Satu Cabang Aqidah Syi’ah Tentang Allah SWT : Kejahilan Nashibi Tentang Bada’

Satu Cabang Aqidah Syi’ah Tentang Allah SWT : Kejahilan Nashibi Tentang Bada’

Para nashibi adalah kaum yang tidak hanya sekedar jahil tetapi juga gemar memfitnah dan membuat kedustaan terhadap mazhab lain [baca : Syi’ah]. Sudah cukup banyak para ulama Syi’ah yang membuat tulisan yang membuktikan kedustaan mereka, kutipan yang tidak sebagaimana mestinya, berhujjah dengan riwayat dhaif dan palsu. Berikut akan penulis buktikan salah satu kedustaan mereka terhadap mazhab Syi’ah.

.

.

Salah satu da’i nashibi yang cukup dikenal di dunia maya membawakan riwayat dalam Al Kafi dan dengan riwayat tersebut ia berhujjah bahwa dalam aqidah bada’ di sisi Syi’ah, Allah tidak mengetahui kejadian baru tersebut sebelumnya dan baru mengetahui setelah kejadian tersebut terjadi. Inilah riwayat yang dimaksud

عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْجَعْفَرِيِّ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) بَعْدَ مَا مَضَى ابْنُهُ أَبُو جَعْفَرٍ وَ إِنِّي لَأُفَكِّرُ فِي نَفْسِي أُرِيدُ أَنْ أَقُولَ كَأَنَّهُمَا أَعْنِي أَبَا جَعْفَرٍ وَ أَبَا مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْوَقْتِ كَأَبِي الْحَسَنِ مُوسَى وَ إِسْمَاعِيلَ ابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ ( عليه السلام ) وَ إِنَّ قِصَّتَهُمَا كَقِصَّتِهِمَا إِذْ كَانَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْمُرْجَى بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَأَقْبَلَ عَلَيَّ أَبُو الْحَسَنِ قَبْلَ أَنْ أَنْطِقَ فَقَالَ نَعَمْ يَا أَبَا هَاشِمٍ بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ كَمَا بَدَا لَهُ فِي مُوسَى بَعْدَ مُضِيِّ إِسْمَاعِيلَ مَا كَشَفَ بِهِ عَنْ حَالِهِ وَ هُوَ كَمَا حَدَّثَتْكَ نَفْسُكَ وَ إِنْ كَرِهَ الْمُبْطِلُونَ

Aliy bin Muhammad, dari Ishaaq bin Muhamad, dari Abu Haasyim Al-Ja’fariy, ia berkata “Aku pernah di sisi Abul-Hasan [‘alaihis salam] setelah wafatnya anaknya yang bernama Abu Ja’far. Dan aku waktu itu berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan ‘Seakan-akan kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad saat ini seperti halnya kejadian yang menimpa Abul-Hasan Muusaa dan Ismaa’iil, dua anak dari Ja’far bin Muhammad [‘alaihis salam]. Dan sesungguhnya kisah keduanya [Abu Ja’far dan Abu Muhammad] serupa dengan kisah keduanya [Muusaa dan Ismaa’iil bin Ja’far], disebabkan Abu Muhammad Al-Murji menjadi imam setelah Abu Ja’far’. Tiba-tiba Abul-Hasan memandangku sebelum aku sempat berkata-kata. Ia berkata : “Benar, wahai Abu Haasyim. Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far [‘alaihis salam] yang sebelumnya tidak Ia ketahui. Sebagaimana sebelumnya muncul pendapat baru pada Muusaa sepeninggal Ismaa’il yang sesuai dengan keadaannya. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya…[Al Kaafiy 1/327]

Lafaz yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut adalah

بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ

Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far [‘alaihis salam] yang sebelumnya tidak Ia ketahui

Dari lafaz ini nampak bahwa Allah SWT menetapkan bada’ terhadap suatu perkara dimana Allah tidak memiliki pengetahuan sebelumnya. Pernyataan ini sangat jelas kebathilannya dan riwayat tersebut kedudukannya dhaif di sisi Syiah. Al Majlisiy dalam Mirat Al Uqul 3/391 berkomentar mengenai hadis ini “majhul”.

