Aphromorfus Pangeran Pertama

Setelah diskusi menyenangkan dengan beberapa orang yaitu Mbak ini dan Mas itu (Truthseeker) saya jadi terkenang dengan Manusia satu itu. Saya mengenalnya sebagai seorang Pemikir yang handal dan entah mengapa pribadi ini memang menarik walau saya tidak begitu menyukainya :mrgreen:

Terjadi sudah cukup lama tetapi saya masih ingat betul peristiwa itu. Sangat menarik, ketika kami sedang membicarakan “Saya”. Dia menyajikan kepada saya Kelima Masalah Besar yang saya lebih senang menyebutnya Aphromorfus.

.

.

Masalah Metode

Kau berbicara dengan penuh semangat soal Kebenaran yang ingin kau capai, padahal kau tahu betul bahwa ada banyak pandangan dan pemikiran yang harus kau ketahui. Saat itu kukatakan Bagaimana bisa kau mengetahui semua pemikiran yang ada? maka kau menjawab Tidak perlu aku mengetahui segalanya, bagiku tidak perlu membandingkan semua pemikiran yang ada, cukuplah bagiku aku memiliki Metode yang Terbaik bagi diriku untuk mencapai Kebenaran. Jawabanmu memang sangat baik, tapi tahukah kau bahwa masalah besarmu adalah kau telah meyakini sesuatu dan setelah itu baru kau mau mencari Kebenaran. Agamamu sudah Islam sebelum kau berniat mencari Agama yang benar. Tahukah kau bahwa Secara tidak sadar Metodemu memiliki ketundukan secara tidak sadar dengan Apa yang telah engkau yakini.

.

.

Masalah Kenabian

Kau pernah berkata padaku bahwa Mulia atau tidaknya manusia itu tergantung dengan usahanya dan akhlaknya. Aku ingat betul bagaimana engkau mengatakan bahwa di dunia ini setiap orang bisa mempersepsi apa saja dan persepsi mereka bisa salah atau benar. Saat itu kau berkata walaupun begitu di dunia ini ada Manusia Sempurna yang merupakan manusia yang selalu benar dan mempunyai kemuliaan yang begitu besar . Waktu itu kau menyebutkan salah satunya yaitu Para Nabi. Jika usaha dan akhlak mereka para Nabi adalah suatu kemuliaan maka Akan aku lontarkan suatu masalah kepadamu Bagaimana seorang Nabi itu menjadi mulia jika semua yang ada pada mereka adalah keterjagaan dari Tuhan Yang Maha Esa?.

.

.

Masalah Sunni dan Syiah

Aku mendengar cerita menarik tentang kau dari beberapa orang bahwa kau adalah Syiah. Memang itu bukan urusanku, dan menurutku kau hanyalah banyak tahu tentang Syiah dan sering bicara tentang Syiah. Hal itu yang membuat kabar-kabar miring tentang mu. Saat kutanyakan padamu mengapa kau begitu tertarik membicarakannya. Kau berkata “Itu karena aku tahu”. Apa tepatnya yang kau tahu tidak pernah kau jelaskan kepadaku. Kita sebentar lagi akan berpisah, dan aku akan memberikan suatu masalah untukmu. Masalahmu adalah kau menganggap bahwa Islam itu terbagi dua yaitu Sunni dan Syiah dan dari situ kau berpandangan bahwa kebenaran bersama salah satunya. Tahukah kau kekeliruanmu adalah Kau bahkan tidak pernah mempertimbangkan bahwa kebenaran bisa saja malah tidak bersama keduanya?.

.

.

Masalah Sejarah

Cerita dan hipotesismu soal Sejarah Masa Depan itu benar-benar Menarik. Rasanya tidak berlebihan kalau aku menilai itu karya pemikiranmu yang terbesar. Maafkan kalau untuk kali ini aku tidak setuju denganmu. Kau berpikir bahwa Rekontruksi Sejarah Masa Lalu dapat kau gunakan untuk meramalkan Sejarah Masa Depan. Landasan pemikiranmu hanyalah Prinsip bahwa sejarah itu juga memiliki aturan dan hukum tersendiri dan dengan ini kita dapat memperkirakan bagaimana jalannya Sejarah Masa Depan. Itu hanyalah sekedar Pandanganmu yang berlebihan dan kupikir kau hanya mengulangi apa yang dikatakan Muhammad Baqir dan Ali Syari’ati. Kita belajar dari sejarah agar kita tidak mengulangi kesalahan umat-umat terdahulu, bukan untuk meramalkan bagaimana jalannya Sejarah kehidupan. Kau sangat kritis terhadap pandangan-pandangan Pemikir yang tidak kau sukai tetapi kau kurang kritis dengan Pemikir yang begitu kau kagumi. Tahukah kau Sejarah yang kau pelajari itu adalah sekumpulan data yang ditulis dan direkontruksi oleh manusia. Sedangkan Sejarah yang ingin kau ramalkan itu adalah Kehidupan Masa Depan yang Semuanya adalah Kuasa Tuhan. Bagaimana kau bisa belajar dari Manusia tentang Apa yang Tuhan Pikirkan?.

.

.

Masalah Sains dan Moral

Kau pernah berkata padaku bahwa kau akan melanjutkan studimu ke Fakultas Kedokteran. Dengan alasan sederhana yang kurasa kau pun tidak sepenuhnya percaya yaitu Itu Profesi Yang Mulia. Padahal kemuliaan adalah sesuatu yang melekat pada manusia dan bukan pada simbol-simbol tertentu. Aku ingin mengajukan masalah yang sederhana buatmu dan mungkin hal ini akan lebih jelas setelah kau benar-benar menjadi Mahasiswa kedokteran. Suatu hari kau akan menjadi seorang Dokter, berdasarkan pengetahuanmu kau mengobati pasienmu dengan obat yang baik sesuai standar keilmuan saat itu. Beberapa tahun kemudian Keilmuan menjadi begitu berkembang hingga obat yang kau gunakan sebelumnya memiliki efek yang parah pada pasienmu hingga menjadi cacat. Secara keilmuan engkau tidaklah salah tetapi coba tanyakan pada hatimu benarkah kalau kau ikut andil dalam membuat pasienmu menjadi cacat?. Masalahmu adalah Engkau mulia dalam pandangan orang lain tetapi kau akan membenci dirimu sendiri. Kemuliaan yang disematkan padamu justru membuatmu bertambah jijik dengan dirimu sendiri. Kau akan sakit secara tidak sadar.

.

.

