Ahlul Bait Jaminan Keselamatan Dunia Akhirat : Membantah Syubhat Salafy Nashibi

Ahlul Bait Jaminan Keselamatan Dunia Akhirat : Membantah Syubhat Salafy Nashibi

Hadis Tsaqalain adalah hadis shahih yang sangat memberatkan kaum Nashibi. Di dalam hadis tersebut terdapat keutamaan besar dan agung yang dimiliki Ahlul Bait. Hadis Tsaqalain menyebutkan kalau “Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW” adalah pedoman bagi umat islam dan keduanya selalu bersama tidak akan berpisah sampai kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh. Pengikut Nashibi dan sebagian orang yang terjangkiti virus nashibi merasa berat untuk menerima hadis ini. Di antara mereka bermunculan “ulama aneh” yang berusaha mendhaifkan hadis Tsaqalain dan Alhamdulillah usaha mereka gagal dan hanya menunjukkan minimnya ilmu atau niatnya yang buruk. Ketika mereka tidak sanggup membantah keshahihan hadis Tsaqalain maka mereka membuat makar baru dengan menyebarkan syubhat-syubhat yang bertujuan menolak status Ahlul Bait sebagai pedoman umat. Menurut mereka hadis Tsaqalain hanya menunjukkan perintah berpegang teguh kepada Kitab Allah SWT saja.

Sebelumnya kami telah membahas dengan panjang lebar hadis-hadis Tsaqalain yang dapat dijadikan hujjah. Seperti biasa ada pengikut salafy nashibi menanggapi tulisan kami dengan berbagai syubhat yang maaf, tidak ada nilainya sama sekali. Insya Allah kami akan meluruskan syubhat-syubhat tersebut.

Perlu diketahui bahwa hadis Tsaqalain masyhur diucapkan oleh Al Imam yang mulia Rasulullah SAW di ghadir-khum yaitu ketika Rasulullah SAW berkhutbah kepada para sahabatnya. Dimana khutbah tersebut Rasulullah SAW memegang tangan Imam Ali dan menyatakan Imam Ali sebagai Mawla bagi kaum mukminin serta menetapkan Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW sebagai pedoman umat. Oleh karena itu sangat masuk akal untuk dikatakan kalau hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat termasuk Imam Ali sendiri. Dan tentu saja Imam Ali sebagai pihak yang memiliki kisah tersebut [shahibul qishshah] adalah orang yang paling paham dan orang yang riwayatnya paling tsabit dalam perkara ini.

حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ  يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا  بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Marzuq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amir Al Aqadiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Katsir bin Zaid dari Muhammad bin Umar bin Ali dari Ayahnya dari Ali bahwa Nabi SAW berteduh di Khum kemudian Beliau keluar sambil memegang tangan Ali. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya” atau [Rasul SAW berkata] “maka Ali sebagai mawlanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 3/56]

Selain Imam Ali hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang tsabit dari Zaid bin Arqam RA. Dimana Zaid bin Arqam RA meriwayatkan hadis tersebut kepada Abu Thufail, Yazid bin Hayyan dan Muslim bin Shubaih. Berikut riwayat Muslim bin Shubaih yang kami nilai sebagai sanad yang paling shahih dari Zaid bin Arqam RA.

حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah  dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536]

.

.

Syubhat pertama salafy untuk menolak Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam adalah berhujjah dengan hadis Zaid bin Arqam riwayat Yazid bin Hayyan yang hanya menyebutkan lafaz berpegang teguh pada kitab Allah SWT saja dan tidak untuk Ahlul Bait.

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad, keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah : Telah berkata Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyaan : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami – wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku [yaitu malaikat pencabut nyawa] akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain [dua hal yang berat], yaitu Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau berkata “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ [beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali]. Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’. [Shahih Muslin no 2408]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar bin Ar-Rayyaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan [yaitu Ibnu Ibraahiim], dari Sa’iid [yaitu Ibnu Masruuq], dari Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Dia [Yaziid] berkata “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya  ‘Sungguh kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah, shalat di belakang beliau dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyaan. Hanya saja dia berkata:  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Ketahuilah sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar. Salah satunya adalah Al Qur’an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.’ Juga di dalamnya disebutkan perkataan : Lalu kami bertanya “Siapakah ahlu baitnya, bukankah istri-istri beliau?”. Dia menjawab “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlul-bait beliau adalah, keturunan dan keluarga beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat” [Shahih Muslim no. 2408].

Kami pribadi tidak menolak hadis Shahih Muslim di atas, yang kami tolak adalah hujjah salafy dengan hadis ini yang menolak status Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam. Perlu diperhatikan telah tsabit baik dari Imam Ali AS maupun dari Zaid bin Arqam RA lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Oleh karena itu riwayat Shahih Muslim tersebut tidak bisa dipandang bersendiri dan dijadikan hujjah untuk menyimpangkan makna hadis Tsaqalain yang lain. Janganlah diantara pembaca tertipu dengan perkataan “hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak” karena kisah yang dimaksud dalam hadis Zaid bin Arqam [yang dicetak biru] tidaklah jauh berbeda dengan kisah yang terdapat dalam hadis Ali bin Abi Thalib bahkan riwayat Imam Ali lebih kuat dikarenakan hadis Ghadir-khum tersebut ditujukan kepadanya dan diucapkan Nabi SAW saat Beliau SAW memegang tangannya.

Siapapun yang jeli pasti akan melihat bahwa hadis Zaid bin Arqam di atas masih memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain yang lain. Perhatikanlah baik-baik dalam matan hadis Shahih Muslim di atas disebutkan Rasulullah SAW meninggalkan Ats Tsaqalain yaitu

  • Kitab Allah dimana pesan Rasulullah SAW adalah agar umat islam berpegang teguh kepadanya agar tidak tersesat [hal yang tidak pernah kami tolak bahkan kami benarkan dan sangat sesuai dengan hadis Tsaqalain yang lain]
  • Ahlul Bait dimana Rasulullah SAW berkata “Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”. Disini Rasulullah SAW mengingatkan para sahabat tentang Ahlul Bait.

Tentu saja pesan Rasulullah SAW soal Kitab Allah dalam hadis Shahih Muslim di atas sangat jelas hanya saja pesan peringatan Rasulullah SAW tentang Ahlul Bait masih memerlukan penjelasan yaitu Apa tepatnya peringatan tersebut. Disini kita bisa melihat bahwa hadis Shahih Muslim di atas masih memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain yang lain dan ternyata di hadis Imam Ali dan hadis Zaid bin Arqam [riwayat Abu Dhuha] Rasulullah SAW menegaskan agar para sahabat berpegang teguh pada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Jadi peringatan yang dimaksud tidak lain agar para sahabat juga berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Sehingga dapat dimengerti dalam hal ini mengapa peringatan tentang Ahlul Bait tidak dirincikan dengan jelas [dalam hadis Shahih muslim di atas] karena ia terikat dengan penjelasan sebelumnya terhadap Kitab Allah yaitu berpegang teguh. Apalagi di dalam hadis Tsaqalain yang lain disebutkan kalau Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW tidak akan pernah terpisah [selalu bersama] sampai kembali ke Al Haudh. Hal yang menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada Kitab Allah SWT juga diiringi berpegang teguh kepada Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Perlu diketahui bahwa lafaz

وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي

“dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.

Hanya diriwayatkan oleh Yazid bin Hayyan dan kredibilitasnya tidak diketahui dari ulama-ulama terdahulu sebelum Muslim. Tautsiq yang diberikan ulama terhadapnya hanya berasal dari Nasa’i dan Ibnu Hibban. Abu Hatim dan Bukhari menulis keterangan tentangnya tetapi tidak menetapkan adanya jarh maupun ta’dil. Kami tidak bermaksud untuk mendhaifkan atau mencacatkan Yazid bin Hayyan tetapi hanya sekedar menunjukkan bahwa hadis ini tidaklah seperti yang dikatakan oleh sebagian orang merupakan “hadis tershahih” dan jika para pembaca jeli, riwayat Yazid bin Hayyan mengundang pertanyaan. Lafal kedua hadis di atas menyebutkan kalau Yazid bin Hayyan bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim datang kepada Zaid bin Arqam kemudian Beliau meriwayatkan hadis Tsaqalain, setelah itu Yazid dan sahabatnya bertanya “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya?” Nah disini Zaid bin Arqam memberikan dua jawaban [dari kedua riwayat Shahih Muslim]

  • Riwayat Yazid bin Hayyan yang pertama menyebutkan jawaban Zaid bin Arqam “Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya”
  • Riwayat Yazid bin Hayyan yang kedua menyebutkan jawaban Zaid bin Arqam “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya.”

