Anomali Filosofi Buskota

Anomali Filosofi Buskota

Udah lama banget ya masbro, harap maklum. Ehem bosan menyapa kalian lewat facebook sekalian sedikit curhat. Jadi inget orang aneh dengan filosofi buskota yang aneh pula. Tadi sore jalan-jalan nih sendirian jas luking luking, gak ada buku yang bagus, gak ada film yang bagus, walhasil cuma mondar-mandir kayak orang stress. Nah pulangnya diputuskan naik bus aja, sekalian mengenang masa lalu, halah halah 😉

Ada kursi kosong dan disebelahnya Akhwat [dengan jilbab panjang], wah jadi gak enak hati tapi dipikir-pikir lebih gak enak lagi kalau berdiri. So saya putuskan “duduk sajalah, yang nyantai masbro”. Baru mulai duduk wah itu akhwat reflex menarik diri [posisinya di pinggir]. Wah wah maaf Mbak insya Allah saya orang baik-baik [aih ngaku-ngaku pula :mrgreen: ]. Ah bener-bener gak nyaman, saya lihat Mbak itu masih aja “reflex menarik diri”. Dengan terpaksa saya juga ikut-ikutan “reflex menarik diri” so hanya separuh badan saya yang duduk di kursi dan separuhnya lagi harus disangga pakai kaki kanan [nah bisa dikira-kira kan posisinya]. Ehem dan saya lirik “reflex” itu sudah mulai jadi biasa kembali, tapi wah sepanjang perjalanan harus separuh begini 😦

Yah mulailah pikiran yang aneh itu bekerja. Kalau Mbak yang satu ini mah jelas jauh banget dari cerita cewek di buskota versi danrad. Tipe wanita yang tak tersentuh tak tercapai oleh penglihatan dan tak terpikirkan oleh hati. Memiliki keyakinan yang mantap, saya kira. Tapi bicara soal keyakinan saya merasa kasihan dengan apa yang dijalaninya. Bukan maksudnya saya tidak suka, sebaliknya itu baik sekali tetapi kenapa bisa sesulit itu. Akan lebih nyaman kalau ada kendaraaan umum yang khusus wanita [apa supirnya juga wanita ya?] atau sisi kanan khusus pria, sisi kiri khusus wanita [yang wanita jangan protes kalau ditempatkan di kiri :mrgreen: ]. Ah ide aneh seperti ini mungkin terlalu susah kali ya.

Saya jadi kepikiran, kira-kira apa yang dipikirkan Mbak ini. Saat ia memutuskan naik bus, ia pasti berharap “semoga saya duduk disamping wanita”. Tetapi Tuhan ternyata berkehendak lain [sok tahu nih saya] dan jadilah saya yang duduk di sebelahnya. Pasti waktu saya naik, di dalam hatinya berteriak “aaaargh tidak”. Huh seharusnya Mbak itu melihat dulu saya ini orangnya gimana, baru main teriak-teriak. Coba tuh kalau ia lihat dulu saya ini orangnya gimana, responnya pasti lain mungkin lebih parah. Ketika saya duduk, dia pasti putus asa sekali, dan langsung menarik diri. Ada sih sedikit rasa tersinggung di dalam hati tetapi saya yang rendah diri ini bisa memaklumi. Dan ketika saya ikutan menarik diri pula, saya yakin dalam hatinya bergumam “ah untunglah”. Waduh kayaknya saya memutuskan untuk makin tersinggung 😛

Sisi baiknya wanita ini memiliki keyakinan teguh yang dengan istiqamah ia terapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Tipe wanita pujaan para pria baik-baik [saya malu ah ngaku pria baik-baik]. Susahnya kehidupan keseharian seolah terasa menyulitkan. Jika pergi kemana-mana selalu diiringi doa “semoga wanita, semoga wanita”. Jika akhirnya pria maka muncul reflex luar biasa yang membuat orang seperti saya jadi “kelabakan”.

Sisi buruknya, saya terkadang merasa wanita yang punya keteguhan kuat terlalu resisten dengan “perubahan”. Orang yang naïf akan menyebut mereka “kolot” tetapi bahasa yang tepat adalah resisten. Mereka akan selalu berusaha di porosnya, tidak terlalu pusing dengan dari mana dan akan kemana poros itu. Terkadang mereka tidak memperhatikan kemungkinan kalau poros dimana mereka berada bisa jadi adalah cabang dari poros lain yang lebih besar dimana poros besar itu memiliki banyak cabang poros lain.

