Studi Kritis Kedudukan Hadis Tawasul Malik Ad Daar

Studi Kritis Kedudukan Hadis Tawasul Malik Ad Daar

Sebelumnya di dalam blog ini sudah pernah dibahas panjang lebar mengenai hadis Malik Ad Daar. Tulisan kali ini bisa dibilang daur ulang dengan sedikit penambahan dan hujjah.

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ قَالَ وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ  قَالَ أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إلَى قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّونَ وَقُلْ لَهُ عَلَيْك الْكَيْسُ عَلَيْك الْكَيْسُ فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar, [Abu Shalih] berkata dan ia seorang bendahara Umar untuk persediaan makanan. [Malik Ad Daar] berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang pada masa Umar. Maka seorang laki-laki datang ke makam Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “wahai Rasulullah mintakanlah hujan untuk umatmu karena sungguh mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan sampai salam untuknya, beritahukan kepadanya mereka akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut datang kepada Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Maka Umar menangis dan berkata “Ya  Tuhanku aku tidak melalaikan kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/31 no 32600]

Atsar di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikh-nya 2/80 no 1818, Al Khaliliy dalam Al Irsyaad 1/313 no 153, Al Baihaqiy dalam Dala’il An Nubuwah 7/47 no 2984, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyiq 56/489 dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 1/355 dengan kisah yang lengkap seperti riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas. Al Bukhari menyebutkan riwayat ini secara ringkas dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1295 yaitu hanya lafaz perkataan Umar yang terakhir. Semuanya meriwayatkan dengan jalan sanad yang berujung pada Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar.

.

.

Riwayat ini sanadnya shahih. Abu Mu’awiyah Muhammad bin Hazm Ad Dhariir yaitu perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijliy menyatakan tsiqat, Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat banyak meriwayatkan hadis. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan hafizh mutqin. Disebutkan bahwa ia termasuk salah seorang yang paling tsabit riwayatnya dari Al A’masy. Waki’ berkata “kami tidak pernah menemui orang yang paling alim tentang hadis A’masy selain Abu Mu’awiyah. Ibnu Ma’in berkata “Abu Mu’awiyah lebih tsabit dalam riwayat A’masy daripada Jarir”. Abu Hatim berkata “orang yang paling tsabit dalam riwayat A’masy adalah Sufyaan kemudian Abu Mu’awiyah” [Tahdziib At Tahdziib Ibnu Hajar juz 9 no 192]. Ibnu Hajar berkata tentangnya “tsiqat orang yang paling hafal dalam hadis A’masy dan terkadang keliru dalam riwayat selainnya” [At Taqrib 2/70]

Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]. Riwayat ‘an anahnya dari para syaikh-nya seperti Ibrahim, Abu Wail dan Abu Shalih dianggap muttashil [bersambung] seperti yang dikatakan Adz Dzahabi dalam biografi A’masy

وهو يدلس وربما دلس عن ضعيف ولا يدرى به فمتى قال ثنا فلا كلام ومتى قال عن تطرق إليه احتمال التدليس إلا في شيوخ له أكثر عنهم. كإبراهيم وأبي وائل وأبي صالح السمان فإن روايته عن هذا الصنف محمولة على الاتصال

Dan ia melakukan tadlis, dituduh melakukan tadlis dari perawi dhaif yang ia tidak mengetahui dengannya, maka perkataannya “menceritakan kepada kami” tidak ada pembicaraan atasnya dan perkataannya “dari” mengandung kemungkinan tadlis kecuali riwayat dari para Syaikh-nya yang mana ia memiliki banyak riwayat dari mereka seperti Ibrahiim, Abu Wa’il, dan Abu Shalih As Samaan maka riwayatnya disini dianggap bersambung [Mizan Al I’tidal Adz Dzahabiy 2/224 no 3157]

