Pembelaan Nashibi Terhadap Hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga

Pembelaan Nashibi Terhadap Hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga

Sebelumnya kami telah membahas hadis “Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga” dengan menganalisis seluruh jalan-jalannya. Kesimpulan pembahasan kami tersebut adalah hadis tersebut dhaif baik dilihat dari segi sanad maupun matannya. Salah seorang pengikut salafy nashibi menanggapi tulisan kami dengan membawakan talbis untuk mengecoh kaum awam atau untuk menenangkan pengikut mereka yang merasa risih dengan tulisan kami.

Inti dari tanggapan saudara nashibi itu adalah hadis-hadis tersebut walaupun cacat pada sanadnya tetapi dapat dijadikan i’tibar dan saling menguatkan sehingga kedudukannya menjadi “shahih dengan syawahid”. Tulisan ini akan membahas kekeliruan pernyataannya dan menunjukkan bahwa hadis “Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga” memang dhaif. Kami akan membahas satu-persatu tanggapan saudara nashibi tersebut [harap diperhatikan penyebutan nashibi setiap kami berdisuksi dengannya hanyalah penyesuaian terhadap kata rafidhah yang ia gunakan].

.

.

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Asy Sya’bi

Saudara Nashibi itu mengawali tanggapannya dengan berkata

Dari jalan Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfuu’.Sanad hadits ini adalah dla’iif dikarenakan Al-Haarits. Ke-dla’if-annya terletak pada sisi hapalannya, bukan pada ’adalah-nya sebagaimana telah dirinci oleh sebagian ahli hadits, dan itu telah saya tuliskan pada artikel di atas.

Pernyataan ini sangat jelas keliru. Banyak ulama yang mendhaifkan Al Haarist Al A’waar dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya bukan hafalannya seperti yang dikatakan nashibi tersebut. Kami tidak keberatan untuk menunjukkan pernyataan para ulama yang mendhaifkan Al Haarits

وقال مسلم بن الحجاج : حدثنا قتيبة بن سعيد قال : حدثنا جرير عن مغيرة ، عن الشعبي قال : حدثني الحارث الأعور الهمداني وكان كذابا.

Muslim bin Hajjaj berkata telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Asy Sya’bi yang berkata “telah menceritakan kepadaku Al Haarits Al A’war Al Hamdani dan dia seorang pendusta [Tahdzib Al Kamal 5/246 no 1025]

Apakah pernyataan Sya’bi kalau Al Harits seorang pendusta itu berarti cacat pada hafalannya?. Sudah jelas tidak, jarh “pendusta” justru menunjukkan cacat pada ‘adalah-nya. Nashibi itu membawakan pernyataan Ahmad bin Shalih yang mengatakan kalau Asy Sya’bi hanya mendustakan pemikiran Al Haarits dan bukan hadisnya. Pernyataan ini tidak memiliki dasar ataupun bukti, hanya merupakan pembelaan yang dicari-cari.

وقال مفضل بن مهلهل عن مغيرة سمع الشعبى يقول حدثنى الحارث وأشهد أنه أحد الكذابين

Mufadhdhal bin Muhalhil berkata dari Mughirah yang mendengar Asy Sya’bi berkata “telah menceritakan kepadaku Al Harits dan aku bersaksi ia salah seorang diantara para pendusta” [Mizan Al I’tidal juz 1 no 1627]

Perkataan Asy Sya’bi “salah seorang diantara para pendusta” justru menunjukkan bahwa Al Harits dalam pandangannya adalah sama seperti para pendusta lainnya. Tidak ada pernyataan bahwa Asy Sya’bi hanya mendustakan pemikirannya saja, yang terlihat secara zahir dari perkataan tersebut adalah Asy Sya’bi menganggap Al Harits seorang pendusta. Apalagi Mughirah yang mendengar langsung dari Asy Sya’bi justru mencacatkan Al Haarits dalam hadisnya [hal ini menunjukkan bahwa Asy Sya’bi mencacatkan hadis Al Harits].

وروى أبو بكر بن عياش عن مغيرة قال لم يكن الحارث يصدق عن على في الحديث

Dan diriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayas dari Mughirah yang berkata “Al Haarits bukan seorang yang jujur dalam hadis” [Mizan Al I’tidal juz 1 no 1627]

Perlu diperhatikan yang memandang Al Harits sebagai pendusta tidak hanya Asy Sya’bi, selainnya ada Ali bin Madini, Abu Ishaq, Abu Bakar bin ‘Ayas dan Abu Khaitsamah sebagaimana yang disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal.

وقال أبو بكر بن أبي خيثمة سمعت أبي يقول الحارث الأعور كذاب

Abu Bakar bin Abi Khaitsamah berkata aku mendengar ayahku berkata “Al Harits Al A’war seorang pendusta” [Tahdzib Al Kamal 5/248 no 1025]

Pertanyaannya adalah sejak kapan jarh pendusta berarti cacat pada hafalannya [orang yang paling awam dalam ilmu hadis pun tahu perbedaannya]. Jika saudara nashibi itu dengan mudah menafikan mereka yang menjarh Al Harits maka orang lain pun justru jauh lebih mudah menafikan pernyataan ulama yang menta’dilkan Al Harits seperti Ahmad bin Shalih. Diantara mereka yang mencacatkan Al Haarits justru menjelaskan alasannya bahwa mayoritas riwayatnya tidak terjaga dan ia meriwayatkan hadis-hadis bathil dari Ali.

Ibnu Mahdi meninggalkan hadis Al Harits, Daruquthni menyatakan “dhaif”, Ibnu Ady berkata “mayoritas riwayatnya tidak terjaga”. [Mizan Al I’tidal juz 1 no 1627]. Ibnu Sa’ad berkata “ia memiliki perkataan yang buruk dan dia dhaif dalam riwayatnya” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/186]. Jarir dan Ibrahim mencacatnya, Abu Zur’ah berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “dhaif hadisnya, tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah”. Diriwayatkan kalau Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat dan tidak ada masalah padanya tetapi diriwayatkan pula dari Ibnu Abi Khaitsamah kalau Ibnu Main menyatakan ia dhaif. Utsman Ad Darimi menyatakan “tidak diikuti”. Diriwayatkan kalau Nasa’i menyatakan tidak ada masalah padanya tetapi diriwayatkan pula kalau Nasa’i berkata “tidak kuat”. [Tahdzib Al Kamal 5/248 no 1025]. Terdapat kemungkinan kalau Ibnu Ma’in dan Nasa’i pada akhirnya menganggap dhaif Al Harits. Kesimpulan yang didapat dengan mengumpulkan semua perkataan ulama tentang Al Haarits adalah dia seorang yang dhaif dalam hadis dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya bukan hafalannya.

Riwayat ini memang lemah, namun tidak mudltharib. Asy-Sya’biy adalah seorang yang tsiqah yang disepakati ke-tsiqah-annya. Mempunyai banyak hadits. Bahkan para ulama mensifatkan, tidak ada orang yang lebih berilmu dan faqih daripadanya di jamannya. Dan ia juga disifati dengan ketinggian dlabth, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syubrumah dari Asy-Sya’biy sendiri, dimana ia berkata : “….Tidaklah seseorang yang meriwayatkan hadits kepadaku melainkan aku menghapalnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/323].