Secara kelimuan hadis di sisi Syiah riwayat tersebut dhaif karena di dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Muhammad An Nakha’iy yaitu Ishaq bin Muhammad bin Ahmad bin Abban. Sayyid Muhsin Al ‘Amin berkata tentangnya

لا اقبل روايته قال ابن الغضائري انه كان فاسد المذهب كذابا في الرواية وضاعا للحديث

Tidak diterima riwayatnya, Ibnu Ghada’iriy berkata bahwa ia jelek mazhabnya pendusta dalam riwayat dan pemalsu hadis [A’yan Asy Syi’ah 3/277]

Riwayat ini juga disebutkan Ath Thuusiy dalam kitabnya Al Ghaybah tanpa adanya lafaz “yang sebelumnya tidak Allah ketahui”.

فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر – وقد كان أشار إليه ودل عليه – فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون

Dan sungguh telah diriwayatkan Sa’d bin ‘Abdullah Al Asy’ariy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku berada di sisi Abu Hasan [‘alaihis salam] ketika wafat anaknya Abu Ja’far [‘alaihis salam], dan sungguh ia telah menunjuknya. Maka aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan “ ini seperti kasus Abu Ibrahim dan kasus Ismail”. Kemudian Abu Hasan [‘alaihis salam] datang kepadaku dan berkata “benar wahai Abu Haasyim Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat baru tentang Ismail dan mengangkat Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam]. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya… [Al Ghaybah Ath Thuusiy hal 200].

Jika riwayat ini shahih maka hal ini menjadi bukti bahwa tanbahan lafaz “yang sebelumnya tidak Allah ketahui” berasal dari Ishaq bin Muhammad An Nakaha’iy. Hanya saja riwayat Ath Thuusiy di atas tidak disebutkan sanad lengkap Ath Thuusiy hingga Sa’ad bin Abdullah Al Asy’ariy.

.

.

Dalam sudut pandang Syi’ah, Bada’ [yang dalam terjemah hadis di atas disebut “pendapat baru”] pada dasarnya bermakna perubahan atas ketetapan Allah [SWT] sebagaimana halnya nasikh dan mansukh tetapi hal ini berlaku pada takdir. Sebagaimana firman Allah SWT

يَمحُوا اللهُ ما يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ ام الكتب

Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitaab [QS Ar Raad : 39]

Dan semua yang ditetapkan oleh Allah SWT telah Allah SWT ketahui sebelumnya. Jadi Bada’ dalam aqidah Syi’ah berada dalam lingkup ilmu Allah SWT. Hal inilah yang dinyatakan dengan sanad shahih [secara ilmu hadis Syi’ah] dari Imam Ja’far [‘alaihis salam]

محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن الحسن بن محبوب، عن عبد الله بن سنان، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: ما بدا لله في شئ إلا كان في علمه قبل أن يبدو له

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] yang berkata “Tidaklah Allah menetapkan bada’ terhadap sesuatu kecuali hal itu berada dalam Ilmu-Nya sebelum ditetapkan atasnya”.[Al Kaafiy 1/148]

Riwayat Al Kaafiy di atas sanadnya shahih di sisi Syi’ah, diriwayatkan oleh para perawi tsiqat

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 19/33 no 12010]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
  4. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  5. Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558]

Inilah aqidah bada’ yang shahih di sisi Syiah, sedangkan barangsiapa yang menisbatkan bada’ terhadap sesuatu dimana Allah tidak mengetahui sebelumnya maka Syiah berlepas diri darinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shaduq

