Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima sedekah? : Anomali Bantahan Nashibi [2]

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima sedekah? : Anomali Bantahan Nashibi [2]

Yah beginilah jadinya diskusi dengan makhluk yang akalnya tertutup, sedikitpun ia tidak bisa mengambil pelajaran tetapi malah nafsu membantah. Seolah olah dengan membuat bantahan ia dapat menunjukkan kebenaran hujjahnya padahal malah justru lebih menguatkan kelemahan akalnya. Langsung saja [bantahannya adalah tulisan yang kami blockquote]

.

.

Riwayat Zaid bin Arqam

Sebagaimana sudah dijelaskan di artikel sebelumnya, jika perkataan Zaid tersebut difahami sebagaimana pemahaman si rafidhi nashibi tersebut, maka di atas adalah pendapat pribadi Zaid, bisa benar dan bisa juga tidak. Tentunya Aisyah yang lebih kuat dalam hal ini, karena dia sebagai istri Nabi yang menjadi obyek pembahasan saat ini.

Kami ajarkan caranya berhujjah wahai nashibi. Antara perkataan Zaid bin Arqam dan Aisyah manakah yang shahih?. Jawabannya perkataan Zaid bin Arqam. Kami setuju pendapat Zaid bisa benar bisa salah tetapi itu namanya menyebarkan syubhat bukan berhujjah. Kalau memang salah silakan tunjukkan dalil yang menunjukkan kesalahannya. Kalau tidak ada dalil shahihnya maka perkataan Zaid bin Arqam itu benar apalagi telah dikuatkan oleh dalil yang telah kami sebutkan.

Bagi kami dalam memahami riwayat Zaid di atas berbeda dengan si rafidhi nashibi tersebut, yang dimaksud Zaid dengan mengatakan : “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau” adalah Istilah Ahlul Bait secara lebih luas di mana melingkupi keluarga Ali, Aqil, Ja’far dan Ibnu Abbas dan termasuk juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam itu sendiri.

Alangkah anehnya nashibi ini, yang dipermasalahkan disini bukan istilah Ahlul Bait tetapi pernyataan Zaid dimana ia membagi ahlul bait sebagai ada yang diharamkan sedekah atasnya dan ada yang tidak. Kami mengakui kalau Zaid menyatakan istri Nabi sebagai ahlul bait tetapi dalam pandangan Zaid, istri Nabi adalah Ahlul Bait yang tidak diharamkan sedekah atasnya sedangkan ahlul bait yang diharamkan sedekah atasnya adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, Keluarga Aqil dan Keluarga Abbas, semuanya dari bani hasyim.

Karena Zaid memahami apa yang ditanyakan oleh Hushain adalah makna ahlul bait secara khusus sesuai bahasa yaitu penghuni rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,

Ini cuma ucapan basa basi dan seperti biasa lahir dari orang yang kebanyakan ngeyel. Berhujjah itu tunduk pada hadis yang dijadikan hujjah bukannya hadis diturutkan dengan hawa nafsu. Hushain justru paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas dan ia ingin tahu siapa ahlul bait yang dibicarakan Zaid. Lafaz “bukankah istri Nabi termasuk ahlul baitnya” adalah lafaz yang diucapkan oleh orang yang paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas. Hushain ingin tahu siapa saja ahlul bait yang dibicarakan Zaid dan apakah istri Nabi termasuk di dalamnya. Jadi dari lafaz hadisnya jelas bertentangan dengan klaim basa basi nashibi yang ingkar sunnah itu

dan jelas penghuni rumah beliau adalah istri-istri beliau itulah yang dimaksud oleh Hushain, tetapi ahlul bait dalam pengertian tersebut bukan yang dimaksud oleh Zaid, yang dimaksud Zaid dalam riwayat di atas adalah ahlul bait dalam pengertian secara lebih luas yaitu mereka yang diharamkan menerima shadaqah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak memahami juga, kita hanya bisa bilang kebangetan nih orang…

Menjawab komentar basa basi bin ngeyel tidak bisa dengan basa basi juga. Mengapa? Karena yang namanya basa basi tidak akan ada habisnya. Apapun hujjah dan dalil yang anda bawakan, nashibi yang suka basa basi ini akan selalu bisa melontarkan jawaban ngeyel. Ia memang tidak sedang berhujjah dengan hadis tetapi berhujjah dengan ngeyelisme yang jadi penyakitnya. Sebaik baik jawaban adalah lafaz perkataan Zaid bin Arqam dalam hadisnya

قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Jika diterjemahkan artinya adalah Zaid berkata “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah setelahnya”.

Mengapa diantara frase “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya” dan frase “ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah” terdapat kata “walakin” yang artinya “akan tetapi”. Jawabannya karena ahlul bait yang sedang dibicarakan Zaid bukanlah istri istri Nabi. Zaid ingin mengatakan kepada Hushain bahwa istri Nabi memang termasuk ahlul bait tetapi ahlul bait yang ia maksudkan dalam pembicaraannya adalah orang yang diharamkan menerima sedekah. Nah ini menunjukkan dalam pandangan Zaid, istri Nabi bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Dalam riwayat lain yang juga shahih, ucapan Zaid adalah berikut

قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه

Zaid berkata “tidak akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah atasnya”

Nah maksud perkataan Zaid “tidak” disini adalah istri Nabi bukan ahlul bait yang ia maksudkan akan tetapi yang ia maksudkan adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah atasnya. Jawaban Zaid jelas menunjukkan bahwa istri Nabi bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Sekedar info saja penjelasan kami ini sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan  hadis ini. Justru nashibi itu yang tidak mengerti bahasa arab dan berkeras dengan kengeyelannya. Alangkah kasihannya orang itu.