Begitu asyiknya mereka di poros itu membuat banyak stigma yang melekat pada mereka. Contohnya saya, ketika melihat Mbak jilbab panjang itu, muncul keraguan untuk memutuskan “mau duduk” atau “berdiri saja”. Tentu saja karena “jilbab panjang” identik dengan sikap protektif yang tinggi kepada “kaum adam”. Yah bukan salah mereka sih, hal itu tidak bisa dihindari dan membuat saya bertanya-tanya. Secara pribadi saya punya teman-teman baik, diantaranya adalah wanita dengan jilbab medium [tidak panjang] dan tidak segitu protektifnya dengan “kaum adam”. Soal keislaman baik keyakinan dan pengetahuan mereka saya lumayan tahu, dalam hubungan pertemanan juga sangat menyenangkan dan satu diantaranya menjadi pujaan hati saya. Secara kasarnya “jilbab panjang” adalah wanita yang saya hormati tetapi “jilbab medium” adalah wanita yang menyenangkan 🙂

Wanita tipe jilbab panjang bisa dibilang punya daya Occlumency yang tinggi, sehingga serangan perubahan yang biasa-biasa saja tidak mempan buat mereka. Jika memang ada maka hanya pria dengan daya Legilimency yang tinggi yang bisa menembus pertahanan mereka. Anggap saja misalnya nih ya mereka ini ternyata salah meyakini sesuatu maka akan sangat sulit untuk meyakinkan mereka kalau mereka salah. Berbeda halnya dengan “jilbab medium”, mereka lebih mudah diajak bicara, lebih mudah diajak diskusi dan lebih mudah untuk menerima kebenaran dari orang lain “terutama dari pria seperti saya”.  Wanita dengan jilbab panjang biasanya susah untuk terlalu peduli dengan orang lain jika itu menyangkut keyakinannya. Contoh sederhana adalah yang terjadi pada saya. Sepanjang perjalanan saya harus menyangga separuh tubuh saya, itu mah seperti antara “duduk” dan “berdiri”, dibilang susah ya nggak juga sih secara saya ini pria yang masih muda, lumayan kuatlah tetapi sudah jelas tidak nyaman. Bahkan dipikir-pikir lebih enak berdiri, tetapi membayangkan dari duduk ke berdiri mungkin malah membuat runyam. Apa kata  dunia penumpang lain? Dan mungkin Mbak itu malah jadi tidak enak hati 😦 . Saya setengah berharap Mbak itu rela berkorban dan berkata kepada saya “Mas duduk aja yang nyantai kok, gapapa”. [kayaknya mustahil banget]. Dalam hati saya bergumam “Mbak ini turun dimana sih” :mrgreen: .

Mungkin analogi yang pas buat mereka itu adalah seperti saudara kita pengikut salafiyyun, mereka salafiyun bisa dibilang resisten terhadap ulama non salafiyyun ataupun dalil-dalil dan pendapat dari non salafiyyun. Bukan berarti tidak menghormati, maksud saya adalah mereka tidak akan mudah percaya dengan dalil pengikut lain, dalam soal keagamaan mereka hanya mau mengambil dari lingkungan mereka salafiyyun saja [maaf ya harap tidak tesinggung dengan analogi ini]

Wanita tipe jilbab panjang bisa dibilang memiliki komunitas tersendiri, persaudari-an yang khusus dalam hal keagamaan. Kalau di kampus cukup dikenal kelompok tarbiyah atau liqa’. Ada kecenderungan mereka lebih mempercayai perkataan teman sesama mereka, mentor mereka atau ikhwan yang mereka hormati [secara umum hal ini termasuk baik]. Sedangkan untuk pria seperti saya dan sejenisnya biasanya tidak terlalu berpengaruh. Misalnya nih [ini misalnya lho] ketika saya mencoba berbicara hadis yang saya tahu beserta perinciannya, mereka dengan mudahnya berkata “saya sih kurang paham soal ini tetapi nanti saya tanya sama mentor saya”. Terus mentornya bilang “saya gak bener” dan gak ada lagi yang namanya diskusi. Berbicara soal dalil dan ilmu hadis dengan mereka itu gak nyambung, karena menurut penilaian mereka, orang yang paham agama adalah pemuda bertipe ikhwan yang notabene-nya aktivis atau aktif di kelompok tarbiyah juga. Thalabul ilmi tidak dikenal dari ilmunya tetapi dari penampakan status. Btw saya pribadi jelas bukan aktivis apalagi ikut kelompok tarbiyah, paling maleees [maklum agak risih dengan alimisme] :mrgreen:

