Hadis Muawiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Membantah Syubhat Salafy

Hadis Muawiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Bantahan Bagi Salafy

Salafy nashibi memang tidak akan pernah berhenti membela sahabat pujaan dan pemberi petunjuk bagi mereka yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Pembelaan senaif apapun akan tetap ada bahkan dicari-cari berbagai dalih agar setiap hadis yang menyudutkan Muawiyah didhaifkan atau ditakwilkan secara ajaib menjadi keutamaan Muawiyah. Tidak jarang pembelaan itu dibungkus dengan dalih-dalih sok ilmiah untuk menipu kaum awam atau untuk menenangkan pengikut mereka yang kalang kabut kalau membaca hadis shahih tentang aib Muawiyah. Pada tulisan kali ini kami akan membahas syubhat salafy nashibi seputar hadis dimana Muawiyah meminum minuman yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” [Musnad Ahmad 5/347 no 22991, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]

.

.

Syubhat Dalam Sanad

Syubhat salafy dalam mencari-cari kelemahan hadis ini adalah menyatakan kalau Zaid bin Hubab termasuk perawi yang sering salah. Disebutkan kalau Zaid bin Hubab sering salah dalam riwayatnya dari Sufyan Ats Tsawri. Salafy itu menyatakan kalau Ahmad dan Ibnu Hibban memutlakkan kesalahan itu tidak hanya pada riwayat Ats Tsawri.

Zaid bin Hubab Ar Rayyan Abu Husain At Taimiy Al ‘Ukliy termasuk perawi Muslim dalam Shahihnya, Ali bin Madini menyatakan ia tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat begitu pula Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [dalam riwayat Ad Darimi]. Abu Hatim berkata “shaduq shalih”. Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata “Zaid bin Hubab seorang yang shaduq dia mengahafal lafaz-lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya”. Ibnu Hibban berkata “sering salah, hadisnya diikuti jika ia meriwayatkan dari masyahir [orang-orang yang dikenal] sedangkan riwayatnya dari majahil [orang-orang yang tidak dikenal] maka padanya terdapat hal-hal mungkar. Ibnu Khalfun berkata ia ditsiqatkan Abu Ja’far dan Ahmad bin Shalih. Daruquthni dan Ibnu Makula menyatakan tsiqat. Ibnu Syahin berkata “ia ditsiqatkan Utsman bin Abi Syaibah”. Ibnu Yunus berkata “hadisnya hasan”. Ibnu Ady berkata “ia memiliki banyak hadis dan ia termasuk diantara syaikh-syaikh kufah yang tsabit yang tidak diragukan kejujurannya dan Ibnu Ma’in membicarakan hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yaitu hanya hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yang mengandung keghariban pada sanadnya dan yang dimana ia menyendiri dalam merafa’kan sedangkan hadis Ats Tsawriy lainnya dan hadisnya dari selain Ats Tsawriy semuanya lurus [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 738]. Ibnu Hajar berkata “shaduq sering keliru dalam hadisnya dari Ats Tsawriy” [At Taqrib 1/327 no 2130]

Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan “seorang ahli ibadah yang tsiqat” [Al Mizan no 2997]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia seorang hafizh khurasan dan kufah tidak ada masalah padanya dan terkadang ragu [Al Kasyf no 1729]. Adz Dzahabi dalam As Siyar berkata “Al Imam Al Hafizh Tsiqat” [As Siyaar 9/393 no 126]

Tampak dengan jelas kalau Zaid bin Hubab seorang yang tsiqat bahkan Ahmad bin Hanbal sendiri menyatakan kalau ia seorang yang tsiqat dan tidak ada masalah padanya [Al Ilal no 1702]. Bersamaan dengan ketsiqatannya dikatakan pula kalau ia sering salah tetapi ini tidak bersifat mutlak, kesalahan yang dimaksud adalah sebagian riwayatnya dari Ats Tsawriy seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in sedangkan riwayatnya selain itu tidak ada masalah.

 

.

.

Perkataan Imam Ahmad

Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata Zaid bin Hubab seorang yang shaduq, ia dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya [Su’alat Ahmad no 432].

Salah satu kesalahan yang dimaksud disebutkan sendiri oleh Ahmad bin Hanbal. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Zahiriyyah dari Nimraan Abi Hasan. [Abdullah] berkata Ayahku [Ahmad] berkata telah menceritakan kepada kami Zaid dari kitabnya Nimraan dan dari hafalannya Nammar [Al Ilal no 77].

Tampak bahwa yang dipermasalahkan oleh Ahmad bin Hanbal adalah riwayat Zaid bin Hubab dari Muawiyah bin Shalih tetapi itu tidak bersifat mutlak untuk semua riwayat dari Muawiyah bin Shalih karena kendati Ahmad mengakui ada kesalahan Zaid dalam riwayat Muawiyah bin Shalih, ia tetap mengatakan kalau Zaid dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih.

Bukti lain bahwa Ahmad bin Hanbal tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah dia sendiri banyak mengambil hadis dari Zaid bin Hubab. Zaid bin Hubab termasuk syaikh [guru] Ahmad bin Hanbal dan tentu saja sebagai seorang murid ia lebih mengetahui kesalahan yang ada dalam riwayat gurunya. Oleh karena itu hadis-hadis Zaid bin Hubab yang diambil Ahmad bin Hanbal dan dimasukkan ke dalam Musnad-nya jelas terbebas dari kesalahan yang dimaksud Ahmad bin Hanbal. Jika Ahmad bin Hanbal menganggap hadis Zaid itu salah maka ia akan meninggalkan hadis Zaid tersebut dan ia tidak akan memasukkan hadis itu ke dalam Musnad-nya .

 

.

.

Perkataan Ibnu Hibban

Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata “termasuk yang sering salah, hadisnya diikuti jika meriwayatkan dari masyaahir sedangkan riwayatnya dari orang-orang majhul maka di dalamnya terdapat pengingkaran” [Ats Tsiqat juz 8 no 13277].

Tidak ada dalam pernyataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut bersifat mutlak, pernyataan Ibnu Hibban jelas memerlukan perincian dan ulama lain telah memberikan perincian diantaranya Ibnu Ma’in soal sebagian riwayat Zaid dari Ats Tsawriy atau Ahmad bin Hanbal soal  sebagian riwayat Zaid dari Muawiyah bin Shalih. Apalagi tampak dalam zahir perkataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut termasuk juga riwayat Zaid bin Hubab dari perawi majhul.

Hal ini disebutkan pula oleh Adz Dzahabi dalam Al Mizan, selain membawakan riwayat gharib Zaid bin Hubab dari Ats Tsawriy, ia juga membawakan riwayat Zaid bin Hubab dari Dawud bin Mudrik seorang yang tidak dikenal [Al Mizan no 297]. Tentu saja riwayat Zaid bin Hubab dari perawi yang majhul tidaklah menjadi cacat bagi Zaid melainkan cacat bagi perawi majhul tersebut.

Bukti lain kalau Ibnu Hibban tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah ia banyak memasukkan hadis Zaid bin Hubab [termasuk riwayatnya dari Husain bin Waqid] dalam kitab Shahih-nya diantaranya Shahih Ibnu Hibban 2/474 no 700 dan Shahih Ibnu Hibban 6/281 no 2540. Kedua hadis ini telah dijadikan hujjah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban yaitu dengan jalan sanad dari Zaid bin Hubab dari Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya secara marfu’.

.

.

Kesimpulan kedudukan Zaid bin Hubab adalah seorang yang tsiqat sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama tetapi ia memiliki kesalahan diantaranya riwayatnya dari Ats Tsawriy tetapi hal ini tidak memudharatkan riwayatnya yang lain. Kedudukan perawi seperti ini adalah periwayatannya diterima sampai ada bukti kalau ia keliru. Para ulama telah banyak menerima riwayat Zaid bin Hubab [termasuk riwayat dari Husain bin Waqid] diantaranya Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban [sebagaimana disebutkan di atas] dan Imam Muslim sebagaimana yang disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal [Tahdzib Al Kamal no 2095].

.

.

Klaim Tafarrud Zaid bin Hubab

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Tarikh-nya 2/677 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 27/126-127 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Syabbuuyah dari Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya dari Abdullah bin Buraidah yang berkata “aku bersama ayahku masuk menemui Muawiyah”. Riwayat ini jelas tidak lengkap sedangkan riwayat yang lengkap telah disebutkan dalam riwayat Zaid bin Hubab sebagaimana disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal.

Ali bin Husain bin Waqid disebutkan oleh Abu Hatim bahwa ia dhaif hadisnya. Nasa’i berkata tidak ada masalah padanya. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 7 no 523]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa menyebutkan salah satu hadisnya dan berkata “tidak memiliki mutaba’ah” [Adh Dhu’afa 3/226 no 1226]. Ibnu Hajar berkata “shaduq terkadang ragu” dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau dia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 4717].

Tampak jelas dalam riwayat Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya kalau riwayat tersebut tidak lengkap hanya menyebutkan awal kisah dimana Abdullah bin Buraidah dan ayahnya menemui Muawiyah sedangkan riwayat Zaid bin Hubab menyebutkan kisah tersebut dengan lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa Ali bin Husain bin Waqid tidaklah dhabit sehingga ia tidak menghafal seluruh riwayat tersebut sehingga riwayatnya disini mesti dipalingkan kepada riwayat Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat.

Dengan dasar ini tidak ada alasan untuk menjadikan riwayat ini sebagai tafarrudnya Zaid bin Hubab karena Ali bin Husain bin Waqid bukan seorang yang dikenal tsiqat dan dhabit bahkan kedudukannya jauh dibawah Zaid bin Hubab. Riwayat ini justru menjadi bukti kalau Ali bin Husain bin Waqid tidak dhabit dalam menghafal riwayat tersebut. Berbeda halnya jika Ali bin Husain bin Waqid ini seorang yang tsiqat tsabit maka benarlah kalau Zaid bin Hubab tafarrud dengan tambahan lafaz tersebut dari Husain bin Waqid. Singkat kata syubhat salafy dalam melemahkan hadis ini hanyalah dalih yang dicari-cari atau mengada-ada demi membela aib Muawiyah.

.

.

Penukilan Al Haitsami

Mengenai penukilan Al Haitsami dimana ia menuduh kami menyembunyikan perkataan Al Haitsami di bagian akhir jelas perlu diluruskan. Ketika kami menuliskan riwayat ini kami hanya mengutip pendapat Al Haitsami terhadap kedudukan hadis tersebut yaitu diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya perawi shahih. Sedangkan perkataan Al Haitsami bahwa “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan” menunjukkan sikap Al Haitsami yang menolak sebagian matan hadis tersebut karena mengandung perkara yang bersifat aib bagi sahabat yaitu Muawiyah. Kami meninggalkan perkataan Al Haitsami tersebut karena tidak bernilai hujjah.

Sedangkan andai-andai salafy kalau yang dimaksud Al Haitsami adalah ia tinggalkan karena tafarrud riwayat tersebut jelas mengada-ada dengan dua alasan

  • Telah dibahas di atas kalau tafarrud yang dimaksud hanyalah klaim semata yang tidak terbukti kebenarannya karena dasar pernyataan tafarrud adalah hadis dari Ali bin Husain bin Waqid yang kedudukannya jelas lebih rendah dari Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat. Kedudukan sebenarnya riwayat Zaid bin Hubab adalah riwayat lengkap sedangkan riwayat Ali bin Husain bin Waqid tidak lengkap.
  • Tafarrud yang ditunjukkan salafy itu tidak terbatas pada perkataan Muawiyah tetapi juga perkataan Abdullah bin Buraidah yaitu “ia mempersilakan kami duduk di hamparan. Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. Seandainya tafarrud ini menjadi alasan bagi Al Haitsami maka tidak mungkin ia mengkhususkannya dengan perkataan Muawiyah semata. Lihat kembali perkataan Al Haitsami di bagian akhir “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan”.

Jadi sebenarnya disini yang bersangkutan itu sok merasa yang paling paham terhadap perkataan Al Haitsami padahal sebenarnya itu hanyalah dalih-dalih dirinya yang mengatasnamakan Al Haitsami.

 

.

.

.