😦

Sebenarnya pada saat itu saya sudah memberikan jawaban-jawaban yang hanya membuatnya tersenyum seadanya. Kelima Masalah ini adalah hadiah perpisahan yang begitu menarik dari seorang Teman Baik Yang Tidak Begitu Saya Sukai. 😈

Hmmm…. Nah Saya mau mengajak Siapa saja yang bersedia diskusi tentang Kelima Masalah ini atau salah satunya. Yang menurut Manusia satu itu adalah Masalah yang bahkan bisa diselesaikan oleh manusia berpikiran sederhana sekalipun. Aphromorfus :mrgreen:

23 Tanggapan

  1. Mas SP. Senang sekali bisa membaca tulisan-tulisan mas yang apa ingin disampaikan tertuang dgn mudah melalui kata-kata dan idiom yg tepat dan beraturan. Bukan itu saja, bahkan dalil-dalil aqli-naqli yang mas gunakan juga menunjukkan banyaknya ilmu yang mas dapatkan dan proses fikir yang mas jalani.
    Memang benar sekali bahwa pencerahan (baca: kebenaran) bisa diperoleh dari mana saja, siapa saja dan kapan saja.
    Terima kasih atas tulisan-tulisannya. Lho kok? Kayak orang mau berpisah aja
    Lha iya….soalnya setelah saya baca dan ulang-ulang…kok ada perasaan sedih, was-was dan khawatir ya..Rasa-rasanya saya ngga akan ketemu lagi dgn Teman Baik Yang (Tidak?) Begitu Saya Sukai. Kekhawatiran saya seperti ini;
    (1) Ke-5 pokok bahasan di atas adalah rangkuman semua tulisan-tulisan yang ada di blog ini. Kalu ngga salah sih.
    (2) Penggunaan kata “Saya”, “Kamu” kalau ditilik-tilik jelas maksudnya ke siapa.
    (3) Ucapan “syiah”, dan “Itu karena aku tau”. “…Studimu di Fakultas Kedokteran”, dll menujukkan jelas siapa yang dimaksud.
    (4) Kalimat “Kelima Masalah ini adalah perpisahan yang begitu menarik…” Menunjukkan akan ada perpisahan dgn ungkapan yg sangat halus.
    Tapi jangan khawatir, saya termasuk penganut faham “Pertemuan dan Perpisahan adalah dua mata uang yang tak terpisahkan. Jika ada pertemuan pasti ada perpisahan. Janganlah merasa senang dgn pertemuan, karena akan kecewa bila terjadi perpisahan”. Kesedihan saya karena tidak bisa lagi membaca dan menelaah tulisan-tulisan yang baik dan mencerahkan.

    Mudah2an prasangka saya tentang “Akan terjadi Perpisahan” ini hanya karena saya yang sok tau. Dan hal ini tidak akan terjadi bukan? Setidak-tidaknya bukan ini tulisan yang terakhir dari SP kan?

    Ngelantur…..ntar komennya utk topik di atas

  2. @SP
    “….tapi tahukah kau bahwa masalah besarmu adalah kau telah meyakini sesuatu dan setelah itu baru kau mau mencari Kebenaran”

    Kata saya: Bukan masalah besar dan bahkan bukan masalah sama sekali saya kira jika pencarian atas sesuatu berdasarkan keyakinan awal yang sudah dimiliki.
    Bagaimanapun dalam proses pencarian untuk memperoleh premis dan “penemuan” baru haruslah berdasarkan suatu hipotesa atau anggapan awal tertentu yang sifatnya bisa diyakini kebenarannya. Namun bersifat sementara.
    Mengapa perlu kebenaran yang bersifat sementara? Apa urgensinya bersifat sementara ini? SP juga mengerti bahwa mengawali suatu pencarian dengan keyakinan bahwa kebenaran itu sudah dimiliki dan pasti benar, maka sebenarnya tidak ada pencarian serta ucapan ‘pencarian’ itu sendiri menjadi tidak bermakna sama sekali, yang ada hanyalah usaha pembenaran dan pembelaan yang dipaksakan terhadap kebenaran yang diyakini.
    Dengan asumsi bahwa selalu terjadi Kebenaran Relatif (Subjektifkah?) bila ada sosialisasi antara 2 atau lebih pemikiran tentang satu topik kebenaran yang diperbincangkan, maka inilah yang membedakan antara ‘Pencari Kebenaran’ dan ‘Pembela Kebenaran’. Yang Pertama memiliki kelebihan bahwa ia selalu berusaha keras mencari dan membuka diri (akal, jiwa) dengan segala kebenaran baru dimana pun, kapan pun dan dari mana pun ia berasal. Yang Kedua, memiliki konotasi dan pengertian bahwa kebenaran sudah dimiliki. Terhadap sebagian pemikiran (golongan) dengan fanatisme membabi-buta, maka Pembela Kebenaran tidak akan mampu (karena memang tidak berusaha) untuk menemukan kebenaran lain yang seyogjanya mereka bisa peroleh.
    Kemudian, mengapa diperlukan ‘anggapan awal yang bisa diyakini sementara kebenarannya’? Hal inilah yang menjadi pokok mengapa ‘metode yang memiliki ketundukkan – secara tidak sadar – dengan yang telah diyakini’ menjadi relevan.
    Tengoklah para ahli dan peneliti, bagaimana mereka menemukan premis dan pencarian mereka. Bagaimana mereka mampu menemukan teknologi pesawat terbang jika sebelumnya mereka tidak beranggapan bahwa semestinya besi yang diberi sayap mampu terbang seperti burung terbang dengan sayapnya? Bukankah mereka berkeyakinan sebelumnya bahwa ‘besi juga bisa terbang?’ Contoh spt ini SP tentu sdh mahfum.
    Dengan demikian, fungsi dari anggapan awal ini adalah agar proses pencarian selalu terarah dan lebih sistematis, dimana pencarian (pertama) akan diarahkan ke anggapan awal. Namun sebagai catatan penting, “bahwa anggapan awal bisa saja salah, atau bahkan pada akhirnya menemukan anggapan awal yang juga tidak keliru, namun menemukan suatu kebenaran lain yang tidak disangka-sangka”

    Kata-kata SP:
    Agamamu sudah Islam sebelum kau berniat mencari Agama yang benar
    Kata saya: Apakah mas maksudkan bahwa jika ingin mencari agama yang benar, maka orang-orang harus atheis dulu? Sehingga objektivitasnya terjamin? Ternyata kondisi ‘kosong’ seperti ini bukan syarat penting, menurut saya, yang diperlukan untuk mencari kebenaran. Hal itu hanya membedakan dalam masalah ‘apa’ yang kita cari bukan apakah kita akan mendapatkan kebenaran atau tidak?
    Yang penting dalam setiap pencarian, menurut hemat saya, adalah berpatokan pada pertanyaan-pertanyaan berikut:
    (1) Dari mana awalnya harus mencari?
    (2) Petunjuk apa yang tersedia yang bisa digunakan untuk pencarian?
    (3) Anggapan awal apa yang diyakini kebenarannya yang bisa digunakan untuk mengarahkan pencarian?
    (4) Bagaimana cara melakukan pencarian?

    Kemudian saya katakan, bahwa sebagai Pencari Kebenaran, BUKAN agama yang benar yang kita cari karena kita memiliki Islam, tetapi yang kita cari adalah: Apakah Islam adalah agama yang benar? Nah, dengan anggapan awal bahwa Islam adalah agama yang benar, kita melakukan pencarian (perbandingan tentunya) dengan cara-cara yang kita ingini dan kita pahami, bisa lewat tafakkur, bertanya, diskusi, membaca, dll. Yang pada akhirnya kita menemukan kebenaran bahwa Islam adalah agama yang benar. Dan bahkan dalam pencarian ini mungkin ada kebenaran baru yang kita terima, dimana ternyata bahwa hanya ada satu golongan dari Islam yang benar dan yang lainnya keliru.

    Demikian mas semoga bermanfaat. Tanggapan yang kedua dst nyusul aja.

    Mudah-mudahan pengertian yang saya tangkap thd tulisan SP ngga keliru. 🙂

    Damai…damai

  3. @second

    Masalah Metode.

    Metode harus didasari oleh sesuatu yang dianggap atau diasumsikan benar. Ini memang kelemahan kita, manusia. Pada saat ketika saya menolak bahwa keyboard yang saya tekan adalah kenyataan yang benar adanya, maka runtuhlah semua metode sains bagi saya. Pada saat ketika saya menganggap bahwa masa lalu tidak bisa diverifikasi dan teks tidak bisa ditafsir secara utuh karena keterbatasan akses pada teks lain dan kaitannya dengan masa lalu maka runtuhlah semua metode mencari kebenaran agama bagi saya. Saya harus mengakui ini: saya mulai bingung…dengan jalan pikiran saya sendiri. Jika metode adalah sebuah pancing dan kebenaran adalah ikan, maka saya pergi melaut dengan tangan hampa.

