Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah [Bagian Kedua]

Ibnu Abbas dan Nikah Mut’ah [Bagian Kedua]

Berkaitan dengan tulisan sebelumnya dengan judul yang sama, kami membaca tanggapan seorang salafy yang menurut kami tidak valid. Seperti yang pernah kami kemukakan dalam tulisan tersebut “Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah” kami tidak membahas tentang halal atau tidak-nya mut’ah tetapi membahas sikap Ibnu Abbas yang musykil terkait dengan nikah mut’ah.

Pada intinya terdapat riwayat yang menyatakan Ibnu Abbas telah mendengar teguran Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi anehnya setelah itu Ibnu Abbas tetap saja menghalalkan mut’ah. Maka disini terdapat tiga kemungkinan yang kami katakan sebelumnya

  • Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
  • Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
  • Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah

.

.

Salafy yang kebingungan mencoba menjawab ketiga kemungkinan di atas dengan jawaban yang tidak valid dan seperti biasa tampak seperti dalih yang dicari-cari. Mengenai kemungkinan pertama ia berkata

Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah benar, karena terbukti shahih. Adalah mengigau perkataan sebagian orang Syi’ah lain yang mengatakan hadits tersebut palsu saat ia merasa kebingungan dengan logika bingung yang disampaikan rekannya di atas.

Kami Jawab : perkataan yang ia maksud hadis Imam Ali benar adalah benar atau shahih dari segi sanadnya. Hadis tersebut secara sanad memang shahih. Tetapi yang jadi fokus dalam kemungkinan ini adalah matannya, matannya itu mengandung kemusykilan karena disini terdapat indikasi kalau Ibnu Abbas menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Imam Ali. Jika kita berasumsi Ibnu Abbas mustahil mendustakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kemungkinannya hadis Imam Ali itu tidak benar atau dengan kata lain hadis Imam Ali menegur Ibnu Abbas itu tidak shahih secara matan, inilah maksud dari kemungkinan ini. Bisa pembaca lihat perkataan salafy “terbukti shahih” hanya menunjukkan ia tidak mengerti kemungkinan yang kami katakan. Seolah-olah menurutnya hadis yang bersanad shahih sudah pasti benar dan tidak mungkin keliru. Padahal jika ia rajin membaca, ia dapat melihat berbagai hadis yang sanadnya shahih ternyata matannya tidak shahih [tergantung qarinah yang menentang matan tersebut].

.

.

Mengenai kemungkinan kedua dan ketiga salafy itu memberikan jawaban yang aneh yaitu

Ibnu ‘Abbaas tidak menerima perkataan yang disampaikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum itu bukanlah karena semata-mata tidak menerima hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu – bersama sebagian kecil shahabat lainnya – juga mempunyai hadits marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan ‘Aliy bin Abi Thaalib, sehingga itu masih samar baginya.

Kami jawab : Kalau salafy itu ingin mengatakan Ibnu Abbas memiliki hadis marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Imam Ali, maka bukankah itu berarti baik Ibnu Abbas dan Imam Ali sama-sama berpegang kepada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi secara simple baik pendapat yang menghalalkan mut’ah dan yang mengharamkan mut’ah itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau dikatakan Ibnu Abbas berpegang pada hadis marfu’ yang ia miliki dan menolak hadis marfu’ Imam Ali, bukankah ini menunjukkan Ibnu Abbas tidak menganggap Imam Ali bisa dipercaya dalam hadis tersebut, kalau ia menganggap Imam Ali bisa dipercaya soal hadis tersebut maka ia akan menerima bahwa mut’ah telah diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Khaibar.

Perlu diketahui pendapat Ibnu Abbas ini ternyata diikuti oleh sebagian besar sahabat, salah satu dalilnya adalah hadis Jabir dimana ia mengatakan kalau “kami melakukan mut’ah pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar dan Umar”. Lafaz “kami” yang diucapkan Jabir merujuk pada sebagian besar sahabat Nabi [sebagaimana yang dikenal dalam Ulumul hadis].

Jadi penolakan Ibnu ‘Abbaas dikarenakan syubhat. Apalagi sebagian shahabat lain ada yang berpendapat sama dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum karena ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas nikah mut’ah hingga hari kiamat.

Baru beberapa saat yang lalu ia mengatakan kalau Ibnu Abbas memiliki hadis marfu’ dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] anehnya sekarang ia mengatakan Ibnu Abbas mengalami syubhat. Ucapan ini hanya “omong-kosong”, tidak ada satupun pernyataan atau petunjuk Ibnu Abbas mengalami syubhat. Telah ternukil banyak perkataan Ibnu Abbas yang menyatakan dengan tegas akan halalnya mut’ah. Jadi dimana syubhat yang salafy itu katakan. Dan perkataan paling aneh adalah soal “ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Siapa yang ia katakan tidak tahu? Ibnu Abbas kah, bukankah Imam Ali telah menyampaikan hadisnya. Sahabat lain mana yang ia maksud, Apakah Jabir bin Abdullah dan sebagian besar sahabat yang bermut’ah di zaman Abu Bakar dan Umar?. Apakah mereka tidak ikut di Khaibar sehingga mereka tidak tahu hadis tersebut. Bukankah Jabir juga meriwayatkan hadis larangan memakan daging keledai di Khaibar, ini berarti Jabir ikut dalam perang Khaibar tetapi mengapa ia tidak tahu hadis pelarangan mut’ah di Khaibar malah tetap menghalalkan mut’ah?.

Soal hadis larangan mut’ah di Fathul Makkah, apakah Imam Ali tidak ikut dalam Fathul Makkah?. Apakah Imam Ali tidak tahu kalau mut’ah telah dibolehkan saat Fathul Makkah?. Artinya pelarangan di Khaibar itu sudah dihapus oleh kebolehan di Fathul Makkah. Bukankah mengingatkan atau menegur seseorang dengan hadis yang sudah dihapus adalah keliru, Kalau memang Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas maka hadis yang seharusnya disebutkan adalah hadis pengharaman di Fathul Makkah bukan di Khaibar. Apakah Imam Ali tidak bisa memahami hal sederhana seperti itu?. Bukankah Jabir dan sebagian besar sahabat lainnya juga ikut dalam Fathul Makkah, lantas mengapa mereka tidak tahu hadis larangan mut’ah di Fathul Makkah padahal kalau menurut hadis Fathul Makkah, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkhutbah di hadapan banyak orang [para sahabat] pada saat Fathul Makkah.

.

.

Adakah salafy mengerti kemusykilan-kemusykilan ini?. Tidak ada, matanya hanya terbentur pada kata mut’ah haram atau mut’ah dilarang, tanpa ia memikirkan bagaimana kaitannya hadis tersebut dengan hadis lain. Tidak jarang ia berhujjah dengan hadis yang ternyata memiliki pertentangan satu sama lain dan ia mencari takwil untuk mendamaikan pertentangan yang dimaksud [seperti biasa takwil kuno yang turun temurun diwariskan]. Kami akan sedikit menyinggung contoh yang ia sebutkan yaitu soal hadis larangan mut’ah pada tahun Al Fath dan pada tahun Authas. Salafy itu mengatakan Tahun Al Fath dan Tahun Authaas dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah membolehkan mut’ah selama tiga hari adalah tahun yang sama, jadi keduanya bisa dijamak dan tidak ada yang perlu dikontradiktifkan.