Syubhat Dalam Matan

Setelah puas membuat syubhat pada sanad riwayat tersebut, salafy itu bertingkah membuat syubhat pula pada matan riwayatnya. Syubhat itu memang agak ajaib karena hasil akhirnya riwayat yang menjadi aib bagi Muawiyah disulap menjadi keutamaan bagi Muawiyah. Riwayat bahwa Muawiyah meminum minuman yang diharamkan disulap menjadi riwayat bahwa Muawiyah tidak lagi meminum minuman yang diharamkan dan lebih menyukai susu serta adab tinggi Muawiyah dalam menjamu tamu. Betapa lucunya logika orang yang tergila-gila dengan Muawiyah. Kami akan membahas syubhat tersebut. Salafy itu mengatakan kalau lafaz

ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم

Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Adalah perkataan Muawiyah bukan perkataan Buraidah. Jelas ini kekeliruan yang nyata dan buktinya terletak pada riwayat itu sendiri. Jika dianalisis dengan baik maka sangat jelas kalau lafaz tersebut adalah perkataan Buraidah. Awalnya Abdullah bin Buraidah berkata

عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي

Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku.

Perhatikan lafaz “maka Muawiyah meminumnya”. Ini menunjukkan kalau Muawiyah telah meminum minuman tersebut. Kemudian setelah Muawiyah menawarkan kepada Buraidah riwayat tersebut dilanjutkan dengan lafaz yang berkata

ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم

Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Perhatikan kata

ما شربته

yang artinya “tidak meminumnya”. Kata “nya” disitu merujuk pada minuman yang didatangkan atau ditawarkan kepada Buraidah. Sehingga perkataan “tidak meminumnya” artinya orang yang dimaksud tidak meminum minuman tersebut dengan alasan “sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Maka bagaimana mungkin lafaz ini menjadi perkataan Muawiyah padahal dengan jelas dalam riwayat tersebut sebelumnya terdapat lafaz

فشرب معاوية

“maka Muawiyah meminumnya” Muawiyah terlebih dahulu minum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah dan Buraidah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Inilah yang benar, seandainya kita mengikuti kekonyolan salafy tersebut maka riwayat tersebut berbunyi begini

Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Muawiyah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.

Apa jadinya kisah ini, Muawiyah meminum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah seraya Muawiyah berkata aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Jadi maksudnya Muawiyah sudah tahu kalau minuman itu haram dan ia tetap meminumnya dihadapan Buraidah kemudian menawarkan kepada Buraidah minuman haram tersebut seraya berdusta aku tidak pernah meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Lha jelas saja dusta karena barusan dihadapan Buraidah Muawiyah meminum minuman tersebut. Dan kalau mengikuti perandaian salafy bahwa minuman itu susu maka disini Muawiyah mengakui kalau susu itu diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Inilah kekacauan yang timbul dalam makna riwayat tersebut jika lafaz Buraidah itu dikatakan sebagai lafaz Muawiyah. Salafy itu mungkin mengetahui kerancuan ini oleh karena itu ia membuat teks atau lafaz riwayat sendiri yaitu dengan kata-kata

Ada kemungkinan Mu’aawiyyah mengucapkan hal itu sebagai penjelasan bahwa “ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu”. Itulah yang terlihat secara dhahir keseluruhan lafadh riwayat.

Perkataan ini jelas tidak bernilai hujjah karena lafaz yang dimaksud bukanlah “aku tidak lagi minum minuman yang haram sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” tetapi lafaznya adalah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Dan telah jelas dalam riwayat tersebut kalau “nya” dalam kata “meminumnya” adalah minuman yang disajikan atau ditawarkan kepada Buraidah.

Salafy itu menolak perkataan Buraidah hanya dengan asumsi kalau memang perkataan itu perkataan Buraidah maka mengapa hanya sekedar mengabarkan tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa tidak ada pengingkaran yang nyata dari Buraidah. Jawabannya ya mudah saja : justru pengkhabaran kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaharamkannya adalah pengingkaran yang paling nyata. Tidak ada hujjah yang paling utama kecuali hujjah atas nama Allah dan Rasul-Nya.

Salafy itu juga menolak kalau Muawiyah meminum khamar dengan alasan ia sendiri meriwayatkan hadis soal hukuman bagi yang meminum khamar. Kami katakan: tidak usah jauh-jauh, khamar itu telah diharamkan di dalam Al Qur’an jadi sangat jelas semua orang dan semua sahabat tahu tetapi diriwayatkan ternyata ada juga sahabat yang pernah meminum khamar selepas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat tidak hanya Muawiyah. Jadi tidak ada alasan untuk menolak Muawiyah meminum khamar walaupun ia sendiri meriwayatkan hadis hukuman bagi peminum khamar.

Salafy mengatakan bahwa yang disajikan Muawiyah kepada Buraidah dan anaknya adalah susu bukannya khamar. Ia berhujjah dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah berikut

حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:”ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ

Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia [Mu’aawiyyah] mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].

Riwayat ini adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Zaid bin Hubab sedangkan riwayat yang kami kutip sebelumnya adalah riwayat Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Hubab. Kedua riwayat ini menyebutkan kisah yang sama hanya saja riwayat Ahmad lebih lengkap dari riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah tidak terdapat perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ahmad. Ini adalah ziyadah tsiqat dari Ahmad dan tidak ada keraguan untuk diterima.

Salafy itu menafsirkan riwayat tersebut dengan prasangka kalau yang disajikan kepada Buraidah dan anaknya adalah susu. Zhan ini tertolak dengan dasar riwayat Ahmad yang menyebutkan perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Sejak kapan susu diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.  Kalau memang itu adalah susu tidak mungkin Buraidah menolak seraya berkata itu telah diharamkan. Tampak dalam zahir riwayat kalau Buraidah dan anaknya tidak meminum minuman tersebut melainkan Muawiyahlah yang meminumnya. Sebagaimana yang tertera dalam riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Abi Syaibah

ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية

Kemudian didatangkan kepada kami makanan maka kami memakannya kemudian didatangkan kepada kami minuman maka Muawiyah meminumnya. [riwayat Ahmad]

وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ

Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya [riwayat Ibnu Abi Syaibah]

Hujjah salafy itu hanya bersandar pada perkataan Muawiyah dibagian akhir riwayat Ibnu Abi Syaibah kalau yang dia ambil pada hari ini adalah susu. Kami jawab : Muawiyah sudah terbiasa berdalih jika ia merasa disudutkan atau ada hadis yang menyudutkannya, sebagaimana yang tergambar dalam salah satu riwayat

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Perkataan Muawiyah kalau yang membunuh Ammar adalah Imam Ali jelas sebuah kekonyolan dan hinaan yang nyata kepada Imam Ali. Perkataan Muawiyah ini hanyalah dalih yang dicari-cari ketika ia merasa tersudut. Bagaimana mungkin Ammar radiallahu ‘anhu yang berperang disisi Imam Ali dan telah syahid dikatakan kalau Imam Ali yang membunuhnya?. Apakah sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang syahid di badar dan uhud itu mati karena dibunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawanya?, nauzubillah, kami berlindung kepada Allah SWT dari cara berpikir yang demikian dan ternyata begitulah dalam pandangan Muawiyah.

Kembali ke riwayat yang kita bahas. Perkataan Muawiyah disini hanya sekedar dalih ketika ia tersudut oleh perkataan Buraidah kalau minuman tersebut haram dan ia nyata-nyata meminumnya. Sehingga ia berdalih kalau minuman tersebut susu sambil menyindir Buraidah dengan pujian. Perhatikan perkataan Muawiyah

غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

Kecuali susu atau orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku [riwayat Ahmad]

Kalau salafy mengatakan susu yang ada disana dengan hujjah perkataan Muawiyah maka kita katakan “orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” adalah Buraidah. Karena pada hari itu atau saat itu Buraidahlah yang berbicara kepada Muawiyah dengan perkataan “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.

Bukankah keduanya itu yaitu “susu” dan “perkataan baik” yang dikatakan Muawiyah ia ambil pada hari itu. Kalau memang susu yang disajikan kok bisa-bisanya Muawiyah mengatakan perkataan Buraidah itu baik, apa mengatakan susu diharamkan adalah perkataan yang baik?. Singkat kata tidak ada gunanya menjadikan perkataan Muawiyah ini sebagai hujjah karena sangat terlihat itu hanyalah dalih-dalih yang biasa ia lakukan.

Tentu bagi salafy mereka lebih memilih menjadikan perkataan Muawiyah itu sebagai hujjah. Ya jelas karena Muawiyah adalah pemberi petunjuk bagi mereka. Apapun aib yang ada pada Muawiyah harus disucikan dengan dalih membantah syiah seraya menuduh keji kepada mereka yang berani membongkar aib Muawiyah walaupun pada kenyataannya hanya menukil dari hadis shahih. Jadi dapat dimaklumi kalau gaya bersilat lidah Muawiyah ini diwarisi oleh para pengikut salafy yang memang gemar membela Muawiyah. Salam Damai

.

.

.

Sedikit Tambahan

Tambahan ini sekedar ingin menunjukkan sikap keras kepala salafy dalam membela Muawiyah dan keburukannya. Diantara perkataan salafy yang dimaksud yaitu ia mengklaim tidak ada ulama atau muhaqqiq yang menyatakan kalau perkataan itu milik Buraidah. Ucapan ini jelas dusta karena Imam Ahmad sendiri selaku periwayat hadis ini memahami perkataan tersebut sebagai perkataan Buraidah bukan perkataan Muawiyah.

Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam Musnad sahabat Anshar yaitu dalam Hadis Buraidah Al Aslamiy. Buktinya dapat anda lihat disitus ini

http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=270&CID=148#s4

sekarang perhatikan kembali hadis di atas.

ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

Yang kami cetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah. Nah jika salafy beranggapan kalau yang dicetak merah adalah perkataan Muawiyah maka sudah jelas dalam hadis tersebut tidak ada satupun perkataan Buraidah. Hal ini bertentangan dengan keterangan Imam Ahmad bin Hanbal yang memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamiy. Secara zahir menurut keterangan Imam Ahmad tersebut maka

  • Riwayat yang dicetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah
  • Riwayat yang dicetak merah adalah perkataan Buraidah Al Aslamiy
  • Riwayat yang dicetak hitam adalah perkataan Muawiyah

Jadi sangat jelas Imam Ahmad memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamy karena ia sendiri beranggapan kalau perkataan yang dicetak merah tersebut adalah perkataan Buraidah. Tentunya Imam Ahmad bin Hanbal selaku yang meriwayatkan hadis ini lebih mengetahui maksud perkataan dalam hadis yang ia riwayatkan.

Diantara perkataan salafy lainnya yang menunjukkan keanehan adalah ketika ditanya soal manhaj Imam Ahmad mengenai para syaikh-nya. Ia mengatakan kalau Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan kalau syuyukh-nya dalam kitab Musnad tidak ia jarh. Pernyataan ini benar tetapi tidak mengena dengan yang kami bicarakan di atas. Dalam Musnad Ahmad, Imam Ahmad mensyaratkan kalau syuyukh-nya adalah orang yang dipercaya olehnya. Kendati terdapat beberapa yang ia jarh dengan jarh “banyak salah”. Kami tidak menafikan hal ini.

Yang kami tekankan adalah jarh tersebut tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima.

Soal dhamir “hu” dalam lafaz di atas maka kami tidak perlu menanggapi ocehan salafy yang tidak karuan. Sudah jelas bagi yang mengerti bahasa arab dengan baik maka dhamir “hu” disana merujuk pada minuman yang ditawarkan kepada Buraidah. Ini adalah fakta riwayat yang tidak bisa dinafikan begitu saja kecuali jika yang bersangkutan asal ngotot membuat pembelaan yang ngawur. Cukup ini saja tambahan singkat dari kami.

45 Tanggapan

  1. wew. pak SP, sebetulnya judulny agak provokatif tuh.
    knp harus ada embel2 salafy ny (krn menurut sy, dan sy yakin pak SP jg menganggap bhw istilah salafy ini merupakan istilah yg sangat baik)?
    knp judulny tidak seperti ini sj :
    “Hadis Muawiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Membantah Syubhat abul-jauzaa”

    he3x. it’s just a suggestion.

  2. artikel ini sdh ditanggapi kembali dlm kolom komentar al akh abul jauzaa.