  4. Saya ingin mengomentari sedikit mengenai topik masaalah kenabian. Saya sependapat bahwa pencapaian kemulian didpt dgn berusaha serta dgn akhlak. Tp hrs diingat bhw kemulian itu pemberian Allah. Jd apabila kt menghendaki kemulian yg Allah janjikan mk kt hrs mengikuti petunjuk2 yg tlh Allah berikan dan dgn akhlak sesuai petunjuk Allah. Dan apabila kita laksanakan kt akan dijaga serperti Allah menjaga para nabi. Krn tdk ada nabi setelah nabi Muhammad mk kt tdk bs jd nabi hehehe

  5. Masalah Sunni-Syiah
    @SP
    ”Kau bahkan tidak pernah mempertimbangkan bahwa kebenaran bisa saja malah tidak bersama keduanya?”
    Kata saya: Ada 2 (dua) sisi pengertian kebenaran yang bisa ditafsirkan di kalimat AKU ini;
    Pertama, kebenaran dari sisi khusus dengan anggapan awal bahwa AKU dan KAU telah memiliki landasan yang sama yakni Islam adalah agama yang benar.
    Kedua, kebenaran dari sisi umum dengan mengambil kebenaran dari nilai-nilai universal, tidak dibatasi oleh agama, aliran, golongan, ras, negara, dll.
    Sisi Khusus;
    AKU ingin mengatakan: “Cobalah periksa dan pelajari aliran/pemikiran/mazhab lain selain Sunni dan Syiah. Jangan-jangan malah di luar kedua mazhab ini kebenaran Islam sesungguhnya berada.
    Berdasar anggapan awal bahwa Islam adalah agama yang benar, sejatinya kita menerima realitas bahwa terdapat berbagai macam aliran/pemikiran/mazhab dalam Islam yang masing-masing tentunya memiliki pimpinan dan pengikutnya dengan tafsiran kebenaran ajaran Islamnya masing-masing. Kemudian, setelah pelajari sana, baca sini, dengar sana-sini, ditemukanlah bahwa ternyata ‘hanya’ 2 pemikiran/mazhab yang memiliki unsur-unsur kebenaran yang diijinkan oleh Allah swt., diisyaratkan oleh Alquran dan diucapkan ataupun dicontohkan oleh Rasulullah saww. Dasar pendekatannya adalah dengan menguji dalil ‘syarat keislaman’ yang dipegang oleh seluruh aliran dalam Islam. Dalil syarat keislaman ini adalah merupakan benteng pertama yang harus dilalui oleh setiap aliran agar ia digolongkan sebagai aliran yang islami. Kita telah menyepakati bahwa syarat awal keislaman seseorang adalah dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat “Asyhadu an laa ilaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadan rasulullah”. Mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.
    Bagi aliran yang bersaksi bahwa ada Tuhan selain Allah dan atau Nabi akhir zaman bukan Muhammad Rasulullah, maka ia bukanlah dikelompokkan dalam Islam.
    Hingga kini, menurut saya, hanya aliran Sunni dan Syiah yang telah memiliki dengan jelas dalil syarat keislaman.
    Dengan demikian, mempertimbangkan (kembali) pendekatan pencarian kebenaran dalam Islam bukan melalui aliran Sunni (dengan berbagai macam mazhab/golongannya) maupun Syiah (dengan berbagai sekte-sektenya) menurut saya adalah sebuah kesia-siaan terutama apabila kita sudah mengetahui bagaimana dalil syarat keislaman diluar kedua aliran ini.
    Namun keperluan ini menjadi berbeda jika yang dimaksud AKU adalah mencari kebenaran dari sisi umum, yakni kebenaran dari nilai-nilai universal.
    Kebenaran pada sisi ini (yang bermakna pembelajaran) tentu saja bisa berada di mana saja, bahkan terlalu kecil dan sempit jika kebenaran hanya dilihat dari keberadaan aliran. Karena kebenaran dengan nila-nilai universal juga bisa ditemukan pada anak kecil, lawan, bahkan hewan sekali pun. Ngga perlu contoh lah.

    Anyway, pertanyaan AKU terkesan ‘ingin selalu mengeluarkan pertanyaan, karena premis apa pun selalu memiliki celah untuk ditanyakan’. Berbeda apabila si AKU sendiri telah memiliki jawabannya (dikutip dari truthseeker).

    Semoga bermanfaat bagi si KAU

  6. *nonton dari pinggir lapangan, takut kelindas* 😀

  7. Bagaimana seorang Nabi itu menjadi mulia jika semua yang ada pada mereka adalah keterjagaan dari Tuhan Yang Maha Esa?.

    karena penjagaan tersebut bukan terjadi dengan “menyetirnya”, tapi dengan pemberian “rasa malu” yang lebih besar.

    *mencoba iseng, ngkali aja berhadiah* :mrgreen:

  8. Jgn takut kelindas nanti nda sampai2 . Klu bs komentari buat watonist : mengenai pemberian rasa malu/wara. Benar ini sdh ada tp terutama mereka selalu diberi petunjuk. Allah akan memberikan petunjuk siapa yg dikehendaki

  9. @jahil
    tadinya saya mau menambahkan fitur “kejujuran” (terutama pada diri sendiri), tapi akhirnya saya rasa belum perlu untuk kalimat yang saya komentari.

    anyway, terima kasih usulannya 🙂

  10. Masalah Sains dan Moral
    Sinisme berikutnya dari si AKU.

    “…….Beberapa tahun kemudian Keilmuan menjadi begitu berkembang hingga obat yang kau gunakan sebelumnya memiliki efek yang parah pada pasienmu hingga menjadi cacat. Secara keilmuan engkau tidaklah salah tetapi coba tanyakan pada hatimu benarkah kalau kau ikut andil dalam membuat pasienmu menjadi cacat?

