Apakah Abu Musa Seorang Munafik? Bantahan Yang Skizofrenik

Apakah Abu Musa Seorang Munafik? Bantahan Yang Skizofrenik

Sebelum kami memulai pembahasan ini, ada baiknya kami menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bantahan yang skizofrenik” [istilah yang kami buat]. Ini sejenis penyakit yang menjangkiti orang-orang yang lemah akalnya. Mereka membaca sebuah tulisan kemudian karena kebencian kepada sang penulis atau karena prasangka [waham] buruk terhadap penulis maka mereka mencampuradukkan khayalan mereka dengan tulisan tersebut, khayalan yang campur aduk itu mereka buat bantahannya sehingga jadilah bantahan yang skizofrenik.

Misalnya dalam tulisan itu tidak ada sang penulis merendahkan orang lain tetapi si pembaca yang skizofrenik merasa penulis telah merendahkan banyak orang termasuk dirinya. Atau di dalam tulisan tersebut hanya berupa kritikan kepada orang lain tetapi si pembaca yang skizofrenik merasa penulis mencaci maki atau melaknat orang lain. Kemudian ia membuat bantahan yang didalamnya terdapat dalil larangan mencaci dan melaknat orang lain. Itulah yang namanya “bantahan skizofrenik” sudah jelas penulis tidak ada mencaci atau melaknat orang tetapi ia malah membuat bantahan dalil larangan mencaci dan melaknat.

Kami pernah membuat tulisan dengan judul “Apakah Abu Musa Seorang Munafik?. Kemudian ada orang yang membuat bantahan atas tulisan ini tetapi aneh bin ajaib ia mencampuradukkan prasangkanya sendiri dengan apa yang kami tulis. Dalam tulisan tersebut kami tidak pernah menyatakan Abu Musa sebagai munafik [bahkan telah kami jelaskan pandangan kami dalam kolom komentar] tetapi “pengidap waham” satu itu malah membuat bantahan seolah-olah kami menyatakan Abu Musa munafik.

.

.

.

Kami akan membahas “bantahan yang skizofrenik” itu untuk membuktikan kepada para pembaca bahwa menulis sebuah bantahan itu tidak seperti menulis novel atau dongeng dimana imajinasi bisa melalangbuana sesuka hati. Tulisannya adalah yang kami blockquote

Bagaimana menurut anda jika virus syi’ah, rafidhah, nawashib dan sahabatphobia menjangkiti bersama-sama dalam dada seseorang? Tentunya akan sangat sulit dihilangkan kecuali mendapat pertolongan dari Allah Azza wa Jalla, kenalilah mereka dari tanda-tanda mereka yaitu dari moncong senapan mereka, target sasaran mereka sangat jelas, kalau ga sahabat ya ahlul bait (ahlul bait di sini termasuk di dalam-nya adalah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam).

Ada baiknya orang ini membaca kembali definisi “syi’ah” definisi rafidhah, definisi nawashib dan definisi sahabatphobia [istilahnya sendiri mungkin]. Jika menyatakan keutamaan ahlul bait disebut Syiah maka ia sendiri pasti ngaku-ngaku Syiah. Jika rafidhah diartikan mencaci sahabat maka kami tidak pernah mencaci sahabat, kami menyatakan sahabat sebagaimana Al Qur’an dan Hadis menyatakan, kalau ia pun seperti itu maka ia layak dikatakan rafidhah. Kalau nawashib didefinisikan membenci ahlul bait, maka kami tidak pernah membuat tulisan yang membenci ahlul bait tetapi anehnya ada orang yang mengaku mencintai ahlul bait tetapi tulisannya nawashib, ia membuat tulisan Ali bin Abi Thalib shalat sambil mabuk. Kalau sahabatphobia [itu istilahnya sendiri] diartikan takut kepada sahabat maka itu sangat tidak mungkin ada pada kami, toh sebagian hadis-hadis yang ada di blog ini adalah riwayat para sahabat, jika tulisan kami itu dikatakan sahabatphobia maka ia pun layak mendapatkannya.

