Antagonisme Penilaian Ahmad bin Hanbal Terhadap Mereka Yang Mencela Dan Membenci Sahabat

Antagonisme Penilaian Ahmad bin Hanbal Terhadap Mereka Yang Mencela Dan Membenci Sahabat

Sebagian ulama berpendapat bahwa mencela sahabat Nabi dapat membawa pelakunya kepada kezindiqan atau kekafiran. Diriwayatkan berbagai perkataan ulama tentang hal ini diantaranya Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah dan yang lainnya [semoga rahmat Allah dilimpahkan pada mereka]. Sayang sekali pandangan ini kami pandang berlebihan dan memiliki konsekuensi yang sangat berat karena telah diriwayatkan pula bahwa diantara mereka yang mencela sahabat itu ada beberapa orang yang dijadikan rujukan atau diambil hadisnya. Alangkah lucunya kalau dikatakan seorang yang zindiq atau kafir dijadikan rujukan dalam hadis. Di bawah ini kami akan menampilkan sikap antagonis Ahmad bin Hanbal yang terkait dengan masalah ini. Diriwayatkan oleh Al Khallal bahwa Ahmad bin Hanbal memandang orang yang mencela sahabat sebagai bukan orang islam

أخبرنا عبدالله بن أحمد بن حنبل قال سألت أبي عن رجل شتم رجلا من أصحاب النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال ما أراه على الإسلام

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela seseorang dari sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wassalam. Beliau menjawab “menurutku ia bukan orang islam” [As Sunnah Al Khalal no 782]

Jika dikatakan orang yang mencela sahabat Nabi sebagai bukan orang islam, maka konsekuensinya sangat berat dan saya rasa tidak akan ada ulama yang mau menerima konsekuensi tersebut. Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Mughirah bin Syu’bah mencela Ali bin Abi Thalib RA. Bahkan riwayat tersebut terdapat dalam kitab Musnad Ahmad, jadi kami berasumsi kalau Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa Mughirah telah mencela Imam Ali. Apakah Ahmad bin Hanbal akan mengatakan kalau Mughirah bin Syu’bah bukan seorang muslim?. Faktanya tidak, Ahmad bin Hanbal memandang Mughirah sebagai sahabat Nabi yang diambil hadisnya, ia sendiri menulis hadis Mughirah bin Syu’bah di dalam kitab Musnadnya.

Telah diriwayatkan pula dengan sanad yang shahih bahwa seorang tabiin masyhur yang dikenal sebagai imam tsiqat yaitu Urwah bin Zubair mencela seorang sahabat Nabi yaitu Hassan bin Tsabit RA. Apakah Ahmad bin Hanbal akan mengatakan kalau Urwah bin Zubair bukan seorang muslim?. Faktanya, Ahmad bin Hanbal malah memuji Urwah bin Zubair dan menjadikan hadisnya sebagai rujukan.

Antagonisme yang sangat nyata dapat dilihat pada penilaian Ahmad bin Hanbal terhadap beberapa perawi hadis yang nashibi seperti Hariiz bin Utsman dan Abdullah bin Syaqiq. Dalam biografi Abdullah bin Syaqiq disebutkan kalau Ahmad berkata

وقال أحمد بن حنبل ثقة وكان يحمل على علي

Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat dan ia mencela Ali” [At Tahdzib juz 5 no 445]

وقال أحمد بن أبي يحيى عن أحمد حريز صحيح الحديث إلا أنه يحمل على علي

Ahmad bin Abi Yahya berkata dari Ahmad yang berkata “Hariiz shahih hadisnya hanya saja ia mencela Ali” [At Tahdzib juz 2 no 436]

وسمعت أبا داود يقول : سالت أحمد بن حنبل عن حريز فقال : ثقة ثقة ثقة

Aku mendengar Abu Dawud berkata aku bertanya kepada Ahmad bin hanbal tentang Hariiz. Ia menjawab “tsiqat tsiqat tsiqat” [Su’alat Al Ajurri 2/234 no 1700]