Terdapat sedikit perbedaan lafaz tetapi memiliki arti penting. Riwayat pertama Zaid menyebutkan kalau Istri Nabi adalah ahlul bait tetapi riwayat kedua Zaid bersumpah istri Nabi bukan ahlul bait. Bukankah hadis ini berasal dari orang yang satu yaitu Zaid bin Arqam, waktu yang satu dan tempat yang satu dan diriwayatkan kepada perawi yang sama [Yazid bin Hayyan dan sahabatnya], kalau begitu mengapa terdapat perbedaan lafaz yang cukup signifikan. Seandainya tidak ada riwayat pertama dan orang-orang hanya tahu riwayat kedua maka sudah jelas menurut Zaid bin Arqam istri Nabi bukan termasuk ahlul bait. Apakah mungkin kedua lafaz yang bertolak belakang itu adalah berasal dari Zaid bin Arqam RA, sehingga lafaz lengkapnya berbunyi

Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya.

Tentu saja jawaban dengan kalimat seperti ini terkesan aneh sekali. Atau perbedaan lafaz itu berasal dari kesalahan perawinya dengan kata lain hafalan perawi yang bermasalah. Kalau begitu siapa yang bermasalah? Dan lafal hadis mana yang bermasalah?. Yang tampak bagi kami adalah jika perbedaan lafaz tersebut bukan berasal dari Zaid bin Arqam maka kemungkinan besar berasal dari Yazid bin Hayyan, dia bisa saja seorang yang tsiqat menurut Nasa’i [yang dugaan kami hanya bertaklid bahwa Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya] tetapi tidak menutup kemungkinan ada sedikit cacat pada dhabit-nya [hafalannya].

Penjelasan kami di bagian ini hanya ingin menunjukkan bahwa hadis Tsaqalain dalam Shahih Muslim ini tidak bisa berdiri sendiri, ia tetap memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain lain terutama pada lafaz “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Yang aneh bin ajaib ada orang yang sok berasa paling mengerti lafaz hadis, dengan asalnya ia berkata menafsirkan lafaz ini

Dari riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).

Adakah dalam lafaz hadis “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku” penunjukkan perintah “untuk memenuhi hak-hak ahlul bait”?. Dari mana datangnya kesimpulan ini?. Kenapa tidak bisa dikatakan peringatan itu adalah “Beliau mengingatkan umatnya untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait”. Kalau salafy nashibi itu bisa berkata “tidak ada perintah berpegang teguh kepada Ahlul Bait dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim” maka kami-pun dapat berkata “tidak ada perintah untuk memenuhi hak-hak ahlul bait di dalam lafaz hadis Shahih Muslim di atas”. Di lain tempat orang tersebut berkata

Hadits ats-tsaqalain memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Silakan pembaca perhatikan kembali lafaz dalam Shahih Muslim [yang diulang sampai tiga kali] “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Apakah dari lafaz ini terdapat penunjukkan perintah “untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait”. Kalau salafy nashibi itu bisa berkata “tidak ada perintah berpegang teguh kepada Ahlul Bait dalam hadis Tsaqalain” maka kamipun bisa berkata “tidak ada perintah untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait dalam lafaz hadis Shahih Muslim di atas”. Sungguh aneh sekali jika ada yang mengatakan kalau hadis Yazid bin Hayyan memiliki dilalah hukum yang jelas. Terkait dengan ahlul bait maka lafaz yang ada adalah “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Memangnya dari lafaz ini dilalah hukum apa yang bisa ditarik?.

Sekali lagi kami tekankan makna yang jelas tentang Ahlul Bait [dilalah hukumnya jelas] dalam hadis Tsaqalain terdapat pada hadis Tsaqalain yang lain diantaranya hadis Imam Ali dan Hadis Zaid bin Arqam [riwayat Abu Dhuha]. Sehingga lafaz “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku” dapat diartikan peringatan agar umat berpegang teguh kepada Ahlul Bait, inilah peringatan yang dimaksud dalam Shahih Muslim.

.

.

.

Kami tidak menafikan bahwa terdapat hadis shahih yang hanya menyebutkan “Berpegang teguh kepada Kitab Allah” tanpa tambahan Ahlul Bait. Tetapi juga tidak dapat dinafikan bahwa terdapat hadis shahih yang menyebutkan “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW”. Hadis ini shahih dan meragukan sanadnya hanyalah usaha ngawur yang sia-sia. Sehingga yang diambil adalah hadis kedua karena makna dalam hadis pertama sudah tercakup di dalamnya. Yah salafy nashibi tahu persis akan hal ini sehingga ia menyebarkan syubhat baru [setidaknya itu tidak baru bagi kami] yang lebih dikenal di kalangan kami sebagai “syubhat anak kecil yang baru belajar bicara”. Syubhat yang kami maksud adalah pembahasannya seputar lafaz “bihii” dan “bihiima”

Perhatikan kata yang di-bold merah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai kata : bihi (به – “dengannya”), dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal (Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai kata bihimaa (بهما – “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه

“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

Hadits ‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa (بهما – “dengan keduanya”). Ini adalah konsekeunsi logis dari kalimat itu sendiri.

Syubhat ini mungkin akan diaminkan oleh orang yang tidak bisa berbahasa arab tetapi bagi mereka yang mengerti maka nyata sekali kalau yang melontarkan syubhat ini benar-benar seperti anak kecil yang baru belajar bicara. Perlu diketahui bahwa baik hadis Tsaqalain maupun hadis Kitabullah wa sunnatii memuat kedua lafaz bihi dan bihima. Bihi yang berarti “dengannya” dan bihimaa yang berarti “dengan keduanya”.

تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي

Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku

إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Aku tinggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh

تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي

Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah dan Ahlul BaitKu, ItrahKu

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه

“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

Pada hadis dengan lafaz “bihi [dengannya]” sifat peninggalan Rasulullah SAW dijelaskan terlebih dahulu yaitu yang jika berpegang dengannya tidak akan sesat baru kemudian Beliau menyebutkan kalau jumlahnya ada dua yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait. Jadi disini sifat berpegang teguh itu berlaku pada masing-masing yang disebutkan Nabi SAW yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait. Sedangkan pada lafaz “bihiima [dengan keduanya]” disebutkan terlebih dahulu kalau jumlah peninggalan tersebut ada dua [perhatikan kata dua perkara] baru kemudian disebutkan sifatnya yaitu harus dipegang teguh keduanya. Tentu karena dari awal telah disebutkan ada dua hal maka penjelasan sifat yang dimaksud juga menggunakan kata ganti “dengan keduanya”. Jadi baik hadis dengan lafaz bihi dan lafaz bihima memiliki konsekuensi yang sama. Bukti penggunaan lafaz yang seperti ini juga ditemukan dalam hadis Kitabullah wa sunnati [hadis kitabullah wa sunnati adalah hadis yang dhaif jiddan dengan keseluruhan jalannya bukannya dhaif saja seperti yang dikatakan oleh salafy tersebut]

يا أيها الناس إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه

Wahai manusia, sungguh telah kutinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka tidak kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya [Mustadrak Al Hakim no 318]

عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لقد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا كتاب الله وسنة نبيه

Dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda “sungguh Aku tinggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya [Thabaqat Al Muhaddisin no 549]

Jadi pada hadis dengan lafaz “bihi” sifat berpegang teguh dengannya berlaku untuk masing-masing peninggalan tersebut karena dari awal Rasul SAW menjelaskan bahwa Beliau akan meninggalkan sesuatu yang jika berpegang kepada sesuatu tersebut maka tidak akan sesat. Nah sesuatu itu yang disebutkan Rasul SAW adalah Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Ditambah lagi Rasulullah SAW menyebutkan kalau keduanya selalu bersama tidak akan berpisah sampai kembali ke Al Haudh.

Kami yakin tidak ada satupun ulama yang fasih berbahasa arab mempermasalahkan lafaz “bihi” dan “bihima” karena maaf saja terkesan konyol sekali kalau hujjah seperti ini dilontarkan oleh orang yang bertaraf ulama. Bahkan banyak ulama yang menjadikan hadis dengan lafaz “bihi” sebagai dalil untuk berpegang teguh kepada Sunnah Nabi diantaranya

  • Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib atau Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib memuat bab “anjuran berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi”. Di dalam bab itu terdapat hadis “kitabullah wa sunnati” dengan lafaz “bihi” yaitu hadis Ibnu Abbas riwayat Al Hakim [Shahih At Targhib Wat Tarhib no 40]
  • As Suyuthi dalam Miftah Al Jannah menjadikan hadis “kitabullah wa sunnati” dengan lafaz “bihi” sebagai dalil untuk berpegang teguh kepada Sunnah Nabi SAW [Miftah Al Jannah fi Ihtijaj bil Sunnah hal 7]

Tetapi dengan cara-cara berdalil yang seperti ini kita dapat melihat kualitas mereka yang mengidap “sesuatu di hatinya” yang selalu mencari-cari dalih penolakan walaupun dalih tersebut terkesan konyol bin naïf.

.

.

.

