersesat tetapi tidak keluar dari Islam daripada Beliau mengajak orang-orang berperang dan sebagian yang menolak bahkan memerangi Beliau malah menjadi kafir karenanya. Sedangkan mengapa Beliau memerangi Mu’awiyah karena pada dasarnya Mu’awiyah adalah makhluk yang paling buruk yang dari awal memang berniat memerangi Imam Aliy, yah begitulah yang tertera dalam nash di sisi Syi’ah

  13. Terimakasih atas kesediaan antum menjawab setiap pertanyaan saya, jazakallahukhayran.

  14. Jawapan yang menarik. Andai mereka2 yang berselesih tentang Syiah membaca apa2 yang anda tulis disini…..

  15. sy bisa simpulkan,..di dalam kita memahami sunnah para ahlulbayt nabi saw haruslah menyeluruh tdk parsial person per person….pd kasus imam ali as dlm menyikapi ke 3 khalifah awal jelas…dia sdh melakukan usaha protes selama 3 bulan terhadap khalifah pertama…selanjutnya berbaitnya imam ali as dikemudiannya adalah tindakan yg mmg seharusnya dia lakukan ketika kondisi dan keadaannya tdk mendukung utk melakukan pemberontakan,.artinya melihat unsur psikologi kebanyakan umat islam pd saat itu yg masih labil sedngkan sedikit sekali umat islam yg setia pd keimamahan ali as maka perlu strategi agar kemurnian ajaran dan wasiat nabi saw tetap terjaga…toh tindakan pemberontakan thdp pemikiran sesat sebahagin sahabat hatta istri nabi saw dilakukan juga olh imam ali as pd pristiwa perang jamal menjadi pembenaran adanya tindakan perlawanan dr ahlulbyt as thdp sebagian sahabat ??!….kmdian baiatnya imam hussein pd muawiyah setahu sy adlh refleksi beliau thdp ajaran yg dilakukan ayahandanya ketika mnghadapi 3 khalifah awal…berbeda dgn imam hussein as yg berusaha memenuhi panggilan syiahnya di kuffah utk bersedia menghadapi pasukan yazid la dengan pertimbangan bahwa unsur utk mengadakan perlawanan thdp yazid la sdh terpenuhi yakni jumlah pengikut syiah yg banyak adalh juga refleksi dr tindakan ayahandanya ktika menyikapi perang jamal…so bahwa kita harus memahami ajaran dan sikap ahlulbayt para aimah as thdp sebagian sahabat adalah ada yg mengalah dulu utk menang dan ada juga yg melakukan perlawanan yg mengorbankan nyawa banyak sahabat ternyata mesti disikapi secara menyeluruh karna adanya kondisi dan situasi yg berbedabeda….jelas pd ahirnya pertimbangannya adalah menjaga persatuan umat dan terpenting menjaga wasiat dan ajaran nabi saw tetap utuh dan otentik….nah lalu di kaitkan dgn keadaan umat skrg ini jelas fatwa imam khomeini ra pd syiah utk menjaga persatuan islam dgn suni dan saling menghormati adlah mash senafas dan berkelindan dengan sunnah para aimmah as smpai munculnya imam ahir jama maka segala toleransi sdh tdk akan berlaku lg di dlm hal menerima keimammahannya. salam

  16. di kaitkan dgn keadaan umat skrg ini jelas fatwa imam khomeini ra pd syiah utk menjaga persatuan islam dgn suni dan saling menghormati adlah mash senafas dan berkelindan dengan sunnah para aimmah as smpai munculnya imam ahir jaman maka segala toleransi sdh tdk akan berlaku lg di dlm hal menerima keimammahannya mengingat unsur internal islam yg mayoritas adlh faham khilafiyah dan itupun mereka msh terpecahbelah ke dua unsur eksternal musuh islam yg snagat kuat dan massiv yg tdk mgkin dilawan jika syarat umat islam sdh mayoritas bersatu ….skrg gimana mau melawan musuh luar israel dan barat sedngkan di dlm islamnya sendiri msh suka ribut…wahabi si pemecah belah malah sering ribut antar pengikutnya dan justru menjadi mazhab yg paling pecah belah hehheh (ada salafi A ada salafi B ada muhammadiyah ada persis ada LDII ada ada aja ) di NU juga ngga jauh beda lah dan ini akan menjadi santapan lezat bg israel….ayo sadarlah musuh sdh siap menerkam kita yg sdh pecahbelah dan lemah ini !

  17. di kaitkan dgn keadaan umat skrg ini jelas fatwa imam khomeini ra pd syiah utk menjaga persatuan islam dgn suni dan saling menghormati adlah mash senafas dan berkelindan dengan sunnah para aimmah as smpai munculnya imam ahir jaman maka segala toleransi sdh tdk akan berlaku lg di dlm hal menerima keimammahannya mengingat unsur internal islam yg mayoritas adlh faham khilafiyah dan itupun mereka msh terpecahbelah ke dua unsur eksternal musuh islam yg sangat kuat dan massiv yg tdk mgkin dilawan kecuali syarat umat islam sdh mayoritas bersatu ….skrg gimana mau melawan musuh luar israel dan barat sedngkan di dlm islamnya sendiri msh suka ribut…wahabi si pemecah belah malah sering ribut antar pengikutnya dan justru menjadi mazhab yg paling pecah belah hehheh (ada salafi A ada salafi B ada muhammadiyah ada persis ada LDII ada ada aja ) di NU juga ngga jauh beda lah dan ini akan menjadi santapan lezat bg israel….ayo sadarlah musuh sdh siap menerkam kita yg sdh pecahbelah dan lemah ini !

  18. Pak kyai SP,

    Thx bgt. Sangat jelas sekali penjelasan anda…

  19. Great Discussion..!!
    Penjelasan “Kyai” SP sangat konsisten. Semoga bisa mengurangi hasut.

    salam damai

  20. @TS08
    betul kang..saat ini hasut menghasut utk pecahbelah ala khonnas sdh mewabah di negeri kita dan hebatnya justru juga dilakukan oleh seorang tokoh nasional kita yg sngat kita hormat dan ini sungguh sngat sy sayangkani baca :

    Mahfud MD Fitnah Syi’ah Anti Pancasila

  21. Terima kasih atas tanggapan bung SP. Klo menurut pandangan saya secara pribadi agak sulit dipahami sosok semulia Imam Ali kw membaiat 3 kali Khalifah yang “keliru”. Jadi seakan Imam Ali kw melakukan 2 “kesalahan”, yaitu : membaiat orang yang keliru & tidak menjadikan pemimpin sesuai wasiat RasuluLlah SAW. Maka bagi saya, saya akan jadikan Imam Ali kw sebagai pedoman, dengan baiat Imam Ali kepada ketiga khalifah, maka berarti ketiga khalifah tersebut adalah pemimpin yang benar. WaLlahua’lam.

  22. @Ahmad

    Silakan saja apapun yang saudara yakini itu adalah kebebasan saudara. Saya sudah menyampaikan apa pandangan saya. Bagi saya dengan logika yang anda tunjukkan sama halnya dengan mengatakan bahwa Mu’awiyah pemimpin yang benar karena Imam Hasan telah membaiatnya. Dan itu sangat tidak benar karena Mu’awiyah sudah jelas adalah pemimpin kelompok baghiyah yang mengajak ke neraka sebagaimana yang tertera dalam hadis shahih, jadi bagaimana mungkin dikatakan Mu’awiyah adalah pemimpin yang benar.

    Dalam salah satu tulisan di blog ini juga saya sudah pernah menunjukkan riwayat shahih bahwa Imam Aliy mengakui kalau dirinya yang paling berhak soal khilafah tetapi Beliau tetap membaiat ketiga khalifah. Artinya baiat tersebut tidak membuktikan bahwa kepemimpinan ketiga khalifah tersebut benar karena Imam Aliy tetap mengakui Ia yang paling berhak. Saya tidak akan memaksakan pandangan saya kepada anda. Saya sudah banyak memaparkan hujjah saya di blog ini, maka silakan anda atas apa yang anda yakini dan saya atas apa yang saya yakini. Salam

  23. maaf mas sp
    tapi mengapa ada riwayat yang mengatakan imam ali pernah menolak menjadi kholifah setela kholifah usman.(saya ga tahu riwayat ini sahih apa ga).
    apakah seorang imam diharuskan untuk jadi kholifah..?

    trimakasih
    salam

  24. maaf mas sp
    tapi mengapa ada riwayat yang mengatakan imam ali pernah menolak menjadi kholifah setela kholifah usman.(saya ga tahu riwayat ini sahih apa ga).
    apakah seorang imam diharuskan untuk jadi kholifah..?
    mohon penjelasannya

    trimakasih
    salam

  25. @Ahmad

    Saya ingin tanya mas, apakah sebuah baiat itu pasti didasari oleh sebuah niat yang tulus ataukah ada kemungkinan sebuah baiat itu didasari oleh alasan2 lainnya?