Ahmad bin Hanbal mengakui kalau Harriiz bin Utsman dan Abdullah bin Syaqiq mencela Ali bin Abi Thalib RA tetapi hal ini tidak mencegahnya untuk mengatakan tsiqat, bahkan Hariiz ia puji dengan ta’dil yang sangat tinggi “tsiqat tsiqat tsiqat”. Padahal Ahmad bin Hanbal beranggapan siapa saja yang mencela sahabat Nabi maka ia bukan orang islam. Sikap antagonis seperti ini adalah konsekuensi dari pandangan Ahmad sendiri yang mengkafirkan “orang yang mencela sahabat Nabi”. Oleh karena itu tidak diragukan lagi sikap sebagian ulama yang memandang kafir mereka yang mencela sahabat Nabi adalah sikap yang berlebihan dan keliru. Walaupun begitu bukan berarti kami memandang baik perkara mencela sahabat Nabi karena Mencela seorang muslim tidaklah dibenarkan dalam syari’at islam.

28 Tanggapan

  1. Mughirah bin syu’bah = sahabat Nabi

    Ali bin Abi Thalib = sahabat Nabi

    maka tingkatan sahabat adalah di atas tingkatan kita pada hr ini. jelas dalam ilmu hadits ahlus sunnah dengan tegas dijelaskan bahwa perawi sahabat adalah adil (saya kira penulis sudah tau dlm hal ini dan saya kira penulis selama ini juga berusaha memegang kaidah ini dalam setiap artikelnya yg berhubungan dg takkrij hadits, sungguh aneh jika dia menyalahkan Imam Ahmad dlm hal ini)

    Mughirah di pihak Mu’awiyah saat terjadi peperangan dengan Ali.

    fitnah lah yang menyebabkan mereka saling berperang dan mencela.

    walaupun kebenaran ada di pihak Ali.

    tetapi yang patut disalahkan adalah orang2 yang menyulut fitnah tersebut.

    kalau sahabat saling mencela, urusannya di tangan Allah, amalan mereka ditimbang berdasarkan amal mereka ketika mereka menyertai Nabi SAW dan berjuang menegakkan ajaran Islam.

    tetapi kalau orang-orang generasi sesudah sahabat apalagi generasi mutaakhirin mencela sahabat, saya sangat setuju dengan Imam Ahmad, perlu dipertanyakan keislaman mereka…

  2. Jarh wa Ta’dil dikalangan Sunni mentok sampai dg tabi;in, sementara dikalangan syi’ah Jarh wa Ta’dil berlaku jg untk kalangan sahabat.

    Hadits/Sunnah Nabi SAW shahih merupakan salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an. Sampai disini sy rasa semua sepakat.

    Sunni Yakin dan percaya bahwa hanya Nabi SAW yg ma’shum. Artinya selain NabiSAW tidak terlepas dr kesalahan dan dosa. Tp kenapa Jarh wa Ta’dil ini tdk berlaku utk kalangan shahabat ???

    Dikalangan Syi’ah mereka meyakini dan percaya tdk hanya Nabi SAW yg ma’shum, tp jg para Imam dikalangan mereka sprti Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein dll ‘alaihimus salam wa radliyallahu ‘anhum. Jadi Jarh wa Ta’dil tetap berlaku pada orang2 slain mereka yg mashum, sekalipun ia seorang shahabat.

    Titik temu dlm masalah ini jelas sulit ketika menyangkut masalah shahabat.

  3. @jebod

    adil (‘adalah) tidak sama dengan ma’sum.

    saya copas perkataan Ust. Abdul Hayyie Al-Kattani ;

    Di sini, saya melihat ada kesalahpahaman tentang konsep ‘adalah para sahabat. Sebenarnya konsep “‘adalah sahabat” sederhana saja, yaitu menilai diri para sahabat Nabi saw. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi Al Qur`an, hadis-hadis Nabi saw., serta seluk beluk kehidupan Nabi saw. selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya.