Sedangkan riwayat Muslim no. 2408, kami mengira kekeliruan pada hafalan si perawi walaupun sanad hadits tersebut shahih, karena jelas bertentangan dengan riwayat Zaid di atas.

Silakan lihat wahai pembaca yang terhormat, jika hadis tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya ia akan gampang melemahkannya. Di lain waktu ia akan membangga banggakan kitab hadis shahih Bukhari dan Muslim serta melecehkan kitab yang asing ditelinganya. Kedua lafaz tersebut shahih bahkan lafaz riwayat Muslim ini telah dikuatkan oleh lafaz riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dinilai dari kuatnya, lafaz ini jelas lebih kuat sanadnya dibanding lafaz riwayat Muslim sebelumnya.

Jawaban Zaid bin Arqam ada dua versi riwayat dan keduanya shahih  tidak bertentangan sedangkan ucapan nashibi bahwa salah satu versi lemah karena hafalan perawinya adalah ucapan dusta yang tidak ada dasarnya. Kami telah buktikan shahihnya riwayat Ibnu Abi Syaibah ditambah lagi juga dikuatkan oleh riwayat Muslim yang kami kutip. Ucapan basa basi tidak ada gunanya wahai nashibi

Pertanyaan saya sekali lagi, apakah yang dimaksud keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas itu tidak termasuk istri-istri mereka jika istri-istri mereka bukan dari kalangan Bani Hasyim?

Tentu saja yang dimaksud diharamkan sedekah itu adalah bani Hasyim. Jadi keluarga Ali, Ja’far, Aqil dan Abbas yang dimaksud adalah bani hasyim. Kalau memang ada istri mereka bukan dari kalangan bani hasyim maka kami belum menemukan dalil bahwa istrinya diharamkan menerima sedekah. Silakan wahai nashibi kalau anda menemukan dalil bahwa istri mereka bukan dari bani hasyim juga dilarang menerima sedekah. Maka bagaimana pula status dengan anak dari istri tersebut juga orang tuanya dan kerabatnya yang bukan bani hasyim?. Apakah diharamkan menerima sedekah juga?. Sudah kami katakan sebelumnya perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah bukan perkara yang bisa dipikirkan dengan logika. Dasar nashibi, sok berlogika seolah mereka punya saja

.

.

Riwayat Mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]

Rasulullah bersabda dalam riwayat di atas terhadap mawla beliau sendiri, dan beliau adalah juga ahlul bait bahkan beliau adalah sayyidul bait, maka yang dipahami di sini adalah mawla (budak yang dibebaskan) beliau adalah juga mawla ahlul bait beliau, karena beliau adalah sayyidul bait, tetapi  sebaliknya, mawla (budak yang dibebaskan) anggota ahlul bait beliau tidak dikategorikan mawla beliau yang diharamkan sedekah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak juga memahami, maka kami hanya mengelus dada dan merasa kasihan kepadanya.

Wahai nashibi berhentilah dari ucapan dusta. Sikap anda hanya menunjukkan kalau anda semakin ingkar terhadap sunnah. Siapapun yang bisa sedikit bahasa arab akan paham maksud ucapan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut bahwa maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan atas mereka sedekah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan demikian.

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah

أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Kami keluarga Muhammad tidak halal bagi kami menerima sedekah dan maula suatu kaum termasuk kedalam kaum tersebut.

Lafaz “kami ahlul bait” serupa dengan lafaz “kami keluarga Muhammad” yaitu diharamkan menerima sedekah. Dan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami” sama halnya dengan lafaz “maula suatu kaum bagian dari kaum tersebut”. Jadi siapakah maula yang diharamkan menerima sedekah?. Apakah khusus maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Jelas tidak, orang yang menyatakan demikian berarti ia sudah mendustakan hadis yang begitu jelasnya dan terang benderang. Maula yang dimaksud disitu adalah maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah lafaz “kaum” yang dimaksud itu hanya merujuk pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Cuma orang yang lemah akalnya yang bilang begitu. Dan jika orang tersebut sok merasa kasihan atas orang lain maka keadaannya jauh lebih menyedihkan.

Dan yah kalau nashibi itu bisa membaca [itu pun kalau bisa] sebagian ulama menyatakan bahwa maula bani hasyim diharamkan menerima sedekah. Apa dalilnya? Yaitu hadis yang telah kami kutip. Jadi sangat berbeda dengan ucapan dusta nashibi tersebut.

Jadi hadits di atas tidak bisa dijadikan sebagai hujjah bahwa istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tidak diharamkan menerima sedekah, sampai detik ini kami tidak melihat ada suatu hadits yang tegas mengatakan hal tersebut, jadi pendalilan si rafidhi nashibi ini sangat lemah.

Jangan sok bicara hadis tegas. Sejelas apapun dalilnya akan anda pelintar pelintir sesuka hati. Ini sudah bukan masalah dalil tetapi sudah masalah nafsu anda saja yang maunya terus membantah walaupun dengan cara memalukan. Kami sarankan silakan anda belajar bahasa arab sedikit agar anda paham hadis yang kami kutip. Malas sekali menghadapi orang yang bisanya hanya kopipaste hadis dari lidwa.