Kami jawab : ini adalah takwil kuno yang lemah. Lafaz yang digunakan dalam hadis itu adalah ‘Aama Al Fath dan ‘Aama Authas yang diartikannya Tahun Al Fath dan Tahun Authaas. Maksud Al Fath disana adalah merujuk pada peristiwa Fathul Makkah yang terjadi pada tahun 8 H. Jika seorang sahabat membawakan hadis dengan menggunakan lafaz ‘Aama Al Fath maka itu menunjukkan kalau peristiwa yang dimakud terjadi saat Fathul Makkah, bukannya peristiwa itu bisa terjadi di saat kapan saja pada tahun 8 H. Begitu pula jika sahabat membawakan hadis dengan lafaz ‘Aama Authaas maka maksud sahabat itu adalah peristiwa itu terjadi saat perang Authaas, memang perang Authaas terjadi pada tahun 8 H tetapi bukan berarti lafaz ‘Aama Authas menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di bulan apa saja pada tahun 8 H.  Peristiwa Fathul Makkah dan peristiwa Perang Authaas terjadi pada saat yang berbeda  dan tempat yang berbeda meskipun keduanya terjadi pada tahun 8 H. Perang Authaas terjadi setelah Fathul Makkah. Jika salafy mengklaim kalau mut’ah telah diharamkan selama-lamanya di Fathul Makkah maka mengapa pula pada saat perang Authaas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkannya selama tiga hari.

Kalau salafy itu ingin mengatakan bahwa lafaz ‘Aama Authas yang diucapkan sahabat adalah perstiwa Fathul Makkah, maka alangkah anehnya sahabat itu menyebut peristiwa saat Fathul Makkah dengan lafaz ‘Aama Authaas padahal saat Fathul Makkah belum terjadi perang Authaas. Perlu diketahui Hadis Imam Ali soal larangan mut’ah di Khaibar juga  ada yang menggunakan lafaz ‘Aama Khaibar

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ حُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan hasan putra Muhammad bin Ali dari Ayah keduanya dari Ali radiallahu ‘anhu yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah pada tahun Khaibar dan melarang makan daging keledai [Shahih Bukhari 7/95 no 5523]

Hadis Imam Ali di atas menggunakan lafaz ‘Aama Khaibar untuk menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di Khaibar. Apakah karena perang Khaibar terjadi pada tahun 7 H maka dikatakan kalau peristiwa itu bisa saja terjadi pada bulan mana saja pada tahun 7 H?. Misalnya peristiwa itu terjadi pada bulan lain bukan saat perang Khaibar tetapi tetap pada tahun 7 H, apakah para sahabat akan mengatakan dengan lafaz ‘Aama Khaibar? Hanya orang aneh yang tidak mengerti bahasa arab yang akan mengiyakannya. Nah faktanya begitulah yang ditunjukkan salafy, jika kepepet ia akan berpura-pura tidak mengerti bahasa arab yang penting ia mendapatkan dalih untuk membela pendapatnya. Suatu peristiwa yang ditunjukkan dengan lafaz ‘Aama Khaibar maka peristiwa itu terjadi saat perang Khaibar begitu pula jika lafaz yang digunakan ‘Aama Fath dan ‘Aama Authas berarti peristiwa itu terjadi saat Fathul Makkah dan saat perang Authas. Setting tempatnya berbeda [Fathul Makkah dan Authas], waktunya juga berbeda maka peristiwa yang dimaksud adalah dua peristiwa yang berbeda meskipun keduanya terjadi pada tahun 8 H. Belum lagi ditambah dengan adanya hadis shahih bahwa mut’ah diizinkan saat Haji Wada kemudian diharamkan. Padahal Haji Wada itu terjadi setelah Fathul Makkah dan perang Authas. Banyak sekali kemusykilan yang perlu diselesaikan mengenai hadis-hadis mut’ah.

.

.

Perkara seperti ini biasa kita temukan dalam riwayat, baik para shahabat, tabi’iy, atau para ulama setelah mereka dalam perselisihan fiqhiyyah. Misalnya saja bagaimana perselisihan sebagian shahabat tentang masalah batal tidaknya shalat seseorang karena dilewati tiga hal. Perselisihan sebagian shahabat tentang sifat buang air kecilnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (apakah boleh sambil berdiri). Masalah ru’yatullah saat Mi’raj. Dan yang lainnya masih banyak. Jadi, perselisihan ini dikarenakan perbedaan hadits yang sampai kepada mereka dan/atau pemahaman terhadap hadits tersebut. Inilah kekayaan fiqh Ahlus-Sunnah yang tidak dimiliki Syi’ah. Silakan dieksplore dalam kitab-kitab fiqh yang ada. Dan silakan rekan-rekan baca bagaimana penyikapan khilaf di antara shahabat, karena shahabat itu bukanlah pribadi sempurnah yang menguasai semua riwayat lagi ma’shum. Tidak terkecuali Ibnu ‘Abbaas dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.

Kami jawab : kalimat demi kalimat yang disampaikan salafy itu tidak berkaitan langsung dengan kasus yang kami tunjukkan dimana Imam Ali menyampaikan hadis langsung kepada Ibnu Abbas. Perkara perselisihan sebagian sahabat memang sering terjadi dan itu disebabkan perbedaan hadis yang sampai kepada mereka. Perhatikan pada kata hadis yang sampai pada mereka. Jika telah sampai hadis shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun itu dari sahabat lain, para sahabat tetap akan mengambil hadis shahih tersebut dan meninggalkan pendapat mereka.  Dan kalau mereka tidak mengetahui suatu hadis shahih kemudian sahabat lain menyampaikan hadis shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka mereka akan menerimanya. Tentu lain ceritanya kalau mau dikatakan sahabat yang dimaksud tidak dipercaya oleh sahabat lain maka ada kemungkinan sahabat yang dimaksud belum bisa menerima keshahihan hadis yang disampaikan sahabat lain tersebut.

.

.

Salafy itu sebenarnya tahu kemusykilan sikap Ibnu Abbas sehingga pada akhirnya ia mau menyatakan kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari pandangannya dengan membawakan atsar dari Mustakhraj Abu Awanah

قال يونس قال ابن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز ، وأنا جالس أنه ، قال ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].

Kami jawab : Tidak ada masalah sebenarnya dengan hadis riwayat Abu Awanah di atas, hanya saja salafy yang dimaksud melakukan kesalahan dalam menerjemahkannya. Hadis di atas adalah penggalan dari hadis berikut

قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk, ia [Ibnu Syihab] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini” [Mustakhraj Abu Awanah no 4057].