    Hal tersebut tidak berarti memberikan penilaian mereka sebagai sosok yang maksum yang tak mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin berbuat dosa, atau melakukan suatu kemaksiatan. Mereka bisa saja melakukan semua itu. Karena sifat maksum atau terhindar dari dosa hanya bagi Nabi saw. saja.

    Secara logika, ini sangat diterima. Mengapa? Karena di manapun di dunia ini, ketika orang ingin mengetahui sejarah dan catatan-catatan tentang kejadian sebelum kelahirannya, pasti memerlukan info dari orang yang hidup sebelumnya. Kita bisa saja lebih berpendidikan dari orang tua kita. Tapi kejadian-kejadian di tengah keluarga kita, sebelum kita lahir, atau ketika kita masih balita, pastilah mereka yang tahu. Sepintar dan sesuci apa pun kita melihat diri kita, tidak mungkin kita lebih tahu dari orang tua kita tentang semua kejadian sebelum kita lahir. Di sini, keinginan kita untuk mengetahui sejarah otentik keluarga kita atau masa-masa balita kita, harus meletakkan orang tua kita sebagai sumber informasi yang terpercaya. Kecuali jika mereka terbukti senang berdusta. Karena jika tidak, kemana lagi kita mesti mencari informasi tersebut?

    Membatasi sumber informasi, membuat kita menghasilkan gambaran yang tidak otentik terhadap objek yang ingin kita ketahui. Demikian juga dengan keinginan kita untuk mengetahui riwayat otentik Al Qur`an dan sunnah-sunnah Nabi saw. Melalui siapa kita mengetahui semua itu? Tentu jawabnya melalui para sahabat, isteri-isteri beliau dan anak-anak serta menantu beliau yang pernah mengalami hidup bersama beliau atau mendengar suatu riwayat dari beliau.

    Di sini kita mesti meletakkan para sahabat sebagai sumber informasi atau riwayat otentik dari Nabi saw. Kecuali jika orang tersebut terbukti pernah berdusta terhadap Nabi saw. Atau Nabi saw. sudah memberikan kata pasti bahwa si A adalah sosok yang tidak bisa dipercayai atau munafik.

  4. konsep “‘adalah sahabat” sederhana saja, yaitu menilai diri para sahabat Nabi saw. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi Al Qur`an, hadis-hadis Nabi saw

    ————————————————————————–
    sederhana saja … bila sang penyampai (sahabat) itu telah terbukti mencela sahabat yg lain maka ‘adalahnya masih berlaku tidak ? ….
    sedangkan telah menjadi harga mati bahwa SIAPAPUN yang mencela perbuatan seorang sahabat saja maka ia telah zindiq . lalu bagaimana ia masih punya sifat ‘adalah (adil) …

  5. Salam
    Sesama sahabat boleh saling mencela atau bahkan saling mengkafirkan. Para sahabat kan punya senjata ampuh,walaupun mereka berbuat/melakukan sesuatu (hasil “ijtihad”) yang salah/dosa,mereka tetap memperoleh satu pahala. Hebat ‘kan ?
    Jadi mencela Imam Ali bin Abi Thalib a.s. beserta Ahlul Bayt lainnya (alaihissalam),bahkan membunuh mereka mendapat 1 pahala. Inilah yang coba dikatakan para ulama (ulam yang sepakat dengan konsep jika sahabat berijtihad lalu benar mendapat 2 pahala,dan jika salah mendapat 1 pahala) sejak dulu,hanya saja mereka malu-malu.
    Wallahu’alam

    Wassalam

  6. @sok tahu banget

    Mughirah bin syu’bah = sahabat Nabi

    Ali bin Abi Thalib = sahabat Nabi

    maka tingkatan sahabat adalah di atas tingkatan kita pada hr ini.