Kembali ke bus tadi, ketika saya menilai sikap saya. Mungkin bisa dibilang respon saya terlalu memaksa. Seharusnya saya cuek aja. Tidak perlu memusingkan Mbak itu mau gimana. Saya duduk di tempat saya kursi kosong yang memang hak saya dan perkara “reflex menarik diri” adalah urusannya Mbak itu, gak perlu saya ikut-ikutan reflex. Lagipula badan saya gak besar-besar amat, malah agak kurusan jadi gak bakal kesentuh kok walaupun cuek aja. Sikap Mbak itu terkait dengan pilihannya dan konsekuensi dari pilihannya sedangkan saya bisa nyaman duduk di bus sampai ke rumah. Sederhananya begitu, tetapi sikap manusia tidak hanya berasal dari rasio semata tetapi juga dari apa yang dirasakan, kalau ada orang yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan saya maka bersikap cuek adalah pilihan yang tidak begitu baik [saya gak tega bilang buruk]. Ho ho ho memang perasaan itu sering membuat manusia salah dalam merespon atau bereaksi 🙄

Saya pribadi punya banyak pengalaman soal “reaksi yang salah” dan “reaksi yang seharusnya”. Beberapa teman saya mengatakan “kalau saya cenderung merespon sesuatu tidak seperti orang pada umumnya dan kebanyakan dari respon itu bisa dibilang salah”.  Saya mengerti dengan baik bagaimana seharusnya saya bersikap tetapi ketika timingnya tiba yang muncul malah reaksi lain yang salah. Yah ini pun sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kau tahu mana yang benar tetapi kau tidak bisa dengan bebas mengatakannya. Kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan tetapi berulang kali kau melakukan kesalahan yang sama. Saya curiga jangan-jangan ini gejala [patologis] akibat pengaruh postmodernisme. Postmodernisme memang berakibat buruk bagi orang yang paranoid terhadapnya.

Tidak terasa [bohong ah, terasa banget] 😛 saya sudah hampir sampai ke rumah dan harus turun. Yah selamat tinggal Mbak yang baik, semoga Tuhan mengampuni saya yang berpikir macam-macam ini. Saat turun saya sempat melirik wajahnya dan ternyata cantik sekali, dalam hati saya bergumam “wah sayang sekali”. Btw saya gak selingkuh hati kok, beneran cuma lihat dikit dan bentar aja, memang cantik tetapi kecantikan bukan satu-satunya hal yang disukai pria dari wanita. Apalagi seseorang pernah berkata kesetiaan pria akan membuat wanita yang dicintainya semakin cantik. Dan saya sepakat kesetiaan jauh lebih berharga daripada kecantikan, haiya ini postingan apa sih :mrgreen:

Spesial for danrad, ternyata filosofi buskota itu memang anomaly. Awalnya kan itu serangan agar saya lebih memperhatikan keseharian yang sering saya lupakan tetapi anehnya yang dirasakan justru itu membuat saya berpikir macam-macam. Setelah saya pikirkan dengan baik ternyata ide-ide besar dapat dilihat dari keseharian. Konflik antar ide yang berkepanjangan juga terasa efeknya dalam keseharian. Jadi apa maksudnya?. Jalani keseharian tanpa mikir macam-macam atau “berpikir benar” dalam keseharian?. Salam bingung

15 Tanggapan

  1. ..kesetiaan pria akan membuat wanita yang dicintainya semakin cantik. Dan saya sepakat kesetiaan jauh lebih berharga daripada kecantikan,

    .
    .
    😕 *merenung*

  2. Hufffff, begitu ya ternyata….

    selalu ada stigma dalam keadaan atau sikap seseorang. Dan sayangnya, hal tersebut sering membuat kita berfikir negatif.