Syubhat salafy nashibi yang lain adalah menunjukkan kekeliruan-kekeliruan Imam Ali [dalam persepsinya tentu] sehingga dengan ini ia menginginkan bahwa Ahlul Bait tidak dijadikan pedoman umat islam agar tidak sesat karena terbukti juga melakukan kekeliruan. Tanggapan kami cukup sederhana, kekeliruan-kekeliruan yang ia nisbatkan kepada Imam Ali sebelum diucapkan hadis Tsaqalain jelas tidak menjadi hujjah baginya karena jelas pada masa Nabi SAW, Nabi SAW memberikan pengajaran dan ilmu kepada Ahlul Bait sehingga pada akhirnya Rasul SAW menetapkan Ahlul Bait sebagai pedoman umat. Mengenai kekeliruan yang ia nisbatkan kepada Imam Ali sepeninggal Nabi SAW yaitu Imam Ali pernah membakar kaum murtad maka kami katakan hal itu tidaklah tsabit.

عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).

Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Shahih Bukhari no. 3017].

Kemudian ia membawakan riwayat dalam Sunan Tirmidzi dengan tambahan lafaz “Ibnu Abbas benar”.

فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس

“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].

Saudara itu melakukan hal yang aneh dalam Takhrijnya terhadap lafaz “benarlah Ibnu Abbas”. Yang saya temukan lafaz itu ada di riwayat Tirmidzi sedangkan di riwayat lain seperti Musnad Ahmad 1/217 no 1871, Musnad Ahmad 1/282 no 2552, Mushannaf Abdurrazaq 5/213 no 9413, Sunan Abu Dawud 2/530 no 4351 dan Sunan Daruquthni 3/108 no 90 semuanya dengan tambahan lafaz perkataan imam Ali “kasihan Ibnu Abbas”.

عن عكرمة أن عليا عليه السلام أحرق ناسا ارتدوا عن الإسلام فبلغ ذلك ابن عباس فقال لم أكن لأحرقهم بالنار إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” لاتعذبوا بعذاب الله ” وكنت قاتلهم بقول رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” من بدل دينه فاقتلوه ” فبلغ ذلك عليا عليه السلام فقال ويح ابن عباس

Dari ‘Ikrimah Bahwasanya ‘Aliy alaihis salam pernah membakar satu kaum yang murtad dari islam. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata “tidak boleh membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan seandainya itu aku maka aku akan membunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia”. Kemudian sampailah kepada Ali alaihis salam [perkataan Ibnu Abbas] maka ia berkata “kasihan Ibnu Abbas” [Sunan Abu Dawud 2/530 no 4351, perhatian : kata “alaihis salam” memang berasal dari kitab hadis Sunan Abu Dawud bukan tambahan dari kami]

Jika para pembaca jeli membaca hadis Ikrimah di atas maka pernyataan imam Ali membakar suatu kaum berasal dari Ikrimah. Ikrimah tidaklah menyaksikan peristiwa ini karena riwayatnya dari Ali adalah mursal seperti yang dikatakan Abu Zur’ah [Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/158 no 585]. Jadi Ikrimah hanya menerima kabar yang sampai kepadanya. Kemudian disampaikan kepada Ibnu Abbas dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa apa yang dilakukan imam Ali itu tidak benar karena tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah SWT dan cukup dibunuh saja berdasarkan hadis Rasulullah SAW. Lantas perkataan Ibnu Abbas ini pun sampai pula kepada Imam Ali dan disebutkan kalau Imam Ali berkata “benarlah Ibnu Abbas” dan “kasihan Ibnu Abbas”.

Jika kita menerima kedua perkataan ini maka yang dimaksud oleh Imam Ali dengan “benarlah Ibnu Abbas” adalah membenarkan hadis yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah SWT dan orang murtad cukup dibunuh saja karena Beliau Imam Ali juga mengetahui hadis tersebut. Dan yang dimaksud dengan perkataan “kasihan Ibnu Abbas” adalah Imam Ali mengasihani Ibnu Abbas yang terlalu mudah mempercayai apa saja yang disampaikan kepadanya. Jika Imam Ali mengetahui kebenaran hadis tersebut jelas mana mungkin Beliau melakukan perbuatan yang melanggar hadis Rasulullah SAW yang ia ketahui  artinya Imam Ali tidaklah membakar kaum tersebut. Berbeda halnya dengan nashibi yang menurut anggapan mereka tidak ada masalah kalau Imam Ali mengetahui hadis Rasulullah SAW yang shahih tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hadis shahih tersebut.

Dan diriwayatkan bahwa Ammar Ad Duhni berkata kalau Imam Ali tidak membakar mereka hanya membuat lubang lalu memasukkan mereka ke dalamnya dan mengalirkan asap ke lubang tersebut kemudian membunuh mereka [Musnad Al Humaidi 1/244 no 533]. Ammar Ad Duhni adalah tabiin kufah yang otomatis menyaksikan persitiwa tersebut sehingga kesaksiannya patut diambil dan melalui penjelasannya Imam Ali tidak membakar kaum murtad yang dimaksud. Wallahu’alam

.

.

.

Lafaz lain yang penting dan luput dari pandangan para pengingkar adalah lafaz hadis Tsaqalain “keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh”

وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Dan keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh

Lafaz ini mengandung pengertian bahwa keduanya yaitu Kitab Allah dan Ithrah Ahlul Bait Rasul SAW akan selalu bersama dan tidak akan berpisah. Itrah Ahlul Bait Rasul SAW akan selalu bersama Al Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa mereka akan selalu bersama kebenaran dan menjadi pedoman bagi umat islam karena mereka selalu bersama Al Qur’an sampai keduanya kembali kepada Rasulullah SAW di Al Haudh.

Janganlah seseorang terperdaya dengan perkataan bahwa hadis Abu Dhuha adalah ringkasan dari hadis Yazid bin Hayyan. Tidak diragukan kalau para perawi bisa saja menyampaikan hadis lebih ringkas dari apa yang mereka dengar tetapi seorang perawi yang tsiqat dan dhabit tidaklah merubah hadis tersebut atau apapun yang ia ringkas. Dengan kata lain ringkasan yang mereka lakukan tidaklah merubah makna hadis tersebut. Kami katakan bahwa hadis Zaid bin Arqam disampaikan kepada kedua orang yang berbeda yaitu Yazid bin Hayyan dan Abu Dhuha di waktu yang berbeda pula . Abu Dhuha adalah orang yang lebih tsiqat dan tsabit dibanding Yazid bin Hayyan sehingga apa yang disampaikan oleh Abu Dhuha adalah apa yang ia dengar dari Zaid bin Arqam, kami tidak mengetahui adanya riwayat Abu Dhuha dalam versi yang lebih panjang oleh karena itu justru lebih tepat dikatakan lafaz hadis Abu Dhuha adalah lafaz ringkas yang disampaikan oleh Zaid bin Arqam.

Jadi Perbedaannya adalah riwayat Yazid bin Hayyan, disampaikan oleh Zaid bin Arqam dengan lebih panjang dan memuat kisah di Khum sedangkan riwayat Abu Dhuha disampaikan Zaid bin Arqam dengan lebih singkat dan hanya menyebutkan inti atau hukumnya saja yaitu “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait dan keduanya tidak akan berpisah”. Riwayat Yazid bin Hayyan tidak memiliki qarinah yang menafikan “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” apalagi dalam riwayat Imam Ali yang juga memuat soal kisah bahkan Beliau sebagai shahibul qishshah memuat lafaz yang persis dengan lafaz hadis Abu Dhuha yaitu “berpegang teguh pada kitab Allah dan Ahlul Bait”. Jika mau dipaksakan untuk menggabungkan riwayat-riwayat yang ada [ketiga riwayat di atas] maka secara keseluruhan lafaz hadis Tsaqalain adalah sebagai berikut.

‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. [Beliau keluar sambil memegang tangan Ali] Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku [yaitu malaikat pencabut nyawa] akan datang lalu dia diperkenankan. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya”. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” Aku meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain [dua hal yang berat], yaitu Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Kemudian beliau berkata “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh. Maka  perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sepeninggalku.

Dengan lafaz di atas dapat dimengerti bahwa pada perkataan “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku” tidak dijelaskan peringatan tersebut dengan lebih rinci karena sudah jelas pada perkataan sebelumnya “Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku”. Berbeda halnya dengan saudara pengingkar tersebut, ia tidak memiliki petunjuk sedikitpun untuk menyokong penafsirannya kalau pesan dalam hadis Tsaqalain adalah menghormati, mencintai, memuliakan serta memenuhi hak-hak Ahlul Bait.

Sebagai umat islam kita memiliki kewajiban untuk berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW, mencintai mereka, menghormati dan memuliakan serta memenuhi hak-haknya. Janganlah ada diantara kita yang terpengaruh syubhat nashibi yang menolak untuk berpegang teguh kepada Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Rasulullah SAW menyatakan dengan jelas bahwa Beliau meninggalkan bagi umat Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait yang mana yang satu lebih besar dari yang lain [yaitu kitab Allah] dimana umat islam hendaknya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait agar tidak tersesat dan keduanya akan selalu bersama atau tidak akan berpisah sampai kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh.

.

.

.