Jadi hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya bukan hadis Rabi’ bin Sabrah dari Ibnu Abbas karena tidak dikenal Rabi’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Perkataan terakhir soal Ibnu Abbas adalah perkataan Az Zuhri [Ibnu Syihab] bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah seperti menurut terjemahan salafy itu. Ibnu Hajar berkata

وأخرج البيهقي من طريق الزهري قال ما مات بن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا وذكره أبو عوانة في صحيحه أيضا

Dan dikeluarkan Al Baihaqi dari jalan Az Zuhri yang berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”  dan disebutkan pula oleh Abu Awanah dalam Shahihnya [Talkhis Al Habiir 3/158 no 1506]

Jelas seperti yang dikatakan Ibnu Hajar kalau perkataan soal ruju’nya Ibnu Abbas adalah perkataan Ibnu Syihab Az Zuhri bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah. Riwayat Abu Awanah ini adalah satu kesatuan dengan riwayat perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair dalam Shahih Muslim sebelumnya dengan sanad dari Yunus dari Ibnu Syihab, kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri juga membawakan hadis Rabi’ bin Sabrah dan ia [Az Zuhri] memberikan komentar akhir kalau Ibnu Abbas telah menarik fatwanya. Jadi pernyataan ruju’nya Ibnu Abbas adalah pendapat Az Zuhri semata yang tidak shahih sanadnya kepada Ibnu Abbas.

Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah, menegaskan tentang Ayat Al Qur’an yang menghalalkan mut’ah kemudian mengkritik Umar dimana Ibnu Abbas yang menyatakan seandainya mut’ah tidak dilarang Umar maka tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka. Ditambah lagi dengan fakta bahwa beberapa sahabat dan murid Ibnu Abbas seperti Atha’ dan Sa’id bin Jubair juga menghalalkan mut’ah. Jadi kabar ruju’nya Ibnu Abbas dari fatwanya itu kabar yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.

.

.

Tambahan

Kami melihat bantahan lanjutan dari salafy tersebut. Sungguh tidak bisa dimengerti orang yang sudah biasa bergelut dalam ilmu hadis masih saja serampangan dalam membantah ketika telah jelas ditunjukkan kekeliruannya. Sekali lagi mari kami perjelas, lihat baik-baik terjemahan salafy itu

Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].

Yang kami katakan sebagai kesalahan penerjemahan adalah pada kata yang kami cetak tebal. Ia disana adalah Ibnu Syihab Az Zuhriy. Jadi disini maksudnya Yunus berkata kalau ia [Ibnu Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini”. Perkataan tentang Ibnu Abbas ini bukanlah hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz dimana Ibnu Syihab saat itu sedang duduk. Yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah hadis Rabi’ dari ayahnya dimana ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarangnya.

Terdapat bukti yang jelas akan hal ini kalau saja salafy itu menelitinya terlebih dahulu bukannya sibuk membantah orang. Abu Awanah bukan satu-satunya yang meriwayatkan hadis ini. Seperti yang kami katakan sebelumnya hadis Abu Awanah no 4057 adalah gabungan hadis yang awalnya menceritakan perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim. Selain Abu Awanah, hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan Baihaqi. Perhatikan ketiga riwayat mereka

Riwayat Abu Awanah

حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا : أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب ، قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب ، قال : حدثني عروة بن الزبير ، أن عبد الله بن الزبير ، قام بمكة ، فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم ، يفتون بالمتعة ، يعرض بابن عباس ، قال محمد بن يحيى : برجل ، وقال غيره : ابن عباس ، فناداه ابن عباس : إنك جلف جاف ، فلعمري لقد كانت المتعة تعمل في عهد إمام المتقين ، يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال له ابن الزبير : فجرب بنفسك ، فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك ، قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند ابن عباس جاءه رجل  فاستفتاه في المتعة ، فأمره ابن عباس بها ، فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري : مهلا يا ابن عباس قال ابن عباس : أما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين ، قال ابن أبي عمرة : يا أبا عباس إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها ، كالميتة ، والدم ، ولحم الخنزير ، ثم أحكم الله الدين ، ونهى عنها  قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني عبيد الله بن عبد الله أن ابن عباس كان يفتي بها ، ويغمص ذلك عليه أهل العلم فأبى ابن عباس أن ينتقل عن ذلك ، حتى طفق بعض الشعراء يقول : يا صاح هل لك في فتيا ابن عباس ؟ هل لك في ناعم خود مبتلة تكون مثواك حتى يصدر الناس ؟ قال : فازداد أهل العلم لها قذرا ، ولها بغضا حين قيل فيها الأشعار قال يونس : قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Riwayat Muslim dalam Shahih Muslim 2/1023 no 1406

وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال  إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
قال ابن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينا هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فأمره بها فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي ؟ والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال ابن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها
قال ابن شهاب وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال ابن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبدالعزيز وأنا جالس

Riwayat Baihaqi dalam Sunan Baihaqi 7/205 no 13942

وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنبأ أبو علي الحسين بن علي الحافظ أنبأ محمد بن الحسن بن قتيبة ثنا حرملة بن يحيى أنبأ بن وهب أخبرني يونس قال قال بن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة ويعرض بالرجل فناداه فقال إنك جلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل في عهد إمام المتقين يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال بن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك قال بن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فقال له بن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال بن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن يضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها قال بن شهاب وأخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Perhatikan baik-baik, pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Abu Awanah terjemahannya adalah sebagai berikut

Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk.

Pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Muslim terjemahannya adalah sebagai berikut

 Ibnu Syihab berkata : dan telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis yang demikian [dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk

Dan begitu pula pada lafaz hadis yang kami garis bawahi dan hadis yang kami cetak merah riwayat Baihaqi, terjemahannya sebagai berikut

Ibnu Syihab berkata : dan telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis yang demikian [dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk

Dari ketiga riwayat di atas [Abu Awanah, Baihaqi dan Muslim] dapat diketahui kalau sebenarnya hadis yang diceritakan oleh Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu Ibnu Syihab Az Zuhri sedang duduk adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya sebelumnya dimana ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarangnya. Sedangkan tambahan akhir pada riwayat Abu Awanah adalah perkataan Yunus kalau Ibnu Syihab Az Zuhri berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”. Hal ini bahkan telah jelas dinyatakan oleh Ibnu Hajar kalau itu adalah perkataan Az Zuhri.

Secara keseluruhan Ibnu Syihab Az Zuhri menceritakan hadis perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang mut’ah dimana Ibnu Abbas menghalalkannya dan Ibnu Zubair mengharamkannya kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri mengutip hadis lain dimana Rabi’ bin Sabrah meriwayatkan dari ayahnya kalau mut’ah telah dilarang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dimana hadis itu diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz ketika Ibnu Syihab Az Zuhri duduk bersamanya. Sebagai penutup Ibnu Syihab mengakhiri dengan perkataannya kalau Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwanya. Ini semua disampaikan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri kepada Yunus bin Yazid. Jadi terjemahan yang tepat untuk lafaz akhir Abu Awanah

قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis [yaitu riwayat dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk. [Yunus berkata] Ia [Ibnu Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”.

