Apakah Abu Musa Bukan Seorang Munafik? Bantahan Untuk Nashibiy

Apakah Abu Musa Bukan Seorang Munafik? Bantahan Untuk Nashibiy

Nashibiy yang kami maksud adalah penulis berikut. Dan pembaca tidak perlu heran mengapa kami menyebutnya nashibi, jika ia tidak keberatan menuduh kami sebagai orang Syi’ah maka harusnya ia tidak keberatan pula jika ia dikatakan nashibiy. Kami akui tujuannya untuk membantah itu baik sekali tetapi sayangnya kualitas tulisannya tidak menunjukkan kualitas orang yang mengerti metodologi atau cara berhujjah dengan baik.

Tulisan ini hanya ingin menunjukkan kepadanya betapa rapuhnya bantahan yang ia tulis dan silakan ia pikirkan dengan baik [kalau ia memang punya kemampuan untuk berpikir] setelah membaca tulisan ini apakah bantahannya yang sok itu memang berkualitas atau tidak

Secara umum tulisannya tidaklah membantah keseluruhan tulisan yang kami tulis tentang Abu Musa. Sebelumnya kami membawakan tiga keberatan mengenai pribadi Abu Musa yaitu

  1. Riwayat shahih bahwa Huzaifah [radiallahu ‘anhu] menyatakan kalau Abu Musa munafik
  2. Riwayat shahih bahwa Abu Musa termasuk dalam ahlul aqabah dimana ahlul aqabah yang dimaksud adalah orang yang ingin membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat pulang dari perang Tabuk
  3. Riwayat shahih Imam Aliy mendoakan keburukan bagi Abu Musa dalam qunut Beliau.

.

.

Adakah nashibiy tersebut membahas tiga riwayat tentang Abu Musa di atas?. Tidak ada, ia hanya sibuk menukil keutamaan Abu Musa yang mungkin menurut anggapannya dapat membatalkan ketiga riwayat shahih di atas. Maka kita lihat apakah keutamaan Abu Musa yang dimaksud bernilai hujjah untuk membatalkan ketiga riwayat shahih di atas.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عبدالله بن نمير ح وحدثنا ابن نمير حدثنا أبي حدثنا مالك ( وهو ابن مغول ) عن عبدالله بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن عبدالله بن قيس أو الأشعري أعطي مزمارا من مزامير آل داود

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik [ia adalah Ibnu Maghul] dari ‘Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata sesungguhnya Abdullah bin Qais atau Al Asy’ariy diberikan seruling dari seruling-seruling keluarga Daud [Shahih Muslim 1/546 no 793]

Riwayat ini shahih tetapi jika dijadikan pembatal ketiga riwayat shahih yang kami tulis maka itu namanya terburu-buru. Silakan pembaca lihat keutamaan Abu Musa apa yang dinyatakan dalam hadis di atas, tidak lain itu keutamaannya yang memiliki suara yang indah ketika membaca Al Qur’an. Maka dimana letak hujjahnya. Apakah seorang yang bersuara indah tidak bisa menjadi seorang yang murtad atau munafik akibat perbuatan atau maksiatnya kelak?. Ya tidak nyambung itu dua sisi yang berbeda

Jika nashibiy tersebut mengatakan lihatlah keutamaan Abu Musa tersebut yang begitu besar bahkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyandingkannya dengan nama seorang Nabi [Daud ‘alaihis salaam]. Ini pun hujjah yang aneh cuma permainan bahasa [kata-kata] yang tidak bernilai, silakan lihat keutamaan yang lebih dari itu dimana keutamaan itu disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri.

حدثنا سعيد بن أبي مريم: حدثنا محمد بن مطَّرف: حدثني أبو حازم، عن سهل بن سعد قال قال النبي صلى الله عليه وسلم: إني فرطكم على الحوض، من مر علي شرب، ومن شرب لم يظمأ أبدا، ليردنَّ علي أقوام أعرفهم ويعرفونني، ثم يحال بيني وبينهم قال أبو حازم: فسمعني النعمان بن أبي عياش فقال: هكذا سمعت من سهل؟ فقلت: نعم، فقال: أشهد على أبي سعيد الخدري، لسمعته وهو يزيد فيها: فأقول: إنهم مني، فيقال: إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك، فأقول: سحقاً سحقاً لمن غيَّر بعدي

Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’iid, ia berkata Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda “Sesungguhnya akulah yang pertama-tama mendatangi Haudh. Barangsiapa yang menuju kepadaku akan minum, dan barangsiapa yang minum niscaya tidak akan haus selama-lamanya. Sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi”. Abu Haazim berkata : “kemudian An Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy mendengarku, lalu berkata ‘Beginikah kamu mendengar dari Sahl ?’. Aku berkata ‘Benar’. Lalu ia berkata ‘Aku bersaksi atas Abu Sa’iid Al-Khudriy, bahwasannya aku benar-benar telah mendengarnya dimana ia menambah lafaz : “Lalu aku [Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam] berkata “Mereka adalah bagian dariku”. Namun dikatakan “Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu” Maka aku berkata “Menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah [agama] sepeninggalku” [Shahih Al Bukhaariy no. 6583-6584].

Silakan lihat, sahabat Nabi yang terusir dari Haudh tersebut adalah para sahabat yang disifatkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan keutamaan “mereka adalah bagian dariku”. Menurut bahasa nashibiy tersebut maka ini adalah keutamaan yang besar bahkan disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri. Tetapi keutamaan mereka ini batal atau terhapus akibat perbuatan mereka sendiri dimana mereka dikatakan mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis Haudh di atas menjadi hujjah bahwa sahabat Nabi yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri sebagai “bagian dariku” tetap bisa mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Maka bagaimana bisa nashibiy yang dimaksud asal berhujjah dengan keutamaan Abu Musa yang dikatakan diberikan seruling dari seruling-seruling keluarga Daud [‘alaihis salaam]. Apalagi sangat mungkin Huzaifah yang hidup di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Musa juga mengetahui keindahan suara Abu Musa dalam membaca Al Qur’an dan ternyata hal itu tidak mencegahnya untuk menyatakan Abu Musa munafik.

.liumh8

.

Kemudian nashibiy yang dimaksud membawakan hadis keutamaan Abu Musa Al Asy’ariy yang diriwayatkannya sendiri dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakannya. Dalam sebuah riwayat panjang dari Abu Musa, ia berkata

فقلت ولي يا رسول الله فاستغفر فقال النبي صلى الله عليه و سلم اللهم اغفر لعبدالله بن قيس ذنبه وأدخله يوم القيامة مدخلا كريما

Maka aku [Abu Musa] berkata “wahai Rasulullah mohonkanlah ampun untukku”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah ia di hari kiamat nanti di tempat yang mulia” [Shahih Muslim 4/1943 no 2498].

Seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, ini adalah riwayat Abu Musa Al Asy’ariy sendiri. Kami katakan tidak kuat sebagai hujjah karena jika memang Abu Musa adalah seorang munafik seperti yang dikatakan Huzaifah maka riwayatnya tertolak, bukankah salah satu ciri munafik adalah tidak segan-segan berdusta dalam perkataannya. Maka jika Abu Musa memang munafik maka riwayatnya tertolak.

Duduk perkara disini adalah kami pribadi tidak menetapkan bahwa Abu Musa munafik tetapi kami menilai sejauh mana sebuah riwayat bisa dijadikan hujjah menentang riwayat lain. Riwayat Abu Musa sendiri tidaklah kuat sebagai hujjah karena justru yang sedang dipermasalahkan adalah kedudukan Abu Musa sendiri. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir objektif yang sudah alami sifatnya, hanya orang-orang yang tidak bisa berpikir yang mempermasalahkan “objektif macam apa ini”.

Bukti bahwa perkara ini alami sifatnya adalah seorang yang tertuduh melakukan kejahatan baik pembunuhan, pencurian dan sebagainya tidak bisa dinyatakan bahwa ia bukan pelakunya hanya dengan sekedar perkataannya sendiri. Apalagi jika ada saksi yang menyatakan bahwa ia pelakunya.

Sama halnya dengan kasus Abu Musa di atas, Huzaifah bersaksi bahwa ia munafik dan terdapat riwayat yang menguatkannya yaitu keikutsertaannya sebagai ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Imam Aliy yang mendoakan keburukan baginya di dalam qunut. Lantas apakah dengan riwayat keutamaan Abu Musa yang ia katakan sendiri bisa menjadi hujjah?. Jawabannya secara objektif adalah tidak kuat sebagai hujjah.

.

.

Nashibiy tersebut membawakan riwayat yang dalam anggapannya menguatkan hujjahnya bahwa kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَادَةَ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا سَلِيمٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمْ الصَّلَاةَ فَقَرَأَ بِهِمْ الْبَقَرَةَ قَالَ فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ثَلَاثًا اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَنَحْوَهَا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abadah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Yaziid yang berkata telah mengabarkan kepada kami Saliim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinar yang berkata telah menceritakan kepada kami Jaabir bin ‘Abdullah bahwa Mu’adz bin Jabal [radiallahu ‘anhu] shalat bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian ia datang kepada kaumnya dan shalat bersama mereka. Dalam shalatnya ia membaca surat Al Baqarah. [Jabir] berkata maka seorang laki-laki keluar dan shalat sendiri, maka hal itu disampaikan kepada Mu’adz. Maka ia berkata “sesungguhnya ia seorang munafik”. Maka disampaikan hal itu kepada orang tersebut, ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “wahai Rasulullah kami adalah kaum yang bekerja menyiram ladang dan Mu’adz shalat bersama kami membaca Al Baqarah maka aku keluar dan ia menganggapku munafik”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “wahai Mu’adz apakah engkau hendak membuat fitnah”. Beliau mengucapkannya sampai tiga kali, maka bacalah “wasysyamsi wa dhuhaahaa dan sabbihisma rabbukal a’laa dan yang semisalnya [Shahih Bukhariy no 6106]

Riwayat ini dijadikan hujjah oleh nashibiy tersebut bahwa kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima. Pernyataan ini terlalu terburu-buru, riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara ini dengan dasar berikut

  1. Riwayat ini jalan sanadnya shahih sampai Jabir bin ‘Abdullah seorang sahabat Nabi jadi bukan riwayat dari orang yang tertuduh munafik itu sendiri
  2. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengetahui apakah perkataan orang tersebut akan dirinya adalah benar atau tidak. Nampak bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membela orang tersebut yang berarti bahwa Beliau mengetahui kalau orang tersebut jujur atas dirinya dan Mu’adz telah keliru atas tuduhannya.