Pernyataan kami soal mudhtharib itu berdasarkan bukti bahwa Asy Sya’bi terkadang meriwayatkan hadis ini dari Rasul SAW, kemudian dari Ali dari Rasul SAW, kemudian dari Al Harits dari Ali dari Rasul SAW tidak masalah bagi kami jika nashibi itu mau menolak pernyataan mudhtharib. Yang aneh adalah nashibi itu membantah pernyataan mudhtharib  dengan menunjukkan ketsiqahan Asy Sya’bi, padahal telah ma’ruf diketahui kalau seorang yang tsiqat bisa saja mengalami idhthirab pada hadisnya, lagi-lagi ia menunjukkan sikap seolah-olah ia sangat awam dalam masalah ini. Jika kita menerapkan metode tarjih maka riwayat Asy Sya’bi itu adalah dari Al Haarits dari Ali, hanya inilah riwayatnya yang muttashil dan riwayat ini telah jelas kedhaifannya.

Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengambil riwayat dari beberapa orang dan menyampaikannya pada beberapa orang, sehingga diketahui hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan. Inilah madzhab jumhur ahli hadits. Contohnya banyak dalam kutub hadits dimana riwayat-riwayat mereka tidak dihukumi mudltharib. Oleh karena itu kita mengenal gharib nisbi (dalam mushthalah), yaitu keghariban yang terletak pada tengah sanad.

Perkataan Nashibi ini hanya basa-basi yang biasa dilontarkan oleh orang yang sudah kehabisan kata-kata. Pernyataannya “hadis ini mempunyai lebih dari satu jalan” hanyalah angan-angan semata [alias tidak ada buktinya]. Tidak ada riwayat Asy Sya’bi yang tsabit dalam hadis ini kecuali riwayatnya dari Al Haarits dari Ali. Pendapat yang rajih Asy Sya’bi mengambil hadis ini hanya dari Al Haarits dan tidak ada yang lain. Kesimpulannya riwayat Asy Sya’bi yang tsabit adalah riwayatnya dari Al Haarits yang dhaif dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah Al Haarits.

.

.

.

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib

Kami akan menyoroti pernyataan saudara nashibi yang terkesan agak lucu [jika para pembaca memperhatikan diskusi kami sebelumnya dengan saudara nashibi tersebut]

Lain halnya dengan Ibnu Ma’iin yang mendla’ifkannya dimana ia menyendiri di dalamnya. Ibnu Ma’iin ini merupakan imam yang tasyaddud dalam jarh sebagaimana dikenal. Oleh karena itu, jarh Ibnu Ma’in harus dilihat kesesuaiannya dengan imam yang lain. Lebih dikuatkan lagi bahwa jama’ah perawi tsiqaat telah meriwayatkan hadits darinya.

Silahkan para pembaca mengingat-ngingat kembali pembahasan soal hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarku maka bunuhlah ia”. Pada pembahasan hadis tersebut kami membawakan sanad Al Baladzuri yang jayyid. Saudara nashibi itu membantah dengan mencacatkan salah seorang perawinya yaitu Sallam Abul Mundzir padahal yang menjarh-nya hanya Ibnu Ma’in dan Sallam telah dita’dilkan oleh para ulama lain. Lucunya dahulu ia berpegang pada pendhaifan Ibnu Ma’in dan sekarang ia berkata Ibnu Ma’in terkenal tasyaddud dan jarh-nya harus disesuaikan dengan imam lain. Kemana perkataan ini ketika nashibi itu mencacatkan Sallam Abul Mundzir, aneh sekali bukan :mrgreen:

Intinya, nakarah itu harus dilihat. Dan di sini, nakarah yang ada nampak pada tambahan lafadh (“dan para pemudanya”), karena tambahan ini tidak dijumpai dalam jalan-jalan yang lain selain jalan ini – dimana ia dianggap bertentangan dengan hadits Al-Hasan dan Al-Husain (sebagai pemimpin pemuda ahli surga). Inilah yang diingkari dan dilemahkan. Bukan melemahkan semua lafadh haditsnya (daru ujung hingga akhir) dan kemudian menjatuhkan perawinya sekaligus.

Nashibi ini maaf tidak memahami dengan baik letak kemungkaran hadis Hasan bin Zaid. Lafaz “dan para pemudanya” adalah lafaz yang mungkar dan bertentangan dengan kabar yang shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena ia diperbincangkan dan dikenal meriwayatkan hadis-hadis yang diingkari, Jarh Ibnu Ma’in dan Ibnu Ady sangat sesuai dari sisi ini. Jadi Hasan bin Zaid tertuduh dalam hadis ini dan jelas sekali hadis mungkar ini tidak bisa dijadikan hujjah. Lagipula lafaz hadis tersebut “Sayyid Kuhul dan Syabab ahli surga” menunjukkan kalau ahli surga itu ada dua macam yaitu syabab dan kuhul atau dari lafaz tersebut terdapat makna kalau kuhul itu berbeda dengan syabab dan di surga nanti akan ada pemuda ahli surga dan kuhul [orang tua] ahli surga dan ini jelas bertentangan dengan hadis shahih bahwa sifat ahli surga itu semuanya syabab [pemuda]. Sayang sekali saudara itu tidak bisa melihat dengan jelas kemungkaran yang ada dalam hadis Hasan bin Zaid.

Lagi pula, dalam Asy-Syarii’ah (3/68-69 no. 1376), tidak ada tambahan lafadh (“dan para pemudanya”); sehingga dapat dipahami kesalahan penambahan itu bukan berasal Al-Hasan bin Zaid.

Apalagi perkataan yang satu ini, sungguh tidak ada nilainya. Apakah ia mau menafikan kalau Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Asakir dengan jelas menyebutkan lafaz “dan para pemudanya”. Jika dikumpulkan semua hadis Hasan bin Zaid maka lafaz “Sayyid kuhul dan para pemudanya” memang ada dalam riwayat Hasan bin Zaid. Kemudian jika penambahan itu bukan berasal dari Al Hasan bin Zaid maka berasal dari siapa? Siapa yang akan ia tuduh? Wahb bin Baqiyah, Umar bin Yunus, Abdullah bin Umar atau Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Asakir?. Dan silakan para pembaca menilai bagaimana kedudukan seorang perawi jika ia menambah-nambah lafaz bathil mungkar dalam suatu hadis. Kesimpulannya hadis ini mungkar dan tidak bisa dijadikan i’tibar.

.

.

.

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Zirr bin Hubaisy

Namun ada satu jalur riwayat lain yang tersisa, yaitu jalur yang disebutkan oleh Penulis Rafidliy dalam tulisannya: Diriwayatkan dalam Fawaid Abu Bakar Asy Syafi’i no 4 dengan jalan sanad dari Mufadhdhal bin Fadhalah Al Qurasy dari ayahnya dari Ashim dari Zirr dari Ali. Sanad ini tidak tsabit sampai ke Ashim karena Mufadhdhal adalah seorang yang dhaif sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar [At Taqrib 2/209].  Kelemahannya terletak pada Al-Mufadldlal. Ia dla’iif dari sisi hapalannya, jika merujuk pada perkataan An-Nasaa’iy (laisa bil-qawiy), Abu Haatim (yuktabu hadiitsuhu), dan Ibnu Hajar yang dibawakan yang bersangkutan.

Nashibi ini maaf terbiasa mencari-cari dalih untuk membela diri. Salah satu dalihnya adalah ia dengan mudah mengatakan Mufadhdhal itu dhaif dari segi hafalannya. Perkataan Nasa’i “tidak kuat” pada asalnya adalah perkataan yang bersifat jarh [cacat] tetapi karena beliau dikenal tasyaddud maka bisa saja ditafsirkan ini berarti hadis perawi tersebut hasan dan kedhaifannya terletak pada hafalannya tetapi tentu saja penafsiran ini dipakai kalau perawi yang dimaksud telah tetap penta’dilannya oleh ulama lain yang mu’tabar. Begitu pula dengan perkataan Abu Hatim “ditulis hadisnya” bukanlah suatu ta’dil yang mu’tamad karena telah ma’ruf bahwa para perawi dhaifpun ditulis hadisnya.