    Saya tidak akan menjelaskan apa-apa, hak SP untuk merasa begitu dan berfikir begitu.

    tapi, dengan segala alasan, sang akhwat memutuskan untuk naik bus, dan akhirnya duduk bersebelahan dengan SP, dan akhirnya karena refleknya, (sayangnya) membuat SP tersinggung.

    Seandainya saja dia punya kesempatan untuk menjelaskan…

    Dunia sosial selalu punya pro dan kontra.

    BTW, soal diskusi…
    mirip seperti ini
    ibu: (sedang nguji anaknya yang masih TK) x itu bahasa inggris nya apa?
    anak: ngak tahu Ma… nantilah tanya bu guru.
    (setelah nanya sama bu guru, kebetulan bu gurunya sedang sakit kepala dan memberi jawaban yang salah)
    anak: kata bu guru x itu bahasa inggrisnya x….
    ibu: bukan
    anak: tapi ibu guru bilang begitu.
    .
    .
    😆

  3. @Mbak Ayu
    haiyah kok malah itu yang direnungin, apa sedang ada masalah yang menyangkut “kesetiaan” or “kecantikan” dengan Mas yang satu itu :mrgreen:
    *ditimpuk gunung fuji*

    @Mbak Snow

    selalu ada stigma dalam keadaan atau sikap seseorang. Dan sayangnya, hal tersebut sering membuat kita berfikir negatif.

    stigma itu terkait dengan persepsi orang lain atau orang kebanyakan. Secara saya pribadi, saya tidak menganggap “sikap protektif jilbab panjang” itu sebagai sesuatu yang negatif tetapi “sikap resisten” yang sering ada pada mereka terkadang ada sisi negatifnya [walaupun secara umum tidak masalah].

    Saya tidak akan menjelaskan apa-apa, hak SP untuk merasa begitu dan berfikir begitu.

    Soal rasa merasa, itu adalah hal yang akan selalu ada pada manusia. Lagipula rasa itu subjektif kan, nah kalau soal cara berfikir mungkin ada banyak yang bisa didiskusikan 🙂

    tapi, dengan segala alasan, sang akhwat memutuskan untuk naik bus, dan akhirnya duduk bersebelahan dengan SP, dan akhirnya karena refleknya, (sayangnya) membuat SP tersinggung.

    Ah maaf Mbak, sebenarnya tersinggung itu hanya istilah kasarnya saja. Mungkin lebih tepat kalau kata-katanya ketika melihat refleks itu saya merasa tidak nyaman. Hooo tapi kan ini kepanjangan 😛

    Seandainya saja dia punya kesempatan untuk menjelaskan…

    sepertinya saya tahu apa yang akan dijelaskan, bukannya saya sok tahu. Saya pribadi bisa memaklumi sikap Mbak itu, saya tidak menyalahkan siapa-siapa disini. Mungkin lebih tepatnya saya mengeluh karena tidak ada yang bisa disalahkan tetapi kok terasa tidak nyaman.

    Dunia sosial selalu punya pro dan kontra.

    bener banget, contohnya nih keberadaan saya dan apa yang saya pahami ternyata bisa muncul pro dan kontra jika sudah memasuki dunia sosial [ya iyalah]

    BTW, soal diskusi…
    mirip seperti ini
    ibu: (sedang nguji anaknya yang masih TK) x itu bahasa inggris nya apa?
    anak: ngak tahu Ma… nantilah tanya bu guru.
    (setelah nanya sama bu guru, kebetulan bu gurunya sedang sakit kepala dan memberi jawaban yang salah)
    anak: kata bu guru x itu bahasa inggrisnya x….
    ibu: bukan
    anak: tapi ibu guru bilang begitu.