    Mohon bantuannya supaya saya bisa memahami masalah ini dengan baik. Terima kasih.

    Salam.

  26. @angling

    Klo nyang ane baca penolakan Imam Ali disebabkan permintaan atas
    kewajiban untuk menjalankan sunnah khalifah – khalifah sebelumnye (Abu Bakar & Umar) Imam Ali menolak sedangkan Ustman bilang gak masalah. Jadi yang ditolak itu bukan sebagai Khalifahnye tapi menjalankan sunah -sunah khalifah sebelumnye. Gitu masbro

  27. JazakaLlah atas tanggapan bung SP, klo soal Imam Hasan ra & Muawiyah tentu Imam Hasan ra lebih afdhal, namun karena beliau sebagai khulafaurasyidin dan juga atas dasar hadist Rasul SAW bahwa cucunya tersebut adalah yang akan mendamaikan ummat, maka menurut saya kepemimpinan Muawiyah menjadi sah, karena mandat yang diberikan oleh Imam Hasan.
    Soal pengakuan Imam Ali bahwa beliau yang paling berhak, menurut saya sangat pantas mengingat kedudukan beliau yang sangat mulia, namun hal ini tidak mengurangi sama sekali keabsahan kepemimpinan ketiga khalifah. Lagian juga sepanjang pengetahuan saya meyakini keabsahan keempat beliau radhiyaLlahuanhum adalah termasuk salah satu keyakinan standar Ahlu Sunnah wal Jamaah, bisa dirujuk di berbagai kitab, diantaranya kitab “Nashaihah Diniyah” karya Al Sayyid AbduLlah Al Haddad. Tapi bagaimanapun saya menghargai pendapat antum.
    @ Ki Joko : Klo untuk niat seseorang berbaiat, ya hanya Allah yang tau Ki. Tapi klo pribadi luhur nan mulai seperti Imam Ali & Imam Hasan ra saya yakin sepenuhnya baiat mereka hanyalah karena Allah SWT semata.
    WaLlahua’lam.

  28. @Ahmad
    Terima kasih atas jawabannya. Saya sepakat dengan sampean mas apapun yang dilakukan oleh Imam Ali adalah karena Allah semata. Tapi pertanyaan saya belum terjawab atau saya yg kurang memahami jawaban dari sampean,

    “Klo untuk niat seseorang berbaiat, ya hanya Allah yang tau Ki.”

    Apakah ini artinya ada kemungkinan bahwa alasan baiat itu tidak didasari keinginan yang tulus dalam artian pengakuan terhadap kepemimpinan orang yang dibaiat?

    Tapi klo pribadi luhur nan mulai seperti Imam Ali & Imam Hasan ra saya yakin sepenuhnya baiat mereka hanyalah karena Allah SWT semata.

    Apakah baiat yang didasari hanya karena Allah SWT itu artinya pasti baiat dengan niat yang tulus dan pengakuan terhadap kepemimpinan seseorang yang dibaiat? Pertanyaan saya yg ini sama dengan pertanyaan saya yg pertama, saya hanya ingin mengkonfirmasi pandangan anda terkait pertanyaan saya biar saya ga salah memahami apa yg sampean sampaikan kepada saya.
    Maaf sebelumnya kalo byk tanya, saya lg belajar agama karena saya muallaf. Terima kasih.

  29. @Ahmad

    Waduh masih lanjut ya, saya cuma ingin memperjelas perbedaan antara anda dan saya terutama berkaitan dengan komentar anda sebelumnya dan komentar terbaru anda yang menurut saya agak rancu

    Maaf jika saya katakan saya sebenarnya agak heran dengan apa sebenarnya poin yang anda maksudkan. Dari komentar anda sebelumnya anda mengatakan bahwa ketiga khalifah itu pemimpin yang benar karena Imam Aliy membaiat mereka. Berangkat dari sini anda sebenarnya ingin mengatakan bahwa tidak ada nash untuk Imam Aliy jika ada maka tidak mungkin Beliau membaiat ketiga khalifah. Menurut anda kalau nash tersebut ada maka baiat Imam Aliy berarti kesalahan.

    Maka saya benturkan pemahaman anda itu dengan baiat Imam Hasan. Apakah baiat Imam Hasan menunjukkan bahwa Mu’awiyah adalah pemimpin yang benar?. Anda menjawab Imam Hasan lebih afdhal dan ada hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan mendamaikan umat, maka anda menyimpulkan kepemimpinan Mu’awiyah sah. Saya tidak tahu apakah kata “sah” yang anda gunakan disini sama hal-nya dengan menyatakan Mu’awiyah pemimpin yang benar.

    Jika memang sama maka silakan anda membaca hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menyatakan bahwa Mu’awiyah adalah pemimpin kelompok baghiyah yang mengajak ke neraka. Coba anda pikirkan apakah baiat Imam Hasan membatalkan nash Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Mu’awiyah adalah pemimpin kelompok baghiyah yang menyeru ke neraka. Bukankah dengan cara berpikir anda, bisa dikatakan seperti ini : jika memang ada nash menyatakan Mu’awiyah pemimpin kelompok pembangkang yang menyeru ke neraka maka baiat Imam Hasan jelas keliru, jadi nash tersebut tidak ada. Faktanya nash tersebut ada maka yang bermasalah sebenarnya adalah cara berpikir anda.

    Maka kelirulah cara berpikir anda yang menyatakan bahwa dengan baiat tersebut seakan Imam Aliy melakukan kesalahan. Faktanya nash tersebut ada [terlepas dari berbagai syubhat yang meragukannya, pembahasannya sudah cukup banyak di blog ini] dan dengan adanya nash tersebut maka tidak pada tempatnya menyatakan seakan Imam Aliy melakukan kesalahan dan membenarkan ketiga khalifah sama halnya tidak pada tempatnya menyatakan Imam Hasan melakukan kesalahan dan membenarkan Mu’awiyah karena nash telah membuktikan bahwa kebenaran ada pada Imam Hasan dan Mu’awiyah berada dalam kesesatan

    Silakan saja kalau anda mau menisbatkan diri atas nama Ahlus Sunnah. Saya lebih suka berpegang pada dalil, perbedaan kita disini adalah saya berpegang pada hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengenai kepemimpinan Imam Aliy sedangkan anda berpendapat nash tersebut tidak ada. Sekali lagi disini saya hanya ingin memperjelas perbedaan antara anda dan saya. Jika ada dari perkataan saya di atas ternyata tidak ada dalam diri anda, maka silakan disampaikan dan saya mohon maaf atas kekeliruan saya tersebut

  30. Tulisan ini sangat bagus supaya saudara-saudara kita dari kalangan sunni tahu bahawa kami tidak mengkafirkan 3 khalifah, hanya saja mereka tersesat. Imam kami sendiri mengakuinya ketika ditanya seorang wanita

    فسألته عنهما فقال لها: توليهما؟ قالت: فأقول لربي إذا لقيته إنك أمرتني بولايتهما قال: نعم

    “Maka ia (wanita) menanyakan kepadanya (Imam) mengenai keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar), maka Imam menjawab; “Berwalalah kepada keduanya”. Ia (wanita) kembali bertanya; ‘Maka aku akan katakan kepada Tuhanku ketika aku berjumpa dengan-Nya bahwa engkau memerintahkan kepadaku untuk berwala kepada keduanya.’ Sang Imam menjawab; “Ya”
    [Al-Kafiy, 8/237 no. 319]

  31. @All
    Jika SP masih mengambangkan/mempertanyakan perbedaan “sah” dan “benar”. Saya pribadi memahami sebagai sesuatu yang berbeda.
    Baiat Imam Ali ataupun Imam Hasan menjadikan kekhalifahan mereka yang dibaiat menjadi “sah” bukan menjadikannya benar.
    Sah disini artinya, Imam Ali dan Imam Hasan dan mereka yang merasa menjadi pengikut Beliau tidak akan melakukan perlawanan fisik terhadap kekhalifahan yang sudah dibaiat.
    Juga saya setuju dengan pendapat @Ahmad, yang menyatakan bahwa baiat para Imam adalah baiat yang semata2 karena Allah SWT (Ikhlas/Tulus). Tentunya dalam kehidupan yang nyata untuk mencapai Ikhlas ada kompromi2 dari tingkat nilai2 kebenaran. Mungkin bagi orang awam sebagaimana kita ini cukup membingungkan untuk mengkompromikan adanya nilai2 yang saling berbenturan, namun bagi mereka para Imam ini adalah sesuatu yang sudah mendarah daging.