Abu Shalih As Samaan yaitu Dzakwan termasuk perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in berkata tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat shalih al hadits dapat dijadikan hujjah”. Abu Zur’ah berkata “tsiqat hadisnya lurus”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”, As Sajiy berkata tsiqat shaduq, Al Harbiy berkata “termasuk orang tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat dan Al Ijliy berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 417]

Malik Ad Daar adalah Malik bin Iyadh sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas bahwa ia adalah bendahara persediaan makanan di masa Umar. Ibnu Sa’ad menyebutkan biografinya dan berkata

وروى مالك الدار عن أبي بكر الصديق وعمر رحمهما الله روى عنه أبو صالح السمان وكان معروفا

Dan Malik Ad Daar meriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar [rahmat Allah untuk keduanya] dan telah meriwayatkan darinya Abu Shalih As Samaan. Ia seorang yang ma’ruf [dikenal] [Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/12]

مالك الدار مولى عمر بن الخطاب رضي الله عنه تابعي قديم متفق عليه اثنى عليه التابعون وليس بكثير الرواية روى عن ابي بكر الصديق وعمر

Malik Ad Daar mawla Umar bin Khaththaab radiallahu ‘anhu tabiin awal muttafaq ‘alaihi telah dipuji oleh para tabiin, ia tidak memiliki banyak riwayat. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar [Al Irsyaad Al Khaliliy 1/313 no 153]

حَدَّثَنَا الأثرم عن أبي عبيدة قَالَ قَالَ مالك الدار مولى عمر بن الخطاب ولاه عمر كيلة عيال عمر فلما قام عثمان ولى مالك الدار دار القسم فسمى مالك الدار

Telah menceritakan kepada kami Al Atsram dari Abu Ubaidah yang berkata Malik Ad Daar maula Umar bin Khaththaab, Umar mengangkatnya sebagai pengurus keluarga Umar ketika Utsman menjadi khalifah, ia mengangkat Malik Ad Daar sebagai darul qasim maka ia dinamakan Malik Ad Daar [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 2/80 no 1819]

Ibnu Hibban menyebutkan biografinya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 5/384 no 5312]. Ibnu Asakir menyebutkan biografinya dalam Tarikh-nya dimana ia berkata tentang Malik Ad Daar

سمع أبا بكر الصديق وعمر بن الخطاب وأبا عبيدة بن الجراح ومعاذ بن جبل وروى عنه أبو صالح السمان وعبد الرحمن بن سعيد بن يربوع وابناه عون بن مالك وعبد الله بن مالك

Mendengar dari Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muadz bin Jabal dan meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman, Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ dan kedua anaknya Aun bin Malik dan Abdullah bin Malik [Tarikh Ibnu Asakir 56/489 no 7180]

Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ adalah tabiin madinah tsiqat thabaqat ketiga [At Taqrib 1/572]. Nampak disini bahwa telah meriwayatkan dari Malik Ad Daar dua perawi tsiqat yaitu Abu Shalih As Samaan dan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’.

أخبرنا أبو البركات بن المبارك أنا أبو طاهر الباقلاني أنا يوسف بن رباح أنا أبو بكر المهندس نا أبو بشر الدولابي نا معاوية بن صالح قال سمعت يحيى بن معين يقول في تسمية تابعي أهل المدينة ومحدثيهم مالك الدار مولى عمر بن الخطاب

Telah mengabarkan kepada kami Abul Barakaat bin Mubaarak yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Thaahir Al Baaqilaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuuf bin Rabbaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Muhandis yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr Ad Duulabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Shaalih yang berkata aku mendengar Yahya bin Ma’iin berkata tentang penamaan tabiin ahlul madinah dan muhaddis mereka yaitu Malik Ad Daar maula Umar bin Khaththaab [Tarikh Dimasyiq Ibnu Asakir 56/491].