    Jawaban bagi si AKU seperti ini;
    (1) Kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Sebaliknya keburukan juga akan terbalas dengan keburukan. Jika niat kita bersih, maka Insya Allah amal yang kita lakukan akan berbuah kebaikan.
    (2) Apa yang terjadi di masa depan adalah ruang lingkup kuasa Allah swt. Di masa sekarang, manusia hanya bisa berusaha sebaik-baiknya.
    (3) Kita tidak akan pernah melakukan sesuatu dan tidak akan menghasilkan sesuatu apabila kita menghindarkan untuk melakukannya karena kita MERASA tidak memiliki keyakinan dengan apa yang kita lakukan.
    Sehingga menjadi apa pun kita, berprofesi apa pun kita, dibutuhkan keyakinan bahwa apa yang sedang kita lakukan adalah sebuah kebenaran. Lagi pula apa yang telah kita capai hingga menjadi sekarang ini adalah telah melalui proses pembelajaran-pembelajaran dan pembuktian-pembuktian hingga pada tahap dimana kita bisa memilah-milah mana kebenaran menurut kita yang bisa kita yakini dan mana ‘kebenaran’ yang bisa kita tinggalkan. Pada saat ini kebenaran yang kita yakini sudah berdasarkan hasil pembelajaran dan pembuktian-pembuktian. Kemungkinan bahwa hasil dari keyakinan akan kebenaran melahirkan ‘sesuatu yang tidak kita harapkan’ adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa menutup mata dengan ini. Namun akan terjadinya ‘sesuatu yang tidak kita harapkan’ maupun ‘sesuatu yang kita harapkan’ adalah suatu hal di luar kontrol manusia, karena ia menjadi hak prerogatif Allah swt. ‘Sesuatu yang tidak kita harapkan’ pun masih kental dengan nuansa penilaian baik-buruk, sementara kita tahu bahwa:
    Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
    Dengan demikian, pertanyaan: Apakah kita membuat andil hingga terjadinya sesuatu yang tidak kita harapkan menjadi tidak penting. Tentu saja secara syareat kita selalu memiliki andil dari hasil perbuatan kita. Tapi mencari tau apakah kita memiliki andil atau tidak dari hasil perbuatan kita lalu menjadi hal yang pokok? Menurut saya tidak. Biarkanlah ia menjadi Kehendak dari Yang Kuasa. Yang paling penting adalah mengambil pelajaran dan mencari hikmah dibalik setiap kejadian baik ia sesuai yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
    Kemudian dengan akibat seperti itu apakah kebenaran awal yang kita yakini harus kita ubah? Ya. Itu adalah sebagian dari hikmah. Allah swt telah menunjukkan kepada kita kesalahan-kesalahan dari ‘kebenaran’ yang kita yakini.
    Bukan maksudnya di sini meninggalkan profesi dokter, tetapi yang diubah adalah paham mengenai cara pengobatan dan obat-obat yang digunakan.
    Jika boleh menganalogikan profesi Dokter dengan agama Islam, paham mengenai cara pengobatan (ada ngga sih?) dengan paham/aliran/mazhab Islam dan obat yang kita anjurkan ke pasien adalah penyebaran sebagian dari aliran yang kita anut, maka suatu saat jika dengan penyebaran paham-paham yang kita anut ternyata berakibat perpecahan dan permusuhan antar umat Islam, maka kita yang merasa memiliki andil sehingga terjadinya perpecahan ini haruslah segera meninggalkan paham buruk ini dan segera menggantinya dengan paham Islam lain yang menyuruh kepada kebajikan, persaudaraan dan persatuan. Bukan Islamnya yang kita tinggalkan. Begitulah kira-kira analoginya. Mudah-mudahan ngga dimarahin sama yang punya profesi. 🙂

    Kemudian AKU mencoba memprovokasi:
    “Masalahmu adalah Engkau mulia dalam pandangan orang lain tetapi kau akan membenci dirimu sendiri. Kemuliaan yang disematkan padamu justru membuatmu bertambah jijik dengan dirimu sendiri. Kau akan sakit secara tidak sadar.”
    Ini terjadi pada orang-orang yang suka menilai dan terjebak dalam penilaian BAIK-BURUK. Dari awal apabila niatnya sudah bersih, maka segala hal yang terjadi sesudahnya ia akan bersandar dengan kehendak Allah swt.

    Semoga bermanfaat bagi si KAU
    Damai….damai

  11. @armand

    Mudah2an prasangka saya tentang “Akan terjadi Perpisahan” ini hanya karena saya yang sok tau. Dan hal ini tidak akan terjadi bukan? Setidak-tidaknya bukan ini tulisan yang terakhir dari SP kan?

    saya sudah jawab yang ini kan :mrgreen:

    Bukan masalah besar dan bahkan bukan masalah sama sekali saya kira jika pencarian atas sesuatu berdasarkan keyakinan awal yang sudah dimiliki.

    Saya juga berpikiran begitu lho, tetapi yang ia kemukakan memang menarik, lihat saja 🙂

    Tengoklah para ahli dan peneliti, bagaimana mereka menemukan premis dan pencarian mereka. Bagaimana mereka mampu menemukan teknologi pesawat terbang jika sebelumnya mereka tidak beranggapan bahwa semestinya besi yang diberi sayap mampu terbang seperti burung terbang dengan sayapnya? Bukankah mereka berkeyakinan sebelumnya bahwa ‘besi juga bisa terbang?’ Contoh spt ini SP tentu sdh mahfum.

    Saya kurang lebih sama tapi agak beda sedikit, ketika kita mau mencari kebenaran sesuatu kita bisa memulai dengan hipotesis awal. tetapi hipotesis awal ini gak mesti diyakini tetapi sebagai sebuah alternatif jawaban yang akan diuji kebenarannya dengan sebuah metode.
    Contoh Mas itu memang bisa, tetapi Mas apa yang diyakini orang tentang besi bersayap itu bisa terbang itu sama sekali tidak berpengaruh pada metode yang mereka gunakan untuk membuktikan kebenaran tersebut. Metode itu tidak memiliki ketundukan secara tidak sadar dengan hipotesis awal.
    Berbeda misalnya dengan keyakinan agama. ketika kita sudah terikat ke suatu agama tertentu. maka wilayah kritis kita tidak pernah maksimal terhadap agama kita sendiri. Waktu itu dia mencontohkan dengan berkata kau memang sangat pintar soal masalah hadis dimana kau memberikan jawaban yang menarik soal validitas hadis dengan metode sanad dan jarh wat ta’dil yang kau miliki, tapi tahukah kau metode itu sendiri memiliki cacat dan bahkan seandainya kau tetap merasa metode itu sangat baik untuk membuktikan validitas hadis, mengapa metode yang sama tidak kau hadapakan dengan Al Quran, adakah sanad Al Quran?Apakah kau akan menyebut Al Quran validitasnya lebih rendah dari hadis? kali ini kau kritis terhadap hadis tetapi tidak terhadap Al Quran
    Contoh itu yang menarik menurut saya. Hanya sedikit orang yang muslim mau bersusah payah untuk meragukan keabsahan Al Quran pada awalnya kemudian dengan itu mereka berusaha untuk membuktikan validitas Al Quran. Bersikap kritis seperti ini terkesan berbahaya tetapi itu masalah real 🙂 . Saat itu metode saya tetap mengandung muatan apologia dalam arti ada sedikit ketundukan tidak sadar kepada apa yang saya yakini. Ia benar 🙂

    Dengan demikian, fungsi dari anggapan awal ini adalah agar proses pencarian selalu terarah dan lebih sistematis, dimana pencarian (pertama) akan diarahkan ke anggapan awal. Namun sebagai catatan penting, “bahwa anggapan awal bisa saja salah, atau bahkan pada akhirnya menemukan anggapan awal yang juga tidak keliru, namun menemukan suatu kebenaran lain yang tidak disangka-sangka”

    Masalahnya Mas, apakah kita konsisten dengan metode yang kita pakai. Seandainya kita mempunyai metode tertentu. Dengan metode tersebut kita menilai apa yang kita yakini. Setelah menilai kita merasa apa yang kita yakini itu belum valid atau belum benar berdasarkan metode kita(walaupun kita belum bisa menyalahkan). disini terjadi dilema para pencari kebenaran, secara tidak sadar bisa saja dia memperlemah metode yang ia tetapkan sebelumnya dengan tujuan tidak meragukan apa yang sudah ia yakini 🙂 > yang ingin saya tekankan manusia itu cenderung tidak berani begitu saja menyalahkan apa yang telah ia yakini sebelumnya, jangankan itu memposisikannya sebagai sesuatu yang bisa salah saja begitu takutnya karena itu berarti keimanan belum sempurna

    Kata-kata SP:
    Agamamu sudah Islam sebelum kau berniat mencari Agama yang benar

    Awalnya masalah ini bukan saya yang melontarkan, tetapi yah saya memang membahasakannya 🙂

    Kata saya: Apakah mas maksudkan bahwa jika ingin mencari agama yang benar, maka orang-orang harus atheis dulu? Sehingga objektivitasnya terjamin? Ternyata kondisi ‘kosong’ seperti ini bukan syarat penting, menurut saya, yang diperlukan untuk mencari kebenaran. Hal itu hanya membedakan dalam masalah ‘apa’ yang kita cari bukan apakah kita akan mendapatkan kebenaran atau tidak?

