Toleransi Netral dan Toleransi Positif

Toleransi Netral dan Toleransi Positif

Keberagaman adalah fakta dalam kehidupan yang tidak dapat disangkal. Daripada memboroskan energi untuk membanggakan diri lebih baik kita mengembangkan sikap toleransi yang baik demi keutuhan sosial. Camkanlah bahwa tidak ada gunanya menonjolkan diri atau golongan di tengah keberagaman. Hal ini hanya akan menularkan penonjolan yang sama dari diri yang lain atau golongan yang lain. Begitulah akhirnya kehidupan sosial akan diwarnai oleh kompetisi penonjolan diri atau golongan masing-masing. Kompetisi yang maaf rentan sekali menimbulkan sikap tidak baik seperti perang dingin dan bentrokan fisik.

Adakah itu yang kita inginkan? Mari kita sama-sama merendahkan hati, siap fanatik dalam hati dan bertoleransi secara sosial. Walaupun ada yang mungkin berkata ”ujung-ujungnya adalah suatu kemunafikan”, jangan dihiraukan, Tuhan lebih tahu apa yang ada dalam hati kita, biarkan saja mereka teriak munafik yang penting ini semua demi keutuhan sosial.

Berbeda sekali lagi adalah wajar. Setiap orang punya hak untuk mandiri sama seperti halnya mereka juga punya hak untuk memperbudak diri. Tidak mau berdikusi tidak apa-apa. Urus saja urusan masing-masing, biarlah kami seperti ini dan anda seperti anda, tidak perlu mengganggu satu sama lain dan tidak perlu menghina satu sama lain, biarkan saja. Begitulah Toleransi yang netral , silakan-silakan ini juga salah satu bentuk Toleransi.

Kebenaran bukanlah barang mewah yang membuat orang menjadi rendah jika tidak memilikinya. Kebenaran tidaklah pantas dipasung untuk menonjolkan diri dan golongan. Kebenaran adalah hak bagi setiap orang dan setiap orang wajib berusaha untuk mendapatkannya. Bagi mereka yang mau, Mari berdiskusi dengan baik dengan aturan yang kita sepakati dan jika akhirnya kita tidak sependapat maka cukuplah mengatakan ”Apa yang ada pada kami adalah baik bagi kami dan silakan anda berpegang pada pendirian anda”. Alangkah indahnya Toleransi positif seperti ini. Mari kita sama-sama berjalan, sungguh perjalanan ini sangat panjang, terlalu panjang untuk membuang waktu dengan melecehkan sesama para pejalan.

Mari kita juga sama-sama merendahkan hati untuk menerima orang lain. Jangan menghinakan diri dengan menolak kebenaran hanya demi menjaga harga diri. Lihatlah dengan baik, kebenaran tetaplah kebenaran walaupun ia keluar dari mulut orang yang anda cap sesat. Wahai para pemuja kebenaran apa salahnya jika dia membaca Al Quran, Injil, Weda, Upanishad, Tripitaka dan Avesta. Apa salahnya jika ia mengagumi Muhammad, Yesus, Krisna, dan Sidarta. Apa salahnya jika ia belajar dari, Ali Sang Imam, Abu Dzar, Rumi, Bunda Teresa, Iqbal, Edison, dan Pasteur. Kebenaran bisa diambil dari mana saja wahai para pemuja kebenaran. Mari bersikap positif, kita terima kebenaran itu, buanglah jauh-jauh harga diri yang sia-sia. Hargai kebenaran dari mana saja Ia berasal.