Syubhat lain para pengingkar adalah perkataan bahwa Ahlul Bait dan Al Qur’an tidaklah setara karena Rasulullah SAW mengatakan telah membedakan keduanya dimana yang satu lebih besar dari yang lain. Kami katakan perkataannya benar tetapi pengingkar itu menginginkan kebathilan dari perkataan tersebut. Al Qur’an adalah Tsaqal Al Akbar karena ia adalah rujukan dan pedoman pertama bagi umat islam bahkan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW juga berpedoman kepada Al Qur’an. Itrah Ahlul Bait Rasul adalah pribadi-pribadi yang paling mengerti dan memahami Al Qur’an, mereka tidak akan pernah meninggalkan Al Quran sepeninggal Rasul SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Al Qur’an dan Itrah Ahlul Bait akan selalu bersama atau tidak pernah berpisah hingga kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh. Itrah Ahlul Bait Rasul SAW sebagai Tsaqal Al Asghar adalah rujukan kedua bagi umat karena mereka seperti yang sudah kami sebutkan adalah yang paling mengerti dan memahami Al Qur’an dan mereka adalah yang paling mengerti dengan sunah Rasul SAW, oleh karena itulah Rasulullah SAW berwasiat dengan menyandingkan keduanya. Perkara ini termasuk sangat berat khususnya perihal Ahlul Bait sehingga Rasulullah SAW berkata “maka  perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sepeninggalku”.

Terakhir kami akan mengajak pembaca untuk memperhatikan atsar yang dibawakan oleh saudara pengingkar tersebut di akhir tulisannya

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ

Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan dengan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau” [Shahih Bukhaariy no. 3751].

Mengenai matan atsar di atas, tidak ada satupun yang meragukan kalau umat islam diharuskan menjaga hubungan baik dengan Ahlul Bait karena kedudukan mereka yang tinggi dalam islam [sebagai pedoman bagi umat islam]. Tetapi aneh bin ajaib Abu Bakar sendiri dan sahabatnya Umar adalah orang yang pertama kali melakukan sesuatu yang tidak baik dengan Ahlul Bait. Telah diriwayatkan dengan kabar yang shahih bahwa Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah AS [penghulu wanita surga] sehingga membuat sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara dengan Abu Bakar selama 6 bulan. Dan telah diriwayatkan dengan kabar yang shahih bahwa Umar mengancam akan membakar rumah Ahlul Bait terkait dengan masalah kekhalifahan. Apakah perbuatan tersebut bisa dikatakan “menjaga hubungan baik dengan ahlul bait”?.

Walaupun begitu kami tidak punya kepentingan untuk mencela atau mencaci Abu Bakar RA dan Umar RA. Bagi kami cukuplah tauladan yang diberikan Ahlul Bait jika salah katakan salah jika benar katakan benar dan jika tidak senang maka diam dan bersabar itu lebih baik. Semoga jawaban kami ini bermanfaat bagi umat islam khususnya para pecinta Ahlul Bait dan insya Allah kami akan terus berusaha menjadi hamba Allah yang membela keutamaan Ahlul Bait semampu kami. Tidak ada yang kami harapkan dari ini kecuali Allah SWT mengampuni  kami dan memberikan petunjuk kepada kami agar kami berada di atas jalan yang lurus.

119 Tanggapan

  1. Yg tidak meyakini kebenaran hadits Tsaqalain adalah orang yg tersesat, maka dari itu apabila para Nashibi berbuat yg aneh2 harus maklum dan bersabar.

    @syiahindonesia1,

    Trims atas informasinya, insya Allah saya akan berkunjung ke Blog anda.

    Wassalam

  2. sebenarnya para nashibi itu, berusaha mati2an menggeserkan kedudukan atau mensamarkan ahlul bait agar
    otoritas intrepretasi Alquran menjadi hak para mbah kakung dan tokoh pujaan mereka. dan disaat ini menjadi hak otoritatif mereka. oleh karenanya tdk lah heran kalau banyak org diluar islam menemukan banyak kontradiksi didalam islam. krn Islam di intepretasi oleh manusia yg tdk memiliki qualifikasi.
    apalagi sertifikasi Allah dan Rasul saw.

  3. @SP
    Didunia ini bercampur yang HAK dan BATHIL. Diakhirat langsung Allah pisahkan. Disurga mereka2 yang melaksanakan yang HAK (alhaq min Rabbi) dan di NERAKA mereka yang mengikuti HAWA NAFSU (Iblis)
    Allah berfirman yang arti dan maksudnya lebih kurang: “Cahaya kebenaran telah datang” Dan ada yang hendak menghilangkan CAHAYA ini. Tapi mereka tidak sanggup.”
    Mereka mencoba menghilangkan dengan merekayasa Sunah Rasul dan menafsirkan Firman Allah sesuai kehendak mereka. Masih belum puas. Mereka racuni dan membunuh pembawa CAHAYA KEBENARAN. Tapi tetap tidak bisa. Karena Allah Yang Maha Penjaga menjaga CahayaNya.
    Mereka2 yang mau menerima cahaya tsb.adalah nereka yang mendapat petunjuk. Selama Allah belum memberikan petunjuk mereka tetap dalam kesesatan. Allah berfirman: ” Hai Rasul engkau bertugas mengabarkan dan menjelaskan apa yang Ku sampaikan padamu. PETUNJUK adalah dari padaKu” Aku akan memberikan petunjuk bagi siapa yang Ku kehendaki.”
    Rasulullah sudah menyampaikan Tsaqalain sebagai pegangan hidup mereka menuju KESELAMATAN. Wasalam

  4. @SP
    “Walaupun begitu kami tidak punya kepentingan untuk mencela atau mencaci Abu Bakar RA dan Umar RA. Bagi kami cukuplah tauladan yang diberikan Ahlul Bait jika salah katakan salah jika benar katakan benar dan jika tidak senang maka diam dan bersabar itu lebih baik.”

    Setuju banget..! Bagi pengikut Ahlul Bait, siapa lagi yg menjadi teladan mereka kalau tidak Nabi SAW dan Ahlul Bait as?

    “Semoga jawaban kami ini bermanfaat bagi umat islam khususnya para pecinta Ahlul Bait dan insya Allah kami akan terus berusaha menjadi hamba Allah yang membela keutamaan Ahlul Bait semampu kami.”

    Ini merupakan amar ma’ruf nahi munkar.
    Imam Ali as pernah berkata ” Temanmu yg sesungguhnya adalah orang yg mau melarangmu (dari berbuat dosa), dan musuhmu yg sebenarnya adalah orang yg membujukmu (utk berbuat maksiat).”

    “Tidak ada yang kami harapkan dari ini kecuali Allah SWT mengampuni kami dan memberikan petunjuk kepada kami agar kami berada di atas jalan yang lurus.”

    Amin…Ini doa dan harapan dari kita semua. Semoga dengan mencintai dan mengikuti petunjuk Ahlul Bait as, Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba2-Nya yg mematuhi amanat dan wasiat Nabi SAW…

  5. Trimakasih…kami jadi tambah pengetahuan

  6. Ketika kaum nashibi menafsirkan hadis Zaid bin Arqam versi : “…..dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’, dg pengertian :
    “untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait”, maka kalimat ini masih bersifat multi tafsir. Paling tidak ada 2 tafsir lanjutannya :

    1. Pengertian Ahlul Bait menjadi sangat luas termasuk dzuriah Nabi saw sampai sekarang ini, shg menjadi kabur. Kesannya Ahlul Bait menjadi “beban” umat Islam.

    2. Pengertan Ahlul Bait terbatas hanya org2 yg disebut dlm hadis Al-Kisa dan QS 33 : 33 shg mereka wajib dijadikan pedoman/pemimpin oleh kaum muslimin dlm melaksanakan syariat Islam.

    Saya pribadi berdasarkan hadis Zaid bin Arqam versi pertama, ayat2 Quran dan akal sehat lebih memilih pengertian no. 2, karena sangat masuk akal dan lebih jelas.

  7. assalamualaikum wr.wb

    kunjungi http://syiahali.wordpress.com

    kunjungi http://syiahali.wordpress.com

    sebuah website syi’ah imamiyah itsna asyariah terlengkap di indonesia

    memuat ratusan artikel dan foto

  8. assalamualaikum wr.wb

    kunjungi http://syiahali.wordpress.com

    kunjungi http://syiahali.wordpress.com

    sebuah website syi’ah imamiyah itsna asyariah terlengkap di indonesia

    memuat ratusan artikel dan foto
    ..

  9. @syiahali
    Ini iklan apa maksa. Sudah mulai mengganggu. Lama2 dianggap spam.
    terserah SP dehh.. 😉

    Salam damai

  10. Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu BUKANLAH PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang Sunni pengurus Arimatea yg baru melek ttg Syiah. Saya kenal orgnya.

  11. bgmn dg hadits yg menyebutkan bahwa salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lain :
    إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ
    “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain”.[Sunan At-Tirmidziy no. 3788]

  12. ma’af islam begitu bnyk alirannya..
    seperti ,nu, muhamadiyah, syiah , suni, wahabi..
    manakah yg bgs dan benar2 islam sejati??, mohon bimbinganya wasaalam..

