Nikah Mut’ah Bukanlah Zina? Menggugat Salafy
Tulisan ini bukan mempermasalahkan hukum nikah mut’ah. Baik yang mengharamkan dan yang menghalalkan nikah mut’ah sama-sama memiliki hujjah. Masalah yang kami bahas pada tulisan kali ini adalah ulah mulut gatal sebagian pengikut salafy yang berkata “nikah mut’ah adalah zina”. Tidak diragukan kalau Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menghalalkan nikah mut’ah dan para sahabatpun pernah melakukan nikah mut’ah. Berdasarkan fakta ini maka perkataan “nikah mut’ah adalah zina” memiliki konsekuensi kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menghalalkan zina dan para sahabat pernah melakukan zina. Na’udzubillah, bukankah ini adalah tuduhan yang keji.
Terdapat dalil yang menyebutkan kalau Nikah mut’ah bukanlah sesuatu yang keji melainkan sesuatu yang “baik”. Hal ini pernah disebutkan dalam hadis Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ ثُمَّ قَرَأَ عَلَيْنَا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Isma’il dari Qais yang berkata Abdullah berkata “kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita [istri], kami berkata “apakah sebaiknya kita mengebiri” maka Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan selembar pakaian kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] membacakan kepada kami “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas [Al Maidah ayat 87]“ [Shahih Bukhari 7/4 no 5075]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan mahar berupa pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]
Perhatikan baik-baik, Ibnu Mas’ud ketika menyebutkan nikah mut’ah ia membaca ayat sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membacakan ayat “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian”. Ini berarti nikah mut’ah itu termasuk dalam “thayyibaat” [hal yang baik]. Jadi keliru sekali kalau mengatakan Nikah mut’ah adalah zina. Bagaimana mungkin zina disebut sesuatu yang baik?. Perkara pada akhirnya nikah mut’ah diharamkan [menurut sebagian orang] tetap saja tidak mengubah kalau nikah mut’ah itu sesuatu yang baik.
Seandainya nikah mut’ah itu hukumnya haram tetap saja sangat tidak benar menyatakan nikah mut’ah adalah zina. Apa yang akan mereka katakan terhadap para sahabat yang melakukan nikah mut’ah. Apakah mereka akan menuduh para sahabat telah berzina?.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء
Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW hidup, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’ [Musnad Ahmad 1/52 no 369, Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim]
Hadis di atas menyebutkan kalau para sahabat [termasuk Jabir] pernah bermut’ah bersama Abu Bakar. Apakah Jabir, Abu Bakar dan sahabat lainnya akan dikatakan telah melakukan zina?. Na’udzubillah, tetapi itulah konsekuensi dari perkataan “Nikah mut’ah adalah zina”. Sangat jelas bahwa sebagian sahabat tetap menghalalkan nikah mut’ah selepas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Hadis di atas menjadi bukti dimana Jabir mengatakan kalau para sahabat [termasuk dirinya] tetap melaksanakan mut’ah dimasa Abu Bakar.
قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر
Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, kami melakukan mut’ah pada masa hidup Rasulullah SAW, masa hidup Abu Bakar dan masa hidup Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
Sekali lagi jika nikah mut’ah adalah zina, maka konsekuensinya adalah Jabir dan para sahabat lainnya bersepakat melakukan zina dan menghalalkan zina. Kami yakin hal ini tidak akan diterima oleh siapapun yang mengaku muslim. Semoga pengikut salafy yang bermulut usil itu dapat menahan diri untuk tidak mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina. Karena perkataan itu sama saja telah mencaci para sahabat Nabi? Dan bukankah menurut mereka pengikut salafy, mencaci sahabat Nabi adalah kafir. Memang barang siapa yang mulutnya terlalu mudah mengumbar kata kafir maka kata kafir itu akan berbalik pada dirinya sendiri. Salam Damai
Filed under: Fiqh, Hadis, Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia, Sirah |
@sp
Dari dua pendapat yg berbeda itu antum sdh membahas hadis Halalnya mut’ah dgn dua Hadits dan satu asbabun nuzulnya ayat yg berkaitan dgn Mut’ah, walau tdk membahas ayat ttg dalil Mut’ah qs annisa 24.
sehingga membantah sekaligus mengingatkan kelompok mulut kotor dan pendek akal ttg perkataan mereka.
Lalu knp tdk sekalian saja dibahas dalil ttg keharaman mut’ah dalil Haditsnya ditinjau dari jalur periwayatan haditsnya. Jika ternyata benar Haditsnya juga shohih maka . Perkataan Hati 2x dengan Pernyataan “Nikah Mut’ah adalah zina” adalah tepat.
Tapi jika ternyata Hadis itu tdk shohih alias dhoif maka harus diganti redaksinya tuh kalimatnya…hehehehhe
Mut’ah pernah dihalalkan, maka saat dihalalkan mereka yang melakukannya tidak dihukumi sebagai pelaku zina, tetapi setelah Mut’ah diharamkan maka pelaku yang melakukannya dihukumi zina dan mendapatkan hukuman sebagai pelaku zina.
pernyataan yang aneh, ya siapapun mereka yg melakukan mut’ah saat masih dihalalkan bukanlah pelaku zina jelas sekali itu, tetapi mereka yang melakukan mut’ah setelah mengetahui bahwa itu telah diharamkan Allah & Rasul-Nya maka mereka jelas-jelas pelaku zina. hal yang simple dibuat rumit. Mut’ah telah diharamkan sampai kiamat, maka hubungan intim yang dilakukan atas dasar mut’ah adalah zina.
Imam Al-Baihaqi menukilkan dari Ja’far bin Muhammad (Al-Baqir) bahwa beliau pernah ditanya tentang nikah mut’ah maka beliau menjawab, “itu adalah perbuatan zina.”
Bukan saya saja lho tapi juga Imam Baqir yg mengatakan bahwa Mut’ah adalah Zina.
Dari jawaban Jabir bin Abdullah dapat diketahui bahwa si penanya menanyakan apakah Jabir pernah melakukan mut’ah dan Jabir telah menjawabnya bahwa dia pernah melakukannya saat Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar masih hidup, itu saja. artinya terdapat pembatasan, setelah itu Jabir tidak melakukannya lagi, jika alasannya karena dilarang oleh Umar (di riwayat lain), bukankah Jabir hidup lama sampai masa Abdul Malik? Maka dapat disimpulkan bahwa Jabir sudah tidak melakukannya lagi setelah itu karena mengetahui haramnya mut’ah. Jadi hadits tsb bukan dalil bahwa Jabir menghalalkan Mut’ah, jika halal tentu dia tidak akan membatasi sampai dg masa Umar atau beralasan karena Umar melarangnya, dan hal ini juga bukti bahwa Jabir mengikuti Umar. padahal dia hidup lama sampai th 74 H, dia bisa melakukan Mut’ah setelah Umar wafat, nyatanya beliau tidak melakukannya.
Lagian sangat jelas Imam Ali sendiri telah membawa berita pengharamannya. (bukan sekedar anggapan sebagian orang).
Justru orang yang tidak mengharamkan atau menghalalkan adalah orang yang bingung dan tidak punya pendirian. Sunni yakin bahwa mut’ah telah diharamkan maka hak mereka jika mereka mengatakan dengan tegas bahwa mut’ah adalah zina dan pelakunya pantas untuk didera atau dirajam.
@soktahubanget.
jangan bawa2 sunni deh. Sunni hanya mengharamkan nikah mutah. Hanya salafy/wahhabi saja yang bermulut kotor kemudian mengartikan bahwa mutah itu zina.
Anda mengutip riwayat dan mengakui bahwa mutah juga dilakukan pada jaman Abu Bakar dan Umar. Kalo anda menyebut mutah zina, jangan marah juga jika ada orang yang mengatakan bahwa sahabat Nabi suka berzina. Bahkan dijaman Abu bakar dan Umar, sahabat nabi berzina.
Pantesan, non muslim sering mengolok2 orang islam, ya gara2 orang wahhabi/salafy yang katrok ini. Lihat saja video Gret Wilders. Semua videonya yang mencaci maki islam, ternyat diambil dari ucapan ulama2 wahhabi/salafy yang gila. Semua kekerasan yang ada di Indonesia dan belahan dunia islam lainnya, juga bersumber dari mazhab wahhabi/salafy yang gila. Eneg gw lihat wahhabi/salafy.
Tapi untunglah. Masa depan wahhabi/salafy benar-benar suram. Diktator libya, sebentar lagi tumbang. Dan Insya Allah, diktator Bahrain, Oman dan Yaman akan menyusul. Diktator Arab Saudi juga hatinya kebat-kebit. Reformasi sudah mulai dilakukan karena kuatir akan pengarur revolusi di Tunisia dan Mesir. Jika diktator Arab Saudi tumbang, maka wahhabi/salafy akan benar2 suram. Dana yang diperoleh dari wahhabi/salafy Arab Saudi paling tidak akan terganggu bahkan mungkin berhenti. Mungkin dunia akan benar2 aman saat itu. Amiin.
Ada satu lagi.
Lucunya, walaupun syiah menghalalkan mutah dan salafy menganggap mutah itu zina, banyak sekali orang arab saudi yang salafy/wahhabi yang mempraktekan mutah. Lihat saja di puncak. Sudah menjadi rahasi nasional, jika orang arab saudi suka bermutah ria dengan gadis2 disana. Tapi mutah yang dilakukan tidak mengikuti syarat-syarat nikah mutah dalam syiah. Mereka mutah tanpa menunggu masa iddah. Dengan lain kata, orang salafy/wahhabi di puncak ini, membungkus perzinahan dan pelacuran dengan kata mutah!