  3. @thirdprince

    tidak jadi masalah kok, saya tidak menyatakan kalau salafy itu adalah semua salafy. Tentu yang saya maksud dalam tulisan di atas adalah salafy yang membuat syubhat2 untuk membela Muawiyah. perlu anda ketahui argumennya si abul-jauzaa bukanlah murni miliknya tetapi sikap taklidnya kepada beberapa ulama salafy yang gemar mengutamakan Muawiyah. Makanya saya tidak mengkhususkan bantahan ini untuk abul-jauzaa’

    @thirdeprince

    heh lucu, melihat komentarnya yang gak karuan sebenarnya saya jadi males untuk menanggapinya. Tetapi kalau tidak ditanggapi saya merasa pengikut atau fansnya kan bersorak-sorak bergembira :mrgreen: Berikut tanggapan singkat saya

    Soal kredibilitas Zaid bin Hubab, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Salafy itu sok bertaklid pada perkataan Imam Ahmad padahal Imam Ahmad sendiri menerima riwayat Zaid bin Hubab di atas. Salafy itu sok berbicara tentang manhaj Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Anehnya ia tidak menjelaskan manhaj yang ia maksud, jelas disini Ahmad bin Hanbal menerima riwayat Syaikh-nya Zaid Bin Hubab dalam masalah ini. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan, jarah “banyak salah” itu bersumber dari Imam Ahmad jadi tentu ia lebih mengerti tentang jarh tersebut dibanding selainnya.

    Begitu pula dengan Ibnu Hibban, pada dasarnya perkataan “sering salah” bisa bersifat mutlak bisa bersifat tidak mutlak. Ya tergantung qarinah2nya. Qarinahnya sudah saya tunjukkan Ibnu Hibban tidak memutlakkan kesalahan tersebut karena ia sendiri banyak berhujjah dengan riwayat Zaid bin Hubab.

    Kesimpulan akhir tentang Zaid bin Hubab adalah ia seorang yang tsiqat dan hafizh, tetapi punya kekeliruan. Riwayat perawi seperti ini diterima sampai ada bukti kalau ia keliru. Kesalahan yang ia lakukan tidak memudharatkan kedudukannya bahkan orang seperti Malik, Syu’bah dan Yahya pun pernah melakukan kesalahan dalam riwayat

    Soal matan riwayat yang tetap dikatakan salafy itu sebagai perkataan Muawiyah hanya menunjukkan sikap keras kepala yang tidak ada nilai hujjah sama sekali. Secara ilmu bahasa arab lafaz itu adalah milik Buraidah.

    فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه

    Maka muawiyah meminumnya kemudian menawarkan kepada ayahku kemudian [ayahku] berkata aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

    Jadi tidak usah sok mengutip pernyataan Muhaqqiq dan sebagainya, tata bahasa arab itu sangat jelas. Mauwiyah meminum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah. kemudian terdpt perkataan “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah” yang muncul tepat setelah kata “ayahku”. Maka sangat jelas ini adalah perkataan Buraidah. Bukan asumsi bukan pula mengada-ada tetapi fakta riwayat. justru yang menjadikan ini sebagai perkataan Muawiyah mesti ditanya mana buktinya? jangan cuma sekedar opini atau pembelaan yang berdasar asumsi semata.

    Telah kami tunjukkan kalau menjadikan perkataan itu sebagai perkataan Muawiyah malah menunjukkan makin banyaknya aib muawiyah. tetapi anehnya tidak digubris oleh salafy iti, ia malah sibuk dengan asumsi atau dugaannya sendiri bahwa maknanya adalah Muawiyah tidak lagi minum minuman yang haram dan lebih menyukai susu. Dari mana datangnya kesimpulan seperti itu yang jelas-jelas bertentangan dengan lafaz riwayat.

    Salafy itu mengatakan kami tidak mnerima riwayat Ibnu Abi Syaibah. Aneh di bagian mana dari tulisan kami kalau kami menolak riwayat Ibnu Abi Syaibah, kalau tidak bisa memahami tulisan orang lain ya tolong tidak usah mengatasnamakan orang lain. Jelas-jelas kami menerima riwayat tersebut. Dan maaf saja di bagian mana dari lafaz Ibnu Abi Syaibah yang menunjukkan kalau yang diminum Muawiyah adalah susu. di riwayat Ibnu Abi Syaibah disebutkan kalau Muawiyah mengatakan yang ia ambil adalah susu tetapi di riwayat Ahmad disebutkan kalau Buraidah mengatakan minuman itu haram. Mustahil ada orang yang begitu bodohnya sehingga tidak bisa membedakan susu dan khamar. Lucunya salafy mengatakan sebodoh-bodohnya Muawiyah ia pasti bisa membedakan susu dan khamar. Lha iya siapa yang bilang Muawiyah bodoh, kami mengatakan kalau Muawiyah itu suka berdalih walaupun dengan dalih konyol. seperti yang kita tunjukkan dalam riwayat terbunuhnya Ammar. Sebodoh-bodohnya orang gak akn blang kalau yang membunuh Ammar adalah Imam Ali, tetapi itulah yang dikatakan Muawiyah.

    Lagipula sebenarnya dalam perkataan Muawiyah yang dijadikan hujjah salafy itu terdapat lafaz yang menggugurkan argumen salafay. yaitu kalau yang yang diambil Muawiyah pada saat itu tidak hanya susu tapi juga “perkataan yang baik”. Ini menunjukkan bahwa saat itu ada perkataan yang ditujukan kepada Muawiyah. Nah siapa lagi kalau bukan Buraidah. Jadi muawiyah sendiri mengakui kalau perkataan itu adalah perkataan Buraidah :mrgreen:

    Hujjah kami disini adalah pada perkataan Buraidah kalau minuman tersebut haram. Ini adalah fakta riwayat yang seenak udelnya dinafikan oleh salafy tersebut. Makanya ia bersikeras kalau perkataan itu adalah perkataan Muawiyah kemudian setelah menjadikan perkataan itu sebagai perkataan Muawiyah ia bersikeras dengan tafsiran sendiri atas perkataan Muawiyah yang entah datang dari mana atau dari wangsit dan sebagainya.

    Kami ingin menunjukkan kepada para pembaca argumen salafy itu yang sangat-sangat lucu. Ia berkata

    “Dlamiir “NYA” dalam hadits tersebut, dalam bahasa ‘Arab, itu tidak selalu menunjukkan hal yang ada di dekatnya. Perkataan Mu’aawiyyah yang menjadi kelanjutannya menjadi qarinah yang tegas tentang hal itu. Lantas apa maksudnya ? Bukankah saya telah katakan/tuliskan bahwa Mu’aawiyyah mengatakannya itu ada kemungkinan ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu, sehingga yang dihidangkannya itu adalah makanan yang baik dan halal”

    Saya tidak mengerti ada orang yang seaneh ini. Sejak kapan untuk memhami dhaamir “nya” kita harus merujuk pada kata setelahnya. Dhaamir “nya” itu adalah kata ganti untuk sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya. Dhaamir “nya” dalam kata “meminumnya” jelas merujuk pada minuman yang ditawarkan Muawiyah kepada Buraidah, tidak ada selain itu. Ini adalah fakta riwayat yang nampak jelas bagi mereka yang dengan objektif memahami riwayat di atas. Jadi ucapan salafy ini hanya sejenis ucapan orang yang tidak paham kaidah bahasa yang sangat jelas.

    Kemudian seperti yang berulang kali ia lakukan ia bersikeras dengan tafsiran asumsi atau opininya sendiri kalau makna perkataan Muawiyah itu bahwa ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan dan lebih menyukai susu. Sebenarnya perkataan salafy ini tidak perlu ditanggapi jauh-jauh karena hanya subjektivitas pembelaannya semata. Karena jelas bertentangan dengan lafaz perkataan Muawiyah sendiri [menurut anggapannya].

    Ini saja tanggapan singkat dari kami, selebihnya sudah sangat jelas dari tulisan di atas. Tidak ada masalah baik pada sanad atau matan riwayat tersebut. Syubhat-syubhat salafy itu bisa dibilang tidak ada nilainya sama sekali 🙂

  4. @Abul Jauza:
    “Memang tidak logis selama Anda masih berasumsi bahwa yang mengatakannya adalah Buraidah, dan yang ditawarkan Mu’aawiyyah itu adalah khamr/minuman yang diharamkan. Dlamiir “NYA” dalam hadits tersebut, dalam bahasa ‘Arab, itu tidak selalu menunjukkan hal yang ada di dekatnya. Perkataan Mu’aawiyyah yang menjadi kelanjutannya menjadi qarinah yang tegas tentang hal itu. Lantas apa maksudnya ? Bukankah saya telah katakan/tuliskan bahwa Mu’aawiyyah mengatakannya itu ada kemungkinan ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu, sehingga yang dihidangkannya itu adalah makanan yang baik dan halal. Muhaqqiq lain ada yang menjelaskan bahwa Mu’aawiyyah mengatakan itu karena nampak keengganan dari Buraidah dari minuman yang ditawarkan Mu’aawiyyah dengan menyangkanya minuman yang diharamkan. Alasan ini dikemukakan oleh Al-Arna’uth dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad. Masih banyak kemungkinan lain.”

    Kalau begitu apakah Buraidah tidak bisa membedakan antara minuman khamr dg susu shg ia menyangka minuman yg dihidangkan oleh Muawiyah itu sejenis khamr ? Padahal sebenarnya sangat mudah mengenali ciri minuman keras/memabukkan yaitu dari baunya yg menyengat ?

  5. Memperhatikan diskusi di atas,

    Dari sisi sanad,
    Kalau saya lihat tafarud ini terletak pada Zaid bin Hubab, jelas para ulama ahli hadits seperti Imam Ahmad dan Ibnu Hibban menjarh dia banyak salahnya, cukuplah hal ini. dan tidak ada hujjah buat SP untuk mendiskreditkan Mu’awiyah berdasarkan riwayat ini.

    Dari sisi Matan,
    Kalau matannya saja berasal dari orang yang sering salah ya ga bisa dijadikan hujjah untuk mendiskreditkan Mu’awiyah, apalagi tidak diketahui dengan jelas dan tegas subyek yang berbicara, bisa Buraidah, bisa Mu’awiyah. Jadi tidak cukup buat SP untuk mendiskreditkan Mu’awiyah dengan riwayat ini apalagi terdapat riwayat dari Ibnu Abi Syaibah yang jelas menyebutkan yang diberikan oleh Mu’awiyah adalah susu.

    Jadi ga perlu SP memaksakan diri memakai riwayat ini, cari saja riwayat yang lain untuk mendiskreditkan Mu’awiyah jika ada.

  6. 1. Jika larangan minum khamar terjadi sebelum Muawiyah masuk islam, maka cukup mengherankan juga Muawiyah berhenti minum khamar atas perintah musuh.
    Ataukah perintah larangan minum khamar setelah Muawiyah masuk islam?

    2. Beberapa sahabat (Buraidah) yang masih minum khamar sebelum muncul larangan, menghentikan kebiasaan mereka ketika Rasulullah mengharamkannya.

    Kayaknya dari pendekatan inipun tetap menunjukkan bhw perkataan itu diucapkan oleh Buraidah.

    Salam damai

  7. @sok tau banget

    Kelemahan & kekeliruan komen sampeyan sdh ditulis SP lebih dulu. Jadi jgn berkomentar seolah2 itu hal baru. Kelakuan sampeyan yg sering mengulang2 bantahan hanya semakin membuktikan slogan “Pokoknya bukan Syiah”, “Pokoknya jangan imam Ali”, “Pokoknya hanya Muawiyah” telah melekat kuat di otak dan hati sampeyan. Bagi orang2 yg berakal dan ingin mencari kebenaran, kelakuan spt itu kurang layak.

    Salam

  8. @Truthseekers08:
    “1. Jika larangan minum khamar terjadi sebelum Muawiyah masuk islam, maka cukup mengherankan juga Muawiyah berhenti minum khamar atas perintah musuh.
    Ataukah perintah larangan minum khamar setelah Muawiyah masuk islam?”

    Selain pendekatan analisa sanad yg cenderung bersifat subyektif, saya kira pendekatan sejarah dan logika layak pula diketengahkan spt diungkapkan Truthseeker08 diatas, karena lebih obyektif.

    Larangan minum khamr diberlakukan kira2 pada awal masa Madinah. Sementara Muawiyah baru “masuk Islam” pada tahun ke tujuh atau ke delapan H.