Ibnu Hajar dalam At Taqrib menyebutkan dengan perkatan “dhaif”. Di sisi Ibnu Hajar [dalam At Taqrib] jarh ini berada pada tingkatan kedelapan yaitu perawi dimana tidak ada ulama mu’tabar yang mentautsiq-nya, dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan i’tibar. Begitu pula disebutkan dalam Tahrir At Taqrib no 6857 dimana penulis menyepakati pendapat Ibnu Hajar yang menyatakan “dhaif” dan dalam muqaddimah disebutkan bahwa perkataan “dhaif” saja tanpa perkataan “yu’tabaru bihi” berarti perawinya dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah dan syawahid. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa 4/243 no 1835 dan Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 3400.

Lagipula komentar nashibi itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia hanya mencari-cari pembelaan tanpa meneliti sanad tersebut. Dalam hadis di atas disebutkan Mufadhdhal meriwayatkan dari ayahnya yaitu Fadhalah bin Abi Umayyah yang tidak dikenal kredibilitasnya dan tentu menurut metode saudara nashibi itu Fadhalah bin Abi Umayah jelas seorang yang majhul. Jadi bagaimana bisa hadis dengan cacat seperti ini dijadikan i’tibar.

.

.

.

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Ali bin Husain bin Abi Thalib

Ibnu Hajar dalam At-Taqriib mengatakan bahwa sebagian ahli hadits membedakan antara Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Jud’aaniy (terkenal dengan : Al-Jud’aaniy) dan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah Al-Jud’aaniy Abu Ghiraarah (terkenal dengan : Abu Ghiraarah). Dua-duanya Al-Jud’aaniy, namun yang lain lebih terkenal dengan Abu Ghiraarah. Yang pertama matruuk, yang kedua layyin. Al-Mizziy mengatakan diantara ulama yang membedakan kedua orang tersebut adalah Ibnu Abu Haatim. Dan saya cenderung pada pembedaan ini. Abu Haatim saat mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Al-Jud’aaniy (7/no. 1695) mengatakan dla’iif. Sedangkan ketika mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Bakr bin Abi Mulaikah (7/no. 1696), mengatakan : “Syaikh” (ta’dil tingkat rendah). Dan nama kedua inilah yang dita’dil oleh Ahmad dan Abu Zur’ah dengan perkataannya laa ba’sa bihi [Al-Jarh wat-Ta’dil 7/no. 1696]. An-Nasa’iy saat mengatakan matruuk, maka ia mengalamatkannya pada Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah [lihat Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, no. 524]. Begitu pula dengan Al-Bukhaariy, saat men-jarh dengan munkarul-hadiits, maka ia menisbatkannya pada Al-Jud’aaniy (Ash-Shaghiir no. 2350). Sedangkan Abu Ghiraarah, maka Al-Bukhariy tidak memberikan komentarnya (idem, no. 2204). Begitu pula dengan Ad-Daaruquthniy. Saat menjarh-nya dengan memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun (no. 456), ia adalah Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah.

Ibnu Abi Hatim memang membedakan Al Jud’aniy dan Abu Ghirarah tetapi pernyataan ini jelas keliru. Pendapat yang rajih justru keduanya adalah satu orang yang sama seperti yang diisyaratkan Al Mizzi, Ibnu Ady, Al Khatib, Al Uqaili, dan Adz Dzahabi. Mari perhatikan apa yang ditulis Ibnu Abi Hatim

  • Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ Al Junadi dari Mujahid, meriwayatkan darinya Abdul Humaid dan Ibnu Abi Uwais [Al Jarh Wat Ta’dil 7/311 no 1695]
  • Muhammad bin Abdurrahman Abu Ghirarah Al Qurasy Al Jud’aaniy At Taimiy suami Jabrah, ia adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah meriwayatkan dari Musa bin Uqbah, Ubaidillah bin Umar, Muhammad bin Al Munkadir dan meriwayatkan dari ayahnya dari Qasim bin Muhammad. Telah meriwayatkan darinya Abu Ashim, Ismail bin Abi Uwaid, Musaddad dan Ibrahim bin Muhammad Asy Syafi’i. [Al Jarh Wat Ta’dil 7/311 no 1695]

Kedua orang ini sama-sama Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar, keduanya penduduk kota yang sama, keduanya sama-sama memiliki nasab Al Jud’aaniy dan sama-sama telah meriwayatkan darinya Ismail bin Abi Uwais. Hal ini merupakan petunjuk bahwa keduanya adalah satu orang.

Rekan nashibi itu mengatakan kalau yang dijarh oleh Bukhari dengan “munkar al hadis” adalah Al Jud’aaniy bukan Abu Ghirarah. Silakan perhatikan apa yang disebutkan Bukhari dalam Tarikh As Shaghiir

  • Muhammad bin Abdurrahman Al Jud’aaniy meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar, telah mendengar darinya Ismail bin Abi Uwais, “munkar al hadits” Al Jud’aaniy Ibnu Abi Bakar Al Qurasy. Kemudian Bukhari menyebutkan kalau ia meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ dan dia adalah suami Jabrah [Tarikh As Shaghiir juz 2 no 2350]
  • Muhammad bin Abdurrahman Abu Ghirarah Al Qurasy dia Ibnu Abi Mulaikah At Taimiy Al Jud’aaniy meriwayatkan darinya Abu Ashim dan Musaddad. Mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Qasim dari Aisyah. Bukhari juga menyebutkan ia meriwayatkan dari Ubaidillah dan Sulaiman bin Mirqa’ [Tarikh As Shaghiir juz 2 no 2204]

Orang yang dijarh “munkar al hadis” oleh Bukhari adalah Muhammad bin Abdurrahman Al Jud’aaniy yang meriwayatkan dari Ubadillah bin Umar dan dia adalah suami Jabrah. Dan kalau menurut Abu Hatim yang meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dan merupakan suami Jabrah adalah Abu Ghirarah. Abu Hatim menyebutkan kalau yang meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ adalah Al Jud’aaniy tetapi Bukhari justru menyebutkan kalau Abu Ghirarah meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’. Hal ini menunjukkan kalau sebenarnya Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah itu adalah orang yang sama.

Daruquthni menyebutkan Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Makki Al Qurasy Al Jud’aaniy meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, Ubaidillah bin Umar dan Ibnu Abi Mulaikah [Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 456]. Dan kalau melihat apa yang disebutkan Abu Hatim maka yang meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dan Ibnu Abi Mulaikah adalah Abu Ghirarah. Terkait dengan hadis yang kita perbincangkan yaitu hadis riwayat Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Mulaikah dari Ja’far bin Muhammad maka sangat jelas bahwa yang disebutkan oleh Daruquthni dengan Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Makki Al Qurasy Al Jud’aaniy adalah orang yang sama dengan Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Mulaikah Abu Ghirarah. Aneh sekali, rekan nashibi itu membaca tetapi tidak memahami.