Jadi hadis ini bukan diartikan kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengetahui bahwa ia jujur atas perkataannya maka tertolaklah tuduhan Mu’adz kalau ia munafik. Hal yang sama tidak bisa diterapkan atas kasus Abu Musa mengingat keutamaan yang dimaksudkan berasal dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu berasal dari perkataan Abu Musa sendiri dan ia tertuduh munafik.

.

.

Seandainya riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan Abu Musa agar diampuni Allah dan mendapat tempat yang mulia di hari kiamat itu berasal dari jalan sanad shahih selain riwayat Abu Musa maka hadis ini akan menjadi hujjah yang kuat dan tentu kami akan merajihkan kedudukan Abu Musa yang mulia dan menolak atsar Huzaifah.

Sejauh ini kami telah berhujjah dengan objektif, kami menimbang berbagai riwayat shahih yang memberatkan Abu Musa dan berbagai riwayat shahih yang menunjukkan keutamaan Abu Musa. Hasilnya sejauh ini adalah kami bertawaqquf atas kedudukan Abu Musa karena kami tidak bisa merajihkan riwayat mana yang lebih kuat. Sedangkan nashibiy tersebut pembelaannya tidak memiliki nilai hujjah di sisi kami karena seperti yang kami katakan ia tidak memiliki kualitas berpikir yang baik dan objektif dalam menilai hujjah.

Kami juga tersenyum lucu dengan ulah nashibiy tersebut terkait dengan tuduhannya terhadap kami. Ia mengatakan bahwa cara berpikir kami terbalik, Abu Musa adalah seorang mu’min dan mendapatkan keutamaan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] semasa hidupnya maka perkataan siapapun yang menyelisihi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tertolak.

Perkataan nashibiy tersebut memang benar tetapi ia lah yang sebenarnya tidak memahami hakikat persoalan. Seseorang bisa saja seorang muslim dan beriman kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian setelah itu atau sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wassalam] ia bisa saja menjadi munafik atau murtad. Hal ini bukan perkara yang mustahil dan hadis shahih telah menunjukkannya [seperti hadis Al Haudh di atas].

Kemudian keutamaan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang dimaksud juga tidak selalu bersifat mutlak sehingga seolah-olah orang tersebut pasti masuk surga dan membuatnya kebal akan tuduhan walaupun telah nyata-nyata bermaksiat. Banyak hadis shahih yang menunjukkannya

  1. Keutamaan seseorang sebagai penulis wahyu, terdapat hadis shahih bahwa seorang penulis wahyu bisa menjadi kafir atau mati dalam keadaan kafir
  2. Keutamaan seseorang sebagai utusan Nabi, terdapat hadis shahih bahwa seorang utusan Nabi ternyata bisa menjadi seorang yang fasiq
  3. Dan hadis Al Haudh di atas menunjukkan keutamaan para sahabat yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “mereka bagian dariku” tetapi pada hakikatnya sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka akhirnya mengubah [agama]

Memang benar bahwa perkataan siapapun yang menyelisihi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tertolak tetapi tentu perkataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang dimaksud harus bernilai shahih tanpa keraguan baik sanad maupun matannya. Bagaimana mungkin pujian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap bacaan Al Qur’an seseorang membuat dirinya kebal terhadap tuduhan bahwa ia pada akhirnya ternyata ikut serta dalam ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahkan Huzaifah menuduhnya munafik.

.

.

Kemudian nashibiy tersebut dengan sok mengatakan bahwa kami licik alias malu-malu serigala, ia mempermasalahkan judul tulisan yang kami buat dengan bentuk pertanyaan “Apakah Abu Musa munafik?”. Kami tidak mengerti apa masalah nashibiy tersebut kecuali memang pikirannya yang dipenuhi dengan kebenciannya terhadap Syi’ah sehingga tulisan kami yang kami buat sebisanya dengan menghindarkan kata-kata celaan terhadap sahabat Abu Musa malah ia nilai sebagai licik atau malu-malu serigala. Kalau begitu maka apa yang akan ia katakan terhadap Huzaifah yang dengan jelas menyatakan Abu Musa munafik. Apa ia akan menuduh Huzaifah zindiq? Atau menuduh Huzaifah rafidhah?. Tentu saja ia akan menutup mata atas perkataan Huzaifah dan lebih nyaman baginya menuduh yang bukan-bukan terhadap kami bahwa kami Syi’ah rafidhah yang licik.

Sungguh lucu ia mengagung-agungkan sahabat Nabi padahal banyak hadis shahih membuktikan bahwa tidak semua sahabat layak untuk diagungkan. Kita bisa sebutkan beberapa diantaranya, Abu Ghadiah sahabat Nabi yang membunuh Ammar bin Yasir, Mu’awiyah yang berdusta atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Mughirah bin Syu’bah yang mencela Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] dan pernah dituduh berzina, Samurah bin Jundub yang dikatakan akan masuk neraka, Walid bin Uqbah seorang yang dinyatakan fasiq, Umarah bin Uqbah yang juga dikatakan masuk neraka, Abu A’war As Sulamiy yang dilaknat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis-hadis dan riwayat shahih telah membuktikan perkara ini dan bagi seorang yang objektif mereka akan menerimanya tetapi bagi mereka yang terikat doktrin salafy nashibi maka mereka akan selalu berdalih untuk menolaknya.

Seperti biasa tuduhan bahwa kami Syi’ah rafidhah hanya muncul dari orang-orang yang kerdil akalnya, apakah kami sedang berhujjah dengan hadis-hadis rafidhah?. Lama-kelamaan pengertian rafidhah akan berubah sehingga setiap siapapun yang mengkritik sahabat terlepas apapun maksiat sahabat yang dimaksud maka ia akan dituduh rafidhah. Atau Siapapun yang mengutamakan Ahlul Bait di atas sahabat Nabi maka ia akan dituduh rafidhah.

.

.

Kembali kepada kedudukan Abu Musa di atas maka kami simpulkan pandangan kami dalam masalah ini adalah kami bertawaqquf atas kedudukannya dan kami tidak segan-segan mengubah pandangan kami jika terdapat riwayat yang kuat mengenai keutamaan Abu Musa yang dapat mengalahkan riwayat celaan terhadap Abu Musa.

.

.

Note : Tulisan ini sudah lama dibuat tetapi baru ditampilkan sekarang, pertimbangannya dulu agar orang tidak salah paham terhadap penulis blog ini tetapi ternyata tanpa ditampilkanpun kesalahpahaman itu tetap terjadi. So, tulisan ini mungkin hanya bermanfaat bagi orang-orang yang berpikiran kritis dan terbuka.

10 Tanggapan

  1. Berikut adalah tanggapan dari sang penulis tersebut, Hanya tanggapan basi seperti biasa. Seolah dirinya merasa bisa berpikir dengan baik. Maka silakan perhatikan pembaca apakah yang bersangkutan memang punya cara berpikir yang baik atau seperti biasa dari orang-orang sepertinya yang suka membantah tanpa arah yang jelas. Ia berkata

    Ooowh….silahkan…..sangat dipersilahkan sekali.
    Saya tidak heran koq, coz memang seperti itulah menurut qaidah Syi’ah Rafidhah seperti anda bahwa siapapun yang menentang Syi’ah Rafidhah, akan dianggap sebagai Nashibi, siapapun orangnya

    Berbeda dengan kami, dirinya mungkin sangat bersenang hati dengan tuduhan nashibi yang disematkan padanya. Maka mungkin bisa dikatakan bahwa tujuan dirinya dari awal menuduh orang lain rafidhah agar dirinya mendapat kehormatan untuk diberikan gelar nashibi. Maka kami katakan silakan anda bergembira dengan predikat diri anda sebagai nashibi dan kami akan tetap terus menolak tuduhan bahwa kami rafidhah.

    Aneh sekali orang Rafidhah ini….
    Tentang riwayat yang pertama, justru tulisan saya itu adalah untuk menanggapi hal itu.

    Saya tidak berputar-putar membahas dari sisi takhrij, sanad, atau apalah karena memang sudah jelas bagi saya kalau sanad riwayat itu adalah shahih.

    So, tidak perlulah bagi saya berpanjang-panjang membahasnya. Saya fair saja koq dalam hal ini.

    Adapun yang lebih ditekankan dalam tanggapan saya sebelumnya adalah cara orang Rafidhah itu membahas riwayatnya berikut syubhat yang dia bawakan atas riwayat tersebut.