Dengan merujuk pada riwayat Muslim dan Baihaqi maka perkataan Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk adalah terikat dengan perkataan sebelumnya dan hadis yang dimaksud adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya tentang larangan mut’ah. Sedangkan lafaz annahu qalaa : tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya tidak terkait dengan hadis Rabi’ bin Sabrah, lafaz ini adalah lafaz Yunus bin Yazid dan hu dalam kata annahu merujuk pada Ibnu Syihab Az Zuhri. Ingat riwayat Muslim dan Baihaqi berhenti pada kata wa ana jalis kalau perkataan tentang Ibnu Abbas adalah hadis Ibnu Sabrah maka bagaimana menjelaskan hadis riwayat Muslim dan Baihaqi yang terpotong pada kata wa ana jalis. Apalagi dalam Talkhis Al Habir Ibnu Hajar telah menyebutkan kalau perkataan tentang Ibnu Abbas itu adalah perkataan Az Zuhri.

Nah bukti-bukti telah ditunjukkan, kalau Salafy itu masih berkeras kepala ya silakan saja. Bukankah salah satu bentuk kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain?. Agak sedikit aneh, biasanya salafy itu memiliki metode mengumpulkan riwayat yang sama dari berbagai sumber baru kemudian menarik kesimpulan walaupun kami juga harus mengakui bahwa ini bukan pertama kalinya salafy itu melakukan kesalahan penerjemahan karena lalai memperhatikan hadis yang sama dari kitab lain. Mungkin pembaca masih ingat dengan diskusi kami dengannya soal hadis Ibnu Zubair yang ia kira sebagai hadis Sa’id bin Al ‘Ash, itu kesalahan penerjemahan karena tidak memperhatikan hadis yang sama dalam kitab-kitab lain.

.

.


Bagaimana? Bukankah jelas tidak ada satupun penjelasan salafy itu yang memuaskan. Ia hanya sibuk dengan usahanya mengharamkan mut’ah dengan dalil-dalil yang sudah sangat dikenal [baik yang pro dan yang kontra]. Kalau cuma sibuk membawakan dalil, maka baik yang mengharamkan dan yang menghalalkan sama-sama memiliki dalil. Yang harusnya dibahas panjang lebar adalah bagaimana caranya menyelesaikan kemusykilan yang tampak dari berbagai dalil tersebut kalau cuma mengulang apologi dan dalih kuno yang ternyata masih banyak lubangnya maka apalah gunanya. Apalagi berbasa-basi menyindir kalau hadis Imam Ali itu keliru maka Imam Ali kalah alim dari Ibnu Abbas? Lha apa salafy itu gak berpikir dengan benar, dengan logika salafy itu kalau hadis Imam Ali benar apakah Imam Ali itu juga kalah alim dari Sabrah? karena hadis larangan di Khaibar sudah dihapuskan dengan kebolehan di Fathul Makkah.

Dan sindiran lain salafy itu, seandainya riwayat Imam Ali palsu atau tidak ada. Kira-kira apa sikap yang seharusnya ada pada diri ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam nikah mut’ah ?. Menyelisihi atau menyepakati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Kok salafy ini tidak bisa berpikir dengan baik, kenapa ia tidak berpikir kira-kira apa sikap seharusnya ada pada diri Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nikah mut’ah?. Menyelisihi atau menyepakati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?. Riwayatnya sudah jelas ada, eh salafy itu malah memakai bahasa sindiran yang seharusnya menyindir dirinya sendiri. Apa ia mampu menjawab sikap Ibnu Abbas? Harusnya bagaimana?. Begitulah akibatnya kalau membantah dahulu berpikir kemudian walhasil bantahannya gak kena malah berbalik menjadi boomerang. Salam Damai

.

.

Catatan :

  • Pandangan kami soal kemusykilan hadis Imam Ali dan Ibnu Abbas akan dibahas dalam postingan khusus sedangkan tulisan di atas hanya menunjukkan kalau bantahan salafy itu tidak valid
  • Mohon maaf kalau dalam satu bulan ini blog secondprince tidak diupdate. Hal ini disebabkan keterbatasan untuk mengakses blog ini dengan baik. Yah situ pasti tahulah [bagi yang mengerti masalahnya] :mrgreen:
  • Hari ini pertama kalinya saya membuka blog sp setelah lebih kurang tiga puluh hari berkelana, haiah banyak sekali sampahnya jadi terpaksa saya edit 😉

34 Tanggapan

  1. ‎… … … … … … … … .„–~–„
    … … … … … … … ../:.:.:.:.:.|…
    … … … … … … … .|;.;.;.;.;.;/……
    … … … … ._„„„„„„„_.);.;.;.;.;.|……..
    …… … … „-“:.:.:.:.:.:.”~-„;.;.;.;|…
    …… … .. (_„„„„„„—„„_:.:.:);.;.;..”„
    … … „-“:.:.:.:.:.:.:.:””-„/;.;.;.;.;.”„
    … .. (:.___„„„„„„…„„„___);.;.;.;.;.;.
    … .. /””:.:.:.:.:.:.:.:¯””\;.;.;.;.;.;.„”
    … . \:.__„„„„„„„„„„„„„„__/;;;;;;;;;;;/\
    … .. \.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.);;;;;;;;;;/:::\
    … … . \„„„„—~~~;;;;;;;;;;;;;„”:::::::\
    … … … . “””~~–„„„„„„„„„„„-“::::::::::::\
    … … … … … … \:::::::::::::::::::::::::\

  2. @SP, Tolong ustad untuk komen yang masuk agar dimoderasi yang tidak ada hubungannya dengan tema ini, karena hanya merusak dialog ilmiah yang ustad bangun dan mengkaburkan makna dakwah dan pencerahan. Semoga permohonan ini dapat dikabulkan

  3. Kalau saya berpendapat IMAM ALI TIDAK PERNAH MENGATAKAN pada ibn Abbas bahwa Rasulullah telah mengharamkan nikah MUT’AH..Kalau menangguhkan sesaat karena Rasul menganggap Perang Khaibar penting.”Mungkin”
    Kata HARAM mungkin adalah rekayasa, karena Khalifah Umar telah mengharamkannya
    Alasan saya bahwa Rasul tudak mengharamkan:

    1. Rasul tidak mungkin mengharamkan apa yang
    Allah halalkan.
    2. Kalau ini adalah perintah Allah, maka perintah
    berupa ayat. Karena perintah Mut’ah dari Allah
    untuk Umat dan bukan hanya untuk Rasul.
    3.Dan apabila ada yang mengatakan ini wahyu,
    konsekwensinya ke Agungan Maha Tahu Allah
    cacat. Dan ini tidak mungkin
    4.Ibn Abbas adalah salah seorang sahabat Nabi
    yang didoakan Nabi dalam menafsir Alqur’an’
    5.Rasul mengetahui ketaatan ibn Abbas
    sehingga Rasul mendoakannya, Jadi mana
    mungkin ibn. Abbas membangkang apabila
    ada sabda Rasul mengharamkan Mut’ah/ Salam damai

  4. siapa itu Adz-zuhri ? setahu saya dia adalah seorang Ulama yg dibuat oleh dinasti Muawiyah dengan tujuan merusak hadist2 Ahlulbayt dan merekayasa sejarah untuk kepentingan Kerajaan Muawiyah…..

  5. Salam Hangat,

    Jumat Ceria,
    Senang bertemu dengan Blog yang hebat, semoga lebih banyak Manfaat.