Al Mizzi menyebutkan kalau mereka adalah satu orang yang sama sehingga keduanya ia sebutkan dalam satu biografi perawi dan menyatakan kalau ia meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ dan Ubaidillah bin Umar, telah meriwayatkan darinya Abdul Humaid bin Abi Uwais, Ismail bin Abi Uwais, Musaddad, Ibrahim Asy Syafi’i dan yang lainnya. Penyebutan ini menunjukkan bahwa Al Mizzi menganggap Al Jud’aani yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah orang yang sama dengan Abu Ghirarah. [Tahdzib Al Kamal no 5390]

Ibnu Ady menyatakan kalau Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah adalah orang yang sama. Keduanya memiliki nasab yang sama dan sama-sama penduduk Madinah [Al Kamil Ibnu Ady 6/189]

محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر الجدعاني مدني وقيل مكي هو المليكي قال البخاري هو منكر الحديث

Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy Al Madani dikatakan juga Al Makki, dia adalah Al Malaikiy, Bukhari berkata “munkar al hadis” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/101 no 1655].

Al Uqaili menyebutkan kalau Al Jud’aaniy adalah Al Malaikiiy dan dia yang dikatakan Bukhari “munkar al hadis”. Ini berarti menurut Al Uqaili Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah dan Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy adalah orang yang sama seorang perawi yang matruk.

Adz Dzahabi juga menganggap Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah sebagai orang yang sama. Ia memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya berkata “Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Malaikiy Al Jud’aaniy Abu Ghirarah suami Jabrah Al Khuzaiiyah seorang yang yang dhaif meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dan yang lainnya. Bukhari berkata “mungkar al hadist”. Ibnu Hibban berkata “tidak boleh berhujjah dengannya”. Ahmad bin Hanbal dan Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya” [Al Mughni Adh Dhu’afa 2/605 no 5732]

محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر بن أبي مليكة المليكي القرشي الجدعاني كنيته أبو غرارة منأهل المدينة زوج جبرة بنت محمد بن ثابت بن سباع يروي عن أبيه وعبيد الله بن عمر روى عنه أبو عاصم وابن أبي أويس كان ممن يروي المناكير عن المشاهير وينفرد عن الثقات بالمقلوبات لا يحتج به

Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abi Mulaikah Al Malaikiy Al Qurasy Al Jud’aaniy dengan kuniyah Abu Ghirarah termasuk penduduk Madinah. Menikah dengan Jabrah binti Muhammad bin Tsabit bin Saba’. Meriwayatkan dari ayahnya dan Ubaidillah bin Umar, telah meriwayatkan darinya Abu Ashim dan Ismail bin Abi Uwais. Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari para perawi masyhur dan menyendiri meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat yang terbolak balik, tidak boleh berhujjah dengannya [Al Majruhin juz 2 no 942]

Sudah jelas pendapat yang rajih adalah Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah merupakan satu orang yang sama yaitu perawi yang sangat dhaif, matruk dan munkar al hadis. Hadis dengan perawi seperti ini tidak bisa dijadikan i’tibar. Lucu sekali jika dikatakan bahwa yang rajih adalah membedakan keduanya. Padahal tidak ada bukti cukup untuk membedakan keduanya dan cukup banyak penunjukkan bahwa keduanya satu orang yang sama. Sepertinya orang itu hanya merajihkan sesuatu yang dapat menguatkan keyakinannya saja.

.

.

.

Hadis Anas bin Malik

Hadits ini didla’ifkan dengan sebab utama Muhammad bin Katsiir. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, tapi banyak salahnya (shaduuq, katsiirul-ghalath)” [At-Taqriib, hal. 891 no. 6291]. Pelemahan ini disebabkan dari sisi buruknya hapalan. Jarh Al-Bukhariy dengan penghukuman hadits munkar sangat bisa dipertimbangkan dari sebab ini. Namun perlu saya ingatkan kepada rekan-rekan semua bahwa penghukuman oleh seorang ulama terhadap satu hadits dengan hadits munkar, tidak mengkonsekuensikan perawinya disebut munkarul-hadiits

Muhammad bin Katsir adalah perawi yang dhaif dan dapat dijadikan i’tibar tetapi hadis ini termasuk bagian dari kemungkarannya sehingga tidak layak dijadikan i’tibar. Hadis Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas telah diingkari oleh Ali bin Madini dan Bukhari berkata “hadis mungkar” sebagaimana yang dikutip dalam Al Mukhtarah. Apalagi Ahmad bin Hanbal sangat melemahkannya dan menyatakan kalau ia “munkar al hadis”. Diantara hadis-hadis mungkar yang ia riwayatkan adalah riwayatnya dari Ma’mar dan riwayatnya dari Al Auza’iy. Ibnu Ady mengatakan ia meriwayatkan hadis dari Ma’mar dan Al Auzaiy yang tidak diikuti oleh satu orang pun [Tahdzib Al Kamal no 5570]

Kita perlu melihat, apa sebab pengingkaran Al-Bukhariy ini. Ia menyebutkan bahwa hadits ini sebenarnya hadis Qatadah dari Mutharrif dari ‘Imraan bin Hushain. Namun ini juga perlu kita kritisi. Sepanjang pengetahuan saya ditambah lagi memperhatikan tulisan rekan Rafidliy tersebut, tidak ada jalan riwayat yang menyebutkan dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu dalam kitab-kitab hadits. Jadi, kritik bahwa sanad Muhammad bin Katsiir ini keliru perlu ditinjau kembali.

Sepertinya saudara nashibi ini salah memahami apa yang kami sampaikan. Kami menyatakan hadis Muhammad bin Katsir dhaif mungkar karena kedudukan Muhammad bin Katsir yang dhaif yu’tabaru bihi dan diantara kedhaifannya karena ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari Ma’mar dan Al Auzaiy. Hadis “Sayyid Kuhul” riwayat Muhammad bin Katsir adalah riwayatnya dari Al Auzaiy dan diingkari oleh Ali bin Madini dan Bukhari berkata “hadis mungkar”.

Sedangkan hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain adalah hadis lain, kami membawakan contoh lain dimana Muhammad bin Katsir meriwayatkan hadis mungkar dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas. contoh hadis tersebut kami kutip dari Ilal Tirmidzi, disana Bukhari telah melemahkan hadis Muhammad bin Katsir dan menyatakan sanad tersebut mungkar hadis itu bukan hadis Qatadah dari Anas tetapi hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Oleh karena itu Muhammad bin Katsir menjadi yang tertuduh meriwayatkan hadis mungkar tersebut. Kedudukan hadis mungkar sama halnya dengan hadis khata’ [salah]. Hadis yang mungkar jelas tidak bisa dijadikan hujjah atau dijadikan i’tibar.

Kalaupun misal bahwa ia merupakan sanad dari Muhammad bin Katsiir, dari Al-Auza’iy, dari Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain; maka ini kedudukan masih seperti semula. Sanad yang dianggap keliru dibawa kepada sanad yang benar.

Pernyataan ini jelas sangat aneh. Mengenai hadis lain dalam Ilal Tirmidzi, Bukhari mengatakan sanad Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas dikatakan mungkar dan yang tertuduh adalah Muhammad bin Katsir. Hadis tersebut bukan hadis Qatadah dari Anas tetapi hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Bukhari menyatakan hadis tersebut mungkar karena ia mengetahui kalau hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya dari Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Jadi Muhammad bin Katsir yang meriwayatkan hadis Qatadah dari Anas jelas keliru dan hadisnya dinilai mungkar sebagaimana definisi hadis mungkar adalah hadis perawi dhaif yang bertentangan dengan hadis perawi tsiqah atau shahih. Bagaimana mungkin seseorang akan berkata maka sanad tersebut harus dibawa kepada sanad yang benar yaitu Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Ini namanya membuat-buat sanad sendiri karena hadis Muhammad bin Katsir itu ya hadis Qatadah dari Anas bahkan ia jadi tertuduh karena meriwayatkan hadis mungkar tersebut.