Pada zaman “ledakan informasi” seperti saat ini terdapat beberapa orang [yang minim dalam ilmu hadis] begitu kewalahan ketika mereka menyaksikan betapa banyak riwayat yang menunjukkan kesalahan sahabat, perselisihan sahabat bahkan perperangan antar sahabat. Untuk menutupi kekalutan mereka, maka moncong senapan mereka arahkan kepada orang-orang yang mengutip riwayat tersebut. Mereka tidak rela kalau doktrin suci “sahabat semuanya adil” yang mereka anut ternodai oleh riwayat-riwayat tersebut. Mereka berbasa-basi kalau sahabat tidak maksum tetapi tingkah mereka malah menunjukkan seolah-olah sahabat maksum dalam pandangan mereka. Buktinya kalau ada orang yang menunjukkan kesalahan sahabat mereka meradang dan membuat bantahan yang skizofrenik.

Peluru mereka muntahkan ke generasi awal Islam, dengan alasan studi kritis mereka mengekspose kembali isu-isu lama lebih dari seribu tahun yang lalu, bahkan kakek buyutnya saja belum ada saat itu, atau memelintir riwayat-riwayat dari kitab-kitab yang sering tidak popular di kalangan kaum sunni kemudian mempertentangkannya satu sama lain dan membawa pada prakonsepsi yang ada di benaknya.

Mengenai ucapannya “peluru mereka muntahkan ke generasi awal islam maka kami katakan orang yang memuntahkan peluru kepada generasi awal islam adalah mereka generasi awal islam itu sendiri. Siapakah yang meriwayatkan hadis yang mengungkapkan keburukan sahabat dan laknat terhadap sahabat tertentu tidak lain sahabat Nabi itu sendiri. Siapakah yang meriwayatkan hadis bahwa banyak para sahabat murtad sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak lain sahabat itu sendiri. Terus siapakah yang ia maksud generasi awal islam? bukankah tabiin dan tabiittabin termasuk generasi awal islam?. Siapakah yang membagi para tabiin dan tabiittabiin dengan predikat dhaif, matruk, tsiqat, bahkan pendusta?. Tidak lain itu adalah generasi salaf sendiri. Yah sedari awal peluru itu sudah termuntah dimana-mana tetapi “orang yang skizofrenik” tidak bisa memahami karena mereka punya waham sendiri.

Mengenai ucapannya “memelintir riwayat dari kitab yang tidak popular di kalangan sunni” maka kami katakan orang seperti ia tidak pantas berbicara soal “memelintir” karena justru ia adalah orang yang paling banyak “memelintir” riwayat sunni agar tidak menodai doktrin yang ia anut. Memelintir riwayat itu berarti mencari-cari dalih sehingga memalingkan “lafaz riwayat” kepada makna yang ia kehendaki. Jika suatu riwayat menyebutkan “sahabat saling laknat” maka orang skizofrenik akan memelintir “itu adalah suatu hal yang lumrah dalam perang” atau “itu adalah ijtihad salah satu pahala benar dua pahala”. Ia memelintir “laknat” menjadi “sesuatu yang lumrah” dan “ijtihad” silakan pembaca menilai siapakah yang layak disebut sebagai “pemelintir riwayat”

Orang ini juga maaf “agak tidak tahu diri”. Ia mengukur seolah-olah semua orang Sunni seperti dirinya. Ia menyebutkan “kitab yang tidak popular di kalangan sunni”. Apakah ia memang sudah membaca semua kitab yang beredar di kalangan sunni?. Apakah semua ulama sunni seperti dirinya?. Kitab apakah yang ia maksud tidak popular di kalangan sunni? Salah satunya mungkin Ansab Al Asyraf Al Baladzuri, Mu’jam Ibnu Muqri, Mu’jam Ibnu Arabi, Tarikh Ibnu Asakir, Fawa’id Abu Bakar Asy Syafi’i, Akhbaru Makkah Al Fakihi, Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy dan berbagai kitab lain yang mungkin baru ia dengar namanya. Padahal sudah dari dulu kitab-kitab itu ada dan maaf berasal dari ulama sunni sendiri. Bahkan Abul –Jauzaa yang menjadi idolanya menjadikan kitab-kitab tersebut sebagai referensi termasuk Ansab Al Asyraf Al Baladzuri. Ketika ia mengkopipaste tulisan Abul-Jauzaa yang penuh dengan kitab tidak mu’tabar, apa pernah ia melontarkan keluhan? tidak karena Abul Jauzaa’ itu idolanya dan satu aliran dengannya

Apa tujuan orang model seperti itu? Tidak lain agar kaum muslimin meragukan generasi awal yang telah membawa atau menyampaikan agama ini, jika generasi awal yang membawa agama ini sudah berhasil didiskreditkan tentunya diharapkan kaum muslimin tidak akan yakin lagi atau ragu akan kebenaran agamanya, itulah tujuan sebenarnya dan tentunya cara ini lebih licik dan berbahaya dari apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, karena orang-orang ini mengaku dirinya muslim.