  13. @hanya orang bodoh
    kita sama2 bodoh,
    maaf sebelumnya klu sedikit berlebihan,krn dr td ga ada yg jwb,jd sy coba jwb(fardu kifayah).
    sebenarnya ga ada menurut sy islam sejati,mungkin lebih baik kita pake bhs yg sama,yaitu “ihdinassirothol mustaqim”
    ada 2 versi,n silahkan anda cari tau(dalil yg kuat) mana jln yg lurus
    1.alquran n sunnati(rosul)
    2.alquran n ittrati ahlulbaiti(rosul)
    salam…

  14. @hanya orang bodoh
    Nama yang membuat kita harus ber-hati2.
    Anda bertanya Islam sejati. Pertama tama saya katakan Islam Sejati adalah KEBENARAN. Alqur’an adalah CAHAYA KEBENARAN dan Nabi Muhammad Rasulullah serta Ahlulbaitnya PEMBAWA KEBENARAN.
    Untuk mengetahui mana yang lebih mendekati KEBENARAN dari aliran2 yang anda sebut diatas, saya anjurkan anda ikuti diskusi diblog ini secara teliti tanpa berpihak. Kemudian anda analisa mana yang lebih benar. Wasalam

  15. Ada di mazhab manapun kita bisa menemukan islam sejati. Ada di mazhab manapun juga bisa tersesat/tergelincir.
    Mazhab adalah penafsiran si pendiri mazhab thd nazh2.
    Mazhab adalah jalan. Di semua jalan, pada saat kita berjalan kita harus selalu meminta pertolongan Allah untuk selalu menunjuki kita jalan yang lurus. karena di mazhab yang manapun iblis selalu siap menyelewengkan dan menyesatkan dan menipu kita.
    Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana agar kita selalu terjaga?

    Salam damai

  16. @truthseekers 08
    klu sy membaca tulisan anda n argument anda yg lalu2 sangatlah bagus,tp skrg2 ini ko agak sedikit menurun….
    apalg terjd masa peralihan…??

  17. @hanya orangbodoh
    Utk mencari ajaran islam yg sejati, banyak buku mengenai islam tersebar. Anda bisa dg mulai membaca buku islam dari berbagai sumber. singkirkan kelambu mazhab yg menutupi anda utk menemukannya. Berprasangka baik saja, kemudian anda tinggal memanfaatkan karunia akal yg Tuhan tlah berikan utk anda menganalisa dan menyimpulkan semua buku yg anda baca. Atau anda bisa dg melihat ulama2nya (suni, syiah, muhamadiyah, nu, wahabi). Mana di antara mereka yg sdh mengikuti dan menjalankan segala sunnah nabi saww secara benar. Lihat diantara mereka yg paling ikhlas dan tawadhu. Utk tawadhu tentunya baru teruji jika seseorang telah duduk dlm lingkup kekuasaan dan kekayaan. Apakah ulama itu berubah atau justru smakin istiqomah…dunia ini luas dan mrupakan buku yg terbaik utk kita belajar dan mencari.

  18. @aldj
    Maksudnya tidak mencocoki selera aldj? . :mrgreen:
    Pisss…

    Salam damai.

  19. @truthseekers
    he..he..he..mungkin jg..
    masalahnya ko loncat ke mahzab

  20. Perlu diketahui bahwa baik hadis Tsaqalain maupun hadis Kitabullah wa sunnatii memuat kedua lafaz bihi dan bihima. Bihi yang berarti “dengannya” dan bihimaa yang berarti “dengan keduanya”.

    dan sayangnya lafadz bihima semuanya adalah dhaif, tinggal yg bihi saja, maka jelas itu hanya satu yang harus dipegang teguh yaitu Kitabullah, sedangkan berpegang kepada sunnah Nabi kan sudah ada dalam kitabulllah. walaupun dikatain anak kecil, tapi saya setuju, bahwa bihi itu memang cuma satu sedangkan bihima itu dua 🙂

    Tanggapan kami cukup sederhana, kekeliruan-kekeliruan yang ia nisbatkan kepada Imam Ali sebelum diucapkan hadis Tsaqalain jelas tidak menjadi hujjah baginya karena jelas pada masa Nabi SAW, Nabi SAW memberikan pengajaran dan ilmu kepada Ahlul Bait sehingga pada akhirnya Rasul SAW menetapkan Ahlul Bait sebagai pedoman umat.

    katanya kesalahan, kotoran atau dosa belum pernah memasuki ahlul bait?? seperti penafsiran thd Al-Ahzab : 33, kalau gitu sama aja dong dg sahabat spt Abu Bakar, Umar maupun Utsman, ketika mereka menjadi khulafa’urrasyidin, Nabi SAW sebelumnya telah memerintahkan untuk memegang sunnah mereka juga.

  21. @paiman:
    “dan sayangnya lafadz bihima semuanya adalah dhaif, tinggal yg bihi saja, maka jelas itu hanya satu yang harus dipegang teguh yaitu Kitabullah, sedangkan berpegang kepada sunnah Nabi kan sudah ada dalam kitabulllah. walaupun dikatain anak kecil, tapi saya setuju, bahwa bihi itu memang cuma satu sedangkan bihima itu dua”

    Benar mas sunnah Nabi sdh ada dlm Kitabullah. Tapi jangan lupa hal itu masih dlm bentuk prinsip-prinsip yg bersifat global. Contohnya salat. Apakah anda menemukan teknik salat di Quran ? Teknik salat hanya ada dlm sunnah Rasul. Jadi memang selain Kitabullah kita membutuhkan Sunnah Rasul sbg penjelasan sekaligus operasionalisasi dari Al-Quran. Sunnah Rasul bukanlah hadis yg berupa catatan/tulisan, tetapi adalah Al-Quran yg berjalan atau Al-Quran in operation. Berarti harus ada figur dong. Figurnya adalah Rasulullah saw. Nah bagaimana setelah Nabi wafat ? Apa engga perlu figur2 yg menjelaskan dan mengoperasionalkan Kitabullah ?

    @paiman:
    “katanya kesalahan, kotoran atau dosa belum pernah memasuki ahlul bait?? seperti penafsiran thd Al-Ahzab : 33,”

    Benar mas. Coba dong perhatikan susunan kata-kata dlm kalimat Al-Ahzab 33 terutama kalimat “liyudzhiba ‘ankumur ridzsa…..”. Kenapa digunakan kata “‘an” bukan “min”? Karena menurut bhs Arab “min” digunakan untuk sesuatu yg sdh merupakan bagian atau sdh masuk kedlmnya. Sedangkan ‘an digunakan untuk sesuatu yg belum masuk kedalamnya. Jadi kalimat “liyudzhiba ‘ankumur ridzsa” menunjukkan bahwa Ahlul Bait selalu diproteksi oleh Allah dari berbuat dosa dan kesalahan tentunya dlm lingkup syariat. Hal ini diperkuat dg hadis Ashabul Kisa yg menyebutkan figur2 Ahlul Bait yg dimaksud Al-Ahzab 33 (Nabi saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein).

    @paiman:
    “kalau gitu sama aja dong dg sahabat spt Abu Bakar, Umar maupun Utsman, ketika mereka menjadi khulafa’urrasyidin, Nabi SAW sebelumnya telah memerintahkan untuk memegang sunnah mereka juga.”

    Sayangnya Abu Bakar, Umar dan Usman tdk disebut-sebut dlm hadis tsb. Jadi ketiga org ini tidak maksum. Toh dlm hadis “khulafa’urrasyidin” pun tdk menyebut-nyebut nama2 itu.

  22. @paiman

    dan sayangnya lafadz bihima semuanya adalah dhaif, tinggal yg bihi saja, maka jelas itu hanya satu yang harus dipegang teguh yaitu Kitabullah, sedangkan berpegang kepada sunnah Nabi kan sudah ada dalam kitabulllah. walaupun dikatain anak kecil, tapi saya setuju, bahwa bihi itu memang cuma satu sedangkan bihima itu dua

    baik hadis lafaz bihi dan bihima tidak ada perbedaan dalam maknanya. Penggunaan kata tersebut tergantung dengan kalimat. saya sudah jelaskan dengan baik di atas dan bagi mereka yang mengerti bahasa arab dengan baik mereka tidak akan mempermasalahkan kedua lafaz tersebut. Para ulama telah benyak berhujjah dengan hadis lafaz bihi tidak ada dari mereka menegaskan bahwa itu artinya cuma satu saja. Penggunaan lafaz bihi justru menunjukkan bahwa masing-masing harus dipegang teguh yaitu Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait. Silakan anda pilih apa yang anda yakini, tidak ada yang memaksa disini.

    katanya kesalahan, kotoran atau dosa belum pernah memasuki ahlul bait?? seperti penafsiran thd Al-Ahzab : 33, kalau gitu sama aja dong dg sahabat spt Abu Bakar, Umar maupun Utsman, ketika mereka menjadi khulafa’urrasyidin, Nabi SAW sebelumnya telah memerintahkan untuk memegang sunnah mereka juga.