19 Tanggapan

  1. yup! kita harus toleransi. saling menghargai satu sama lain. herannya, masih banyak orang yang saling menjatuhkan. tampaknya seperti sudah mendarah daging di kehidupan. 🙄

  2. @ cK
    “sudah mendarah daging”
    wah bahasanya, kalau gitu mah nggak bisa diubah atuh
    untung seperti ya

  3. setuju 😀
    seperti biasa khas anda sekali

  4. @ Mirza
    khas saya
    wah anda terlalu cepat menilai
    saya tidak berkhas khas Mas 😀

  5. Betul, kita harus menghargai orang yang berbuat baik, mengetahui kewajiban dan haknya.
    Tokoh dalam dongeng pun harus dihargai misalnya cinderela, peter pan, judge bao, spiderman, wong fei hung, joko kendil, dll.
    Di luar itu kita juga harus perhatikan lingkungan. Jangan buang atau bakar sampah sembarangan, jangan jualan di trotoar karena bukan hak kita, budayakan antri terutama di jalan raya. Yang utama: jangan menipu, jangan mencuri, jangan merampas hak orang lain.

  6. Tulisan anda bernuansa “Kebenaran bisa diambil dari mana saja”
    dan saya lihat itu khas sekali dalam tulisan-tulisan anda
    Pluralisme Yang Positif

  7. saya cuma meradang kalau diserang, kekekeke!

  8. maka bertoleransilah kita

  9. @ Tomo
    eh peterpan itu ada lho dalam dunia nyata 😀

    ya Mas saya setuju
    *manggut-manggut*

    @ Almirza
    Toleransi yang positif bukan pluralisme yang positif 😀

    @ Mas Joe
    kasih antiradang Mas 😆

    @ Aswad
    Yap mari, mari

  10. permasalahannya terletak pada anggapan kepemilikan mutlak kita akan kebenaran ditengah dilema relativitas pandangan kita.

  11. @SP
    Nyari2 apa yg bisa dikomentari..hehe:
    [quote]Urus saja urusan masing-masing, biarlah kami seperti ini dan anda seperti anda, tidak perlu mengganggu satu sama lain dan tidak perlu menghina satu sama lain[/quote]

    Tidak perlu (boleh??) mengganggu/menghina satu sama lain mmg harus jd prinsip kita semua. => tdk perlu kurang tegas mas SP terlalu play safe..
    “urus saja urusan masing2,: koq kayak yg nafsi2 yaa..gak boleh mas SP kt menghilangkan sense of kepedulian. Mungkin mksdnya “jgn ngurusin urusan yg bukan urusan kita”. Misal :
    1. saya lg nyuri trus mas SP yg kebetulan lewat/ngeliat mau ngelaporin/nangkep saya, trus saya bilang mas SP urus aja urusan mu jgn ganggu saya, mas SP jawab oiyya..yaa bener jg, n ngomong ati2 ya nyurinya jgn sampe ketauan..hehe..
    2. saya lg kesulitan ban mobil pecah kebetulan mas SP lewat, trus mas SP gak peduli krn mas SP gak mau ikutan urusan org lain..(pengen cengengesan kyk mr:green).

    “biarlah kami spt ini, anda spt anda”.
    Wahh gmn donk kl kalimat ini suatu kebenaran, trus Rasulullah kl dijawabin gitu ama kaum kafir Quraish, kudu mundur teratur?. hehe, ngerti sihh mksd mas SP, tp ati2 kalimatnya. Menyampaikan kebenaran wajib, selama tdk memaksa org lain utk menerima kebenaran kita (pastinya dg cara yg santun).
    1. Kebebasan berfikir (ada aturan utk diri sendiri).
    2. Kebebasan berpendapat (ada aturan thd org lain).
    3. Jgn disambung dg kebebasan memaksa dan memaki.

    Ini dulu aja ahh..mo gawe dulu.

  12. @truthseeker1964
    menarik juga kasus yang sampeyan ungkapkan …

    *lihat-lihat dulu tuan rumahnya mau jawab apa* 😀

  13. @watonist

    permasalahannya terletak pada anggapan kepemilikan mutlak kita akan kebenaran ditengah dilema relativitas pandangan kita.