Nah, saya sangat setuju, jika praktek nikah mutah ala orang arab saudi di puncak inilah disebut ZINA!
Dan ternyata, praktek nikah mutah ala orang awam arab saudi juga dipraktekan oleh pangeran2 Arab Saudi. Silahkan lihat di :
http://www.tribunnews.com/2010/12/09/wikileaks-ungkap-pesta-rahasia-di-arab
http://international.okezone.com/read/2010/12/08/18/401352/pangeran-arab-kerap-adakan-pesta
Bagaimana tanggapan Ulama Salafy/Wahhabi yang katanya tersohor itu, melihat perbuatan pangeran Arab Saudi tersebut yang memalukan? HUHHHH. Jenggotnya aja diurusin padahal morat-marit gak pernah disisir. Jenggot mulu yang dipelihara sehingga matanya buta melihat penyimpangan didepan mata, tapi sibuk mengurusi mazhab lainnya.
Ulama saudi arabia lebih senang dan sibuk mengeluarkan fatwa untuk negara lain, tapi negara sendiri dilupakan. HUHHHH. Menyebalkan.
@sok tau banget
Anda sudah memastikan mut’ah diharamkan oleh Allah & Rasul-Nya hingga hari kiamat, tolong sampaikan dalilnya (Qur’an & hadits).
Kapankah pelarangan yang anda maksudkan tsb? Jika oleh & Rasul-Nya berarti selagi Rasulullah hidup; apakah anda sedang mengatakan bahwa Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar menghalalkan sesuatu “yang diharamkan oleh Allah & Rasul-Nya”?.
Dan jika mengikuti fatwa anda dan ulama2 anda, maka mereka2 (sahabat2) yang masih bermut’ah di jaman Khalifah Abu Bakar & Umar adalah pelaku zina?? Naudzubillah..
Salam damai.
@soktaubanget
Ketika bicara larangan mut’ah Sunni biasanya mengacu kpd fatwa Umar bin Khattab (bukan fatwa Nabi). Dan ketika kita ingin tahu mengenai fatwa Nabi saw sendiri ttg nikah mut’ah maka kita akan menemukan perselisihan di kalangan ulama Sunni sendiri mengenai kapan Nabi saw melarang mut’ah dan masalah kesahihan riwayatnya.
Kalau memang nikah mut’ah diharamkan oleh Nabi sendiri tolong kpd sobat soktaubanget untuk membawakan kpd kita di sini hadis2 sahih ttg pelarangan nikah mut’ah tsb. dan kita juga ingin tahu sejauh mana kalau memang ada hadis sahihnya apakah sesuai dg Al-Quran yg bicara ttg nikah mut’ah.
Memang sptnya kita mundur lagi tp biar semakin banyak org lebih mengetahui permasalahan yg sebenarnya dan diharapkan akan memahami kenapa Sunni dan Syiah berbeda pendapat.
@sok tau banget
ehem bukannya menurut hadis Imam Ali, Rasulullah [shalallahu ‘alaihi wasallam] mengharamkan nikah mut’ah di Khaibar. Nah berarti para sahabat yang melakukan nikah mut’ah saat fathul Makkah itu pelaku zina [menurut logika anda]. Anehnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang memerintahkannya. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sengaja memerintahkan melakukan zina? na’udzubillah
Ya sudah simple saja, berarti menurut anda Jabir dan para sahabat lainnya yang melakukan nikah mut’ah di zaman Abu Bakar dan Umar adalah pelaku zina.
Silakan dibawakan riwayat lengkap sanad dan matannya. Antara Baihaqi dan Imam Ja’far itu terputus banyak perawi begitu pula antara anda dan Imam Baqir, itu terpisah lautan yang luas
oh salah sekali anda, si penanya itu sedang bertanya hukum nikah mut’ah. di riwayat lain disebutkan kalau si penanya kebingungan antara fatwa Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah dan Ibnu Zubair yang mengharamkan mut’ah maka ia bertanya kepada Jabir. dan Jabir mengatakan kalau ia lebih tahu dalam perkara ini dan jawabannya adalah “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di masa Abu Bakar dan di masa Umar”. Artinya Jabir mengakui ijma’ sahabat menghalalkan mut’ah. Jabir menguatkan pendapat Ibnu Abbas. Inilah penjelasan yang benar soal hadis Jabir.
ehem walaupun Jabir mengakui nikah mut’ah itu halal bukan berarti ia harus terus-terusan melakukan mut’ah. jika setelah masa Umar ia tidak melakukan mut’ah ya itu tidak mengubah esensi dari fatwa yang pernah ia katakan kalau ia mengakui kehalalan mut’ah. Lagipula apa buktinya Jabir tidak pernah melakukan nikah mut’ah lagi sampai ia wafat?. apa ada riwayat yang menjelaskan soal itu? 🙂
Jika memang mut’ah itu haram menurut Jabir maka ia akan dengan jelas mengatakan kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengharamkannya tetapi ia sendiri melakukannya di masa Abu Bakar dan Umar itu artinya ia mengakui mut’ah itu halal. Setelah Umar melarangnya, ia tidak melakukan itu lagi ya bagi Jabir tidak ada masalah untuk mematuhi perintah Umar, apalagi jika Umar mengancam akan merajam yang melakukannya. Bukankah wajar-wajar saja jika Jabir tidak mau melakukannya toh mut’ah bukan perkara yang diwajibkan itu sekedar boleh. Ndak dilakukan ya gak apa-apa.
ah ini namanya hujjah setengah setengah. Kalau mau berhujjah dengan hadis Imam Ali maka konsekuensinya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat untuk melakukan mut’ah [berzina menurut anda] pada saat Fathul Makkah.
Sudah saya bilang di atas, yang mengharamkan memiliki hujjah yang menghalalkan juga memiliki hujjah. Tinggal dinilai mana yang lebih kuat hujjahnya. Kalau memang anda mengakui nikah mut’ah haram saya tanya tuh kapan nikah mut’ah itu diharamkan?. Bagaimana Jabir dan mayoritas sahabat tidak mengetahui kalau nikah mut’ah telah diharamkan?
Dari Sabrah Al Juhani RA, bahwa dia pernah bersama Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Saudara-saudara! Sesungguhnya aku dulu pernah membolehkan kalian untuk menikahi perempuan secara mut’ah, tapi sekarang Allah SWT telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa masih mempunyai istri mut’ah maka ceraikanlah, dan janganlah kamu mengambil kembali mas kawin yang telah kamu berikan kepada istri mut’ah itu.” {Muslim 4/132}
Anehnya, walaupun mutah dianggap zina oleh salafy/wahhabi, justru orang2 wahhabi/salafy yang paling getol melakukan mutah.
Hal ini sama dengan poligami. Poligami halal, justru ulama2 syiah jarang yang poligami. Yang jelas-jelas semua sepakat saja (poligami), ulama syiah jarang yang poligami apalagi yang belum sepakat (mutah). Justru ulama2 wahhabi/salafy yang getol poligami sambil nyengir2 kegatelan, teriak-teriak supaya tenar, dan membuat islam jadi bahan tertawaan …
benar2 kampret tuh wahhabi/salafy …
Pelarangan mut’ah pada masa Sayyidina Umar mengandung pengertian;
(1) Para sahabat setelah wafatnya Rasul saw melakukan mut’ah. Berzinakah mereka? Hanya wahaby yang meyakini spt ini. Sunni, Syiah tdk
(2) Pelarangan tsb bukan pengharaman. Karena Umar tdk berhak mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun sebagai Pemimpin pemerintahan beliau berhak mengatur hal mut’ah.
(3) Fatwa pelarangan mut’ah oleh Umar dimungkinkan diikuti mungkin juga tdk diikuti oleh sebagian sahabat pada waktu itu. Hal yg biasa karna sebagian sahabat menganggap Umar hanya sebagai pimpinan politis, bukan pimpinan agama (Imam).
(4) Bahwa atsar Imam Ali mengenai pelarangan mut’ah oleh Rasul saw pada saat (perang) Khaibar adalah bersifat khusus
O ya. Jika pelarangan mut’ah oleh Umar di atas dianggap yg paling shahih. Yang menurut sy iya.
Salam
Dari Sabrah Al Juhani RA, bahwa dia pernah bersama Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Saudara-saudara! Sesungguhnya aku dulu pernah membolehkan kalian untuk menikahi perempuan secara mut’ah, tapi sekarang Allah SWT telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa masih mempunyai istri mut’ah maka ceraikanlah, dan janganlah kamu mengambil kembali mas kawin yang telah kamu berikan kepada istri mut’ah itu.” {Muslim 4/132}
@US
Terus bagaimana dg riwayat2 yg menunjukkan para sahabat melakukan mut’ah di masa Abubakar & Umar mas?
Salam
😀
Apa gak kepikir yaa konsekuensi2 seperti ini.
Salam damai
Antara kata-kata Nabi dan kata-kata sahabat Nabi, siapa yang wajib di ikuti?
😀
Wahh belum paham juga..
Salam damai
@truthseeker
Nampaknya sdr @US ini dari jenis yg lain 🙂
@US
Pertanyaan spt itu mestinya tdk perlu dikeluarkan. Yang mesti mas lakukan adalah;
(1) Memeriksa. Apakah hadits tsb shahih?
(2) Berpikir. Apakah mungkin para sahabat, Abubakar, Umar, ibnu Abbas, dll. telah dengan sengaja melanggar larangan Nabi saw?