Perkataan ini semuanya jelas hanya “khayalan atau waham dirinya yang ia nisbatkan kepada kami”. Tujuan blog ini tidak pernah membuat anda para pembaca menjadi ragu dengan agama anda. Kami sendiri beragama islam dan kami justru menunjukkan kepada anda para pembaca bahwa dalam dunia islam ini ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka “salafy”. Mereka menyebarkan doktrin suci bahkan sebagian diantara pengikut mereka menjadikan doktrin suci ini sebagai “agama mereka” sehingga ketika “doktrin suci” ini dikritisi mereka merasa agama mereka diserang.

Memang orang sejenis mereka ini lebih licik dari orientalis, orang awam tidak akan jauh-jauh terpengaruh oleh tulisan orientalis toh mereka pikir “itu tulisan non muslim” tetapi orang awam mudah terkecoh oleh mereka yang sok nyalaf ala salafus shalih, dengan mengutip Al Qur’an dan Hadis mereka menyebarkan doktrin untuk mempengaruhi orang awam. Contoh sederhana berapa banyak orang awam yang mengenal hadis Tsaqalain dan coba bandingkan dengan berapa banyak orang awam mengenal hadis “kitab Allah wa Sunnati”. Ini hanya satu contoh sederhana dan kami punya banyak contoh seperti ini.

Untuk meluluskan tujuan ini, orang-orang yang sudah terjangkit penyakit-penyakit yang mematikan tersebut berusaha mempelajari ilmu-ilmu hadits yang ada pada kaum muslimin, bukannya untuk diimani, dihayati atau diamalkan, tetapi hanya untuk dicari kelemahan-kelemahannya saja.

Sungguh kasihan orang ini, kalau memang dirinya malas belajar mengapa mempermasalahkan orang lain yang mau belajar. Apakah ia pernah belajar ilmu hadis? Maaf kami tidak melihat hal itu ada padanya, terlihat dari perkataannya yang sering menolak hadis shahih bahkan dengan alasan “menjijikkan” itu tidak terdapat dalam kutubus sittah. Yang lucu bin ajaib, adalah ucapannya “bukan untuk diimani, dihayati dan diamalkan”. Apa yang ia maksud dengan ucapan ini?. Apakah kehidupan manusia itu hanya terbatas dalam kotak sempit yang namanya “blog”?. Apakah “diamalkan” yang ia maksud hanya terbatas pada blog tempat tulis-menulis?. Seorang muslim yang baik akan mengimani, menghayati dan mengamalkan ajaran agama islam dalam kehidupannya dan saya yakin baik kami pribadi, dirinya dan para pembaca sekalian berusaha untuk menjadi muslim yang baik. Kelemahan-kelemahan dalam ilmu hadis adalah sesuatu yang ma’ruf dan akan ditemukan oleh mereka yang mempelajari ilmu hadis dengan baik. Seperti ilmu lain pada umumnya yang memiliki keterbatasan, ilmu hadis pun juga memiliki keterbatasan dan seperti ilmu lain juga, ilmu hadis mengandalkan metode atau kaidah untuk  mengatasi keterbatasan tersebut.

Sebenarnya sudah sering orang ini diperingatkan, tetapi karena dia ini “Tambeng” (istilah orang Palembang) maka peringatan itu tidak ada artinya bagi dirinya, kesombongan sudah menguasai dirinya. Maka untuk orang-orang semacam ini patut kita kasihani dan kita do’akan semoga Allah memberi hidayah kepadanya.

