Studi Kritis Tentang Paham Al Badaa’ Dalam Mazhab Syi’ah

Studi Kritis Tentang Paham Al Badaa’ Dalam Mazhab Syi’ah

Tulisan ini kami sajikan kepada para pembaca sebagai timbangan yang adil bagi mereka yang ingin mengetahui dengan benar pandangan mazhab Syi’ah tentang Al Badaa’. Hal ini kami rasa perlu karena melihat begitu banyak para pendusta dan pembenci mazhab Syi’ah menyajikan tulisan fitnah dan dusta mengenai Al Badaa’ dalam mazhab Syi’ah. Salah satunya dapat para pembaca lihat disini.

Orang ini sebelumnya menunjukkan kejahilannya dalam tulisannya yang berjudul “Satu Cabang Aqidah Syi’ah Tentang AllahTa’ala”. Pembahasannya dapat para pembaca lihat dari tulisan kami disini. Aneh bin ajaib bukannya belajar dari kesalahannya, orang ini malah bersikeras atas kedustaannya sebagaimana dapat pembaca lihat dalam tulisannya tentang Al Badaa’ tersebut. Silakan para pembaca membaca tulisan kami ini dengan objektif untuk melihat kedustaannya

.

.

Badaa’ secara bahasa memang bermakna zahir [jelasnya] sesuatu setelah sebelumnya tersembunyi. Makna ini dapat dilihat dalam ayat Al Qur’an berikut

بَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya [Qs Az Zumar : 47-48].

Para pembenci Syi’ah baik dari kalangan ulama mereka atau pengikut mereka mencela mazhab Syi’ah karena menisbatkan badaa’ kepada Allah SWT. Karena menurut mereka makna badaa’ memiliki konsekuensi ketidaktahuan [jahil] sebelumnya kemudian setelah itu muncul pengetahuan yang baru. Hal ini sudah jelas mustahil bagi Allah SWT.

Andaikata tuduhan mereka terhadap Syi’ah tersebut benar maka kami tidak ragu untuk menyatakan kebathilan mazhab Syi’ah. Tetapi fakta yang ada justru menunjukkan para penuduh tersebut adalah orang yang berkhayal kemudian menisbatkan khayalan mereka kepada mazhab Syi’ah.

.

Bukti riwayat dalam mazhab Syi’ah telah mendustakan tuduhan para pembenci Syi’ah tersebut. Badaa’ yang diyakini dalam mazhab Syi’ah tidak memiliki konsekuensi kejahilan sebelumnya.

عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد بن عيسى، عن ابن أبي عمير، عن جعفر ابن عثمان، عن سماعة، عن أبي بصير، ووهيب بن حفص، عن أبي بصير، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إن لله علمين: علم مكنون مخزون، لا يعلمه إلا هو، من ذلك يكون البداء وعلم علمه ملائكته ورسله وأنبياءه فنحن نعلمه

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Ibnu Abi ‘Umair dari Ja’far bin ‘Utsman dari Sama’ah dari Abu Bashiir dan Wuhaib bin Hafsh dari Abi Bashiir dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata “Sesungguhnya Allah memiliki dua macam ilmu, [pertama] ilmu yang tersimpan dan tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dari ini lah yang terjadi badaa’ dan [kedua] ilmu yang diajarkan kepada Malaikat-Nya, Rasul-Nya dan Nabi-Nya maka kami mengetahuinya [Al Kafiy Al Kulainiy 1/147]

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah, semua perawinya tsiqat hanya saja Sama’ah bin Mihraan dikatakan bermazhab waqifiy.

Sekelompok sahabat kami yang dimaksud diantaranya adalah Muhammad bin Yahya Al Aththaar Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahiim. Telah ma’ruf bahwa jika Al Kulainiy menyebutkan sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
  4. Ja’far bin Utsman Ar Rawasiy seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 108]
  5. Sama’ah bin Mihraan Al Hadhramiy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 193 no 517]
  6. Wuhaib bin Hafsh seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 431 no 1159]
  7. Abu Bashiir adalah Abu Bashiir Al Asdiy Yahya bin Qasim seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187]

محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن الحسن بن محبوب، عن عبد الله بن سنان، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: ما بدا لله في شئ إلا كان في علمه قبل أن يبدو له

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] yang berkata “Tidaklah Allah menetapkan badaa’ terhadap sesuatu kecuali hal itu berada dalam Ilmu-Nya sebelum ditetapkan atasnya”. [Al Kaafiy 1/148]

Riwayat Al Kaafiy di atas sanadnya shahih di sisi Syi’ah, diriwayatkan oleh para perawi tsiqat

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
  4. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  5. Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558]

Riwayat di atas membuktikan bahwa Badaa’ yang diyakini dalam mazhab Syi’ah dan dinisbatkan oleh mazhab Syi’ah kepada Allah SWT bukan badaa’ yang secara bahasa dinisbatkan pada makhluk dan memiliki konsekuensi kejahilan sebelumnya.