Salam
@US
armand said:
Pemahaman saya atas komentar armand atas hadits yang anda kutip adalah; Jika hadits tsb shahih, maka bagaimana status para sahabat yang melakukan/mengerjakan mut’ah setelah hadits tsb? Tentunya bagi kami ada konsekuensi logis bahwa “mereka” telah melanggar ataupun telah melakukan hal yang diharamkan oleh Allah & Rasul-Nya (bahkan bagi wahaby/salafy mereka berzinah..naudzubillah mindzalik.
Namun anda malah berkomentar seperti ini:
US said:
seolah2 kami telah mendahulukan sahabat dari Nabi. Padahal kami hanya ingin tahu apakah anda memahami konsekuensi dari hadits tsb (jika sahih).?
Salam damai
Sebagian para sahabat masih melakukan mut’ah sepeninggal Rasulullah saw sampai Umar melarangnya, sebagaimana di sebutkan dalam banyak riwayat , di antaranya :
” Dari Jabir bin Abdillah berkata : ”Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasulullah saw juga Abu Bakar sampai Umar melarangnya [HR.Muslim 1023]
Jawab :
”Riwayat Jabir ini menunjukan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan Mut’ah . berkata Imam An-Nawawi Ra : ”Riwayat ini menunjukan bahwa orang yang masih melakukan mut’ah pada masa Abu Bakar dan Umar h belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut [Syarah Shahih Muslim, 3/555; Fathul Baari; Zaadul Ma’ad, 3/462; Jami Ahkamin Nissa 3/191.].
Dari riwayat tersebut pun tidak bisa dijadikan dalil bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, karena dari riwayat-riwayat yang lain telah begitu jelas bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri bahkan Imam Ali sendiri juga mengharamkannya. Umar hanya menegaskan dan mengumumkan pengharaman tersebut dengan kapasitas beliau sebagai khalifah pada saat itu, sehingga hasilnya para sahabat yang belum mengetahui akan haramnya mut’ah menjadi jelas yang mungkin sebelum Umar mengumumkan haramnya mut’ah ada sebagian sahabat yang belum mengetahui atau masih samar mengenai hukum mut’ah.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, saat Umar menegaskan kembali akan haramnya Mut’ah, tidak ada satu sahabat pun yang menentangnya termasuk Jabir bin Abdullah ini. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengakui penegasan Umar tersebut.
Terdapat perselisihan kapan mut’ah diharamkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut’ah berbeda-beda.
Jawab
tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut:
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa perang Khaibar:
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thaiib) berkata kepada Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Nabi melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”. (HR. Muslim, 9/161, (1407))
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah. pada penaklukkan kota Mekkah.
Kami tinggal di sana lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah kami diperbolehkan untuk mut’ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa syal (selendang), syalku jelek, sedangkan syal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,’Apakah engkau mau bermut’ah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,’Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan syalnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya syal dia jelek, sedangkan syalku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Syalnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah telah mengharamkannya. (HR. Muslim, 9/158, (1406)
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin alAkwa’.
Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
1. Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan, (Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169)) bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian. Di datam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut’ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut’ah. Kemudian Ali berkata kepadanya:
“Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut’ah pada perang Khaibar”.
Seharusnya ucapan beliau,
“Bahwa Nabi melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”.
Dengan demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar. Ibnul Qayyim berkata, “Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah, melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa kata hari Khaibar berkait dengan dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim (4/111))
Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa’. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
2. Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat. Ibnu Katsir berkata,
“Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” (Tafsir al Qur’an ‘Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449))
Al Qurthubi berkata, telah berkata Ibnul ‘Arabi, “Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah dalam hal ini tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.”
Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut’ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan. (Jami’ Ahkamil Qur’an, al Qurthubi, Dar Syi’ib (5/130-131).
Kesimpulan dari pembahasan di atas.
1. Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul Qayyim menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah. (Silahkan lihat Zadul Ma’ad (3/460)
2. Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah mut’ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi kesepakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya. Al Qurthubi berkata, “Pengharaman mut’ah telah berlaku stabil. Dan dinukilkan
dari Ibnul ‘Arabi, bahwa telah terjadi Ijma’ (kesepakatan) atas pengharamannya (yaitu ijma’ Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahua’lam, Pen).” (Jami’ Ahkamil Qur’an (5/87))
Mut’ah itu telah diharamkan tetapi bukan zina, karena pernah dilakukan oleh para sahabat, apakah berarti mereka telah melakukan zina dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan zina.
Jawab :
Mut’ah pernah dihalalkan, berarti bukan zina saat itu, tetapi ketika sudah diharamkan, maka menjadi zina hukumnya.
Berikut adalah diantara atsar sahabat yang menunjukkan bahwa mut’ah yang sudah diharamkan hukumnya menjadi zina:
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim,
budak Ibnu ‘Umar, ia berkata:
Dikatakan kepada Ibnu Umar: “Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap mut’ah”. Beliau (Ibnu ‘Umar, Red) berkata, “Aku tidak percaya Ibnu Abbas mengucapkan itu.” Mereka berkata, “Benar, demi Allah, beliau telah mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata, “Demi Allah, dia tidak akan berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut’ah, Red) itu perbuatan zina.” HR Abdur Razaq di Musbannaf-nya (14020) dengan sanad shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisaa’ (3/199).
Lalu bagaimana dengan sebagian sahabat yang masih melakukan mut’ah pada masa Abu Bakar dan Umar, apakah mereka melakukan zina? Jawabnya, sudah dijelaskan pada pembahasan yang lalu bahwa mereka adalah orang-orang yang belum mengetahui atau masih samar dalam perkara haramnya mut’ah, baru setelah Umar menegaskannya mereka baru mengerti dan menerimanya.
Lalu bagaimana juga dengan Ibnu Abbas yang membolehkan Mut’ah, apakah berarti dia menghalalkan zina? Jawabnya, sebagaimana pembahasan yang lalu, Ibnu Abbas memberikan keringanan (Rukshah) bagi mereka yang melakukan mut’ah karena situasi darurat, jadi beliau tidak menghalalkan mut’ah kecuali kalau dalam keadaan darurat seperti halnya dibolehkan makan babi, keledai jinak, khamer dalam keadaan terpaksa. Karena pengertian rukshshah itu sendiri adalah keringanan untuk melakukan sesuatu yang pada asalnya dilarang. Dan terdapat riwayat bahwa Ibnu Abbas sudah menarik kembali fatwanya.
Mut’ah yg pernah dihalalkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah pernikahan dengan syarat-syarat diantaranya: ada wali, ada akad, ada mahar, ada saksi. -yg menyebabkan mut’ah ini diharamkan- adalah ada batas waktu, nah yang seperti ini saja oleh para sahabat setelah diharamkan dihukumi zina bagi pelakunya apatah lagi mut’ah yang dipraktekkan oleh kaum syi’ah dewasa ini yang sangat-sangat jauh dan berbeda dengan mut’ah yang pernah dihalalkan pada masa awal Islam, maka sangat lebih pantas sekali jika mut’ah yang dipraktekan oleh kaum syi’ah saat ini disebut zina berkedok agama.
Sorry kupipes, spy hemat wkt & energi
Tambahan dr saya:
ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ
Kemudian beliau SAW memberi keringanan (rukhshah) kepada kami untuk menikahi wanita dengan mahar berupa pakaian sampai waktu yang ditentukan.
Yang namanya rukhshah adalah keringanan untuk melakukan sesuatu yang pada asalnya dilarang. Jadi sebenarnya Mut’ah itu dilarang pada asalnya, dibolehkan karena alasan tertentu yaitu saat perang dan masa itu adalah masa peralihan adat jahiliyyah ke Islam. berpikirlah yg jernih wahai kaum yg punya akal.
@sok tau banget
kalau soal hukum nikah mut’ah kayaknya belum kami bahas dalam thread di atas, jadi no komen soal itu. kami akan mengomentari komentar anda yang terkait dengan tulisan di atas
ah itu sih andai-andai anda saja. Zina ya zina, mut’ah ya mut’ah. Kalau mut’ah kan ada masa iddahnya, kalau zina ya mana ada zina pakai masa iddah
kalau atsar sahabat tuh saya tunjukkan di atas kalau Ibnu Mas’ud tidak menganggap itu zina [begitu pula yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas] apalagi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyebut nikah mut’ah itu sebagai “sesuatu yang baik”. Lihat saja di atas 🙂
Orang yang pertama kali berinisiatif merajam orang yang melakukan mut’ah adalah Umar bin Khattab. nah makanya para sahabat tidak mau lagi melakukan mut’ah ketika Umar melarangnya. ya itu karena bakal dirajam mending tidak usah. Toh tidak wajib juga hanya sekedar boleh. Ibnu Zubair di atas hanya mengikuti apa yang dikatakan Umar kok. Lihat saja ketika Ibnu Umar berhujjah bahwa mut’ah pernah dilakukan di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ibnu Zubair tidak bisa menjawab malah mengancam akan merajam Ibnu Abbas kalau dia melakukannya 🙂
Tuh lihat baik-baik. Ibnu Umar itu sekedar nurut kok sama ayahnya Umar bin Khattab yang berniat merajam siapapun yang melakukan mut’ah. karena hukuman rajam hanya berlaku bagi pezina maka Ibnu Umar menganggap nikah mut’ah itu zina. Soal hukuman rajam bagi nikah mut’ah itu adalah ijtihadnya Umar dan saya belum melihat ada dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] soal hukuman rajam bagi pelaku nikah mut’ah.
btw Umar itu tidak hanya menghukum orang yang berniat melakukan nikah mut’ah. Ia juga mau menghukum siapapun yang melakukan mut’ah haji. Nah loh masa’ mut’ah haji jadi haram hanya karena jika dilakukan akan dihukum Umar.
hadis Jabir disampaikan jauh setelah Umar melarang mut’ah. ada orang yang bingung Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah dan Ibnu Zubair mengharamkan mut’ah. Maka ia bertanya kepada Jabir kemudian Jabir mengatakan kalau ia lebih mengetahui soal ini dan jawabannya adalah “kami melakukan mut’ah di masa Rasulullah[shallallahu ‘alaihi wasallam] di masa Abu Bakar dan di masa Umar sampai akhirnya Umar melarang karena perkara Amru bin Huraits”. Jadi disini Jabir mennguatkan pendapat Ibnu Abbas bahwa mut’ah itu boleh [menurut Jabir dan para sahabatnya]. Soal larangan Umar, diriwayatkan kalau Umar mengatakan akan merajam siapapun yang melakukan nikah mut’ah makanya para sahabat termasuk Jabir berhenti melakukannya. Bagi mereka mut’ah bukanlah perkara yang harus dilakukan tetapi dibolehkan. Jika keadaan tidak memungkinkan seperti adanya hukuman rajam Umar maka menurut mereka lebih baik tidak melakukannya.