    Salam Kenal Gan 😀
    Dahsyat…

  6. Mut’ah

    Mut’ah atau Zuwaaj Muaggot itu yang dimaksud adalah kawin kontrak. Waktunya terserah perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh satu hari, boleh satu jam dan boleh sekali main. Sedang batas wanita yang di Mut’ah terserah si laki-laki, boleh berapa saja, terserah kekuatan dan minat si laki-laki. Mereka tidak saling mewarisi bila salah satu pelakunya mati, meskipun masih dalam waktu yang disepakati. Juga tidak wajib memberi nafkah (belanja) dan tidak wajib memberi tempat tinggal.

    Mut’ah dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula tanpa talaq, tetapi habis begitu saja pada akhir waktu yang disepakati. Pelakunya boleh perjaka atau duda, bahkan yang sudah punya istri. Sedang si wanita boleh masih perawan atau sudah janda, bahkan menurut fatwa khumaini seseorang boleh melakukan Mut’ah sekalipun dengan WTS. Adapun tempatnya boleh dimana saja, baik di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah.

    Apa hukumnya MUT’AH ?

    Ahlus Sunnah Waljamaah sepakat bahwa Mut’ah hukumnya haram. Dan diantara perawi haramnya Mut’ah adalah Al-Imam Ali kw.

    Oleh karena itu di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Khalifah-khalifah sebelumnya dan sesudahnya Mut’ah hukumnya haram.

    Memang di Zaman Rasulullah SAW, diwaktu peperangan yang memakan waktu yang lama, dengan maksud menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Mut’ah pernah diperbolehkan, tetapi kemudian diharamkan

    oleh Rasulullah SAW, setelah mendapat perintah dari Allah SWT.

    Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda yg artinya :

    “Wahai manusia sesungguhnya aku pernah membolehkan bagi kalian bersenang-senang dengan wanita (Mut’ah), maka ketahuilah bahwa Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa masih memilikinya, hendaknya dilepaskan dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan.”

    Itulah sebabnya umat Islam tidak ada yang melakukan Mut’ah, sebab hukumnya sama dengan berzina.

    Dalam hal ini Imam Ja’far Ash-Shadiq mengatakan :

    المتعة هي عين الزنى ( البيهقى )

    “Mut’ah itu sama dengan zina.”

    (Al-Baihaqi)

    Sebenarnya hampir semua aliran Syiah juga mengharamkan Mut’ah, terkecuali aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah saja yang memperbolehkan Mut’ah. Jadi golongan Syiah sendiri tidak sepakat dalam menghalalkan Mut’ah dan hanya satu aliran saja yang memperbolehkan Mut’ah, yaitu Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah atau Syiahnya Khumaini.

    Sebagai contoh, Syi’ah zaidiyah mengharamkan Mut’ah, demikian juga Syi’ah Ismailiyah, mereka juga mengharamkan Mut’ah dan hanya Syi’ah Khomaini saja yang menghalalkan Mut’ah. Memang Syi’ah Imamiyah Itsnaasyariyah itu paling sesat diantara aliran-aliran Syi’ah yang lain.

    Menurut ulama-ulama Syi’ah, bahwa yang mengharamkan Mut’ah adalah Kholifah Umar, benarkah?

    Itulah orang-orang Syi’ah, mereka memang ahli dalam membuat hadist-hadist palsu dan ahli dalam membuat cerita-cerita guna menunjang dan menguatkan ajaran-ajaran mereka. Tetapi mereka tidak memikiran akibat dari cerita-cerita palsu mereka. Karena cerita-cerita semacam itu akan mempunyai resiko dan konsekwensi yang sangat besar.

    Rasulullah saw pernah bersabda :

    من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر

    “Barangsiapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”

    Dengan demikian berarti Khalifah Umar telah kafir, karena dia telah mengharamkan Mut’ah yang halal (Khasya). Itulah tujuan ulama-ulama Syi’ah, mereka selalu membuat cerita-cerita palsu guna mendiskriditkan Kholifah Umar.

    Tidakkah orang-orang Syi’ah itu tahu bahwa cerita-cerita semacam itu mempunyai resiko dan konsekwensi yang sangat besar dan berbahaya. Sebab bila Khalifah Umar merubah hukum Allah sampai membuatnya kafir, lalu dimanakah Imam Ali pada saat itu, padahal beliau dikenal sebagai penasehat Kholifah Umar, mengapa beliau berdiam diri dan tidak mengambil tindakan, bahkan setuju dan mengikuti serta melaksanakan hukum tersebut. Tidakkah ulama-ulama Syi’ah itu tahu bahwa : “ARRIDHO BILKUFRI KUFRON “.

    Kemudian bila Kholifah Umar itu kafir, mengapa beliau diambil menjadi menantu Imam Ali, sampai mempunyai dua anak. Apakah ulama-ulama tersebut juga termasuk ulama-ulama Syi’ah yang berkata, bahwa yang di nikahi Kholifah Umar itu bukan Ummu Kulsum putri Imam Ali, tapi jin yang menyerupai Ummu Kulsum ?

    Kemudian apabila Kholifah Umar itu kafir, bagaimana Imam Ali kok diam dan menyetujui Kholifah Umar dimakamkan di sebelah atau seruangan bersama Rasulullah saw.

    Selanjutnya, disamping Imam Ali, para sahabat juga menjadi korban dari cerita-cerita tersebut dan mereka juga akan terkena sangsi. Sebab mereka juga menyetujui tindakan Kholifah Umar yang telah mengharamkan Mut’ah tersebut dan para sahabat itu tetap sholat (Mak’mum) di belakang Kholifah Umar.

    Memang itulah diantara tujuan orang-orang Syi’ah, mereka benar-benar benci kepada para sahabat. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa para sahabat setelah Rasulullah saw wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja (Al-Kaafi).

    Mana yang lebih besar dosanya, berzina apa melakukan Mut’ah?

    Berzina adalah suatu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Karenanya orang yang telah melakukan Zina, dia akan merasa bersalah dan kemudian bertaubat, sebab dia merasa telah melanggar larangan Allah. Adapun orang yang melakukan Mut’ah, pertama dia mendapat dosa seperti dosanya orang yang melakukan perbuatan Zina. Kemudian jika dia menganggap Mut’ah itu halal, padahal Allah melalui RasulNya sudah mengharamkan Mut’ah, maka disamping dia mendapat dosanya orang yang berzina, dia juga mendapat dosa yang sangat besar, yaitu dosanya orang yang merubah hukum Allah, sesuatu yang haram dia halalkan.

    Mengenai orang yang suka menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, Rasulullah saw pernah bersabda :

    من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر

    “Barang siapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”

    Dengan demikian jelas sekali bahwa melakukan Mut’ah dosanya lebih besar daripada berzina.

    Tidak cukup menghalalkan Mut’ah, ulama-ulama Syi’ah Imammiyah Itsnaasyariyyah itu bahkan memberi kedudukan tinggi sederajat dengan Rasululllah saw, bagi orang-orang yang melakukan Mut’ah.