    Salam Damai

  32. @ Bung SP : Maaf saya perjelas sedikit, bahwa saya tidak berkomentar soal ada atau tidak adanya nash / dalil, karena tentu bung SP lebih paham tentang hal ini. Tapi inti dari pernyataan saya adalah bahwa dengan adanya baiat Imam Ali ra, menunjukan salah satu bukti bahwa kekhalifahan ketiga khalifah adalah sah. Begitu pula baiat Imam Hasan menjadikan salah satu bukti bahwa kepemimpinan Muawiyah sah, walapun dia bukan lagi khalifah, melainkan raja biasa. Soal pribadi Muawiyah, silahkan saja antum bersikap, sedangkan saya pribadi tidak akan menjelek2kan beliau. Semua urusan beliau saya serahkan saja kepada Allah SWT.
    @ Ki Joko : Baiat dengan tulus ya mungkin saja namanya orang kan beda2. Sedangkan untuk kedua Imam ra saya meyakini ketulusan niat mereka, juga pengakuan akan kepemimpinan yang dibaiat, karena yang namanya baiat tentu pengakuan terhadap kepemimpinan yang dibaiat. WaLlahua’lam.

  33. Maaf sedikit menambahkan bahwa soal ada atau tidaknya nash bahwa Imam Ali ra adalah khalifah setelah Rasul SAW? Jawabnya adalah memang tidak ada dan inilah Ulama ASWAJA. Tolong dikoreksi klo keliru.

  34. bung Ahmad, tolong kalau menulis yg runut sehingga yg membaca tdk susah mikirnya, maaf kalimat anda agak rumit / susah dipahami.

  35. @ Wahyu Joko : Maaf ya mungkin memang gaya tulisan saya yang kurang bagus, kira2 kalimat yang mana yang kurang jelas Mas Wahyu ???

  36. @Ahmad

    Maaf saya perjelas sedikit, bahwa saya tidak berkomentar soal ada atau tidak adanya nash / dalil, karena tentu bung SP lebih paham tentang hal ini

    Pada komentar anda sebelumnya, anda menyinggung sedikit masalah nash atau wasiat tersebut. Silakan perhatikan ucapan anda sendiri

    Jadi seakan Imam Ali kw melakukan 2 “kesalahan”, yaitu : membaiat orang yang keliru & tidak menjadikan pemimpin sesuai wasiat RasuluLlah SAW.

    Bukankah saya sudah katakan sebelumnya, saya hanya ingin memperjelas perbedaan antara anda dan saya karena poin yang ingin anda kemukakan dalam komentar anda sebelumnya agak rancu dan tidak jelas di mata saya.

    Kalau di komentar sekarang anda hanya mempermasalahkan soal sah atau tidak sah kekhalifahan ketiga Khalifah dan Mu’awiyah. Maka silakan anda menjawab pertanyaan saya apakah sah yang anda maksudkan itu bermakna bahwa “khalifah itu pemimpin yang benar”?. mengapa saya bertanya demikian? karena sebelumnya anda berkomentar seperti ini

    Maka bagi saya, saya akan jadikan Imam Ali kw sebagai pedoman, dengan baiat Imam Ali kepada ketiga khalifah, maka berarti ketiga khalifah tersebut adalah pemimpin yang benar

    Komentar saya sebelumnya membahas perkataan anda yang saya cetak tebal, itu saja. Soal sah atau tidak sah sebagai khalifah sudah saya jawab. Yang namanya sah sebagai khalifah bukan berarti khalifah tersebut adalah pemimpin yang benar. Karena saya berpegang pada nash shahih yang menunjukkan kepemimpinan Imam Aliy maka kepemimpinan ketiga khalifah tersebut keliru. Mengapa Imam Aliy membaiat kalau memang keliru? itu sudah saya jawab pada komentar sebelumnya. Dan dalam pikiran anda hal itu terasa aneh maka sudah saya kasih contoh pula baiat Imam Hasan kepada Mu’awiyah. Terdapat nash bahwa Mu’awiyah adalah pemimpin kelompok baghiyah yang mengajak ke neraka tetapi Imam Hasan tetap membaiatnya. Silakan baca kembali komentar saya sebelumnya, Itulah perbedaan yang jelas antara anda dan saya

    Kemudian perkataan anda bahwa tidak ada nash kepemimpinan Imam Aliy dan inilah perkataan Ulama Aswaja, tidak ada yang perlu saya nafikan. Saya tahu itu, tetapi itu tidak menjadi hujjah bagi saya karena dalam metode saya perkataan ulama harus ditimbang dengan kaidah ilmu, dalam tulisan di blog ini saya sudah cukup sering menunjukkan dalil shahih kepemimpinan Imam Aliy yang semuanya adalah hadis kitab Ahlus Sunnah yang menjadi pegangan saya. Perkataan ulama jika bertentangan dengan nash shahih ya saya tinggalkan.

    Silakan kalau anda mau melihatnya di tulisan dalam daftar artikel, dimulai hadis dengan lafaz maula, hadis dengan lafaz waliy dan hadis dengan lafaz khalifah. Bahkan syubhat-syubhat dari para pengingkar pun juga sudah saya bahas. Saya mau saja mendiskusikan masalah ini tetapi silakan anda pikirkan apakah anda ingin mencari kebenaran dengan berpegang pada dalil atau anda ingin merasa lebih tenang dan percaya dengan ulama Aswaja yang anda katakan sebelumnya. Saya disini bukan siapa-siapa jadi kalau anda hanya ingin membandingkan siapa saya dengan para ulama Aswaja yang anda katakan tersebut maka silakan lebih baik anda cukupkan diri anda dengan mereka dan saya tidak perlu menghabiskan waktu saya untuk mendiskusikan nash tersebut. Salam

  37. @TS08

    Komentar yang baik sekali dan saya sependapat dengan apa yang Mas sampaikan. Sebelumnya saya mempertanyakan kepada saudara Ahmad semata-mata agar ia memperjelas maksud yang ingin ia sampaikan dari kata sah tersebut. Salam 🙂

  38. @Ahmad

    “karena yang namanya baiat tentu pengakuan terhadap kepemimpinan yang dibaiat. WaLlahua’lam.”

    Terima kasih atas jawabannya. Tapi saya menemukan ayat al-quran yg bunyinya seperti ini :

    “Allah swt berfirman, Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, Dan hanya kepada Allah kamu kembali. ” (QS. Ali ‘Imran [3]: 28)”

    Yang ingin saya tanyakan terkait ayat di atas, bukankah ayat tsb menjadikan adanya kemungkinan bahwa orang-orang mukmin ketika mengambil teman/wali/penolong dilakukan secara terpaksa dengan berbagai alasannya, dan perbuatan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang didasari karena Allah SWT semata, karena Allah mengijinkannya.

    Mohon penjelasannya, Mungkin yang lain bisa ikut membantu saya menemukan jawaban dari pertanyaan2 saya diatas. Matur Suwun.

  39. Menurut hemat saya, sebenarnya terkait kepemimpinan masalah niat baiat bukanlah masalah utama dan tidak dapat dijadikan dalil apapun terkait sah atau tidaknya kepemimpinan seseorang. Karena manusia hanya bisa menghukumi apa2 yang tampak saja.

    Terkait kepemimpinan dalam islam saya tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh. Dan yang pasti dan tentu semuanya sepakat, bahwa kepemimpinan dalam Islam haruslah merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya, dan pijakan inilah yang harus dijadikan tolak ukur benar tidaknya/sah tidaknya kepemimpinan seseorang atas Umat Islam. Apakah dengan baiat mayoritas kaum muslimin atau dengan selainnya. Selama kita tidak mendapatkan titik temu terkait dengan cara menentukan pemimpin umat Islam menurut Allah dan Rasulnya, maka selama itu pula lah kita hanya akan berdiskusi kesana kemari. Ibaratnya bagaimana bisa kita merancang bangunan yang sama jika pondasinya saja sudah berbeda 😀

    Oleh karena itu saya akan bahagia sekali jika ada yg menjelaskan kepada saya terkait kepemimpinan umat islam ini dari berbagai sudut pandang. Siapakah yang berhak memimpin umat ini dan siapa pula yang berhak mengangkat seseorang sebagai pemimpin umat dan berbagai pertanyaan lainnya. Barangkali ada yang bisa menunjukkan link2 referensi terkait hal tersebut. Matur Suwun.

  40. Syukron atas tanggapan Bung SP, mungkin saya bisa dibantu apa yang dimaksud pemimpin yang benar menurut bung SP? Apa mkasudnya pribadinya yang baik atau keabsahan kepemimpinannya?

  41. @Ahmad

    Waduh kok aneh sekali ya, maaf silakan anda melihat komentar anda sendiri sebelumnya, bukankah ini adalah kata-kata anda

    Maka bagi saya, saya akan jadikan Imam Ali kw sebagai pedoman, dengan baiat Imam Ali kepada ketiga khalifah, maka berarti ketiga khalifah tersebut adalah pemimpin yang benar

    Komentar saya selanjutnya yang panjang itu kan menanggapi perkataan anda yang saya cetak tebal. Anehnya setelah saya tanggapi kok anda jadi seolah-olah tidak tahu-menahu dan malah menanyakan kepada saya.