Maaf apa yang ia maksud “diperingatkan”?. Apakah yang ia maksud orang yang memperingatkan kami adalah dirinya dan idolanya Abul-Jauzaa yang mengusung nama “salafiyun”?. Lalu apa isi peringatannya? Apakah kami tidak boleh menuliskan riwayat-riwayat seperti itu?. Maaf kenapa ia tidak memperingatkan sekalian para ulama dan penulis hadis serta tarikh agar mereka tidak memuat riwayat-riwayat yang menodai kesucian doktrin yang dianutnya. Zaman sekarang sudah bukan saatnya ngedumel seperti anak kecil. Silakan bantah tulisan dengan tulisan, argumen dengan argumen bukannya memperingatkan orang agar tidak menulis ini itu. Sangat wajar jika sebuah tulisan mendapat respon dari tulisan yang lain, lihat saja tulisan dirinya dan Abul-Jauzaa’ juga mendapat respon dari blog-blog lain.

Btw kami baru tahu kalau “tambeng” itu istilah orang Palembang. Bukannya itu sudah jadi istilah umum dari bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Sansekerta. Kalau tidak salah artinya “keras kepala”. Kalau yang bersangkutan punya kamus bahasa Sansekerta-Indonesia maka ia akan menemukan ada kata “tambeng” disana. Terimakasih atas doanya dan semoga ia pun diberi hidayah oleh Allah SWT.

Tiba giliran moncong senapan orang yang terjangkit penyakit sahabatphobia ini di arahkan kepada seorang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang mulia yaitu Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Dengan judul yang cukup provokatif, orang ini berusaha menggiring pembaca untuk meragukan kredibilitas sahabat tersebut hanya berdasarkan atsar yang belum tentu benar,

Sepertinya sensor persepsi orang ini “bermasalah”. Kok bisa-bisanya ia berkata “judul yang provokatif”. Judul yang kami buat adalah Apakah Abu Musa Seorang Munafik? Adalah suatu bentuk pertanyaan bukan pernyataan. Membahas isu yang sensitif dengan membuat judul berupa pertanyaan termasuk cara yang aman. Bahkan di dalam pembahasan kami tidak memastikan kalau Abu Musa munafik. Atsar yang kami nukil itu adalah atsar yang shahih, soal bagaimana menyikapi atsar tersebut maka itu termasuk bahan yang akan didiskusikan. Berbeda dengan pembahasannya yang basa-basi dan tidak mengerti metodologi. Mari kita lihat pembahasannya

Mengenai riwayat pertama, jika riwayat ini shahih adalah suatu atsar yang musykil dimana Hudzaifah membuka rahasia yang dititipkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam kepadanya, apalagi adanya tadlis [‘an anah] Al A’masy, jadi bagi kami riwayat ini belum cukup kuat untuk dijadikan hujjah bahwa Abu Musa seorang munafik.

Riwayat yang pertama adalah riwayat Huzaifah dalam kitab Ma’rifat wal Tarikh Yaqub Al Fasawi. Kitab yang menurutnya tidak popular [seolah-olah dirinya sebagai ukuran bagi kitab-kitab sunni]. Riwayat tersebut sudah jelas shahih, perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim dan tadlis Amasy dari Abu Shalih adalah tadlis yang dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Bukhari dan Muslim] dan dianggap muttashil [bersambung] oleh para ulama. Kalau tadlis semisal ini mau dilemahkan maka akan banyak sekali hadis Shahih Bukhari dan Muslim yang dilemahkan. Ucapan orang itu “belum cukup kuat sebagai hujjah” hanya ucapan kosong yang berdasarkan prasangka. Dari sisi ilmu hadis [jika yang bersangkutan memang belajar ilmu hadis] maka hadis tersebut shahih. Jika yang bersangkutan berhujjah dengan kitab Bukhari Muslim maka Bukhari Muslim telah berhujjah dengan tadlis A’masy dari Abu Shalih.

