Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?

Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?

Ada riwayat yang sering dinukil oleh para nashibi untuk membuktikan klaim mereka bahwa Imam Ali mengakui Abu Bakar berhak sebagai khalifah. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah dimana ia sendiri menukil dari Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazi-nya. Kami akan meneliti riwayat tersebut dan membuktikan bahwa riwayat tersebut tidaklah tsabit.

.

.

وقال موسى بن عقبة في مغازيه عن سعد بن إبراهيم حدثني أبي أن أباه عبد الرحمن بن عوف كان مع عمر وأن محمد بن مسلمة كسر سيف الزبير ثم خطب أبو بكر واعتذر إلى الناس وقال والله ما كنت حريصا على الإمارة يوما ولا ليلة ولا سألتها الله في سر ولا علانية فقبل المهاجرون مقالته وقال علي والزبير ما غضبنا إلا لأننا أخرنا عن المشورة وإنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه لصاحب الغار وإنا لنعرف شرفه وخيره ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي

Dan berkata Musa bin Uqbah dalam Maghazi-nya dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku bahwa ayahnya Abdurrahman bin ‘Auf bersama Umar, dan bahwa Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair kemudian Abu Bakar berkhutbah, memohon maaf kepada orang orang dan berkata “demi Allah sesungguhnya aku tidak pernah berambisi atas kepemimpinan ini baik siang maupun malam, dan aku tidak pernah meminta hal tersebut kepada Allah baik sembunyi maupun terang terangan”. Maka kaum Muhajirin menerima perkataannya. Ali dan Zubair berkata “kami tidak marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah ini dan kami berpandangan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atasnya sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dialah orang yang menemani Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam gua, kami telah mengenal kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memimpin shalat manusia ketika Beliau masih hidup [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 9/471]

Riwayat ini [jika memang tsabit dari Musa bin Uqbah] diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tetapi mengandung illat [cacat]. Riwayat ini sanadnya berhenti pada Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf dimana ia menceritakan kisah pembaiatan kepada Abu Bakar bahwa ayahnya ikut bersama rombongan Umar bin Khaththab yang mematahkan pedang Zubair kemudian ia juga menceritakan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar berhak atas khilafah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 11 H yaitu saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat.

Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf wafat pada tahun 96 H [Al Kasyf no 165]. Jadi ada jeda sekitar 85 tahun antara peristiwa tersebut dan wafatnya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Auf. Diperselisihkan kapan ia lahir. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat menyatakan ia wafat di madinah tahun 96 H dalam usia 75 tahun [Ats Tsiqat juz 4 no 1594]. Menurut keterangan Ibnu Hibban maka ia lahir sekitar tahun 21 H dan itu berarti sangat jelas riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus].

Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia sebenarnya lahir pada masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [At Tahdzib juz 1 no 248]. Pernyataan ini patut diberikan catatan. Ibu dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman adalah Ummu Kultsum binti Uqbah dan ayahnya adalah ‘Abdurrahman bin Auf. Ummu Kultsum binti Uqbah awalnya menikah dengan Zaid bin Haritsah kemudian ketika Zaid terbunuh [pada perang mu’tah tahun 8 H] ia menikah dengan Zubair sehingga melahirkan Zainab kemudian bercerai dan baru menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. [Al Ishabah 8/291 no 12227 biografi Ummu Kultsum]. Jika ia menikah dengan Zubair pada tahun 8 H maka mungkin ia melahirkan Zainab pada tahun 9 H. Itu berarti Ummu Kultsum menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf pada tahun 9 H. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat pada tahun 11 H. Seandainya dikatakan Ibrahim bin ‘Abdurrahman lahir dimasa hidup Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia lahir pada tahun 10 H atau 11 H.

Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar, Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena sanadnya terputus.

.

.

Selain itu terdapat illat [cacat] lain dari riwayat Musa bin Uqbah tersebut, sanadnya tidaklah tsabit sampai Musa bin Uqbah. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al Ahadits Al Muntakhab Min Maghazi Musa bin Uqbah Ibnu Qaadhiy Asy Syuhbah hal 94 no 19. Berikut ringkasan sanad penulis kitab ini sampai Musa bin Uqbah

قنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَتَّابٍ الْعَبْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَمِّهِ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، صَاحِبِ الْمَغَازِي

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Attaab Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Qaasim bin ‘Abdullah bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Ibrahim bin Uqbah dari pamannya Musa bin Uqbah penulis Maghaaziy.

Sanad ini dhaif karena Ismail bin Abi Uwais. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dikenal dhaif. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif [Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan soal pendapat Ibnu Ma’in

  • Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
  • Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
  • Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100]
  • Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162]
  • Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121]

Pendapat yang rajih, Ibnu Ma’in pada awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.

Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata “dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9]

Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata “shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391]

.

.

Riwayat ini juga diriwayatkan dengan sanad lain hingga Musa bin Uqbah sebagaimana disebutkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422 dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/152 no 16364 dan Al I’tiqaad hal 350. Riwayat Baihaqi berasal dari gurunya Al Hakim jadi sanadnya kembali kepada Al Hakim, berikut sanad riwayat tersebut dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim

حدثنا محمد بن صالح بن هانئ ثنا الفضل بن محمد البيهقي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا محمد بن فليح عن موسى بن عقبة عن سعد بن إبراهيم قال حدثني إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih bin Haani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir Al Hizaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422]

Sanad ini mengandung illat [cacat] yaitu dua orang perawinya diperbincangkan yaitu Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dan Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman

  • Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy, Ibnu Abi Hatim berkata “ia dibicarakan” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/396 no 393]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat. Abu Ali Al Hafizh mendustakannya. Abu ‘Abdullah Al Akhram berkata shaduq hanya saja berlebihan dalam bertasyayyu’ [Lisan Al Mizan juz 4 no 1368]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa 2/513 no 4939].
  • Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Main menyatakan ia tidak tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak mengapa dengannya tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 661]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak diikuti hadisnya” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/124 no 1682]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3159]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq sering salah dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Fulaih dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 6228]

Riwayat Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah juga disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad tetapi dengan matan yang tidak memuat khutbah Abu Bakar dan perkataan Ali dan Zubair.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْمَخْزُومِيُّ الْمُسَيَّبِيُّ نا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ وَغَضِبَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، مِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ  وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، فَدَخَلا بَيْتَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُمَا السِّلاحُ فَجَاءَهُمَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي عِصَابَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ أُسَيْدُ وَسَلَمَةُ بْنُ سَلامَةَ بْنِ وَقْشٍ وَهُمَا مِنْ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ وَيُقَالُ فِيهِمْ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ الشَّمَّاسِ أَخُو بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمْ سَيْفَ الزُّبَيْرِ فَضَرَبَ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى كَسَرَهُ  قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy Al Musayyabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihaab yang berkata sekelompok orang dari Muhajirin marah atas dibaiatnya Abu Bakar, diantara mereka ada Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwaam radiallahu ‘anhuma, maka masuklah mereka ke rumah Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bersama mereka ada senjata. Umar datang kepada mereka dengan sekelompok kaum muslimin diantaranya Usaid dan Salamah bin Salamah bin Waqsy keduanya dari bani ‘Abdul Asyhal, dikatakan juga diantara mereka ada Tsaabit bin Qais bin Asy Syammaas saudara bani Haarits bin Khazraaj. Maka salah satu dari mereka mengambil pedang Zubair dan memukulkannya ke batu hingga patah. Musa bin Uqbah berkata Sa’d bin Ibrahim berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah yang mematahkan pedang Zubair, wallahu a’lam [As Sunnah Abdullah bin Ahmad 2/553-554 no 1291]

Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy adalah seorang tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata aku mendengar Mushab bin Zubair berkata “tidak ada diantara orang quraisy yang lebih utama dari Al Musayyabiy” dan Shalih berkata “ia tsiqat”. Ibnu Qaani’ dan Ibrahin bin Ishaq Ash Shawwaaf menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 49]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/54]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat faqih shalih” [Al Kasyf no 4716]. Maka ada dua riwayat

  1. Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Muhammad bin Ishaq Al Makhzuumiy dari Muhammad bin Fulaih [lebih tsabit]
  2. Riwayat Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dari Ibrahim bin Mundzir dari Muhammad bin Fulaih.

Riwayat Abdullah bin Ahmad lebih tsabit dari riwayat Fadhl bin Muhammad. Hal ini karena Fadhl bin Muhammad seorang yang diperbincangkan dan matan riwayat Muhammad bin Fulaih yang ia sebutkan soal khutbah Abu Bakar adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah.

Fadhl bin Muhammad memang dikenal meriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/69 no 393]. Jadi nampak disini Fadhl bin Muhammad mencampuradukkan riwayat Muhammad bin Fulaih dengan riwayat Ismail bin Abi Uwais. Riwayat Muhammad bin Fulaih yang tsabit berasal darinya adalah

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ

Bahwa ‘Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair.

Sedangkan matan yang menyebutkan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar lebih berhak sebagai khalifah adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah yang menyebutkan soal pengakuan Ali dan Zubair kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sampai ke Musa bin Uqbah karena diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Uwais seorang yang dhaif.