    Dibawah ini kami bawakan satu hadist palsu, yang ada dalam kitab syi’ah “ Minhayus Shodiqin” halaman 356, sekaligus sebagai bukti penghinaan orang-orang Syi’ah kepada Rasulullah saw dan Ahlul Bait :

    “Barang siapa melakukan Mut’ah sekali, maka derajatnya sama dengan derajat Husin, barang siapa melakukkan Mut’ah dua kali, maka derajatnya sama dengan derajat Hasan, barang siapa yang melakukkan Mut’ah tiga kali, maka derajatnya sama dengan derajat Ali dan barang siapa melakukkan Mut’ah empat kali, maka derajatnya sama dengan derajatku”.

    Demikian kekurangajaran ulama-ulama Syi’ah, mereka mengukur derajad Rasulullah saw dan Ahlul Bait dengan perbuatan Mut’ah. Sungguh satu kebiadaban yang tidak ada taranya.

  7. Mabruk..mabruk.. 🙂
    Telaah yang baik sekali.
    Kupas tuntas, sangat teliti, sangat kokoh logika yang bergulir (sesuatu yang menjadi barang langka bagi salafy).
    Mengenai “ia” adalah az-zuhri dan bukannya ibnu Sabrah, mengapa salafy bisa salah dalam hal ini, ada bbrp kemungkinan, diantaranya:

    1. Karena logika mereka tidak kokoh, maka kerumitan dalam kalimat seperti itu memang menjadi bermasalah, terutama karena mereka disetir oleh nafsu untuk mengharamkan mut’ah.

    2. Beberapa kali terjadi mereka memang sengaja merubah hadits maupun tafsir, dengan tujuan untuk konsumsi orang awam (terutama doktrin untuk pendatang baru di mazhab mereka). Dan mereka lupa (tetap) menggunakan terjemah palsu tsb ketika bertemu orang2 yang berilmu. Sehingga mereka kedodoran dan kembali minta tolong kepada argumen fallacy mereka… 😀

    PS: Ada baiknya dibuat tulisan khusus atas kejadian yang tak terkendali selama 1 bulan ini, agar menjawab fitnah2.

    Salam damai

  8. @hikam
    Saya ingin tanya pada anda. 1. Menurut anda adakah firman Allah tentang Nikah MUT’ah.?
    2.Kalau menurut anda tidak ada mengapa anda menafsirkan demikian> 3. Kalau ada dari siapa adanya Nikah Mut;ah?. Apakah dari Rasul atau Allah. 4. Kalau tidak ada mengapa pada zaman Rasul diizinkan Nikah Mut’ah? Dijawab jangan ber-andai2 atau berasumsi Tapi NASH Wasalam

  9. horeeeeeeeeeeeee…..akhirnya @Sp muncul lagih..
    kunaon Kang…di hack nyak….beja beja atuh ka pengunjung…..hihihihii

    Btw..@hikam….kirain ente banyak artikelnya…ternyata kgk, malah ujug2 ujug copas kaakakakakak…..

  10. @SP
    blognya cerah kembali 🙂

    @Hikam Elhakim

    Perasaan yang dibahas di atas hadits suni dengan metodologi hadits juga dari suni. Bukan dari kitab syi’ah atau dengan cara syi’ah. Terlebih bila yang anda sampaikan berisi fitnah. Jadi tidak usah dikait-kaitkan dengan syi’ah lah.

  11. lha msh aja di bantah sama SP???ckkckckckck
    Tanggapan diatas rawan celah (menurut sy) kritikan.
    Sudah di komentari kembali oleh abul jauzaa di kolom komentarny.

  12. @thirdprince

    oh ya boleh tunjukkan kepada saya jenis bantahan yang menurut anda tidak ada kritikan [kecuali kalau bantahan itu dari salafy, mungkin perfekto menurut anda]. salafy itu mau membantah lagi ya terserah. bantahannya gak ada yang kena tuh. yah anda atau saudara anda itu tidak bisa belajar dari kesalahan yang sudah-sudah. padahal sudah saya bawakan contoh link yang menunjukkan kesalahan sama yang ia perbuat. Nih saya perjelas

    Seandainya annahu qaala itu merupakan perkataan Yuunus, maka susunan kalimatnya janggal. Sebab Abu ‘Awaanah dalam kitabnya tersebut membuka dengan qaala Yuunus (karena riwayat Ibnu Syihaab itu berasal dari Yuunus). Jika kita gabungkan kalimatnya :

    Qaala Yuunus : qaala Ibnu Syihaab annahu qaal

    atau

    Qaala Yuunus, annahu qaala ?

    Dua kalimat di atas tidak benar.

    Pertama saya kasih contoh gampang untuk perkataanya kalau Abu Awanah dalam kitabnya membuka dengan perkataan qala Yunus. maka saya katakan kepada salafy lucu itu konsekuensinya zahir sanad hadis itu adalah “Abu Awanah berkata Yunus berkata Ibnu Syihab berkata” maka saya tanya sanad seperti itu shahih tidak?. Apakah Abu Awanah meriwayatkan dari Yunus bin Yazid?. Silakan salafy itu jawab :mrgreen:

    Dan kalau ia mau menjawab antara Abu Awanah dan Yunus itu terdapat sanad lain, sanad mana? mau pakai sanad dari hadis perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair sebelumnya. lho kok bisa? ngapain salafy itu pakai keterangan dari sanad sebelumnya. Secara zahir Abu Awanah dalam kitabnya membuka dengan perkataan qala Yunus artinya sanad tersebut mu’allaq. Antara Abu Awanah dan Yunus bin Yazid itu terputus. Nah bisa terima tidak logika yang seperti ini. Kalau ndak bisa, ya jangan kebanyakan membantah, pikir dulu baik-baik.

    Kalau ia mau menanyakan mana yang benar dengan lafaz Qaala Yuunus : qaala Ibnu Syihaab annahu qaal atau Qaala Yuunus, annahu qaala ?. Maka yang benar adalah yang terakhir. lafaz ‘annahu qala adalah perkataan Yunus dan “hu” disana adalah Az Zuhri. Buktinya dapat dilihat pada riwayat Muslim dan Baihaqi, disana hadis yang dimaksud tidak dimulai dengan lafaz “qala Yunus” tetapi “qala Ibnu Syihab” dan pada kedua riwayat itu hadisnya berhenti pada kata wa ana jalis. sedangkan pada riwayat Abu Awanah, lafaz hadisnya dimulai dengan “qala Yunus” dan setelah lafaz “wa ana jalis” terdapat tambahan “annahu qala”. Maka bisa dipahami kalau lafaz annahu qala adalah milik Yunus.

    Maka kalimat semacam ini dhahirnya mudah dipahami bahwa annahu qaala itu dikatakan oleh Ibnu Syihaab (bukan Yuunus) sehingga pemilik perkataan : Maa maata Ibn ‘Abbaas adalah Ar-Rabii’ bin Sabrah.

