Kedudukan Hadis “Memisahkan Diri Dari Ali Berarti Memisahkan Diri Dari Nabi SAW”

Kedudukan Hadis “Memisahkan Diri Dari Ali Berarti Memisahkan Diri Dari Nabi SAW”.

Dalam tulisan kali ini akan dibahas contoh lain kesinisan salafy dalam menyikapi hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Hadis ini termasuk salah satu hadis yang menjadi korban syiahphobia yang menjangkiti para ulama.

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا بن نمير قثنا عامر بن السبط قال حدثني أبو الجحاف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا علي انه من فارقني فقد فارق الله ومن فارقك فقد فارقني

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Amir bin As Sibth yang berkata telah menceritakan kepadaku Abul Jahhaf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Wahai Ali, siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang memisahkan diri dariMu maka dia telah memisahkan diri dariKu”.

Hadis dengan sanad diatas diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail As Shahabah no 962. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak no 4624 dan no 4703, Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 biografi Muawiyah bin Tsa’labah, Ibnu Ady dalam Al Kamil 3/82 dan Al Bazzar dalam Musnad Al Bazzar no 4066. Berikut sanad riwayat Al Bazzar

حدثنا علي بن المنذر وإبراهيم بن زياد قالا نا عبد الله بن نمير عن عامر بن السبط عن أبي الجحاف داود عن أبي عوف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر رضي الله عنه قال قال رسول الله لعلي  يا علي من فارقني فارقه الله ومن فارقك يا علي فارقني

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Mundzir dan Ibrahim bin Ziyad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Amir bin As Sibth dari Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Wahai Ali siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang mmisahkan diri dariMu Ali maka dia telah memisahkan diri dariKu”.

.

.

Kedudukan Hadis

Hadis ini sanadnya shahih, telah diriwayatkan oleh para perawi terpercaya sebagaimana yang dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 9/184 no 14771 setelah membawakan hadis Abu Dzar RA di atas

رواه البزار ورجاله ثقات

Hadis riwayat Al Bazzar dan para perawinya tsiqat.

Al Hakim telah mnshahihkan hadis ini dalam kitabnya Al Mustadrak no 4624 dan memang begitulah keadaannya. Berikut keterangan mengenai para perawi hadis tersebut

  • Ali bin Mundzir disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 7 no 627 bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, An Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/703 memberikan predikat shaduq padahal ia sebenarnya orang yang tsiqah. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4803 menyatakan Ali bin Mundzir tsiqat.
  • Abdullah bin Numair, disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 6 no 110 bahwa ia telah dinyatakan tsiqat oleh para ulama seperti Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/542 menyatakan ia tsiqah.
  • Amir bin As Sibth atau Amir bin As Simth, Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib juz 5 no 108 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Sa’id, Ibnu Hibban, An Nasa’i dan Ibnu Ma’in berkata “shalih”. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/461 menyatakan ia tsiqah.
  • Abul Jahhaf namanya Dawud bin Abi Auf. Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib juz 3 no 375 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah dalam kitabnya Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347. Ibnu Ady telah mengkritik Abul Jahhaf karena ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dan tentu saja kritikan seperti ini tidak beralasan sehingga pendapat yang benar Abul Jahhaf seorang yang tsiqah.
  • Muawiyah bin Tsa’labah, ia seorang tabiin yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam Ats Tsiqat juz 5 no 5480 seraya menegaskan bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 seraya membawakan sanad hadis di atas dan tidak sedikitpun Bukhari memberikan cacat atau jarh pada Muawiyah bin Tsa’labah dan hadis yang diriwayatkannya. Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/378 no 1733 menyebutkan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf. Abu Hatim sedikitpun tidak memberikan cacat atau jarh padanya. Adz Dzahabi memasukkan nama Muawiyah bin Tsa’labah dalam kitabnya Tajrid Asma’ As Shahabah no 920 dimana ia mengutip Al Ismaili bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat Nabi, tetapi Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/362 no 8589 menyatakan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang tabiin. Tidak menutup kemungkinan kalau Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat atau jika bukan sahabat maka ia seorang tabiin. Statusnya sebagai tabiin dimana tidak ada satupun yang memberikan jarh terhadapnya dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat sudah cukup sebagai bukti bahwa ia seorang tabiin yang tsiqat.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat sehingga tidak diragukan lagi kalau hadis tersebut shahih. Sayangnya para pendengki tidak pernah puas untuk membuat syubhat-syubhat untuk meragukan hadis tersebut seolah hati mereka tidak rela dengan keutamaan Imam Ali yang ada pada hadis tersebut. Mari kita lihat syubhat salafiyun seputar hadis ini.