    Syubhat apanya? Bagian mana dari tulisan kami yang anda katakan syubhat?. Bahkan anda sendiri tidak menyadari apa sebenarnya inti dari tulisan kami di atas. Sekedar informasi, justru kami tidak bertaklid buta dengan Huzaifah yang menyatakan Abu Musa munafik. Silakan lihat, sampai akhir tulisan kami dan juga di kolom komentar kami menyatakan bahwa kami tawaqquf dengan kedudukan Abu Musa. Jika itu yang dikatakan syubhat maka apa yang dikatakan Huzaifah jauh lebih parah dari syubhat.

    Sedangkan tentang riwayat ke-2 dan ke-3, maka ini sebelumnya tidak dibahas karena memang tidak perlu dibahas. Untuk apakah cara berdalil yang serampangan, lalu dipaksa-paksakan dan semau gue seperti itu dibahas? Ada2 saja orang Rafidhah ini.

    Tapi, ok-lah, untuk tidak mengecewakannya, sedikit akan kita bahas di sini….

    Tidak perlu sok mengklaim menyatakan orang serampangan. Mari kita buktikan dengan ilmiah siapa yang sebenarnya serampangan.

    Riwayat ke-2 mengenai peristiwa al-‘Aqabah, sama sekali tidak menunjukan apa2, kecuali hanya coba dikait-kaitkan oleh orang Rafidhah itu secara serampangan dalam menambahkan kesan bahwa Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu itu memang benar seorang munafik.

    Silakan, bagi orang yang tidak berakal maka akan mudah untuk mengatakan bahwa jika ada sekelompok orang yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian ada seseorang yang dikatakan termasuk kelompok tersebut maka hal itu tidak menunjukkan apa-apa. Ya silakan kami tidak perlu menunjukkan kerendahan kualitas anda karena dengan berkomentar seperti itu anda sudah menunjukkan kerendahan diri anda.

    Padahal, kejadian berikutnya setelah peristiwa ‘Aqabah itu terjadi, sebenarnya telah meng-clearkan masalah tersebut, yakni saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ke Yaman untuk menjadi juru dakwah di sana bersama Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu.

    Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari haditsnya Abu Burdah, ia berkata :

    بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا مُوسَى وَمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ وَبَعَثَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مِخْلَافٍ قَالَ وَالْيَمَنُ مِخْلَافَانِ ثُمَّ قَالَ يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا

    “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhuma ke negeri Yaman. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus masing2 dari keduanya ke lokasi yang berbeda, sebab Yaman saat itu terdiri dari dua daerah.

    Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda : “Permudahlah oleh kalian dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan jangan menjadikan mereka benci.”

    (Shahih al-Bukhari 5/161 no.4342)

    Ini hujjah yang sudah basi, saya tidak tahu apakah yang bersangkutan tidak memiliki hujjah lain sehingga ia mengulang-ngulang hujjah orang lain [yang sejenis dengan dirinya]. Kami akan menanggapi hujjah tersebut secara ilmiah. Jika memang hadis ini mau dijadikan hujjah membatalkan peristiwa aqabah maka ia harus membuktikan bahwa kisah tersebut memang terjadi setelah peristiwa aqabah. Dan hal ini belum ia buktikan.

    Kemudian secara sanad, mungkin bagi dirinya tidak masalah karena ia tidak memiliki kualitas berpikir yang objektif tetapi bagi orang yang mempermasalahkan kedudukan Abu Musa maka riwayat Bukhari tersebut tidak ada nilainya karena bersumber dari Abu Musa sendiri. Seperti yang kami katakan jika Abu Musa dituduh sebagai munafik oleh Huzaifah maka seyogianya untuk membebaskan tuduhannya ya harus dengan bukti riwayat selain dari riwayat Abu Musa. Dan begitu pula jika memang Abu Musa termasuk dalam dua belas ahlul aqabah musuh Allah dan Rasul-Nya maka riwayat dirinya juga tertolak.

    Secara objektif kami menempatkan riwayat tersebut sebagai riwayat yang tidak kuat untuk membatalkan tuduhan terhadap Abu Musa maka kami bertawaqquf dengannya. Adakah yang salah dengan cara berpikir yang seperti ini. Rasanya ini kesimpulan yang wajar bagi orang yang berpikiran jernih. Berbeda halnya dengan orang yang pikirannya tegak atas doktrin tertentu bahwa semua sahabat adil tanpa terkecuali.

    Argumen ini benar2 konyol.
    Apa yang dia bawakan ini adalah tentang diutusnya seseorang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum terjadinya peristiwa yang menyebabkan orang tersebut kemudian dicela.

    Sedangkan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu diutus oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah peristiwa ‘Aqabah yang dipermasalahkan oleh orang Rafidhah itu.

    Peristiwa tentang al-Walid yang dia bawakan itu kondisinya benar2 berbeda dengan peristiwa ‘Aqabah dan pengutusan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ke Yaman, dan tentu saja pengambilan kesimpulannya pun tidak bisa disamakan.

    Orang yang dulu itu kualitasnya sama dengan nashibi ini. Keduanya tidak tahu caranya berhujjah tetapi menuduh argumen orang lain konyol. Apa yang dikutipnya itu adalah salah satu dari beberapa poin. Tetapi poin utama adalah bagaimana keshahihan sanad kisah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Abu Musa ke Yaman [tentunya selain riwayat Abu Musa] dan poin berikutnya apa buktinya kisah tersebut terjadi sesudah peristiwa aqabah. Sedangkan hujjah mengenai utusan Nabi yang akhirnya menjadi fasiq hanya menunjukkan bahwa seorang yang diutus Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada akhirnya bisa menjadi seorang yang fasiq dan tidak menutup kemungkinan predikat lain seperti munafik atau murtad sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

    Adapun, tentang riwayat yang ke-3 bahwa ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu pernah mendo’akan satu kejelekan bagi Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, maka apa masalahnya disini?

    Apakah bagi orang Rafidhah tersebut do’a seperti itu menunjukan akan kemunafikan seseorang?

    Jika ya, betapa jahilnya dan betapa pendek sekali pikiran orang Rafidhah tersebut.

    Jika tidak, lalu apa gunanya dia menukilkannya?

    Jika jawabannya sudah pasti “ya” maka sudah dari awal kami akan menetapkan kemunafikan Abu Musa. Apa gunanya menukilnya?. Karena fakta yang perlu diperhatikan kedudukan Abu Musa tidak sama seperti Muawiyah dan pengikutnya yang memang memerangi Imam Aliy. Abu Musa pada saat itu justru berada di pihak Imam Aliy [pada persitiwa tahkim]. Mengapa Abu Musa yang berada di pihak Imam Aliy justru mendapat doa keburukan dari Imam Aliy?. Kalau Abu Musa seorang munafik maka hal ini bisa dimengerti karena seorang munafik dapat memecah belah persatuan dalam kelompok Imam Aliy sehingga perlu dimasukkan dalam doa qunut nazilah. Tentu saja ini hanya kemungkinan dan tidak menafikan ada kemungkinan yang lain. Riwayat Imam Aliy ini kami jadikan sebagai riwayat yang memberatkan kedudukan Abu Musa. Kalau bagi nashibi tersebut riwayat ini tidak ada apa-apanya ya sah sah saja. Sejak kapan para nashibi berpegang pada perkataan Imam Aliy.

    Sesungguhnya orang yang lebih utama dari ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu yakni Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal yang lebih besar daripada itu, yakni beliau telah melaknat seseorang, akan tetapi hal itu tidaklah berarti beliau kemudian menganggap orang yang beliau laknat tersebut sebagai orang munafik, bahkan beliau tetaplah mengharapkan kebaikan bagi orang yang beliau laknat dan caci tersebut.

    Hal ini justru menguatkan kepada kami bahwa dalam pandangan nashibi, orang yang dilaknat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak berarti apa-apa. Bahkan sebaliknya akan mendapatkan kebaikan akibat laknat tersebut. Nashibi tersebut berhujjah dengan hadis berikut

    Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari haditsnya ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau berkata :

    دخل على رسول الله صلى الله عليه و سلم رجلان فكلمها بشيء لا أدري ما هو فأغضباه فلعنهما وسبهما فلما خرجا قلت يا رسول الله من أصاب من الخير شيئا ما أصابه هذان قال وما ذاك قالت قلت لعنتهما وسببتهما قال أو ما علمت ما شارطت عليه ربي ؟ قلت اللهم إنما أنا بشر فأي المسلمين لعنته أو سببته فاجعله له زكاة وأجرا

    “Dua orang laki2 masuk kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berbicara tentang sesuatu yang tidak aku ketahui yang kemudian membuat Rasulullah marah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu melaknat dan mencaci keduanya.

    Ketika keduanya telah keluar, aku berkata : “Wahai Rasulullah, sepertinya kedua orang tadi tidak memperoleh kebaikan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain.”

    Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa maksudnya?”

    Aku berkata : “Engkau telah melaknat dan mencaci keduanya.”

    Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau tidak tahu apa yang pernah aku syaratkan kepada Rabb-ku? Aku berkata : “Ya Allah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, maka jika ada kaum muslimin yang aku laknat atau aku caci, jadikanlah hal itu sebagai pembersih dosa dan pahala baginya.”

    (Shahih Muslim 4/2007 no.2600)

    Di sisi kami hadis ini tergolong musykil dan tidak serampangan seseorang berhujjah dengannya apalagi dengan hujjah yang tidak nyambung. Hadis ini tentu tidak bisa seenaknya dinyatakan bahwa siapapun yang dilaknat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka itu akan menjadi pembersih dosa baginya. Hadis ini hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin yang memang tidak layak mendapatkan laknat atau celaan tersebut. Dan tentu saja yang paling tahu siapa yang layak atau tidak adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Terlepas dari itu hadis ini adalah kekhususan bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Konyol sekali jika nashibi itu menyambung-nyambungkannya dengan doa Imam Aliy terhadap Abu Musa. Jelas tidak ada hubungannya.