    Apa hubungannya?. Apakah karena seseorang disebut sahabat maka ia dibolehkan mencaci sahabat lainnya. Bukankah ada hadis shahih bahwa mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran. Apakah anda mau mengatakan kalau hadis itu tidak diperuntukkan bagi sahabat Nabi?, Jangan terlalu buta dengan kata “sahabat” :mrgreen:

    jelas dalam ilmu hadits ahlus sunnah dengan tegas dijelaskan bahwa perawi sahabat adalah adil (saya kira penulis sudah tau dlm hal ini dan saya kira penulis selama ini juga berusaha memegang kaidah ini dalam setiap artikelnya yg berhubungan dg takkrij hadits, sungguh aneh jika dia menyalahkan Imam Ahmad dlm hal ini)

    Lha bahkan dalam ilmu hadis ahlus sunnah perawi nashibi yang membenci Imam Ali tetap diambil hadisnya dan dinyatakan tsiqat. Apa yang akan anda katakan soal ini?. Bukankah menurut anda mereka patut dipertanyakan keislamannya. 🙂

    Mughirah di pihak Mu’awiyah saat terjadi peperangan dengan Ali.

    Telah diriwayatkan dengan shahih bahwa Mughirah mencaci Ali setelah Imam Ali wafat. Jadi itu jauh setelah perang yang anda maksud. So gak perlu berdalih

    fitnah lah yang menyebabkan mereka saling berperang dan mencela.

    Apanya yang saling mencela?. Orang yang mencela itu adalah Mughirah dan orang yang dicela Mughirah adalah Imam Ali, bukan sebaliknya.

    walaupun kebenaran ada di pihak Ali.

    Kesan yang saya tangkap dari kalimat anda yaitu pada kata “saling mencela”, anda beranggapan Imam Ali juga ikutan mencela, waduh waduh hati-hatilah berbicara.

    tetapi yang patut disalahkan adalah orang2 yang menyulut fitnah tersebut.

    Jangan mengkambinghitamkan orang yang anda sendiri tidak tahu. Jelas dalam perkara Muawiyah dan Imam Ali yang memutuskan untuk menentang Imam Ali ya Muawiyah makanya Muawiyah dan pengikutnya disebut Nabi SAW sebagai kelompok pembangkang.

    kalau sahabat saling mencela, urusannya di tangan Allah, amalan mereka ditimbang berdasarkan amal mereka ketika mereka menyertai Nabi SAW dan berjuang menegakkan ajaran Islam.

    Memangnya kalau bukan sahabat, urusannya ditangan siapa?. Memangnya kalau bukan sahabat maka mereka tidak memiliki amal?. Memangnya kalau bukan sahabat mereka tidak menegakkan ajaran islam?. Siapapun yang mencela seorang muslim ya jelas salah.

    tetapi kalau orang-orang generasi sesudah sahabat apalagi generasi mutaakhirin mencela sahabat, saya sangat setuju dengan Imam Ahmad, perlu dipertanyakan keislaman mereka…

    Kalau begitu masalah anda sama yaitu bagaimana nasibnya dengan para perawi nashibi yang membenci dan mencela Imam Ali tetapi tetap dipakai hadisnya dalam kutubus sittah. Sangat mungkin kalau anda sendiri berhujjah dengan hadis kutubus sittah juga. Jadi para ulama itu mengambil hadis dari orang yang dipertanyakan keislamannya. Silakan jawab dengan jujur 🙂

  7. @all
    Saya ragu atas pernyataan Imam Ahmad b. Hambal barwa mencela sahabat bukan orang Islam. Imam Ahmad seorang Ulama besar, masa bisa terjadi suatu pertentangan antara UCAPAN danPERBUATAN?
    Kemudian dari pernyataan bilau ada kata2 MENURUT SAYA.
    Dari beberapa riwayat yang dibawakan oleh SP mengatakan bahwa ada beberapa sahabat yang mencela sahabat yang lain.
    Dan menurut riwayat/sejarah ada kejadian bukan saja mencela malahan menghukum. Usman b. Affan menghukum Abu Dzar. Imam Ali menegur Usman. Usman menyalahkan Imam Ali. Umar menegur Abubakar.
    Jadi menurut saya siapapun berhak menegur apabila perbuatannya/ljtiha sahabat tidak benar. Kita generasi sekarangpun bisa menegur dengan cara menolak ijtihad mereka. Wasalam