    Kalau seandainya dalam komentar saya sebelumnya ternyata ada kesalahpahaman karena perbedaan persepsi maksud dari kata-kata anda tersebut. Maka silakan anda jelaskan maksud perkataan anda yang saya cetak tebal tersebut. Ini sebenarnya diskusi sederhana jadi gak perlu dibuat ribet. Jangan meminta saya menjelaskan apa yang ada dalam pikiran anda ketika anda menuliskan kata-kata tersebut, anda lah yang harus menjelaskan kemudian setelah itu saya akan menanggapinya.

    Dan satu lagi dalam berdiskusi itu ada yang namanya adab, salah satunya adalah menanggapi lawan bicara anda dengan fokus. Saya tidak melarang anda menanyakan ini itu kepada saya tetapi tolong ketika saya bertanya kepada anda poin yang penting terkait dengan komentar anda maka sudah selayaknya anda menjawab. Silakan dicek komentar saya sebelumnya, bukankah saya sudah meminta kejelasan, ini saya ulang lagi komentar saya sebelumnya

    Kalau di komentar sekarang anda hanya mempermasalahkan soal sah atau tidak sah kekhalifahan ketiga Khalifah dan Mu’awiyah. Maka silakan anda menjawab pertanyaan saya apakah sah yang anda maksudkan itu bermakna bahwa “khalifah itu pemimpin yang benar”?

  42. Ungkapan pemimpin yang “sah” dan “benar” mungkin memiliki padanan istilah lain yaitu pemimpin yang terbukti secara “de facto” dan “de yure” memang berhak untuk memimpin. Sebab bisa saja seorang terbukti secara “de facto” merupakan sosok pemimpin tetapi terbukti cacat secara hukum/ de yure untuk dikatakan sebagai seorang pemimpin.

  43. Maaf bung SP klo saya dianggap kurang sopan atau kurang adab, tapi saya nggak bermaksud begitu. Justru saya sering berkunjung ke blog ini untuk menambah wawasan & mencari ilmu, bukan mau debat kusir atau saling menyalahkan.
    Saya coba jawab pertanyaan anda yang dicetak tebal, dengan meminjam istilahnya Dafa Sani diatas maka kepemimpinan Muawiyah adalah sah secara “de facto” & “de jure”. Tapi klo maksudnya pemimpin yang benar artinya pribadi benar, maka saya katakan beliau adalah manusia biasa yang tidak luput dari dosa. Demikian, semoga dipahami.

  44. @ Ki Joko : berikut tanggapan saya:
    – Soal baiat karena terpaksa, menurut saya sangat mungkin seseorang membaiat karena terpaksa. Tapi menurut saya tidak demikian baiatnya Imam Ali kepada ketiga khalifah.
    – Soal kepemimpinan islam, memang banya perbedaan pendapat tentang bagaimana model kepemimpinan Islam. Saya malah berharap klo bung SP bisa membuat artikel khusus tentang “kepemimpinan setelah Rasul SAW” menurut sudut pandang beliau sesuai Quran & Hadist2 Nabi SAW. Misalnya bagaimana pembahasan tentang periode kepemimpinan khulafaurrasyidi yang 30 th, dst. Tentu akan jadi pembahasan yang menarik.

  45. @Ahmad

    Silakan perhatikan komentar saudara Dafa Sani bahwa “de yure” memang berhak untuk memimpin. Kalau anda menganggap kepemimpinan Mu’awiyah sah secara “de yure” maka menurut anda Mu’awiyah memang berhak untuk memimpin. Atas dasar apa ia dikatakan berhak memimpin?. Atas dasar nash? nash yang mana. Atas dasar keutamaan? keutamaan dari siapa dan bukankah orang yang paling utama saat itu adalah Imam Hasan [‘alaihis salaam]. Atas dasar baiat Imam Hasan?. apakah ketika Imam Hasan membaiat Beliau mengakui bahwa Mu’awiyah berhak untuk memimpin?. Silakan anda lihat tulisan saya Hakikat Baiat Hasan bin Aliy, saya sudah membawakan riwayat shahih bagaimana pandangan Imam Hasan mengenai baiatnya kepada Mu’awiyah.

    Mungkin anda merasa bingung untuk mencari jawaban, kalau memang begitu, ya menurut saya karena anda mudah mengikut apa kata orang lain tanpa memikirkannya dengan matang. Sekedar saran buat anda, alangkah baiknya kalau anda memahami terlebih dahulu apa yang dikatakan orang lain sebelum anda mengambilnya sebagai pemahaman anda.

    Mengenai pertanyaan anda soal maksud pemimpin benar dalam pandangan saya?. Dalam pandangan saya sederhana, kalau ada nash yang menyatakan siapa sebagai khalifah atau pemimpin maka yang menyalahi nash tersebut jelas keliru dan pemimpin yang benar adalah yang sesuai nash tersebut. Kepemimpinan Imam Aliy dan Hasan bin Aliy itu sudah jelas nash-nya [ada pembahasannya dalam beberapa tulisan disini]. Oleh karena itu ketika mereka masih hidup maka merekalah pemimpin yang benar, selain mereka jelas keliru.

    Adapun baiat Imam Aliy dan Imam Hasan tidak berarti membatalkan nash kepemimpinan mereka dan tidak pula menunjukkan orang yang dibaiat sebagai berhak memimpin.

    Baiat Imam Aliy berlangsung enam bulan setelah Abu Bakar menjadi khalifah kalau memang Imam Aliy merasa Abu Bakar memang berhak memimpin maka apa yang mencegah Beliau menunda baiatnya sampai enam bulan. Apalagi dalam riwayat shahih disebutkan kalau Imam Aliy mengatakan bahwa Beliau yang paling berhak walaupun pada akhirnya Beliau membaiat. Maka saya katakan dalam pandangan saya baiat Imam Aliy tidak menunjukkan bahwa kepemimpinan Abu Bakar benar, ada alasan khusus mengapa Beliau melakukannya yaitu Beliau tidak mau menjadi orang yang memecah belah kaum muslimin karena pada saat itu kaum muslimin hampir seluruhnya membaiat Abu Bakar. Tentu saja ini adalah persepsi saya, setidaknya ini lebih sesuai daripada persepsi-persepsi yang mengingkari nash kepemimpinan Imam Aliy.

    Mengenai baiat Imam Hasan itupun sudah dijelaskan dalam riwayat shahih bahwa itu bertujuan untuk mencegah tertumpahnya darah kaum muslimin lebih banyak lagi. Tidak sedikitpun baiat tersebut membenarkan Mu’awiyah atau mengakui bahwa Mu’awiyah memang berhak untuk memimpin. Silakan lihat riwayat shahih soal ini yang sudah pernah saya tulis.

  46. Mungkin lebih baik dikupas satu2, kita pisahkan antara issue Imam Ali dari Imam Hasan.
    Mestinya yang lebih mudah dipahami adalah issue di kekhaklifahan Imam Hasan.
    Rasa2nya jelas bagi seluruh umat islam (baik sunni maupun syiah) bahwa sebagai khulafaurrasyidin maka Imam Ali adalah pemimpin sah dan benar, dan Muawiyyah adalah pemberontak (tidak bisa status pemberontak ini hilang dengan alasan apapun). Sehingga kemudian Imam Hasan mendapat mandat untuk menggantikan Imam Ali maka Imam Hasan adalah khalifah yang sah dan benar pula. Sehingga status Muawiyyah lagi2 adalah pemberontak terhadap kekhalifahan Imam Hasan.
    Jika, kemudian Imam Hasan membaiat Muawiyyah (abaikan dulu sebab dari baiat tsb), maka Muawiyyah sah menjadi khalifah namun tidak membawa status benar, karena telah terjadi proses pemberontakan yang salah. Jadi baiat tsb hanya menjadikan Muawiyyah sah menjadi khalifah (Imam Hasan dan pengikutnya tidak akan melakukan perjuangan/perlawanan fisik terhadap kekhalifahan Muawiyyah) dan tidak menjadikan Muawiyyah dalam kebenaran.

    Salam damai

  47. @Ahmad

    Soal baiat karena terpaksa, menurut saya sangat mungkin seseorang membaiat karena terpaksa. Tapi menurut saya tidak demikian baiatnya Imam Ali kepada ketiga khalifah.

    Dari mana sampean mengetahui bahwa baiat imam Ali tidak karena terpaksa?

    Soal kepemimpinan islam, memang banya perbedaan pendapat tentang bagaimana model kepemimpinan Islam. Saya malah berharap klo bung SP bisa membuat artikel khusus tentang “kepemimpinan setelah Rasul SAW” menurut sudut pandang beliau sesuai Quran & Hadist2 Nabi SAW. Misalnya bagaimana pembahasan tentang periode kepemimpinan khulafaurrasyidi yang 30 th, dst. Tentu akan jadi pembahasan yang menarik.