Riwayat Ibnu Abbas menarik fatwanya adalah dhaif. Riwayat Ibnu Abbas menyatakan halalnya mut’ah itu seperti dibolehkannya babi, keledai jinak khamar saat darurat adalah dhaif.
Sekarang saya tanya, mut’ah yang dihalalkan Ibnu Abbas itu apakah zina atau bukan?. kalau Zina itu berarti Ibnu Abbas menghalalkan zina. kalau bukan zina, lha kenapa anda mengatakan mut’ah itu zina?. Jadi simple saja jawabnya
masa’ sih sampai Fathul makkah dan haji wada masih disebut masa peralihan adat jahiliyah ke islam. Aneh sekali ya udah bertahun-tahun di madinah sampai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] hampir wafat masih saja disebut peralihan adat jahiliyah. Lagian apa adat jahiliyah itu ada yang namanya nikah mut’ah seperti yang disyariatkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?
@STB
1. Harap dijelaskan lebih jauh yang anda maksud dengan zina halal karena darurat. Saya baru dengar ada darurat dalam hal zina.
Darurat adalah suatu keadaan dimana jika tidak dilakukan maka akan ada mudarat/bahaya yang lebih besar. Misalnya (mati) kelaparan sehingga makanan yang haram menjadi dibolehkan dstnya. Namun dalam zina belum dengar tuh adanya darurat.
2. Anda menuduh mut’ah ala syi’ah adalah menyimpang dari yang dilakukan di jaman Nabi. Agar ini tidak menjadi fitnah, maka harap anda jelaskan pemahaman anda tentang mut’ah ala syi’ah.
3. Bisakah anda menjelaskan kenapa mut’ah pernah ada/halal, sedangkan poligami sudah ada dan juga ada/halal.
4. Mut’ah bukan hanya sesuatu yang boleh, namun lebih dari itu mut’ah ada fiqih/tata caranya, dan diperkuat dengan hujjah di AQ. Dan dikatakan rasulullah sebagai sesuatu yang baik.
Salam damai.
@stb
Bukan main dalih sampeyan ini. Bukan main.
Dan memang dalih ini diterapkan di semua tulisan2 dlm mazhab salafy utk menjelaskan mengapa sahabat pada masa Abubakar & masa Umar msh melakukan mut’ah.
Tahukah sampeyan, ini adalah salah satu bentuk kekonyolan lain mazhab sampeyan?
Abubakar, Umar dan sahabat lain tdk mengetahui kabar mengenai larangan mut’ah ini? Lalu jika mereka tdk mengetahui, siapa yg bs mengetahui lagi? Huzaifah? Ammar? Jika mrk tau mengapa tdk disampaikan ke sahabat yg lain? Apakah mrk sengaja membiarkan sahabat-sahabat melakukan zina? Renungkanlah konsekuensi dalih ini wahai salafy. Mengapa harus menunggu bertahun-tahun hingga Umar jadi khalifah?
Cobalah sampeyan dan mazhab sampeyan jawab.
Kekonyolan itu bertambah-tambah setelah sy baca di thread sebelah dimana sampeyan mengutip dari sebuah atsar spt ini;
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”
Padahal tulisan sampeyan itu hanya selisih 1 jam?
*geleng-geleng kepala*
Salam
wah kalo soal ini, ana harus berbeda pendapat dikit nih..
Ana kasi contoh pengibaratan yah..
Minum khamr pada masa awal islam, hukumnya boleh..
Tapi setelah di larang oleh Rasulullah, maka hukumnya haram..
Dan bagi yg melanggar, harus di dera..
Sama seperti mut’ah, sewaktu di bolehkan yah halal..
Tapi sewaktu di larang, maka hukumnya haram..
Bagi yang mut’ah dgn sengaja, berarti dia melakukan suatu aqad nikah yg haram, kalo aqad nikahnya aja udah haram apalagi saat berhubungan suami istri, sudah pasti juga pasangan itu melakukan zina..
Mangkanya khalifah ummar mengancam pelaku mut’ah dgn hukum rajam..
Gitu aja koq repot,hehehe..
Kalo masi ada yg bersikeras menganggap khalifah ummar membuat suatu hukum syariat yg baru dan semua sahabat nurut karena takut, trs kemana perginya sayyidina Ali KW ??
Ada gak riwayat tentang pasukan sayyidina Ali KW dalam perang jamal, shiffin atau nahrawan melakukan mut’ah ??
@Alaydrouz
kalau soal hukum mut’ah sudah saya singgung sedikit bak yang mengharamkan dan yang menghalalkan sama-sama memiliki hujjah tinggal diteliti pendapat mana yang lebih rajih.
Soal ijtihad khalifah yang berniat merajam pelaku mut’ah itu adalah pendapat Beliau. Jika penentuan mut’ah itu zina atau tidak berdasarkan hukumnya haram atau tidak maka mereka yang melakukan mut’ah saat Fathul Makkah itu bisa dikatakan zina. Karena menurut hadis Imam Ali mut’ah itu diharamkan di khaibar. Maka mulai saat itu nikah mut’ah adalah zina. kemudian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat waktu di Fathul Makkah untuk bermut’ah [baca ; zina]. Bukankah ini konsekuensinya, kalau saya pribadi ya kurang sreg aja dengan konsekuensi seperti ini.
kemudian soal mut’ah dan khamar itu berbeda, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan sahabat [Ibnu Mas’ud ra] pernah menyatakan kalau mut’ah itu termasuk “sesuatu yang baik” sedangkan khamar tidak pernah disebut sebagai sesuatu yang baik. Mungkin saja “sesuatu yang baik” ini akhirnya diharamkan tetapi dengan alasan untuk menghindari munculnya maksiat yang lebih besar [soal penyalahgunaan mut’ah] tetapi apakah mut’ah itu harus dikatakan “zina”?. Atau mungkin saja “sesuatu yang baik” ini [mut’ah] itu dibolehkan hanya khusus pada sahabat Nabi saja sedangkan untuk yang lain haram, tetapi apakah langsung bisa itu dikatakan zina?. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat berzina. Saya tidak bisa menerima yang seperti ini. Secara hakikat atau esensinya keduanya itu berbeda. mut’ah ya mut’ah dan zina ya zina.
Kalau soal nikah mut’ah memang diperselisihkan, tapi kalau soal mut’ah haji maka jelas Umar ra keliru. Umar ra juga melarang mut’ah haji dan berniat menghukum siapapun yang melakukannya padahal hal ini diperbolehkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Wah yang ini saya kurang tahu 🙂
Hubungan seksual antara lawan jenis jika tidak diikat dengan pernikahan yang dihalalkan hukumnya adalah zina, sedangkan mut’ah telah diharamkan, maka siapapun yang melakukan mut’ah setelah diharamkannya maka hukumnya haram. tidak ada hubungannya mut’ah itu pakai masa iddah atau tidak, kalau haram ya haram. Maka aneh jika ada yang mengatakan bahwa hubungan seksual atas dasar mut’ah yg telah diharamkan itu bukan zina
Tetapi Nabi SAW sudah mengharamkannya atas perintah Allah maka ya Zina jadinya dulu saat masih diberikan rukshah untuk mut’ah di masa perang ok lah, tetapi kalau kemudian diharamkan ya bukan “sesuatu yang baik” lagi 🙂
Jabir bin Abdullah adalah sahabat muda Nabi SAW tetapi beliau bukanlah ulama-nya sahabat, Sudah sangat jelas Imam Ali, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Abi Amrah Al-Anshary dll telah mengharamkannya. maka jika Jabir dan beberapa sahabat masih melakukannya pada masa Abu Bakar dan Umar, disimpulkan mereka masih belum mengetahui atau samar dalam masalah hukum Mut’ah hingga Umar menegaskannya.
Hal yang mungkin membuat samar adalah fatwa dari Ibnu Abbas dalam memberikan rukhshah utk mut’ah jika dalam keadaan terpaksa (jadi selain dalam keadaan terpaksa, mut’ah tidak diperbolehkan). Dan jelas Ibnu Abbas dalam hal ini keliru, karena Nabi SAW telah mengharamkannya secara mutlak untuk selama-lamanya.