    Jadi pendapat yg mengatakan bhw kalimat :“Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW” diucapkan oleh Muawiyah rasanya tdk match dg fakta sejarah.

    Juga kalimat Muawiyah : “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”, tambah engga nyambung lagi.
    Apa benar sejak mudanya, artinya sebelum berlakunya larangan minum khamr, Muawiyah tidak pernah meminumnya dan hanya suka minum susu saja?

  9. dibela seperti apapun tetap saja Muawiyah tdk akan berubah menjadi baik, sejarah sdh terlanjur mencatatnya bahwa dimana Muawiyah sekarang sdh jelas.

  10. dhamirnya “nya” itu merujuk pada kata yg setelahnya , memang benar jika dia minum minuman yg haram…
    alias ngomong sambil mabok… jiakakakk

  11. @all
    ada sedikit tambahan dalam tulisan di atas, silakan dibaca. Salam

  12. Ada sedikit tanggapan dari salafy yang dimaksud. Sayang sekali seperti biasa tanggapannya terkesan meluas ke mana-mana dan maaf banyak mengandung kekeliruan. Ia berkata

    Saya katakan : Penyimpulan ini sungguh sangat terburu-buru. Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan. Namun tidak semua seperti itu. Ada beberapa contohnya jika ia tidak malas mencari. Misalnya hadits :

    Ini salah satu contoh taktik salafy nashibi dalam berhujjah. Ia berusaha menafikan kaidah umum dengan contoh-contoh yang ia anggap sebagai pengecualian padahal anggapannya itu berdasarkan pemahaman yang keliru. Mari kita bahas contoh yang ia maksud

    حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ وَحَدَّثَ أَبِي عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ قَتَادَةَ بْنِ مِلْحَانَ حِينَ حُضِرَ فَمَرَّ رَجُلٌ فِي أَقْصَى الدَّارِ قَالَ فَأَبْصَرْتُهُ فِي وَجْهِ قَتَادَةَ قَالَ وَكُنْتُ إِذَا رَأَيْتُهُ كَأَنَّ عَلَى وَجْهِهِ الدِّهَانَ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى وَجْهِهِ

    Telah menceritakan kepada kami ‘Aarim : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata : Dan ayahku telah menceritakan dari Al-‘Alaa` bin ‘Umair, ia berkata : “Aku pernah bersama Qataadah bin Milhan ketika ia tengah sekarat. Lalu, lewatlah seorang laki-laki dari dalam rumah. Al-‘Alaa` berkata : “Kulihat wajah Qatadah.” Katanya lagi : “Ketika aku melihatnya, seakan-akan ada kilapan minyak di wajahnya”. Katanya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah mengusap wajahnya”.

    Jika melihat apa yang dituliskan oleh salafy tersebut maka dapat diketahui bahwa hadis tersebut adalah ucapan Al ‘Alaa bin Umair tentang Qatadah. Al ‘Alaa bin Umair [yang sebenarnya Abu ‘Alaa bin Umair] bukan seorang sahabat maka ucapannya mursal dari sisi ini maka kami dengan jelas menyatakan itu bukan hadis Qatadah bin Milhaan.

    Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam hadis Qatadah bisa jadi dengan dua alasan

      Ahmad bin Hanbal menduga ucapan ‘Alaa bin Umair itu berasal dari Qatadah bin Milhaan karena tampak ia seorang yang dekat dengan Qatadah dan meriwayatkan hadis darinya.
      Ahmad bin Hanbal memandang bahwa dalam hadis tersebut Qatadah adalah orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam arti Beliau telah mengusap wajah Qatadah.

    Anehnya hadis ini tidak menjadi hujjah bagi salafy tersebut mengingat hadis Buraidah di atas [tulisan di atas] jelas sangat berbeda dengan kasus ini. Jika salafy menganggap bahwa yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Muawiyah maka sudah jelas hadis itu akan dimasukkan Imam Ahmad ke dalam Musnad Muawiyah tetapi faktanya tidak. Imam Ahmad memasukkan hadisnya ke dalam hadis Buraidah maka yang dimaksud Imam Ahmad adalah yang menisbatkan lafal marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Buraidah.

    حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ حَدَّثَنِي مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ عَمْرِو بْنِ الزُّبَيْرِ خُصُومَةٌ فَدَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَى سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَعَمْرُو بْنُ الزُّبَيْرِ مَعَهُ عَلَى السَّرِيرِ فَقَالَ سَعِيدٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ هَاهُنَا فَقَالَ لَا قَضَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيْ الْحَكَمِ

    Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-‘Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya”.

    Mengenai hadis ini salafy itu dengan angkuh berkata

    Hadits di atas diletakkan Imam Ahmad dalam Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair. Padahal, tidak ada satu pun perkataan ‘Abdullah bin Az-Zubair di dalamnya. Yang menyampaikan perkataan marfu’ dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun adalah Sa’iid bin Al-‘Aash. Apakah menurut logika orang Syi’ah itu Imam Ahmad telah salah dalam meletakkan hadits ini dalam bab : Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair, yang seharusnya terletak pada Hadiits Sa’iid bin Al-‘Aash ?. Ingat, ‘Abdullah bin Az-Zubair di sini hanyalah sebagai objek pasif yang diceritakan oleh Mush’ab bin Tsaabit.

    Sayang sekali salafy nashibi itu keliru, hadis di atas adalah hadis Ibnu Zubair, yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah adalah Ibnu Zubair bukan Sa’id bin Al ‘Ash. terjemahan yang benar [setidaknya menurut anggapan kami]

    Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-‘Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, [Ibnu Zubair] berkata “tidak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim”.

    Bukti yang jelas adalah tampak dalam riwayat Abu Dawud

    حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ ، حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، قَالَ : ” قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيِ الْحَكَمِ

    Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ : telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mubarak : telah menceritakan kepada kami Mush’ab bin Tsabit dari ‘Abdullah bin Zubair yang berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim [Sunan Abu Dawud no 3118]

    Jadi kalau menurut salafy nashibi itu hadis tersebut adalah hadis Sa’id dan matannya menunjukkan tidak ada dalam sunnah Rasul kalau dua orang bersengketa duduk di hadapan hakim. Padahal justru yang menjadi sunnah Rasul dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim dan itu berdasarkan hadis Ibnu Zubair.

    Sebenarnya maksud perkataan Ibnu Zubair “tidak” ketika dipanggil Sa’id adalah ia menolak kalau Sa’id memisahkan antara dirinya dengan saudaranya karena seharusnya mereka berdua duduk dihadapan Sa’id sebagai penengah atau hakim dalam masalah ini. Inilah sunnah Rasul menurut Ibnu Zubair.

    Jadi kami tidak perlu bersusah-susah menjelaskan. Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini ke dalam hadis Ibnu Zubair karena yang menisbatkan lafaz marfu’ tersebut adalah Ibnu Zubair dan Mush’ab memang meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair [walaupun sebenarnya riwayatnya mursal].

    Jadi dengan dua contoh yang dikemukakan salafy itu bukanlah pengecualian bagi kaidah yang kami jadikan hujjah. Jika Imam Ahmad memasukkan suatu hadis ke dalam hadis salah seorang sahabat maka di dalam hadis tersebut terdapat perkataan sahabat tersebut atau secara makna hadis itu menunjukkan kalau sahabat tersebut adalah perawi yang merawikan hadis atau melakukan perbuatan yang ia nisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

    Coba rekan-rekan Pembaca dan termasuk Anda (@anonim) cernati perkataan orang Syi’ah yang membingungkan ini. Dan kemudian hubungkan dengan apa yang saya katakan dalam artikel di atas dan juga dalam komentar. Orang Syi’ah ini memang tidak paham dengan naqd riwayat dari sisi sanad yang saya tuliskan, terutama dari sisi Zaid bin Al-Hubaab ini. Sebenarnya, banyak hal yang bisa dijadikan bahan kritikan dari perkataannya di atas. Tapi saya tidak akan berpanjang lebar untuk itu.

    Aneh sekali, setelah dijelaskan panjang lebar masih juga tidak paham. Mungkin ada baiknya kami menyarankan agar ia membaca dengan baik berbagai perkataan Imam Ahmad mengenai Zaid bin Hubab. Diantaranya ia akan menemukan kalau Ahmad bin Hanbal terkadang menerima hadis dari Zaid bin Hubab dan terkadang meninggalkannya. Nah apa yang ditinggalkan Ahmad bin Hanbal dari riwayat Zaid bin Hubab maka riwayat-riwayat itulah yang masuk ke dalam lingkup jarh-nya “banyak salah” sedangkan apa yang ia terima atau ia tulis dari Zaid bin Hubab maka riwayat itu baik menurut Ahmad bin Hanbal.

    Coba sampakan kepadanya, bahwa kritik sanad ini adalah karena tafarrud riwayat marfu’ Zaid bin Al-Hubbaab. Ia sendiri tergolong shighaaru at-baa’it-taabi’iin. Kredibilitasnya sendiri bukan seorang huffadh kabiir sebagaimana Syu’bah, Ats-Tsauriy, dan yang semisal. Ia pun dikritik dari segi hapalannya. Riwayat hadits yang ia bawakan adalah tingkat pertengahan, bukan tingkat atas, apalagi paling atas (dalam keshahihan).

    Apakah memang ia terlalu awam dalam bahasan penolakan tafarrud yang dipandang dari thabaqah perawi hadits ?. Atau mungkin ia belum pernah membaca bahasan tafshil tafarrud dalam mushthalah hadits ?.

    Ok anggap saja kami awam tetapi sebelumnya silakan salafy itu meluangkan sedikit waktu untuk membaca ulang tulisan kami. Maaf kalau saja salafy nashibi itu tidak sibuk asal membantah maka ia akan melihat dengan jelas bahwa kami telah membahas dan membantah soal klaim tafarrud yang ia katakan. Silakan lihat kembali di tulisan kami jelas-jelas kami bahas secara khusus. Hanya saja salafy nashibi ini memang tidak bisa membaca dengan baik, ia hanya sibuk dengan pembelaannya saja. Sungguh kasihan kasihan kasihan

  13. Heheheheheheeh salafy dilawan….. Namanya juga salafy alias salah fykir Dan salah fylih.

    Sebaiknya kita doakan saudara saudara kita yang menganggap muawiyah LA itu orang baik, agar nanti diakhirat dibangkitkan Dan ditempatkan bersama muawiyah LA.
    Bagi pengikut imam Ali as (saya juga ikut yang ini) mari kita doakan agar dibangkitkan Dan ditempatkan bersama imam Ali as. Amin Amin allahuma amin

    Kasarnye…kita doain biar pad bangkit same imamnye masing masing

  14. Tidak cuma salafi yg mengidolakan Muawiyah, ternyata banyak pula saudara kita dari Aswaja yg sangat mengagumi Muawiyah. Namun engga jelas apakah kagum trhdp kelicinan atau kelicikannya atau apa. Tapi anehnya sekalipun dikagumi dan djadikan idola, belum pernah saya menemukan org atau anak org salafi yg bernama Muawiyah atau paling tidak org lebih suka memberikan nama Ali kpd anaknya ketimbang nama Muawiyah.
    Apa artinya ini ?

  15. @andy
    Jelas, orang salafy sangat enggan menamai anaknya dengan Muawiyah.
    Karena biasanya, pengikut salafy itu mukanya jelek-jelek. Paling tidak, jenggotnya semwarut-lah.
    Lho, kalo jenggotnya saja semwarut, ya pasti jeleklah.

    Walaupun salafy mungkin saja menganggap Muawiyah itu sebagai panutan, tapi mereka
    sadar bahwa Muawiyah itu mukanya jelek. Karena itu, mereka tidak ingin menamai anaknya
    dengan Muawiyah, karena kuatir muka anaknya jadi jelek juga seperti Muawiyah.

    Nama adalah doa bukan. Kalo bapaknya jelek, terus nama anaknya merujuk kepada orang jelek, ya 100%
    pasti anaknya jelek juga. Tetapi Kalo bapaknya jelek, terus nama anaknya merujuk kepada orang ganteng,
    siapa tahu anaknya jadi ganteng. Inilah kekuatan doa.