Pernyataannya “atsar musykil karena membuka rahasia yang dititipkan Nabi” juga tidak relevan. Kami tanya padanya, rahasia yang mana yang diungkapkan Hudzaifah?. Apakah ketika Huzaifah menyatakan Abu Musa munafik, maka ada rahasia yang terungkap. Jika rahasia yang dimaksud terkait dengan peristiwa Aqabah, maka silakan lihat atsar Hudzaifah riwayat Al Fasawi adakah Huzaifah secara eksplisit menyatakan Abu Musa sebagai Ahlul Aqabah?. Kami membawakan riwayat bahwa Abu Musa termasuk ahlul aqabah untuk menjelaskan kaitannya dengan atsar Hudzaifah riwayat Al Fasawi mengapa kok bisa-bisanya Hudzaifah menuduh Abu Musa munafik. Jadi secara eksplisit Hudzaifah tidak membuka rahasia yang dititipkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

Jika kita cermati, ada perbedaan yang nyata antara dua riwayat di atas dengan riwayat musnad Ahmad yang terakhir ini, sipenanya pada dua riwayat sebelumnya adalah Hudzaifah sedangkan pada riwayat terakhir si penanya adalah Ammar, manakah yang benar?

Keduanya benar, riwayat yang menyebutkan Hudzaifah dan riwayat yang menyebutkan ‘Ammar kedudukannya shahih dan disebutkan dalam riwayat shahih bahwa memang mereka berdua yang menemani Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] naik ke bukit aqabah. Jadi tidak ada hal yang patut dipermasalahkan disini

Kedua, seandainyapun benar Abu Musa adalah termasuk ahlul Aqabah, tidak ada bukti pada riwayat di atas dia adalah termasuk dua belas orang yang disabdakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai musuh Allah atau munafik, bisa jadi dia adalah yang termasuk tiga orang yang tidak medengar penyeru Rasulullah dan tidak mengetahui tujuan dari dua belas orang itu mendaki bukit Aqabah sehingga tiga orang tersebut turut naik ke bukit Aqabah.

Dalam tulisan kami, juga tidak ada kami memastikan kalau Abu Musa adalah ahlul aqabah yang termasuk dalam dua belas musuh Allah SWT dan Rasul-Nya. Kami berdiam diri disini karena kami terbiasa berhujjah dengan apa yang dikatakan oleh hadisnya. Jika hadisnya berhenti sampai disitu maka kami tidak akan memanjangkan lidah kami atasnya. Hadisnya tidak ada menyebutkan kalau Abu Musa termasuk dalam dua belas musuh Allah dan Rasul-Nya dan tidak pula hadis itu menyebutkan kalau Abu Musa termasuk dalam tiga orang yang mengajukan alasan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Walaupun secara rasional saja sangat tidak mungkin alasan “tidak mendengar seruan Nabi” dan “tidak tahu maksud  orang yang mendaki bukit tersebut”.

Bagaimana dikatakan “tidak mendengar seruan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan para sahabat lain yang jumlahnya jauh lebih banyak telah mendengar seruan tersebut. Lantas anggap saja mereka memang tidak mendengar terus apa mereka tidak bisa melihat, mengapa hampir semua sahabat mengambil jalan yang lain dan tidak mendaki bukit aqabah. Mengapa ketiga orang itu malah ikut mendaki bukti aqabah dan lebih memilih memisahkan diri dari hampir sebagian besar sahabat lainnya bakan mereka ikut-ikutan memakai topeng pula.

Bagaimana dikatakan “tidak tahu maksud para pendaki bukit aqabah” jika ketiga orang itu juga memakai topeng. Dapat dilihat dalam riwayat ‘Ammar bahwa mereka para pendaki bukit aqabah yaitu lima belas orang tersebut semuanya memakai topeng. Dari kelima belas orang tersebut, tiga orang menyampaikan alasannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan kedua belas orang lainnya tidak. Sikap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menerima alasan ketiga orang tersebut adalah akhlak mulia Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga sering menerima alasan “kaum munafik” yang suka mencari-cari alasan untuk tidak ikut perang. Disini dapat dilihat bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersikap menerima zahir perkataan seseorang, sedangkan urusan hati maka itu adalah urusan mereka kepada Allah SWT.