.

.

Syubhat Salafy Yang Cacat

Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits Ad Dhaifah no 4893 dan berkata bahwa hadis ini mungkar. Pernyataan beliau hanyalah mengikut Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak hadis no 4624 dan Mizan Al I’tidal no 2638 yang berkata “hadis mungkar”. Seperti biasa perkataan ini muncul dari penyakit syiahphobia yang menjangkiti mereka, seolah mereka tidak rela dengan keutamaan Imam Ali, tidak rela kalau hadis ini dijadikan hujjah oleh kaum Syiah, tidak rela kalau keutamaan Imam Ali melebihi semua sahabat yang lain. Apa dasarnya hadis di atas disebut mungkar?. Silakan lihat, adakah kemungkaran dalam hadis di atas. Adakah isi hadis di atas mengandung suatu kemungkaran?. Apakah keutamaan Imam Ali merupakan suatu kemungkaran?. Sungguh sangat tidak bernilai orang yang hanya berbicara mungkar tanpa menyebutkan alasan dan dimana letak kemungkarannya. Begitulah yang terjadi pada Adz Dzahabi dan diikuti oleh Syaikh Al Albani, mereka hanya seenaknya saja menyebut hadis tersebut mungkar. Tentu saja jika suatu hadis disebut mungkar maka akan dicari-cari kelemahan pada sanad hadis tersebut.

Syaikh Al Albani melemahkan sanad hadis ini karena Muawiyah bin Tsa’labah bahwa ia hanya dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban sedangkan Abu Hatim dan Bukhari tidak memberikan komentar yang menta’dil ataupun yang mencacatnya. Memang bagi salafyun tautsiq Ibnu Hibban yang menyendiri tidaklah berharga dengan alasan Ibnu Hibban sering menyatakan tsiqah para perawi majhul. Sayang sekali alasan ini tidak bisa dipukul rata seenaknya. Muawiyah bin Tsa’labah tidak diragukan seorang tabiin dimana Al Hakim berkata tentang tabiin dalam Ma’rifat Ulumul Hadis hal 41

فخير الناس قرناً بعـد الصحـابة من شـافه أصحـاب رسول الله صلى الله عليه وسلّم، وحفظ عنهم الدين والسنن

Sebaik-baik manusia setelah sahabat adalah mereka yang bertemu langsung dengan sahabat Rasulullah SAW, memelihara dari mereka agama dan sunnah.

Jadi kalau seorang tabiin tidak dinyatakan cacat oleh satu orang ulamapun bahkan para ulama semisal Al Bukhari dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya maka tautsiq Ibnu Hibban dapat dijadikan hujjah, artinya tabiin tersebut seorang yang tsiqah.

Mari kita lihat seorang perawi yang akan menggugurkan kaidah salafy yang seenaknya merendahkan tautsiq Ibnu Hibban, dia bernama Ishaq bin Ibrahim bin Nashr. Ibnu Hajar menyebutkan keterangan tentangnya dalam At Tahdzib juz 1 no 409. Disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ishaq bin Ibrahim adalah perawi Bukhari dan hanya Bukhari yang meriwayatkan hadis darinya. Tidak ada satupun ulama yang menta’dil beliau kecuali Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Bahkan Al Bukhari yang menuliskan biografi Ibrahim bin Ishaq dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 1212 hanya berkata

إسحاق بن إبراهيم بن نصر أبو إبراهيم سمع أبا أسامة

Ishaq bin Ibrahim bin Nashr Abu Ibrahim mendengar hadis dari Abu Usamah

Adakah dalam keterangan Bukhari di atas ta’dil kepada Ishaq bin Ibrahim?. Tidak ada dan tentu berdasarkan kaidah salafy yang menganggap tautsiq Ibnu Hibban tidak bernilai maka Ishaq bin Ibrahim itu majhul dan hadisnya cacat. Tetapi bertolak belakang dengan logika salafy itu justru Ishaq bin Ibrahim dijadikan hujjah oleh Bukhari dalam kitabnya Shahih Bukhari.