    Saya sependapat tetapi setelah saya berpikir kembali, waktu itu saya menyadari, ia tidak membicarakan orang lain tetapi saya Mas. Ketika saya bicara soal metode saya selalu menyiratkan berdiri pada hal yang pasti benar dengan meragukan dulu segala sesuatu baru kemudian menetapkan apa yang mesti dianggap pasti benar dan setiap langkah berdasar dari hal yang pasti benar itu. Disini saya mulai menyadari bahwa saya tidak konsisiten dengan metode saya. jika memang saya konsisten maka saya harus menetapkan keadaan atau kondisi awal yang sama pada setiap keyakinan yang ada termasuk keyakinan saya 🙂

    Kemudian saya katakan, bahwa sebagai Pencari Kebenaran, BUKAN agama yang benar yang kita cari karena kita memiliki Islam, tetapi yang kita cari adalah: Apakah Islam adalah agama yang benar?Nah, dengan anggapan awal bahwa Islam adalah agama yang benar, kita melakukan pencarian (perbandingan tentunya) dengan cara-cara yang kita ingini dan kita pahami, bisa lewat tafakkur, bertanya, diskusi, membaca, dll. Yang pada akhirnya kita menemukan kebenaran bahwa Islam adalah agama yang benar.

    Ini yang saya maksud Mas, bahwa sendiri memiliki ketundukan secara tidak sadar ketika mengatakan bahwa kita memiliki islam, anggapan awal ini dalam tatanan metodologi adalah sebuah asumsi yang justru harus dibuktikan kebenarannya. Berangkat dari asumsi ini anda kemudian terus melaju mencari kebenaran.
    yang seperti inisedikit cacat kalau menurutnya dan saya bahkan menyetujuinya sekarang walaupun dulu saya menolak apa yang ia kemukakan.

    Dan bahkan dalam pencarian ini mungkin ada kebenaran baru yang kita terima, dimana ternyata bahwa hanya ada satu golongan dari Islam yang benar dan yang lainnya keliru.

    Kemungkinan fatal yang tidak terpikirkan saya saat itu adalah bagaimana kalau kebenaran itu sendiri bukan berada pada golongan2 dalam Islam tetapi justru di luar Islam. (bukan berarti saya meyakini lho, saya cuma memaparkan bahwa kemungkinan itu tidak pernah saya pikirkan karena metode saya sendiri saat itu belum sampai begitu beraninya) 🙂
    Ini Masalah Metode ya :mrgreen:

  12. @gentole
    Masalah metode juga nih

    Metode harus didasari oleh sesuatu yang dianggap atau diasumsikan benar. Ini memang kelemahan kita, manusia

    Kalau menurut saya dan begitu pula menurutnya Metode yang Unggul harus berdiri pada hal yang pasti benar 🙂

    Pada saat ketika saya menolak bahwa keyboard yang saya tekan adalah kenyataan yang benar adanya, maka runtuhlah semua metode sains bagi saya.

    Ah tidak juga kok

    Pada saat ketika saya menganggap bahwa masa lalu tidak bisa diverifikasi dan teks tidak bisa ditafsir secara utuh karena keterbatasan akses pada teks lain dan kaitannya dengan masa lalu maka runtuhlah semua metode mencari kebenaran agama bagi saya.

    Bisa iya, bisa tidak lho 🙂 ini yang menarik

    Saya harus mengakui ini: saya mulai bingung…dengan jalan pikiran saya sendiri.

    saya maklum kok kalau anda bingung, karena saya juga bingung :mrgreen:

    @jahil
    Masalah kenabian

    Saya sependapat bahwa pencapaian kemulian didpt dgn berusaha serta dgn akhlak. Tp hrs diingat bhw kemulian itu pemberian Allah. Jd apabila kt menghendaki kemulian yg Allah janjikan mk kt hrs mengikuti petunjuk2 yg tlh Allah berikan dan dgn akhlak sesuai petunjuk Allah. Dan apabila kita laksanakan kt akan dijaga serperti Allah menjaga para nabi. Krn tdk ada nabi setelah nabi Muhammad mk kt tdk bs jd nabi hehehe

    Kemuliaan itu pemberian Allah dan kemuliaan dicapai dengan usaha dan akhlak, itu dua hal yang berbeda atau samakah?
    Apakah Nabi memiliki usaha tertentu atau akhlak tertentu sehingga Ia dipilih sebagai Nabi atau justru itu adalah keputusan langsung Allah SWT?Ini masalah yang ia lontarkan Mas
    Tapi terimaksih komennya 🙂

  13. @secondprince
    Pertama hrs diyakini bahwa yg baik itu dr Allah. Dan apabila Allah mau mengangkat derajat seseorang maka Allah akan menguji dg segala macam ujian sesuai kemampuan orang tsb {Allah Maha mengetahui kemampuan org yg akan diuji}. Ujian yg kita ada hadapi itu adalah usaha dan hrs dg akhlak. Jd bukan Allah memberikan kemulian dulu. Tp Allah mempersiapkan org tsb. Nabipun demikian. Klu kita pelajari jln hidup para Nabi dr kecil sampai medpt pangkat kenabian. Mereka hidup dlm cobaan. Ada beberap nabi sampai mengeluh pd Allah. Inilah komentar saya mudah2an bs diterima.

  14. […] Aphromorfus Pangeran Pertama […]

  15. @armand
    Masalah Sunni Syiah

    Kata saya: Ada 2 (dua) sisi pengertian kebenaran yang bisa ditafsirkan di kalimat AKU ini;
    Pertama, kebenaran dari sisi khusus dengan anggapan awal bahwa AKU dan KAU telah memiliki landasan yang sama yakni Islam adalah agama yang benar.
    Kedua, kebenaran dari sisi umum dengan mengambil kebenaran dari nilai-nilai universal, tidak dibatasi oleh agama, aliran, golongan, ras, negara, dll.

    Langkah yang baik untuk memulai Mas 🙂 mari kita lihat satu-satu

    Sisi Khusus;
    AKU ingin mengatakan: “Cobalah periksa dan pelajari aliran/pemikiran/mazhab lain selain Sunni dan Syiah. Jangan-jangan malah di luar kedua mazhab ini kebenaran Islam sesungguhnya berada.

    Apa tepatnya di luar Sunni Syiah? tetapi masih dalam wilayah Islam kan 🙂

    Dasar pendekatannya adalah dengan menguji dalil ‘syarat keislaman’ yang dipegang oleh seluruh aliran dalam Islam. Dalil syarat keislaman ini adalah merupakan benteng pertama yang harus dilalui oleh setiap aliran agar ia digolongkan sebagai aliran yang islami. Kita telah menyepakati bahwa syarat awal keislaman seseorang adalah dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat “Asyhadu an laa ilaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadan rasulullah”. Mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.

    Dengan syarat ini mereka yang mengaku tidak sunni dan tidak syiah jelas adalah Islam jika mereka bersyahadat 🙂

    Dengan demikian, mempertimbangkan (kembali) pendekatan pencarian kebenaran dalam Islam bukan melalui aliran Sunni (dengan berbagai macam mazhab/golongannya) maupun Syiah (dengan berbagai sekte-sektenya) menurut saya adalah sebuah kesia-siaan terutama apabila kita sudah mengetahui bagaimana dalil syarat keislaman diluar kedua aliran ini.