.

Sampai disini silakan para pembaca pahami bahwa Badaa’ dalam keyakinan mazhab Syi’ah bukanlah badaa’ secara bahasa yang dinisbatkan kepada makhluk. Badaa’ tersebut memiliki makna khusus dalam mazhab Syi’ah dan apa yang mereka yakini tersebut berdasarkan dalil-dalil shahih di sisi mazhab mereka.

Fenomena perbedaan istilah secara bahasa dan khusus ini tidak hanya terjadi dalam mazhab Syi’ah. Bagi mereka yang sudah melalang buana membaca kitab-kitab hadis ahlus sunnah maka mereka akan menemukan fenomena seperti ini. Banyak istilah yang secara zhahir dinisbatkan kepada makhluk ternyata digunakan dan dinisbatkan kepada Allah SWT. Akan tetapi ketika istilah tersebut dinisbatkan kepada Allah SWT, mereka para ulama ahlus sunnah menetapkan makna tersebut secara khusus bagi Allah SWT tidak sama dengan makna istilah tersebut pada makhluk. Contohnya adalah terdapat riwayat dalam kitab Ahlus Sunnah yang menyebutkan Allah SWT tertawa, istiwa’ [yang sering diterjemahkan bersemayam], turun dan lain sebagainya yang sudah pasti berbeda maknanya ketika istilah-istilah tersebut dinsibatkan pada makhluk.

Apa yang dilakukan ulama Ahlus sunnah dan ulama Syi’ah memiliki satu kesamaan? Yaitu mereka memaknai istilah tersebut dengan makna yang sesuai dengan kesucian dan kebesaran Allah SWT. Seandainya tidak ada riwayat shahih yang menisbatkan istilah tersebut kepada Allah SWT maka baik ulama Syi’ah dan ulama ahlus sunnah tidak akan menisbatkan istilah tersebut kepada Allah SWT.

Jadi apa yang terjadi pada ulama Syi’ah mengenai keyakinan badaa’ yang dinisbatkan kepada Allah SWT, hal itu hanya karena dalam riwayat shahih di sisi mazhab mereka telah menisbatkan istilah badaa’ kepada Allah SWT. Jika tidak ada riwayat shahih maka mereka tidak akan menisbatkan istilah tersebut kepada Allah SWT.

.

.

Lantas apakah makna badaa’ di sisi mazhab Syi’ah. Badaa’ yang dinisbatkan kepada Allah SWT adalah perubahan ketetapan Allah SWT [sebagaimana halnya nasikh dan mansukh]. Perkara tersebut sifatnya tersembunyi bagi manusia kemudian menjadi nampak dan perkara ini semuanya berada dalam ilmu Allah. Adapun mengapa hal ini terjadi maka pastinya hanya Allah SWT yang mengetahui, sedangkan manusia hanya bisa mengira-ngira apakah maslahat dibalik perkara tersebut. Apakah ketetapan Allah SWT dapat berubah?. Jawabannya terdapat dalam Al Qur’anul Kariim

يَمحُوا اللهُ ما يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ ام الكتب

Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitaab [QS Ar Raad : 39]

Ayat inilah yang dalam mazhab Syi’ah dijadikan dasar sebagai terjadinya badaa’. Dalam kitab mazhab Syi’ah Al Kafiy bab Al Badaa’ terdapat riwayat

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم وحفص بن البختري وغيرهما، عن أبي عبد الله عليه السلام قال في هذه الآية: ” يمحو الله ما يشاء ويثبت قال: فقال: وهل يمحى إلا ما كان ثابتا وهل يثبت إلا ما لم يكن

Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam bin Saalim dan Hafsh bin Al Bakhtariy dan selain mereka berdua dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata tentang ayat ini “Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya”. Maka berkata Abu ‘Abdullah “adakah menghapuskan kecuali apa yang sudah tetap [sebelumnya] dan adakah menetapkan kecuali apa yang belum ada [sebelumnya]” [Al Kafiy Al Kulainiy 1/146-147]

Riwayat di atas sanadnya shahih sesuai standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
  4. Hisyaam bin Saalim meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] ia tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165]. Hafsh bin Al Bakhtariy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 134 no 344]

.