18 Tanggapan

  1. Dari awalnya, nashibi memang sudah salah metode. Bila ada sebuah hadits atau atsar yg menurut mereka bisa menguatkan hujjah mereka, langsung mereka meradang dengan klaim bahwa hujjah mereka yg benar tanpa mau melihat bahwa begitu banyak hadits/ atsar shahih yang bertentangan dg klaim mereka.

    Metode yg nashibi tempuh selama ini adalah “Metode Kaca Mata Kuda”. Ngotot menyatakan sesuatu sebagai kebenaran dengan cara menutup mata terhadap begitu banyak hal lain yang justru berpotensi besar sebagai kebenaran.

  2. Asalamualaikum mas Secondprice.
    kalau boleh, bisakah juga anda bahas masalah tata cara / fiqh shalat Syiah?.
    karena qta tahu terdapat perbedaan-perbedaannya dengan mazhab Sunni. ingin tahu saja petunjuk mana yang lebih shahih diantara keduanya utk fiqh / tata cara shalat tsb.
    Jujur, saya sampai galau memikirkan ini mas.. hehe.

  3. @all
    Bagi saya. Tidak ada persoalan siapa menjadi Khalifah. Apakah diakui atau tdk oleh masyarakat. Imam Alipun demikian
    Yang penting SYAH tdk Abubakar menjadi Khalifah. Firman Allah dalam Surah an-Naml ayat 62. Atau siapakah yang memperkenankan orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi[? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).
    Jadi syah seorang Khalifah dan dapat diakui oleh MUKMIN berdasarkan penunjukkan dari Allah. Kalau benar Imam Ali pernah mengakui, itu karena terpaksa. Dan saya yakin Imam Ali tdk pernah mengakui karena beliau tahu bukan atas PENUNJUKAN Allah yang Maha Penentu.Imam Ali boleh menerima Abubakar sebagai Khalifah tapi tidak pernah mengakui sebagai Khalifah..

  4. mas Yoga197…sampeyan bagusnya tanya org syiah…ye..setahu saya mas @sp bolak balik sdh bilang dia bukan dlm kompetensinya.
    kalo sampeyan mau, beli ajah bukunya..ini linknya…http://tokobukuzainab.com/fiqih-sholat-fikih-shalat-mazhab-ahlul-bait.html

    kalo masih galau tanya ustad syiah…bukan @sp …

  5. @ SP: Asww, maaf yang ingin saya tanyakan adalah apakah artikel diatas ditujukan kepada Nashibi saja? Soalnya kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar ra diakui oleh Ahlu Sunnah secara umum. Kemudian apakah bertujuan juga untuk membahas sah atau tidaknya kekhalifahan beliau? Klo benar berarti artikel ini memang ditujukan untuk kalangan Ahlu sunnah secara umum, bukan Nashibi saja. Afwan. Wassalam.

  6. Kalau seandainya riwayat diatas adalah shahih maka akan bertentangan dg sikap Imam Ali dimana beliau tdk baiat kpd Abu Bakar selama enam bulan dan juga hadis ghadir khum yg menjelaskan bahwa Imam Ali as maula bagi orang2 mukmin.

    Sikap ibnu katsir dlm bidayah wan nihayah yg tdk memursalkan hadis riwayat ibrahin bin ‘abdurrahman bin auf dimana kata Bang Sp pd sanad ibrahim ini terputus sehingga sangat jelas bahwa ibnu katsir sangat membela keyakinannya.

    Bandingkan dg sikap ibnu katsir ketika menafsirkan ayat wilayah utk Imam Ali yaitu surat almaidah ayat 55, hadis yg menjelaskan asbabun nuzulnya pd ayat tsb pd sanadnya tetdapat Qatadah dimana kata ibnu katsir Qatadah tdk bertemu dg Ibnu Abbas. Padahal banyak ahli hadis yg mengatakan bahwa Qatadah semasa atau bertemu dg Ibnu Abbas. Benar2 ini adalah sikap yg subjektif utk membela keyakinannya.

    Benar kata mas chani kalau urusan MENDISTORSI hadis wahhabi salafi yg sekarang hanya ikut pd pendapat orang ya dahulunya (nashibi).