  8. The sahabah worshiper,………..in action

  9. Kalau seandainya Imam Ali.as langsung menjadi khalifah setelah Nabi.saw sesuai dengan harapan Allah dan Rasul-Nya mungkin perselisihan antara sahabat tidak separah yang sudah terjadi. Ketika mereka mengangkat Khalifah bukan sebagaimana yang dianjurkan olehRasul.saw maka kekacauanpun segara terjadi dan terus terjadi.

    Mungkin itu memang kehendak Allah untuk menguji kita mau ikut jalan yang mana, apakah jalan kebenaran dengan mengikuti anjuran Rasul.saw atau jalan yang batil yang dibuat oleh pelaku makar. Dan, saya kira itu wajar saja karena “setiap Allah mengutus para rasul maka Dia juga menjadikan setan2 dari jenis jin dan manusia untuk menyimpangkan ajaran Rasul tersebut” kejadian itu selalu terjadi pada setiap rasul dan terjadi pula bagi kerasulan Muhammad.saw

  10. assalamualaikum

    saya mah sekarang hanya bisa mencela orang-orang yang menyembunyikan kebenaran kepada kita, walaupun itu dari para sahabat dan ulama termahsyur sekalipun jika saja mereka menyembunyikan kebenaran. seperti dalam Alqur’an Surat Al-baqarah ayat 159 “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati.”

    wassalam

  11. hmmm, jadi migreen mendengarnya,,,,

  12. @sok tau banget

    Di sini, saya melihat ada kesalahpahaman tentang konsep ‘adalah para sahabat. Sebenarnya konsep “‘adalah sahabat” sederhana saja, yaitu menilai diri para sahabat Nabi saw. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi Al Qur`an, hadis-hadis Nabi saw., serta seluk beluk kehidupan Nabi saw. selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya.

    Hal tersebut tidak berarti memberikan penilaian mereka sebagai sosok yang maksum yang tak mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin berbuat dosa, atau melakukan suatu kemaksiatan. Mereka bisa saja melakukan semua itu. Karena sifat maksum atau terhindar dari dosa hanya bagi Nabi saw. saja

    Iya…iya….bisa dikasih contoh ke sy sahabat2 yg pernah berbuat salah, dosa dan kemaksiatan?

    Kemudian bisa dikasi contoh Nabi saw pernah berbuat kesalahan dan dosa?

    Kalau ngomong pake mulut. Jangan pake semangat doang.

    Salam

  13. Menurut saya ini ada perbedaan definisi di Imam Ahmad bin hambal ttg sahabat versi Imam Ahmad vs Second prince dan yg lain.

    Perdefinisi Imam Ahmad bin Hambal itu jika mencela sahabat SELAIN Imam Ali as maka telah keluar dia dari Islam.
    sedangkan jika mencela Imam Ali as maka dia masuk tetap islam bahkan dikategorikan tsiqad dan adl serta shaduq jalur periwayatan haditsnya.

    Nah tinggal kita2 semua mau pake yg mana…..
    imam Ahmad bin hambali yg plinplan
    atau Imam samudra yg ngebunuhin org tdk bersalah..
    atau Imam lain …

  14. Malik bin Anas pun seperti itu…

  15. Ada pertanyaan nih, tolong info dari mereka yang tahu:

    Sejaka kapan dan oleh siapa Imam Ali dimasukkan dalam Khulafaurrasyidin?

    Terima kasih.
    Salam damai.

