Shahihkah Hadis Syi’ah : Imam Aliy Mengharamkan Mut’ah Di Khaibar?

Shahihkah Hadis Syi’ah : Imam Aliy Mengharamkan Mut’ah Di Khaibar?

Halalnya Nikah Mut’ah adalah perkara yang diyakini kebenarannya dalam Mazhab Syi’ah dan hal ini berdasarkan hadis-hadis shahih dari Imam Ahlul Bait di sisi mereka. Tidak menjadi masalah jika kaum sunni tidak menerima hal ini [karena terdapat hadis-hadis Sunni yang mengharamkannya].

Diantara kaum sunni tersebut ternyata terdapat para nashibi yang gemar memfitnah Syi’ah. Nashibi tersebut berkata bahwa dalam kitab Syi’ah Imam Aliy telah mengharamkan mut’ah, benarkah demikian. Tulisan ini berusaha menganalisis benarkah tuduhan para nashibi tersebut bahwa dalam mazhab Syi’ah Imam Aliy telah mengharamkan mut’ah. Inilah hadis yang dimaksud

محمد بن يحيى عن أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن آبائه عن علي عليهم السلام قال حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة

Muhammad bin Yahya dari Abi Ja’far dari Abul Jauzaa’ dari Husain bin ‘Ulwan dari ‘Amru bin Khalid dari Zaid bin Aliy dari Ayah-ayahnya dari Aliy [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengharamkan pada hari khaibar daging keledai jinak dan Nikah Mut’ah [Tahdzib Al Ahkam, Syaikh Ath Thuusiy 7/251].

Nashibi tersebut menyatakan bahwa para perawi hadis ini semuanya tsiqat berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah. Pernyataan inilah yang akan diteliti kembali berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah. Perawi yang akan dipermasalahkan disini adalah Husain bin ‘Ulwan

Husain bin ‘Ulwan telah ditsiqatkan oleh Sayyid Al Khu’iy dalam Mu’jam Rijal Al Hadits no 3508  dan diikuti oleh Muhammad Al Jawahiriy dalam Al Mufiid

الحسين بن علوان: وثقه النجاشي على ما ذكرناه في ترجمة الحسن بن علوان وإن التوثيق راجع إلى الحسين لا إلى الحسن. على أن في كلام ابن عقدة دلالة على وثاقة الحسين بن علوان

Husain bin ‘Ulwan ditsiqatkan oleh An Najasyiy sebagaimana yang kami sebutkan dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan bahwa sesungguhnya tautsiq tersebut kembali kepada Al Husain bukan kepada Al Hasan dan sesungguhnya dalam perkataan Ibnu Uqdah terdapat dalil atas tsiqatnya Husain bin ‘Ulwan [Al Mufid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 768]

.

.

Memang terjadi perselisihan diantara ulama Syi’ah mengenai tautsiq terhadap Husain bin ‘Ulwan. Perselisihan ini disebabkan oleh perbedaan pemahaman mereka terhadap apa yang dikatakan An Najasyiy dalam biografi Husain bin ‘Ulwan. An Najasyiy berkata

الحسين بن علوان الكلبي مولاهم كوفي عامي، وأخوه الحسن يكنى أبا محمد ثقة، رويا عن أبي عبد الله عليه السلام

Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy maula mereka, seorang penduduk Kufah dari kalangan ahlus sunnah dan saudaranya Al Hasan dengan kuniyah Abu Muhammad tsiqat, keduanya meriwayatkan dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 52 no 116]

Sebagian ulama Syi’ah memahami bahwa perkataan tsiqat An Najasyiy itu tertuju pada saudaranya Al Husain bin ‘Ulwan yaitu Al Hasan bin ‘Ulwan seperti yang dinyatakan Syaih Aliy Asy Syahruudiy dalam Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadiits 2/432 no 3681 biografi Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy. Syaikh Ja’far Syubhaniy dalam Kulliyat Fii Ilm Rijal menegaskan bahwa tautsiq yang disebutkan An Najasyiy itu tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy [Kulliyat Fii Ilm Rijal hal 65].