Ketiga, telah masyhur dan shahih dalam kitab tarikh bahwa seusai perang Tabuk, Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengutus sahabat Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari ke Yaman untuk mendakwahkan Islam. Masing-masing berdakwah di daerah yang berbeda di Yaman. Hadits-hadits shahih berikut ini menunjukkan dengan jelas pengutusan Muadz dan Abu Musa ke Yaman dengan beberapa perintah dan larangan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam

Pernyataan ini bisa kami terima, dan ini adalah salah satu alasan mengapa kami tidak memastikan tuduhan “munafik” kepada Abu Musa. Ini adalah salah satu hadis yang ia kutip

حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا وَأَبَا مُوسَى إِلَى الْيَمَنِ قَالَ يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا

Bukhari 38.238/2811. Telah bercerita kepada kami Yahya telah bercerita kepada kami Waki’ dari Syu’bah dari Sa’id bin Abi Burdah dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mengutus Mu’adz dan abu musa ke negeri Yaman dan Beliau berpesan: Mudahkanlah (urusan) dan jangan dipersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (tidak tertarik) dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan berselisih

Hadis ini dan dua hadis lain yang ia kutip adalah riwayat Abu Musa Al Asy’ari sendiri. Selain hadis ini ada lagi hadis keutamaan Abu Musa yang diriwayatkan oleh Abu Musa sendiri. Kalau ia mau menjadikan hadis ini sebagai hujjah untuk menolak hadis Huzaifah maka maaf itu hujjah buat dirinya sendiri tetapi tidak menjadi hujjah yang cukupbagi mereka yang objektif. Orang yang berpegang pada atsar Huzaifah bisa saja menjawab dengan berkata “Abu Musa itu adalah munafik berdasarkan riwayat shahih Huzaifah maka kesaksian munafik atas dirinya tidak menjadi hujjah”. Ini yang kami katakan bahwa ia tidak paham “metodologi” dalam berhujjah. Kami pribadi tidak semata-mata  membenarkan Huzaifah dan menyatakan Abu Musa munafik, hadis-hadis riwayat Abu Musa menjadi pertimbangan bagi kami sehingga kami tidak terburu-buru menyatakan munafik. Perbedaan kami dengan dirinya adalah kami paham sejauh mana kekuatan suatu “hujjah” sehingga bisa mengalahkan “hujjah lainnya” sedangkan ia tidak paham bagaimana cara berhujjah. Ia pikir riwayat Abu Musa yang ia kutip akan menyelesaikan permasalahan ini dengan mudah.

Maka jika Abu Musa adalah salah satu dari orang munafik atau Musuh Allah, hal yang sangat mustahil Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengutusnya sebagai da’i untuk menyampaikan risalah agama, tentunya amat sangat berbahaya jika seorang munafik di utus sebagai seorang da’i. Dan telah masyhur dalam kitab-kitab tarikh bahwa peristiwa pengutusan Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman terjadi pada tahun 10 Hijriah seusai perang Tabuk.

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mengutus Walid bin Uqbah kepada bani musthaliq dan ternyata Walid adalah seorang yang fasiq dan berdusta kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menjadikan salah seorang sahabat sebagai penulis wahyu dan ternyata ia mengubah-ngubah wahyu yang ditulis. Penunjukkan Rasulullah [shallallahu ‘alalihi wasallam] kepada sahabatnya terkadang menjadi keutamaan bagi mereka tetapi itu tidak bersifat mutlak, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mengutus Amru bin Ash dan ternyata setelah itu Amru bin Ash termasuk sahabat yang mencaci Imam Ali dan termasuk yang didoakan keburukannya oleh Imam Ali di dalam qunut [dalam salah satu riwayat Nabi pernah mendoakan keburukan terhadap ‘Amru bin Ash].

Begitu pula dengan Abu Musa Al Asy’ari, Imam Ali pernah mendoakan keburukan kepadanya di dalam qunut padahal Abu Musa tidak termasuk ke dalam orang yang memerangi Imam Ali bersama Muawiyah.

حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه

Telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata Aku shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika Qunut Beliau berkata “Ya Allah hukumlah Muawiyah dan pengikutnya, Amru bin Ash dan pengikutnya, Abu As Sulami dan pengikutnya, Abdullah bin Qais dan pengikutnya”. [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/108 no 7050 dengan sanad yang shahih]

Abdullah bin Qais yang disebutkan dalam doa Imam Ali adalah Abu Musa Al Asy’ari. Jika Abu Musa ini tidak bermasalah maka apa yang menyebabkan Imam Ali mendoakan keburukan terhadapnya di dalam qunut Beliau. Apakah orang itu akan menuduh Imam Ali berbuat zalim kepada salah seorang sahabat Nabi?. Imam Ali adalah ahlul bait yang menjadi pegangan bagi umat islam, maka sikap dan pernyataan Beliau menjadi hujjah bagi kami.