Pemahaman Jabir bin Abdullah saat itu mungkin sama dengan sahabat Khalid bin Muhajir bin Saifullah mengenai mut’ah yaitu masih samar :
قال ابن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينا هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فأمره بها فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي ؟ والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال ابن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها
Dari Khalid bin Muhajir bin Saifullah, katanya: “Ketika dia sedang duduk dengan seorang laki-laki, tiba-tiba datang seorang laki-laki minta fatwa kepadanya tentang Mut’ah. Lalu Khalid membolehkannya. Maka berkata Ibnu Abi ‘Amrah Al-Anshari, “Tunggu dulu. Tidak begitu!” Kata Khalid, “Kenapa? Demi Allah hal itu pernah dilakukan pada masa Imam-nya orang-orang yang bertakwa (Nabi SAW).” Kata Ibnu Abi ‘Amrah. “Memang, mut’ah pernah dibolehkan (rukhshah) pada masa permulaan Islam karena terpaksa, seperti halnya boleh memakan bangkai, darah, dan daging babi. Sesungguhnya Allah telah menetapkan hukumnya dalam agama, dan melarang melakukannya.” (Shahih Muslim 2/1023 No. 1406)
Dari hadits di atas terbukti :
1. Memang ada beberapa sahabat yang belum mengetahui atau masih samar mengenai hukum Mut’ah. Maka Jabir bin Abdullah adalah salah satunya.
2. Mut’ah memang pada asalnya dilarang, dibolehkan hanya sebagai rukhshah karena terpaksa yaitu pada saat perang yang jauh dengan istri.
Lihat lagi riwayat dari Khalid di atas, memang mut’ah adalah pada asalnya dilarang seperti bangkai, darah dan daging babi. andaikan riwayat tsb dhaif masih dijadikan i’tibar.
Jelas Ibnu Abbas keliru dan menselisihi para sahabat yang lain seperti Imam Ali, Umar, Ibnu Umar dan Ibnu zubair dalam hal ini, karena Nabi SAW telah mengharamkannya secara mutlak, maka zina hukumnya, Dan yg mengatakan seperti bukan saya tetapi para sahabat sekelas Umar, Ibnu Umar dan Ibnu Zubair dan tentunya Imam ali juga, karena mut’ah haram menurut beliau maka hukumnya Zina.
Apa yang anda heran kan, namanya juga proses untuk menuju hukum Islam yang sempurna yaitu pernikahan daim. Justru yang saya herankan adalah anda tampaknya meragukan Imam Ali dalam pengharaman Mut’ah ini, padahal sanadnya shahih, ketahuan sebenarnya siapa yang inkonsisten, katanya Imam Ali adalah pedoman umat, kalau yakin dg prinsip itu dan memegang apa yang terdapat pada kitab hadits dengan ilmu hadits yang ada padanya, jangan ragu donk, yang namanya haram ya haram, zina ya zina
@sok tau banget
simpel saja berarti menurut anda, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Fathul Makkah telah mengizinkan para sahabatnya untuk berzina.
berarti menurut anda Allah SWT terkadang mengatakan sesuatu itu baik pada awalnya kemudian nanti bisa jadi “sesuatu yang baik” itu Allah SWT katakan zina. wah wah no komen 🙂
riwayat Khalid itu kan hanya memuat pendapat ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah Al Anshari dan Ibnu Abi Hatim mengatakan kalau dia bukan sahabat. sebagai sebuah pendapat ya sah-sah saja. Silakan saja kalau anda mau mengatakan riwayat Ibnu Abbas itu dhaif bisa dijadikan i’tibar tetapi saran saya pelajari dulu dhaif yang bagaimana yang bisa dijadikan i’tibar dan riwayat mana saja yang mau diiltibarkan.
Ibnu Abbas juga dikuatkan oleh para sahabat lainnya seperti Jabir bin Abdullah, Asma’ binti Abu Bakar. Soal pengharaman itu terdapat ikhtilaf soal dalil-dalilnya. Yang herannya kalau anda berkeras mau mengatakan nikah mut’ah zina maka konsekuensinya sederhana. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mengizinkan para sahabatnya untuk berzina saat fathul Makkah, perang Authas dan Haji wada. karena menurut hadis Imam Ali yang anda jadikan hujjah mut’ah itu telah diharamkan di khaibar artinya di khaibar hukum mut’ah itu sudah jadi zina.
proses bagaimana ya, sudah fix di Khaibar kok balik ngulang proses lagi di Fathul Makkah. sudah fix di Fathul Makkah kok balik lagi ngulang proses di Authas dan sudah fix di Authas kok balik lagi ngulang proses di Haji wada. Itu kah proses yang anda maksud
Kapan nih saya menolak atsar Imam Ali di atas?. tidak ada tuh dalam tulisan di atas saya menolak atsar Imam Ali. kalau memang anda konsisten kalau mut’ah itu zina dan anda konsisten berhujjah dengan hadis Imam Ali. Maka harusnya anda konsisten untuk mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat berzina di Fathul Makkah. jangan ragu dan ngeles, bilang aja iya kalau memang anda konsisten
@STB
Kalau melihat betapa fatalnya ketidaktahuan umat atas haramnya hukum mut’ah, rasanya koq terlalu serampangan jika hukum itu sampai tidak diketahui oleh orang sekelas sahabat yang tinggal pula di Madinah yang sama untuk waktu bertahun2.
Terlebih ketika melihat begitu banyaknya hukum islam dan syariat lainnya yang harus diketahui oleh mereka, dari yang kecil hingga yang besar yang tidak terlepas dari pengetahuan sahabat (akan hancur lebur pandangan umat kepada sahabat jika masalah fatal/zina bisa tidak diketahui oleh sahabat), bagaimana kita bisa bergantung kepada mereka dalam mempelajari syari’at2 lainnya?
Tak terbayangkan bagi saya bagaimana Rasulullah memastikan hukum2 dan syari’at islam tersampaikan kepada mereka yang berada jauh dari madina (syam, yaman dll) sedangkan mereka yang di madinah saja bisa melakukan zina atas ketidaktahuan mereka.. (almost impossible, kalau Rasulullah tidak punya metoda yang baik/jitu untuk mengabarkan hal2 itu).
salam damai
@SP
<blockquotekalau memang anda konsisten kalau mut’ah itu zina dan anda konsisten berhujjah dengan hadis Imam Ali. Maka harusnya anda konsisten untuk mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat berzina di Fathul Makkah. jangan ragu dan ngeles, bilang aja iya kalau memang anda konsisten </blockquote
Kalau konsistensi ini dimiliki oleh mereka, maka diskusi ini sudah selesai dari dulu2.. :D.
Inilah masalah terbesar mereka, bahwa mereka tidak peduli (tidak tahu) bahwa mereka tidak konsisten.
Ya akhirnya yang bisa dilakukan adalah ngeles terus..:)
Salam damai
Soal waktu pengharaman nikah mut’ah itu ada khilaf.
Tapi yang jelas hukumnya haram.
Kalo ada yg melanggar dgn sengaja bermut’ah ya haram dan pelakunya harus di rajam sewaktu melakukan hubungan suami istri. ini kesepakatan dari jamak sahabat berdasarkan syariat, bukan ber andai2.
Jika ada sahabat yang memberi keringanan fatwa mut’ah, itu hanya beberapa..
Mungkin hanya sekedar perbedaan ijtihad. Afdhol kita ikuti yang jamak.
@Truthseeker08
ya saya tahu soal itu, saya hanya menyampaikan saja siapa tahu ada yang “tercerahkan”. btw udah jam segini bukannya mas harus ikut pengajian 🙂
@Alaydrouz
Sejauh yang saya pelajari pengaharamannya juga diperselisihkan. Terdapat beberapa sahabat yang tetap membolehkannya seperti Ibnu Abbas, Jabir, Asma’ binti Abu Bakar, Salamah bin Akwa [dalam salah satu riwayat]. Pembolehan ini bukan hanya pendapat mereka tetapi atas dasar pembolehan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disini saya bukan bermaksud menyatakan kalau hukum mut’ah itu halal, saya cuma menjelaskan khilaf yang ada dalam masalah ini.
Hukum rajam bagi pelaku mut’ah itu dicetuskan oleh Umar bin Khattab, sebelumnya para sahabat tenang-tenang saja melakukan mut’ah di masa Abu Bakar. Dan di masa Umar terdapat beberapa sahabat yang ketahuan melakukan mut’ah seperti Rabi’ah bin Umayyah dan Amru bin Huraits tetapi saya belum menemukan riwayat bahwa Umar merajam mereka. kemudian setelah masa Umar terdapat tabiin seperti Sa’id bin Jubair dan Ibnu Juraij yang melakukan mut’ah dan saya belum menemukan riwayat kalau mereka dihukum rajam. Saya pribadi belum menemukan dalil dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kalau pelaku mut’ah dihukum rajam.
Saya kurang mengerti bagaimana logika yang menentukan kalau jamak sahabat mengharamkan mut’ah. Kalau saya berhujjah dengan hadis Jabir dengan lafaz “kami melakukannya di masa Nabi, masa Abu Bakar dan Umar” maka justru mayoritas sahabat membolehkannya karena kata “kami” dalam hadis menunjukkan mayoritas sahabat. Yang saya lihat justru soal “jamak sahabat” atau “mayoritas sahabat” dalam perkara mut’ah ini hanya klaim masing-masing pihak. Jauh lebih aman mengatakan sebagian membolehkan dan sebagian yang lain mengharamkan. Satu hal lagi, para sahabat yang membolehkan mut’ah itu tidak sedang berijtihad tetapi sedang menyampaikan perkara yang dibolehkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
zina atau ga nya ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya saat dibolehkan berarti bukan tetapi setelah diharamkan ya berarti zina itu saja.