Jika kita menuruti logika ngawur rekan nashibi itu maka sudah jelas tidak akan ada yang namanya perawi tertuduh meriwayatkan hadis mungkar. Lha iya kan semua hadis yang dikatakan mungkar bisa dibawa seenaknya ke sanad hadis yang benar menurut persepsi rekan nashibi itu. Sungguh aneh saya tidak melihat inti perkataannya kecuali hanyalah keinginannya untuk membantah tanpa dalil.

Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari sisi Muhammad bin Katsiir – baik menggunakan sanad di atas ataupun menggunakan asumsi koreksi dari Al-Bukhaariy sebagaimana disinggung oleh rekan Raafidliy tersebut. Bisa digunakan sebagai i’tibar.

Hadis Sayyid kuhul riwayat Muhammad bin Katsir adalah hadis dhaif dan tidak bisa dijadikan i’tibar karena Muhammad bin Katsir dikenal meriwayatkan hadis-hadis mungkar dan tidak diikuti oleh satu orang pun yaitu hadisnya dari Ma’mar dan dari Al Auzaiy. Jarh terhadapnya dari sisi ini bersifat mufassar dan didukung oleh bukti-bukti. Muhammad bin Katsir menyendiri meriwayatkan hadis Sayyid kuhul ini dari Qatadah dari Anas dan ini termasuk hadisnya dari Al Auza’iy yang diingkari oleh Ali bin Madini dan Bukhari. Hadis Muhammad bin Katsir dapat dijadikan I’tibar jika hadis tersebut bukan termasuk bagian dari kemungkarannya yaitu riwayatnya selain dari Ma’mar dan Al Auza’iy.

.

.

.

Hadis Abu Hurairah

Kesimpulan bagi Salm, ia adalah shaduq hasanul hadits. Inilah kesimpulan akhir dari para ulama saat menjamak beberapa pujian dan kritik padanya. Ada sedikit permasalahan dalam hapalannya. Ia memang pernah keliru dalam periwayatan hadits. Namun tidak semua riwayatnya menjadi salah. Tidak benar jika kemudian memutlakkan riwayatnya tidak diterima jika tidak ada mutaba’ahnya, karena orang yang tidak diterima karena kebersendiriannya adalah perawi yang memang asalnya dla’if. Sedangkan Salm bukan perawi dla’if.

Pernyataan ini hanya basa-basi yang tidak jelas arah tujuannya. Karena kami sendiri tidak mempermasalahkan penta’dilan yang dinyatakan para ulama kepada Salam Abu Qutaibah. Kami tidak pernah mengatakan riwayatnya mutlak tidak diterima. Kami mengutip bahwa ia dikatakan Abu Hatim melakukan banyak kesalahan dan kami menunjukkan salah satu kesalahannya adalah ia keliru dalam sanad hadis seperti yang diungkapkan Yahya. Kemudian kami menunjukkan bukti bahwa hadis Sayyid kuhul riwayat Abu Qutaibah ini keliru.

  • Abu Qutaibah meriwayatkan dengan dari Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi dari Abu Hurairah.
  • Waki’ bin Jarrah meriwayatkan dari Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi dari Ali
  • Ubaidillah bin Musa meriwayatkan dari Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi dari Ali.

Abu Qutaibah menyelisihi perawi yang lebih tsiqat dan lebih hafizh darinya yaitu Waki’ dan Ubaidillah bin Musa. Ia menyendiri meriwayatkan hadis tersebut dari Asy Sya’bi dari Abu Hurairah. Maka ia keliru dan penunjukkannya sangat jelas bagi orang yang mengerti ilmu hadis. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis Sayyid kuhul ahli surga riwayat Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi adalah riwayat dari Al Harits dari Ali. [Thabaqat Al Mudallisin no 66]

Sedangkan anggapan penyelisihan di sini, menurut saya kurang kuat penunjukkannya, sebab Asy-Sya’biy sendiri telah membawakan lebih dari satu jalan riwayat sebagaimana terlihat. Jadi ada kemungkinan bahwa ia benar-benar mengambil hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Wallaahu a’lam

Alasan ini sangat mengada-ada. Hadis sayyid kuhul riwayat Asy Sya’bi yang tsabit adalah riwayatnya dari Ali dan itupun melalui perantara Al Harits. Tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa Sya’bi membawakan hadis ini lebih dari satu jalan sebagaimana yang dikatakan rekan nashibi tersebut. Penunjukkannya sangat jelas disini karena Yunus bin Abi Ishaq menyebutkan hadis itu dari Asy Sya’bi dari Ali sebagaimana yang diriwayatkan Waki’ dan Ubaidillah sedangkan riwayat Abu Qutaibah menyelisihi riwayat dari perawi yang lebih tsiqat dan lebih hafiz darinya sehingga dinilai khata’ [keliru]. Hadis dengan sanad khata’ jelas tidak bisa dijadikan I’tibar.

.

.

.

Hadis Jabir bin Abdullah

Rekan Raafidliy tersebut mempermasalahkan syaikh dari Ath-Thabaraaniy yang bernama Al-Miqdaam bin Dawud. Banyak pembicaraan tentang perawi ini. Namun sayangnya, hanya dinukil jarh-nya saja. Saya bawakan perkataan lain dengan ringkas : An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif”. Ibnu Abi Haatim, Ibnu Yuunus, Ibnul-Qaththaan, dan Adz-Dzahabiy berkata : “Ia diperbincangkan”. Abu ‘Umar Al-Kindiy berkata : “Ia tidak mahmuud dalam riwayatnya, namun ia seorang faqih dan mufti”. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tidak mengapa dengan riwayat-riwayatnya”. Al-Mundziriy dan Ibnu Daqiiqil-‘Ied berkata : “Telah ditsiqahkan”. Al-Mas’uudiy berkata : “Ia termasuk fuqahaa yang terhormat, termasuk shahabat besar dari Maalik”. Ibnu Abi Dulaim berkata : “Ia mempunyai kedudukan yang tinggi, dan punya banyak riwayat”. Burhanuddin Al-Halabiy menafsirkan sebuah perkataan Adz-Dzahabiy bahwa ia telah mencacatnya dengan memalsukan salah satu riwayat yang dibawakan Al-Haakim. Al-Haitsamiy berkata : “Dla’iif”. Al-Albaniy kadang berkata : “Tidak tsiqah”; di lain tempat mengatakan : “Lemah sekali”; di lain tempat mengatakan : “Dla’iif”.

Mari kita analisis dengan baik perkataan jarh wat ta’dil terhadap Miqdam. Ia telah dinyatakan dhaif mutlak oleh Nasa’i dan Daruquthni, keduanya adalah ulama mu’tabar. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Yunus, Ibnu Qattan dan Adz Dzahabi berkata “ia dibicarakan”. Perkataan ini adalah salah satu bentuk jarh. Maslamah bin Qasim berkata “tidak masalah dengan riwayatnya” pernyataan ini tertolak karena Abu Umar Al Kindy mengatakan riwayatnya tidak mahmud bahkan Miqdam meriwayatkan hadis yang membuatnya menjadi tertuduh memalsu hadis seperti yang diisyaratkan Adz Dzahabi dan Abul Wafa’. Perkataan Al Mundziri dan Ibnu Daqiq “telah ditsiqahkan” tidak memiliki asal karena siapa yang menyatakan ia tsiqah? tidak ada ulama mu’tabar yang menyatakan ia tsiqat dan Al Haitsami menyatakan “dhaif”. Pujian bahwa ia seorang mufti dan seorang faqih tidak menunjukkan ‘adalah-nya dalam hadis karena sangat ma’ruf dikenal seorang faqih yang dhaif. Kedudukan tinggi yang dimaksud Ibnu Abi Dulaim jelas kedudukannya sebagai seorang mufti dan faqih. Perkataan “ia punya banyak riwayat” juga tidak menunjukkan ‘adalah sebagaimana perawi dhaif juga bisa memiliki banyak riwayat apalagi riwayat Miqdam dikatakan tidak bisa dijadikan pegangan.