    Adapun mengenai hubungan ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu dan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, maka sebagaimana diriwayatkan, bahwa hubungan ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu dan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu saat ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu menjadi khalifah itu tetaplah berjalan baik, dan beliau berdua tetap saling mengunjungi dan saling menasihati.

    Peristiwa dimana Imam Aliy mendoakan Abu Musa dalam qunut nazilah-nya itu juga terjadi pada masa kekhalifahan Imam Aliy. Dan mari kita lihat riwayat yang dijadikan hujjah nashibi tersebut.

    Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan :

    ثنا عفان ثنا أبو عوانة عن عاصم بن كليب حدثني أبو بردة بن أبي موسى قال كنت جالسا مع أبي موسى فأتانا علي رضي الله عنه فقام على أبي موسى فأمره بأمر من أمر الناس قال قال على قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم قل اللهم اهديني وسددني واذكر بالهدى هدايتك الطريق واذكر بالسداد تسديد السهم ونهاني ان اجعل خاتمي في هذه

    “Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dan ‘Ashim bin Kulaib, telah menceritakan kepadaku Abu Burdah bin Abi Musa, ia berkata :

    “Aku pernah duduk bersama Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, ketika ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu datang kepada kami kemudian beliau menuju Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu dan memerintahkannya dengan satu urusan diantara urusan manusia.”…

    ‘Ali radhiyallaahu ‘ahu berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk membaca do’a : “Allaahumahdiniy wa saddidni wadzkur bil-huda hidaayatakath-thariiqa wadzkur bis-sadaadi tasdiidas-sahmi.” Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarangku dari memakai cincin pada jari2 ini.”

    (Musnad Ahmad 1/154 no.1320. Syaikh Syu’aib rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini : “Isnadnya kuat.”)

    Imam Aliy adalah khalifah pada masa itu dan jika ia memerintahkan suatu urusan kepada Abu Musa itu tidak menafikan bahwa setelah itu Imam Aliy mendoakan keburukan dalam qunut nazilah sebagaimana nampak dalam riwayat shahih. Tentu saja memang tidak ada qarinah yang menunjukkan kapan peristiwa di atas terjadi. Apakah sebelum peristiwa qunut nazilah Imam Aliy atau setelahnya?. Karena yang berhujjah dengan hadis ini adalah nashibi tersebut maka silakan baginya untuk membuktikan hal tersebut. Jika tidak maka hujjahnya hanya berupa kemungkinan dan kami telah menunjukkan kemungkinan lainnya bahwa peristiwa di atas terjadi sebelum qunut nazilah. Bahkan disinipun terdapat kemungkinan bahwa bisa saja zhahir perbuatan atau yang nampak dari Abu Musa ketika menangani urusan yang diperintahkan Imam Aliy menjadi sebab adanya qunut nazilah tersebut. Namanya kemungkinan akan selalu ada banyak macamnya.

    Imam Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan :

    – أخبرنا أبو عبد الله الحافظ وأبو سعيد بن أبي عمرو قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا أحمد بن عبد الجبار ثنا أبو معاوية عن الأعمش عن الحكم عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال جاء أبو موسى الأشعري يعود الحسن بن علي رضي الله عنهما فقال له علي رضي الله عنه أعائدا جئت أم شامتا فقال بل عائدا فقال علي رضي الله عنه فإن كنت جئت عائدا فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إذا أتى الرجل أخاه يعوده مشى في خرافة الجنة حتى يجلس فإذا جلس غمرته الرحمة فإن كان غدوة صلى عليه سبعون ألف ملك حتى يمسي

    “Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah al-Hafizh dan Abu Sa’id bin Abi ‘Amru, keduanya mengatakan : “Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdul-Jabar, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy dari al-Hakam, dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata :

    “Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu datang mengunjungi Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhuma, maka ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu, bertanya kepada Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu: “Apakah engkau datang untuk mengunjungi kami ataukah karena gembira atas musibah yang menimpa kami?”

    Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu menjawab : “Bahkan, aku hanya berkunjung.”

    Maka ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu berkata : “Kalau engkau datang karena berkunjung, maka sungguh aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seorang laki2 datang mengunjungi saudaranya di sore hari, maka ia berada pada kebun surga hingga ia duduk. Apabila ia telah duduk, maka ia dilimpahi rahmat. Jika ia datang di waktu pagi, maka 70 ribu malaikat akan memohonkan shalawat untuknya dari waktu pagi sampai sore harinya.”

    (Sunan Al-Kubra 3/380 no.6376. Syaikh Syu’aib rahimahullah dalam Musnad Ahmad mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan.)

    Sama seperti sebelumnya, silakan dibawakan bukti apakah riwayat di atas terjadi setelah peristiwa qunut nazilah atau sebelumnya?. Lagipula kalau melihat riwayat di atas pada kalimat yang dikatakan oleh Imam Aliy [sebagaimana dinukil nashibi tersebut] yaitu “Apakah engkau datang untuk mengunjungi kami ataukah karena gembira atas musibah yang menimpa kami?”. Apakah perkataan seperti itu biasanya dikatakan kepada sahabat yang datang berkunjung. Justru perkataan Imam Aliy mengisyaratkan bahwa pribadi Abu Musa tidak mendapat tempat yang khusus di sisi Imam Aliy. Dan telah shahih qunut nazilah Imam Aliy kepada Abu Musa. Kedua riwayat yang ia jadikan hujjah tidak menjadikan hujjah untuk menafikan riwayat shahih mengenai qunut nazilah Imam Aliy kepada Abu Musa [apalagi dalam kedua riwayat tersebut tidak ada sedikitpun pujian Imam Aliy terhadap Abu Musa]. Bahkan sangat mungkin bahwa kedua hadis yang dijadikannya hujjah adalah sebelum terjadinya qunut nazilah.

    Perselisihan diantara sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah hal yang lumrah dan keluarnya kata2 yang tidak baik dari seorang sahabat kepada sahabat yang lain adalah suatu hal yang adakalanya memang terjadi, bahkan di masa hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sekalipun.
    Semisal perselisihan ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu dan Hathib radhiyallaahu ‘anhu sampai-sampai ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu menuduhnya sebagai orang munafik.

    Tapi toh, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetaplah memandang baik keduanya.

    Jadi menurut nashibi tersebut, keluarnya kata-kata tidak baik antara sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, termasuk kata “munafik” adalah perkara yang lumrah dan biasa saja. Silakan itu adalah keyakinannya. Agak menjijikkan jika di satu sisi yang bersangkutan begitu mensucikan sahabat dan ternyata ia sendiri meyakini bahwa sahabat satu sama lain lumrah lumrah saja menuduh munafik.

    Hakikat sebenarnya di sisi kami adalah seorang sahabat tidak akan mencela sahabat yang lain kecuali mereka memiliki alasan untuk itu. Alasan ini bermacam-macam tergantung kasusnya dan bisa penar bisa pula salah. Jika dimasa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Beliau adalah penentu yang membedakan apakah tuduhan atau celaan [misalnya munafik] itu benar atau tidak. Termasuk dalam perkara Hathib, pembelaan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjukkan bahwa Hathib bukanlah munafik tetapi bukan berarti semuanya mesti digeneralisasi seolah-olah kata “munafik” itu adalah hal yang lumrah saja jika dilontarkan sahabat kepada sahabat yang lain. Berikut adalah contoh justru Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] malah tidak membantah tuduhan munafik terhadap seseorang

    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ ، وَفِي ثَوْبِ بِلَالٍ فِضَّةٌ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِي النَّاسَ ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ ، قَالَ : ” وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ ، فَقَالَ : مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّي أَقْتُلُ أَصْحَابِي ، إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ ، لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ ، يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ “

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh bin Muhajir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Laits dari Yahya bin Sa’id dari Abu Zubair dari Jabir bin ‘Abdullah yang berkata “seseorang datang kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Ji’ranah setelah pulang dari perang Hunain. Ketika itu dalam pakaian Bilal terdapat perak maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membagikannya kepada manusia. Orang tersebut berkata “wahai Muhammad berlaku adillah?”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “celaka engkau, siapa yang bisa berlaku adil jika aku dikatakan tidak berlaku adil? Sungguh celaka dan rugi jika aku tidak berbuat adil. Umar berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] izinkanlah aku membunuh munafik ini”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “aku berlindung kepada Allah dari pembicaraan orang-orang bahwa aku membunuh sahabatku sendiri, sesungguhnya orang ini dan para sahabatnya suka membaca Al Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka, mereka keluar darinya seperti anak panah yang lepas dari busurnya” [Shahih Muslim 2/740 no 1063]

    Jadi cara yang paling baik untuk menuntaskan perkara tuduhan Huzaifah bahwa Abu Musa adalah munafik adalah dengan mengembalikannya kepada perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Adakah hujjah dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membatalkan kemunafikan Abu Musa. Sejauh yang kami ketahui kami tidak menemukannya oleh karena itu kami bertawaqquf dengannya. Seandainya kami menemukan riwayat shahih keutamaan Abu Musa yang dapat membatalkan tuduhan tersebut maka kami tidak segan-segan mengubah pendapat kami dan menetapkan keadilannya.

    So, hal2 seperti itu sama sekali bukan menjadi suatu alasan bagi seseorang untuk bersikap konyol sok tahu menilai berdasarkan pikiran kotornya sendiri semisal yang dilakukan oleh orang2 Syi’ah Rafidhah.