Sekali lagi si rafidhi nashibi ini tidak bisa menjawab, bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly dan lemah. Ini bukan perkara bahwa ini adalah ketentuan Nabi atau apa, tetapi pendalilan si rafidhi nashibi ini yang keliru, pepesan kosong seperti biasa.

Lha kalau memang pakai logika, ya silakan pakai maka bagaimana dengan sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang katanya sahabat di dunia dan akhirat seperti Abu Bakar dan Umar. Apakah masuk di logika anda kalau mereka juga diharamkan menerima sedekah?. Dan mereka tidak hanya sahabat tetapi juga mertua Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Andalah yang pakai logika dalam masalah ini maka itu adalah masalah bagi anda sendiri. Sedangkan kami berhujjah dengan dalil shahih bukan logika ngawur. So mengapa kami harus menjawab pertanyaan ngawur anda.

Mungkin hatinya yang buta dipenuhi rasa hasud terhadap istri Nabi sehingga dia tidak melihat hadits-hadits shahih mengenai hal ini, dasar Nashibi!

Silakan tunjukkan dalil jelas dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah?. Jangan cuma klaim tanpa bukti. Jika memang sedemikian masyhurnya bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka mengapa sahabat Zaid bin Arqam radiallahu ‘anhu tidak mengetahuinya.

.

.

Riwayat Aisyah “Kisah Barirah”

Si Rafidhi Nashibi ini apakah lupa bahwa Barirah adalah mawla Aisyah dan sering membantu Aisyah, setelah dimerdekakan, Barirah diberi pilihan untuk tetap bersama suaminya atau berpisah dan dia memilih berpisah dengan suaminya dan ikut bersama Aisyah, apakah periuk di atas api bisa disimpulkan bahwa yang memasak adalah Aisyah?

Lho kalau begitu siapa yang memasaknya?. Sangat jelas dari hadis Shahih Bukhari tersebut bahwa ketika Beliau masuk ke rumah Aisyah, periuk itu sedang di atas api. Artinya “daging itu sedang dimasak”. Siapa yang memasaknya? Barirah? Mana buktinya, itu namanya berandai andai. Hadisnya tidak menyebutkan demikian. Bahkan dari hadis Shahih Bukhari tersebut jelas Barirah tidak berada disana karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “baginya sedekah” kalau memang ketika itu Barirah ada disana maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan berkata “bagimu adalah sedekah”.

Dan apakah kemudian disimpulkan bahwa Aisyah akan memakannya?. Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah, artinya daging tersebut tidak biasa di rumah Aisyah dan itu adalah milik Barirah. Jadi tidak ada penunjukkan dalam hadits di atas bahwa Aisyah tidak diharamkan menerima sedekah.

Wahai nashibi pakai logikanya, jangan sok berkata logika ternyata cuma komentar ngawur. Daging tersebut memang tidak biasa di rumah Aisyah karena itu berasal dari pemberian Barirah yang mendapat sedekah. Apa memangnya Barirah itu setiap hari mendapat sedekah dan setiap hari pula ia memberikan sedekah yang ia terima kepada Aisyah?. Perkataan nashibi “itu adalah milik Barirah” adalah perkataan dusta. Mengapa? Karena sangat jelas bahwa itu adalah milik Aisyah setelah Barirah memberikan padanya. Bagaimana mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memakan makanan milik Barirah tanpa meminta izin dulu dari Barirah. Barirah memberikan daging kepada Aisyah dan Aisyah yang memasaknya, ini sangat jelas karena Barirah tidak ada disana dan daging itu masih dimasak ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk.

Si rafidhi nashibi ini mempermasalahkan mengapa Aisyah berkata “Anda tidak makan sedekah” kok tidak mengatakan “kita tidak makan sedekah” kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan konyolnya itu dengan bertanya konyol ke dia mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengatakan “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” kok tidak mengatakan“bagi kalian adalah sedekah sedangkan bagiku adalah hadiah”

Nah komentar ini menunjukkan kalau nashibi itu tidak mengerti pembahasan kami sebelumnya. Jawabannya sudah kami tulis di pembahasan sebelumnya. Lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa

  • Daging itu adalah hadiah bagi Aisyah
  • Daging itu adalah hadiah bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

Bukankah Barirah memberikan daging itu kepada Aisyah maka daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Yang mendapat sedekah adalah Barirah sedangkan Aisyah mendapat hadiah dari Barirah makanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengatakan “bagi kalian adalah sedekah”. Aisyah radiallahu ‘anha awalnya beranggapan daging itu masih berstatus sedekah setelah Barirah memberikannya tetapi kenapa ia tidak menolaknya. Mengapa daging itu harus berada di rumahnya jika ia beranggapan dirinya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah?. Seperti yang kami katakan jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah maka ia tidak akan menerimanya tetapi menolak pemberian Barirah.

Satu hal lagi, bahwa Barirah menghadiahkan daging tersebut sebenarnya bukan hanya untuk Aisyah tetapi juga untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, sebagaimana riwayat berikut

Aneh itu pun juga sudah kami nyatakan sebelumnya. Apa yang anda inginkan dengan fakta itu?. Wahai nashibi andalah yang tidak mengerti maksud lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa hukum makanan itu berubah. Makanan yang disedekahkan kepada seseorang telah menjadi milik orang tersebut. Jika orang tersebut memberikannya kepada orang lain maka status makanan itu bukan lagi sedekah melainkan hadiah. Dengan lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa makanan itu hadiah bagi Aisyah dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apa ada dalam lafaz ini menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka setiap hadiah yang diberikan kepadanya harus dianggap sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka ia tidak bisa menerima hadiah?.