Pendapat pertengahan dalam memperhatikan beberapa jarh dan ta’dil tersebut, statusnya adalah dla’iif saja [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy ilaa Taraajimi Syuyuukh Ath-Thabaraaniy, hal. 650-651].

Pendapat yang rajih adalah Miqdam seorang yang dhaif dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya. Tidak ada ulama yang menyatakan ia tsiqat atau menta’dilnya dengan ta’dil yang mu’tamad dan ia telah dinyatakan dhaif mutlak oleh Daruquthni dan Nasa’i. Kami menilainya dhaif jiddan disebabkan Miqdam tertuduh dalam riwayatnya seperti yang diisyaratkan Adz Dzahabi dan Abul Wafa’. Walaupun tidak dinyatakan dengan jelas ia pemalsu hadis tetapi ia menjadi tertuduh meriwayatkan hadis palsu.

Ini nampak karena jarh-jarh tersebut berasal dari kesalahan periwayatannya sebagai akibat jeleknya hapalan. Akibatnya, sebagian ulama mengkritiknya dengan keras. Namun ia sendiri bukan pendusta, karena tautsiq yang diberikan jumur ulama terletak pada kedudukannya dalam agama dan kefaqihan yang menunjukkan tetapnya ’adalah.

Tidak ada indikasi yang menunjukkan kedhaifan Miqdam berasal dari hafalan. Jarh yang disematkan kepadanya oleh ulama mu’tabar termasuk jarh dhaif mutlak dan tidak ada diantara ulama mu’tabar yang menyatakan ia tsiqat. Silakan  saja dikatakan kalau ia bukan seorang pendusta tetapi apakah setiap perawi yang dhaif itu mesti pendusta. Kemudian soal kedudukan faqih atau mufti itu tidak jelas menunjukkan ‘adalah sebagaimana hal yang ma’ruf seorang faqih bisa juga dhaif dalam hadis.

Kritik An-Nasa’iy sebagai seorang yang tidak tsiqah, sangat dipahami karena ia merupakan jajaran ulama yang keras dalam memberikan jarh. Kritik Adz-Dzahabiy sendiri sebenarnya hanya pada penisbatan kekeliruan ini padanya. Tidak secara sharih menyebutkan ia sebagai pemalsu. Kesimpulan ini juga dapat dibaca dalam Mukhtashar Istidrak Adz-Dzahabiy ‘alaa Mustadrak Al-Haakim, hal. 490.

Nasa’i tidak menyendiri dalam jarh-nya. Daruquthni juga menyatakan Miqdam dhaif. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi tidak secara jelas menyebutnya pemalsu hadis tetapi Miqdam telah meriwayatkan hadis yang dinyatakan palsu oleh Adz Dzahabi. Oleh karena itu Abul Wafa’ memasukkannya ke dalam jajaran para pemalsu hadis atau tertuduh pemalsu hadis dalam kitabnya Kasyf Al Hatsits. Seandainya nashibi itu ingin menolak tuduhan terhadap Miqdam maka seharusnya ia membawakan bukti yang menunjukkan hal itu. Kesimpulan kami Miqdam adalah perawi yang dhaif dan tertuduh meriwayatkan hadis palsu oleh karena itu kami menilainya dhaif jiddan [bahkan Syaikh Al Albani juga menilainya dhaif jiddan]. Hadis Jabir ini tidak bisa dijadikan i’tibar.


.

.

.

Hadis Abu Juhaifah

Tentang Khunais, maka telah disebutkan bahwa telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan yang bersamaan dengan itu jama’ah perawi meriwayatkan darinya. Selain itu, Ahmad bin Shaalih mendla’ifkannya. Khunais ini mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdul-Qudduus. Ia dianggap lemah oleh rekan Rafidliy kita. Padahal, ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hajar (yang mengambil ta’dil Abu Haatim : laa ba’sa bih) dan Adz-Dzahabiy. Juga Ibnu Hibbaan. Adapun menolak ‘Abdul-Qudduus dengan alasan bahwa Ahmad, Ibnu Ma’in dan Abi Khaitsamah tidak menghiraukan/menolak hadisnya; maka ini tidak berterima. Sebab jarh seperti ini merupakan jenis jarh yang tidak mu’tamad, khususnya jika telah tegak tautsiq dari imam yang lain. Tidak diterimanya hadits oleh seorang imam masih banyak mengandung kemungkinan, sebagaimana banyak dijelaskan dalam buku-buku ilmu hadits.

Tentang Khunais ia ditsiqatkan oleh Ibnu Hibban dan didhaifkan oleh Shalih bin Jazarah. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya mengutip pendhaifan Shalih bin Jazarah. Hal ini berarti Adz Dzahabi lebih mendahulukan pendhaifan Shalih bin Jazarah dibanding tautsiq Ibnu Hibban. Bukankah menurut salafy nashibi itu dalam tulisan terbarunya soal hadis Tsaqalain pendapat Adz Dzahabi perlu dipertimbangkan. Nah Adz Dzahabi sendiri memasukkannya kedalam kitab perawi dhaif. Kalau nashibi itu bisa mudah mendhaifkan Zaid bin Hasan Al Anmathi  lha kok sekarang ia menta’dilkan Khunais padahal Zaid bin Hasan lebih kuat kedudukannya dibanding Khunais mengingat Zaid telah dita’dilkan Ibnu Hibban dan Tirmidzi dan dicacatkan Abu Hatim yang terkenal tasyadud, sedangkan Khunais hanya dita’dilkan oleh Ibnu Hibban dan didhaifkan oleh Shalih bin Jazarah.

Tentang Abdul Quddus, Bukhari memasukkannya dalam Adh Dhu’afa, Ahmad Ibnu Main dan Abi Khaitsamah menolak hadisnya. Anehnya rekan nashibi itu mengatakan jarh ini tidak mu’tamad, memangnya perkataan Abu Hatim “la ba’sa bihi” adalah suatu tautsiq yang mu’tamad!. Bukankah menurut Abu Hatim lafaz tersebut menunjukkan kalau perawi yang dimaksud ditulis hadisnya, diteliti dan bisa dijadikan i’tibar tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Bagi kami dengan mengumpulkan pendapat para ulama terdahulu tentangnya maka kedudukan Abdul Quddus seperti yang disebutkan dalam Tahrir At Taqrib yaitu “dhaif yu’tabaru bihi”. Khunais dan Abdul Quddus  yang pada keduanya ada kedhaifan [selain itu mereka dikenal bersaudara] meriwayatkan dari Malik bin Mighwal dan mereka menyelisihi para perawi tsiqat dan hafizh. Jelas sekali hadis mereka tidak bisa dijadikan hujjah.

Dua jalur periwayatan ini sudah cukup kuat. Namun lagi-lagi ia dikonfrontasikan dengan jalur lain yang dianggap berselisihan, yaitu : Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Husyaim bin Basyir dan Syu’aib bin Harb. Rupa-rupanya rekan kita merasa aneh dengan seorang perawi perawi yang mempunyai beberapa jalan sanad (sama seperti kasus Asy-Sya’biy) sehingga gampang sekali menghukumi “menyelisihi”. Termasuk dalam kasus poros sanad Maalik bin Mighwal.