    Ah…Rafidhah….Rafidhah…..penyakit dan karakter utama kalian dari dulu memang tidak pernah berubah.

    Coba anda kutip satu saja bukti pikiran kotor yang anda maksudkan itu wahai nashibi. Apakah dalam tulisan kami, ada kami mencela Abu Musa atau menetapkan kemunafikannya?. Tidak ada, kami tidak punya kepentingan disini. Kami hanya memaparkan bagaimana pandangan kami terhadap Abu Musa dengan melihat berbagai hadis tentang dirinya dan menganalisisnya secara objektif. Tentu saja bukan analisis serampangan seperti yang anda lakukan, bahkan anda menjadikan hadis kunjung-mengunjung sebagai hujjah untuk membatalkan tuduhan. Kami sarankan kalau ingin berhujjah berpeganglah pada teks riwayat bukan berdasarkan asumsi atau persepsi yang sifatnya hanya berupa kemungkinan yang tidak menafikan kemungkinan lainnya.

    Tanggapannya ini malah menunjukan bahwa orang Rafidhah itu memang tidak bisa berpikir dengan cara yang benar, dan yang dia bisa hanya berusaha menyambung-nyambungkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung. Konyol sekali jika hanya karena dituduh, maka orang Rafidhah itu menganggap otomatis segala shifat munafik langsung melekat pada orang yang dituduh.

    Ini contoh orang aneh tetapi menuduh orang lain aneh. Tahukah anda para pembaca siapakah yang sebenarnya berusaha menyambung-nyambungkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung. Ya dia ini, kami sebelumnya membawakan riwayat shahih bahwa Huzaifah menuduh Abu Musa munafik dan kami membawakan riwayat shahih bahwa Abu Musa termasuk diantara ahlul aqabah dimana ahlul aqabah itu adalah sekelompok orang yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat pulang dari perang Tabuk. Kemudian datanglah dia ini sok membantah membawakan keutamaan Abu Musa bahwa suaranya seperti seruling Dawud [‘alaihis salaam]. Silakan pikirkan dengan baik wahai pembaca, bukankah itu namanya tidak nyambung.

    Kemudian perkataannya bahwa tuduhan tidak otomatis melekat pada yang dituduh. Maka kami jawab “itu benar sekali” dan silakan perhatikan wahai nashibi apakah ada saya menyatakan Abu Musa seorang munafik?. Jika ada silakan tunjukkan di bagian mana tulisan saya. Jadi andalah yang sebenarnya yang konyol membantah dengan gelap mata. Kalau mau membantah silakan fokuskan pada apa yang kami tulis bukan pada prasangka anda. Kalau anda menolak tuduhan munafik yang dikatakan Huzaifah maka silakan kemukakan alasannya. Jika anda tidak punya argumentasi untuk membantah tuduhan maka ya diam saja, tidak perlu sok membantah.

    Apakah anda pikir Huzaifah [radiallahu ‘anhu] tidak mengetahui suara indah yang dimiliki Abu Musa?. Bagaimana mungkin, padahal mereka hidup di masa dan tempat yang sama begitu lama. Jadi jangan sok membantah padahal anda tidak punya bantahan yang jelas.

    Padahal, tuduhan munafik kepada seseorang, maka hal itu tidak otomatis menjadikan seseorang yang dituduh munafik itu serta merta dihukumi sebagai pembohong, apalagi jika memang sebelumnya orang yang dituduh itu jelas2 merupakan orang yang terpercaya.
    Mengapa ?
    Sebab, adakalanya, tuduhan munafik itu hanyalah timbul dari penilaian yang salah dari seseorang atas apa yang dilakukan oleh orang lain, semisal tuduhan yang pernah dikemukakan Jabir radhiyallaahu ‘anhu kepada seseorang (atau semisal tuduhan ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu kepada Hathib radhiyallaahu ‘anhu).

    Tidak perlu saya ulang, bahwa perkataan ini benar sekali. Dan sekarang mari kita perjelas. Siapakah yang punya kewenangan atau kemampuan untuk menentukan apakah tuduhan terhadap seseorang munafik itu adalah benar atau tidak?. Kalau melihat dari riwayat yang anda jadikan hujjah maka tidak lain Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang punya kemampuan untuk membatalkan tuduhan tersebut. Pertanyaan berikutnya, dalam kasus tuduhan Huzaifah terhadap Abu Musa, apakah ada keterangan dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membatalkannya?. Kan dari awal itulah pokok permasalahannya. Mengapa nashibi satu ini tidak maju-maju dalam membantah, ujung-ujungnya cuma balik ke awal lagi. Itu yang saya bilang “bantahan basa basi”.

    Hadits di atas jelas menunjukan bahwa prasangka Jabir bahwa orang itu adalah seorang munafik hanyalah karena disebabkan ia keluar dari jama’ah yang sedang shalat dan memilih untuk melaksanakan shalat sendirian, bukan karena ia sering berbohong atau apapun, dan orang yang dituduh munafik itu lalu mengadukan hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
    Maka, kedudukan orang yang dituduh itu saat mengadukan masalahnya kepada Nabi, bukanlah sebagai seorang pembohong, akan tetapi tetap pada kejujurannya dan terpercayanya dia jika memang sebelum dituduh itu dia adalah orang yang jujur dan terpercaya.

    Anda tidak sedang berhujjah dengan riwayat tetapi berhujjah dengan persepsi anda sendiri. Bagaimana anda bisa tahu bahwa orang tersebut adalah jujur dan terpercaya?. Kalau anda bilang karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membelanya maka justru hal itu menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mengetahui bahwa orang tersebut jujur dan terpercaya. Dan itulah yang kami pahami, Tuduhan munafik terhadap orang tersebut batal karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membelanya dan menyalahkan Mu’adz. Nah pokok masalah disini kan anda yang sebelumnya berhujjah bahwa riwayat orang yang tertuduh munafik bisa diterima karena Nabi sendiri pernah menerima kesaksian orang yang tertuduh munafik. Kami katakan pada tulisan di atas anda yang keliru, duduk perkaranya bukan “kesaksian orang tertuduh munafik” itu diterima tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menetapkan bahwa ia bukan munafik. Jadi jauh sekali bedanya, sekali lagi cara anda berhujjah dengan riwayat Jabir itu menunjukkan bahwa andalah yang sedang menyambung-nyambungkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung.

    Begitupula dengan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
    Sebelum beliau dituduh sebagai munafik, maka Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu adalah orang yang terpercaya dan dipercayai oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat2 Nabi lainnya.
    So, pada saat beliau dituduh, kejujuran dan terpercayanya beliau sama sekali tidak gugur hanya karena tuduhan tersebut.

    Kami jawab “itu persepsi anda sendiri”. Setelah datang keterangan bahwa ia termasuk ahlul aqabah dan ahlul aqabah termasuk yang berniat membunuh Nabi. Kemudian Huzaifah yang merupakan saksi mata peristiwa aqabah menuduh Abu Musa munafik. Apakah akal anda akan tetap setia berbasa basi ia jujur dan terpercaya?. Sekali lagi kami belum menetapkan Abu Musa munafik tetapi maaf kami tidak seperti anda yang membela membantah membabibuta tanpa mengerti caranya berhujjah. Lucu sekali, kalau ada orang yang tenang-tenang saja dengan fakta Abu Musa termasuk ahlul aqabah.

    Dengan ini, maka periwayatannya tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
    “Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah ia di hari kiamat nanti di tempat yang mulia”, adalah benar dan shahih.

    Jawabannya tinggal gampang saja, seandainya tuduhan Huzaifah tersebut benar dan ternyata Abu Musa memang munafik maka batallah hadis tersebut. Sebanyak apapun hadis Abu Musa yang memuji dirinya setinggi langit tidak akan ada gunanya. Seandainya pula Abu Musa yang merupakan ahlul aqabah masuk dalam dua belah orang musuh Allah dan Rasul-Nya di dunia dan akhirat [berdasarkan hadis Huzaifah tentang peristiwa aqabah] maka batallah juga hadis tersebut. Silakan bersikeras dengan pembelaan yang basi.

    Adapun orang Rafidhah itu, maka sekali lagi, tanggapannya ini malah menunjukan bahwa dia memang tidak bisa berpikir dengan cara yang benar, dan yang dia bisa hanya berusaha menyambung-nyambungkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung berdasarkan ilusinya dan pikirannya yang ngeres.
    Konyol sekali jika hanya karena dituduh, maka orang Rafidhah itu menganggap otomatis segala shifat munafik semisal berdusta, langsung melekat pada orang yang dituduh.

    Seandainya anda punya cara berpikir dan mata yang cukup baik, maka anda sepatutnya termasuk orang yang layak untuk dihormati dan dihargai komentarnya. Tetapi apa yang anda tunjukkan hanyalah ketidakmampuan memahami perkataan orang lain. Apakah satu-satunya hujjah disini hanya tuduhan Huzaifah saja?. Bagaimana dengan fakta bahwa Abu Musa sebagai ahlul aqabah dan bagaimana dengan Imam Aliy yang mendoakan Abu Musa dalam qunut nazilah padahal Abu Musa itu bukan dalam barisan Mu’awiyah tetapi dalam barisan Imam Ali. Ya bagi anda itu mungkin tidak layak diperhatikan tetapi bagi orang lain itu menunjukkan “memang ada apa-apanya”. Jadi sebelum anda sok bicara konyol, sok bicara tidak nyambung. Silakan bantah ketiga hujjah tersebut dengan bantahan yang ilmiah bukan malah seenaknya berhujjah dengan hadis riwayat Abu Musa sendiri.