Aisyah sendiri yang menunjukkan bahwa dirinya bisa menerima sedekah dan hadiah karena awalnya ia beranggapan daging Barirah adalah sedekah, ia terima dan ia masak. Kemudian setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan bahwa daging sedekah jika sudah diberikan oleh orang yang menerima sedekah statusnya adalah hadiah maka Aisyah baru paham kalau yang ia terima adalah hadiah dan tidak mengapa disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Maka jelas kalimat “kita” pada hadits-hadits tersebut adalah untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Lha iya, kapan pula kami membantah soal itu?. Nashibi ini memang sulit memahami hujjah orang lain. Jelas hadiah itu diperuntukkan bagi Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka lafaznya adalah “bagi kita adalah hadiah” tetapi yang tidak boleh menerima sedekah itu hanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan Aisyah [radiallahu ‘anha] boleh menerima sedekah.

Perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah daging itu adalah Hadiah, artinya bukan sedekah dan artinya pula bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah tidak menerima sedekah tetapi hanya menerima Hadiah alias mereka diharamkan menerima sedekah. hal yang mudah dipahami tetapi bagi orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit menjadi sulit dan berbelit-belit.

Sekarang kami tanya wahai nashibi, kapan Aisyah menyadari bahwa daging tersebut hadiah? itu setelah Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya. Kapan ia menerima daging tersebut, meletakkan di rumahnya bahkan dimasak di rumahnya? Itu sebelum Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan kepadanya bahwa itu hadiah. Anehnya bagian mana dari lafaz “bagi kita hadiah” yang menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah. Jangan mengkhayal wahai nashibi. Kalau memang Aisyah beranggapan dari awal bahwa yang ia terima adalah hadiah maka mengapa ia tidak mau menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mengapa ia berkata “anda tidak makan sedekah”. Jelas Aisyah awalnya beranggapan yang ia terima adalah sedekah baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan maka ia paham bahwa apa yang ia anggap sedekah sebenarnya adalah hadiah.

Ada analogi sederhana, misalnya anda dan istri anda tinggal satu rumah. Anda diwasiatkan oleh ayah anda tidak boleh menerima sedekah orang lain tetapi boleh menerima hadiah. Istri anda tidak ada masalah [ia tidak punya ayah yang aneh]. Suatu ketika saya memberikan daging yang disedekahkan kepada saya pada istri anda. Istri anda menerimanya tahu kalau anda tidak boleh menerima sedekah tetapi istri anda menyukai daging tersebut jadi ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ketika anda datang, anda melihat ada daging yang dimasak tetapi tidak disajikan kepada anda. Anda bertanya soal daging itu, istri anda menjelaskan bahwa saya menerima sedekah kemudian memberikannya maka istri anda tidak menyajikan karena anda dilarang makan sedekah. Tiba tiba saya menelepon saya katakan bahwa daging itu adalah hadiah. Maka anda berkata “bawakan daging itu, itu adalah hadiah bagi kita”. Nah apakah adanya lafaz “hadiah bagi kita” menunjukkan bahwa anda dan istri anda dilarang memakan sedekah. Jelas tidak ada indikasinya, andalah yang dilarang oleh ayah anda yang aneh sedangkan istri anda tidak. Tetapi lafaz yang anda gunakan tetap “bagi kita adalah hadiah”  karena saya memang memberikan untuk anda dan istri anda

Nashibi itu berhujjah dengan hadis berikut yang mengandung lafaz “bagi kalian hadiah”. Kami tidak membahasnya sebelumnya karena itu sudah tercakup dalam pembahasan hadis Shahih Bukhari yang kami kutip. Ini lafaznya

كَانَ النَّاسُ يَتَصَدَّقُونَ عَلَيْهَا وَتُهْدِي لَنَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَكُمْ هَدِيَّةٌ فَكُلُوهُ

Orang orang bersedekah kepadanya kemudian ia memberikan kepada kami maka aku menyebutkan hal itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “baginya adalah sedekah dan bagi kalian adalah hadiah, makanlah”

Kami tanya pada anda wahai nashibi? Mana lafaz yang menyatakan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah. Lafaz “bagi kalian hadiah” seperti yang kami jelaskan adalah penunjukkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa siapapun yang menerima pemberian Barirah itu maka ia telah menerima hadiah dari Barirah. Pernyataan Aisyah radiallahu ‘anha “memberikan kepada kami” menunjukkan bahwa bukan cuma Aisyah [radiallahu ‘anha] yang diberikan oleh Barirah tetapi juga sahabat lain. Nah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “bagi kalian adalah hadiah”. Siapa kalian disini? Ya siapapun yang menerima pemberian Barirah termasuk Aisyah radiallahu ‘anha.

Mungkin yang menjadi hujjah nashibi adalah lafaz “makanlah”. Menurut nashibi seolah olah dengan lafaz itu Aisyah merasa haram untuk memakannya sebelumnya dan setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan itu hadiah dan berkata “makanlah” itu menjadi halal baginya. Tentu saja hujjah ini tertolak, karena dari awal seperti yang kami tunjukkan dalam hadis Bukhari dalam kisah yang sama Aisyah telah menerima sedekah tersebut, memasaknya tetapi tidak menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia tahu bahwa Beliau tidak makan sedekah.