Seingat saya saya sdh menjawabnya, bahwa waktu pengharaman mut’ah yang rajih adalah di saat Fathul Makkah, saya kupipes lg
tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut:
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa perang Khaibar:
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thaiib) berkata kepada Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Nabi melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”. (HR. Muslim, 9/161, (1407))
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah. pada penaklukkan kota Mekkah.
Kami tinggal di sana lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah kami diperbolehkan untuk mut’ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa syal (selendang), syalku jelek, sedangkan syal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,’Apakah engkau mau bermut’ah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,’Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan syalnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya syal dia jelek, sedangkan syalku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Syalnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah telah mengharamkannya. (HR. Muslim, 9/158, (1406)
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin alAkwa’.
Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
1. Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan, (Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169)) bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian. Di datam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut’ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut’ah. Kemudian Ali berkata kepadanya:
“Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut’ah pada perang Khaibar”.
Seharusnya ucapan beliau,
“Bahwa Nabi melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”.
Dengan demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar. Ibnul Qayyim berkata, “Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah, melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa kata hari Khaibar berkait dengan dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim (4/111))
Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa’. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
2. Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat. Ibnu Katsir berkata,
“Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” (Tafsir al Qur’an ‘Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449))
Al Qurthubi berkata, telah berkata Ibnul ‘Arabi, “Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah dalam hal ini tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.”
Khamer pun ada kebaikannya, tetapi mafsadatnya lebih banyak maka diharamkan demikian juga dg mut’ah. sedangkan Zina adalah perbuatan seksual yang dilakukan di luar nikah yang dihalalkan. karena mut’ah telah diharamkan maka hukum bagi pelakunya adalah zina. tolong cerna baik-baik.
Ibnu Hatim bisa keliru, silahkan lihat pendapat ulama yang lain Ibnu bin Abi Amrah Al-Anshari. Pendapatnya sesuai dengan hadits Nabi SAW, mari kita cek lagi :
“kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita [istri], kami berkata “apakah sebaiknya kita mengebiri” maka Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian mengizinkan kami (Rukhshah) untuk menikahi wanita dengan selembar pakaian…
Perhatikan, mut’ah dibolehkan karena karena kaum muslimin jauh dari istri sehingga mereka tidak bisa menyalurkan kebutuhan biologis mereka, hingga diantara mereka sampai pada tingkat meminta izin untuk mengebiri, hal ini dimaklumi di masa jahiliyyah zina sudah biasa dilakukan, maka kemudian datang rukhshah dari Nabi SAW utk melakukan mut’ah. Jadi mut’ah yang dibolehkan pada masa Nabi SAW adalah pada kondisi terpaksa sesuai dengan pemahaman Ibnu ‘Amrah Al-Anhari.
Makanya sangat jauh dg praktek mut’ah nya syi’ah saat ini.
Saya sudah jawab di atas tentang pendapat yang rajih waktu pengharaman mut’ah dan seandainya diharamkan kemudian dihalalkan kemudian diharamkan lagi sampai kiamat ya juga ga ada masalah, saat dihalalkan bukan zina, saat diharamkan adalah zina, dan saat ini mut’ah adalah zina jika dilakukan karena sudah diharamkan sampai kiamat.
Sedangkan ijtihad Ibnu Abbas memberikan rukshah bagi pelaku mut’ah karena terpaksa (termasuk saat berjihad) adalah keliru dan sudah diingatkan oleh Imam Ali dan sahabat yang lain. Dan terdapat riwayat tentang ralat beliau akan fatwanya.
Saya sdh jawab mengenai waktu pengharaman mut’ah yg rajih, sekalipun prosesnya berulang-ulang ya ga ada masalah memang prosesnya spt mau diapain lagi, Islam turun diajarkan Nabi SAW secara berangsur-angsur jadi wajar saja & ga perlu heran fatwa terakhir dari Nabi SAW, MUT”AH HARAM SAMPAI KIAMAT, maka bagi pelakunya dihukumi ZINA.
Kalau anda konsisten dengan apa yg sering anda ucapkan, simple ikuti saja apa kata Imam Ali bahwa Mut’ah adalah haram, makanya dihukumi Zina. sudah berulang kali saya sampaikan, berapa kali pun proses pengharaman dan penghalalan mut’ah, saat dihalalkan berarti bukan zina, sdgkan saat diharamkan berarti zina, Karena keputusan terakhir mut’ah adalah haram bahkan sampai kiamat maka status mut’ah saat ini adalah zina.
@sok tau banget
ini membuktikan kalau anda sendiri menolak tuh hadis Imam Ali yang mengharamkan mut’ah di khaibar padahal anda sendiri yang bilang sanadnya shahih. soal kupipes anda yang panjang itu mungkin akan ada pembahasannya di tempat lain.
Heh masih saja berkeras. Kalau penentu zina atau tidaknya terletak pada pengharaman mut’ah maka apa yang anda katakan terhadap sahabat yang membolehkannya berarti mereka membolehkan zina. Gak usah pakai ngeles sahabat tidak tahu pengharamannya, bagaimana bisa sahabat seperti Jabir dan mayoritas sahabat lainnya tidak tahu pengharamannya?. Terus Ibnu Abbas itu kan sudah mendengar hadis yang disampaikan Imam Ali kalau nikah mut’ah itu haram, kalau menurutkan logika anda berarti Ibnu Abbas itu menghalalkan zina. cerna saja itu baik-baik.
heh kalau mau berhujjah jangan tanggung2 ya andalah bawakan perkataan ulama lain yang anda maksud. Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi setahu saya juga mengikuti Ibnu Abi Hatim kalau ia bukan sahabat. kalau mau berdiskusi jangan berhujjah dengan kata-kata “bisa keliru”. Mana ada sih ulama yang tidak bisa keliru, semua ulama yang anda kutip juga bisa saya mentahkan dengan perkataan “bisa keliru”. Apa gunanya itu 🙂
Terus gimana mut’ah yang dilakukan saat Fathul Makkah, apakah itu juga terpaksa?. Terus pendapat Ibnu Abi ‘Amrah kan menyatakan kalau mut’ah itu dibolehkan pada permulaan [awal] islam. Nah Fathul Makkah itu apa layak disebut “permulaan islam” 🙄
Mana saya tahu, lagipula itu bukan urusan saya. Apa kita sedang membicarakan mut’ah orang syiah?.
Oh iya yang anda maksud kan mut’ah diharamkan di Fathul Makkah berarti anda telah banyak tuh menolak hadis shahih yang lain soal pengharaman mut’ah di Khaibar, Authas, Umrah Al Qadha, dan Haji Wada. Silakan saja itu terserah anda.
simpel saja. menurut anda “mut’ah jadi zina kalau sudah diharamkan” nah berarti saat di Khaibar mut’ah sudah jadi zina kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menghalalkan zina di Fathul Makkah, itulah konsekuensinya yang anda anggap “tidak ada masalah”.
ada kok pembahasannya nanti, saya menyampaikannya secara runut saja dulu perlahan-lahan nanti bisa dilihat.
sudah berulang kali juga saya katakan kalau anda berkeras mau mengatakan mut’ah adalah zina ketika ia diharamkan maka konsekuensinya anda mengakui kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menghalalkan zina di Fathul Makkah.
ok lah kalau begitu anda juga harus mengakui kalau Ibnu Abbas telah menghalalkan zina juga Jabir dan para sahabat lainnya telah menghalalkan zina bahkan melakukan zina. simpel saja bilang saja iya, beres.
sampai akhir hayatnya Ibnu Abbas tetap menghalalkan mut’ah. Silakan anda menyebutnya “karena terpaksa” kalau bahasa saya “dalam kondisi tertentu”. bukankah anda tetap ngotot mut’ah itu zina ya berarti Ibnu Abbas menghalalkan zina. Soal riwayat Ibnu Abbas meralat fatwanya itu dhaif kok, silakan tuh tunjukkan riwayat yang anda jadikan hujjah, siapa tahu jadi tambahan info baru buat saya.
Iya memang zina atau tidak terletak pada pengharaman mut’ah, sahabat yg masih melakukan sampai pada masa Umar, mereka adalah yang tidak tahu atau samar, terbukti hadits dari Khalid bahwa dia masih beralasan bahwa mut’ah dilakukan di masa Nabi SAW, artinya dia memang belum tahu dan masih samar mengenai mut’ah ni, demikian juga yang terjadi pada Jabir, dan ini adalah hal yang nyata. Sedangkan Ibnu Abbas dengan ijtidahnya sendiri, dan dia keliru dalam hal ini, dia memberi rukhshah untuk mut’ah dalam kondisi darurat baik itu saat jihad ataupun yg lain selain itu beliau melarangnya. Maka Umar telah berjasa dengan penegasan dia terhadap pelarangan mut’ah, dan yang jelas Imam Ali telah juga mengharamkannya.
Iya, karena pada dasarnya fathul makkah sebenarnya diniatkan untuk berperang jika ada yang melawan dan kaum muslimin adalah dari Madinah dan beberapa hari (ada yg mengatakan selama 18 hari, 19 hr dll) diberada di makkah jauh dari istri maka mendapat rukhshah dan kemudian diharamkan sampai kiamat. Fathul Makkah bisa dibilang permulaan Islam, memangnya ada masalah dengan itu? namanya juga baru futuh 🙂
Ya biar anda tahu aja bahwa syi’ah telah menghalalkan zina
Tampaknya anda tidak membaca komentar saya dengan baik, kan ada 2 metode untuk masalah itu, dan saya sdh sebutkan 3 yg shahih yaitu Khaibar, Authas dan Fathul Makkah. dan menurut saya yg rajih adalah fathul makkah, tetapi saya pun juga tidak menolak bila semuanya dijamak, intinya berapa kali proses pengharaman dan penghalalannya yang jelas the end-nya adalah haram sampai kiamat dan hadits tsb sgt jelas tidak ada interpretasi selain itu, maka mut’ah adlah zina titik.