    Prasangka baik saja intinya, saya sudah mencoba lebih tepatnya menjadikan alasan ini sebagai penenang hati saya. Walaupun kalau dipikir-pikir, wanita yang sudah berani berjilbab panjang gak tepat dianalogikan dengan anak tk dan apa iya tuh mentornya lagi “sakit kepala” :mrgreen:

  4. Begitulah sifat manusia. Apabila ketemu lain jenis.
    Apalagi yang satu ganteng dan yang satu cantik. Masih lumayanan kalau sudah kenal duluan Tapi kalau belum dikenal seperti cerita diatas. Waah akan terjadi dialog antara AKU yang diluar dan AKU yang didalam. Dan dialog ini akan terjadi dikedua belah pihak. Tapi dialog ini tidak akan terjadi kalau tidak ada MAUnya. Jadi menurut saya kalau kalau mau langsung aja bentuk komunikasi. Kalau malu2 kucing bisa menjadi punguk merindukan bulan. Selamat menghayal. Salam damai Wasalam

  5. Nampaknya si akhwat sudah terbina dalam suatu sistem keyakinan yg menurut mereka mapan (termasuk atribut2 lahiriah). Karena sudah merasa mapan maka sesuatu di luar sistem keyakinannya dianggap sebagai “anti kemapanan”. (Wah jadi ingat istilah “anti kemapanan” di jaman Orba).

    Reflex menarik diri si akhwat merupakan manifestasi reaksi sistem keyakinannya terhadap dunia luar yg dirasakannya tiba2 menjadi tidak sejalan dg prinsip2 sistem yg telah membinanya tsb. Bagi si akhwat, duduk sendiri saat itu masih bisa diterima/ sejalan dg prinsip sistemnya. Tapi tiba2 dg munculnya seorang pemuda dan nyelonong duduk di sebelahnya, bagi si akhwat hal ini sudah tidak sejalan dg prinsip sistemnya dan muncullah gerakan reflex tsb sbg reaksinya. Jadi gerakan reflex si akhwat adalah “reaksi kemapanan merespon anti kemapanan.”

  6. nah kalau soal cara berfikir mungkin ada banyak yang bisa didiskusikan

    Ini saya sepakat dengan kata lain sharing pendapat for better understanding. 😉

    Walaupun kalau dipikir-pikir, wanita yang sudah berani berjilbab panjang gak tepat dianalogikan dengan anak tk dan apa iya tuh mentornya lagi “sakit kepala

    Ini ada alasannya. yakni saya tidak berani menggunakan anak SD atau yang lebih tinggi sebagai analogi, secara anak jaman sekarang itu udah kritis-kritis. gak mau menerima pernyataan begitu saja baik dari orang tua ataupun guru mereka.

    jadi saya beranikan diri menggunakan anak “TK” yang masih belum banyak mempertanyakan apa yang dikatakan pada mereka.

    FYI, saya menemukan ada yang memutuskan untuk memanjangkan jilbabnya bukan karena idealismenya mengatakan begitu. 😛

    BTW, ada yang kelewat,

    misalnya nih ya mereka ini ternyata salah meyakini sesuatu maka akan sangat sulit untuk meyakinkan mereka kalau mereka salah. Berbeda halnya dengan “jilbab medium”, mereka lebih mudah diajak bicara, lebih mudah diajak diskusi dan lebih mudah untuk menerima kebenaran dari orang lain

    Secara umum itu karena “jilbab medium” tidak memegang ideologi tertentu…
    Jika seseorang sudah menganut ideologi tertentu, bukan hal yang mudah untuk merubah haluannya. 🙂

    Mungkin SP bisa saja mengantarkan bukti-bukti dan data-data sahih pada mereka, tapi jika tidak mampu memahami apa yang SP sampaikan, [karena hal tsb bertentangan dengan apa yang mereka yakini selama ini] maka sulit bagi mereka untuk menerima.
    IMO, wajar jika mereka lebih mempercayai orang-orang yang dekat dengan mereka.

    Dan tentu saja, kita sering lupa jika kebenaran itu bisa datang dari mana saja, kecuali mereka yang suka berfikir jernih. 🙂

    Jalani keseharian tanpa mikir macam-macam atau “berpikir benar” dalam keseharian

    Ah, seharusnya saya menyadari kalimat ini dari awal, :mrgreen:

  7. Baru mulai duduk wah itu akhwat reflex menarik diri [posisinya di pinggir]. Wah wah maaf Mbak insya Allah saya orang baik-baik [aih ngaku-ngaku pula

    Ini namanya tersinggung. Kalau ngga bagaimana bisa muncul pembelaan diri bahwa sy orang baik2? Hayo… :mrgreen:

    Kalau mau jujur mengambil kata hati yg paling dalam, kata-kata yg lbh tepat begini mas; “Uh, emangnya sy preman apa?” sambil mengerutkan dahi. Hehehe..