Lafaz “anda tidak makan sedekah” justru mengandung hujjah bahwa Aisyah tidak termasuk diharamkan menerima sedekah. Bukankah Aisyah telah mengetahui hadis bahwa keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah, nah jika ia telah tahu dan merasa dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan menolak setiap pemberian yang ia anggap sedekah bukannya menerima pemberian tersebut. Begitu pula jika ia tahu bahwa keluarga Muhammad haram menerima sedekah maka lafaz yang akan ia ucapkan adalah “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah” karena daging itu memang dihadiahkan Barirah kepada Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perhatikan hadis berikut

حَدَّثَنَا أبو يُوسُف ، حَدَّثَنَا مكي بن إبراهيم قال بهز ذكره عن أبيه عَن جَدِّهِ قَال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتى بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة ؟ فإن قالوا هدية بسط يده ، وإن قالوا صدقة قال لأصحابه : كلوا

Telah menceritakan kepada kami Abu Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata Bahz menyebutkannya dari ayahnya dari kakeknya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jika datang makanan, ia akan bertanya tentangnya apakah itu hadiah atau sedekah?. Jika mereka berkata “hadiah” beliau mengambilnya dan jika mereka berkata “sedekah” maka beliau berkata kepada sahabatnya “makanlah” [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 1/305 dengan sanad shahih]

Silakan perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada sahabatnya “makanlah” yang Beliau ucapkan ketika dikatakan kalau makanan itu sedekah. Apakah dari lafaz tersebut bisa ditarik kesimpulan jika makanan itu hadiah [bukan sedekah] maka sahabat Nabi diharamkan untuk memakannya. Baik itu sedekah atau hadiah, para sahabat dihalalkan memakannya. Nah begitu pula dengan lafaz “makanlah” yang diucapkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Aisyah setelah Beliau menyatakan daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Apakah jika daging itu sedekah maka Aisyah diharamkan memakannya?. Tidak, baik sedekah atau hadiah Aisyah dihalalkan memakannya. Jadi maaf saja wahai nashibi tidak ada dalam hadis yang anda jadikan hujjah, lafaz yang menunjukkan Aisyah diharamkan menerima sedekah.

Sekedar tambahan bagi para pembaca bahwa Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkenaan hadis Barirah ini memahami hadis tersebut sama seperti yang kami pahami. Beliau berkata dalam penjelasannya terhadap hadis Barirah

أن الصدقة لا تحرم على قريش غير بني هاشم وبني المطلب لأن عائشة قرشية وقبلت ذلك اللحم من بريرة على أن له حكم الصدقة وأنها حلال لها دون النبي صلى الله عليه وسلم ولم ينكر عليها النبي صلى الله عليه وسلم هذا الاعتقاد

Bahwa sedekah tidak diharamkan bagi kaum Quraisy kecuali bani Hasyim dan bani ‘Abdul Muthalib, Aisyah wanita quraisy dan ia menerima daging itu dari Barirah maka disini terdapat hukum bahwa sedekah halal baginya tetapi tidak bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari keyakinan Aisyah tersebut [Syarh Shahih Muslim An Nawawi 5/274]

Dengan jelas sekali dalam riwayat di atas ketika beliau diberi daging sedekah oleh Barirah, Aisyah tidak langsung memakan-nya tetapi melaporkan-nya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dan beliau bersabda dengan teramat jelas : Untuk Barirah hal itu adalah sedekah, sedangkan bagi kalian adalah hadiah. Karena itu, makanlah.

Nashibi ini memaksakan asumsinya sendiri dalam memahami hadis. Satu hal yang perlu diingat, hadis Barirah itu tidak hanya seperti yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut [yang sebenarnya adalah bentuk ringkasan dari kisah yang lebih panjang]. Kisahnya telah kami sebutkan dalam riwayat Shahih Bukhari yang kami kutip bahwa Aisyah telah menerima daging pemberian Barirah dan memasak daging tersebut. Jadi Aisyah telah menerima pemberian daging dari Barirah yang ia anggap sedekah. Inilah letak hujjah bahwa Aisyah tidak merasa dirinya diharamkan menerima sedekah.

Satu-satunya sikap yang benar jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah adalah ia akan menolak pemberian Barirah dan berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah”. Coba pikir baik baik wahai pembaca jika anda merasa anda diharamkan menerima sesuatu maka apakah anda menerimanya?. Jika anda diberikan daging babi oleh tetangga anda, apa anda akan menerimanya padahal anda tahu bahwa itu haram untuk dimakan?. Seorang muslim awam saja tahu bahwa sikap yang benar adalah menolak pemberian tersebut bukannya menerimanya apalagi seorang istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ini analogi yang pas untuk menunjukkan bahwa lafaz tersebut tidak bermakna pengharaman. Misalnya nih nashibi itu punya seorang istri. Istrinya mendapat daging dari tetangganya yang miskin. Tetangganya itu mendapatkannya dari sedekah orang lain. Maka istrinya memberitahukan hal tersebut kepada nashibi itu. Nah nashibi itu berkata “itu adalah sedekah untuknya sedangkan untukmu adalah hadiah, makanlah”. Apa dari lafaz itu bermakna kalau istrinya diharamkan memakan sedekah?. Tentu saja walaupun tidak dikatakan “makanlah” istrinya tetap akan makan daging tersebut. Apa karena nashibi itu berkata “makanlah” menunjukkan bahwa istrinya sebelumnya merasa daging itu haram untuknya?. Kalau memang merasa daging itu haram ya dari awal seharusnya istrinya menolak saja pemberian tetangganya.