وعندنا من زعم أن الله عز وجل يبدو له اليوم في شئ لم يعلمه أمس فهو كافر والبراءة منه واجبة

Dan di sisi kami barang siapa yang menganggap Allah ‘azza wajalla menetapkan sesuatu pada hari ini yang tidak Allah ketahui sebelumnya maka ia kafir dan wajib berlepas diri darinya [Kamal Ad Diin Wa Tammaam An Ni’mah hal 69,  Syaikh Shaduuq]

Note : Bagi pembaca yang berminat membaca tulisan dai nashibi tersebut silakan dilihat dalam link berikut http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/04/satu-cabang-aqidah-syiah-tentang-allah.html

7 Tanggapan

  1. Bung SP

    Top. Penjelasan anda sangat jelas sekali. Terima kasih, saya jadi memahami apa itu bada setelah membaca tulisan anda.

  2. فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر – وقد كان أشار إليه ودل عليه – فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون
    Dan sungguh telah diriwayatkan Sa’d bin ‘Abdullah Al Asy’ariy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku berada di sisi Abu Hasan [‘alaihis salam] ketika wafat anaknya Abu Ja’far [‘alaihis salam], dan sungguh ia telah menunjuknya. Maka aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan “ ini seperti kasus Abu Ibrahim dan kasus Ismail”. Kemudian Abu Hasan [‘alaihis salam] datang kepadaku dan berkata “benar wahai Abu Haasyim Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat baru tentang Ismail dan mengangkat Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam]. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya… [Al Ghaybah Ath Thuusiy hal 200].

    Kenapa perkataan al-bada’ di atas diterjemahkan sebagai ‘pendapat baru’ sedangkan lafaznya ‘badaullahu ta”ala fi abi ja’far’ [telah zahir pada Allah akan apa yang berlaku pada Abi Ja’far]

    Jika syiah mengertikannya sebagai nasikh wa mansukh lantas kenapa perlu kepada tema yang baru?? apakah kerana ia berlaku pada taqdir lantas memerlukan pada terma yang baru??

    Bagaimana mungkin nasikh wa mansukh berlaku dalam perkara aqidah??

    Kenapa perlu digunakan terma al-bada’??? walaupun syiah menolak pengertian jahil sebelumnya namun apabila penukaran imamah itu berlaku hanya setelah zahir kepada Allah, bukankah itu sebelumnya tidak zahir pada Allah????

  3. @ahlifikir

    Apakah anda satu2nya mahluk di muka bumi ini yang memikirkan apa yang anda tulis itu. Sehingga tidak seorang manusia pun di muka bumi ini yang hidup pada masa lalu dan sekarang yang memikirkannya

    Ketahuilah, apa2 yang anda pikir dan tulis diatas telah pula dipertanyakan oleh orang2 pada masa silam dan telah dijawab oleh ulama2 Syiah terdahulu.

    Kemudian orang2 dengan pemahaman yang mereka miliki melekatkan istilah al-bada muncul pertama kali dalam terminologi Syiah pasca peristiwa yang anda tulis itu. Saya tidak mau berpanjang2 mendiskusikan hal ini karena disini bukan forum Syiah.

    Anda mengatakan “…Bagaimana mungkin nasikh wa mansukh berlaku pada aqidah?.”

    Maka saya pun bertanya

    Apakah anda akan berbuat dan bersikap sebagaimana orang2 Yahudi atau Nasrani ketika Allah SWT mengalihkan kiblat dari Palestina ke Makkah?

  4. setiadharma, tulisan anda tidak menjawab soalan saya, sila jawab soalan-soalan saya itu

    Saya tidak permasalahkan nasikh wa mansukh dalam perkara ibadah, yang dipermasalahkan adalah dalam perkara aqidah

  5. @ahlifikir
    @ahlifikir

    Mengapa anda memberikan batasan lebar antara aqidah dan ibadah. Apa landasan anda dalam memahami aqidah.

Tinggalkan komentar