  16. KONSEP HADIS YANG ANEH

    Konon katanya perawi yang mencelah sahabat hadisnya dibuang atau bahkan si pencaci sahabat itu dikategorikan sebagai zindiq….

    tapi aneh Bukhari pun banyak menshahikan hadis dari para perawi yang mencaci-maki sahabat.

    sekedar info:

    Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (1)

    Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (1)

    Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (2)

    Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (2)

    Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (3)

    Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (3)

  17. Mamang mayoritas ulama Ahlusunnah mempunyai konsep yang cukup aneh dan sangat batil dalam masalah kedudukan sahabat Nabi, memang benar di mulut mereka dengan lantang terucap kata “zindiq” dan “kafir” untuk orang yang mencaci sahabat nabi, (dengan cara ini mereka ingin menjatuhkan nama Syiah dalam pandangan orang awam) tapi konsep ini hanya mereka peruntukkan bagi orang2 yang mencaci Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Tapi bila Imam Ali, Hasan, dan Husain.as yang kedudukannya jauh lebih mulia daripada tiga tokoh diatas dicaci maki hingga dibunuh ulama Ahlusunnah sepertinya langsung “ijmak” mendiamkannya dan pura-pura tidak tau.

    Sebuah konsep yang bikin orang berakal geleng-geleng kepala. Tapi itulah kenyataan pahit yang kita dapati pada diri ulama dan umat Islam yang mungkin telah tertanam gen muawiyah dalam diri mereka.

  18. Mungkin bung SP bisa menjelaskan kembli kedudukan hadits2 sbb:

    1. Ash_habiii kannujum…………..
    2. Iqtaduu billadzaini min ba’diii abi bakrin wa ‘umar…….
    3. dll
    Selanjutnya ttg qaidah: Wamaaa jaraa baina shohabah naskutu…

    Sbb dari sinilah berawal dari sdr2 kita yg sunni beranggapan bahwa shohabah semua-a adalah.

    Thanx.

  19. Sekedar Info, Artikel terkait dengan tulisan saudara SP diatas tentang tidak adanya konsistensi dalam konsep hadis (al Jarah wat-ta’dil) oleh para ahli hadis (suni)

    1. Ternyata Mencaci Maki Sahabat Nabi -Menurut Sunni- Tidak Apa-apa Hukumnya! (Bagian 1)

    Ternyata Mencaci Maki Sahabat Nabi -Menurut Sunni- Tidak Apa-apa Hukumnya! (Bagian 1)

    2. Ternyata Mencaci Maki Sahabat Nabi -Menurut Sunni- Tidak Apa-apa Hukumnya! (Bagian 2)

    Ternyata Mencaci Maki Sahabat Nabi -Menurut Sunni- Tidak Apa-apa Hukumnya! (Bagian 2)

  20. ini blog syi’ah ya? aq baca brp tulisn aja dah bnyk kntradiksix. dsini i. ahmd b hambal diprtnykn. tp qo hadisx dipake ut hujah tsaqalayn? aq jg baca blog syi’ah lainx. pd dsrx validitas hdis2 sunny diprtnykan (buhari dll). tp di bag lain qo dipake jg sbg hujah??? kontradixi. gk knsisten! ato cm mo jelekin sunny/slafy?? aq baca blog sunny/salafy jg sma aja. bnyk gk konsistnx. cape d……… pd bnyk2 blajar agama qo mlh jd pd mkin kblingr yah????

  21. @pencarituhan
    tolong dibedakan antara orang yang konsisten dengan metode dengan orang yang konsisten dengan taklid. Berpegang pada ulama jelas dianjurkan tetapi bertaklid kepada ulama jelas tidak baik, karena seorang ulama bisa saja melakukan kesalahan karena ia juga seorang manusia. Tentu tidak sembarangan seorang ulama dikatakan salah, diperlukan bukti yang kuat dengan metode yang benar. Kalau memang seorang ulama terbukti salah maka tidak ada alasan bagi kita untuk berpegang dengannya. Dalam kasus di atas saya hanya mempertanyakan sikap antagonis Ahmad bin Hanbal terkait dengan perawi yang mencela sahabat Nabi. Mereka yang paham cara berpikir yang baik akan melihat antagonis yang nyata sehingga sangat wajar untuk dipertanyakan. Saya tidak pernah menolak atau merendahkan Ahmad bin Hanbal. Jadi tolong dipahami dulu dengan baik makna “konsisten” yang sedang anda bicarakan 🙂