Di sisi ahlus sunnah terdapat salafus shalih yang memahami ayat tersebut dalam arti takdir Allah SWT terhadap seseorang bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah SWT

حدثنا أبو كريب قال : حدثنا عثام ، عن الأعمش ، عن شقيق أنه كان يقول : ” اللهم إن كنت كتبتنا أشقياء ، فامحنَا واكتبنا سعداء ، وإن كنت كتبتنا سعداء فأثبتنا ، فإنك تمحو ما تشاءُ وتثبت وعندَك أمّ الكتاب

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Atsaam dari Al A’masyiy dari Syaqiiq bahwasanya ia berkata “ya Allah jika Engkau menuliskan kami sebagai orang yang sengsara maka hapuslah nama kami dan tuliskanlah atas kami sebagai orang yang berbahagia. Dan jika Engkau menuliskan kami sebagi orang yang berbahagia maka tetapkanlah atas kami. Sesungguhnya Engkau menghapus apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan apa yang Engkau kehendaki dan di sisimu terdapat Ummul Kitaab [Tafsir Ath Thabariy 16/481 no 20476]

Riwayat di atas sanadnya jayyid sampai ke Syaqiiq Abu Wa’il dan ia termasuk orang yang menemui masa jahiliyah

  1. Abu Kuraib adalah Muhammad bin A’laa bin Kuraib Al Hamdaaniy seorang yang hafizh tsiqat [Taqrib At Tahdzib 2/121]
  2. ‘Atsaam bin Aliy Al Kuufiy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/655]
  3. Sulaiman bin Mihraan Al A’masyiy seorang yang tsiqat hafizh tetapi melakukan tadlis [Taqrib At Tahdzib 1/392]. Adapun tadlisnya disini tidak menjadi illat [cacat] hadis karena ‘an anah A’masyiy dari Syaikhnya seperti Ibrahim, Abu Shalih dan Syaqiiq dianggap muttashil
  4. Syaqiiq bin Salamah Abu Wa’il Al Kuufiy seorang mukhadhramun yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/421]

Lafaz doa Syaqiiq tersebut menyatakan keyakinannya bahwa ketetapan Allah SWT terhadap seseorang bisa berubah jika Allah SWT menghendaki.

حدثنا محمد بن حميد الرازي و سعيد بن يعقوب قالا حدثنا يحيى بن الضريس عن ابي مودود عن سليمان التيمي عن ابي عثمان النهدي عن سلمان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يرد القضاء إلا الدعاء ولا يزيد العمر إلا البر

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Humaid Ar Raaziy dan Sa’iid bin Ya’quub keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Dhurais dari Abi Maudud dari Sulaiman At Taimiy dari Abi ‘Utsman An Nahdiy dari Salmaan yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali perbuatan baik” [Sunan Tirmidzi 4/448 no 2139]

At Tirmidziy menyatakan hadis di atas hasan gharib. Syaikh Al Albani menyatakan hadis tersebut hasan. Terdapat pembicaraan seputar hadis ini, sanad di atas lemah tetapi memiliki penguat dari riwayat lain maka pendapat yang rajih adalah kedudukannya hasan lighairihi sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth [Syarh Musykil Al Atsar no 3068]

Sejauh ini kami telah menunjukkan keyakinan bahwa takdir Allah SWT bisa berubah jika Allah SWT menghendaki juga ada dalam riwayat ahlus sunnah. Mungkin diantara mereka pembenci Syi’ah akan tetap meributkan istilah badaa’ bahwa hal itu tidak boleh dinisbatkan kepada Allah SWT. Silakan saja tetapi alasan ini tidak ada nilainya di sisi mazhab Syi’ah. Toh mereka orang Syi’ah meyakini badaa’ berdasarkan riwayat shahih pegangan mereka dan perkara ini sama seperti ulama ahlus sunnah yang berpegang pada riwayat shahih mengenai Allah tertawa, istiwa’ dan yang lainnya.

.

.

Anehnya dalam kitab ahlus sunnah terdapat juga riwayat shahih yang menggunakan istilah badaa’ kepada Allah SWT.

حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَمْرَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ أَخْبَرَنَا هَمَّامٌ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَمْرَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ ثَلَاثَةً فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ أَبْرَصَ وَأَقْرَعَ وَأَعْمَى بَدَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَبْتَلِيَهُمْ

Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aashim yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepadanya bahwa ia mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rajaa’ yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hammaam dari Ishaq bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah bahwa Abu Hurairah [radiallahu ‘anhu] menceritakan kepadanya bahwa ia mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan ada tiga orang bani Israil, penderita kusta, botak dan buta, maka Allah ‘azza wajalla menetapkan badaa’ untuk menguji mereka…[Shahih Bukhariy 4/171 no 3464]

Riwayat Bukhariy di atas menceritakan kisah yang panjang dan cukuplah kami nukilkan lafaz dimana istilah badaa’ dinisbatkan kepada Allah SWT. Intinya kisah di atas adalah dimana Allah SWT menetapkan keadaan yang baru bagi mereka  yaitu kesembuhan penyakit mereka dan harta yang berlimpah dengan tujuan untuk menguji mereka. Ibnu Hajar memberikan komentar mengenai lafaz tersebut dalam Fath Al Bariy