    Lagipula, darimana mas menyangka bahwa hal itu adalah masalah jender dan jilbab panjang? 🙂

    Jangan-jangan karna penampilan mas yg dekil n bau keringat? :mrgreen:
    Mestinya mas coba jg duduk di sebelah cewek yg “biasa-biasa” kemudian di sebelah cowok lain. Dari sini bisa ketauan apa masalah utamanya 🙂

    Btw, sy bertanya2 nih… Bagaimana kalo penampilan mas agak dirubah dikit. Pake janggut palsu 3-4 lembar, celana cingkrang n bawa kitab, apa saja. Kira2 apa yg terjadi? 🙂

    Salam

  8. Salaam, one word buat SP Lebaaaay, ini tidak ada hubungannya dengan jilbab atau gender, ini masalah teritori, dalam lingkup kecil, setiap mahluk hidup,.hewan atau manusia punya teritori sendiri, yg akan dipertahankannya jika ada yang coba masuk,..caranya bisa dengan meggeser tempat dudk, kasih muka asem, atau menyedekapkan tangan, walaupun ada sebagiannya yg melakukannya dengan senyum,…teritori ini akan runtuh seketika jika kedua belah pihak saling melucuti senjata masing masing yaitu,.saling menanyakan identitas masing2 nama, pekerjaan dan tujuan, dll. biasanya kalau proses ini berjalan mulus pelan pelan teritori ini akan runtuh,..maka terjadilah yg namanya globalisasi (ngelantur.com)….sayangnya ada sebagian kaum yg “sangat saleh” yg menganggap proses pelucutan senjata itu haram,..

    Terakhir, teori ini tidak berlaku buat tempat dan situasi tertentu,..misalnya diruang praktik dokter, atau ditaman lawang malam hari, biasanya begitu ada orang masuk/datang bukan dianggap penyusup tapi malah dianggap rezeki,……..langsung ditomprok.

  9. Ahhh..ini sih biasa saja. Yang pakai rok mini juga pernah melakukan hal yang sama.
    Mungkin krn kepala sp penuh dg mereka2 ini, jadi selalu dikait2kan.
    Dan lagi begitulah hidup bersosialisasi, selalu ada yang tidak cocok dengan selera/prinsip kita. Dan kita selalu dituntut untuk mentolerirnya.
    Dia punya prinsip yang ternyata mendapat benturan dalam kehidupan sehari2, itu bukan berarti dia harus meninggalkan prinsipnya atau dia menjauh dari lingkungan yang mengganggu prinsipnya.
    Gangguan2 tsb biasanya dianggap oleh mereka sebagai ujian atas keteguhan prinsip..
    Kayaknya benar yg dikatakan arman.
    Santai aja.. :mrgreen:

  10. sip.. sebuah renungan.. 🙂

  11. kalau sudah terlanjur eksklusif akan dunianya memank susah utk melihat kebenaran yg datang dr alam luar ..
    Pantas bbrp golongan terkenal dgn sikap anti-sosialnya ..
    Rahmatan lil alaminnya mana ?

  12. @armand

    Ini namanya tersinggung. Kalau ngga bagaimana bisa muncul pembelaan diri bahwa sy orang baik2? Hayo… :mrgreen:

    ehem kayaknya saya juga pakai mrgreen lho 🙂

    Kalau mau jujur mengambil kata hati yg paling dalam, kata-kata yg lbh tepat begini mas; “Uh, emangnya sy preman apa?” sambil mengerutkan dahi. Hehehe..

    Gak ada kok preman seperti saya, lebih tepatnya saya tidak memenuhi sertifikasi sebagai preman 🙂

    Lagipula, darimana mas menyangka bahwa hal itu adalah masalah jender dan jilbab panjang? 🙂

    perasaan saya saja Mas

    Jangan-jangan karna penampilan mas yg dekil n bau keringat? :mrgreen:

    Rasa-rasanya ya pemuda seusia saya kalau jalan-jalan ke pasar biasanya penampilan rada beda dan menebar wangi dimana-mana. Gak tahu ya kalau zaman Mas muda dulu :mrgreen:

    Mestinya mas coba jg duduk di sebelah cewek yg “biasa-biasa” kemudian di sebelah cowok lain. Dari sini bisa ketauan apa masalah utamanya 🙂