    Saya juga berpendapat seperti itu, tetapi yang dimaksudkan nya itu adalah sikap kita yang berujung pada polaritas Sunni dan Syiah. Realitanya justru banyak orang yang malah tidak mengaku Sunni dan Syiah. Polaritas tersebut berkesan bahwa kebenaran itu berada pada salah satu aliran Sunni atau Syiah. Padahal sebagai suatu aliran yang berkembang cukup lama tidak bisa langsung pasti dinyatakan sama dengan bagaimana Islam pada awalnya 🙂

    Namun keperluan ini menjadi berbeda jika yang dimaksud AKU adalah mencari kebenaran dari sisi umum, yakni kebenaran dari nilai-nilai universal.
    Kebenaran pada sisi ini (yang bermakna pembelajaran) tentu saja bisa berada di mana saja, bahkan terlalu kecil dan sempit jika kebenaran hanya dilihat dari keberadaan aliran. Karena kebenaran dengan nila-nilai universal juga bisa ditemukan pada anak kecil, lawan, bahkan hewan sekali pun. Ngga perlu contoh lah.

    Yang ini sih, Saya dan Dia sepakat dengan Mas 🙂

    Anyway, pertanyaan AKU terkesan ‘ingin selalu mengeluarkan pertanyaan, karena premis apa pun selalu memiliki celah untuk ditanyakan’. Berbeda apabila si AKU sendiri telah memiliki jawabannya (dikutip dari truthseeker).

    Tapi Mas, dia memang punya jawabannya lho dan diluar dugaan sangat sederhana. Bukan berarti saya setuju, hanya saja sangat menarik kalau menurut saya 🙂
    terkesan Sinisme tetapi menurut saya muatannya memancing Rasionalisme yang tinggi
    Kalau menurut persepsi saya, apa yang dituju oleh Dia itu adalah kecenderungan saya yang terpolarisasi dalam melihat Islam yaitu Sunni dan Syiah. Ketika saya mempelajari keduanya saya beranggapan bahwa Islam yang benar kalau nggak Sunni ya Syiah atau sebaliknya kalau nggak Syiah ya Sunni. Ini yang Beliau kritik, bisa jadi Islam yang sebenarnya malah nggak sama persis dengan keduanya, bisa jadi islam Sunni dan Islam Syiah adalah Islam yang sama-sama terdistorsi walaupun berbeda kualitas dan kuantitas distorsinya. Menurut Beliau tidak menutup kemungkinan bahwa islam sunni dan Islam Syiah adalah akumulasi formulasi para ulama terhadap ajaran Islam yang berbeda dengan Islam yang dibwa Rasulullah SAW. Saya sederhanakan mungkin Islam yang sebenarnya itu terpisah-pisah. Pisahan-pisahan itu bisa saja tercecer sebagian dalam Sunni dan sebagian lainnya tercecer pada Syiah. Menurutnya polaritas yang menunjukkan bahwa hanya salah satu yang benar yaitu Sunni saja atau Syiah saja bisa memberikan kemungkinan bahwa Islam yang dihasilkan bersifat parsial atau tidak utuh sama dengan islam yang dibawa Rasulullah SAW. Sekali lagi saya hanya memaparkan apa sebenarnya maksud yang Beliau sampaikan 🙂

    Semoga bermanfaat bagi si KAU

    Terimakasih banyak ya 🙂

  16. @watonist
    silakan dan hati-hati ya 🙂

    karena penjagaan tersebut bukan terjadi dengan “menyetirnya”, tapi dengan pemberian “rasa malu” yang lebih besar.

    wah saya baru dengar lho yang ini, ok saya pikirkan 🙂

    @jahil

    Jgn takut kelindas nanti nda sampai2 . Klu bs komentari buat watonist : mengenai pemberian rasa malu/wara. Benar ini sdh ada tp terutama mereka selalu diberi petunjuk. Allah akan memberikan petunjuk siapa yg dikehendaki

    Nah kalau soal pemberian petunjuk, ini jelas sekali menurut saya.

    @watonist

    tadinya saya mau menambahkan fitur “kejujuran” (terutama pada diri sendiri), tapi akhirnya saya rasa belum perlu untuk kalimat yang saya komentari.

    walaupun bukan ditujukan pada saya, saya ingin sekali mengerti maksudnya apa ya, berkaitan dengan kejujuran?
    bisakah dijelaskan, jika Mas berkenan 🙂
    Salam

  17. @armand
    Masalah Sains dan Moral

    (1) Kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Sebaliknya keburukan juga akan terbalas dengan keburukan. Jika niat kita bersih, maka Insya Allah amal yang kita lakukan akan berbuah kebaikan.

    saya sependapat dengan ini 🙂

    (2) Apa yang terjadi di masa depan adalah ruang lingkup kuasa Allah swt. Di masa sekarang, manusia hanya bisa berusaha sebaik-baiknya.

    benar sekali Mas

    (3) Kita tidak akan pernah melakukan sesuatu dan tidak akan menghasilkan sesuatu apabila kita menghindarkan untuk melakukannya karena kita MERASA tidak memiliki keyakinan dengan apa yang kita lakukan.

    Siip tapi perlu ditambahkan ada lho yang nggak yakin tapi tetap aja melakukannya :mrgreen:

    Sehingga menjadi apa pun kita, berprofesi apa pun kita, dibutuhkan keyakinan bahwa apa yang sedang kita lakukan adalah sebuah kebenaran. Lagi pula apa yang telah kita capai hingga menjadi sekarang ini adalah telah melalui proses pembelajaran-pembelajaran dan pembuktian-pembuktian hingga pada tahap dimana kita bisa memilah-milah mana kebenaran menurut kita yang bisa kita yakini dan mana ‘kebenaran’ yang bisa kita tinggalkan.

    *manggut-manggut sampai tersantuk*

    Pada saat ini kebenaran yang kita yakini sudah berdasarkan hasil pembelajaran dan pembuktian-pembuktian. Kemungkinan bahwa hasil dari keyakinan akan kebenaran melahirkan ‘sesuatu yang tidak kita harapkan’ adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa menutup mata dengan ini. Namun akan terjadinya ‘sesuatu yang tidak kita harapkan’ maupun ‘sesuatu yang kita harapkan’ adalah suatu hal di luar kontrol manusia, karena ia menjadi hak prerogatif Allah swt.

    seeetuuju :mrgreen:

    ‘Sesuatu yang tidak kita harapkan’ pun masih kental dengan nuansa penilaian baik-buruk, sementara kita tahu bahwa:
    Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

    yap bisa, bisa 🙂

    Dengan demikian, pertanyaan: Apakah kita membuat andil hingga terjadinya sesuatu yang tidak kita harapkan menjadi tidak penting. Tentu saja secara syareat kita selalu memiliki andil dari hasil perbuatan kita. Tapi mencari tau apakah kita memiliki andil atau tidak dari hasil perbuatan kita lalu menjadi hal yang pokok? Menurut saya tidak.

    ah disini mulai beda, kita tetap memiliki andil walaupun sesuatu itu pada akhirnya bukan tujuan atau maksud kita. sama seperti jika ada kecelakaan, seseorang menabrak seorang anak kecil. Hal ini jelas bukan tujuan atau maksudnya tapi, anak kecil itu sakit parah, cacat atau meninggal. Bukankah seseorang itu ikut andil dalam menyebabkan anak kecil itu sakit, cacat atau mati. sederhananya begitu, walaupun ia tidak sengaja tetap saja prinsp sebab akibat itu berlaku 🙂

    Biarkanlah ia menjadi Kehendak dari Yang Kuasa. Yang paling penting adalah mengambil pelajaran dan mencari hikmah dibalik setiap kejadian baik ia sesuai yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

    Hikmah memang bisa diambil dari mana saja

    Kemudian dengan akibat seperti itu apakah kebenaran awal yang kita yakini harus kita ubah? Ya. Itu adalah sebagian dari hikmah. Allah swt telah menunjukkan kepada kita kesalahan-kesalahan dari ‘kebenaran’ yang kita yakini.

    wah saya suka dengan yang ini 🙂

    Bukan maksudnya di sini meninggalkan profesi dokter, tetapi yang diubah adalah paham mengenai cara pengobatan dan obat-obat yang digunakan.