    Terus, kenapa Muawiyah itu pasti jelek?
    Lihat fakta2 berikut ini :
    1. Menurut hadits nabi, Muawiyah itu super gendut. 99% orang super gendut, itu jelek.
    2. Menurut hadits Nabi, Muawiyah itu, makan tidak pernah kenyang. Muawiyah hanya berhenti makan, karena kelelahan.
    Bisa dibayangkan, betapa gendutnya Muawiyah. Secondprince yang seorang dokter, dapat membahas dan mengira-ngira
    penyakit yang diderita orang seperti Muawiyah ini. Berdasar cara makan Muawiyah, kemungkinan besar Muawiyah itu terkena
    diabetes. Atau paling tidak, pengidap kolesterol tinggi. Sangat besar kemungkinannya Muawiyah juga menderita penyakit jantung.

    Orang yang terkena diabetes, kolestorel tinggi dan juga penyakit jantung, pasti mukanya jelek.
    Satu lagi, dengan gaya hidup Muawiyah seperti ini, keringatnya itu pasti bau.

    3. Menurut sejarawan, Muawiyah itu pemarah. Orang pemarah, cenderung darah tinggi.
    Bayangkan, Muawiyah yang gendut, menderita diabetes hingga makan tidak pernah kenyang, keringatnya bau dan juga menderita darah
    tinggi. Mukanya pasti jueeleek.

    4. Fakta bahwa Muawiyah beristri banyak, itu tidak menunjukkan bahwa Muawiyah itu ganteng. fakta ini
    cukup menjelaskan dengan sangat jelas bahwa Muawiyah mengambil istri dengan cara memaksa. Dengan menggunakan kekuasaan.
    Lho, wanita manapun didunia ini, pasti akan menolak Muawiyah dengan adanya fakta bahwa Muawiyah itu jueeelek, keringatnya bau,
    diabates, suspect penyakit jantung, darah tinggi. Kemungkinan besar, mulutnya Muawiyah itu juga bau.

    Saya yakin, jika ada 100 orang dokter atau pakar kesehatan dan kemudian membaca karakteristik
    Muawiyah, pasti sepakat dengan saya bahwa Muawiyah itu juelek mukanya. Bau lagi.

    Jadi, mana ada orang tua yang menamakannya anaknya dengan Muawiyah. Apa mau, anaknya menjadi juelek dan bau seperti Muawiyah?

  16. Wahabi bin salafy memang punya jiwa yg militan pantang menyerah, berani mati dan demen ngotot, walaupun jalan pikirannya aneh, sudah jelas Muawiyah yg nenggak khamr, masih mbulet aja menyangkal dan membela junjungannya yg mulia “Sayyidina” Muawiyah LA, salut untuk keteguhan sikap para wahabi/salafy walaupun di atas hujjah yg dipaksakan, sikap yg sama seperti yg ditunjukkan kaum khawarij.

  17. Muawiyyah? Hmmm. ga bisa dibandingin dong sama idola, pahlawan, dan pemimpin umat Islam: Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, alaihissalam, ahlulbait, teman sejati dan pengikut setia Nabi saw, penentang kezaliman, penegak keadilan, pintunya hikmah dan pengetahuan serta selalu bersamanya kebenaran.

    Coba, ada ngga ucapan2 atau prilaku Muawiyyah yg bernilai, bisa dijadikan tauladan, memiliki hikmah sehingga mesti disanjung dan dipuja?

    Ga usah dibandingin sama Imam Ali lah…… Jauh…jauh…jauh. Sama pimpinan mazhab saja, Imam Syafii umpamanya. Begitu banyak ucapan, pikiran, serta prilaku Imam Syafii yang menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Kewaraannya menjadi inspirasi dan pemikirannya atas fiqh bisa kita rasakan hingga sekarang ini.

    Lalu Muawiyyah? Apanya yang bisa dijadikan tauladan dari Anak Pemakan Jantung ini? Kehidupannya yg penuh kemewahan? Permusuhan dan kebenciannya dgn para Imam Ahlulbait? Menyerahkan kekhalifahan kepada Yazid anaknya Sang Pembunuh Husain?

    Sadarlah wahai pemuja Muawiyyah! Jangan sampai anda menjadikan manusia yang satu ini sebagai Imam anda. Ingatlah bahwa setiap manusia akan dibangkitkan kelak bersama yang dicintainya.

    Salam

  18. @wahabi kampret

    tapi jgn salah saya punya tetangga dulu namanya YAZID…edun kan,..pdhl dia itu pengurus masjid tuh hihihih….

  19. “sama-sama hebat nih”

  20. @Andy : setujuh… sungguh aneh bin ajib, saya belum pernah dengar ustadz2 salafy/wahabi yg namanya Ustadz Muawiyyah Lc, atau Ustadz Yazid Lc atau Muawiyah bin Fulan Lc dst, jadi secara konsepsi mereka sangat mencintai Muawiyyah, karena kalau benci takut dibilang Syi’ah, namun secara praktis mereka tidak mau menamai anak2 mereka dengan panutan mereka, karena mereka mengetahui “keutamaan” Muawiyyah, Sungguh beda dengan para pecinta Ahlul Bait, banyak dari mereka yg menamai anak2nya dgn nama2 Ahlul Bait.

  21. Bener2 lucu tingkah wahhabi ini, udah berapa hujjah dari SP ditambah teman2 disini tapi te2p ngotot dari tema perbedaan sunni syiah ampe postingan yang skarang tetep adja gak ada perubahan. Sebenarnya mw apa sich?

    benar kata Imam Ali as, “Seandainya pengikutku aku penggal kepalanya, mereka akan tetap mencintaiku akan tetapi bila sajah pembenciku kuberi harta sekalipun mereka akan tetap membenciku”

    Rasulullah saww bersabda, “Penyakit yang tidak bisa disembuhkan adalah dengki”

    bener2 parah ==a

  22. […] SUMBER: Blog Analisis Pencari Kebenaran […]

  23. […] hadis yang sama dari kitab lain. Mungkin pembaca masih ingat dengan diskusi kami dengannya soal hadis Ibnu Zubair yang ia kira sebagai hadis Sa’id bin Al ‘Ash, itu kesalahan penerjemahan karena tidak memperhatikan hadis yang sama dalam kitab-kitab […]

  24. kata wahabi nashibi,muawiyah ga tau klu ada pengharaman
    n setelah itu tdk ada dalil klu muawiyah teler lg

  25. […] Hadis Mu’awiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Membantah Syubhat Salafiy […]

  26. @SP

    Aduhai kiranya, seandainya SP mau menampilkan secara utuh riwayat Imam Ahmad dengan riwayat Imam Ibnu Syaibah diatas maka akan diketahui, bahwa minuman yang disajikan dan yang diminum Muawwiyyah adalah sejenis susu (olahan) yang menurut dugaan Buraidah adalah susu (olahan) yang telah diharamkan Rasulullah saw.

    Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Asakir.

  27. @abu azifah

    Aduhai kiranya, seandainya SP mau menampilkan secara utuh riwayat Imam Ahmad dengan riwayat Imam Ibnu Syaibah diatas maka akan diketahui, bahwa minuman yang disajikan dan yang diminum Muawwiyyah adalah sejenis susu (olahan) yang menurut dugaan Buraidah adalah susu (olahan) yang telah diharamkan Rasulullah saw.

    Ada orang pura-pura buta sok pintar bicara, jelas-jelas dalam tulisan di atas saya tampilkan dengan utuh riwayat Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Abi Syaibah. Pembahasannya sudah detail sekali di atas.

    Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Asakir.

    Maaf tolong tampilkan penjelasan Ibnu Asakir yang anda maksud, itu kalau memang anda tidak sedang berdusta. Saya sudah sering melihat anda berdusta atas nama ulama. Jadi tidak ada gunanya anda bicara tanpa bukti, silakan bawakan buktinya, insya Allah akan saya pelajari

  28. @SP

    Riwayat Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah mempunyai sanad yang sama persis, dan dengan matan yang saling melengkapi, dan tidak ada lagi tambahan kisah yang lain. Sehingga dapat disatukan kisah tersebut secara utuh sebagai berikut :

    Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik”

    Dari riwayat utuh tadi diketahui bahwa minuman yang disajikan Muawwiyyah adalah sejenis susu yang dulu sangat favorit (pada masa jahiliyah), yang diduga oleh Buraidah sebagai sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah saw.

    Hal ini lah yang telah diterangkan oleh Imam Ibnu Asakir tentang siapa yang mengatakan pengharaman minuman yang disajikan.
    Imam Ibnu ‘Asakir menjawab,
    “(yang mengatakan) Yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, barangkali dia mengatakan demikian ketika melihat adanya ketidaksukaan dan penolakan pada wajah Buraidah, yang menunjukkan dugaan bahwa dia meminum sesuatu yang diharamkan. Wallahu A’lam.” (Tarikh Dimasyq, Hal. 417).

    Catatan : kita tidak sedang mempersoalkan siapa yang berkata, apakah Muawwiyyah atau Buraidah.

  29. @abu azifah

    Riwayat Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah mempunyai sanad yang sama persis, dan dengan matan yang saling melengkapi, dan tidak ada lagi tambahan kisah yang lain. Sehingga dapat disatukan kisah tersebut secara utuh sebagai berikut :
    Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik”
    Dari riwayat utuh tadi diketahui bahwa minuman yang disajikan Muawwiyyah adalah sejenis susu yang dulu sangat favorit (pada masa jahiliyah), yang diduga oleh Buraidah sebagai sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah saw.

    Masalahnya adalah anda menyalahkan Buraidah disini dimana ia mengatakan bahwa minuman itu telah diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi sangat tidak mungkin kalau minuman yang dikatakan Buraidah haram itu adalah susu. Tidak ada unsur Buraidah menduga-duga disini karena minuman yang dipermasalahkan itu ada di depan matanya. Masa’ melihat dengan mata kepala sendiri dibilang menduga-duga. Apalagi mengenai perkara yang haram, ya gak mungkin kalau berdasarkan dugaan. Aneh sekali penjelasan anda itu.

    Justru yang lebih layak disalahkan adalah Muawiyah. Sangat tidak mungkin Buraidah tidak bisa membedakan susu atau bukan. Seperti yang saya jelaskan di atas Muawiyah itu sudah terbiasa ngeles kalau tersudut. Contohnya dia pernah bilang kalau orang yang membunuh Ammar itu adalah Imam Aliy yang membawanya. Nah itu ucapan konyol yang hanya muncul dari orang yang kebiasaan ngeles ketika tersudut.

    Atau kalau anda tidak suka menyalahkan Muawiyah ya tinggal ditafsirkan saja bahwa susu yang dimaksud tidak benar-benar susu melainkan susu yang dicampur dengan minuman yang haram maka ini cocok dengan apa yang dikatakan Muawiyah dan Buraidah. Muawiyah memang mengatakan susu dan Buraidah benar ketika mengatakan itu haram karena susu tersebut sudah dicampur dengan minuman yang haram. Saya pribadi sih lebih cenderung pada penafsiran sebelumnya kalau Muawiyah suka ngeles kalau tersudut

    Hal ini lah yang telah diterangkan oleh Imam Ibnu Asakir tentang siapa yang mengatakan pengharaman minuman yang disajikan.
    Imam Ibnu ‘Asakir menjawab,
    “(yang mengatakan) Yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, barangkali dia mengatakan demikian ketika melihat adanya ketidaksukaan dan penolakan pada wajah Buraidah, yang menunjukkan dugaan bahwa dia meminum sesuatu yang diharamkan. Wallahu A’lam.” (Tarikh Dimasyq, Hal. 417).

    Maaf saya sebenarnya tidak suka berulang-ulang menuduh anda dusta. Tetapi hakikatnya anda memang demikian. Saya yakin anda hanya kopipaste dari tulisan orang lain. Coba anda lihat rujukan itu, kitab Tarikh Ibnu Asakir itu berpuluh-puluh jilidnya dan anda hanya menyebutkan halaman tanpa menyebutkan jilid keberapa?. Silakan buktikan dengan benar, sebutkan jilid keberapa dari kitab Tarikh Ibnu Asakir atau kalau tidak mampu ya jangan sok pintar lah bung. Bila perlu tampilkan lafaz atau teks arabnya. Saya tunggu ya

  30. @SP

    Kalau yang diminum dan ditawarkan Muawiyyah adalah susu, menurut anda terlalu bodoh Buraidah kok tidak mengetahui beda susu dengan khamr, gitu khan mas menurut anda ?