    maaf tidak ada dalil yang mengatakan kalau Abu Bakar Umar dan Utsman adalah khulafaur rasyidin yang sunnahnya harus dipegang teguh. Bahkan terdapat dalil kalau mereka menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Nabi seperti pelarangan haji tamattu. Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafaur Rasyidin jelas tidak akan bertentangan 🙂

  23. Assalamualaikum
    Kang SP, Salam kenal ! saya minta izin untuk mengutip dan meng-copas artikel2 yang ada di situs ini… boleh kaaaannnn ??? pliiiizzz !!!!
    dan saya akan buat link situs ini di Blog saya ..
    Thanks atas izinnya

    Wasssalam

  24. FiTNAH MUNCUL DARi ytse-jam

    ytse-jam, di/pada Mei 14, 2010 pada 7:05 pm Dikatakan: r
    Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu BUKANLAH PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang Sunni pengurus Arimatea yg baru melek ttg Syiah. Saya kenal orgnya.

    jawaban :
    Kami mewakili FORUM ARiMATEA merasa di fitnah
    oleh ytse-jam… Perlu anda ketahui bahwa FORUM ARiMATEA tidak ada urusan dan tidak ada sangkut paut dengan syi’ah

    wahai ytse-jam hati hatilah anda menyebut nama organisasi kami

  25. FiTNAH MUNCUL DARi ytse-jam

    ytse-jam, di/pada Mei 14, 2010 pada 7:05 pm Dikatakan: r
    Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu BUKANLAH PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang Sunni pengurus Arimatea yg baru melek ttg Syiah. Saya kenal orgnya.

    jawaban :
    Kami mewakili FORUM ARiMATEA merasa di fitnah
    oleh ytse-jam… Perlu anda ketahui bahwa FORUM ARiMATEA tidak ada urusan dan tidak ada sangkut paut dengan syi’ah

    wahai ytse-jam hati hatilah anda menyebut nama organisasi kami

    Ucapan anda merusak organisasi kami…
    Perlu anda ketahui bahwa banyak website palsu
    yang mengatas nama kan arimatea

  26. ****Dalam buku :
    PERBANDINGAN MAZHAB
    SJ I ‘ AH; RASIONALISME DALAM ISLAM
    Oleh H. ABOEBAKAR ATJEH
    Diterbitkan oleh : Jajasan Lembaga Penjelidikan Islam
    Djakarta 1965

    H.Aboebakar Atjeh menulis sbb:

    Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu terdiri dari tiga perkara, salah satunya bahwa Nabi akan mendjadikan Ali sebagai wali atau penggantinja. Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan ketika itu tidak mengizinkan, wasiat itu diumumkan. Sji’ah menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara, jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua pengarang Sunnan dan Musnad****

  27. Kami mewakili FORUM ARiMATEA merasa di fitnah
    oleh ytse-jam… Perlu anda ketahui bahwa FORUM ARiMATEA tidak ada urusan dan tidak ada sangkut paut dengan syi’ah

    wahai ytse-jam hati hatilah anda menyebut nama organisasi kami

    Ucapan anda merusak organisasi kami…
    Perlu anda ketahui bahwa banyak website palsu
    yang mengatas nama kan arimatea

    “”dia adalah seorang Sunni pengurus Arimatea yg baru melek ttg Syiah. Saya kenal orgnya””” (ytse jam)
    jawaban :
    Forum ini jangan lah dijadikan ajang fitnah…
    Perlu anda ketahui bahwa Arimatea tidak ada kaitan
    dengan syi’ah

  28. Imam Muhammad Al Baqir As berkata :

    “ISLAM ditegakkan atas 5 perkara :

    ~ Mendirikan Sholat
    ~ Menunaikan Zakat
    ~ Haji di Baitullah
    ~ Puasa di Bulan Ramadhan
    ~ Menjadikan Ahlulbait Sebagai pemimpin.
    Yang 4 perkara masih ada keringanan sedang yang satu perkara (berwilayah kepada Ahlul Bayt) tidak ada keringanan. Sesiapa yang tidak mempunyai harta tidak diwajibkan zakat, Sesiapa yang tidak mempunyai harta tidak diwajibkan berhaji, Sesiapa yang tidak bisa berdiri (karena sakit), boleh sholat dengan duduk dan tidak berpuasa. Namun berwilayah kepada Ahlulbayt (menjadikan Ahlulbayt sebagai pemimpin) adalah wajib bagi yang sakit ataupun sehat, bagi yang berharta maupun yang tidak berharta” [ Wasail Syiah Juz 1 Hal.14 ]

    Al Karim Surah An Nisa ayat 59

    “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian.”

    Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil Amri” secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah saw.

    Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”

    Rasulullah saw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.

    Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494, 443-Qundusi al hanafi

    Surah An Nisa ayat 59 – Perintah Mentaati Ulil Amri

    “Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasul-Nya dan Ulil Amri kamu.”

    Yang dimaksud “Ulil Amri” dalam ayat ini adalah Ali dan para Imam dari keturunannya.

    -Imam Ali bin Abi Tholib AS (40 H)
    -Imam Hasan bin Ali al-Mujtaba AS ( 50 H)
    -Imam Husein bin Ali asy-Syahid AS (61 H)
    -Imam Ali Bin Husein Zainal Abidin as-Sajjad AS (95 H)
    -Imam Muhammad bin Ali al-Baqir AS (114 H)
    -Imam Ja’far bin Muhammad ash-Shodiq AS (148 H)
    -Imam Musa bin Ja’far al-Kadhim AS (183)
    -Imam Ali bin Musa ar-Ridho AS (203)
    -Imam Muhammad bin Ali al-Jawad AS (220 H)
    -Imam Ali bin Muhammad al-Hadi AS (254 H)
    -Imam Hasan bin Ali al-Askari AS (260 H)
    -Imam Abul Qasim Muhammad bin Hasan al-Mahdi AFS (lahir 15 Sya’ban 255 H dan masih hidup)

    { Yanabi’ul Mawaddah, oleh Syaikh Sulaiman Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 134 dan 137, cet,. Al-Haidariyah; halaman 114 dan 117, cet. Islambul. Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, halaman 148, hadis ke 202, 203 dan 204. Tafsir Ar-Razi, jilid 3, halaman 357. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tastari, jilid 3, halaman 424, cet. Pertama, Teheran. Faraid As-Samthin, jilid 1, halaman 314, hadis ke 250. }

  29. ainunmarziah, saya sepakat dengan anda tentang ytse jam..

    kita tidak boleh menuduh seseorang bukan syiah… soal ilmu, jangan lah kita mengklaim orang lain BODOH…

    Ingat ahlul bait tidak angkuh….

  30. @ ainunmarziah / syiahal i/ syiahindinesia1

    SAYA TIDAK MEMFITNAH ANDA……!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Anda sedang mencoba mengelabui kami (terutama saya), tapi sayang cara anda itu SANGAT BODOH. Dengan menyertakan link anda, “syiahali.wordpress” dan “syiahindonesia1.wordpress”, dalam satu komentar anda di blog ini anda mengaku sebagai ULAMA SYIAH, apa anda lupa?????? atau memang anda DUSTA????

    Apa yang saya tulis tentang jatidiri anda 100% AKURAT…!!!!

    Anda adalah seorang pengurus Arimatea yang bernama FERIZAL, SKM, kan? ITU MENURUT PENGAKUAN ANDA SENDIRI DALAM SMS ANDA KE SAYA, yaitu ke No.HP: 0813XXXX6061.

    Anda mendapat No. HP saya dari Ustadz Ibnu Ali, Lc (seorang mantan Sunni tamatan Mesir yang pindah ke Syiah).
    KALAU ANDA JUJUR ANDA PASTI AKAN MENGAKUI FAKTA INI.

    Saya kenal identitas anda dari guru saya Ustadz Ibnu Ali, Lc karena anda sering kirim sms pada beliau dan anda berdialog dengan beliau di No. HP: 0852XXXX6010.

    Perlu anda ketahui, SAYA SUDAH BACA SELURUH SMS ANDA DENGAN USTADZ IBNU ALI, Lc yang jumlahnya hampir 400 buah SMS.

    Dalam sms anda ketika awal-awal berdialog dengan beliau ANDA MENGAKU PENGIKUT SALAFY, (anda mengaku sering ikut pengajian Manhaj Salaf pada Ali Nur, Lc dan Syamaun Risyad, perlu anda ketahui, saya juga dulunya sering mengaji pada kedua Ustadz penipu itu) namun ketika anda terpojok dengan fakta2 yang diberikan oleh Ustadz Ibnu Ali, Lc lalu anda BERKILAH dengan mengaku diri Sunni, namun ketika beliau memaparkan banyak fakta kekeliruan Sunni maka ANDA MENGAKU INGIN MASUK SYIAH, tetapi Ustadz Ibnu Ali, Lc menolak karena menurut beliau anda tidak jujur

    Dan, Suatu hari anda meng-sms saya KE No. HP: 0813XXXX6010 dan anda MENGAKU DIRI ANDA SYIAH. Sya langsung menelpon Ustadz Ibnu Ali, Lc untuk konfirmasi dan Ustadz Ibnu Ali, Lc mengatakan: “SAUDARA FERIZAL ITU ADALAH ORANG YANG SERING BERDIALOG DENGAN SAYA VIA SMS DIA MENGAKU SEBAGAI KETUA DPD FORUM ARIMATEA ACEH, AWALNYA DIA MENGAKU MENGIKUTI MANHAJ SALAF.”