Kami tidak perlu berbasa-basi, langsung saja sebenarnya untuk menyatakan kalau seorang perawi meriwayatkan hadis dari berbagai jalan maka harus ditetapkan dulu kalau hadis tersebut memiliki sanad yang tsabit hingga ke perawi tersebut. Kemudian dilihat bagaimana kesesuaiannya dengan para perawi lain yang lebih tsiqat. Oleh karena itu dalam ilmu hadis dikenal istilah “sanad yang mungkar” dan sanad yang khata’. Sanad yang mungkar jika diriwayatkan oleh perawi dhaif dan menyelisihi perawi tsiqat. Sanad yang khata’ jika diriwayatkan oleh perawi shaduq atau tsiqat dan menyelisihi perawi-perawi yang lebih tsiqat darinya. Dengan kaidah inilah kami menyatakan hadis di atas mungkar.

Dengan mengumpulkan jalan-jalannya maka diketahui kalau hadis Sayyid kuhul diriwayatkan dari Malik bin Mighwal oleh banyak perawi yaitu Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Husyaim bin Basyir, Syu’aib bin Harb, Khunais dan Abdul Quddus. Ketiga perawi pertama adalah perawi yang tsiqat dan hafizh dan mereka meriwayatkan dengan jalan dari Malik bin Mighwal dari Asy Sya’bi sedangkan Khunais dan Abdul Quddus meriwayatkan dengan jalan dari Malik bin Mighwal dari A’un dari Abu Juhaifah. Mereka berdua memiliki kedhaifan [dan mereka dua bersaudara] seperti yang telah disebutkan dan mereka telah menyelisihi jama’ah [3 orang] yang meriwayatkan dari Malik bin Mighwal. Kuat penunjukkannya kalau hadis Malik bin Mighwal yang tsabit adalah riwayatnya dari Asy Sya’bi karena satu-satunya hadis Sayyid Kuhul yang tsabit adalah hadis Asy Sya’bi. Baik Khunais dan Abdul Quddus seharusnya menjadi yang tertuduh dalam hadis ini karena meriwayatkan sanad yang mungkar.

Alasan naïf rekan nashibi “bahwa perawi bisa saja memiliki banyak jalan” mungkin bisa disodorkan kepada kaum awam yang tidak pernah belajar ilmu hadis. Kami katakan bahwa setiap perawi bisa saja memiliki banyak jalan, lantas apakah dengan begitu tidak ada yang namanya sanad mungkar atau sanad khata’. Silakan perhatikan contoh hadis Ilal Tirmidzi sebelumnya,

  • Bukhari mengatakan hadis Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas sebagai hadis mungkar dan yang benar adalah hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran. Lha bukankah Qatadah bisa saja meriwayatkan hadis dari Anas dan juga dari Mutharrif kok Bukhari bisa berkata “mungkar”.
  • Atau contoh yang kami sebutkan sebelumnya yaitu Abu Qutaibah meriwayatkan hadis dari Syu’bah dari Abi Imran dari Anas. Kemudian Yahya bin Sa’id menyatakan Abu Qutaibah salah dan sanad yang benar adalah dari Syu’bah dari Abi Maslamah dari Anas. Bukankah Syu’bah bisa saja meriwayatkan dari Abu Imran dan Abu Maslamah, lantas kenapa Yahya bin Sa’id menyatakan salah.

Apakah Bukhari dan Yahya bin Sa’id tidak tahu kalau “perawi hadis bisa saja memiliki banyak jalan”?. Ini hanya sedikit contoh dari sekian banyak contoh hadis yang dinilai sanadnya khata’ atau mungkar. Intinya penilaian sanad khata’ atau mungkar dilihat dari kedudukan perawi yang meriwayatkan dan kesesuaiannya dengan banyak perawi lain yang tsiqat. Jika perawi tersebut diperselisihkan kedudukannya dan ternyata ia menyelisihi banyak perawi lain yang lebih tsiqat maka sanadnya dinilai mungkar. Hadis mungkar atau khata’ jelas tidak bisa dijadikan i’tibar

Telah sedikit saya singgung hal ini di awal komentar/sanggahan. Saya pikir, rekan kita ini perlu mencermati bagaimana thariqah ulama dalam menghimpun sanad hadits. Tambahan lagi, saya tidak menemui penghukuman “menyelisihi” ini dari para muhaqqiq yang masyhur seperti Syu’aib Al-Arna’uth, Washiyullah ‘Abbas, Basyar ‘Awwaad, dan Al-Albaaniy. Ini bukan sekedar taqlid, tapi sekedar perbandingan saja.

Silakan, silakan kami tidak pernah memaksa siapapun harus menerima penjelasan kami. Yang perlu diperhatikan adalah para ulama muhaqqiq dalam menilai suatu hadis berdasarkan metode yang dikenal dalam ilmu hadis. Nah kami berpegang pada metode yang dimaksud. Jika metode yang benar menunjukkan demikian maka tidak ada gunanya berhujjah dengan perkataan ulama. Justru perkataan ulama itu yang perlu dinilai apakah sesuai atau tidak dengan metode yang benar. Bukankah ini manhaj dari thalabul ilmi.

Dan rekan-rekan semua bisa turut menelitinya. Dilihat dari dhahir sanadnya saja terlihat bahwa Maalik bin Mighwal ini punya dua jalan periwayatan, yaitu dari Asy-Sya’biy dan ‘Aun, sehingga ia menyampaikan kepada perawi yang berbeda di waktu yang berbeda pula.

Dan silakan pula bagi rekan-rekan yang mampu, untuk menampilkan satu saja sanad yang dinilai khata’ atau mungkar oleh para ulama. Kami akan menerapkan metode rekan nashibi itu dan rekan-rekan semua akan melihat bahwa tidak akan ada yang namanya hadis mungkar atau hadis khata’ karena zhahir sanad menunjukkan kalau para perawi tersebut memiliki banyak jalan periwayatan dan memang demikianlah periwayatannya. Mungkin ada baiknya nashibi itu menghapus istilah sanad mungkar atau sanad khata’ dalam Ulumul hadis.

.

.

.

Hadis Abu Sa’id Al Khudri RA

Nashibi itu mengatakan hadis Abu Sa’id dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kami katakan pernyataan ini keliru. Di sisi kami kedhaifan hadis ini terletak pada Ali bin Abis dan ia perawi yang dhaif. Kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya. Tidak ada satupun ulama mu’tabar yang menyatakan ia tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Ady dan Al Azdi menyatakan ia dhaif. [At Tahdzib juz 7 no 571]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 1/697]. Perkataan Ibnu Hajar “dhaif” di sisinya adalah jarh pada tingkatan kedelapan yang tidak bisa dijadikan mutaba’ah dan syawahid. Yang sungguh aneh bin ajaib adalah pada tulisan nashibi itu, ia tidak hanya melemahkan Ali bin Abis tetapi juga melemahkan Athiyyah Al ‘Aufiy [sebagaimana di dalam tulisan talbisnya yang terbaru soal hadis Tsaqalain ia juga mendhaifkan Athiyyah]. Jadi di sisi nashibi itu jelas hadis ini diriwayatkan oleh dua orang perawi dhaif lantas bagaimana bisa ia menyatakan hadis ini dijadikan i’tibar.