    Dan kalau yang dminum dan ditawarkan adalah khamr, maka saya juga katakan, kok Muawwiyyah terlalu bodoh ngeles khamr dengan mengatakan susu.

    Maka secara tidak anda sadari bahwa anda sepakat bahwa minuman tersebut adalah susu olahan ( menurut bahasa anda susu yang dicampur dengan barang haram ).

    Melihat pengingkaran Buraidah dan penjelasan Muawwiyyah tersebut, maka persoalannya adalah anda tidak percaya dengan kejujuran Muawwiyyah, sedang saya percaya dengan kejujuran Muawwiyyah, sebagaimana Imam Bukhari dan Muslim dan seluruh ulama jarh wata’dil mempercayai kejujuran Muawwiyyah.

    Sebagaimana anda terbiasa dengan metode jarh watta’dil, maka tunjukkan kepada saya ulama muktabar siapa yang menjarh Muawwiyyah ?

  31. @abu azifah

    Kalau yang diminum dan ditawarkan Muawiyyah adalah susu, menurut anda terlalu bodoh Buraidah kok tidak mengetahui beda susu dengan khamr, gitu khan mas menurut anda ?
    Dan kalau yang dminum dan ditawarkan adalah khamr, maka saya juga katakan, kok Muawwiyyah terlalu bodoh ngeles khamr dengan mengatakan susu.

    Ooh saya tidak ragu mengatakan memang begitulah hakikat Mu’awiyah, cuma orang begitu yang akan bilang kalau pembunuh Ammar itu adalah Imam Aliy [ini ternukil dalam riwayat shahih]. Padahal orang paling awam sekalipun akan tahu bahwa pihak yang membunuh Ammar adalah kelompok Muawiyah. Jadi saya tidak heran kalau Muawiyah itu bisa ngeles begitu anehnya

    Maaf kalau anda tidak punya dalil mengenai sikap anda terhadap Buraidah. Sama saja itu berarti anda meragukan keadilan Buraidah yang mengatakan minuman itu haram. Dan kalau anda menuduh Buraidah menduga-duga ya itu mustahil sekali karena Buraidah sudah jelas melihat langsung minuman itu dan dengan jelas menyatakan dahulu pernah meminumnya tetapi berhenti sejak diharamkan. Jadi saya yang balik tanya, mengapa anda meragukan keadilan Buraidah?. Saya yakin jawaban anda akan sama ajaibnya dengan ngeles ala Muawiyah

    Maka secara tidak anda sadari bahwa anda sepakat bahwa minuman tersebut adalah susu olahan ( menurut bahasa anda susu yang dicampur dengan barang haram ).

    Apanya yang secara tidak sadar. Saya hanya menawarkan salah satu solusi kalau anda keberatan menyalahkan Muawiyah dan itu tetap saja Muawiyah meminum susu yang sudah dicampur barang haram. Intinya sama saja dan tetap membenarkan apa yang dikatakan Buraidah

    Melihat pengingkaran Buraidah dan penjelasan Muawwiyyah tersebut, maka persoalannya adalah anda tidak percaya dengan kejujuran Muawwiyyah, sedang saya percaya dengan kejujuran Muawwiyyah, sebagaimana Imam Bukhari dan Muslim dan seluruh ulama jarh wata’dil mempercayai kejujuran Muawwiyyah.
    Sebagaimana anda terbiasa dengan metode jarh watta’dil, maka tunjukkan kepada saya ulama muktabar siapa yang menjarh Muawwiyyah ?

    Alaah tidak perlu sok wahai fulan bin fulan. Saya pribadi memang tidak menganggap Muawiyah sebagai sahabat yang adil. Banyak tulisan saya di blog ini yang membuktikan dengan riwayat shahih bahwa Muawiyah pernah berdusta. Jadi maaf gertak sambal anda tidak laku terhadap saya. btw soal ulama mu’tabar yang menjarh Muawiyah saya bisa kasih contoh Aliy bin Ja’d yang menganggap Muawiyah mati tidak dalam agama islam. Itu jarh yang luar biasa bukan?.

    Lagipula masalah yang sama berlaku pada anda wahai abu fulan, yaitu anda tidak percaya kejujuran Buraidah, sedangkan saya percaya kejujuran Buraidah sebagaimana seluruh ulama jarh wat ta’dil mempercayai kejujuran Buraidah maka tunjukkan kepada saya ulama muktabar yang menjarh Buraidah.

    Ooh iya saya masih menunggu bukti nukilan anda dari kitab Tarikh Ibnu Asakir yang anda nukil berisi penjelasan Ibnu Asakir terhadap riwayat Muawiyah meminum minuman haram ini. Buktikan dong kalau anda bukan pendusta?. Jangan sok berkata ulama begini begitu padahal hakikatnya dusta

  32. @SP

    Tidak faham hakekat dusta, ya terjerumus dalam tuduhan dusta.

    Sok berkaedah ilmu hadits, terbukti menolak ijma’ penerimaan riwayat Muawwiyyah yang dirumuskan para ahli hadits.

    Muawwiyyah saja dituduh pendusta, tidak kaget kalau menuduh saya sebagai pendusta.

    Mengherankannya lagi dengan kejujuran Buraidah …apa hubungannya ?…

  33. @abu azifah

    Tidak faham hakekat dusta, ya terjerumus dalam tuduhan dusta.

    Ucapan itu sangat pantas ditujukan untuk anda sendiri. Disini bukan ajang pamer tuduhan. Kalau berbicara itu dengan bukti bukan khayalan dan bualan. Saya menyatakan anda pendusta, itu buktinya sudah jelas, contohnya adalah nukilan penjelasan Ibnu Asakir mengenai hadis ini dimana anda berkata

    Hal ini lah yang telah diterangkan oleh Imam Ibnu Asakir tentang siapa yang mengatakan pengharaman minuman yang disajikan.
    Imam Ibnu ‘Asakir menjawab,
    “(yang mengatakan) Yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, barangkali dia mengatakan demikian ketika melihat adanya ketidaksukaan dan penolakan pada wajah Buraidah, yang menunjukkan dugaan bahwa dia meminum sesuatu yang diharamkan. Wallahu A’lam.” (Tarikh Dimasyq, Hal. 417).

    Apa anda pikir saya tidak punya kitab Tarikh Ibnu Asakir?. Makanya saya minta anda buktikan sebutkan saja di jilid berapa dalam kitab itu atau sekalian nukilkan teks arabnya bila perlu scan kitabnya. Kalau tidak mau dikatakan berdusta atas Ibnu Asakir ya silakan buktikan

    Sok berkaedah ilmu hadits, terbukti menolak ijma’ penerimaan riwayat Muawwiyyah yang dirumuskan para ahli hadits.
    Muawwiyyah saja dituduh pendusta, tidak kaget kalau menuduh saya sebagai pendusta.

    Kalau ilmu cuma secuil ya tidak perlu berlagak paham. Ijma’ yang anda katakan itu tidak ada gunanya dihadapan hadis shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dan kalau memang anda sanggup silakan buktikan di kitab mana ternukil Ijma’ penerimaan riwayat Muawiyah?. Sekedar untuk mlihat sejauh mana anda paham dengan apa yang anda bicarakan. Adapun pernyataan saya bahwa Muawiyah pernah berdusta, itu sudah saya bahas dalam tulisan khusus

    Muawiyah bin Abu Sufyan Berdusta Atas Nama Rasulullah [Shallallahu ‘Alaihi Wasallam]

    Mu’awiyah bin Abu Sufyaan Berdusta Atas Rasulullah [Bagian Kedua]

    Mengherankannya lagi dengan kejujuran Buraidah …apa hubungannya ?…

    Ya bagi orang yang pura-pura bodoh atau memang beneran bodoh, memang tidak ada hubungannya. Padahal jelas sekali Buraidah dalam hadis di atas mengatakan minuman itu diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Anda lebih mempercayai Muawiyah kalau itu susu maka berarti mendustakan Buraidah?. sederhana sekali.

    Saya ulangi sekali lagi wahai abu fulan, jika memang anda tidak mau dikatakan pendusta maka silakan bawakan bukti nukilan Ibnu Asakir yang anda bawakan dengan sok yakin itu. Saya tunggu untuk kesekian kalinya

  34. @SP

    Memang teko tidak keluar kecuali isinya.

    Tulisannya penuh caci maki, mudah-mudahan berbeda dengan isi hatinya.

    Sudah saya nukilkan perkataan Imam Asakir di tarikh Dimasyq hal 417, dimana dusta saya ?

    Anda paham ndak kaedah tuduhan …? si penuduh dituntut bukti, si tertuduh disumpah.(terlalu jauh kali ya !!), maka seharusnya anda buktikan kalau tuduhan anda itu benar, bukan saya yang membuktikan. Buktikan tarikh dimasyq hal 417 bukan seperti yang saya nukil.

    Muawwiyyah periwayatannya diterima oleh seluruh ahli hadits sudah terlalu masyhur, sedangkan riwayat-riwayat yang anda nukil masih dapat bermakna global yang masih dapat didudukkan pada tempatnya.

    Apalagi menjadikan perkataan Ali bin Ja’d, yang mengatakan kalau Alloh mengazab Muawwiyyah aku tidak keberatan, merupakan jarh atas kejujuran Muawwiyyah sangat jauh sekali mas. Ali bin Ja’d merupakan pengikut Ali ra yang memerangi Muawwwiyyah sangat wajar sekali bila ia marah atas terbunuhnya sahabat-sahabatnya, jadi bukan persoalan tentang ‘adalah Muawwiyyah.

    Mempercayai kejujuran Muawwiyyah berarti mendustakan Buraidah …logika dari mana ?

    Mempercayai Buraidah berarti mendustakan Muawwiyyah … kacau balau betul logika anda !!

    Memahami perkara ini hanya berkisar kepada kesalah pahaman tentang minuman yang ditawarkan Muawwiyyah, lebih logis daripada logika anda, tidak mendustakan Buraidah maupun Muawwiyyah.

    Kali ini anda yang mengalami waham khayal yang tidak sesuai dengan metode-metode musthalah hadits yang selama ini.anda gunakan untuk membantah dan mencaci maki.

  35. @abu azifah

    Memang teko tidak keluar kecuali isinya.
    Tulisannya penuh caci maki, mudah-mudahan berbeda dengan isi hatinya.
    Sudah saya nukilkan perkataan Imam Asakir di tarikh Dimasyq hal 417, dimana dusta saya ?
    Anda paham ndak kaedah tuduhan …? si penuduh dituntut bukti, si tertuduh disumpah.(terlalu jauh kali ya !!), maka seharusnya anda buktikan kalau tuduhan anda itu benar, bukan saya yang membuktikan. Buktikan tarikh dimasyq hal 417 bukan seperti yang saya nukil.

    Lho masih tidak paham. Bukti bahwa anda berdusta adalah sampai sekarang anda tidak bisa menyebutkan dalam kitab Tarikh Dimasyq jilid atau juz berapa hal 417 yang anda maksud. Anda tahu tidak kalau kitab Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir itu ada lebih kurang 80 jilid atau juz. Kalau memang anda membaca kitab tersebut ya gampang tinggal sebutkan juz berapa hal 417 yang anda maksud.

    Dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir hadis tentang Muawiyah meminum minuman haram di atas diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq juz 27 hal 127 dan tidak ada penjelasan Ibnu Asakir yang anda nukilkan tersebut. Jadi jangan sok bergaya bung tunjukkan dulu referensi yang benar. Saya tidak menemukan ada penjelasan Ibnu Asakir yang anda nukil dalam kitab Tarikh Dimasyq tersebut. Minimal sebutkan saja juz-nya kalau memang anda tidak sedang berdusta. Susah sekali bicara ilmiah dengan anda ini

    Muawwiyyah periwayatannya diterima oleh seluruh ahli hadits sudah terlalu masyhur, sedangkan riwayat-riwayat yang anda nukil masih dapat bermakna global yang masih dapat didudukkan pada tempatnya.

    Maaf komentar yang tidak ada gunanya, jika anda membaca salah satu tulisan yang saya cantumkan link-nya maka Ibnu Abbas juga menuduh Muawiyah tersebut berdusta atas Allah SWT dan Rasul-Nya.