Ibnu Dawud Al Hilliy dalam kitab Rijal-nya ia memasukkan Hasan bin ‘Ulwan dalam Juz pertama yang memuat daftar perawi tsiqat dan terpuji menurutnya [Rijal Ibnu Dawud hal Al Hilliy 76 no 443]. Sedangkan untuk Husain bin ‘Ulwan, Ibnu Dawud memasukkan namanya dalam juz kedua yang memuat daftar perawi yang majruh dan majhul, ia berkata

الحسين بن علوان الكلبي، مولاهم ق (جش) كوفي عامي

Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy, maula mereka, [kitab Najasyiy] penduduk Kufah dari kalangan ahlus sunnah [Rijal Ibnu Dawud hal 240 no 144]

Dari pernyataan Ibnu Dawud Al Hilliy tersebut didapatkan bahwa Ibnu Dawud memahami perkataan An Najasyiy kalau tautsiq tersebut tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan sehingga ia memasukkannya dalam juz pertama kitabnya. Sedangkan Husain bin ‘Ulwaan tidak ada tautsiq terhadapnya dari Najasyiy dan yang lainnya maka Ibnu Dawud memasukkannya dalam juz kedua yang memuat daftar perawi majhul dan dhaif.

Hal yang sama juga disebutkan oleh Allamah Al Hilliy dalam Khulasah Al Aqwaal Fii Ma’rifat Ar Rijal, ia memasukkan Hasan bin ‘Ulwan dalam bagian pertama kitabnya yang memuat perawi tsiqat [Khulasah Al Aqwaal, hal 106] dan memasukkan Husain bin ‘Ulwan dalam kitab Khulasah-nya bagian kedua yang memuat daftar perawi dhaif atau yang ia bertawaqquf terhadapnya [Khulasah Al Aqwaal, hal 338]

Sayyid Al Khu’iy yang diikuti Muhammad Al Jawahiriy memahami lafaz tautsiq Najasyiy tertuju pada Husain bin ‘Ulwan karena disitu adalah biografi Husain bin ‘Ulwan. Pernyataan ini tidak menjadi hujjah, karena kalau diperhatikan secara terperinci metode penulisan An Najasyiy dalam kitab-nya maka didapatkan bahwa An Najasyiy sering mentautsiq seorang perawi dalam biografi perawi lain [misalnya saudara atau ayahnya]. Hal ini juga ditegaskan oleh Syaikh Ja’far Syubhaniy dalam Kulliyat Fii Ilm Rijal hal 64

ثم إن الشيخ النجاشي قد ترجم عدة من الرواة ووثقهم في غير تراجمهم، كما أنه لم يترجم عدة من الرواة مستقلا، ولكن وثقهم في تراجم غيرهم

Kemudian Syaikh An Najasyiy telah menulis biografi sejumlah perawi dan mentsiqatkan mereka dalam biografi selain mereka, sama seperti halnya ia tidak menulis biografi sejumlah perawi secara khusus tetapi ia mentsiqatkan mereka dalam biografi selain mereka [Kulliyat Fii Ilm Rijaal, Syaikh Ja’far Syubhaniy hal 64]

Berikut adalah contoh dimana Najasyiy mentautsiq seorang perawi dalam biografi perawi lain

مندل بن علي العنزي واسمه عمرو، وأخوه حيان، ثقتان، رويا عن أبي عبد الله عليه السلام

Mandal bin Aliy Al ‘Anziy namanya ‘Amru, dan saudaranya adalah Hayyaan, keduanya tsiqat, keduanya meriwayatkan dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 422 no 1131]

.

.

Jika dilihat secara zahir lafaz perkataan An Najasyiy dalam biografi Husain bin ‘Ulwan maka diketahui bahwa ia sedang menceritakan tentang keduanya tidak hanya Husain bin ‘Ulwan tetapi juga Hasan bin ‘Ulwan, maka kalau kita penggal secara benar adalah sebagai berikut

الحسين بن علوان الكلبي مولاهم كوفي عامي،
وأخوه الحسن يكنى أبا محمد ثقة،
رويا عن أبي عبد الله عليه السلام

Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy maula mereka, penduduk Kufah dari kalangan umum [ahlus sunnah]
Dan saudaranya, Al Hasan dengan kuniyah Abu Muhammad seorang yang tsiqat
Keduanya meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam]