    Dari penjelasan sampean diatas, kalo saya tidak salah memahaminya tampaknya sampean sendiri masih belum begitu jelas tentang model kepemimpinan Islam yang benar itu seperti apa, apakah benar demikian?

  48. @TS08

    Sehingga kemudian Imam Hasan mendapat mandat untuk menggantikan Imam Ali maka Imam Hasan adalah khalifah yang sah dan benar pula. Sehingga status Muawiyyah lagi2 adalah pemberontak terhadap kekhalifahan Imam Hasan.
    Jika, kemudian Imam Hasan membaiat Muawiyyah (abaikan dulu sebab dari baiat tsb), maka Muawiyyah sah menjadi khalifah namun tidak membawa status benar, karena telah terjadi proses pemberontakan yang salah. Jadi baiat tsb hanya menjadikan Muawiyyah sah menjadi khalifah (Imam Hasan dan pengikutnya tidak akan melakukan perjuangan/perlawanan fisik terhadap kekhalifahan Muawiyyah) dan tidak menjadikan Muawiyyah dalam kebenaran.

    Sebab-sebab atau proses seseorang dalam meraih tampuk kekuasaan saya rasa tidak dapat dilepaskan dari penilaian sah atau tidaknya kepemimpinannya tersebut. Kecuali jika tidak ada hukum yang menjadi tolak ukur/pijakan bagaimana seseorang bisa menjadi pemimpin umat Muslim.

    Tanpa adanya dasar hukum dalam masalah kepemimpinan ini mustahil kita dapat berdiskusi berkaitan dengan sah atau tidaknya kepemimpinan seseorang atas umat muslim. Bagaimana bisa kita menentukan sesuatu benar atau tidak jika kita tidak mengetahui secara pasti apa yang dijadikan tolak ukur dalam menilainya.

    Menurut hemat saya, diskusi terkait kepemimpinan ini hanya dapat dilakukan secara bertahap, yang dimulai dengan pembahasan dasar hukum kepemimpinan dalam Islam menurut Allah dan Rasul-Nya, terutama terkait dengan siapa yang berhak mengangkat seorang pemimpin dan siapa pula yang berhak menjadi pemimpin.

  49. Salut untuk bang SP, sabar benar menanggapi ki ahmad yg bertele tele tdk karuan kemana arah yg dibicarakannya. Bosan deh baca tanggapan ki ahmad

    Bang, mana artikel barunya? Ditunggu ya? Jangan lama lama ya

  50. @ Bambang Suryana : Maaf saya diskusi disini untuk menambah informasi, dan seingat saya, saya tidak pernah menghina siapapun termasuk anda. Mohon maaf klo komentar saya mengganggu & membosankan bagi anda.

  51. @ Ki Joko :
    – Saya meyakini baiat Imam Ali bukan karena terpaksa, adalah melihat dari keutamaan & kemuliaan beliau. Mungkin beda pendapat dengan anda. WaLlahua’lam.
    – Betul sekali, saya memang belum faham tentang konsep kepemimpinan Islam, karena ada banyak perbedaan pendapat dalam hal ini. Makanya saya sangat berminat untuk mempelajarinya & mengusulkan mungkin saja Bung SP berminat membuat artikel khusus tentang kepemimpinan setelah Nabi SAW. Afwan.

  52. @ Bung SP : Terima kasih atas tanggapan anda. Soal nash tentang keabsahan pemimpin setelah Nabi SAW, bagaimana menurut anda tentang hadist bahwa kepemimpinan setelah Nabi SAW adalah 30 tahun? Apakah tidak bisa dijadikan dalil untuk kepemimpinan Khulafaurrasyidin? Mudah2an bisa jadi tambahan informasi untuk diskusi yang sebelumnya. Afwan.

  53. @Ahmad

    Hadis khalifah 30 tahun itu shahih dan yang dimaksud adalah khalifah Nubuwah. Yang namanya khalifah nubuwah itu ditetapkan dengan dalil nash bukan direka-reka. Khalifah nubuwah dengan dalil yang tsabit adalah khalifah Aliy bin Abi Thalib, Hasan bin Aliy dan Imam Mahdiy. Kalau dikatakan bahwa hadis itu adalah dalil Khulafaur Rasyidin maka bisa jadi benar maka harusnya yang dikatakan sebagai Khulafaur Rasyidin sesuai dalil ya mereka bertiga. Bukankah hadis shahih menyatakan bahwa sunnah Khulafaur Rasyidin itu harus dipegang teguh dan ini sesuai dengan hadis bahwa Ahlul Bait harus dipegang teguh agar tidak sesat.

    Sangat tidak mungkin kalau Sunnah Khulafaur Rasyidin adalah Sunnah Abu Bakar, Umar dan Utsman mengingat diantara mereka ada yang menetapkan perkara bertentangan dengan Sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dan tidak ada dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa ketiga khalifah tersebut harus dipegang teguh agar tidak tersesat. Justru ketiga khalifah tersebut masuk dalam orang-orang yang dipesankan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.

  54. Menarik sekali pendapat anda, saya belum pernah tau pendapat yang seperti ini sebelumnya. Boleh saya lanjut pertanyaannya ya, biar lebih bisa menangkap maksudnya :
    1. Jika kahlifah nubuwwah yang tsabit adalah ketiga beliau, sedangkan Imam Ali memerintah selama sekitar 5 th, Imam Hasan sekitar 6 bulan, maka apa berarti Al Mahdi akan memerintah selama sekitar 24 bulan lebih?
    2. Apakah berarti khulafaurrasyidin yang dimaksud memang adalah ketiga beliau? (untuk memastikan)
    Saya rasa akan menarik klo antum membuat artikel tentang kepemimpinan setelah Nabi SAW, dengan mengupas hadist2 berkaitan dengannya. Afwan wa Syukron.

  55. @Ahmad

    Pertanyaan pertama, saya tidak akan memastikan jawabannya karena saya tidak menemukan dalil shahih soal berapa lama Imam Mahdiy akan menjadi khalifah. Lagi pula ada hadis lain soal khalifah yang menyebutkan ada dua belas khalifah [walaupun memang tidak disebutkan siapa mereka]. Bisa saja orang mengatakan bahwa khalifah nubuwah itu ada dua belas.

    Pertanyaan kedua, rasanya sudah saya jelaskan itu kan termasuk penafsiran hadis yang satu dengan hadis yang lain. Saya tidak akan menyatakan itu mutlak benar tetapi bagi saya hal itu lebih rajih atau kuat dibandingkan menyatakan Khulafaur Rasyidin hanya berdasarkan urutan siapa khalifah setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]

    Kalau soal tulisan khusus tentang itu, sekarang saya belum bersemangat untuk membahasnya secara khusus. Mungkin suatu saat akan saya tulis, doakan saja.

  56. @Ahmad

    Terima kasih sebelumnya karena sampean mau bersabar menjawab pertanyaan2 saya, maklum saya masih perlu byk belajar 🙂

    – Saya meyakini baiat Imam Ali bukan karena terpaksa, adalah melihat dari keutamaan & kemuliaan beliau. Mungkin beda pendapat dengan anda. WaLlahua’lam.

    Dari jawaban sampean diatas, saya memahaminya bahwa menurut sampean keutamaan Imam Ali menyebabkan beliau tidaklah mungkin melakukan sesuatu karena terpaksa. Yang ingin saya tanyakan, keutamaan/kemuliaan seperti apa yang anda maksud sehingga menyebabkan beliau tidak mungkin berbaiat karena terpaksa, misalnya saja keutamaan beliau yang selalu jujur atau apa saja, mohon sampean jelaskan lebih spesifik.

    Betul sekali, saya memang belum faham tentang konsep kepemimpinan Islam, karena ada banyak perbedaan pendapat dalam hal ini. Makanya saya sangat berminat untuk mempelajarinya & mengusulkan mungkin saja Bung SP berminat membuat artikel khusus tentang kepemimpinan setelah Nabi SAW. Afwan.

    Terima kasih atas kejujuran anda menjawab pertanyaan2 saya, sangat bermanfaat bagi saya yang hendak memahami pemahaman anda tentang kepemimpinan. Sebelumnya anda pernah berkata demikian:

    Tapi inti dari pernyataan saya adalah bahwa dengan adanya baiat Imam Ali ra, menunjukan salah satu bukti bahwa kekhalifahan ketiga khalifah adalah sah. Begitu pula baiat Imam Hasan menjadikan salah satu bukti bahwa kepemimpinan Muawiyah sah,

    Apakah sampean ketahui, bahwa kata “sah” bermakna “dilakukan menurut aturan/hukum yang berlaku”? Dengan kata lain, bagaimana mungkin sampean mengatakan bahwa kepemimpinan khalifah2 tersebut sesuai dengan aturan/hukum yang berlaku sementara hukum itu sendiri belum jelas bagi anda.