    Apalagi menjadikan perkataan Ali bin Ja’d, yang mengatakan kalau Alloh mengazab Muawwiyyah aku tidak keberatan, merupakan jarh atas kejujuran Muawwiyyah sangat jauh sekali mas. Ali bin Ja’d merupakan pengikut Ali ra yang memerangi Muawwwiyyah sangat wajar sekali bila ia marah atas terbunuhnya sahabat-sahabatnya, jadi bukan persoalan tentang ‘adalah Muawwiyyah.

    Maaf anda ini pendusta atau pembual?. Aliy bin Ja’d yang dimaksud adalah salah satu guru dari Bukhariy dan ia yang menyatakan bahwa Muawiyah mati tidak dalam agam islam. Apanya yang marah atas terbunuh sahabat-sahabatnya?. Orang mana yang anda bicarakan, dasar pengkhayal

    Mempercayai kejujuran Muawwiyyah berarti mendustakan Buraidah …logika dari mana ?
    Mempercayai Buraidah berarti mendustakan Muawwiyyah … kacau balau betul logika anda !!
    Memahami perkara ini hanya berkisar kepada kesalah pahaman tentang minuman yang ditawarkan Muawwiyyah, lebih logis daripada logika anda, tidak mendustakan Buraidah maupun Muawwiyyah.

    Mungkin logis sesuai dengan akal orang kerdil. Buraidah itu orang yang melihat langsung minuman tersebut maka bagaimana bisa anda yang datang 14 abad setelahnya mengatakan Buraidah salah paham. Melihat dengan mata kepala sendiri bahkan di depan mata kok bisa dikatakan salah paham. Maaf tidak semua orang punya akal kerdil. Melihat dengan mata kepala sendiri bahkan di depan mata itu adalah kesaksian yang sangat jelas. Kalau anda menyalahkan Buraidah dalam kasus ini berarti anda menolak kesaksiannya dan itu berarti mendustakannya. Sekali lagi ini sangat sederhana

  36. @abu azifah

    Anda berkata :

    Apalagi menjadikan perkataan Ali bin Ja’d, yang mengatakan kalau Alloh mengazab Muawwiyyah aku tidak keberatan, merupakan jarh atas kejujuran Muawwiyyah sangat jauh sekali mas. Ali bin Ja’d merupakan pengikut Ali ra yang memerangi Muawwwiyyah sangat wajar sekali bila ia marah atas terbunuhnya sahabat-sahabatnya, jadi bukan persoalan tentang ‘adalah Muawwiyyah.

    ————-

    Sumber penukilan anda bahwa Ali bin Ja’d berada di pihak Ali tatkala memerangi Muawwiyah dan pernah berkata bahwa Allah mengazab Muawwiyyah itu dari mana mas ? Setahu saya Ali bin Ja’d ini wafat tahun 230 H jadi jauh sekali masanya tatkala terjadi peperangan antara Ali dan Muawwiyah. Hebat . . . luas sekali bacaan anda . . .

    Oh ya mengenai kitab Tarikh Ibnu Asakir maka apa susahnya bagi anda untuk memenuhi permintaan Bung @SP untuk menunjukkan dijilid berapa perkataan itu anda nukil. Kalau anda tidak senang dikatakan pendusta maka setidaknya bisa jadi anda telah menjadi korban kedustaan orang lain karena begitu mudahnya mengutip dan menyebarkan tulisan orang lain tanpa melakukan verifikasi akan kebenaran penukilan tersebut.

  37. @SP

    Siapa yang tidak ilmah ?

    Perkataan Imam Ibnu Asakir terdapat dalam tarikh dimasyq hal 417, lalu anda menuduh saya dusta, seharusnya andalah yang membuktikan bahwa saya dusta, dengan mencantumkan bahwa tarikh dimasyq hal 417 bukan kalimat tersebut.

    Sekedar penguat kecil, saya sampaikan matannya :

    Imam Ibnu ‘Asakir memberikan komentar sebagai berikut:

    أي: معاوية بن أبي سفيان، ولعله قال ذلك لِما رأَى من الكراهة والإنكار في وجه بريدة، لظنِّه أنه شرابٌ مُحرَّم، والله أعلم .

    “Yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, barangkali dia mengatakan demikian ketika melihat adanya ketidaksukaan dan penolakan pada wajah Buraidah, yang menunjukkan dugaan bahwa dia meminum sesuatu yang diharamkan. Wallahu A’lam.” (Tarikh Dimasyq, Hal. 417)

    Saya tunggu pembuktian anda !

  38. @abu azifah

    Sungguh anda ini benar-benar tidak tahu malu. Sebelum saya membuktikan secara jelas kedustaan anda atas Ibnu Asakir dan nukilan arab yang anda cantumkan tersebut maka saya akan bertanya terlebih dahulu. Kutipan arab yang anda nukil itu apakah anda baca langsung dari kitab Tarikh Dimasyq hal 417 atau tidak?. Tidak usah basa basi ya, langsung jawab saja baca langsung kitab tersebut atau tidak.

  39. @SP

    Pertanyaan yang tidak ilmiah !

    Ini hanya cara anda melemahkan lawan diskusi anda dengan mencari-cari sisi ketergelincirannya, seperti yang anda lakukan kepada Ust Abdurrahman Al Amiry. Lalu melupakan hujjah-hujjahnya.

    Hujjah yang sudah disepakati ahli hadits, bahwa baik Buraidah maupun Muawwiyyah adalah shahabat Nabi saw yang ‘adil.

    Sebenarnya diskusi ini sudah pada titik kesepakatan yang mendekati puncak.

    Memutuskan jenis minuman yang ditawarkan adalah khamr adalah kekeliruan yang nyata, alangkah bodohnya Muawiyah mengelabuhi Buraidah dengan khamr kemudian dikatakan susu.

    Memutuskan jenis minuman yang ditawarkan adalah susu adalah kekeliruan yang nyata pula, alangkah bodohnya Buraidah susu kok diharamkan.

    So… minuman yang ditawarkan adalah jenis minuman yang masih syubhat, yaitu sejenis minuman olahan.

    Saya katakan kepada anda, ketika kami mengatakan bahwa Buraidah telah salah paham atas minuman yang ditawarkan Muawiyah tidak lantas kemudian kami mendustakan Buraidah. MENG-KELIRU-KAN TIDAK SAMA DENGAN MENDUSTAKAN. TOLONG INI DIFAHAMI !!!

    Lalu datang klarifikasi dari Muawiyah atas salah paham ini, bahwa minuman tadi adalah sejenis susu olahan.

    Berdasarkan kaedah semua shahabat adalah adil, maka saya mempercayai klarifikasi Muawiyah tadi.

    Kalau anda tidak mempercayai ‘adalah semua shahabat nabi termasuk Muawiyah, maka ketahuilah bahwa anda sedang berusaha memadamkan matahari, menyalahkan Bukahri dan Muslim yang memasukkan periwayatan Muawiyah dalam kitab shahih mereka, dimana TELAH IJMA’ para ulama akan keshahihan kedua kitab tersebut.

    So…. ternyata anda mengalami waham khayal, dan sangat tidak ilmiah dalam masalah ini. Anda sedang berkhayal bahwa Muawiyah minum minuman yang haram. Anda sedang berkhayal bahwa Muawiyah adalah pendusta.

    Bangunlah wahai mas SP !!!

    Kembalilah kepada kaedah ilmu musthalah hadits yang benar !!!

  40. @abu azifah

    Pertanyaan yang tidak ilmiah !
    Ini hanya cara anda melemahkan lawan diskusi anda dengan mencari-cari sisi ketergelincirannya, seperti yang anda lakukan kepada Ust Abdurrahman Al Amiry. Lalu melupakan hujjah-hujjahnya.

    Apanya yang tidak ilmiah?. Anda itu cuma bisa asal sebut tetapi tidak paham apa itu ilmiah. Lihat kembali komentar anda di atas, bukankah anda yang meminta saya membuktikan kalau memang anda berdusta atas Ibnu Asakir. Saya bersedia membuktikannya asalkan anda memang mengaku membaca langsung kitab Tarikh Dimasyq hal 471. Apa susahnya mengaku kalau memang membaca langsung?.

    Ucapan anda yang mengatakan hal ini merupakan cara melemahkan lawan diskusi hanya menunjukkan bahwa pikiran anda sudah begitu miringnya. Masa’ ketika ditanya anda membaca langsung atau tidak Tarikh Dimasyq hal 471 yang anda nukil, anda malah mengatakan pertanyaan itu melemahkan anda. Itu pertanyaan yang wajar-wajar saja. Berani berbuat berani bertanggungjawab. Berani berhujjah ya berani menjawab ketika ditanya. Apa masalahnya?. Orang yang normal tinggal menjawab “ya saya membaca langsung Tarikh Dimasyq hal 471 tersebut”, Gampang sekali gak pakai ribet. Setelah itu baru saya akan tunjukkan kedustaan anda lengkap dengan penjelasan referensinya. Sudah jelas anda terbukti berdusta dalam hal ini

    Tidak usah bawa-bawa Al Amiriy, kualitas anda jauh lebih rendah dari dirinya. Pembahasannya ada dalam tulisan lain, kalau anda merasa ada penjelasan saya yang bermasalah ya silakan tunjukkan pada tulisan yang dimaksud. Dalam tulisan saya, saya selalu membahas secara objektif hujah Al Amiriy dan dalam sebagian tulisannya ia memang terbukti berdusta

    Hujjah yang sudah disepakati ahli hadits, bahwa baik Buraidah maupun Muawwiyyah adalah shahabat Nabi saw yang ‘adil.

    Maaf anda itu tidak memiliki metode dalam berhujjah. Tidak ada gunanya anda menukil kesepakatan ahli hadis ketika saya membuktikan berbagai hadis shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menjatuhkan keadilan Muawiyah. Apalagi juga terbukti dengan hadis shahih bahwa Muawiyah pernah berdusta dan terbukti pula dalam riwayat shahih bahwa Ibnu Abbas menyatakan Muawiyah berdusta

    Sebenarnya diskusi ini sudah pada titik kesepakatan yang mendekati puncak.
    Memutuskan jenis minuman yang ditawarkan adalah khamr adalah kekeliruan yang nyata, alangkah bodohnya Muawiyah mengelabuhi Buraidah dengan khamr kemudian dikatakan susu.
    Memutuskan jenis minuman yang ditawarkan adalah susu adalah kekeliruan yang nyata pula, alangkah bodohnya Buraidah susu kok diharamkan.
    So… minuman yang ditawarkan adalah jenis minuman yang masih syubhat, yaitu sejenis minuman olahan.

    Boleh saja mengatakan itu sejenis minuman olahan tetapi intinya apapun itu, Buraidah telah menyatakan bahwa ia pernah meminumnya dahulu kemudian berhenti sejak diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bagaimana mungkin dikatakan Buraidah salah paham, lha dia melihat sendiri dan yakin bahwa dulu pernah meminumnya. Menyalahkan kesaksian dengan mata kepala sendiri untuk perkara yang benar-benar di depan mata adalah mendustakan kesaksian tersebut. Kalau yang begitu saja tidak paham maka ada yang salah dengan otak anda.

    Saya katakan kepada anda, ketika kami mengatakan bahwa Buraidah telah salah paham atas minuman yang ditawarkan Muawiyah tidak lantas kemudian kami mendustakan Buraidah. MENG-KELIRU-KAN TIDAK SAMA DENGAN MENDUSTAKAN. TOLONG INI DIFAHAMI !!!

    Keliru itu ada batasannya, kalau seseorang mendengar kabar dari orang lain, tidak menyaksikan sendiri atau menyamaikan pendapatnya maka pernyataan “keliru” bisa masuk ke dalam lingkup ini. Tetapi kalau sudah berkaitan dengan kesaksian melihat dengan mata kepala sendiri dan apa yang dilihat itu berada di depan mata maka jauh sekali unsur keliru disini. Menyalahkannya berarti tidak menerima kesaksiannya ya itu berarti mendustakan kesaksiannya.

    Kalau Buraidah disini tidak menyaksikan langsung minuman tersebut atau Buraidah mendengar kabar yang sampai kepadanya maka saya terima pernyataan keliru terhadap Buraidah tetapi dalam perkara ini adalah kesaksian Buraidah untuk apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri perkara yang berada di depan matanya jadi jauh sekali unsur keliru terhadap Buraidah

    Lalu datang klarifikasi dari Muawiyah atas salah paham ini, bahwa minuman tadi adalah sejenis susu olahan.
    Berdasarkan kaedah semua shahabat adalah adil, maka saya mempercayai klarifikasi Muawiyah tadi.