Berdasarkan penjelasan di atas maka Malik Ad Daar adalah tabiin awal dan muhaddis di kalangan tabiin madinah dimana para tabiin telah memberikan pujian terhadapnya. Ia merupakan seorang yang ma’ruf, telah dipercaya oleh khalifah Umar dan Utsman sehingga ia dinamakan Malik Ad Daar [seandainya kedua khalifah meragukan kejujurannya maka tidak mungkin mereka mempercayakan amanat kepada Malik Ad Daar]. Telah meriwayatkan darinya dua perawi tsiqat yaitu Abu Shalih As Samaan dan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’. Ibnu Hibban telah memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Semua ini secara bersama-sama menunjukkan bahwa Malik Ad Daar adalah seorang tabiin yang tsiqat atau minimal shaduq.

Sebagian orang mengira bahwa tautsiq Al Khaliliy terhadap Malik Ad Daar bukanlah tautsiq yang mu’tamad dengan alasan Al Khaliliy adalah ulama muta’akhirin dan perkataan Al Khaliliy tidak didahului oleh ulama mutaqaddimin. Alasan ini tidak bisa dijadikan hujjah karena tautsiq baik itu dari kalangan mutaqaddimin ataupun muta’akhirin tetaplah bisa diterima. Pernyataan orang tersebut bahwa tidak ada ulama mutaqaddimin sebelum Al Khaliliy yang memuji Malik Ad Daar juga tidak bernilai hujjah karena ia sendiri berhujjah pula dengan pernyataan Al Khaliliy mengenai penukilan bahwa sebagian orang mengatakan Abu Shalih mengirsalkan hadis Malik Ad Daar. Faktanya penukilan Al Khaliliy ini pun tidak didahului oleh ulama mutaqaddimin.

.

.

.

Ada satu syubhat menarik yang dipertahankan oleh kaum pengingkar mengenai hadis Abu Shalih As Samaan dari Malik Ad Daar yaitu inqitha’ [keterputusan] antara Abu Shalih dan Malik Ad Daar. Seperti yang pernah kami jelaskan sebelumnya bahwa tidak ada satupun ulama mu’tabar yang menetapkan adanya inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Jumhur ulama menetapkan periwayatan Abu Shalih dari Malik Ad Daar tanpa menegaskan penyimakan ataupun menyatakan inqitha’. Oleh karena Abu Shalih As Samaan bukan mudallis maka riwayatnya dengan lafaz ‘an anah bisa diterima.

Satu-satunya hujjah para pengingkar untuk mendukung syubhat inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar adalah perkataan Al Khaliliy setelah menyebutkan hadis Malik Ad Daar, ia berkata.

يقال إن أبا صالح سمع مالك الدار هذا الحديث والباقون ارسلوه

Dikatakan bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik Ad Daar dan yang lain mengatakan ia telah mengirsalkannya [Al Irsyaad Al Khaliliy 1/313 no 153]

Tidak benar kalau hujjah ini dijadikan dasar untuk menyatakan inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Karena apa yang dinukil dari Al Khaliliy adalah pendapat sebagian orang bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik dan yang lainnya berpendapat Abu Shalih mengirsalkan hadis tersebut. Untuk merajihkan dua pendapat yang berbeda tentu dengan menilai sejauh mana kedudukan para ulama yang mengatakan demikian tetapi karena Al Khaliliy tidak menyebutkan siapakah para ulama yang menyatakan demikian dan tidak ternukil pendapat tersebut dari kalangan mutaqaddimin maka dapat digunakan kaidah al mutsabit muqadam al nafiy [yang menetapkan lebih didahulukan dari menafikan] artinya nukilan Al Khaliliy bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik Ad Daar adalah lebih rajih dibanding nukilan yang mengirsalkannya.