Sebelum orang syi’ah ini berkomentar seperti di bawah ini, seharusnya dia mau pakai akal sehatnya (jika punya) dan melihat riwayat-riwayat yang lainnya.

Silakan perhatikan komentar kami yang ia kutip dan mari kita lihat siapa yang memakai akal sehat dan siapa yang cuap-cuap berkata “akal sehat”. Kami berkata: Tentu saja hal ini menjadi dilema yang sangat meresahkan. Kalau Abu Musa Al Asy’ari dinyatakan sebagai munafik maka bagaimana nasib hadis-hadis yang diriwayatkannya padahal cukup banyak hadis-hadisnya yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim.

Perhatikan : adakah kami menyatakan Abu Musa munafik, kami justru menunjukkan dilema yang terjadi kalau [perhatikan kami menggunakan kata kalau] Abu Musa ini dinyatakan munafik maka bagaimana keadaan hadis-hadisnya. Dilema ini jelas sangat meresahkan, itulah yang kami tulis. Orang yang punya akal sehat pasti akan menyetujui pernyataan kami bahwa hal itu sangat meresahkan kalau Abu Musa dinyatakan munafik. Sepertinya kata “kalau” harus dibuat dalam ukuran big dan bold. Menindaklanjuti dilema ini maka kami menawarkan alternatif yang kami juga tidak bisa memastikannya yaitu pada kata-kata kami : Mungkinkah Huzaifah keliru? atau mungkin lebih aman menolak hadis Huzaifah yang satu ini daripada menolak berbagai hadis Abu Musa yang tersebar dalam kitab Shahih.

Faktanya orang itu justru mengikuti apa yang kami tulis di atas. Ia menolak riwayat Huzaifah dengan dalih yang ia cari-cari. Lucu sekali, komentar yang ia permasalahkan “dimana akal sehatnya” adalah komentar yang justru menjadi pilihannya. Kami khawatir yang bersangkutan sudah tidak paham apa yang namanya “akal sehat”. Sepertinya setiap apapun tulisan kami akan menjadi akal yang tidak sehat dalam pikirannya. Itulah yang namanya kebencian, orang ini tidak membantah dengan akalnya tetapi membantah dengan gelap mata.

Kesimpulan :
Abu Musa Al-Asy’ari adalah seorang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang mulia bukan seorang munafik ataupun musuh Allah sebagaimana yang dituduhkan orang syi’ah.

Abu Musa seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu jelas sekali. Dia dinyatakan munafik oleh Hudzaifah itu pun berdasarkan riwayat shahih. Ia termasuk ahlul aqabah itu pun riwayat shahih. Ia termasuk sahabat yang didoakan keburukannya oleh Imam Ali dalam qunut itu pun riwayat shahih. Terdapat riwayat shahih seputar keutamaan Abu Musa seperti yang diriwayatkan Abu Musa sendiri dan tertera dalam kitab Shahih. Fakta-fakta ini adalah poin yang kami pertimbangkan dalam menentukan sikap terhadap Abu Musa. Kesimpulan kami adalah kami bertawaquf dalam masalah ini dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut, pernyataan ini telah kami kemukakan sebelumnya dalam kolom komentar tulisan Apakah Abu Musa seorang munafik?.

Pernyataan orang itu bahwa kami menuduh Abu Musa munafik atau musuh Allah adalah bersumber dari khayalannya semata. Di bagian mana dari tulisan kami terdapat pernyataan seperti itu. Orang yang berpenyakit kronis syiahphobia memang tidak bisa objektif dalam memahami tulisan orang yang ia tuduh Syiah karena pikirannya tertutupi oleh kebencian. Apapun yang kami tulis sepertinya akan tampak buruk dalam pandangannya. Orang seperti itu lebih patut dikasihani dan kami berharap semoga ia sembuh dari penyakitnya. Salam damai

7 Tanggapan

  1. @mas SP

    Ada pepatah mengatakan, ” anjing menggongong kalifah berlalu”…

    Sebaiknya tidak usah terlalu mempedulikan orang yg akan terus menggonggong. Mengurusi mereka akan menghabiskan banyak energi, dan hasilnya akan tetap sama.
    Kalau anggota genk troll semacam ‘imem’ sampai ‘nyalap’ mau belajar dan menggunakan sedikit akal sehatnya, niscaya tidak perlu membuang waktu untuk menjelaskan hal yg sudah jelas berulang2.