    Ini benar2 bantahan yang konyol.
    Coba dia kasih tahu saya, diantara sekian banyak orang yang bersuara indah saat membaca Al-Quran, siapakah selain Abu Musa al-Asy’ari yang kemudian disebutkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai “mizmar dari mizmar2 keluarga nabi Dawud ‘alaihissalaam.”

    Lho justru anda yang konyol, apakah indahnya suara Abu Musa itu membatalkan fakta bawa dirinya termasuk Ahlul Aqabah. Itu kan hal yang sederhana dan tidak bisa anda pahami. Dan kami tunjukkan contoh dalam hadis Al Haudh lafaz dimana Nabi menyatakan kepada sahabatnya “mereka bagian dariku”. Kalau begitu saya tanya silakan tunjukkan ada berapa banyak orang yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai “bagian dariku” dan kira-kira itu termasuk keutamaan apa tidak.

    Nah, penetapan keutamaan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu dalam hadits tersebut dengan menyandingkan namanya dengan seorang Nabi oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menunjukan bahwa Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu bukanlah seorang munafik di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebab sangat tidak mungkin Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji seorang yang munafik dengan cara menyandingkan namanya dengan seorang Nabi dan tidak mungkin pula seorang munafik diberikan keutamaan seperti ini.

    Pertanyaan untuk anda dan sebenarnya sudah disinggung dalam tulisan di atas tetapi sayang akal anda belum sampai kesana. Apakah seorang muslim di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] suatu saat bisa menjadi munafik atau murtad?. Jika anda menjawab tidak maka hadis Al Haudh telah membuktikan bahwa itu bisa terjadi. Maka silakan perhatikan peristiwa aqabah itu terjadi mendekati akhir masa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu pasca perang Tabuk. Jadi justru sebenarnya fakta Abu Musa sebagai ahlul aqabah dapat membatalkan keutamaan yang anda klaim. Sama seperti hadis Al Haudh dimana kemurtadan sebagian sahabat membatalkan anggapan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “mereka bagian dariku”.

    Tidakkah dia tahu bahwa dari sekian banyak ribu sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka di sana hanya terdapat segelintir sahabat yang bisa dihitung dengan jari yang namanya disandingkan dengan nama seorang Nabi dalam hal keutamaan?
    Diantara yang sedikit itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu yang disandingkan namanya dengan Nabi Harun ‘alaihissalaam saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada beliau tentang kedudukan ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu :
    “Kedudukanmu terhadapku seperti kedudukan Harun terhadap Musa.”
    Ini adalah keutamaan yang khusus, yang tidak diberikan kepada orang selain ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu.

    Gak perlu sok berhujjah. Bukankah para nashibi sendiri yang merendahkan keutamaan Imam Aliy tersebut dengan alasan bahwa itu hanya analogi yang menunjukkan Imam Ali sebagai pengganti sementara untuk memimpin Madinah. Ketika orang-orang Syi’ah menunjukkan itu sebagai hujjah kekhalifahan Imam Ali maka kalian mati-matian menolaknya dengan alasan hanya “pengganti sementara” dan sejarah menunjukkan banyak pengganti lain di Madinah yang ditunjuk oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Aneh bin ajaib sekarang anda datang sok berkata keutamaan khusus.

    Di sisi saya pribadi apa yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Imam Aliy itu jauh sekali keadaannya dengan apa yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang Abu Musa. Hakikat Abu Musa itu tentang keindahan suaranya, sedangkan hakikat Imam Ali adalah tentang kedudukannya disisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri bahwa itu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Komentar anda kembali menunjukkan bahwa andalah yang sedang menyambung-nyambungkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung.

    Tentang pendalilan dia dengan hadits al-Haudh, maka ini lebih konyol lagi…
    Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka adalah bagian dariku.”, dan dalam riwayat lainnya : “Wahai Rabb, dariku dan dari umatku.”, maka ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu sama sekali tidak dalam konteks sedang menetapkan keutamaan seseorang atau keutamaan sekelompok kaum.
    So, tentu saja itu saja berbeda konteksnya dengan penetapan keutamaan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu.
    Ada2 saja orang Rafidhah itu.

    Memang di dunia ini sepertinya anda merasa cuma anda yang tahu bagaimana caranya berhujjah dan sok tahu soal konteks-konteks riwayat. Apakah anda pikir perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu awalnya cuma basa basi?. Silakan perhatikan hadisnya ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihat sebagian sahabatnya yang Beliau kenal dan tiba-tiba dipisahkan atau ditolak di Al Haudh maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyerukan “mereka bagian dariku”. Apa dalam konteks pikiran anda ucapan ini tidak ada maknanya atau sebenarnya merupakan pujian terhadap sebagian sahabat maka seharusnya tidak perlu dipisahkan dan ditolak dari Al Haudh. Karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengetahui kemurtadan mereka maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyerukan kata-kata tersebut. Dan ternyata ketika dikatakan bahwa mereka murtad maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akhirnya juga menolak mereka. Faedah yang diambil disini adalah anggapan atau pujian terhadap sahabat akan batal dengan sendirinya dengan perbuatan mereka yang murtad. Atau secara umum ada perbuatan tertentu yang jika dilakukan para sahabat dapat menjadi pembatal bagi keutamaan persahabatannya dengan Nabi.

    Lucu sekali padahal sebelumnya anda begitu bersemangat memuji Abu Musa ketika keindahan suaranya disandingkan dengan keindahan suara Nabi Daud [‘alaihis salaam]. Tetapi sekarang ketika ada sebagian sahabat yang disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri dengan perkataan “mereka bagian dariku” anda malah sok bicara konteks yang anda ada-adakan sendiri atau anda sok ada-adakan konteks-nya. Cara berhujjah yang maaf tidak ada nilainya

    Jadi jangan sok berhujjah basa basi bahwa konteksnya bukan keutamaan. Anda sendiri tidak memperhatikan perkataan “mizmar dari keluarga Daud” itu konteksnya sebagai apa. Siapapun akan paham kok bahwa keutamaan itu tertuju pada keindahan suaranya ketika membaca Al Qur’an. Kemudian anda malah menjadikannya hujjah membatalkan tuduhan Huzaifah. Apa anda pikir Huzaifah tidak tahu keindahan suara Abu Musa?. Apakah orang yang bersuara indah tidak bisa jadi munafik atau tidak bisa jadi murtad?. Kalau anda mau menolak tuduhan Huzaifah tanpa dasar ya silakan tetapi kami katakan tidak perlu sok membantah apalagi sok menuduh bahwa kami Rafidhah. Tuduhan Huzaifah nilainya jauh-jauh lebih berat dari apa yang kami tulis. Karena kami sendiri sampai saat ini hanya menetapkan bahwa kami tawaqquf atas kedudukan Abu Musa.

  2. dari uraian anda pak SP bisa disimpulkan bhw sangat kuat sekali kebenaran ucapan Huzaifah atas Abu Musa bagaikan matahari di siang bolong, maka bagamn anda masih ber “tawaquf” atas Abu Musa. ini sangat kontradiksi dg uraian anda sendiri.

  3. @ Fuad

    Silakan dibaca pelan-pelan tulisan yang saya buat atau saya bisa jelaskan dengan lebih ringkas. Hujjah yang memberatkan Abu Musa ada tiga yaitu

    Pertama, ia termasuk ahlul aqabah. dan dalam hadis shahih disebutkan bahwa ahlul aqabah berjumlah lima belas orang. Dua belas orang dikatakan sebagai “musuh Allah dan Rasul-Nya dunia dan akhirat” dan tiga orang menyatakan bahwa mereka tidak mendengar seruan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan tidak tahu-menahu kalau gerombolan itu ingin membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], dengan kata lain hanya kebetulan ada di sana.

    Tentu saja pengakuan mereka [tiga orang tersebut] hanya Allah SWT yang tahu kebenarannya karena bagaimana dikatakan tidak tahu-menahu padahal mayoritas sahabat saat itu mengikuti seruan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bagaimana pula dikatakan tidak tahu-menahu padahal semua gerombolan itu memakai topeng. Oleh karena itu dalam hal ini kedudukan mereka saya serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

    Kembali ke Abu Musa Al Asy’ariy tidak ada keterangan dalil shahih apakah ia tergolong kedua belas orang yang dimaksud atau ketiga orang yang saya sebutkan. Jika masuk kedua belas maka sudah pasti kemunafikannya dan jika masuk ketiga orang maka saya bertawaqquf dengannya. Yang terakhir yang saya pilih karena lebih berhati-hati.

    Kedua, Huzaifah mengatakan ia munafik. Dalam riwayat shahih tersebut tidak ada keterangan mengapa Huzaifah menuduhnya munafik bahkan jika diperhatikan dengan baik hal itu bukan seperti kasus-kasus sahabat lain yang melihat tabiat seseorang yang merupakan ciri kemunafikan maka mereka menuduhnya munafik seperti sahabat yang menuduh Hatib munafik dan kasus Mu’adz yang menuduh salah satu ma’mumnya munafik. Zhahir riwayat menunjukkan bahwa ketika Abu Musa dan Ibnu Mas’ud masuk ke dalam masjid maka Huzaifah langsung menuduh Abu Musa dan memuji Ibnu Mas’ud.

    Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Huzaifah menuduh Abu Musa munafik mungkin berdasarkan peristiwa sebelumnya. Dan dalam hadis shahih peristiwa dimana Huzaifah berselisih dengan Abu Musa sebelumnya adalah hadis tentang ahlul aqabah dimana Huzaifah menyatakan bahwa Abu Musa termasuk ahlul aqabah. Maka disinipun kembali pada dua kemungkinan sebelumnya apakah yang dua belas atau yang ketiga. Jika Abu Musa masuk yang dua belas maka hal ini sangat sesuai dengan pernyataan Huzaifah bahwa ia munafik dan jika Abu Musa masuk yang ketiga maka ini pun masih mungkin karena bisa jadi Huzaifah tidak menerima pengakuan ketiga orang tersebut, dalam pandangannya semua ahlul aqabah itu munafik karena berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

    Dan ketiga orang ini tidak ada keterangan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bagaimana status mereka. Pada dasarnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selalu menerima zhahir perkataan kaum munafik seperti contohnya pada kasus sebagian orang munafik yang tidak ikut perang Tabuk dan mereka membuat-buat alasan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menerima alasan tersebut secara zhahirnya dan menyerahkan hakikat diri mereka kepada Allah SWT. Jadi walaupun Abu Musa masuk dalam ketiga orang tersebut masih mungkin Huzaifah menuduhnya munafik. Disinipun saya tetap mengambil yang lebih berhati-hati bahwa Abu Musa masuk dalam ketiga orang tersebut dan kembali saya bertawaqquf dengannya.

    Ketiga mengenai doa Imam Aliy dalam qunut nazilah. Alasannya tidak saya dapatkan dari kabar yang shahih. Apapun alasannya yang jelas, masuknya Abu Musa dalam doa tersebut menunjukkan rendahnya kedudukan Abu Musa di sisi Imam Aliy. Jika Abu Musa munafik maka hal itu bisa dimengerti tetapi jika Abu Musa bukan munafik maka hal itu menunjukkan bahwa Abu Musa telah berbuat suatu kemungkaran besar yang membuatnya layak untuk mendapat doa tersebut. Hujjah yang ketiga ini juga tidak cukup bagi saya untuk menguatkan kedua hujjah sebelumnya.Oleh karena itu saya bertawaqquf dengannya.

    Dan perlu diingatkan bahwa saya juga berusaha mencari hadis keutamaan Abu Musa, seperti yang disampaikan oleh Buraidah [hadis seruling keluarga Daud]. Hadis ini menunjukkan bahwa Abu Musa adalah seorang muslim atau mu’min pada saat itu dan memang tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang yang awalnya muslim atau mu’min bisa berpaling dan menjadi munafik atau murtad buktinya adalah hadis Al Haudh yang saya kutip. Oleh karena itu bagi saya semua keutamaan Abu Musa [kalau memang ada] yang ternukil sebelum peristiwa aqabah tidak bisa dijadikan hujjah untuk membatalkan hujjah pertama soal ahlul aqabah.

    Begitu pula keutaman Abu Musa yang diriwayatkannya sendiri, bagi saya itu tidak menjadi hujjah untuk membatalkan hujjah pertama soal ahlul aqabah dan hujjah kedua tuduhan Huzaifah. Saya kasih contoh hujjah yang bisa membatalkan semua tuduhan terhadap Abu Musa adalah jika terdapat kabar yang shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bukan riwayat Abu Musa bahwa ia termasuk ahli surga [seperti hadis sepuluh sahabat yang masuk surga] karena munafik tidak akan mungkin masuk surga. Jika ada hadis seperti ini saya tidak ragu untuk menyatakan keadilannya dan sejauh ini saya belum menemukannya maka saya bertawaqquf dengannya.

    Perkara seperti ini harus disikapi dengan hati-hati dan objektif tidak perlu terlalu emosional seperti yang ditunjukkan para nashibi yang sok membantah tetapi tidak mengerti metode ilmiah bahkan sibuk menuduh yang bukan-bukan. Begitu pula saya lihat sebagian orang syi’ah juga seenaknya menjadikan hadis Huzaifah tersebut sebagai bahan celaan kepada Abu Musa dan langsung menetapkan bahwa ia munafik. Saya berlepas diri dari tuduhan mereka [baik sebagian nashibi maupun sebagian syi’ah]. Saya pribadi tidak terikat dengan syi’ah atau nashibi. Saya hanya melihat hadis dan riwayat shahih yang ada kemudian menilainya secara objektif. Oleh karena itu saya katakan jika saya mendapatkan tambahan ilmu lain mengenai Abu Musa baik itu dari nashibi ataupun dari pengikut Syi’ah saya tidak akan segan-segan mengubah pandangan saya.

    Demikian penjelasan singkat dari saya. Semoga anda bisa memahami pandangan saya sebenarnya dalam perkara ini. Dan silakan kalau ada yang mau ditanggapi dari komentar saya 🙂

  4. Katakanlah kebenaran meskipun ia pahit…

  5. Segalanya dikembalikan hanya kepada Allah semata. Sahabat juga diuji oleh Allah. Silakan bagi Ikhwan-akhwt yang merujuk dalil Hudzaifah atas Abu Musa sah saja. Kerana Hudzaifah merupakan salah satu dari penyimpan rahasia nabi. Sedangkan bagi mereka yang berseberangan silakan saja dan menuduh sesiapa adalah Rafidhi juga tidak apa-apa.Sikap ustad SP yang bertawaquf juga patut kita apresiasi. Bukankah ustad SP telah berusaha adil dengan menunjukkan bukti- bukti disini. Selanjutnya terserah Anda 🙂

  6. syukron Ustd SP atas pencerahannya.

  7. Ditengah begitu banyaknya pertimbangan akan “kemungkinan” maka sikap mas @SP yg memilih ber-tawaquf memang bisa dipahami.

  8. Huft..

    Panjang sekali. Tapi saya menikmati utk membacanya.

    Thx SP. Saya banyak2 belajar dari anda cara mengambil premis dan menarik kesimpulan.

    Top banget deh..

  9. Ada tanggapan kembali dari saudara nashibi disana, kami akan menanggapi poin-poin yang ia jadikan hujjah dan menekankan kembali apa yang sebelumnya sudah pernah kami sampaikan [agak capek juga bicara dengan orang yang keras kepala]. Ia berkata

    Orang Rafidhah ini -disebabkan kekusutan cara berpikirnya- terus saja mengungkit-ungkit peristiwa ‘Aqabah….Padahal, orang yang akalnya lurus, maka dia akan mengkaji semua riwayat yang ada lalu mengambil kesimpulan yang tepat dari semuanya. Sedangkan orang yang akalnya bengkok -seperti orang Rafidhah ini-, maka hanya kebingungan, kekonyolan dan kekeraskepalaan yang dia dapat

    Orang yang berakal lurus dan mengerti bagaimana caranya berhujjah akan berhati-hati dalam menganalisis dan mengkaji semua riwayat yang ada dan menempatkan masing-masing hujjah pada tempatnya. Menilai sejauh mana hujjah yang satu menentang hujjah yang lainnya. Menilai sejauh mana kekuatan hujjah tersebut di sisi hujjah lainnya. Sedangkan orang yang akalnya bengkok maka ia akan sok berhujjah padahal sebenarnya ia hanya menuruti apa yang ia suka atau apa yang sesuai dengan keyakinannnya. Ia akan selalu menganggap lemah setiap hujjah yang menentang keyakinannya dan menguat-nguatkan hujjah lemah yang mendukung keyakinannya. Kalau memang mau berpikir secara ilmiah ya silakan bersikaplah objektif. Mari kita analisis dengan baik hujjah yang ia kemukakan

    Pertama :
    Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya bahwa kepercayaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengutus Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ke Yaman sebagai Da’i -sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari- telah meng-clear-kan tentang syubhat peristiwa Aqabah yang terjadi sebelumnya, karena peristiwa pengutusan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ini menunjukan bahwa Abu Musa bersih dari tuduhan ke-munafik-an saat terjadi peristiwa ‘Aqabah dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak menganggap kalau beliau adalah termasuk seorang yang munafik, sebab sangat mustahil sekali bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang munafik untuk mendakwahkan risalah agama ini.

    Nampak sekali kalau nashibi tersebut hanya mengulang hujjah yang sama. Bagaimana mungkin ia bisa menjadikan hujjah riwayat Abu Musa bahwa Nabi mempercayainya untuk membatalkan hujjah bahwa Abu Musa termasuk ahlul aqabah dan Huzaifah menuduhnya munafik. Logikanya seperti ini selepas peristiwa Aqabah maka kedudukan Abu Musa tidak lepas dari dua kemungkinan berikut. Pertama ia masuk dalam kedua belas musuh Allah dan Rasul-Nya atau Kedua ia termasuk dalam tiga orang yang membuat alasan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika ia masuk yang pertama maka sudah jelas riwayat yang ia kemukakan sendiri itu tidak ada nilanya karena riwayat seorang munafik tidak bisa diterima. Jika ia masuk yang kedua maka riwayat Abu Musa sendiri juga tidak kuat untuk membatalkan tuduhannya. Apalagi hal ini dikuatkan dengan pernyataan Huzaifah bahwa Abu Musa munafik. Jadi sebelum anda wahai nashibi sok berhujjah begini begitu maka perhatikan dulu kekuatan hujjah yang anda pakai.

    Kedua :
    Jauh setelah peristiwa ‘Aqabah, ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu saat menjadi Khalifah tetap mempercayai Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu untuk menangai urusan kaum muslimin, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
    Kalaulah Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu memang seorang munafik dan benar2 termasuk kedalam 12 orang munafik yang ditetapkan sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya, niscaya ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu tidak akan pernah mempercayainya.
    So, kepercayaan dari ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu ini menjadi satu bukti bersihnya Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu dari tuduhan kemunafikan saat peristiwa ‘Aqabah.