Dan seandainyapun perajihan ini ditolak maka disini tidak ada ruang pula bagi pengingkar untuk berhujjah dengan sebagian nukilan Al Khaliliy dan menafikan nukilan yang lain. Bagaimana bisa mereka menegakkan irsal kemudian menafikan pernyataan yang lain bahwa Abu Shalih mendengar dari Malik Ad Daar. Maka hal ini dikembalikan dengan kaidah ‘an anah yang dikenal dalam ilmu hadis yaitu ‘an anah perawi tsiqat semasa yang bukan mudallis dianggap muttashil sampai ada bukti yang menyatakan irsal atau inqitha’.

Malik Ad Daar tidak diketahui tahun lahir dan tahun wafatnya sedangkan Abu Shalih As Samaan disebutkan oleh Adz Dzahabiy bahwa ia lahir pada masa kekhalifahan Umar [As Siyaar Adz Dzahabiy 5/37]. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa Abu Shalih semasa dengan Malik Ad Daar dan keduanya dikenal sebagai penduduk Madinah.

Para pengingkar membuat syubhat mengais segala macam kemungkinan untuk melemahkan hadis yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka berkata bisa saja Malik Ad Daar wafat pada awal pemerintahan Utsman dan Abu Shalih lahir pada akhir masa khalifah Umar maka usia Abu Shalih tidak memungkinkan dalam menerima riwayat dari Malik Ad Daar. Sebenarnya andai-andai seperti inilah yang harusnya dibuktikan dalam melemahkan suatu hadis karena kalau setiap orang bebas berandai-andai maka hadis apapun bisa saja dilemah-lemahkan.

.

.

Ternukil pendapat ulama yang mengatakan bahwa Dzakwan Abu Shalih As Samaan mendengar dari Ka’ab Al Ahbar yaitu sebagaimana yang dikatakan Ibnu Jauziy, ia berkata

ذكوان أبو صالح السمان‏ سمع من كعب الأحبار

Dzakwaan Abu Shalih As Samaan mendengar dari Ka’ab Al Ahbaar [Al Muntazam Fii Tarikh Ibnu Jauziy 7/69]

كعب الأحبار بن ماتع ويكنى أبا إسحاق وهو من حمير من آل ذي رعين وكان على دين يهود فأسلم وقدم المدينة ثم خرج إلى الشام فسكن حمص حتى توفي بها سنة اثنتين وثلاثين في خلافة عثمان بن عفان

Ka’ab Al Ahbar bin Maata’ kuniyah Abu Ishaaq, ia berasal dari Himyaar dari keluarga Dzii Ra’iin dia awalnya bergama Yahudi kemudian memeluk islam datang ke Madinah kemudian keluar menuju Syam menetap di Himsh dan wafat di sana pada tahun 32 H pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan. [Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/445]

Berdasarkan sirah Ka’ab Al Ahbar maka Abu Shalih As Samaan memungkinkan untuk mendengar dari Ka’ab ketika ia datang ke Madinah pada masa pemerintahan Umar.

حدثنا ابن بشار قال ثنا عبد الرحمن قال ثنا سفيان عن الأعمش عن أبي وائل قال جاء رجل إلى عبد الله ، فقال  من أين جئت ؟ قال من الشأم قال من لقيت؟ قال لقيت كعبا فقال ما حدثك كعب ؟ قال حدثني أن السماوات تدور على منكب ملك

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari A’masy dari Abi Wa’il yang berkata datang seorang laki-laki kepada ‘Abdullah, maka ia berkata “dari mana engkau?” ia menjawab “dari syam”. Abdullah berkata “siapa yang engkau temui?”. Ia menjawab “aku menemui Ka’ab” maka Abdullah berkata “apa yang diceritakan Ka’ab kepadamu?”. Ia menjawab “Ka’ab menceritakan kepadaku bahwa langit berputar di atas pundak malaikat” [Tafsir Ath Thabariy 20/482]

Riwayat ini sanadnya shahih, Abu Wa’il adalah Syaaqiq bin Salamah adalah penduduk Kufah yang paling alim dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud.