Seperti biasa ternyata syaikh kita satu ini telah menentang dirinya sendiri. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits As Shahihah no 680 telah memasukkan hadis yang di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Sa’id Al Ghifari yang hanya dita’dilkan oleh Ibnu Hibban bahkan Syaikh mengakui kalau Abu Hatim dalam Jarh Wat Ta’dil hanya menyebutkan biografinya tanpa memberikan komentar jarh ataupun ta’dil. Dan yang paling lucunya Syaikh Al Albani mengakui kalau ia menguatkan hadis tersebut karena Abu Sa’id Al Ghifari adalah seorang tabiin. Sungguh kontradiksi syaikh kita satu ini. Mengapa sekarang di hadis Abu Dzar yang berisi keutamaan Imam Ali Syaikh mencampakkan metodenya sendiri dan bersemangat untuk mendhaifkan hadis tersebut. Apa masalahnya wahai syaikh?.

Selain itu Syaikh Al Albani juga menyebutkan syubhat yang lain yaitu ia melemahkan hadis ini karena Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf walaupun banyak yang menta’dilkan Abul Jahhaf, syaikh Al Albani mengutip perkataan Ibnu Ady seperti yang tertera dalam Al Mizan no 2638

ابن عدى فقال  ليس هو عندي ممن يحتج به  شيعي  عامة ما يرويه في فضائل أهل البيت

Ibnu Ady berkata “Menurutku ia bukan seorang yang dapat dijadikan hujjah, seorang syiah dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya adalah tentang keutamaan Ahlul Bait.

Bagaimana mungkin Syaikh mengambil perkataan Ibnu Ady dan meninggalkan Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan An Nasa’i. Seperti yang kami katakan sebelumnya jarh Ibnu Ady diatas tidak bernilai sedikitpun karena alasan seperti itu tidak dibenarkan. Bagaimana mungkin seorang perawi hanya karena ia syiah atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul bait maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah. Apa namanya itu kalau bukan syiahphobia!. Abul Jahhaf adalah perawi yang tsiqah dan untuk mencacatnya diperlukan alasan yang kuat bukan alasan ngawur seperti yang dikatakan Ibnu Ady karena kalau ucapan Ibnu Ady itu dibenarkan maka alangkah banyaknya perawi yang hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah(termasuk hadis Bukhari dan Muslim) hanya karena ia syiah atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul bait.

.

.

Kesimpulan

Hadis Abu Dzar di atas adalah hadis yang shahih dan para perawinya tsiqat sedangkan syubhat-syubhat salafiyun untuk mencacatkan hadis tersebut hanyalah ulah yang dicari-cari dan tidak bernilai sedikitpun. Sungguh kedengkian itu menutupi jalan kebenaran.

Salam Damai

8 Tanggapan

  1. pertamaxxxx… waaa… ada kesalahan Syaikh Al Albani rupanya… good good…

    Ntar bisa dijadiin hujjah deh… :hihi:

    Maklum, tuh Syaikh Albani ga pernah masuk pendidikan formal, eh malah berani2nya dikasih gelar Al Muhaditsin… wekekekek…

  2. Sesungguhnya jika para salafiyyun mau sejenak bertafakkur serta menggunakan akal mereka, akan terlihatlah bahwa Al-Albani adalah salah satu “ulama” yg, entah karena keawaman beliau atau ada sesuatu di hatinya, begitu gemar mendhaifkan hadits2 keutamaan ahlulbait. Anehnya semua apa yg diucapkan dan dikeluarkan oleh tokoh ini sangat dipegang erat oleh para salafiyyun, meskipun mereka sadar dan tau bahwa tokoh ini kerap melakukan kekeliruan. Berubah-ubahnya pendapat (penshahihan) sebuah hadits oleh Al-Albani dikuatkan sendiri oleh cucu murid beliau Haulasyiah, sebagaimana mereka tulis seperti ini; (http://haulasyiah.wordpress.com/2008/11/22/mengkaji-lagi-hadits-wanita-yang-paling-dicintai-rasulullah-saw-adalah-fatimah/)