    Tidak ada dalam teks riwayat Muawiyah menjelaskan atau mengklarifikasi salah paham Buraidah. Cara orang mengingatkan orang yang salah paham itu sangat berbeda sekali. Apalagi disini Buraidah menisbatkan perkataannya atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jadi kalau Muawiyah ingin mengklarifikasi salah paham Buraidah maka pasti akan terdapat lafaz teguran terhadap Buraidah, minimal mengingatkan Buraidah bahwa apa yang ia katakan keliru tetapi kenyataannya tidak ada lafaz tersebut. Bahkan dalam lafaz tersebut terdapat pujian terhadap Buraidah dimana Muawiyah mengatakan “orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. Justru perkataan ini pujian Muawiyah terhadap Buraidah. Kalau memang Buraidah salah paham harusnya Muawiyah mengoreksinya bukan memujinya. Jadi penjelasan salah paham Buraidah itu sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan teks riwayat

    Sebenarnya walaupun anda mempercayai keadilan Muawiyah tetap saja dalam hal ini Muawiyah terbukti meminum minuman yang haram. Artinya susu yang dimaksud tersebut sudah tercampur dengan unsur haram oleh karena itulah Buraidah menyatakan itu diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kalau penjelasan anda seperti ini maka saya bisa menerimanya, di satu sisi anda tetap mempercayai Muawiyah dan di sisi lain anda tetap tidak mendustakan Buraidah. Lucunya anda, demi membela Muawiyah anda bersikeras menolak Muawiyah meminum minuman yang haram ya artinya anda menolak kesaksian Buraidah ya itu berarti mendustakan kesaksiannya. Mengapa anda tidak percaya dengan Buraidah tetapi percaya pada Muawiyah?. mana bukti anda menganggap semua sahabat adil kalau anda dengan mudahnya mendustakan Buraidah

    Kalau anda tidak mempercayai ‘adalah semua shahabat nabi termasuk Muawiyah, maka ketahuilah bahwa anda sedang berusaha memadamkan matahari, menyalahkan Bukahri dan Muslim yang memasukkan periwayatan Muawiyah dalam kitab shahih mereka, dimana TELAH IJMA’ para ulama akan keshahihan kedua kitab tersebut.

    Sudah dari dulu saya menyebutkan pandangan saya tentang sahabat yaitu para sahabat Nabi kedudukannya adil kecuali jika terdapat bukti yang menjatuhkan keadilannya. Bukti yang saya maksud tentu saja hadis-hadis shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mencela atau melaknat sahabat tertentu atau menyatakan sahabat tersebut ahli neraka. Maka hal ini sangat jelas menjatuhkan keadilan sahabat tersebut. Pandangan saya ini tegak atas dasar ilmiah dan shahih jadi tidak ada gunanya ijma’ yang anda klaim tersebut di hadapan hadis shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]

    So…. ternyata anda mengalami waham khayal, dan sangat tidak ilmiah dalam masalah ini. Anda sedang berkhayal bahwa Muawiyah minum minuman yang haram. Anda sedang berkhayal bahwa Muawiyah adalah pendusta.

    Jangankan saya, Buraidah saja anda dustakan ketika menyatakan Muawiyah meminum minuman haram dan Ibnu Abbas juga anda dustakan ketika menyatakan Muawiyah pendusta

    Bangunlah wahai mas SP !!!
    Kembalilah kepada kaedah ilmu musthalah hadits yang benar !!!

    Sejak awal saya selalu berusaha berdiri di atas kaidah ilmiah ilmu hadis. Hanya saja orang-orang seperti anda sok bergaya ilmiah tetapi tidak pernah belajar ilmu musthalah hadis dengan benar. Kalau hakikat diri anda jahil dan pendusta ya tidak perlu berlagak ilmiah, sangat memalukan

    Saya masih menunggu jawaban dari anda, Apakah anda membaca langsung kitab Tarikh Dimasyq hal 471 yang anda nukil beserta teks arabnya di atas?. Tolong langsung dijawab, tidak usah basa basi. Orang yang jujur tidak akan kesulitan menjawabnya tetapi kalau pendusta biasanya malu atau takut ketika kedustaannya terungkap. Tinggal dijawab setelah itu akan saya buktikandengan rinci kedustaan anda, bukankah anda sebelumnya meminta saya membuktikan. Nah saya mau membuktikan sejelas-jelasnya tetapi dengan syarat anda menjawab dahulu pertanyaan tersebut. Saya tunggu ya

  41. Salam.. cuma sekadar lewat.. jgn dibaca terlalu serius.. terkait persoalan referensi di atas, yakni kitab tarikh madinah dimasyqa karya Ibn Asakir, sejauh yang berhasil saya baca, saya belum menemukan kutipan dimaksud (أي: معاوية بن أبي سفيان، ولعله قال ذلك لِما رأَى من الكراهة والإنكار في وجه بريدة، لظنِّه أنه شرابٌ مُحرَّم، والله أعلم) pada halaman 417 dari 80 juz kitab tersebut.. barangkali beda versi terbitan atau mata saya yang lamur.. satu-satunya tulisan Ibn Asakir terkait hadits di atas adalah pada kitab yg sama, juz 27, hlm. 127.. tapi pada halaman tersebut dan halaman setelahnya, Ibn Asakir tdk menulis seperti yg dikutip..

    [URL=http://s299.photobucket.com/user/bangqonol/media/Ibn%20Asakir%20127.png.html][IMG]http://i299.photobucket.com/albums/mm298/bangqonol/Ibn%20Asakir%20127.png[/IMG][/URL]

    sejauh yang bisa saya temukan, kutipan (أي: معاوية بن أبي سفيان، ولعله قال ذلك لِما رأَى من الكراهة والإنكار في وجه بريدة، لظنِّه أنه شرابٌ مُحرَّم، والله أعلم) ini terdapat pada musnad Imam Ahmad, juz 38 hlm. 26..

    [URL=http://s299.photobucket.com/user/bangqonol/media/Musnad%20Ahmad%2050.png.html][IMG]http://i299.photobucket.com/albums/mm298/bangqonol/Musnad%20Ahmad%2050.png[/IMG][/URL]

    dan perkataan tersebut, sejauh paham saya hanyalah pendapat sang muhaqqiq kitab, bukan perkataan Ibn Asakir (tolong dibaca langsung pada kitabnya, barangkali saya yg salah memahami..). Masalahnya, pada hlm. yg sama, sang muhaqqiq juga menyebutkan bahwa hadits ini juga disebut dlm karya Ibn Asakir hlm. 417 (haditsnya ya, bukan kutipan pendapat).. terlepas dari perbedaan halaman dlm karya Ibn Asakir dmn beliau menuliskan hadits tersebut, yg pasti pendapat seperti yg dikutip soal ‘kebencian dan penolakan Buraidah terhadap Muawiyah’, sejauh yg saya pahami, bukan berasal dari Ibn Asakir.. o’ya, kutipan yg terdapat dlm musnad Imam Ahmad dari muhaqqiq tersebut, seringkali dikutip pula oleh para penulis lainnya, namun tidak dalam kerangka kalimat yg menyatakan bahwa pendapat tersebut berasal dri Ibn Asakir.. hanya saja, karena ada penyebutan Ibn Asakir sebelumnya, beberapa orang sering menghubungkannya dengan beliau yg sejatinya tidak menulis hal tersebut..

    Tapi ya, barangkali saya yg salah baca atau gagal paham.. silahkan diteliti lagi pada karya-karya aslinya, baik dri Ibn Asakir ataupun Imam Ahmad.. dan kalo gambar scanan kitab ga keluar pada komentar ini, so somebody please help me, gmn caranya nampilin gambar di kolom komentar ini, ndak ngerti saya..

  42. @SP

    Wahai SP berani berbuat berani bertanggungjawab, berani mendustakan berani membuktikan !!

    Sekian banyak nukilan-nukilan, apa ilmiahnya setiap nukilan dipertanyaan apakah engkau pernah membacanya sendiri ? Aneh !!

    Buktikan penukilan saya keliru, tidak perlu bertanya yang macam-macam, yang tidak ilmiah !!

    Sedikit melebar agar pemahaman anda tidak kaku.
    Tidakkah anda tahu ada beberapa makanan atau minuman yang syubhat yang ada disekitar kita, apalagi terjadi pada masa dahulu.
    Ambil contoh rica-rica, didaerah tertentu sudah masyhur bahwa rica-rica tersebut adalah olahan daging anjing yang tidak disembelih secara benar. Akan tetapi bisa jadi rica-rica tersebut adalah dari daging ayam. Nah Buraidah melihat didepan mata rica-rica tersebut dan memahaminya adalah rica-rica yang haram, sedang Muawiyah mengklarifikasi bahwa rica-rica yang ditawarkan tidak seperti yang masyhur diketahui akan tetapi terbuat dari daging ayam. Tidak sulit lho mas !

    Tidak mendustakan Buraidah, tidak mendustakan Muawiyah.

    Sekali lagi, SEMUA SHAHABAT ADALAH ADIL, SUDAH IJMA’, sekalai lagi, SEMUA TIDAK TERKECUALI. Kalau ada kesalahan disikapi dengan husnudzdzon, tanpa ada celaan, demikian wasiat Rasulullah saw.

    Saya tegaskan sekali anda SUDAH MENYIMPANG DARI IJMA’, sedangkan hadits-hadits anda lemah atau dapat didudukkan tanpa ada pencelaan terhadap shahabat Nabi saw.

  43. […] ini membela Mu’awiyah yang terbukti dalam riwayat shahih telah meminum minuman yang diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Memang orang ini tidak sendiri dalam membela Mu’awiyah. Ada juga sebagian ulama yang membela […]

  44. @abu azifah

    Soal kedustaan anda sudah saya bahas dalam tulisan khusus. Silakan dilihat semoga anda semakin sombong dengan kedustaan anda tersebut.

    Sedikit melebar agar pemahaman anda tidak kaku.
    Tidakkah anda tahu ada beberapa makanan atau minuman yang syubhat yang ada disekitar kita, apalagi terjadi pada masa dahulu.
    Ambil contoh rica-rica, didaerah tertentu sudah masyhur bahwa rica-rica tersebut adalah olahan daging anjing yang tidak disembelih secara benar. Akan tetapi bisa jadi rica-rica tersebut adalah dari daging ayam. Nah Buraidah melihat didepan mata rica-rica tersebut dan memahaminya adalah rica-rica yang haram, sedang Muawiyah mengklarifikasi bahwa rica-rica yang ditawarkan tidak seperti yang masyhur diketahui akan tetapi terbuat dari daging ayam. Tidak sulit lho mas !
    Tidak mendustakan Buraidah, tidak mendustakan Muawiyah.

    Alaah saya sudah pengalaman berhadapan dengan orang ngeyel bin jahil seperti anda dimulai dari imem, antirafidhah, nyalap dan sebagainya. karakter semuanya sama suka ngeyel dalam berhujjah, khayalan bin khurafat dijadikan hujjah dan argumen. Untuk orang seperti anda tidak ada yang tidak mungkin, mungkin kotoranpun bisa anda sulap dengan kengeyelan anda menjadi sesuatu yang halal kalau hal itu sesuai dengan kepentingan anda. Kedustaan Muawiyah yang sudah jelaspun dengan kengeyelan anda bisa anda sulap menjadi keutamaannya. Menyedihkan sekali

    Kalau ingin berhujjah tidak perlu berandai-andai soal rica-rica versi khayalan anda. Langsung saja seperti yang saya lakukan dengan hadis tersebut. Minuman itu adalah susu yang dicampur dengan minuman haram. Maka Buraidah melihatnya dan menegaskan hal itu diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Muawiyah tidak salah mengatakan itu susu dan Buraidah benar ketika menegaskan keharamannya. Mudah sekali kalau mau membahas secara ilmiah. Sudah cukuplah wahai pendusta silakan anda dengan hujjah anda dan saya dengan hujjah saya. Kalau mau mengadu hujjah dengan saya tolong dibawa bukti ilmiah bukan dengan khayalan dusta apalagi khayalan rica-rica yang gak jelas arahnya

  45. Kalian orang syiah menjadikan bohong sebagai bagian agama, bagaimana mungkin bisa dipercaya.

    Ada tiga ciri orang munafik.

Tinggalkan komentar