    Selain itu dalam pandangan anda diatas baiat Imam Ali menjadi salah satu bukti sahnya kepemimpinan khalifah2 tsb, bukankah itu berarti terdapat bukti2 lainnya? Lalu apakah seluruh bukti2 tersebut telah sesuai dengan hukum/aturan yang berlaku dalam islam terkait kepemimpinan umat menurut Allah dan Rasulnya? Akhirnya kembali lagi ke pertanyaan tentang bagaimana Islam (Allah dan RasulNya) mengatur tentang kepemimpinan umat.

    Menurut hemat saya, jika tidak ada hukum yg mengatur sesuatu, maka itu artinya yang berlaku adalah hukum rimba, semua menjadi sah dimata Islam, entah itu sistem kerajaan/dinasti, khalifah, republik, dll. Saya sulit percaya jika Islam tidak mengatur masalah yang demikian penting ini, karena menyangkut urusan yang sangat besar. Jadi saya masih tetap setia menunggu kelanjutan dari diskusi ini. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran darinya.

    Sekali lagi saya berterima kasih kepada anda karena berkenan menjawab pertanyaan2 saya. Salam.

  57. @ Ki Joko : saya coba tanggapi pertanyaan saudara:
    – Keutamaan Imam Ali ra yang saya maksud adalah kemuliaan pribadinya secara keseluruhan, tidak ada penjelasan spesifik tertentu.
    – Kepemimpinan sah yang saya yakini adalah mengikuti pendapat umum kalangan Ulama ASWAJA, sedangkan untuk saya pribadi masih terus belajar & tentunya masih jauh dari pemahaman orang2 yang pandai dalam ilmu agama.
    – Bukti lainnya seperti hadist tentang khalifah setelah Nabi SAW adalah 30 th, seperti yang saya bahas sebelumnya, dan juga hadist2 lain seperti hadist tentang khilafah ala minhajin nubuwwah.
    – Soal hukum tentang kepemimpinan ummat, memang ini menjadi diskusi yang mendalam di kalangan ummat Islam. Masing2 kelompok memiliki pandangannya sendiri. Bahkan ada juga yang berpendapat tidak ada model khusus kepemimpinan dalam Islam, cukup mengikuti kaidah2 umum dalam bermasyarakat disesuaikan dengan nilai2 Islam secara umum. Salah satu yang berpendapat demikian diantaranya Alm KH Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ).
    WaLlahua’lam.

  58. @Ahmad

    Keutamaan Imam Ali ra yang saya maksud adalah kemuliaan pribadinya secara keseluruhan, tidak ada penjelasan spesifik tertentu.

    Mohon maaf, jawaban anda yang tll umum ini hanya mengulang2 jawaban anda Sebelumnya. Karena kemulian Imam Ali yang anda maksudkan bersifat umum dan dari komentar2 anda yang lain, maka saya memahami bahwa yang anda maksud adalah seluruh perbuatan Imam Ali semata-mata hanya karena Allah SWT. Seperti komentar sampean berikut ini:

    Pernyataan ke-1 Ahmad:

    Tapi klo pribadi luhur nan mulai seperti Imam Ali & Imam Hasan ra saya yakin sepenuhnya baiat mereka hanyalah karena Allah SWT semata.

    Mari kita flashback sejenak, terkait pemahaman sampean ini sya pernah bertanya demikian :

    Pertanyaan ke-1 Ki Joko

    Apakah baiat yang didasari hanya karena Allah SWT itu artinya pasti baiat dengan niat yang tulus dan pengakuan terhadap kepemimpinan seseorang yang dibaiat?

    Kemudian anda menjawabnya :

    Pernyataan ke-2 Ahmad

    Baiat dengan tulus ya mungkin saja namanya orang kan beda2. Sedangkan untuk kedua Imam ra saya meyakini ketulusan niat mereka, juga pengakuan akan kepemimpinan yang dibaiat, karena yang namanya baiat tentu pengakuan terhadap kepemimpinan yang dibaiat. WaLlahua’lam

    Perhatikan, disini anda mengakatakan mungkin, tetapi disisi lain anda juga menutup kemungkinan bahwa baiat Imam Ali dilakukan dengan terpaksa. Kemudian terkait penjelasan sampean ini, saya bertanya demikian.

    Pertanyaan ke-2 Ki Joko

    Dari mana sampean mengetahui bahwa baiat imam Ali tidak karena terpaksa?

    Jawaban apa yang saya dapat, berikut adalah tanggapan sampean :

    Pernyataan ke-3 Ahmad

    Saya meyakini baiat Imam Ali bukan karena terpaksa, adalah melihat dari keutamaan & kemuliaan beliau. Mungkin beda pendapat dengan anda. WaLlahua’lam.

    Perhatikan dengan seksama diskusi kita diatas, pernyataan ke-3 anda hanya mengulang pernyataan ke-1. Oleh karena itu saya mencoba meminta penjelasan dari sampean lebih spesifik, tetapi ternyata tidak ada penjelasan yang lebih spesifik. Diskusi ini hanya muter2 jika diteruskan, maka saya cukupkan sampai disini terkait dengan baiat Imam Ali. Mohon maaf, saya tidak bisa menemukan kebenaran jika hanya berdasarkan prasangka. Tetapi saya tetap berterima kasih kepada anda karena mau berdiskusi dgn saya, terima kasih 🙂

  59. @Ahmad

    Kepemimpinan sah yang saya yakini adalah mengikuti pendapat umum kalangan Ulama ASWAJA, sedangkan untuk saya pribadi masih terus belajar & tentunya masih jauh dari pemahaman orang2 yang pandai dalam ilmu agama.

    Tidak ada masalah dengan siapa yang memiliki pendapat, karena kebenaran tidak didasarkan siapa yang mengeluarkan pendapat. Ketika saya bertanya kepada anda, saya bertanya terkait apa yang anda sampaikan, tidak peduli apakah itu pendapat anda sendiri atau orang lain (Ulama ASWAJA).

    Bukti lainnya seperti hadist tentang khalifah setelah Nabi SAW adalah 30 th, seperti yang saya bahas sebelumnya, dan juga hadist2 lain seperti hadist tentang khilafah ala minhajin nubuwwah.

    Apakah itu artinya bahwa kepemimpinan setelah Nabi salah satu syarat sahnya adalah memiliki masa 30 th secara keseluruhan? Jika demikian, bagaimana mungkin anda menyatakan khalifah Muawiyah adalah sah sementara anda juga meyakini sahnya kekhalifahan Khulafaur Rasyidin yang secara keseluruhan memiliki masa 28-29 th. Bukankah itu artinya Muawiyah berada diluar rentang waktu 30 th yg dikatakan adalah masa kepemimpinan setelah Nabi? Dan saya masih punya pertanyaan laiinnya terkait masa 30 th ini.

    Dan tentang hadis khilafah ala minhajin nubuwwah, saya telah membacanya dan hadis tersebut hanya menyatakan bahwa sepeninggal Nabi akan ada khalifah ala minhajin nubuwwah namun tidak menjelaskan lebih spesifik tentang siapa yang dimaksud khalifah tersebut, dan ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa tidak mungkin Islam tidak mengatur tentang masalah kepemimpinan ini. Saya masih setia menunggu adanya penjelasan tentang siapa pemimpin setelah Nabi, siapa yang berhak mengangkatnya, dan siapa pula yang berhak untuk diangkat sebagai khalifah sehingga sampai disebut sebagai Khalifah Ala minhajin nubuwwah, dimana itu artinya khalifah2 tersebut apapun yang dilakukannya selalu selaras dan tidak pernah menyelisihi Allah dan RasulNya.

  60. Asww, saya tanggapi Ki Joko :
    – Soal baiat Imam Ali dicukupkan saja diskusinya seperti yang anda sampaikan, karena buat saya sendiri tidak ada penjelasan khusus, kecuali saya meyakini saja bahwa beliau ra tidak berbaiat secara terpaksa. Mungkin ini yang anda sebagai prasangka ( tentunya prasangka baik ), dan prasangka ini bagi anda bukanlah dalil. Ya silahkan saja dengan pendapat anda, saya menghormatinya.
    – Soal kepemimpinan setelah Nabi SAW adalah 30 tahun maksudnya kepemimpinan khulafaurrasyidin adalah selama 30 tahun berlangsungnya. Jadi bukan syarat sah, melainkan Nabi SAW memberitahu bahwa kepemimpinan yang dijalankan oleh orang yang benar2 khalifah RasuluLlah adalah 30 tahun. Adapun kepemimpinan sesudahnya adalah kerajaan biasa dimulai sejak eranya Muawiyah.Berarti Muawiyah sudah bukan khulafaurrasyidin. Tapi pemerintahannya tetap sah. Seperti contohnya pemerintahan negara kita, walaupun tidak menerapkan syariat islam secara sempurna & pemimpinnya hanya orang biasa, namum pemerintahan tetap sah & tidak bolerh memberontak.
    – Soal aturan kepemimpinan dalam Islam, sama seperti anda, saya pun menunggu penejelasan2 yang bagus dari orang memahaminya.
    WaLlahua’lam. Afwan. Wassalam.