    Itulah senjata pamungkas salafy berkeras pada zahirnya padahal telah terbukti yang zahir itu keliru. Kok salafy itu tidak memperhatikan bagaimana Abu Awanah tidak menuliskan lafaz dzalik setelah lafaz yuhadditsu. Padahal dari kedua riwayat Muslim dan Baihaqi lafaz itu ada. Kalau dikatakan Abu Awanah mau menghemat tulisan maka kita dapat mengatakan hal yang sama, mengapa setelah lafaz wa ana jalis, Abu Awanah tidak menuliskan “qala Yunus” sebelum lafaz annahu qalaa, ya mau meringkas penulisan saja. Apanya yang janggal. Salafy itu tidak belajar dari kesalahannya, saya ingatkan ia untuk membaca link soal hadis Ibnu Zubair yang ia kira hadis Sa’id bin Al Ash

    فَقَالَ سَعِيدٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ هَاهُنَا فَقَالَ لَا قَضَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيْ الْحَكَمِ

    Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya”.

    Bacalah terjemahan batil yang ia buat, secara zahir terjemahan seperti itu memang mungkin tetapi terdapat petunjuk yang membuktikan kalau sebenarnya bukan begitu terjemahan yang benar. Petunjuknya ada pada hadis lain dan terjemahan yang benar adalah

    Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, [Ibnu Zubair] berkata “tidak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim”

    Disini ada dua hal yang harus diperhatikan. Perkataan Sa’id kepada Ibnu Zubair hanya berupa “kemarilah”. perkataan berikutnya adalah jawaban Ibnu Zubair walaupun di hadis itu tidak dituliskan nama Ibnu Zubair, makanya terjemahan yang benar pakai tanda kurung [Ibnu Zubair] berkata.

    Dalam perkataan Ibnu Zubair pun juga bukan seperti terjemahan salafy itu tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya”.. Ini terjemahan yang sangat batil karena bertentangan dengan terjemahan aslinya.

    Kata “tidak” itu tak terkait dengan kata sesudahnya melainkan sebagai jawaban Ibnu Zubair kalau ia tidak mau disuruh “kemari” oleh Sa’id. Dan hadis intinya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim

    Terjemahan batil versi salafy itu secara zahir memang mungkin tetapi faktanya dari hadis dengan riwayat yang sama terjemahan itu bener2 hancur, lha iya toh terjemahannya malah jadi kontradiktif dengan hadis aslinya. saya mengungkit contoh ini untuk menunjukkan kepada mata salafy itu agar tidak usah sok berkeras pada zahir yang ia maksudkan. Karena disini metode yang tepat adalah membandingkan dan meneliti riwayat yang sama dari kitab lain untuk melihat lafaz apa yang diringkas oleh penulis kitab.

    Kalau kita paksa bahwa annahu qaala setelah wa anaa jaalis itu milik Yuunus yang ditujukan kepada Ibnu Syihaab, maaf beribu maaf, saya sampai saat ini belum bisa memahaminya.

    Oh mungkin saja saya maklum kalau anda tidak paham, dan mungkin sekali sampai saat ini anda juga tidak paham mengapa terjemahan anda soal hadis Ibnu Zubair yang anda kira hadis Sa’id bin Al Ash itu adalah terjemahan yang batil. kalau memang posisi anda sebatas itu ya saya pun maaf beribu maaf, tidak akan ada orang yang bisa menjelaskan kepada anda.

    Makanya itu, ketika orang Syi’ah menterjemahkannnya jadi banyak tanda kurungnya (kata gantinya jadi banyak untuk dua kata saja – yaitu annahu qaala) :

    Kalau anda keberatan dengan tanda kurung, ya gak usah dibuat toh. Tanda itu saya buat untuk memperjelas pembaca awam atau anda yang ikutan awam agar bisa mengerti terjemahan itu dengan baik. Sebenarnya cukup dengan terjemahan annahu qaala : Ia [Ibnu Syihab] berkata itu sudah memadai. Dengan terjemahan itu siapapun bisa tahu kalau itu adalah perkataan Yunus

    Cermati kalimat yang saya tebali, kemudian bandingkan dengan yang versi bahasa Arabnya :

    ….wa ana jaalis, annahu qaala :….

    Kira-kira nyambung nggak ?

    Itu maaf karena anda tidak memperhatikan penjelasan saya dengan baik. Perkataan Ibnu Syihab Az Zuhri soal hadis Ibnu Sabrah selesai pada kata “wa ana jaalis” habis itu ya titik, sebagaimana yang terlihat dalam riwayat Muslim dan Baihaqi. Sedangkan perkataan annahu qala adalah tambahan perkataan Yunus kalau Ibnu Syihab Az Zuhri mengatakan Ibnu Abbas telah ruju’ dari fatwanya. Mereka yang paham bahasa arab akan mengerti keadaan hadis yang seperti ini, buktinya tuh ulama sekaliber Ibnu Hajar gak ada masalah, dalam Talkhis Al Habir dengan sangat jelas ia menisbatkan ruju’nya Ibnu Abbas itu sebagai perkataan Az Zuhri bukan perkataan Ibnu Sabrah, nah hadis yang dibicarakan Ibnu Hajar itu ya hadis riwayat Abu Awanah ini. Maaf beribu maaf kalau Ibnu Hajar ternyata jauh lebih paham dan sependapat dengan terjemahan yang saya buat. Kalau anda tidak paham ya apa urusan saya. Nah saudara thirdprince, silakan anda sampaikan bantahan saya ini kepada saudara anda salafy yang anda hormati itu 🙂

  13. sudah disanggah kembali mas SP

  14. @thirdprince
    kalau memang ada, ya anda saja tolong tampilkan disini 🙂

  15. @SP
    Apakah bergiskusi culup dengan dasar ber-andai2 atau berasumsi? Kalau menurut saya diskusi ini adalah bidang agama maka atgumentasi berdasar nash Alqur’an. karena yang dipermasalahkan adalah hadits shahih tidaknya. Wasalam

  16. Sudah saya katakan sebelumnya bahwa Ibnu Abbas akhirnya rujuk pada pendapat Imam Ali, bahwa Mut’ah itu haram selamanya… terbukti kan… :mrgreen:

    Suka ber yel2 imam Ali adalah sang pedoman Umat, Eh ternyata fatwa beliau malah tidak diikuti, menyedihkan… 😦

  17. @sok tau banget

    maaf tidak ada riwayat shahih kalau Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya, kalau riwayat dhaif memang ada. tumben nih salafy ngotot pakai riwayat dhaif :mrgreen:

    Suka ber yel2 imam Ali adalah sang pedoman Umat, Eh ternyata fatwa beliau malah tidak diikuti, menyedihkan…

    ehem lho siapa nih yang tidak mengikuti fatwa Imam Ali, apa di tulisan di atas saya sudah menyebutkan soal hukum nikah mut’ah?. Saya kan cuma menulis kemusykilan sikap Ibnu Abbas. Tolong dibaca dulu baik-baik. Saya sendiri memliki pandangan khusus mengenai hadis Imam Ali dan sikap Ibnu Abbas tanpa menolak salah satunya. justru salafy dan anda tuh yang sok ngikut fatwa Imam Ali padahal sebenarnya sedang menyelahkan Beliau, lha anda sendiri menyatakan mut’ah itu diharamkan di Fathul Makkah dan hadis Khaibar itu keliru soal penyebutan khaibar. Menyedihkan 😦