Hal lucu lainnya terkait metode yang digunakan nashibi itu adalah pada tulisan terbarunya soal hadis Tsaqalain ia menyatakan kalau Muhammad bin Humaid yang dikenal dhaif tidak bisa dijadikan mutaba’ah padahal kedudukan Muhammad bin Humaid ini tidak jauh beda dengan Al Harits [bahkan mungkin penta’dilan terhadap Muhammad bin Humaid lebih banyak dari pada penta’dilan terhadap Al Harits]. Nah disini ia dengan mudahnya menjadikan hadis Al Harits sebagai mutaba’ah. Ini kan akal-akalan seenaknya. Kami berpanjang lebar membahas hal ini hanya untuk meluruskan keanehan gaya ilmu hadis versi salafy nashibi yang kesannya mengatasnamakan “metode ilmiah”.

Tingkah nashibi ini bisa dibilang cukup dikenal jika rekan-rekan sering mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salafy [terutama jika kitab tersebut adalah serangan terhadap ulama lain]. Para pembaca akan melihat bagaimana ulama salafy begitu ketatnya dalam menilai hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh ulama yang mereka tentang tetapi jika itu terkait dengan keyakinan dan doktrin mereka maka mereka bermudah-mudahan dalam menilai hadis. Seolah-olah hanya mereka saja yang belajar ilmu hadis

.

.

.

Pembahasan Matan Hadis Yang Bathil

Selanjutnya kami akan membahas masalah matan hadis tersebut. Secara zahir matan hadis tersebut menyebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar akan menjadi Sayyid kuhul [orang tua] ahli surga. Hadis ini zhahir matannya mungkar karena bertentangan dengan dua hadis shahih atau jayyid

  • Hadis pertama adalah hadis jayyid yang menyebutkan kalau sifat ahli surga adalah syabab bukannya kuhul
  • Hadis kedua adalah hadis shahih yang menyebutkan kalau Sayyid syabab ahli surga adalah Al Hasan dan Al Husain.

Karena di surga tidak ada kuhul melainkan semua penduduknya adalah syabab dan Sayyid bagi mereka Al Hasan dan Husain maka hadis Abu Bakar dan Umar sayyid kuhul ahli surga adalah hadis dengan matan bathil mungkar. Para ulama yang berhujjah dengan hadis ini berusaha mentakwilkan makna kuhul yang dimaksud dalam hadis tersebut. Diantaranya

  • Kuhul secara bahas bermakna usia diantara 30-50 tahun. Jadi penduduk surga yang usianya diantara 30-50 tahun disebut kuhul. Takwilan ini sudah jelas bathil karena penduduk surga atau para pemudanya memiliki usia yang sama dan mereka disifatkan oleh Rasulullah SAW dengan sebutan syabab bukannya kuhul.
  • Ada pula yang mengatakan maknanya adalah bahwa Abu Bakr dan ‘Umar pemimpin bagi penduduk surga yang saat di dunia meninggal saat mencapai usia tersebut [30-50 tahun]. Takwilan ini juga mengandung keanehan. Karena dalam hadis tersebut terdapat lafaz “dari kalangan terdahulu dan kemudian”. Bukankah kalangan terdahulu usianya bisa jauh sekali dari 30-50 bahkan ada yang sampai ratusan tahun?. Lagipula seandainya orang di dunia tersebut meninggal pada usia 30-50 tahun ia pun akan dibangkitkan dalam bentuk syabab ahli surga dan Sayyid bagi mereka adalah Al Hasan dan Al Husain.
  • Ada yang mengatakan maknanya adalah Abu Bakr dan ‘Umar merupakan pemimpin bagi penduduk surga yang berakal lagi baligh, yaitu ini keadaan umum atau sifat bagi penduduk surga (yang Allah masukkan dalam keadaan berakal dan baligh). Takwilan ini pun juga hanya dicocok-cocokkan saja atau sekedar dicari-cari. Penduduk surga yang berakal lagi baligh itu disifatkan oleh Rasulullah SAW dengan kata Syabab bukannya Kuhul dan Sayyid bagi mereka adalah Al Hasan dan Al Husain sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis yang shahih.

Kesimpulannya takwilan seperti apapun tetap bertentangan dengan hadis yang shahih dan tsabit yaitu para ahli surga adalah syabab dan hadis Al Hasan dan Al Husain Sayyid Pemuda Ahli Surga. Hadis Sayyid Kuhul Ahli Surga matannya bathil atau mungkar.

.

.

.

Kesimpulan Pembahasan

Dari pembahasan yang panjang lebar di atas dapat dibuat ringkasan sebagai berikut

  • Hadis Ali dari Jalur Asy Sya’bi dhaif karena Al Harits [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya]
  • Hadis Ali dari Jalur Hasan bin Ali dhaif mungkar karena Hasan bin Zaid
  • Hadis Ali dari Jalur Zirr bin Hubaisy dhaif karena Mufadhdhal bin Fadhalah [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya]
  • Hadis Ali dari Jalur Ali bin Husain bin Ali dhaif jiddan karena Abu Ghirrah Al Jud’aaniy seorang yang matruk
  • Hadis Anas bin Malik dhaif mungkar karena kedhaifan Muhammad bin Katsir [hadisnya dari ‘Al Auzaiy termasuk hadis mungkar yang tidak memiliki mutaba’ah]
  • Hadis Abu Hurairah dhaif khata’ karena Abu Qutaibah terbukti keliru
  • Hadis Jabir bin Abdullah dhaif jiddan karena Miqdam bin Dawud [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya dan ia tertuduh meriwayatkan hadis palsu]
  • Hadis Abu Sa’id  dhaif karena Ali bin Abis seorang yang dhaif [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya]

Hadis mungkar dan khata’ jelas tidak bisa dijadikan i’tibar. Sedangkan hadis lain sanadnya dhaif jiddan dan dhaif diriwayatkan oleh para perawi yang dhaif pada sisi ‘adalah-nya. Ditambah lagi matan hadis ini secara zhahir bathil atau mungkar [bertentangan dengan hadis shahih] dan tidak ada satupun pentakwilan yang bisa diterima. Kesimpulan ; Hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga berstatus Dhaif.

5 Tanggapan

  1. @Kalo secondprince sdh menulis artikel/topik..hati hati lah…
    karena dia pumyak namyak peluru dan jebakan betmen yg bisa bikin anda malu…
    seperti kasus diatas..bgmn mas ibnu jauza…

  2. Biarkan Nashibi berbicara ttg kejahilan dan kesesatan mazhabnya. Tdk ada org yg mau menganut paham Nashibi selain orang2 yg telah dipastikan celaka.

  3. @syiahindonesia1
    xixixi ….ane emang ketawa jika syiah sedang mengambil riwayat dari KELEDAI …. ntar dari hewan mana lagi yang mereka ambil tuk dijadikan sandaran hadits SHAHIH LAGI… bener2 dah syiah emang TOP dech ancung 2 jempol (dalam masalah non logika)., gimana enggak… wong agamanya aja dibuat dari kedustaan, jadi yah harap maklum ajalah kita2 disini. udah ah cabut dulu ntar lama2 bise ketularan syiah rafidha neh (ntar mau nyari lokasi tempat temen jadi nanya ama kucing dech) …

  4. @abu jufri
    gt aja ngomongnya? trus kabur?? tidak ada pembuktian dari omongannya….?? maaf ya… semua manusia yang tak punya akal pun bisa ngomong begitu

  5. […] kami buat untuk membahas hadis ini. Takhrij Hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga dan Pembelaan Salafy Nashibi Terhadap hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga. Silakan dilihat dan bandingkan siapa yang berpegang pada kaidah ilmu hadis dan siapa yang sekedar […]

Tinggalkan komentar