أي سبق في علم الله فأراد إظهاره ، وليس المراد أنه ظهر له بعد أن كان خافيا لأن ذلك محال في حق الله تعالى

Maksudnya adalah Allah telah mengetahui dari awal maka Allah berkehendak untuk menampakkannya, dan bukanlah maksudnya bahwa nampak atau jelas bagi Allah setelah sebelumnya tersembunyi karena hal yang demikian itu mustahil bagi Allah ta’ala [Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy 6/364]

Kemudian Ibnu Hajar juga menyebutkan riwayat Muslim yang tidak menggunakan lafaz badaa’ melainkan lafaz “Allah berkehendak untuk menguji mereka” sehingga terdapat kemungkinan perubahan lafaz tersebut berasal dari perawi hadis. Menurut kami kemungkinan perubahan lafaz tersebut tidaklah benar karena hadis Bukhariy tersebut shahih. Perbedaan lafaz dalam hadis-hadis shahih adalah perkara yang lumrah oleh karena itu jika ingin menetapkan suatu lafaz dalam hadis shahih sebagai lafaz yang salah atau keliru maka harus ditunjukkan bukti yang kuat.

Dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash riwayat Ahmad bin Hanbal mengenai tanda-tanda kiamat yaitu matahari terbit dari barat dan munculnya daabah di waktu dhuha, terdapat lafaz

قال عبد الله وكان يقرأ الكتب وأظن اولاها خروجا طلوع الشمس من مغربها وذلك أنها كلما غربت أتت تحت العرش فسجدت واستأذنت في الرجوع فأذن لها في الرجوع حتى إذا بدا لله ان تطلع من مغربها

Abdullah [bin ‘Amru] berkata dan ia sedang membaca kitab “aku mengira yang muncul pertama kali adalah terbitnya matahari dari barat, hal itu karena setiap kali matahari terbenam ia datang ke bawah Arsy kemudian sujud dan meminta izin untuk kembali maka diizinkan baginya untuk kembali, sampai ketika Allah menetapkan badaa’ bahwa matahari terbit dari barat…[Musnad Ahmad 2/201 no 6881, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]

Silakan bandingkan istilah badaa’ di atas dengan riwayat Syi’ah yang menggunakan istilah yang sama berikut

فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر – وقد كان أشار إليه ودل عليه – فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون

Dan sungguh telah diriwayatkan Sa’d bin ‘Abdullah Al Asy’ariy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku berada di sisi Abu Hasan [‘alaihis salam] ketika wafat anaknya Abu Ja’far [‘alaihis salam], dan sungguh ia telah menunjuknya. Maka aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan “ini seperti kasus Abu Ibrahim dan kasus Ismail”. Kemudian Abu Hasan [‘alaihis salam] datang kepadaku dan berkata “benar wahai Abu Haasyim Allah menetapkan badaa’ tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan badaa’ tentang Ismail dan mengangkat Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam]. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya… [Al Ghaybah Ath Thuusiy hal 200].

Pada dasarnya istilah tersebut baik pada hadis Bukhariy dan Ahmad memiliki makna yang sama dengan hadis Ath Thuusiy yaitu perubahan atas ketetapan Allah SWT

Maka hakikatnya dalam mazhab Syi’ah badaa’ sama seperti nasakh, adapun nasakh itu berlaku pada hukum syari’at sedangkan badaa’ itu berlaku pada takdir. Baik hukum atau takdir keduanya adalah ketetapan Allah SWT semuanya ada dalam ilmu Allah dan bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah SWT.

3 Tanggapan

  1. Huft..

    Penjelasan yg dahsyt pak Yai SP..

    Thanx.

    Sangat jelas sekali penjelasan anda ttg badaa’. Baru tahu, Ternyata makna badaa’ juga terdapat disisi ahlussunnah selain syiah..

  2. @SP
    Saya tidak terlalu memahami arti badaa’. Kalau menurut pemahaman saya atas penjelasan anda diatas: Yakni Allah merobah sesuatu yang telah ditentukan/telah terjadi. Dengan pemahaman saya ini, saya ingin menanyakan Firman Allah dalam Surah Al-Ana’am ayat 123 sbb: ” Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan padanya cahaya yang terang dan dengan cahaya itu dia dapat berjalan di-tengah2 masyarakat manusia.” Apakah ayat ini bisa disebut badaa’. Terima kasih atas responnya. Wasalam

  3. Benarkah takdir itu dapat berubah melalui doa atau amalan lainnya Pengetahuan Allah atas diri manusia tidaklah dibatasi oleh ruang dan waktu.

Tinggalkan komentar