    Nah, saya tidak memfitnah kan?

    KALAU ANDA TIDAK MENGAKUI FAKTA INI BERARTI ANDA MEMBOHONGI DIRI ANDA SENDIRI.

    Salam

  31. @ytse-Jam
    Dengan penjelasan anda terbongkar siapa mereka sebenarnya. Kedua-duanya sebelumnya mengaku syiah, menteror SP. Ternyata mereka adalah Wahaby/Salafy. Jadi untuk mencapai tujuan mereka yakni menghancurkan pencinta Ahlulbait mereka menghalalkan segala cara. Mereka tidak mampu dengan cara dialog, mereka berusaha masuk ber-sama2 dan menghacurkan dari dalam. INI ADALAH CARA2 YAHUDI. Salam damai Wasalam

  32. wahai akhi ytse-Jam
    Anda tidak berhak memveto siapapun yang mau bertaubat kepada Allah dan yang ingin masuk syi’ah…. Perlu anda ketahui bahwa untuk menjadi syiah tidak perlu harus disyahadatkan oleh guru anda…

    Saya selaku masyarakat awam kecewa dengan cara akhi ytse-Jam MENUDUH ORANG LAiN bukan syi’ah hanya karena tidak disyahadatkan oleh gurunya …

    Di Aceh lumayan jumlah salafi wahabi yang masuk syi’ah

  33. Perlu anda ketahui bahwa di FORUM ARiMATEA juga ada ilmuwan syi’ah…..

    Anda tidak berhak memveto siapapun yang mau bertaubat kepada Allah dan yang ingin masuk syi’ah…. Perlu anda ketahui bahwa untuk menjadi syiah tidak perlu harus disyahadatkan oleh guru anda…

    Saya selaku tokoh FORUM ARiMATEA kecewa dengan cara akhi ytse-Jam MENUDUH ORANG LAiN bukan syi’ah hanya karena tidak disyahadatkan oleh gurunya …

    Di Aceh lumayan jumlah salafi wahabi yang masuk syi’ah… Lalu sejak kapan Allah Ta’ala mewahyukan kepada anda bahwa si A, si B dan si C bukan syi’ah

    Apakah untuk menjadi syi’ah perlu disyahadat kan guru anda ???

  34. chany…
    Anda jangan sembarangan menuduh orang yahudi….

    Anda jangan sembarangan menuduh orang bukan syi’ah….

    Untuk masuk syi’ah tidak perlu melalui ANDA…

    Perlu anda ketahui bahwa FORUM Arimatea netral mazhab

  35. Assalamualaikum Wr.Wb

    Meskipun “Amir DPD Forum Arimatea Aceh” bermazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah, tapi DPD F.A NAD Tetap Netral Mazhab Dalam Rangka Menghadapi Musuh Bersama Yaitu “Nasrani”

    ==========================================

    Bismillah…

    Saya bersumpah dengan menyebut nama Allah…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Rasulullah SAW…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Al Quran….

    Bahwa benar Amir “DPD Forum Arimatea Aceh”
    ( periode 2006-2011 ) bermazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah

    wassalam
    Amir “DPD FORUM ARiMATEA PROPiNSi NAD” periode 2006 – 2011
    ==========================================

    Akan tetapi perlu diketahui bahwa Organisasi Islam “Forum Arimatea” tidak ada sangkut paut dan
    tidak ada berurusan dengan mazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah…..

    Forum Arimatea sebagai organisasi adalah netral mazhab ….

    Aneka warna aliran bergabung di forum arimatea

  36. Assalamualaikum Wr.Wb

    Meskipun “Amir DPD Forum Arimatea Aceh” bermazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah, tapi DPD F.A NAD Tetap Netral Mazhab Dalam Rangka Menghadapi Musuh Bersama Yaitu “Nasrani”

    ==========================================

    Bismillah…

    Saya bersumpah dengan menyebut nama Allah…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Rasulullah SAW…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Al Quran….

    Bahwa benar Amir “DPD Forum Arimatea Aceh”
    ( periode 2006-2011 ) bermazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah

    wassalam
    Amir “DPD FORUM ARiMATEA PROPiNSi NAD” periode 2006 – 2011
    ==========================================

    Akan tetapi perlu diketahui bahwa Organisasi Islam “Forum Arimatea” tidak ada sangkut paut dan
    tidak ada berurusan dengan mazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah…..

    Forum Arimatea sebagai organisasi adalah netral mazhab ….

    Aneka warna aliran bergabung di forum arimatea

    Kepada SP web ini di minta menghentikan segala macam tuduhan tidak berdasar kepada orang lain…

    Ingat !!! Kita sesama Muslim sedang digempur Yahudi

  37. Seruan Persatuan Kaum Muslimin Menghadapi Musuh Bersama Yaitu Zionis Yahudi

    Kami Hanya Orang Kecil yang Ingin Memberi Arti

    saya Bukan siapa-siapa, bukan ulama, bukan sarjana, bukan orang kaya, bukan pula orang gila, hanyalah sekelompok minoritas yang terintegrasi dalam ide dan gagasan sederhana. Izinkan kami berbagi kisah, tentang suka, duka, dan cita-cita, agar kelak kami memiliki hujjah di depan Sang Penguasa bahwa kami tidak diam atas kesulitan dan ketertindasan yang kita alami bersama.

    Ketika mereka mulai membuka matanya dikala sang fajar segera terbit, mereka bersujud kepada sang Ilahi Rabbi…

    Disaat sinar mentari mulai menerangi dunia,, mereka memulai harinya dengan pekikan takbir dan dengan batu di tangan.

    Mereka bangkit berdiri gagah digaris terdepan perlawanan, dengan penuh keberanian mereka manantang maut yg selalu mengincarnya demi mempertahankan bumi al Quds yg telah diamanahkan Allah kepada mereka.

    Mereka sadar bahwa tanah tempat mereka berpijak bukanlah pemberian Cuma-cuma,tapi tanah semua itu ditebus dengan darah segar para syuhada’ dan para pejuang sejati mulai Umar bin Khattab The Lion Desert hingga The Wise Salahuddin al Ayyubi .

    Mereka berdiri menghadang setiap bulldozer yang akan meratakan rumah dan masjid-masjid mereka, mereka melempari setiap simpanse Yahudi yang datang untuk membunuh keluarga dan memperkosa kehormatan ibu dan saudara perempuan mereka!!!

    “dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu”(TQS:al Buruuj:8-9)

    Mereka sadar bahwa mereka telah menjual semuanya baik harta maupun nyawa mereka untuk perlawanan di jalan Allah.

    “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar”.(TQS: at Taubah:111)

    Mereka faham perjuangan ini sangat berat dan panjang, karena batu harus berhadapan dengan tank2 baja’. Namun mereka yakin bahwa mereka akan menang, karena senjata utama mereka adalah keimanan yang jauh lebih keras dari tank2 zionis Yahudi.

    “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmuI”.(TQS: Muhammad:7)

    Ketahuilah kawan perlawanan ini akan terus berlangsung hingga akhir zaman dan dunia berada digerbang kehancuran terdahsyat

    “Tidak akan terjadi kiamat hingga kaum muslimin memerangi yahudi, kemudian kaum muslimin memerangi mereka sampai akhirnya orang-orang yahudi (berlarian) berlindung dibalik batu dan pepohonan…lalu batu dan pohon itu berkata, “wahai Muslim…wahai hamba Allah…ini, ada orang yahudi bersembunyi dibelakangku, kemari dan bunuhlah dia”.(HR. Muttafaqun ‘alaih).

    Saudaraku’ renungkanlah Firman Allah berikut
    “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan”(TQS: al Anfal:72)

    Dan bukankah mereka telah memanggil kita?
    “suara ini adalah suara jeritan dan ajakan yang keluar dari kerongkongan pejuang-pejuang Islam di bumi Palestina. Jeritan memanggil umat Islam, menyeru untuk kembali bersatu dalam menghadapi penindasan yg dilakukan Yahudi” (Syaikh Ahmad Yassin)

    Saudaraku apakah hati kita telah membatu dan telinga kita telah tuli’ sehingga tangisan keras umat ini tidak terdengar ditelinga kita?

    Apakah sekujur tubuh kita telah lumpuh atau usia kita telah lanjut sehingga tidak dapat berbuat apapun untuk melawan???

    Mungkin sekat-sekat nasionalisme yg batil masih mengerangkeng kita untuk berjihad dan melindungi saudara kita diseberang sana.