    Kalo boleh nyumbang saran, tidak perlu memposting jawaban buat mereka. Bagaimanapun para pembaca sudah bisa kok membedakan mana emas mana loyang…

    Selamat terus berkarya mencerdaskan ummat…
    salam..

  2. dilematis, bagi mereka yang menjadikan Ahlulbayt Tsaqolain kedudukannya sejajar dengan para Sohabat,.. apalagi yg menjadikan para sohabat sebagai penerus satusatunya yg berhak atas risallah Nabi Saw sehingga menjadi penentu kebenaran ajaran Islam…

  3. Yg pasti semenjak Rasulullah wafat sifat asli sebagian besar para sahabat beliau itu sedikit2 mulai dinampakkan, yaitu gila perang, gila kedudukan, gila jabatan, gila kekuasaan, gila kehormatan serta sifat untuk menuntaskan dendam yang terpendam, dan agama hanya dijadikan perisai untuk menutupi sifat mereka dan tujuan mereka yg sebenarnya!

  4. org itu membawa hadis semasa Nabi SAW masih hidup untuk dijadikan hujah tentang riwayat di zaman Amirul Mukminin Ali as.. tak akan jadinya perang saudara kalau sahabat2 dizaman Nabi SAW masih sama sifat/akhlak mereka dengan zaman setelah wafatnya Nabi SAW.

  5. Ya itulah sifat Nashibi yg nyata, mereka selalu berkelit! mereka tidak pernah mengkaji dan mengakui penyimpangan perilaku sebagian besar para sahabat setelah Nabi saw tiada! Mereka bersih kukuh bahwa.

    ‘PARA SAHABAT NABI JANGAN DILECEHKAN DAN DICELA WALAUPUN PERBUATAN MEREKA MENENTANG RASULULLAH SAW, KARENA MEREKA BARU MASUK ISLAM SEHINGGA PENGARUH SIFAT JAHILIAH MEREKA BELUM HILANG 100%! DAN RASULULLAH SAW BAHKAN MENGAMBIL SEBAGIAN SAHABAT SEBAGAI BESAN BELIAU! MASA NABI SAW BODOH DALAM MENILAI SIFAT SESEORANG. UNTUK ITU KESALAHAN MEREKA LAYAK DIMAAFKAN DAN DILUPAKAN! BAGAIMANAPUN JUGA MEREKA BERJASA DALAM PERJUANGAN PENEGAKKAN AGAMA ISLAM’

    Ya garis besarnya kira2 seperti itulah pandangan mereka terhadap sebagian besar para sahabat yg dalam sejarah jelas2 menganiaya dan mendhzolimi keluarga Nabi saw yg suci dan mulia!

    Na’udzu billaah min dzaalik!

  6. Kebencian mrk kepada salah satu mazhab sdh menggelapkan mata dan menutup kewarasan mrk. Setiap ada pemberitaan yg miring mengenai sahabat, herannya selalu dibalas dgn berita miring pula, tdk tanggung2 mrk mencari2 dalih dan riwayat utk menyerang ahlulbait Nabi langsung. Seolah2 dgn begitu hilang dan impaslah ketidakadilan sahabat. Dimana akal sehat mrk? Bagaimana mungkin mrk tetap menganggap kedudukan sahabat Nabi setara dgn ahlulbait Nabi?
    Alangkah baiknya jika sebuah berita yg “miring” itu diklarifikasi dulu, atau di luruskan atau dibela jika dianggap benar? Mengapa tahap2 itu tdk dijalani tp lantas balas dendam menyerang pribadi, menyerang tokoh? Bagaimana tdk dibilang wahamnya telah menguasai akalnya?

    Salam

  7. @armand
    “Bagaimana tdk dibilang wahamnya telah menguasai akalnya?”
    masih punya akal toh…?

Tinggalkan komentar