    Sebenarnya, kalau kita sering mengkaji kitab-kitab para Ulama’ Ahlus Sunnah, masalah-masalah seperti ini sudah biasa. Bahkan sering kita dapati ulama’ terdahulu dalam satu perkara memiliki dua sampai tiga pendapat. Karena memang mereka berfatwa sesuai dengan ilmu yang telah sampai kepada mereka. Ketika mereka berfatwa dengan sebuah fatwa yang berdasarkan dalil yang ia ketahui, namun ternyata beberapa tahun kemudian ia berfatwa dengan fatwa lain karena mendengar hadits yang belum pernah ia dengar sebelumnya atau dikarenakan dalil yang ia jadikan hujjah adalah lemah.

    Demikian pula dalam menghukumi sebuah hadits, tak jarang kita mendapati seorang imam tertentu memiliki dua pendapat, yang pertama menshahihkan kemudian mendha’ifkan atau sebaliknya, ini disebabkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah keadaan rawi yang semula ia anggap tsiqah ternyata kurang tepat. Demikianlah keadaan ulama’. Ini semua menunjukkan bahwa mereka selalu berusaha untuk mengikuti Al Haq, mereka tidak segan atau malu untuk kembali dari kekeliruan kepada kebenaran.

    Demikian juga yang terjadi pada diri Syaikh Al Albani Rahimahullah Ta’ala, tak jarang dalam berbagai karyanya kita dapati beliau rujuk, yang semula menshahihkan kini berganti mendha’ifkan atau sebaliknya. Maka tidak benar kalau dikatakan beliau mendha’ifkan hadits ini hanya disebabkan kebenciannya terhadap pihak tertentu, tentu beliau sangat jauh dari sifat ini, semuanya beliau hukumi secara ilmiyah menurut kaedah ilmu hadits yang dipakai ulama’ terdahulu. Sebagai contoh, ketika beliau menghukumi sebuah hadits yang berbicara tentang hukum buang hajat (lihat: Misykah no356), semula beliau mendha’ifkannya karena ada dua cacat fatal pada sanadnya, ternyata beberapa tahun kemudian beliau menshahihkannya dikarenakan ada jalur lain yang menguatkannya, beliau berkata, “Sekarang, baru kami dapati dari Ibnu Qaththan Jazahullahu Khairan sanad yang bagus ini dari selain jalur Ikrimah bin Ammar. Maka wajib untuk memindahkan (hadits ini) dari Dha’if Abi Daud ke Shahih Abi Daud, dari Dha’if Al Jami’ ke Shahih Al Jami’, dari Dha’if At Targhib ke Shahih At Targhib, dan dari Dha’if Ibnu Majah ke Shahih Ibnu Majah.”

    Dalam tempat lain, ketika beliau rujuk dari sebuah hadits yang semula beliau shahihkan kemudian beliau dha’ifkan, “Dahulu aku sempat lalai dari cacat ini ketika aku mentakhrij kitab Syarhu Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, aku pun menshahihkannya (no. 516) karena hanya melihat pada zhahir sanad, sekarang aku rujuk darinya, hanya Allah lah yang memberi taufik dan aku memohon ampun kepada-Nya atas kekeliruanku…”

    Demikian pula ketika beliau rujuk dari menghukumi sebuah hadits yang semula mendha’ifkannya kemudian memaudhu’kannya,

    “Inilah yang aku sebutkan dalam kitabku Dha’if Al Jami’. Sekarang, aku telah meneliti sanadnya yang muzhlim dan aku perhatikan matannya maka tampaklah bagiku bahwa hadits ini maudhu’. (Adh Dha’ifah no3272)

    “Sekarang, aku telah teliti sanadnya, maka aku rujuk yang semula menghukuminya dha’if menjadi maudhu’ disebabkan riwayat rawi kadzdzab ini…” (Adh Dha’ifah no3290)