  22. mungkin kita bertaqlid pada ‘Ulama Yg yang konsisten dengan metode’ Bolehlah Mas SP…

    sayangnya salafiyun taqlidnya pd ulama yg juga tdk konsisten pd Metode hingga sulit bg kita jika kita paparkan pembuktian yg valid mereka tolak karena asyik pd pemikiran yg jumud…ngga anehlah.

  23. شتم dengan يحمل apakah sama maknanya? apakah kedua kata tsb setingkat? tolong didefinisikan dulu sebelum menuduh seorang ulama hadits

  24. @sok tahu banget
    lha kalau anda yang merasa ada masalah dengan definisi kedua kata itu ya silakan ditunjukkan. Saya sih tidak merasa ada masalah disitu 🙂

  25. @secondprince,
    [quote]Apa hubungannya?. Apakah karena seseorang disebut sahabat maka ia dibolehkan mencaci sahabat lainnya. Bukankah ada hadis shahih bahwa mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran. Apakah anda mau mengatakan kalau hadis itu tidak diperuntukkan bagi sahabat Nabi?, Jangan terlalu buta dengan kata “sahabat”[/quote]
    Kalau menilik sabda Nabi saw ini :

    لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
    “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya” . [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim dalam Ash-Shahih (2541) dan lainnya].

    Maka anda termasuk dalam kategori mencela shahabat, sedangkan ahlus sunnah tawaquf atas perbuatan shahabat yang saling bertengkar/saling cela.

  26. @Draco

    Maka anda termasuk dalam kategori mencela shahabat, sedangkan ahlus sunnah tawaquf atas perbuatan shahabat yang saling bertengkar/saling cela.

    oh ya, tolong tunjukkan dengan tepat pada kata-kata mana saya mencela sahabat. Apakah ketika saya katakan bahwa seorang sahabat Nabi tidak boleh mencela sahabat lainnya maka anda mengatakan saya mencela. Bagaimana bisa sahabat menjadi sesuci itu dipikiran anda. Saya sih simple saja, jika ada sahabat yang mencaci sahabat yang lain tanpa alasan yang benar maka sudah jelas keliru. Nah orang-orang yang membela kekeliruan sahabat itu ya sama ikut keliru juga. Hadis yang anda kutip justru menjadi hujjah bagi saya, kok bisa ada sahabat yang mencela sahabat lain padahal ada hadis Nabi SAW yang melarang untuk mencela sahabat. Biasakanlah komentar yang objektif, kesannya kok kayak gak nyambung ya 🙂

  27. hahahahaha rame2, lagi2 salafi ^_^

    @draco: bagaimana kedudukan muawiyah ketika mencela Imam Ali a.s.?

    Bagaimana kedudukan Jaddah yang disuruh Muawiyah untuk meracun Imam Hasan a.s?

    Bagaimana kedudukan Yazid yang telah membantai Imam Husein a.s dikarbala?

    ngomong mah gampang tapi low kenyataan itu pahit…..
    huft…1500X

  28. @Sok tau banget
    simple saja buat salafiyun,
    Bagaimana menurut saudara dg para pembunuh Ahlul bait, yang memusuhi, yang memerangi….mereka bukan hanya mencela, bahkan lebih keji lagi….tapi dalam manzab salafi Nashibi kedudukan mereka bahkan lebih mulia dari Ahlul bayt AS….coba jelaskan secara sederhana dan ringkas…yang masuk akal tentunya….

Tinggalkan komentar