Lafaz rawayaa ‘an yang berarti “keduanya meriwayatkan” menunjukkan bahwa Najasyiy sedang menceritakan keduanya. Sehingga susunan kalimat itu akan lebih teratur kalau dipahami bahwa lafaz “tsiqat” itu terikat pada Hasan bukan pada Husain bin ‘Ulwan. Berbeda hal-nya jika dalam biografi tersebut Najasyiy hanya bercerita tentang Husain bin ‘Ulwan saja maka tidak diragukan lafaz tsiqat itu tertuju pada Husain bin ‘Ulwan. Maka dari itu menurut kami yang rajih adalah lafaz tsiqat Najasyiy itu tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan sebagaimana diisyaratkan oleh Allamah Al Hiliy, Ibnu Dawud dan ditegaskan oleh Syaikh Ja’far Syubhaniy dan Syaikh Ali Asy Syahruudiy.

.

.

Adapun hujjah Sayyid Al Khu’iy dan Muhammad Al Jawahiriy dengan perkataan Ibnu Uqdah seolah menunjukkan tautsiq pada Husain bin ‘Ulwan maka hujjah ini tertolak. Perkataan Ibnu Uqdah tersebut dinukil oleh Allamah Al Hilliy kemudian Sayyid Al Khu’iy sendiri dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan berkomentar sebagai berikut

ووثقه ابن عقدة أيضا، ذكره العلامة في ترجمة الحسين بن علوان في القسم الثاني، ولكن طريقه إلى ابن عقدة مجهول، فلا يمكن الاعتماد عليه

Dan ia telah ditsiqatkan Ibnu Uqdah sebagaimana yang telah disebutkan Allamah dalam biografi Husain bin ‘Ulwan dalam bagian kedua, tetapi jalannya sampai ke Ibnu Uqdah adalah majhul maka tidak mungkin berpegang dengannya [Mu’jam Rijal Al Hadits, Sayyid Al Khu’iy no 2929]

Jadi nampak bahwa Sayyid Al Khu’iy mengalami tanaqudh disini, dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan ia melemahkan perkataan Ibnu Uqdah tersebut tetapi dalam biografi Husain bin ‘Ulwan ia malah berhujjah dengannya.

.

.

Seandainya pun jika perkataan Ibnu Uqdah tersebut shahih maka pernyataan Sayyid Al Khu’iy bahwa dalam perkataan Ibnu Uqdah terdapat tautsiq terhadap Husain bin ‘Ulwaan adalah keliru.

قال ابن عقدة: ان الحسن كان أوثق من أخيه

Ibnu Uqdah berkata bahwa Hasan ia lebih terpercaya dibanding saudaranya [Khulasah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 338]

Zhahir lafaz Ibnu Uqdah adalah tautsiq terhadap Hasan bin ‘Ulwaan dan menurut Sayyid Al Khu’iy di dalamnya terkandung tautsiq juga terhadap Husain saudaranya. Seolah-olah dari lafaz Ibnu Uqdah tersebut dipahami bahwa Husain dan Hasan keduanya tsiqat tetapi Hasan lebih tsiqat dari Husain. Tentu saja ini hanya sekedar dugaan, kami akan beri contoh dari kalangan mutaqaddimin yaitu An Najasyiy lafaz yang mirip dengan lafaz Ibnu Uqdah di atas

الحسن بن محمد بن جمهور العمي أبو محمد بصري ثقة في نفسه، ينسب إلى بني العم من تميم، يروي عن الضعفاء ويعتمد على المراسيل. ذكره أصحابنا بذلك وقالوا: كان أوثق من أبيه

Hasan bin Muhammad bin Jumhuur Al ‘Ammiy Abu Muhammad penduduk Basrah yang pada dasarnya tsiqat, dinasabkan kepada bani ‘Amm dari Tamim, meriwayatkan dari perawi dhaif dan berpegang dengan riwayat-riwayat mursal, demikianlah disebutkan oleh sahabat kami dan mereka berkata “ia lebih terpercaya dibanding ayahnya” [Rijal An Najasyiy hal 62 no 144].

Kemudian apakah dalam lafaz “ia lebih terpercaya dibanding ayahnya” terdapat isyarat tautsiq terhadap ayahnya. Maka perhatikan perkataan An Najasyiy terhadap Muhammad bin Jumhuur

محمد بن جمهورأبو عبد الله العمي ضعيف في الحديث، فاسد المذهب

Muhammad bin Jumhuur Abu ‘Abdullah Al ‘Ammiy dhaif dalam hadis rusak mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 337 no 901]

Dari sini dapat diambil faedah bahwa lafaz “ia lebih terpercaya dari saudaranya” tidak mesti menunjukkan saudaranya juga tsiqat. Jadi pendalilan tautsiq Husain bin ‘Ulwan dengan berlandaskan hujjah perkataan Ibnu Uqdah bukanlah hujjah yang kuat.