    Siip udah pernah kok, dan gak ada masalah apa-apa 🙂

    Btw, sy bertanya2 nih… Bagaimana kalo penampilan mas agak dirubah dikit. Pake janggut palsu 3-4 lembar, celana cingkrang n bawa kitab, apa saja. Kira2 apa yg terjadi? 🙂

    btw kayaknya kalau penampilan begitu justru mengundang perhatian seluruh penumpang bus, gak mau banget :mrgreen:

    @A_Lee

    teritori ini akan runtuh seketika jika kedua belah pihak saling melucuti senjata masing masing yaitu,.saling menanyakan identitas masing2 nama, pekerjaan dan tujuan, dll. biasanya kalau proses ini berjalan mulus pelan pelan teritori ini akan runtuh,..

    Sepertinya nggak juga, beberapa wanita jilbab panjang ada yang kenal dan menjadi teman saya tetapi responnya tidak jauh berbeda. Yang saya paling ingat, ada satu orang yang saya ajak bicara dan ketika saya lihat matanya, mata itu tidak pernah menatap lawan bicaranya yang laki-laki, menunduk atau menerawang menembus ke belakang.

    @truthseeker

    Ahhh..ini sih biasa saja. Yang pakai rok mini juga pernah melakukan hal yang sama.

    Ah beda atuh mas, btw saya gak pernah dapet pengalaman seperti ini :mrgreen:

    Mungkin krn kepala sp penuh dg mereka2 ini, jadi selalu dikait2kan.

    Nggaklah, satu-satunya wanita yang memenuhi pikiran saya cuma “yang jilbab medium”

    Dan lagi begitulah hidup bersosialisasi, selalu ada yang tidak cocok dengan selera/prinsip kita. Dan kita selalu dituntut untuk mentolerirnya.

    Sepakat, mentolerir adalah apa yang seharusnya dilakukan, tetapi tidak nyaman adalah apa yang saya rasakan.

    Dia punya prinsip yang ternyata mendapat benturan dalam kehidupan sehari2, itu bukan berarti dia harus meninggalkan prinsipnya atau dia menjauh dari lingkungan yang mengganggu prinsipnya.

    Bagaimana sikap dan keyakinan mereka ya terserah mereka. Setiap orang punya prinsip terlepas benar tidaknya prinsip itu

    Gangguan2 tsb biasanya dianggap oleh mereka sebagai ujian atas keteguhan prinsip..

    Oh ya tentu, dan ini kan ranah subjektif. Siapapun bisa mempersepsi hambatan pada dirinya adalah ujian atas keteguhan 🙂

    Kayaknya benar yg dikatakan arman.
    Santai aja..

    Ho ho ho ujungnya ini toh, ehem gak ah Mas Armand itu salah, Mas juga salah dan saya lah yang benar *narsis mode on*

  13. Untuk jawab semua ini ternyata SP butuh waktu lebih dr 2 minggu (18 hari)… ccckkk..ccckk. Berapa banyak kitab yang dibuka? Ternyata lebih sulit komentar2 ini dibandingkan komentar2 salafiyun yaaa.. :mrgreen:

    Salam.

  14. @truthseeker 08
    hehehe. Biasa. kalau soal yang satu ini SP pasti pusing keliling

  15. cerita sederhana tp menarik
    SP dr awal telah membuat kesalahan,kecil tp fatal,yaitu ragu2,
    1.ragu2 membuat keputusan menjadi terlambat wlw benar, sygnya salah.
    jadi sdh ragu salah pula??
    2.ragu2 membuat kita berprasangka,menurut sy sih jilbab panjang tdk slalu identik dgn salafi.
    di iraq,iran n negara muslim lainnya bahkan lebih panjang,
    3.proteksi diri darinya wajar sj,siapa tau SP laki2 yg menarik,(biar tmbh narsis)n dia tdk mau tergoda oleh laki2 yg ia tdk kenal
    4.menurut sy akhwat tsb lebih siap ketimbang SP dlm menghadapi situasi di bus kota
    buktinya SP msh melirik,n dia cuek2 aja
    5.secara psikologi SP lg dlm suasana yg sedang gerah dgn sepak terjang salafi
    6.utk kali ini sp kecele
    salam santaii

Tinggalkan komentar