وقال عمرو بن مرة قلت لابي عبيدة من أعلم أهل الكوفة بحديث عبدالله ؟ قال أبو وائل

Amru bin Murrah berkata aku berkata pada Abu Ubaidah “siapakah penduduk kufah yang paling alim dalam menceritakan hadis Abdullah?”. Ia berkata ‘Abu Wa’il” [Tahdzib Al Kamal 12/552 no 2767]

Faidah yang didapatkan dari riwayat Ath Thabariy di atas adalah Abu Wa’il menyaksikan bahwa ketika Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah ada seseorang datang kepadanya dan ia baru saja menemui Ka’ab Al Ahbar di Syam. Artinya pada saat Abdullah bin Mas’ud masih di Kufah, Ka’ab Al Ahbar sudah berada di Syam.

Dalam sirah Abdullah bin Mas’ud disebutkan bahwa ia datang ke Kufah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab dan kembali ke Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan lebih kurang tahun 28 atau 29 H. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Ka’ab Al Ahbar sudah berada di Syam sebelum tahun 28 atau 29 H. Dan sebelum pergi ke Syam, Ka’ab Al Ahbar menetap di Madinah yaitu pada masa pemerintahan Umar dan pada awal masa pemerintahan Utsman.

Pada saat  di Madinah inilah Abu Shalih As Samaan mendengar dari Ka’ab Al Ahbar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa awal pemerintahan Utsman, Abu Shalih As Samaan minimal sudah masuk dalam usia tamyiz yang memungkinkan menerima dan mendengar hadis. Maka seandainya pun Malik Ad Daar wafat pada awal pemerintahan Utsman, Abu Shalih tetap berkemungkinan mendengar dari Malik Ad Daar.

.

.

Qarinah lain yang menunjukkan bahwa Abu Shalih As Samaan berada satu masa dengan Malik Ad Daar adalah bahwa ia Abu Shalih berada dalam satu thabaqat yang sama dengan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ Al Makhzuumiy yang meriwayatkan dari Malik Ad Daar. Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ adalah seorang yang tsiqat, Ibnu Hajar mengatakan dalam biografinya

قال بن سعد توفي سنة تسع ومائة وهو بن ثمانين سنة وكان ثقة في الحديث

Ibnu Sa’ad berkata wafat pada tahun 109 H dan ia umurnya lebih kurang delapan puluh tahunan, ia seorang yang tsiqat dalam hadis [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 6 no 379]

Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ seorang yang tsiqat dan tidak pernah disifatkan ulama dengan tadlis atau irsal maka riwayat ‘an anahnya dari Malik Ad Daar dianggap muttashil [bersambung]. Al Mizziy dalam Tahdzib Al Kamal telah menyebutkan bahwa diantara para syaikh-nya [gurunya] adalah Malik Ad Daar. [Tahdzib Al Kamal 17/147 no 3835].

Dari sini didapatkan faidah bahwa Malik Ad Daar masih hidup sampai akhir pemerintahan Utsman karena pada saat itulah usia Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ minimal sudah mencapai usia tamyiz dan memungkinkan menerima hadis dari Malik Ad Daar.

.

.

Hadis Malik Ad Daar ini telah dishahihkan oleh sebagian Ulama seperti Ibnu Hajar dan Ibnu Katsiir. Ibnu Katsiir berkata “hadis ini sanadnya shahih” [Al Bidayah Wa Nihayah 7/106] dan di tempat lain ia berkata “hadis ini sanadnya jayyid kuat” [Jami’ Al Masanid Wa Sunan 1/223]. Ibnu Hajar berkata

وروى بن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري وكان خازن عمر

Dan telah diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih As Samaan dari Malik Ad Daar bendahara Umar [Fath Al Bariy 2/495]

Sebagian orang yang lemah akalnya dan bergaya sok ulama [padahal jahil] berbasa basi bahwa pernyataan Ibnu Hajar shahih itu maksudnya shahih hanya sampai Abu Shalih saja sehingga masih tersisa kelemahan lain baik inqitha’ antara Abu Shalih dan Malik Ad Daar dan majhulnya Malik Ad Daar.