  7. @bob: terimakasih informasinya mas.

    oh iya kawan-kawan sekalian juga punya ID kaskus tidak?.
    jika ada, saya harap sempatkan waktu untuk membantu saudara-saudara kita di thread “sejarah syiah” ini http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10473131 yg sedang memberi pencerahan ttg sejarah syiah secara fair dan obyektif, namun spt biasa kaum nashibi sok benar itu ngerusuh dg argumen2 yg bertujuan utk mendistorsi kebenaran ahlul-bait AS.
    krn jujur saya tdk berkompeten apa2 selain nyimak, dan penghuni blog ini terutama admin pada jago-jago semua dalam berargumen dan juga bijak nan obyektif.
    saya cm awam yg sdg mempelajari ahlulbait Nabi.

  8. Allah swt telah berfirman didalam semua kitab2 suciNya sebelum AlQuran melalui nabiNya masing2 mengenai kedatangan ‘khutubul anbiya’. Sebahagian penganut2 agama tauhid sebelum Islam dengan rela hati serta iklas menerima Muhammad saw dan sebahagian yg lain engkar. Ini sudah terjadi dari dulu lagi iaitu ada yang menerima dan ada yang menolak walaupun mereka membaca kitab yang sama atau hidup sezaman dengan nabi mereka masing2. Jadi, sudah tentulah kesinambungan kemimpinan ini termaktub didalam AlQuran. oleh itu, ada yang setuju dan ada yang bantah saperti dulu2

  9. @bob
    terimakasih telah membagi link untuk buku2 syiah, judul bukunya banyak yang menarik

  10. @bob

    Insya Allah sape tahu mas sp akhirnya tergerak untuk lebih sereus mendalami fiqih-nya Imam Jakfar as shidiq. Sehingga bisa memberikan pencerahan melalui tulisannya; tidak hanya kepada teman2 sunni tetapi juga teman2 Syiah lainnya alias ‘One Stop Learning’…amin 🙂

    salam semua…………….

  11. logika wahabi adalah logika pokoknya

  12. mana nih yang punya hajat…? kok ngga muncul2…lempar dalil sembunyi maksud nampaknya…hehehheheheheh 😀

  13. dalam kaidah ilmu hadist, bgmn kedudukan periwayat berumur 1 tahun kalau dia masuk dlm kategori sahabat…apakah tetap muqathi atau masuk dlm udulnya sahabat..mohon penjelasan om@sp

  14. Yang pasti, Abu bakar lebih berjasa dari pada anda.
    Kami tidak mencaci Nabi Muhammad dan Ali.
    Ada masalah apa dengan anda ?

  15. @Iman,

    Mas, so pasti anda tidak akan mencaci nabi Muhammad saw dan Ali kw, sebab kalo anda mencaci nabi saw dan Ali kw berarti anda juga mencaci Allh SWT dan siapa yang mencaci Allah SWT jelas tempatnya di neraka,
    SO, ADA MASALAH APA DENGAN ANDA ?

  16. @SP

    “…Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar, Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena sanadnya terputus….”

    Pertanyaan yg ingin saya ajukan terkait kutipan diatas adalah apa alasan mas @SP menilai bahwa Ibrahim bin ‘Abdurrahman meriwayatkan kisah tsb melalui perantara yg tidak ia sebutkan ? Mustahilkah menurut mas @SP bila hal tersebut ia dengar langsung dari ayahnya sendiri sehingga tidak perlu perantara orang lain ? ….salam

  17. @Dafa Sani

    Pertanyaan yg ingin saya ajukan terkait kutipan diatas adalah apa alasan mas @SP menilai bahwa Ibrahim bin ‘Abdurrahman meriwayatkan kisah tsb melalui perantara yg tidak ia sebutkan ?

    Maaf itu sudah jelas sekali, kalau pada saat peristiwa itu terjadi ia baru berumur satu tahun artinya ia belum bisa mengerti pembicaraan apalagi menyaksikan peristiwa tersebut maka sudah jelas ia tahu melalui perantaraan orang lain

    Mustahilkah menurut mas @SP bila hal tersebut ia dengar langsung dari ayahnya sendiri sehingga tidak perlu perantara orang lain ?

    Silakan mas jawab mustahilkah ia mendengar dari orang lain? jawabannya ya tidak mustahil. Yang jelas ia tidak menyaksikannya sendiri. Siapapun perantara tersebut, ia tidak menyebutkannya maka sudah jelas status riwayat tersebut mursal atau sanadnya terputus. Apakah ayahnya atau selain ayahnya ya tidak bisa dipastikan karena tidak ada keterangannya. Intinya jika orang tersebut tidak diketahui maka sanadnya tetap terputus. Dugaan tidak menjadi hujjah jika tidak ada buktinya.

  18. @SP

    Jawaban mas sangat mengena atas pertanyaan saya….jazakallahu khair. Ngomong2 saya sangat senang anda bisa kembali up date….salam damai.

Tinggalkan komentar