    Nggak jadi masalah kalau kita saling menghargai pandangan masing-masing, atau ada alternatif lain yaitu hormatilah orangnya walaupun benci dengan apa yang ia yakini

    @truthseeker1964

    “urus saja urusan masing2,: koq kayak yg nafsi2 yaa..gak boleh mas SP kt menghilangkan sense of kepedulian. Mungkin mksdnya “jgn ngurusin urusan yg bukan urusan kita”.

    kata-kata saya itu lebih pada suatu pandangan atau keyakinan. Ada orang-orang yang berprinsip terserah orang mau meyakini apa atau mau berpikir sebrengsek apa, asalkan ia tidak merugikan siapa-siapa, makanya sebelumnya saya bilang

    Berbeda sekali lagi adalah wajar. Setiap orang punya hak untuk mandiri sama seperti halnya mereka juga punya hak untuk memperbudak diri. Tidak mau berdikusi tidak apa-apa. Urus saja urusan masing-masing, biarlah kami seperti ini dan anda seperti anda, tidak perlu mengganggu satu sama lain dan tidak perlu menghina satu sama lain,

    Ada kok tipe orang yang nggak mau diskusi yang begituan, baginya itu sih urusan pribadi yang tidak layak diumbar-umbar

    saya lg nyuri trus mas SP yg kebetulan lewat/ngeliat mau ngelaporin/nangkep saya, trus saya bilang mas SP urus aja urusan mu jgn ganggu saya, mas SP jawab oiyya..yaa bener jg, n ngomong ati2 ya nyurinya jgn sampe ketauan..hehe..

    Bukannya melaporkan dan menangkap pencuri itu urusan setiap orang Mas 🙂
    Lagipula walaupun saya tidak melapor, anda sudah pasti ditangkap. Truthseeker biasanya cuma pinter mikir tetapi lamban kalau bekerja :mrgreen:
    *siap-siap digampar*

    saya lg kesulitan ban mobil pecah kebetulan mas SP lewat, trus mas SP gak peduli krn mas SP gak mau ikutan urusan org lain

    Seandainya itu benar-benar terjadi, saya tidak keberatan untuk tidak peduli. Ah Mas terlalu menilai tinggi saya :mrgreen:
    *digampar dua kali*

    hehe, ngerti sihh mksd mas SP, tp ati2 kalimatnya. Menyampaikan kebenaran wajib, selama tdk memaksa org lain utk menerima kebenaran kita (pastinya dg cara yg santun).
    1. Kebebasan berfikir (ada aturan utk diri sendiri).
    2. Kebebasan berpendapat (ada aturan thd org lain).
    3. Jgn disambung dg kebebasan memaksa dan memaki.

    Ini dulu aja ahh..mo gawe dulu.

    Terimakasih, dan ya saya sangat setuju dengan ini
    Selamat bekerja, apa Mas org Palembang ya?
    Salam

    @watonist
    lumayan menarik :mrgreen:

    *udah saya jawab kok, ada tanggapan?*

  14. @secondprince
    emm ada …, ee … anu … ini … *manggut-manggut bingung* :mrgreen:

    *mikir*

  15. @watonist
    *ikutan bingung*

  16. hehehe … lah ngapain ikutan bingung, sampeyan kan sudah menjawab dengan jitu *meski saya sebagai pemuja kesederhanaan mungkin merasa kurang puas* :mrgreen:

    saya coba ambil satu contoh diatas, masalah pencuri
    bagaimanakah jika pencuri tersebut adalah seekor ayam yang mencuri makanan tetangga ayamnya, apa yang kita lakukan ?? menangkap ?? memukulinya ?? melaporkannya ke polisi ?? atau apa ??
    lantas kenapa sikap kita jadi berbeda ?? standar gandakah ??
    mungkin ada yang menjawab, “mas, ayam tidak mengenal kepemilikan, jadi tentu saja tidak ada yang namanya pencurian”.
    emm .. yups, that’s it. meskipun kurang pas karena toh seekor ayampun masih akan marah jika anaknya diganggu 🙂
    jadi permasalahannya terletak pada cara kita memposisikan konteks permasalahan.