    Ini cukup jelas kok 😀

    Jika boleh menganalogikan profesi Dokter dengan agama Islam, paham mengenai cara pengobatan (ada ngga sih?) dengan paham/aliran/mazhab Islam dan obat yang kita anjurkan ke pasien adalah penyebaran sebagian dari aliran yang kita anut, maka suatu saat jika dengan penyebaran paham-paham yang kita anut ternyata berakibat perpecahan dan permusuhan antar umat Islam, maka kita yang merasa memiliki andil sehingga terjadinya perpecahan ini haruslah segera meninggalkan paham buruk ini dan segera menggantinya dengan paham Islam lain yang menyuruh kepada kebajikan, persaudaraan dan persatuan. Bukan Islamnya yang kita tinggalkan. Begitulah kira-kira analoginya. Mudah-mudahan ngga dimarahin sama yang punya profesi. 🙂

    Sebenarnya analogi ini bisa, tetapi sedikit beda dengan masalah yang dilontarkan. Dalam Masalah yang dilontarkan Dia itu aspek sebab akibatnya lebih jelas dalam arti itu berefek langsung. Dokter memberi obat, pasien memakannya dan hasilnya pasien mengalami cacat. Disini dokter adalah penyebab langsung. Kemudian disini pasien tidak memiliki potensi untuk ikut andil, ia hanya bisa menerima apa yang dikatakan dokternya.
    Analogi Mas soal mahzab atau pemikiran yang kita sebarkan dan ternyata mengakibatkan perpecahan mahzab. Itu kalau menurut saya tidak bersifat langsung dan disini manusia yang menerima apa yang kita sebarkan memiliki potensi untuk menilai, menimbang, menganalisis dan menolak. Disini mereka bisa bersikap aktif atau pasif .

    Kemudian AKU mencoba memprovokasi:
    “Masalahmu adalah Engkau mulia dalam pandangan orang lain tetapi kau akan membenci dirimu sendiri. Kemuliaan yang disematkan padamu justru membuatmu bertambah jijik dengan dirimu sendiri. Kau akan sakit secara tidak sadar.”
    Ini terjadi pada orang-orang yang suka menilai dan terjebak dalam penilaian BAIK-BURUK. Dari awal apabila niatnya sudah bersih, maka segala hal yang terjadi sesudahnya ia akan bersandar dengan kehendak Allah swt.

    Provokasi 😆
    wah bahasanya, tetapi anda benar saya suka membuat penilaian baik dan buruk. Sayangnya saya pribadi tidak menganggap bahwa semua perbuatan yang dilandasi niat baik itu adalah perbuatan baik. Itu berarti hanya menilai satu aspek saja padahal ada aspek lain yang berperan (sudah baca kan :mrgreen: ). jadi dalam hal ini apa yang Dia sampaikan itu memang cukup bermasalah bagi saya yang memang memiliki pandangan tersendiri soal baik dan buruk.

    Begini Mas, pada intinya pandangan anda itu benar, saya tidak menafikan itu .Tetapi dalam kehidupan nyata, Kita adalah manusia yang merasa bukan sekedar manusia yang seharusnya begitu. jadi saya pernah beranggapan seperti yang mas uraikan panjang lebar tetapi setelah saya melakukan tinjauan ulang saya pikir saya melupakan aspek lain bahwa manusia itu punya perasaan yang khas. walaupun secara teoretis dokter itu tidak bersalah tetapi sebagai manusia yang melihat dirinya, ia memiliki rasa khas tersendiri, rasa tidak enak walaupun secara rasio ia melakukan hal yang benar dalam pandangannya. Perasaan unik ini adalah sesuatu yang real.
    Seandainya anak kecil yang ditabrak itu mati atau cacat(merujuk ke contoh saya sebelumnya) tentu hal ini akan merubah hidupnya. Setidaknya ia merasa hidupnya benar-benar berbeda setelah kecelakaan itu. Rasa bersalah itu tetap melekat pada dirinya.
    Begitu juga jika pasien yang diobati itu mati atau cacat, maka sang dokter(tergantung orangnya juga) akan diliputi perasaan bersalah dan kompleks rendah diri yang tidak beralasan tetapi ada.
    Apalagi Saya memiliki pandangan tersendiri soal baik dan buruk. Niat saja tidak cukup untuk berbuat baik apalagi jika hasilnya ternyata adalah penderitaan berkepanjangan dari orang lain, bukankah kecacatan itu begitu mengerikan secara fisik,psikis dan sosial. atau bukankah kematian itu begitu mengerikan bagi mereka yang sangat menyayangi orang yang mati tersebut. Ini akhirnya jadi masalah juga setelah saya pikirkan lagi 🙂

    Semoga bermanfaat bagi si KAU
    Damai….damai

    Komentar Mas sangat bermanfaat buat saya
    Terimakasih banyak
    saya harap semoga jawaban saya ini bukan dianggap debat kusir atau kemauan saya yang tidak mau kalah, atau kesukaan tersndiri untuk mengkritik setiap jawaban orang lain. Saya memang ingin belajar banyak dari orang lain , karena sejujurnya saya sendiri belum menemukan pemecahan yang memuaskan 🙂
    Salam

  18. @secondprince
    sedikit ralat, yang didalam kurung harusnya berbunyi “terutama kejujuran pada diri sendiri”, maaf kalau terjadi mispersepsi.

    kejujuran, ini yang saya sebut sebagai bersuci/menyucikan diri dalam komentar saya sebelumnya di blog ini.
    pemahaman lain mungkin menyebutnya sebagai kondisi kosong/mengosongkan diri.
    islam mengistilahkan sebagai nafs al-mutmainnah, jiwa yang tenang atau juga jiwa yang siap menerima hidayah.
    saya, mengistilahkannya sebagai semangat mau belajar :mrgreen:
    kira-kira seperti itulah 😀

  19. .

  20. @SP

    Masalah Sains dan Moral

    Sinisme berikutnya dari si AKU

    Mohon maaf

    Kemudian AKU mencoba memprovokasi

    Mohon maaf lagi

  21. @watonist
    begitu ya, terimaksih penjelasannya 🙂

    @aburahat
    . 🙂

    @armand
    gapapa Mas, lagian itu kan bukan saya 🙂

  22. Setelah melalui proses pertimbangan yg lama, akhirnya saya memberanikan diri mengomentari tulisan ini, Maaf akan sedikit panjang.
    Dari awal (diskusi dg arman) sy sdh menganalisa statement2 dr 1st prince (FP).
    1. FP angat cerdas.
    2. SP jg cerdas.
    3. FP sangat mengenali kelemahan SP (manusia umunya).
    4. SP sering terjebak pd kegemarannya akan kerumitan shg kdg tdk realistis bhw yg sdg dilakukan tdk berujung..:mrgreen:
    5. FP bisa jd sdg “mempermainkan /bercanda dg” SP ataukah mmg itu karakter beliau..:)
    Mari kita menuju pd analisa knp muncul ke 5 summary tsb (walaupun bs lebih banyak lg).
    Absurd 1:

    Agamamu sudah Islam sebelum kau berniat mencari Agama yang benar. Tahukah kau bahwa Secara tidak sadar Metodemu memiliki ketundukan secara tidak sadar dengan Apa yang telah engkau yakini.