.

.

Riwayat Ummu Athiyah

Riwayat di atas diriwayatkan oleh Ummu Athiyah, artinya saat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda kepada Aisyah dalam hadits di atas, Ummu Athiyah hadir di situ sehingga dia bisa meriwayatkannya. Artinya juga bahwa Aisyah baru saja menerima pemberian daging tersebut dari Ummu Athiyah dan belum memutuskan apa-apa, tak lama kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam datang sementara Ummu Athiyah masih ada di situ.

Ini ucapan orang yang berandai andai. Apa buktinya Ummu Athiyah ada disitu?. Ummu Athiyah tidak hadir disitu dan walaupun ia tidak hadir tidak ada alasan untuk menolak riwayatnya. Apa karena ia tidak hadir disitu maka ia tidak bisa meriwayatkannya. Tidak setiap peristiwa yang diriwayatkan oleh sahabat ia saksikan langsung. Dari lafaz hadisnya tidak ada satupun keterangan kalau Ummu Athiyah berada disana bahkan dalam lafaz hadis tersebut terdapat isyarat bahwa ia tidak ada disana. Perhatikan saja lafaz

أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ

Ummu Athiyah berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengirimkan kepadaku kambing dari hasil sedekah.

Apa bedanya memberikan dengan mengirimkan?. Jika anda mengirimkan sesuatu apa anda akan membawanya langsung kepada orang tersebut. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan memberikan kepada setiap orang yang menerima sedekah dengan membawanya satu persatu. Lafaz “mengirimkan” cukup menunjukkan bahwa sedekah tersebut diantarkan kepada orang yang akan menerimanya tidak mesti langsung oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam hadis Ummu Athiyah yang lain yaitu Shahih Bukhari malah diucapkan dengan lafaz

فَأَرْسَلَتْ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مِنْهَا

Lafaz ini menunjukkan bahwa Ummu Athiyah mengantarkan sebagian dari sedekah itu kepada Aisyah melalui perantara orang lain dan itulah yang dimaksud mengirimkannya. Jadi komentar basa basi nashibi itu sungguh tidak bernilai

Sekedar info bagi para pembaca, apa yang kami pahami dari hadis Ummu Athiyah ini sebenarnya juga dikutip Ibnu Hajar ketika ia menjelaskan hadis Ummu Athiyah dalam Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari

وفيه إشارة إلى أن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لا تحرم عليهن الصدقة كما حرمت عليه ، لأن عائشة قبلت هدية بريرة وأم عطية مع علمها بأنها كانت صدقة عليهما

Dan didalamnya terdapat isyarat bahwa Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan bagi mereka menerima sedekah sebagaimana diharamkan atasnya [Rasulullah], Aisyah menerima hadiah Barirah dan Ummu Athiyah dan saat itu ia mengetahui bahwa itu adalah sedekah untuk mereka berdua [Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari 8/61]

Nashibi yang ingkar sunnah itu kemudian berhujjah dengan hadis Nabi tidak mewariskan [kami pribadi telah menunjukkan bahwa hadis ini keliru dan Sayyidah Fathimah telah menolaknya] . Nashibi itu berkata

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ»

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berpulang keharibaan Ilahi, mereka ingin mengutus Utsman untuk menemui Abu Bakar meminta warisan mereka, maka Aisyah mengatakan: Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kami tidak mewarisi, Apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah?” (Shahih Bukhari, no: 6730)

Dan ternyata istri-istri Nabi sepeninggal beliau tidak boleh mengambil peninggalan Nabi yang berupa sedekah tersebut, artinya apa? Sedekah diharamkan diterima oleh istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Nah kurang jelas apa lagi…

Hujjah nashibi yang ini lucu sekali, caranya berhujjah menunjukkan bahwa ia tidak memahami hadis yang ia jadikan hujjah. Ia tidak meneliti kesuluruhan lafaz hadis-hadis tentang masalah ini. Pembahasan hadis ini adalah masalah lain yang ada tulisannya tersendiri. Tetapi kebetulan karena nashibi ini berhujjah dengan hadis tersebut maka silakan ia membaca hadis berikut dari Abu Bakar

 فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ وَاللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

Abu Bakar berkata aku mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “aku tidak mewariskan, apa yang aku tinggalkan adalah sedekah, sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini, demi Allah kerabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih aku cintai untuk menjalin hubungannya dibanding kerabatku [Shahih Bukhari 5/90 no 4035]

Nah berdasarkan hadis tersebut maka keluarga Muhammad dapat makan dari harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menjadi sedekah. Menurut Abu Bakar keluarga Muhammad tidak dapat mewarisinya tetapi dapat makan dari harta tersebut. Nah loooo

Dan apakah nashibi itu tidak memperhatikan bahwa istri istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah tetapi meminta warisan. Lihat saja hadinya yang berbunyi

أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ

Mereka mengutus Utsman kepada Abu Bakar untuk meminta warisan mereka

Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah, mereka meminta warisan. Jadi apanya yang maksud nashibi itu jelas. Nashibi itu sepertinya tidak bisa membedakan antara warisan dan sedekah. Dan btw wahai nashibi, istri Nabi itu termasuk keluarga Muhammad yang boleh makan dari harta tersebut tidak?. Selamat bersakit hati

.

.