Yah saya ulangi lg dech, intinya saat mut’ah diharamkan maka dia adlah zina, saat dihalalkan menjadi bukan zina, jika diharamkan lagi maka kembali lagi menjadi zina, simple kan?.
Ya silahkan saja itu kan hak anda
<blockquote.sudah berulang kali juga saya katakan kalau anda berkeras mau mengatakan mut’ah adalah zina ketika ia diharamkan maka konsekuensinya anda mengakui kalau Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] menghalalkan zina di Fathul Makkah.
Yah saya ulangi lg dech, intinya saat mut’ah diharamkan maka dia adlah zina, saat dihalalkan menjadi bukan zina, jika diharamkan lagi maka kembali lagi menjadi zina, simple kan?.
Saya sudah bilang bahwa ijtihad Ibnu Abbas keliru dalam hal itu yaitu memberi rukhshah dalam melakukan mut’ah karena terpaksa, karena bertentangan dengan Nabi SAW, Ali, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dll. Dan saya lebih memilih beliau telah menarik fatwanya tersebut. saya sudah sampaikan, jika menurut anda itu dhaif ya silahkan saja, bagi saya rujuknya Ibnu Abbas lebih mendekati kebenaran dan dapat dijadikan ittibar. Sedangkan perkataan anda bahwa sampai akhir hayatnya Ibnu Abbas tetap menghalalkan mut’ah adalah persepsi anda saja
@sok tau banget
berarti mayoritasa sahabat memang belum tahu ya pengharaman mut’ah masa’ mereka tetap melakukan mut’ah sampai di masa Abu Bakar dan Umar. hakikatnya mereka sudah lama sekali melakukan mut’ah [baca :zina]
oh iya Ibnu Abbas luar biasa kelirunya, sudah tahu kalau itu haram masih saja dihalalkan, zina lagi katanya wah wah
oh berarti jauh dari istri 18 hari juga termasuk darurat sehingga diberi rukhsah ya, hooo begitu ya
jadi Fathul Makkah adalah permulaan Islam, ya ya 😆 *ngeles kok kebangetan yah*
ah iya yang penting bagi anda haram, mau dalilnya gimana gimana, mau diapain dalilnya diputerbalik dijamak dsb yang penting haram zina titik. Yo wes
Di Khaibar, mut’ah ditetapkan zina. Di Fathul Makkah dibolehkan mut’ah padahal mut’ah sudah ditetapkan zina, berarti menurut anda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkan zina.
iya Ibnu Abbas keliru karena menghalalkan zina, itu kan maksud anda.
oh silakan, enak lah kalau dalil itu bisa main pilih, aman damai sentosa dimana-mana 🙂
gak nyambung ah, apanya yang mau dijadikan ittibar, asal catut supaya bahasanya keren ya
semua komentar anda itu persepsi anda saja. apalagi mut’ah dikatakan zina itu kan persepsi anda saja. Jangan-jangan pengharaman nikah mut’ah itu persepsi anda juga
bukannya kata anda dulu mayoritas ga nya sesuai persepsi masing2 yang namanya belum tahu ya mau diapain lg
Ketahuan kalau anda belum beristri ya? kalau sudah, berarti kondisi anda memang beda dg kondisi bangsa Arab saat itu, kalau belum, makanya buruan, tapi pesen saya, nikah permanen saja ya, jangan mut’ah karena itu bertentangan dengan ajaran penghulu ahlul bait yaitu Imam Ali dan itu adalah zina
Yah saya ulangi lg dech, intinya saat mut’ah diharamkan maka dia adlah zina, saat dihalalkan menjadi bukan zina, jika diharamkan lagi maka kembali lagi menjadi zina, simple kan?.
@sok tau banget
tapi metode yang anda pilih kan metode rajih dan hasil kesimpulan anda adalah hadis Fathul Makkah diriwayatkan satu sahabat yang tidak terkenal. Nah tinggal saya konfrontirkan saja dengan hadis Jabir, disana ia menggunakan kata “kami” karena hadis yang lain jadi tertolak atau ditinggalkan dengan metode anda maka “kami’ disana berarti mayoritas sahabat, iya kan
saya gak ngeh deh dengan maksud anda kondisi bangsa arab saat itu. Kondisi yang anda maksud kan “jauh dari istri 18 hari” itu sudah ada sebut kondisi terpaksa atau darurat versi anda. Yah wajar saya gak tahu, secara saya dengar cerita dan lihat paman-paman saya pernah kerja pisah istri sampai satu bulan dan tidak ada masalah. Kalau anda mau mengatakan itu terpaksa atau darurat ya terserah anda 🙂
Maaf ya anda mengulang juga percuma, coba pikirkan saja dulu kata-kata anda. saat mut’ah diharamkan menjadi zina kan ini yang anda bilang. Kalau sudah diharamkan jadi zina. terus kalau yang sudah jadi zina ini dibolehkan berarti menurut anda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menghalalkan zina. Jadi logikanya yang runtutlah jangan loncat sana loncat sini. Jadi percuma kalau mau ngeyel terus, anda mau mengulang berapa kali juga percuma artinya anda tidak mau memikirkan konsekuensi ucapan anda. Anda hanya sibuk dengan pikiran anda sendiri. Coba saja dipikir dengan baik ucapan, bukannya malah sibuk “ngeyel” ya diskusinya bakal muter-muter terus disitu.
Saya sudah mengikuti pernyataan anda saat mut’ah diharamkan adalah zina. Di Khaibar mut’ah itu diharamkan maka mut’ah menjadi zina. Nah zina ini dibolehkan di Fathul Makkah. Anda mau bilang zina itu jadi bukan zina tapi kan konsekuensi dari pernyataan anda sebelumnya itu sudah menjadi zina.
Intinya itu sudah jadi zina sejak di Khaibar tetapi karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membolehkan di Fathul Makkah maka itu adalah zina yang dibolehkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [lihat baik-baik sampai sini saja sudah terbukti kalau Rasulullah membolehkan zina] nah zina yang dibolehkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu anda katakan bukan zina. Kontradiktif jadinya Zina= bukan Zina. nah terimalah logika yang kacau sebagai konsekuensi pernyataan anda
Hehehe ya inilah pemirsa blog SP..
perdebatan fallacy ketemu fallacy,hehehe
kalao nikah mut’ah adalah zina?… mengapa ulama wahabi menghalalkan mut’ah?…. wahhabi2 saudi… juga bermut’ah “ala wahabi”…
so…
@STB
Sepertinya sampeyan yakin sekali akan kebenaran dg argumen sampeyan?
1 pertanyaan dari sy, sederhana. Kapan Rasul saw terakhir kali, sebelum beliau wafat, menyampaikan pengharaman mut’ah? Kalau sampeyan sdh sebutkan, tolong sebutkan lagi.
Salam
@STB
kt anda:Yah saya ulangi lg dech, intinya saat mut’ah diharamkan maka dia adlah zina, saat dihalalkan menjadi bukan zina, jika diharamkan lagi maka kembali lagi menjadi zina, simple kan
kt sy
falacy banget
1.rosul menghalalkan yg haram
2.rosul mengharamkan yg halal
simple kan?
Saya sdh sering katakan bahwa STB tidak mengetahui apa yang ia tulis> Dia hanya mengkopy pasta tanpa mengerti. Coba anda2 perhatikan yulisannya sok tau banget, on Maret 1, 2011 at 1:39 am said: Bukan saya saja lho tapi juga Imam Baqir yg mengatakan bahwa Mut’ah adalah Zina.
قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر
Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, kami melakukan mut’ah pada masa hidup Rasulullah SAW, masa hidup Abu Bakar dan masa hidup Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
Lalu coba anda2 pikirkan, KAPAN WAHYU TURUN UNTUK MEMBATALKAN FIRMAN ALLAH TENTANG MUT’AH ? Apakah wahyu juga turun pada Umar. Atau Rasul hidup kembali khusus untuk membatalkan ayat mengenaiu Mut’ah. Atau Abubakar. Umar dan sahabat yang lain tidak melaksanakan perintah Allah dan Rasul.
hanya do’a yang ku panjatkan.
Ya Allah, lindungi hamba dari kesesatan orng2 yang menyelisihiMu, dr kejahilan orng2 yang menganggap RasulMu dn sahabatny berbuat dzalim, dr or2 yang berhujjah dg angan2, dr or2 yang sombong dalam beragama, dan dari or2 yang memperolok dan mengaburkan syari’atMu, dr or2 yang menghalalkan nikah mut’ah. dan faqihkan hamba dg ilmuMu.
aminnnnn.
Salam…..
Membaca tulisan n komen2 diatas, sy jadi inget dua tahun yang lalu di salah satu forum grup FB, rame juga… hihihiii
Pada akhirnya Sy tahu klo cuma Wahabrot yang menganggap nikah mut’ah sama dengan zina. Madzahib al-arba’ah ga da yg menganggap nikah mut’ah sama dg zina.
saya ade baca komentar dari facebook..
beliau mengatakan bahwa keharusan mut’ah digugurkan oleh ayat berikut:
…karena itu kawinilah mereka dengan seizin keluarga mereka… (QS. An-Nisa : 25)
sedangkan mut’ah tidak perlu izin keluarga..
bisa tolong dijelaskan
@Yantz
Pertanyaan ini saya coba jawab dengan pertanyaan,
Saya ingin bertanya pada anda.