    Bahkan beliau tidak segan-segan menerima Al Haq dari siapa saja, “Inilah sebatas yang aku ketahui ‘dan diatas setiap pemilik ilmu masih ada yang lebih berilmu lagi’. Maka barangsiapa yang memiliki faedah bisa memberikannya kepada kami Insya Allah dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no1489)

    “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang keduanya (ketika berbicara suatu sanad) silahkan menghubungi kami, masykuran dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no140)

    Dan tidak jarang beliau menerima masukkan dan pembenaran dari murid atau temannya sendiri, “Aku tidak menemukan lafazh seperti ini, akan tetapi seorang ikhwah memberikanku faidah Jazahullahu Khairan ….”

    “Kemudian yang aku pandang benar dalam Dzammul Hawa hal 39 karya Ibnul Jauzi dari jalur Al Khathib dengan arahan salah seorang ikhwah Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no2460)

    Untuk membela dan membenarkan sikap Al-Albani, Haulasyiah, salah satu blog pentolan salafiyyun, mengatakan seperti ini;

    Demikianlah akhak para ulama’ yang patuh kita teladani, bagaimana mereka tidak malu untuk menerima Al Haq dari siapa, kapan, dan dimana saja, serta tidak malu untuk rujuk dari kesalahan, Semoga Allah merahmati mereka semua.

    Salah/keliru adalah suatu kewajaran, karena memang kita bukanlah orang yang makshum, tetapi sudah tidak menjadi suatu kewajaran ketika kita terus dalam kesalahan dan tidak mau rujuk darinya.

    Menurut hemat sy, salah dan keliru adalah sebuah keniscayaan, namun seorang tokoh (ulama) seyogjanya memiliki kapasitas keilmuan di atas manusia umumnya sehingga mampu dijadikan rujukan dan jika ia tak memilikinya, maka sebutan ulama hendaknya dikoreksi kembali dimana pendapatnya tidak seharusnya dijadikan pegangan utama.

    Salam

  3. Allahumma Shalli Ala Muhammad wa Ali Muhammad

  4. Menurut hemat saya apologia yg dibawakan kaum salafiyun adalah sebuah methode yg sangat berbahaya bagi umat terutama para mukalid salafiyun yg begitu membabi buta membela ulamanya.
    1.Bagaimana para mukalid ini mengikuti satu hukum yg difatwakan ulamanya bertahun tahun tiba2 berubah karena sang ulama mengkoreksi fatwanya: Bagaimana pertanggung jawabannya di depan Allah atas apa yg telah diperbuatnya selama ini, lebih fatal lagi kalau ini tentang ‘Usul’ yg implikasinya bisa kafir mengkafirkan.

    2.Ulama yg tidak/belum mempunyai pengetahuan menyeluruh suatu bidang ilmu tidak berhak mengeluarkan fatwa atau menghakimi sesuatu dan ulama sepertiini sangat tidak patut diikuti/dijadikan rujukan.

    OOT:
    Kita dianugerahi oleh Allah sesuatu yang tidak diberikan kepada mahluk lain yaitu Akal maka pergunakanlah: janganlah taklid BUTA apalagi terhadap ulama yg BUTA ilmu jadi kalau ada yg bilang bumi ini tidak bulat dan matahari berputar mengelilinginya anda jangan dengan membabi BUTA megikutinya hanya karena ulama menfatwakanya padahal jelas dia BUTA ilnu astronomi.

    .

  5. saya hanya pembaca setia blog ini, sungguh menarik dan banyak muatan pencerahan, semoga

  6. ijin copas

  7. @emil
    silakan dan jangan lupa mencantumkan sumbernya 🙂
    Salam

  8. […] menyakiti Rasulullah SAW?. Hadis shahih siapa yang mencaci Ali berarti mencaci Rasulullah SAW?. Hadis shahih siapa yang memisahkan diri dari Ali berarti memisahkan diri dari Rasulullah SAW?. Tidak diragukan lagi hadis-hadis tersebut menunjukkan betapa tingginya kedudukan Imam Ali di sisi […]

Tinggalkan komentar