  18. maaf tidak ada riwayat shahih kalau Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya, kalau riwayat dhaif memang ada. tumben nih salafy ngotot pakai riwayat dhaif :mrgreen:

    Maaf justru terdapat riwayat shahih yang menceritakan rujuk-nya Ibnu Abbas, jadi maaf kita tidak ngotot dg riwayat yg dhaif ya :mrgreen:

    ehem lho siapa nih yang tidak mengikuti fatwa Imam Ali, apa di tulisan di atas saya sudah menyebutkan soal hukum nikah mut’ah?. Saya kan cuma menulis kemusykilan sikap Ibnu Abbas. Tolong dibaca dulu baik-baik. Saya sendiri memliki pandangan khusus mengenai hadis Imam Ali dan sikap Ibnu Abbas tanpa menolak salah satunya. justru salafy dan anda tuh yang sok ngikut fatwa Imam Ali padahal sebenarnya sedang menyelahkan Beliau, lha anda sendiri menyatakan mut’ah itu diharamkan di Fathul Makkah dan hadis Khaibar itu keliru soal penyebutan khaibar. Menyedihkan 😦

    Oho, seharusnya anda tuliskan kemusykilan anda sendiri mengenai pembahasan mut’ah, sok jadi pengikut Imam Ali.. sungguh menyedihkan 😦

  19. @sok tau banget

    Maaf justru terdapat riwayat shahih yang menceritakan rujuk-nya Ibnu Abbas, jadi maaf kita tidak ngotot dg riwayat yg dhaif ya

    yang mana riwayat shahihnya ya? riwayat dhaif kok dibilang shahih :mrgreen:

    Oho, seharusnya anda tuliskan kemusykilan anda sendiri mengenai pembahasan mut’ah, sok jadi pengikut Imam Ali.. sungguh menyedihkan

    ehem sekali lagi kalau baca yang bener, kemusykilan-nya sudah saya tuliskan dalam tulisan di atas dan sebelumnya, aneh anda ini apa sih yang mau anda omongin, saran saya pakai bahasa yang tepat, kan jadi lucu, jelas-jelas soal kemusykilannya itu yang saya tulis :mrgreen:

  20. @sok tahu
    Sdr hikam juga kelompok anda tdk berani menjawab pertanyaan saya tgl 29 April. Apa anda berani menjawab? Anda kan sok tau benar. Mungkin anda bisa menjawab. Sdr kita hikam karena tdk berani menjawab sudah lari

  21. oh.. takuuuttt.. pertanyaan mu bukan untuk aku malah untukmu juga..

    syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:

    “Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.

    Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:

    “yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.

    Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.

    Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:

    Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”

    Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :

    “Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.

    Hadis lain menyatakan:

    “Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.

    Di hadis lain disebutkan:

    “Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

    Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:

    “Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”

    Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.

    Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada rekan2, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam bi as-shawab

  22. Saya lebih suka debat langsung.. biar kelihatan muka2 tukang mut’ah.. wkkk

  23. aq ingin mut’ah dengan istri2 imam syiah dan para putri imam syiah…bleh tdq ya…kwkwkwkwkwk….orang syiah hanya BERANI NGOMONG DOANG

  24. @hikam
    Saya tdk menanyakan apa alasan serta asumsi anda serta pendapat ulama anda tentang muta’ah
    Saya minta anda menjawab berdasarkan ilmu dan pengetahuan anda. Kalau tdk busa katakan terus terang dan jangan ber belit2 Saya KOPAS pertanyan saya lagi:
    @hikam
    Saya ingin tanya pada anda. 1. Menurut anda adakah firman Allah tentang Nikah MUT’ah.?
    2.Kalau menurut anda tidak ada mengapa anda menafsirkan demikian> 3. Kalau ada dari siapa adanya Nikah Mut;ah?. Apakah dari Rasul atau Allah. 4. Kalau tidak ada mengapa pada zaman Rasul diizinkan Nikah Mut’ah? Dijawab jangan ber-andai2 atau berasumsi Tapi NASH Wasalam

  25. @chany
    Jawabannya ringkas : nikah mut’ah munculnya dari hawa nafsu Anda dan teman2 anda…

    Siapa yg tdk mengutip? ketahuan, ente bikin sendiri hujjah2nya menurut nafsu ente..

  26. @hikam
    Kalau tdk bisa atau tdk sanggup menjawab karena ilmu ente terbatas jangan menghujat. Akui saja.
    Kita diblog diskusi bukan saling mencaci. Tapi kalau ente belum puas . Silahkan.Supaya masyarakat umum tau sifat2 ente serta mahzab yang ente anut

  27. @ Hikam Elhakim

    Kok bisa2nya anda mengutip dan mengancam kaum Syiah dengan hadits dibawah ini :

    “Wahai manusia sesungguhnya aku pernah membolehkan bagi kalian bersenang-senang dengan wanita (Mut’ah), maka ketahuilah bahwa Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa masih memilikinya, hendaknya dilepaskan dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan.”

    Tidakkan ente tahu, bahwa dengan main ancam seperti itu, anda menghina sahabat2 Nabi lainnya yang
    Tapi anehnya, ketika Muawiyah memberontak kepada Imam Ali dan menyebabkan 40 ribu kaum muslimin mati atas perbuatan biadab Muawiyah, anda mengatakan itu adalah Ijtihad ! Dan anda tiba-tiba lupa untuk mengutip ayat AlQuran :

    Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS: 4: 93)

    Tapi mengingat anda adalah wahhabi/salafy, saya Cuma bisa pasrah…

  28. Btw, kemarin di TV one ada berita, ratusan TKW Arab Saudi pulang ke Indonesia dalam keadaan pregnant dengan status tidak jelas siapa bapaknya … Inilah kelakuan orang wahhabi/salafy …

  29. Jika benar begitu, bolehkah saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah untuk satu malam?

  30. kali kedua, bolehkah saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah untuk satu malam?

  31. oh ares ..otak apa kamu ni…asyik mau seks aja..kamu x ble mutaah krn x faham apa itu syiah..klu mau jga, mutaah aja dgn mak kamu..guna pakai kaedah kamu sendiri.

  32. @adam.
    Saya bertanya ini bukan untuk main-main. Ternyata benar syiah selalu mempromosikan nikah mut’ah. apa yg dipaparkan di atas itu adlah teori. soalan saya bersifat praktis. nah, kalau besar sangat dosa Umar, sesat sangat ahlul Sunnah, silalah.Tapi nampaknya mereka diam aja…

    {ASYIK MAU SEKS AJA..kamu x ble mutaah krn x FAHAM apa itu syiah}

    Terima kasih karena mencela saya. Tentu orang macam kamu lebih F-A-H-A-M apa tujuan mut’ah. rupa-rupanya begitu lintasan pertama dalam pikiranmu ya.

    Nah, apakah kamu suka anak perempuan kamu dinikahi orang dengan nikah mut’ah?

  33. wah, komentarku sedang menunggu moderasi.
    kapan, sampai bila??

    apa kamu semua penakut?? atau apakah kamu semua sedang menutupi kebenaran, wahai pencari kebenaran.

Tinggalkan komentar