.

.

Sejauh ini apa yang dapat kita ambil?. Tautsiq Najasyiy sebenarnya ditujukan untuk Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy bukan Husain kemudian perkataan Ibnu Uqdah bukan hujjah kuat yang membuktikan tautsiq Husain bin ‘Ulwan. Selain Najasyiy dan Ibnu Uqdah, tidak ada ulama lain yang dapat dijadikan sandaran tautsiq bagi Husain bin ‘Ulwan maka pendapat yang rajih tentang Husain bin ‘Ulwan adalah tidak ada lafaz tautsiq yang jelas padanya. Hal ini telah dinyatakan oleh sebagian ulama Syi’ah muta’akhirin

  1. Sayyid Mustafa Khumaini dalam Al Khalal Fii Shalah hal 108
  2. Abdullah Al Mamaqaniy dalam Nata’ij At Tanqiih 1/41 no 2979
  3. Muhaqqiq Al Ardabiliy dalam Majma’ Al Faidah 11/121
  4. Syahid Ats Tsaniy dalam Al Istiqshaa’ Al I’tibaar  3/274
  5. Sayyid Al Khu’iy dalam Kitab Ath Thaharah 8/161

Nampak bahwa Sayyid Al Khu’iy mengalami tanaqudh mengenai pendapatnya terhadap Husain bin ‘Ulwaan Al Kalbiy, dalam salah satu kitabnya ia menyatakan Husain tsiqat tetapi dalam kitabnya yang lain ia menyatakan Husain tidak ada yang mentautsiq-nya.

.

.

Sedikit tambahan mengenai Husain bin ‘Ulwan yaitu telah ditekankan oleh An Najasyiy dan diikuti oleh banyak ulama lainnya bahwa Husain bin ‘Ulwan adalah dari kalangan umum atau ahlus sunnah. Maka bagaimanakah hakikat dirinya dalam pandangan ahlus sunnah?.

Abu Hatim berkata tentang Husain bin ‘Ulwan bahwa ia lemah dhaif matruk al hadits. Ibnu Ma’in berkata “pendusta” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/61 no 277]. Ibnu Ghulabiy berkata “tidak tsiqat”. Ali bin Madini mendhaifkannya. Abu Yahya Muhammad bin ‘Abdurrahiim berkata “Husain bin ‘Ulwan meriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dan Ibnu ‘Ajlan hadis-hadis maudhu’. Shalih bin Muhammad Al Baghdadiy berkata “pemalsu hadis”. Nasa’i dan Daruquthni berkata “matruk al hadits” [Tarikh Baghdad 8/62 no 4138]. Tentu saja kitab ahlus sunnah tidaklah menjadi pegangan di sisi Syi’ah. Kami disini hanya ingin menunjukkan bahwa Husain bin ‘Ulwan dalam pandangan ulama ahlus sunnah dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadis.

.

.

Kesimpulan : hadis Imam Aliy mengharamkan nikah mut’ah di sisi Syi’ah kedudukannya dhaif karena Husain bin ‘Ulwan berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dari kalangan ahlus sunnah dan di sisi Syi’ah tidak ada lafaz tautsiq yang jelas untuknya.

11 Tanggapan

  1. Mas sp, mohon di analisa shalat tanpa sedekap spt yg dilakukan mazhab syiah dan mazhab maliki

  2. Mantap sekali tulisan anda pak Yai..

    setelah membaca ratusan tulisan anda, saya yakin anda seorang jenius hadits..