    Hujjah nashibi yang kedua ini bisa dikatakan tidak jelas arahnya. Kita juga bisa berhujjah dengan gaya seperti yang ia gunakan. Ali bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] dalam qunut nazilah-nya telah mendoakan keburukan bagi Abu Musa padahal Abu Musa bukan termasuk dalam kelompok yang memerangi Aliy bin Abi Thalib. Maka hal ini menunjukkan bahwa Aliy bin Abi Thalib mengetahui kemunafikannya atau bisa jadi sebelumnya tidak nampak di sisi Aliy bahwa ia munafik kemudian setelah itu nampak disisi Aliy kemunafikannya sehingga ia mendoakan keburukan bagi Abu Musa dalam qunut nazilah. Bukankah tidak masuk akal orang yang kata nashibi itu dipercaya oleh Aliy tiba-tiba didoakan keburukan dalam qunut nazilah-nya [dalam riwayat lain nampak qunut nazilah itu menggunakan kata “laknat”]. Jadi kalau kami menuruti gaya sembarangan nashibi tersebut dalam berhujjah maka kamipun akan dengan mudah menyatakan Abu Musa munafik.

    Ketiga :
    Jauh setelah peristiwa ‘Aqabah, yakni beberapa waktu sebelum terjadinya perang Jamal, ketika ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu mengutus ‘Ammar bin Yasir radhiyallaahu ‘anhu ke Kufah dan menemui Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu (sedangkan ‘Ammar bin Yasir termasuk orang yang tahu dan menyaksikan peristiwa ‘Aqabah), beliau berkata kepada Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu dan Abu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu :
    مَا رَأَيْتُ مِنْكُمَا مُنْذُ أَسْلَمْتُمَا أَمْرًا أَكْرَهَ عِنْدِي مِنْ إِبْطَائِكُمَا عَنْ هَذَا الْأَمْرِ
    “Tidak pernah sejak ke-Islaman kalian berdua, aku melihat dari kalian berdua sesuatu yang aku benci selain dari lambatnya kalian mengikuti urusan ini.”
    (Shahih al-Bukhari 9/56 no.7102)

    Perhatikanlah perkataan ‘Ammar bin Yasir radhiyallaahu ‘anhu di atas : “Tidak pernah sejak ke-Islaman kalian berdua….”
    Dari perkataan ‘Ammar radhiyallaahu ‘anhu kepada Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ini, kita dapat memetik satu faidah besar yakni bahwa yang paling dibenci dari diri Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu sejak Abu Musa masuk Islam adalah lambatnya Abu Musa dalam urusan yang disampaikan oleh ‘Ammar sebelum terjadinya perang Jamal, meskipun sebenarnya Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu memiliki alasan yang sangat kuat dalam pendiriannya ini.

    Hujjah ketiga ini berbeda dengan dua hujjah sebelumnya termasuk hujjah yang baru dan kami akan senang hati menanggapinya. Perkataan Ammar bin Yasir di atas hanya membuktikan bahwa ia tidak mengetahui kalau Abu Musa termasuk ahlul aqabah karena siapapun yang berakal lurus [termasuk Ammar bin Yasir] akan memahami bahwa keikutsertaan sebagai ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah kemungkaran yang besar. Dan memang kami tidak mendapatkan keterangan shahih bahwa Ammar bin Yasir mengetahui kalau Abu Musa termasuk dalam ahlul aqabah. Dalam dalil shahih yang kami kutip sebelumnya, sahabat yang mengetahui bahwa Abu Musa termasuk ahlul aqabah adalah Huzaifah. Dan Huzaifah-lah yang masyhur dikenal sebagai penyimpan rahasia Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan orang yang mengetahui nama-nama ahlul aqabah. Jadi perkataan Ammar bin Yasir di atas tidak bisa dijadikan hujjah untuk membatalkan perkataan Huzaifah.

    Komentar selebihnya hanya luapan emosi nashibi tersebut yang tidak jelas. Terkadang dalam berdiskusi wajar-wajar saja jika kita terbawa emosi tetapi akan lebih baik jika yang menjadi fokus diskusi adalah hujjah masing-masing kedua belah pihak. Jadi kami tidak akan berpanjang-panjang menanggapi tuduhan yang dibuat-buat oleh nashibi tersebut. Jika ia bisa menuduh kami seenaknya maka kamipun bisa menuduh ia seenaknya dan cukup sampai disitu karena yang namanya tuduhan, itu tidak ada nilainya dalam berdiskusi.

    Perkara perselisihan antar sahabat itu benar adanya dan terkadang sahabat saling menuduh satu sama lain. Hanya saja, setiap perselisihan atau tuduhan itu selalu punya alasan yang mendasarinya sehingga tidak bisa seenaknya digeneralisir dan dikatakan lumrah-lumrah saja. Jadi kita langsung saja ke perselisihan Huzaifah dan Abu Musa. Nashibi tersebut berkomentar

    Para sahabat itu manusia yang kadang marah, kadang berbeda pendapat, kadang salah sangka, dan sebagainya. So, lumrah2 saja jika memang mereka terkadang berselisih. Begitupula jika memang pernah terjadi perselisihan diantara Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhu dan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu sebagaimana diisyaratkan di dalam riwayat dari imam Ahmad rahimahullah yang menyebutkan perselisihan diantara Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhu dan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ini, yaitu :
    كان بين حذيفة وبين رجل من أهل العقبة ما يكون بين الناس
    “Pernah terjadi sesuatu antara Hudzaifah dan seorang laki2 ahlul-‘Aqabah seperti yang juga terjadi pada manusia.”
    (Musnad Ahmad 5/390 no.23369)

    Bacalah : “Maa yakuunu bainannaas.”

    Alangkah lucunya nashibi ini, ia justru mengutip riwayat yang kami jadikan hujjah. Bukankah riwayat ini membuktikan bahwa perselisihan Antara Huzaifah dan Abu Musa adalah perselisihan perihal keikutsertaan Abu Musa sebagai ahlul aqabah. Dan jika kita kaitkan hal ini dengan perkataan Huzaifah bahwa Abu Musa munafik maka sangat jelas bahwa Huzaifah menyatakan Abu Musa munafik karena keikutsertaannya dalam ahlul aqabah. Maka ini menjadi bukti bahwa Huzaifah menuduh Abu Musa munafik itu dengan bukti yang kuat dan perkataan Huzaifah tersebut bukanlah luapan emosi karena berbeda pendapat dengan Abu Musa seperti kasus sahabat lainnya yang menurut nashibi tersebut lumrah-lumrah saja. Tentu lain ceritanya jika ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam pandangan nashibi tersebut termasuk perkara yang ia katakana lumrah-lumrah saja. Menyedihkan sekali, mau berhujjah tetapi justru hujjah yang ia pakai menentang dirinya sendiri.

    Maka disana sudah ada do’a Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu :
    “Ya Allah, ampunilah dosa ‘Abdullah bin Qais dan masukanlah ia di hari kiamat nanti ke tempat yang mulia.”
    (Shahih Muslim 4/1943 no.2498)

    Ini adalah sebaik-baik ucapan dari lisannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
    Jika orang Rafidhah itu beralasan dengan ini dan itu yang intinya adalah tidak mau menerima hadits tersebut hanya karena ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu diriwayatkan oleh Abu Musa sendiri (padahal sudah jelas ta’dilnya para imam Ahli hadits Ahlus-Sunnah terhadap sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada seorangpun yang menuduh Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu sebagai seorang pendusta), maka pengingkaran orang Rafidhah itu sebenarnya sudah menunjukan kekacauan pikirannya, kekonyolan kaidah pribadi yang dia ambil dari kantongnya sendiri, yang lucu dan mengada-ngada meskipun dia sendiri menyebutnya sebagai “objektif”.

    Kalau anda tidak mengerti apa itu yang namanya objektif maka salahkan diri anda bukannya malah menuduh orang lain. Mudah saja untuk dikatakan, Ta’dil para imam ahli hadis ahlus sunnah yang anda katakan itu semuanya tidak bernilai dengan jarh “munafik” dari Huzaifah dan Beliau adalah orang yang paling tahu mengenai nama-nama orang munafik yang ikut dalam ahlul aqabah. Jadi sesuai kaidah ilmiah manakah yang lebih didahulukan jarh Huzaifah atau ta’dil imam ahli hadis yang hidup jauh setelahnya. Dan jarh Huzaifah itu sangat beralasan sekali yaitu keikutsertaan Abu Musa sebagai ahlul aqabah yang berniat ingin membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jarh mufassar lebih didahulukan daripada ta’dil, itu kaidah para ulama bukan wahai nashibi.

    Akhir kata semua hujjah yang ditampilkan oleh nashibi tersebut tidak kuat sebagai bantahan yang dapat membatalkan hujjah Abu Musa sebagai Ahlul Aqabah dan hujjah Huzaifah menyatakan Abu Musa munafik. Adapun kami masih sama seperti sebelumnya bertawaqquf dengan kedudukan Abu Musa.

    Yang lucunya nashibi tersebut berdiskusi dengan gaya bahasa seolah-olah kami menetapkan Abu Musa munafik. Dan dengan naifnya ia terkadang menuduh kami tidak mengerti hujjah yang ia sampaikan padahal dirinya jauh lebih tidak memahami apa pandangan lawan diskusinya. Menyedihkan, ketika maling tidak hanya teriak maling bahkan mengaku-ngaku sebagai penangkap maling :mrgreen:

  10. Mantap pak kyai SP.

    Penjelasan anda sangat jelas. Crystal Clear. Kinclong…

Tinggalkan komentar