  61. @Ahmad

    Soal kepemimpinan setelah Nabi SAW adalah 30 tahun maksudnya kepemimpinan khulafaurrasyidin adalah selama 30 tahun berlangsungnya. Jadi bukan syarat sah, melainkan Nabi SAW memberitahu bahwa kepemimpinan yang dijalankan oleh orang yang benar2 khalifah RasuluLlah adalah 30 tahun. Adapun kepemimpinan sesudahnya adalah kerajaan biasa dimulai sejak eranya Muawiyah.Berarti Muawiyah sudah bukan khulafaurrasyidin. Tapi pemerintahannya tetap sah. Seperti contohnya pemerintahan negara kita, walaupun tidak menerapkan syariat islam secara sempurna & pemimpinnya hanya orang biasa, namum pemerintahan tetap sah & tidak bolerh memberontak.

    Pertama2 terkait jawaban anda diatas, saya ingin mengkonfirmasi dahulu pemahaman sampean. Jadi maksud anda Islam tidak mengatur kepemimpinan Umat diluar masa 30th tersebut, sehingga apapun bentuknya pemerintahan, bagaimana prosesnya, dan siapun yang menjadi pemimpin adalah sah2 saja menurut Islam diluar masa 30th. apakah benar demikian yang anda maksudkan?

  62. @Ahmad

    Pertanyaan kedua, menurut sampean apakah sama pemerintahan “sah” menurut manusia dengan pemerintahan “sah” menurut Allah?

  63. @Ahmad

    Mohon maaf bila saya banyak tanya, hal ini ditujukan supaya saya tidak salah memahami apa yang anda sampaikan atau menisbatkan suatu pemahaman kepada anda sementara anda sendiri tidak memilikinya. Hal ini penting bagi saya untuk berdiskusi lebih jauh dengan anda, jadi mohon kesabarannya jika anda berkenan menjadi teman diskusi saya. Matur suwun 🙂

  64. @Ahmad
    Yang per- tama2 saya ingin tahu, dari mana anda mendapat nash hadits, yang nenyatakan umur kepimpinan dalam Islam sesudah Rasul 30 thn. Apakah umur Islam hanya 30 thn? Apakah Islam ini suatu organisasi milik manusia. Atau Islam ini milik Allah sedangkan kepimpinan Allah delegasikan kepada hamba2 yang terpilih. Saya minta penjelasan anda

  65. Betapa rapuhnya pola berpikir Ahmad. bilamana Harun a.s membiarkan umat menyembah anak sapi, artinya umatnya itu di jalan yg benar dan sah? mohon tapis kembali pola berpikir anda sebelum tampil bertanya-jawab.

  66. @ Naolako : Hadistnya adalah : “Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya”. ( HR Tirmidzi ), terdapat juga dengan narasi yang sama diriwayatkan oleh Abu Dawud & Ahmad.
    Islam tentunya adalah agama milik Allah SWT.
    @ Sepuluh putera : Tidak mengapa jika anda menganggap pola pikir saya rapuh, doakan saya selalu. Oh iya saya kurang paham makna kata “tapis”, mungkin bahasa melayu? Bisa dibantu artinya?

  67. @ Ki Joko : saya tanggapi sedikit,
    pertanyaan I : Soal aturan kepemimpinan sebegaimana yang sudah saya jawab sebelumnya, bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama tentang ini.
    pertanyaan II : Soal sah menurut Allah SWT dan manusia, maka berpulang kepada manusianya itu sendiri. Jika dia adalah seseorang yang sholeh, tentu sah baginya adalah sah menurut aturan Allah SWT, adapun jika manusia tersebut tidak mengerti akan hukum Allah SWT, maka bisa jadi sah baginya, tidak sah di sisi Allah SWT. WaLlahua’lam.

  68. @Ahmad

    pertanyaan I : Soal aturan kepemimpinan sebegaimana yang sudah saya jawab sebelumnya, bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama tentang ini.

    pertanyaan II : Soal sah menurut Allah SWT dan manusia, maka berpulang kepada manusianya itu sendiri. Jika dia adalah seseorang yang sholeh, tentu sah baginya adalah sah menurut aturan Allah SWT, adapun jika manusia tersebut tidak mengerti akan hukum Allah SWT, maka bisa jadi sah baginya, tidak sah di sisi Allah SWT. WaLlahua’lam.

    Jawaban anda diatas seperti tanya jawab antara si A dan si B berikut ini:

    A: Apa warna motor anda?
    B: Warna motor itu ada yang merah, putih, hitam, dll. Dan motor tiap2 orang berbeda2.

    Apakah terlihat dimana letak kekacauan tanya jawab diatas?
    Bagaimana caranya supaya saya bisa memahami penjelasan seperti ini?

  69. @Ahmad
    Kalaupun hadits ini shahih, bukan berarti bahwa Rasulullah menyetujui kedudukan kekhalifaan seperti yang telah terjadi. Tetapi Rasulullah mengetahui akan terjadi khilafah kedudukan Khalifah selama 30 tahun.Kemudian terjadi pemerintahan Monarchi. Rasulullah yang seharusnya menunjuk atas perintah Allah siapa yang akan melanjutkan misi Rasulullah. Jadi jangan anda ngotot untuk mengatakan sah terhadap apa yang telah terjadi dalam sejarah Islam kepimpinan Islam. Sebab Firman2 Allah menunjunjukan bahwa Allah yang memberi petunjuk kepada siapa yang akan memberi petunjuk pada umat yang beriman. Wasalam

  70. @ Naolako : Anda boleh saja berpendapat bahwa RasuluLlah telah menunjuk penggantinya secara langsung, tapi adalah hak saya juga berpendapat bahwa RasuluLlah tidak menunjuk penggantinya secara langsung ( penyebutan nama ) & pendapat saya adalah mengikuti jumhur Ulama ASWAJA. Jadi bukan ngotot, tapi mengikuti pendapat Ulama. Tentu kita punya rujukan sendiri2.

  71. @ Ki Joko : Yang menyamakan jawaban saya dengan tanya jawab diatas kan anda sendiri, jadi tidak harus saya jawab. Afwan

  72. @Ahmad
    Itu terserah anda untuk mengakui siapa saja menurut anda yang memimpin umat Islam pasca Rasulullah dan saya tidak permasalahkan karena itu adalah hak masing2. Yang saya maksud dengan “ngotot” adalah kata “sah” dimana anda katakan kepimpinan mereka sah. Bagaimana bisa sah kalau tidak melalui prosedure

  73. @ Naolako : Termasuk soal “Sah” itu pun saya mengikuti pendapat Ulama, jadi bukan ngotot juga.

  74. @Ahmad
    Saya tidak menyelahkan anda mengikuti pendapat ulama tapi bagi saya pendapat para ulama hanya mengira ngira tapi ketentuan Allah dan Rasul itu PASTI. Kalau saya, pendapat ulama tidak saya gunakan selama ada nash Alqur’an dan Hadits Rasul. Kalau anda mengatakan nash ulama lebih benar ya itu hak anda. Mudah2an anda bisa berfikir obyektif untuk melihat kebenaran ini. Wasalam

  75. @ Naolako : pendapat Ulama hanya mengira2??? Tidak saudaraku, pendapat Ulama tidak mengira2, melainkan hasil interpretasi mereka terhadap al Quran & Sunnah. Ketentuan Allah & Rasul memang pasti, tapi mendefinisikan apa itu ketentuan Allah & RasulNYA disitulah terjadi perbedaan pendapat. Jadi pernyataan anda “selama ada Al Quran & Hadist” itupun sebenarnya adalah interpretasi anda & Ulama rujukan anda terhadap Al Quran & Hadist, iya kan??? Intinya jangan sampai adalah kesalahan persepsi kita bahwa mengikuti pendapat Ulama berarti tidak mengikuti Al Quran & Hadist, tentu tidak demikian. Merasa sudah mengikuti dalil Al Quran & Sunnah apakah sudah benar, belum tentu? Siapa yang menjamin interpretasi anda terhadap nash Quran & Sunnah sudah betul. Klo saya lebih percaya hasil interpretasi Ulama rujukan saya akan dalil Al Quran & Sunnah, dibanding hanya tau dalilnya saja, tapi keliru dalam pemahamannya. Semoga bisa difahami. Afwan. WaLlahua’lam.