Riwayat Juwairiyah

Kemudian si Rafidhi Nashibi tersebut mencoba mengkais-kais riwayat-riwayat yang sekiranya bisa menguatkan argumentasi dia seperti berikut ini, tetapi sayang, riwayat ini sama sekali tidak menguatkan hujjahnya.

Ooh kita lihat saja, silakan para pembaca lihat siapa yang sebenarnya berpegang pada sunnah dan siapa yang sebenarnya ingkar kepada sunnah

Justru dalam riwayat di atas Juwairiyah terlihat telah mengetahui hukumnya bahwa sedekah buat maula-nya jika diberikan kepadanya boleh diterima dan diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai hadiah buat mereka. Hal ini tampak ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya tentang makanan, Juwairiyah langsung menawarkan-nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tanpa bertanya lagi apakah itu boleh atau tidak, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membenarkan dan menegaskan bahwa sedekah itu telah sampai pada tempatnya.

Wah wah kami sampai tertawa membaca komentar ini. Tidak ada dalam lafaz riwayat Thabrani yang menunjukkan bahwa Juwairiyah menawarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Inilah lafaz jawaban Juwairiyah dalam riwayat Thabraniy

 يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته

wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging dan aku telah memasaknya

Dengan lafaz ini Juwairiyah ingin mengatakan bahwa makanan yang ada padanya adalah hasil sedekah dan ia tahu bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak makan sedekah. Lafaz ini mengisyaratkan Juwairiyah tidak mau menyajikan kepada Nabi makanya Nabi menjawab “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya”. Jawaban ini diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk mengoreksi anggapan Juwairiyah karena Juwairiyah beranggapan status makanan tersebut masih sedekah.

Kesalahan fatal nashibi itu adalah ia tidak mengumpulkan semua riwayat kisah Juawiriyah tersebut. Peristiwa Juwairiyah ini sama halnya dengan peristiwa Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kami mengutip riwayat Thabraniy karena lafaznya lebih kuat sebagai hujjah yaitu Juwairiyah memasak makanan tersebut, nah hadis tersebut ternyata diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim yaitu sebagai berikut

أن عبيد بن السباق قال إن جويرية زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فقال هل من طعام ؟ قالت لا والله يا رسول الله ما عندنا طعام إلا عظم من شاة أعطيته مولاتي من الصدقة فقال قريبة فقد بلغت محلها

Bahwa Ubaid bin As Sabbaaq berkata bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuinya dan berkata “apakah ada makanan?”. Ia berkata “tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada disisi kami makanan kecuali kambing yang disedekahkan kepada maulaku. Beliau berkata “bawalah kemari, sedekah itu telah sampai pada tempatnya [Shahih Muslim 2/756 no 1073]

Riwayat ini sama saja dengan riwayat Thabraniy dan kisah yang diceritakan pun sama. Jadi Juwairiyah menerima pemberian maulanya yang ia anggap sedekah dan ia tidak mau menyajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi diharamkan sedekah atasnya. Nah mengapa Juawiriyah memasaknya? Ya untuk dirinya tentu.

Si rafidhi nashibi ini sok tau kalau Juwairiyah memasak makanan tersebut bukan untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, darimana si rafidhi nashibi ini bisa tau? Dari wangsit?  Bukankah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengetahui saat giliran Nabi mendatangi  mereka?.

Ho ho jelas dalam hadisnya Juwairiyah berkata “tidak ada” ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menanyakan soal makanan. Nah itu berarti Juwairiyah memasaknya bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi untuk dirinya sendiri. Alangkah malunya nashibi ini dan jika ia tidak tahu malu maka hal itu malah lebih memalukan lagi. Saran kami, belajarlah dulu sebelum membantah, teliti baik baik hadisnya biar anda tidak malu berkomentar sembarangan apalagi dengan gaya angkuh begitu.

.

.

Kesimpulan

  1. Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan sedekah atas mereka karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak dibolehkan menerima sedekah. Maka keluarga Nabi yang diharmkan sedekah atas mereka bukanlah istri istri Nabi.
  2. Istri Nabi juga menerima pemberian orang lain yang mereka anggap sedekah dan mereka tidak memberikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini menjadi bukti bahwa Nabi diharamkan menerima sedekah tetapi istrinya tidak.

10 Tanggapan

  1. mantap sekali ustadz. Boleh tahu, di artikel diatas anda debat dg siapa? Dan url -nya apa?

  2. @salafy is dead

    ehem saya bukan ustadz dan tidak nyaman dipanggil ustadz, jadi tolong dipanggil sp saja. nashibi yang dimaksud dalam tulisan di atas adalah alfanarku.wordpress.com

  3. Nashibi memang makhluk yang menggelikan. Dia menyebut orang lain – yg jelas-jelas memuliakan Ahlul Bayt as sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW – dg predikat yang melekat pada dirinya sendiri, yaitu nashibi.

    Mas alfanarku.wordpress.com ini paham nggak sih apa arti dari kata “nashibi”?

    Tentang nashibi, contoh yg tak terbantahkan adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Muslim sih muslim tapi nashibi (bukan kafir lho 🙂 ). Semangatnya sangat luar biasa dalam merendahkan dan mencaci maki Ahlul Bayt as terutama Imam Ali as. Dia nashibi yg “high class”, papan atas, bapak moyangnya nashibi. Orang Jawa bilang Muawiyah adalah seorang nashibi yang “Top Markotop”. 🙂

  4. Ternyata doktrin wahhabi salafy nashibi tdk mutlak bahwa akal akan tunduk sama wahyu (hadis shahih). Kalau hadis itu tdk sesui dg mazhabnya maka logika para nashibi akan bermain dan mendistorsi hadis tsb kemudian akan mencari2 takwil dg hawa nafsuanya.