1, Apakah pada masa Rasul ada Mut’ah
2. Apakah pada masa khalifah Abubakar para sahabat
menjalankan Mut’ah?
jawapan utk 1 dan 2 sampai sekarang saya masih keliru..
-ada yg mengatakan mut;ah pernah dihalalkan kemudian diharamkan..
-ada juga yang mengatakan mut’ah tidak pernah dihalalkan..(yang ini jelas bagi saya tidak benar..kerna kalau memang mut’ah tidak pernah dihalalkan..lalu mengapa ada hadis mengatakan Rasulullah mengharamkan mut’ah yg dulu dihalalkan..)
-saya juga tambah keliru bila ada riwayat yg mengatakan Saidina Umar Al-Khattab lah yang mengharamkan mut’ah..
-saya jadi lagi tambah keliru kerna ada hadis yang mengatakan Rasulullah lah yang mengharamkan mut’ah..
saya tidak tahu mana satu yang benar..saya tidak mahir dalam bidang hadis..jadi sulit bagi saya untuk mengetahui hakekatnya..
@Yantz
Jangan sering mendengar kata orang tanpa bukti utk dijadikan hujah.
Saya anjurkan untuk banyak membaca buku agama terutama sejarah dari SEMUA MAHZAB. Kemudian anda bandingka dengan Alqur’an, Kalau bertanya tdk tepat orangnya bisa terjadi perpecahan.
Jadi belajar dengan membaca buku2 agama kemudian anda bahas sendiri dibandingkan dengan Ilmu Allah, Anda bertanya hanya untuk mencocokan atas pemahaman anda kalau tidak cocok baru didiskusikan. Salam damai
baiklah..terima kasih atas saranannya
@Yantz
Sama2. Insya Allah. Allah akan memberikan petunjuk pada anda sehingga mendapat KEBENARAN Hakiki
Allah tak pernah mendhaalimi hambaNya. Allah tdk mempunyai sifat ini. Setiap hambaNya yang betul2 mencari kebenaran PASTI Allah akan memberi petunjuk. Salam damai
@chany
Amin
doa yg berbahaya allah n rosulx jelas2 telah menghalalkan mut’ah
kebodohan mengakibatkan kecelakaan
Salam……… Nama saya ABU SHADRA, mohon dukungan, kami hendak membantai pemahaman kaum Salafi dan membongkar kebohongan kaum Salafi.Gabung ke email fb kami Abu_sadra19@yahoo.com…. gabung ke fb abu Shadra.<Mari kita bongkar habis kedustaan demi kedustaan kaum Salafi dalam DIALOG TERBUKA VIA FACEBOOK MEMBONGKAR KEBOHONGAN SALAFI .Ditunggu ya
Buat saya yg saya terima adalah alasan yg kuat dan logis. Kuat adalah ada hujjah dari Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW yg sahih. Logis adalah yg bisa diterima akal sahat sesuai dari tinjauan sejarah kronologis perintah mut’ah. Saran saya jgn menghakimi dengan cara yg kotor, memaki tanpa hujah, atau tanpa alasan yg tdk bisa dipertanggung jawabkan. Saya punya pandangan dgn alasan surah Annisa ayat 24 adalah sangat kuat bahwa mut’ah itu ada dan tdak bisa disamakan dgn zina.
mau nikah mut’ah? …hubungi…habib_gaul_2000@yahoo.co.id… salam…
HIDUPKAN AJA SUNNAH PADA DIRI KALIAN…TAK ADA YANG DJAMIN MASUK SYURGA OLEH ALLOH KECUALI ROSUL DAN PARA SAHABAT SEDANG KAN UMAT AKHIR ZAMAN AKAN DLANDA FITNAH YAITU SYAHWAT DAN SYUBHAT…DAN MOHONLAH PERLINDUNGAN KPD ALLOH DR FITNAH TSB…KRN ROSULULLOH BELIAU YG AMAN DR FITNAH SELALU MEMOHON KPD ALLOH UTK DJAUHKN DR FITNAH YG MENYESATKN…DAN TELAH AQ TINGGALKN 2 PERKARA NISCAYA KALIAN TDK TERSESAT YAITU KITABULLOH DAN SUNNAH ROSULULLOH…BERSATULAH JANGAN BERCERAI BERAI… INILAH ZAMAN TERASING BGI ORANG2 YG ASING….
@atasku
Banyak ngawurnya!
sekarang gini aja, sahabat2 yang soleh aja boleh mut ah…coba zaman skrg..cewe nya godaanya lbh besar… lebh banyak.. Rosul jg sudah wafat.. kaya nya mut ah boleh2 aja buat yg tidak kuat menahan sahwat, kec kalian lbh baik lbh utama dari sahabat?? yah tp semua terserah kalian… bisa menahan diri dari sahat mgkin lbh baik.tp menyalahkan hukum , melarang sesuatu yg ga jelas malah bisa bikin dosa. Atau kalau mau aman yah ga usah mut ah, ga usah nglarang juga, trs bertobat kpd Alloh…mnyadari kekurangan dan ktrbatasan diri masing2… mgkn ada yg bs menahan sahwat..ada pula yg tdk bisa..tiap org py kmampuan yg berbeda2… Hanya Alloh yg maha sempurna
nikah mut’ah dlm hadist rasullulah sudah dihapus dan diharamkan. krn dahulu kondisinya sdg perang dan sedikit sekali laki2nya. tp setelah selesai peperangan, allah menurutkan ayat untuk mengharamkan nikah mut’ah. contoh kasus org syiah nikah mut’ah allah mengazabnya dng penyakit sipilis. naudzubillah, sangat merugikan kaum wanita
Jika benar begitu, bolehkah saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah untuk satu malam?
yah kalo mang yakin nikah mut ah boleh..seandaix kl py anak cewe ya bolh aja d mut ah in..asal yg mut ah in itu soleh jg spt sahabat2 rosul… tp karena sy sndiri msh blm jls haram /boleh tdknya…krna Alloh aja yg lbh tau… jd lbh baik jgn deh nikah mut ah..tp yg pasti kalo nikah bnran smp 4 istri itu boleh bgt…
yg psti sblm kalifah umar mut ah itu tdk d larang..entah knp abu bakar ga nglarang….sblikx d jaman abu bakar dan umar..hadis tdk bolh d tulis atau d bukukan bahkan d bakar…pas jaman ali aja di bolehkan mnulis hadits…kalo kt bnr2 ikutn umar/abu bkr dosa dunk nulis hadits nabi..malah hrs kita bakar tuh
tapi kalo mau ga bngung..dan hati tnang..ya udah ga usah mut’ah..di niatin krna takut salah brtindak..atau memang mengikuti anjuran khalifah umar…namun jgn bilang dosa , haram atau lain sbg nya…takutx tryata yg kita katakan salah….
kali kedua, bolehkah saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah untuk satu malam?
buat kali ketiga saya bertanya, sukakah jika saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah?
ORANG YANG MELAKUKAN NIKAH MUT’AH ADALAH KAFIR,DAN KAFIR..
mengkafirkan org itu sama aja mengkafirkan diri sendiri, bertaubat bro…
@kuda
Mereka yang mau bertobat, adalah mereka yang beriman dan yakin akan hari kemudian
@ guests
Adakah Hadits pengharaman nikah mut’ah ??
wanita a mutah sama lelaki a pada hari pertama
wanita a mutah sama lelaki b pada hari kedua
wanita a mutah sama lelaki c pada hari ketiga
kalo wanita a hamil bapak nya siapa ????
dari segi logika aja ini udah buruk ..
Mau tahu bapaknya siapa? Ini orang hidup di jaman batu kali yeee, helloooo, ada tes DNA gitu loh. Caranya DNA si bayi di cocokan dengan DNA cowok2 itu. Capekk deeh (tepok jidat). Oh iya ane maklum soalnya wahabi percaya kalau bumi itu ceper alias rata sesuai dengan fatwanya ulama wahabi bin baaz.
si kampret secondprince ini orang aswaja indon dulunya (mungkin lulusan pesantren), terus kenalan ama orang syiah, jadi orang syiah deh. orang-orang eks NU alias aswaja indon yang anti wahabi pasti masuk syiah gara-gara baca artikel ini..
Sudahlah.islam itu selalu adil.berfikir aja kalian tentang mut’ah. Apakah mut’ah lebih banyak manfaat nya ketimbang ruginya.klo saya sih bnyk rugi nya ketimbang manfaatnya.yg jelas rugi ya wanita (kalian udah tau ruginya apa) trus klo wanitanya punya anak dari mut’ah.anaknya pun menjadi korban karena bapaknya sudah kabur ga mau ngurusnya lagi.jadi yg masih berfikir mut’ah itu baik, islamnya perlu dipertanyakan karena islam tidak mergukian sebelah pihak.klo kalian beranggapan itu sudah jadi takdir mut’ah dianggap baik.berarti agama islam tidak baik.apakah islam tidak baik ?????? Tak usah berdebat dengan dalil2 masing2 tapi fikir dengan akal sehat.krn setau saya islam yg dibawa nabi muhammad s.a.w tdk bertentangan dengan akal sehat. Wassalam
[…] DLL, Selengkapnya baca: http://yatimkarbala.blogspot.co.id/2011/01/mutah-bukti-bukti-dari-alquran-dan.html https://secondprince.wordpress.com/2011/02/28/nikah-mut%e2%80%99ah-bukanlah-zina-menggugat-salafy/ […]
[…] https://secondprince.wordpress.com/2011/02/28/nikah-mut%e2%80%99ah-bukanlah-zina-menggugat-salafy/ […]