Ucapan mereka itu tidak lain sia-sia belaka karena mereka tidak memahami perkataan Ibnu Hajar sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ibnu Hajar. Jika Ibnu Hajar memaksudkan bahwa hadis tersebut sanadnya shahih hanya sebatas Abu Shalih maka ia akan menggunakan lafaz “diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih sampai Abu Shalih” bukan dengan lafaz di atas yaitu sanad shahih dari riwayat Abu Shalih

Dalam penulisan riwayat di kitab-kitab beliau, Ibnu Hajar sering mengutip riwayat dengan cara yang demikian yaitu menyebutkan kedudukan sanad riwayat kemudian memotong atau meringkas sebagian sanadnya. Misalnya Ibnu Hajar pernah mengutip riwayat dalam biografi salah seorang sahabat yaitu Tsa’labah bin Al Hakaam, Ibnu Hajar berkata

وله في بن ماجة حديث بإسناد صحيح من رواية سماك بن حرب سمعت ثعلبة بن الحكم قال كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم فانتهب الناس غنما فنهى عنها

Dan ia [Tsa’labah bin Hakaam] memiliki riwayat dalam Ibnu Majah hadis dengan sanad shahih dari riwayatnya Simaak bin Harb yang berkata aku mendengar Tsa’labah bin Al Hakaam yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian orang-orang merampas seekor kambing maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarangnya [Al Ishabah Ibnu Hajar 1/517 no 932]

Apakah perkataan Ibnu Hajar di atas bermakna bahwa riwayat Ibnu Majah tersebut hanya shahih sampai Simaak bin Harb saja?. Jawabannya tidak, Ibnu Hajar menyatakan hadis Ibnu Majah tersebut shahih kemudian menyebutkan sebagian sanadnya yaitu dari Simmak dari Tsa’labah. Ibnu Hajar sendiri telah menta’dilkan Simmak bin Harb dalam At Taqrib dan ia mengakui kalau Tsa’labah termasuk shahabat, kemudian Simaak menegaskan pula disini penyimakannya dari Tsa’labah. Jadi disisi Ibnu Hajar hadis tersebut shahih tanpa ada keraguan dan ia jadikan hujjah bukti persahabatan Tsa’labah bin Hakaam.

Selain Ibnu Hajar para ulama lain juga sering menggunakan lafaz seperti yang digunakan Ibnu Hajar misalnya Al Iraaqiy

وروى الطبرانى بإسناد صحيح من رواية عبد الرزاق عن معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس قال أول من أسلم على

Dan diriwayatkan Thabraniy dengan sanad yang shahih dari riwayat ‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas yang berkata “yang pertama memeluk islam adalah Aliy” [Taqyiidh Wal Idhaah Al Iraaqiy 1/310]

Apakah Al Iraaqiy disini memaksudkan bahwa sanad tersebut shahih sampai Abdurrazaaq saja?. Tentu saja tidak, Al Iraaqiy justru menyatakan bahwa sanad tersebut shahih dari awal sanad Thabraniy sampai Ibnu Abbas kemudian ia membawakan sanad Thabraniy tersebut beserta matannya.

.

Kesimpulan : Hadis Tawasul Malik Ad Daar kedudukannya shahih sedangkan syubhat para nashibi terhadap hadis ini hanya kebathilan yang muncul karena bertentangan dengan hawa nafsu mereka.

2 Tanggapan

  1. Habisi terus Nashibi dan jangan diberi ruang gerak musuh musuh Allah itu. Bravo bung SP

  2. Insyaallah, saya pernah baca soal ini di suatu buku, dan ulasan di sini menambah rujukan saya, Alhamdulillah, semoga Allah ridha, Amin.

Tinggalkan komentar