    Hadis Muslim riwayat zaid bin arqam bahwa istri2 Nabi termasuk ahlul baitnya tp kata zaid ahlul baitnya adalah mereka yg diharamkan menerima sedekah yaitu keluarga Ali, Aqil, Ja’far dn Abbas. Sy yg awam akan hadis saja bisa menangkap perkataan zaid bin arqam bahwa istri Nabi bkn termasuk ahlul bait yg diharamkan menerima sedekah.

    Kemudian wahhabi salafy nashibi juga menolak hadis shahih muslim riwayat zaid bahwa hadis ini bertentangan dg hadis yg pertama.

    Wahhabi salafy nashibi juga menolak pendapatnya imam Nawawi dn Ibn Hajar dlm memahami maula Barirah.

    Saya orang awam menyimpulan bahwa bang Sp memahami hadis tdk berdasarkan hawa nafsu tapi apa yg tersirat kemudian diungkapkan dg kaidah yg benar adapun wahhabi salafy nashibi bukan sj ingkar sunnah tapi menolak hadis shahih dn memaknai hadis memakai hawa nafsu dan mencari2 takwil agar sesuai dg pemahaman mazhabnya. Yg lebih parah mereka tdk menerima pendapatnya Imam Nawawi dan Ibnu Hajar padahal belaiu berdua termasuk orang2 yg diagunggakan dikalangan kaum salafiun nashibi.

  5. Kalo lagi dialog / debat sm orang2 taqlid, ta’ashub dan merasa paling benar sendiri, usahakan tahan emosi dan amarah kita. Gak perlu membalas cacian dan hujatan mereka. Cukup balas dengan akhlak kita aja. Nti Alloh akan menunjukkan kok siapa sebenarnya yang mencontoh akhlak salaf…. : ). Umat sekarang sudah gak bodoh lagi kok. Mereka sudah banyak paham mana yang cuma SEKEDAR KLAIM BELAKA, mana yang TIDAK. Karena Walopun mereka “TERIAK-TERIAK” “Ana mengikuti manhaj salaf”, KETAHUILAH, bhw mrk CUMA NUMPANG NYANTEL nama SALAF saja, pdhl HAKEKATNYA mrk JAUH dari manhaj & akhlak salaf !. Jadi GAK USAH HERAN !. Sesama mrk saja SUDAH SALING MENCACI & MENTAHDZIR ?…TERBUKTI kan ???….Emang udah dari SONONYA (tapi gak semua ya..)…he he he

  6. @husainahmad
    Kalau bicara DISTORSI. mereka para nashibi hanya mengikuti mereka terdahulu

  7. @chany
    Benar sekali mas chany jika dipetakan kaum nashibi ini mulai dari bani umayyah sampai ibnu Hazm, Dzahabi, ibnu Taimiyah, ibnu Katsir, ibnu qayyim, Muhammad bin abdul wahhab, bin baz, albani, syaikh muqbil, utsaimin sampai ke cirebon Muhammad assewed di dukuh semar.

  8. Dari awal kayaknya ada kebencian kepada kaum yang dinamai diartikel ini dengan “nashibi” makhluk seperti apa mereka? mengapa dinamai nashibi?

  9. @hikam
    kebencian itu manusiawi loh..Tuhan saja membenci kok:

    “Nabi saw bersabda: Sesungguhnya Allah membenci orang kaya yang zalim, orang tua yang jahil, dan orang fakir yang sombong (Nahjul Fashahah, Maxims 2620) (11-3-’09 ; 09:31:20)”

    Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (An-Nisaa’ : 36).

    ….hanya saja banyak yg tdk proporsional

  10. Mengamati ucapan Abu Bakr yg tercatat dlm Shahih Bukhari 5/90 no 4035 di atas, ringkasnya: Harta peninggalan Nabi SAW tidak diwariskan, tapi berstatus sbg sedekah; Keluarga Nabi SAW mendapat nafkah makan dari harta tsb.
    Di situ timbul problematika: Keluarga Nabi SAW mendapat nafkah makan dari harta yg statusnya sedekah. Loh! Bukankah keluarga Nabi SAW tidak boleh menerima (apalagi memakan) harta sedekah? Konsekuensi kontradiktif dari tuturan Abu Bakr semakin memperkuat bhw Abu Bakr salah dlm klaimnya bhw harta Nabi SAW tdk diwariskan.
    Tapi si wahabi-nashibi puter otak pat-gulipat dgn susunan kalimat: Harta peninggalan Nabi SAW berstatus sedekah setelah lebih dulu dikeluarkan bagian utk nafkah makan keluarga Nabi SAW. hehehe… itu berarti harta peninggalan Nabi SAW tidak semua menjadi sedekah; hadis dari Abu Bakr ” مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” jadi lemah secara makna. Mungkin mereka akan jawab: kalimat مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ itu ditakhshih oleh “bagian nafkah makan utk keluarga Nabi SAW.” Saya mesti senyum-senyum… setelah hukum waris dlm Al-Qur’an ditakhshih oleh hadis dari Abu Bakr, hadis tsb masih ditakhshih lagi dgn ketentuan lain. 😀

Tinggalkan komentar