    Jika begitu maka sm saja bhw tdk ada seorg pun yg bisa mempunyai metode utk mencari kebenaran. Apakah FP menawarkan cara yg lain yaitu dg mengetahui segala pemikiran? Pertanyaannya adalah apakah ada yg bs disebut mengetahui segalanya?. Lagi2 absurd.
    Kebenaran bisa dicari dg macam cara, namun syarat yg terpenting adalah sudahkah kita memiliki syarat2 bhw sesuatu itu benar. Inilah yg seharusnya terlebih dahulu kt tentukan (bisa2 FP bilang bhw:”bukankah syarat2 itupun msh bs diperdebatkan?”).

    Absurd 2:
    Pertanyaan yg tdk pernah akan ada jawabannya (jalan keluar) adalah absurd.

    Absurd 3:

    Bagaimana seorang Nabi itu menjadi mulia jika semua yang ada pada mereka adalah keterjagaan dari Tuhan Yang Maha Esa?.

    Keterjagaan oleh Allah (bisa saja) adalah akibat bukan sebab. Dikarenakan usaha dan akhlak mrk maka Allah menaikkan lagi derajat mrk shg terjaga.
    Jika kt asumsikan benar yg dikatakan FP maka tdk akan pernah ada kemuliaan, bukankah itu absurd ke 3?

    Kebenaran 1::

    Tahukah kau kekeliruanmu adalah Kau bahkan tidak pernah mempertimbangkan bahwa kebenaran bisa saja malah tidak bersama keduanya?.

    Agreeee..!!!
    Namun bukan berarti jika ada kebenaran diluar keduanya, maka keduanya totally wrong. Kita hidup dalam dunia yg mengenal relatif, jd mgkn sunni relatif lbh benar dr syi’ah ataupun sebaliknya.

    (bersambung)

  23. (sambungan)

    Spekulasi,absurditas (4) dan Kebenaran bercampur

    Rasanya tidak berlebihan kalau aku menilai itu karya pemikiranmu yang terbesar.

    Setuju..!!!

    Itu hanyalah sekedar Pandanganmu yang berlebihan dan kupikir kau hanya mengulangi apa yang dikatakan Muhammad Baqir dan Ali Syari’ati.

    spekulatif..!!

    Kita belajar dari sejarah agar kita tidak mengulangi kesalahan umat-umat terdahulu, bukan untuk meramalkan bagaimana jalannya Sejarah kehidupan.

    pembatasan yg tanpa dasar, siapa yg bisa mengklaim bhw rekonstruksi sejarah tdk bs bermanfaat utk memperkirakan masa depan?, bukankah sifat manusia secara umum adalah tdk pernah berubah?, dan sejarah adalah kumpulan/rangkaian peristiwa, dan peristiwa2 adalah hasil dr perilaku, pilihan2 dan keputusan manusia, sedangkan perilaku, keputusan2 dan pilihan manusia sangat bergantung pd sifat/karakter

    Sejarah yang ingin kau ramalkan itu adalah Kehidupan Masa Depan yang Semuanya adalah Kuasa Tuhan.

    Jika yg dimksd adalah detail sejarah yg akan diramalkan, mmg manusia tdk kuasa meramalkannya. Namun tentunya bkn itu yg dimksd oleh SP, yg diinginkan/dituju oleh SP adalah memperkirakan masa depan. Allah telah memberikan kita cukup data dan kemampuan analisa utk dpt memperkirakan masa depan. Dr “mikro” sejarah (reaksi manusia thd sesuatu) hingga “makro” sejarah (ujung dr suatu jenis pemerintahan). I don’t want go to detail on this.

    Bagaimana kau bisa belajar dari Manusia tentang Apa yang Tuhan Pikirkan?.

    Statement yg benar namun absurd jika dihubungkan dg topik. Apakah sejarah adalah hasil2 pikiran Tuhan ttg masa depan?. Apakah kt akan berdiskusi ttg kehendak bebas?. Bagi saya sejarah adalah hasil kreasi manusia dalam menjalankan kehidupan yg tentunya dibatasi oleh hukum2 Tuhan. Jadi jk sejarah adalah hasil pikiran Tuhan mk manusia tdk memiliki peran dg kata lain “just a robot”.

    Kebenaran, Absurditas(5) dan Brainwashing:

    Padahal kemuliaan adalah sesuatu yang melekat pada manusia dan bukan pada simbol-simbol tertentu.

    kebenaran …agreee..!!

    Secara keilmuan engkau tidaklah salah tetapi coba tanyakan pada hatimu benarkah kalau kau ikut andil dalam membuat pasienmu menjadi cacat?.

    absurd(5). Nilai kemuliaan seseorg dlm perbuatan bukanlah pd hasil, namun pd niat dan usaha yg dilakukan. Usaha yg dilakukan akan bergantung pd kemampuan/ilmu. Saya pun bs memberi cth: jk SPdi hutan yg sepi melihat seorg anak tergantung di ketinggian puluhan meter, moral SP meminta dia membantu. SP menaiki tempat tsb dg resiko tinggi, dan melihat sang anak sdh kehabisan tenaga bergelayutan. Akhirnya SP mengulurkan tangan utk membantu. Namun krn SP bkn seorg atlit dg tangan yg kokoh akhirnya SP pun kehabisan tenaga, dan si anak jatuh dan tewas. Tdk diragukan yg dilakukan SP adalah suatu yg mulia namun kemampuan membatasi usaha SP utk menyelamatkan sang anak. Apakah SP akan trauma stress dsb tdklah menghilangkan kemulian moral SP.

    Masalahmu adalah Engkau mulia dalam pandangan orang lain tetapi kau akan membenci dirimu sendiri.

    brainwashing(1)…:mrgreen:

    Kemuliaan yang disematkan padamu justru membuatmu bertambah jijik dengan dirimu sendiri. Kau akan sakit secara tidak sadar.

    brainwashing(2)…:mrgreen:

    Sebenarnya pada saat itu saya sudah memberikan jawaban-jawaban yang hanya membuatnya tersenyum seadanya.

    absurd(6)

    Masalah ini adalah hadiah perpisahan yang begitu menarik dari seorang Teman Baik Yang Tidak Begitu Saya Sukai.

    1. FP angat cerdas.
    2. SP jg cerdas.
    3. FP sangat mengenali kelemahan SP (manusia umunya).
    4. SP sering terjebak pd kegemarannya akan kerumitan shg kdg tdk realistis bhw yg sdg dilakukan tdk berujung..:mrgreen:
    5. FP bisa jd sdg “mempermainkan /bercanda dg” SP ataukah mmg itu karakter beliau..:)

    Yang menurut Manusia satu itu adalah Masalah yang bahkan bisa diselesaikan oleh manusia berpikiran sederhana sekalipun.

    absurd(7)…:mrgreen:

    damai..damai….*sambil ingat arman*

Tinggalkan komentar