    ada permasalahan-permasalahan yang kita sepakati (baik secara tertulis maupun sebagai batasan moral) sebagai urusan bersama, ada juga urusan yang kita sepakati sebagai urusan pribadi.

    kembali ke masalah keyakinan, jadi apakah kita meletakkannya dalam konteks urusan bersama ?! ataukah kita meletakkannya dalam konteks urusan pribadi ?!

    kalau memang mau disepakati sebagai urusan bersama, mungkin nantinya kita bersama perlu bikin suatu Badan Regulasi Urusan Keyakinan (BRUK) *becanda* :mrgreen:

  17. @watonist

    hehehe … lah ngapain ikutan bingung, sampeyan kan sudah menjawab dengan jitu *meski saya sebagai pemuja kesederhanaan mungkin merasa kurang puas*

    saya bingung jika sampean jadi bingung :mrgreen:
    kesederhanaan memang selalu menarik 🙂

    saya coba ambil satu contoh diatas, masalah pencuri
    bagaimanakah jika pencuri tersebut adalah seekor ayam yang mencuri makanan tetangga ayamnya, apa yang kita lakukan ?? menangkap ?? memukulinya ?? melaporkannya ke polisi ?? atau apa ??

    Ndaklah Mas, gak mungkin saya laporkan, ntar saya dikira kenapa gitu :mrgreen:

    lantas kenapa sikap kita jadi berbeda ?? standar gandakah ??
    mungkin ada yang menjawab, “mas, ayam tidak mengenal kepemilikan, jadi tentu saja tidak ada yang namanya pencurian”.

    Kalau menurut saya bukan satndar ganda sih, cuma tidak tepat penempatannya 🙂

    emm .. yups, that’s it. meskipun kurang pas karena toh seekor ayampun masih akan marah jika anaknya diganggu 🙂

    Mungkin saja dalam dunia perayaman, ada aturan tersendiri :mrgreen:

    jadi permasalahannya terletak pada cara kita memposisikan konteks permasalahan.

    Ah ya benar sekali, ini memang sangat penting

    ada permasalahan-permasalahan yang kita sepakati (baik secara tertulis maupun sebagai batasan moral) sebagai urusan bersama, ada juga urusan yang kita sepakati sebagai urusan pribadi.

    Setuju 🙂
    Yang menjadi masalah adalah akan ada saja yang berbeda pandangan soal yang mana urusan bersama dan yang mana urusan pribadi.

    kembali ke masalah keyakinan, jadi apakah kita meletakkannya dalam konteks urusan bersama ?! ataukah kita meletakkannya dalam konteks urusan pribadi ?!

    Kalau menurut saya itu urusan pribadi Mas 🙂

    kalau memang mau disepakati sebagai urusan bersama, mungkin nantinya kita bersama perlu bikin suatu Badan Regulasi Urusan Keyakinan (BRUK)

    😆 ,nggaklah bisa repot ntar 🙂

    Salam

  18. Yang menjadi masalah adalah akan ada saja yang berbeda pandangan soal yang mana urusan bersama dan yang mana urusan pribadi.

    nah … di sisi Tuhan sudah mewanti-wanti (berpesan) “jangan mengikuti sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentangnya”.
    tapi tentu saja pesen itu cuman bagi yang mau, bagi yang ndak mau ya ndak apa-apa, silakan saja untuk selalu hidup dalam penjara prasangka yang dibikin sendiri, fair kan … menanam ya memang akan menuai.

    artinya apa dalam pembahasan ini,” ya kalau nggak bisa mengukur … jangan menilai, katanya kita ini beriman sama hal ghaib, kok masih aja ndak percaya kalau ada sesuatu yang di luar pengetahuan kita”.

  19. […] standar dan aturan yang hendaknya disepakati bersama. Dunia yang hendaknya dimasuki atas dasar Toleransi yang Positif. Seperti Kata Seseorang Ada Sikap Tertentu Untuk Berdiskusi Soal […]

Tinggalkan komentar