    Hampir tidak masuk diakal saya, bagaimana caranya anda bisa begitu hafal dalam menuliskan sanad-sanad hadits kemudian menilainya…

  3. @salafy is dead

    Maaf saya rasa anda tidak perlu memanggil saya dengan sebutan Kyai atau jenius hadits, saya sangat tidak pantas disebut begitu. Tulisan-tulisan saya itu sederhana, saya hanya sekedar memindahkan apa yang ada dalam kitab rujukannya dan sepertinya tidak perlu jadi jenius untuk melakukan hal itu. Siapapun yang mau pasti bisa melakukannya. Salam

  4. HADIST PENGHARAMAN NIKAH MUT’AH DARI JALUS SAYIDINA ALI ITU RIWAYATNYA SUDAH MUTAWATIR. DALAM SHAHIH MUSLIM ADA 3 HADIST SERUPA NAMUN TIDAK MENGGUNAKAN JALUR YG ADA Husain bin ‘Ulwan. HIHIHIHIHI. SYIAH INI SANGAT BODOH

  5. @ Ibnu Bathuta.
    Ngomong doang, mana haditsnya ??

  6. Ibnu Buthut eh Bathuta pasti punya hadisnya tapi bukan dari kitab klasik made in Beirut atau Mesir tapi made in Saudi Arabia alias kitab klasik palsu.
    Maklum saja Salafi Nashibi mengalami kesulitan ketika hrs adu argumentasi secara fair dg Syiah.

  7. @Ibnu Buuth, mana bisalah hadis membatalkan ayat ? dasar cuma ikut2an aja !

  8. @ ibnu bathuta

    salam. sekalipun anda berpegang akan tsabitnya pengharaman mutaah berdasarkan atsar Amirul Mukminin Ali a.s, maka anda juga harus akur bhw wujud sebahagian sahabat yg telah melanggar perintah pengharaman tersebut

    Dari Abu Zubair bhw dia berkata: Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: “Kami pernah melakukan mutaah dengan (mahar) segenggam kurma pada masa Nabi saaw dan Abu Bakar sampai kemudian Umar yg melarangnya dalam kes Amr bin Harith.”

    (Sahih Muslim)

    Lihat…………. Jabir al-Ansari r.a mengaku masih mempraktikkan Mutaah ketika hayat nabi saw, zaman abu bakar sehinggalah umar yg mengharamkannya.

    Pengharaman Umar lah sebenarnya yg menguatkan bukti bhw Nabi SAW tidak mengharamkan mutaah. Dan ia masih kekal halal hingga Qiamat.

    salam damai

  9. BOLEHKAN KHALIFA UMAR MEMBATALKAN MUT’A.
    Maka adalah jelas bahawa mut’a akan terus halal sehingga bila-bila. Abu Isa Muhammad Bin Sawratu’t-Tirmidhi di dalam buku Sunan, yang telah dianggap sebagai satu dari enam buku Sahih oleh kamu, Imam Ahmad Bin Hanbal di dalam, bahagian II, ms 95, dan Ibn Athir di dalam Jam’u’l-Usul telah menyampaikan bahawa seorang Syria telah bertanya Abdullah bin Umar bin Khattab, apa pendapatnya mengenai mut’a-e-nisa. Dia berkata, ‘Sudah pasti ianya halal.’ Orang itu berkata lagi, ‘Tetapi bapa kamu, khalifa, melarang manusia dari melakukannya.’ Dia berkata, ‘Ia telah diarahkan oleh nabi; maka ia telah dilarang oleh bapa saya; arahannya tidak boleh melebihi arahan nabi. Saya adalah pengikut arahan nabi.’
    Dari laporan yang telah disampaikan, mungkin manusia kemudiannya telah memalsukan hadith supaya dapat menyokong kenyataan khalifa Umar. Perkara ini amat jelas untuk meminta penjelasan tambahan. Fakta yang sebenar kamu tidak punya keterangan yang sebenar pada haramnya mut’a selain dari kenyataan khalifa Umar.

    Selain dari terjemahannya yang jelas dari ulama dan pengulas kamu, kamu juga sedar bahawa keseluruh surah an-Nisa, terdapat beberapa bentuk ikatan dan perkahwinan telah disebutkan: nikah [perkahwinan kekal], mut’a [perkahwinan semtara], dan perkahwinan dengan mulik-e-Yamin [orang suruhan]. Untuk perkahwinan kekal, al-Quran mengatakan di dalam surah an-Nisa: ‘Kemudian kahwinilah wanita yang kelihatan baik kepada kamu, dua dan tiga dan empat; tetapi jika kamu khuatir bahawa diri kamu tidak dapat berlaku adil [diantara mereka], maka hanya satu atau apa yang dimilikki oleh tangan kanan kamu.’ [4:3]