  76. @Ahmad
    Anda benar. Para ulama tetap kita pakai sebagai rujukan. Kemudian akal kita yang mengadakan penilaian dan bukan tidak TAKLID. Tapi apa yang anda katakan saya nilai sebagai TAKLID. Perhatikan yang anda sampaikan: “Termasuk soal “Sah” itu pun saya mengikuti pendapat Ulama, jadi bukan ngotot juga”.
    Nah saya akan bawakan kepada anda juga pendapat para Ulama:
    1. Pada waktu ayat 59 Surah AN-Nisa turun, Jabir bin Abdillah Anshari bertanya pada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, kami telah kenal Allah dan Rasulnya tapi siapa Ulil amr yang ketaatan kepadanya dihubungkan dengan ketaatan kepada anda?. Rasulullah menjawab :”Hai Jabir mereka adalah para pegantiku dan pemimpin umat Islam setelahku. Yang pertama Ali bin Abi Thalib dst.

    2.Al Hakim meriwayatkan dariJurarah, Rasulullah berkata: ” Telah diwahyukan kepadaku tentang Ali tiga perkara. Sesungguhnya ia adalah penghulu kaum Muslimin, Imam kaum Muttaqin dan pemimpin kaum ghurrul muhajjalin. ( selain Al Hakim hadits ini diriwayatkan oleh Ath -Thabrani, Ibnu al-Maghazili dll )
    Nah silahkan anda bandingkan dengan pendapat para ulama.
    yang mengerti tentang Alqura’an dan Hadits. Tolong anda tunjukkan pada saya nash Alqur’an dan Hadits sebagai dasar mereka untuk membenarkan taklid anda. Kalau tanpa nash maka saya menganggap hanya perkiraan mereka. Wasalam

  77. @ Naolako : JazakaLlah khair atas hadist2 yang anda bawakan, tapi sekali lagi membawakan hadist saja tidak cukup, perlu penafsiran. Lalu bagaimana penafsiran hadist2 yang anda bawakan? Penafsiran menurut siapa? Menurut anda dan ulama rujukan anda? Atau menurut ulama rujukan saya? Ini yang menjadi pangkal perbedaan pendapat antara saya dengan anda.
    – Soal penilaian anda bahwa saya TAQLID? terserah anda saja, saya beragama tidak pernah ruwet soal taqlid atau tidak taqlid. Bisa beribadah kepada Allah & menuntut ilmu dari para ulama sudah AlhamduliLlah. Saya nggak mau seperti sebagian saudara2 kita kalangan Salafy / Wahaby yang sibuk membenturkan pendapat Ulama dengan Quran & Hadist, serta sibuk untuk melarang2 orang untuk bertaqlid. Lagian bertanya kepada Ulama juga dijelaskan dalam Quran. Silahkan baca An Nahl 43.
    – Membandingkan hadist dari anda dengan pendapat ulama? Nggak perlu. Mereka para Ulama sudah lebih dari faham tentang Quran & Hadist.
    – Tunjukan nash Quran & Hadist sebagai dasar para Ulama? Bukankah kita sudah bahas sebelumnya? Yaitu hadist tentang kekhillafahan yang 30 th, itu sudah cukup sebagai dalil.
    – Soal anggapan anda bahwa jika tanpa nash berarti perkiraan? Silahkan saja, toh hanya anggapan dari anggapan dari anda, tidak berpengaruh apa2 di sisi Allah SWT. Lagian mereka juga berdalil kok, cuma mungkin beda pemahaman dengan anda. Afwan. WaLlahua’lam.

  78. @ahmad
    Saya rasa hadits maupun tafsir itu sangat jelas arti dan maknanya tanpa penafsiran. Orang awampun bisa mengerti apa lagi anda. Hadits yang saya sampaikan adalah ulma yang diakui Suni mau Syiah. AN-Nahl 43. Kalau sudah mengerti buat apa bertanya.
    Anda katakan kita sudah bahas hadits yang anda sampaikan. Jawaban saya pada waktu itu “kalau shahih” jadi belum kita bahas. Dan anda tidak tunjukan nash Alqur;an sedangkan saya tunjukan pada anda nash Alqur’an. Karena dalam Alqur’an tidak ada satu ayatpun yang mendukung sahnya pimpinan umat selain Ali bin Abi Thalib. Kalau memang benar hadits yang anda kutip sesuai aslinya. Mungkin saya bisa bisa menerima. Sebab bunyi hadits yang anda tulis adalah KHILAFA dan bukan KHALIFA. Artinya sangat berbeda. Kalau khilafa saya akui karena setelah Rasul terjadi perebutan kekuasaan. Wasalam

  79. @ Naolako : Untuk hadist & tafsir yang anda katakan sangat jelas, ternyata Ulama juga bisa beda pendapata. Contoh An nisa ayat 59 itu malah umum ditafsirkan Ulil Amri bukan seperti hadist yang anda bawakan. Ada yang menafsirkannya sebagai Ulama bahkan ada juga yang menafsirkannya sebagai pemerintah secara umum, misal pemerintah RI. Jadi nggak bisa anda bilang “sangat jelas & tanpa penafsiran”, tetap perlu penafsiran.
    Soal kualitas hadits sebelumnya bung SP kan sudah pernah bilang bahwa haditsnya shahih, WaLlahua’lam.
    Soal dalil Al Quran bahwa sahnya kepemimpinan umat hanya Imam Ali itu kan pendapat dan penafsiran & ulama rujukan anda saja. Silahkan saja diikuti. Tapi bagi jumhur Ulama ASWAJA tidak demikian.
    Soal khilafah atau khalifah maaf saya belum faham maksud pertanyaan anda. Afwan. Wassalam.

  80. Ini diskusi yang menarik utk disimak dan diikuti, sdr Ahmad,ki joko dan second prince cukup sopan dan ilmiah tanya jawabnya, terima kasih buat semua, maaf biasanya yg lain isi diskusinya isinya makian dan emosi pribadi, coba kalau muslimin bisa tukar menukar pendapat dg santun spt kalian, kita sama 2 doakan

  81. Tidak ada seorang manusia biasa yang punya hak dan otoritas untuk mengeluarkan sahabat dari Islam kecuali Allah. Akan tetapi bila kita mengkaitkan hadis Syiah (meskipun tanpa makna murtad) dengan hadis al Haudh dalam kitab Ahlussunnah maka benar Allah telah memutuskan bagaimana nasib mereka kelak.

  82. Murtadkah Para Sahabat (ra)? Perspektif Baru dalam Menjawab Syī‘ah

    http://nafirizaman.blogspot.co.id/2016/01/murtadkah-para-sahabat-ra-perspektif.html

  83. […] syiah mengkafirkan hampir semua sahabat nabi, maka katakanlah itu hanyalah fitnah belaka! Baca: https://secondprince.wordpress.com/2014/03/27/benarkah-mazhab-syiah-mengkafirkan-mayoritas-sahabat-n… […]

  84. menurut saya hal yang paing demokratis ditujukkan oleh ajaran Islam adalah ketika Abu Bakar as sidiq , Umar bin khatab dan ustman bin affan menjadi khalifah .. karena apa sistem yang mengharuskan keturunan atau keluarga menjadi pemimpin itu adalah sistem monarki atau sistem kekerabatan.. menurut saya kekhalifahan itu ada takdir Alloh SWT bukan terjadi begitu saja jadi menunjukkan bahwa ajaran Islam bisa menyebar dan diterima oleh umum ketika sahabat bisa menjadi pemimpin dan menjungjung tinggi ajarannya artinya objektifitas sebuah ajaran diluar sistem kekeluargaan .. jika bani hasyim yang diberikan kekuasaan maka itu akan menjadi sebuah kontradiktif tentang agama semua manusia
    Betul Ali bin Abu Thalib yang paling utama dalam ajaran nabi Muhammad tetapi semua itu bisa dilakukan oleh Ali bin Abu Thalib menjadi penasehat terbaik Umar …
    Lihat saja Imam khomaeni .. ketika ada seorang yang ingin menjadikan anaknya seorang pemimpin .. imam khomaeni menolaknya dan menyerahkan kepemimpinan kepada khalayak sesuai pilihan rakyat
    Menurut saya kulafaur rasyidin adalah benar ..

    Berbeda dengan muawiyah yang tidak mau membaiat Ali adalah salah .. dan menurut saya Muawiyah ada unsur syahwat kekuasaan .lihat saja ketika menjadikan anaknya seorang pemimpin berbeda dengan umar yang tidak meninginkan anaknya menjad seorang pemimpin karena ayahnya menjadi khalifah artinya ada unsur nepotisme .. Muawiyah membangun kembali sistem monarki dan merusak ajaran demokratis Islam … dan ini menurut saya awal .. cikal bakal perpecahan sampai saat ini …

    Itu yang saya pahami .. saya bukan suni maupun syiah .. saya adalah Islam .. dan pedoman say Al qurn dan hadist walaupun banyak perdebatan dalam persoalan tafsir saya yakin Al Quran bukan Bahasa yang sulit dicerna … sehingga didalmnya banyak bisa dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari hari

Tinggalkan komentar