    Mengenai Mulk-e-Yamin Allah berkata: Dan sesiapa diantara kamu yang tidak mempunyai kelayakkan untuk berkahwin dengan wanita merdeka, maka [dia boleh berkahwin] kepada yang tangan kanan kamu miliki diantara wanita yang beriman; dan Allah mengetahui keiman kamu: sebagaimana kamu saling berhubung; maka kahwinilah mereka dengan izin tuan mereka dan berikanlah mahar mereka dengan adil.’ [4:25]
    Arahan pada ayat 4 dari surah an-Nisa yang bererti bahawa, ‘…yang pada mereka kamu dapat manfaat [dari mut’a] berilah kepada mereka maharnya sebagaimana yang didpersetujui…’ adalah untuk mut’a atau perkahwinan sementara. Ianya tidak boleh kepada perkahwinan kekal, jika tidak, ia akan bererti bahawa di dalam bab yang sama arahan mengenai perkahwinan tetap telah diulangi dua kali, ini telah menyalahi undang-undang, dan jika ianya untuk mut’a, maka ini adalah bukti bahawa ia kekal dan dari arahan yang berbeza.

    http://disinidandisini.blogspot.com/2011/07/dialog-kenapa-sunni-mengharamkan-nikah.html

  10. Mohon dijelaskan, hadits riwayat bukhariy no. 5119 yang berkaitan dengan hukum nikah mut’ah yang dihapuskan dan jadi haram. Saya sendiri masih dalam tahap pencarian, benar atau tidak hadits yang memuat pernyataan Ali bin Abi Thalib ra. tersebut?

  11. Assalamualaikum warahmatullah,
    Bismillahirrahmanirrahiim
    Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ala Aali Sayyidina Muhammad wa Ashabihil Akhyar

    Ini komentar kedua saya di blog ini, dan saya senang ada seorang Muslim seperti Second Prince yang mau meluangkan waktunya, berusaha menyampaikan kebenaran walaupun saya masih melihat antum masih “agak berpihak” 🙂

    Saya pun ingin berbagi, dan dalam rangka saling berbagi dalam rangka kasih sayang.

    1. Pertama saya ingin sedikit menimpali komentar antum dalam kesimpulan diatas :

    “hadis Imam Aliy mengharamkan nikah mut’ah di sisi Syi’ah kedudukannya dhaif karena Husain bin ‘Ulwan berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dari kalangan ahlus sunnah.”

    Sepengetahuan saya, dalam Mazhab Syiah hadits yang diriwayatkan oleh perawi Ahlusunnah belum tentu dihukumi “dhaif” selama perawinya itu kredibel. Untuk hadits yang diriwayatkan oleh perawi Ahlusunnah, mereka memberikan status “muwatsaq” atau bisa diterima.

    2. Second Prince berusaha meluruskan fitnah tentang Syiah yang dituduh kafir oleh nashibi, dan saya memandang hal ini baik. Sebab pendapat Jumhur Ulama Ahlusunnah pun tidak mengkafirkan Syiah.

    Second Prince meluangkan waktu dan pikirannya untuk membahas status hadits itu dari sisi rijal Syiah.

    Akan tetapi menurut saya, permasalahan justru ada dalam metode hadits Syiah itu sendiri. Pada umumnya, Syiah di Iran tidaklah menggunakan metode sanad didalam menilai haditsnya, mereka lebih menilai matan hadits yang dibandingkan dengan Ushul Mazhab mereka.

    Metode sanad saat ini baru mulai dijalankan pada Hauzah Najaf Irak, yang dipelopori oleh Ayatullah Abul Qasim al Khu’i.

    Beberapa waktu yang lalu kita dapat melihat video bahwa Ulama Iran Ayatullah Kamal Haidari yang menggunakan metode matan, justru mengkritik Ulama Irak Ayatullah Al Khu’i yang mulai menjalankan metode sanad.

    Dalam video tersebut bahkan Ayatullah Kamal Haidari mengatakan, “kalau menggunakan metode sanad, maka mazhab Syiah tidak memiliki hadits yang bisa membuktikan keberadaan Imam Mahdi.”

    Semoga semangat terus untuk berbagi, Saudaraku Second Prince. Semoga Allah membalas upaya antum dengan balasan yang baik.

    Ma’a Salamah.

    Jafar Hasan Qadiri.

Tinggalkan komentar