    Tapi Demi Allah saudaraku lakukanlah apa yang bisa kita lakukan hari ini, melawan dan bergeraklah semampu kita’

    Baik itu dengan Seruan perlawanan dan pembebasan, demonstrasi, Pamflet-pamflet, selembaran-selembaran, hingga sedikit uang yang bisa keluarkan semua itu adalah sebuah bentuk perlawanan. Jika itu masih belum bisa kita lakukan maka luangkanlah sedikit waktu malam kita untuk selalu mendoakan mereka karena ini juga bentuk perlawanan!!! Intinya lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang, bukan saatnya berdiam diri, jadikan setiap hembusan nafas kita adalah perlawanan dan pembebasan!!!!!

    Namun’ alangkah indahnya jika kita bisa berhadapan langsung dengan kematian di medan Jihad. Dan tiada kematian yang lebih indah dari pada mati syahid di ujung pedang-pedang para pembangkang tuhan.

    “barang siapa yang mati belum berjihad dan tak terbesit dihatinya keinginan untuk berjihad, ia mati dalam cabang kemunafikan”(HR.Muslim)

    “Jihad dengan senjata, Jihad tidak dengan negosiasi, Jihad tidak dengan perjanjian damai, tidak juga dengan dialog”(Syaikh Abdullah Azzam)

    Mungkin, hanya ini yang dapat aku lakukan hari ini’ untuk memenuhi panggilan Allah untuk melakukan perlawanan’

    “Kobarkanlah semangat Para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah Amat besar kekuatan dan Amat keras siksaan(Nya)”.(TQS: An Nissa:84)

    Kawanku bangunkanlah singa-singa yang tertidur di dalam dirimu…
    Bukalahah mata dan telingamu untuk memenuhi seruan Islam…
    Rapatkan barisanmu, buat musuh-musuh Allah gentar melihat persatuan kita…
    Dan dengan lantang serukanlah perlawanan,
    Karena adakah kata yang lebih puitis dari perlawanan??

    ALLAHU AKBAR!!!!!!!!!!!!!

    YA ALLAH AKU TELAH MENYAMPAIKAN. SAKSIKANLAH!!!!!

    YA ALLAH AKU TELAH MENYAMPAIKAN. SAKSIKANLAH!!!!!

    YA ALLAH AKU TELAH MENYAMPAIKAN. SAKSIKANLAH!!!!!

  38. @All
    Imam Jafar Shaddiq as pernah ditanya oleh salah sorang sahabatnya. ” Ya abna Rasulullah mengapa anda tidak berperang (mengangkat senjata) melawan kedhaliman.?
    Imam Jafar as menjawab, masing2 mempunyai tugas. Yang akan berperang melawan kedhaliman dan menegakkan keadilan berada ditangan Al Qaim Imam Mahdi as. Salam damai Wasalam

  39. @forummarimateaceh
    Siapa yang menuduh anda Yahudi? Baca yang benar dong. Saya mengatakan cara yang demikian adalah cara Yahudi. Baca komentar anda2 dulu.

  40. @forumarimateaaceh
    mending kalian selesaikan urusan kalian dgn@ ytsejam di luar forum ini,spy diskusi disini tdk kehilangan arah.
    dan orang lain tdk terpancing dgn situasi kalian.
    kalian bisa buktikan keberadaan kalian,bhw kalian sesuai dgn jati diri kalian,dgn mengikuti diskusi ini dgn baik.

    @Secondprince
    Anda menggunakan website Anda sebagai ajang tuduhan bahwa orang lain adalah yahudi !!! Barangsiapa menuduh orang lain kafir maka salah satu diantaranya adalah kafir….Aneh jika SP digunakan sebagai ajang vonis si A si B dan si C bukan syi’ah… Memangnya apa urusan anda

    @ytsejam
    sy harap anda tdk menanggapi lg klarifikasi mereka
    dan anda bukan Allah ta’ala yang bisa memveto si A si B dan si C bukan syi’ah… Memang nya anda dan guru anda adalah pintu gerbang masuk syi’ah

  41. SALAFi wahabi MENOLAK KEBENARAN KARENA AROGAN

    Temen-temen yang dirahmati Allah, Kadang tiada yang menghalangi suatu kebenaran ketika ia mengahampiri kita kecuali sifat angkuh, arogan yang ada di dalam dada. Meski hati membenarkan, namun akal telah terselimuti kecongkakan.

    Begitu pula yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dimana ketika beliau telah memutuskan untuk berda’wah secara terang-terangan langkah pertama yang diambil beliau adalah beliau berdiri diatas sebuah bukit lantas memanggil kaum Quraisy untuk berkumpul: “Wahai kaum Quraisy, kesinilah kalian semua, aku akan memberikan sebuah berita kepada kalian!!”

    Mendengar panggilan lantang dari Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas berduyun-duyun kaum Quraisy berdatangan. “Saudara-saudaraku, jika aku memberi kabar kepadamu, bahwa dibalik bukit ini ada musuh yang sudah siaga hendak menyerang kalian, apakah kalian semua percaya?”

    Tanpa ragu semua hadirin menjawab mantap, “Percaya!!!”

    Lantas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bertanya, “Kenapa kalian langsung percaya, tanpa membuktikan terlebih dahulu?”

    “Engkau tidak sekalipun pernah berbohong, wahai al Amin. Engkau manusia paling jujur yang kami kenal”, jawab mereka mantap.

    Mendengar jawaban itu, Nabi tersenyum lantas berkata, “Oleh karena itu saudaraku, pada saat ini aku memberi berita penting kepadamu, bahwa aku ini utusan Allah, Rabb yang Esa, dan hanya Dia-lah yang patut disembah oleh umat manusia.”

    Mendengar da’wah ini, sebagian dari mereka ada yang langung percaya dan beriman, ada yang membisu ragu, ada yang marah-marah, mengumpat bahkan ada yang melempari Muhammad, seperti yang dilakukan Abu Lahab.

    Peristiwa ini memperlihatkan bahwa, sebenarnya mereka mengakui atas apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam karena mereka tahu Muhammad tidak pernah berbohong, namun penolakan itu karena mereka tidak mau merubah keyakinan lama, sebagai wujud arogansi kaum tua (seperti Abu Lahab dan kawan-kawan) untuk menerima ajaran baru dari orang yang jauh lebih muda (seperti Muhammad)

    Hikmah:

    Siapapun orangnya yang mau bertazdabur (mempelajari islam) secara kritis, kreatif, arif tanpa pretensi “permusuhan” hampir dipastikan akan mengakui keluhuran islam.

    Faktor ketidakmautahuan acapkali menimbulkan sikap curiga bahkan dihinggapi sikap islamo-phobia.

    Padahal agama islam itu rasional, tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila siapapun mau menyimak cermat, kritis dan arif terhadap islam ideal (yang bersumber Al-qur’an dan Hadits) niscaya dia akan dapat menangkap sinar keluhuran islam.

  42. Upaya pendekatan antara Syiah dan Suni sudah sering kali diadakan. Namun masih saja sebagian golongan Sunni yang masih menganggap Syiah sebagai umat yang lain. Sebenarnya upaya pendekatan tidak perlu dilakukan jika semua golongan mau belajar dan memahami sejarah Islam dari ribuan riwayat sahih yang beredar. Jika saja sebagian Sunni tersebut mau mempelajari dan memahami sejarah tersebut, mereka pasti paham dan mengenal baik akan keberadaan golongan Syiah sejak Nabi saw masih hidup, bukan setelah beliau wafat. Coba anda cari di Jagad Internet yang luas ini tentang jawaban persoalan di bawah ini:

    Abu Bakr dipandang sebagai sahabat terdekat Nabi saw oleh mayoritas Sunni, Lalu mengapa pada waktu “hari persaudaraan” saat pertama kali datang di Madinah, Nabi saw lebih memilih Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya dengan mengatakan “Kamu adalah saudaraku di dunia ini dan di akhirat nanti”. Atas dasar apa golongan Sunni menganggap Abu Bakr sahabat terdekat Nabi saw.

    Semua kaum muslim sepakat bahwa ajaran Islam mencakup dan menormai dalam segala aspek kehidupan, dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang amat besar. Kaum Sunni mengatakan masalah Imamah tidak dijelaskan oleh Qur’an dan sunnah, jadi sahabat berijtihad dalam masalah imamah. Jika benar Nabi saw wafat tanpa memberikan petunjuk apapun tentang Imamah pada umatnya, lalu mengapa Abu Bakr menyebutkan hadits “al-aimmah min al-Quraish” Para imam berasal dari kaum Quraish di Saqifah Bani Saidah. Apa Abu Bakr memalsukan riwayat Nabi saw? dan mengapa Abu Bakr memilih Umar sebagai penggantinya, dengan menyalahi sunnah Nabi saw yang tidak menjelaskan apapun tentang imamah.

    Dalam hadis-hadis sahih (Bukhari, Muslim, dll) Nabi saw menyatakan bahwa ”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.” atau “Agama (Islam) akan berlanjut sampai datangnya Sa’ah (Hari Kebangkitan), berkat peranan Dua Belas Khalifah bagi kalian, semuanya berasal dari suku Quraisy”. Bandingkan susunan 12 imam yang disusun golongan sunni dan Syiah?

    Kuat mana derajat kesahihan antara riwayat yang menyebutkan wasiat Nabi saw (biasa disebut hadits al-Thaqalain) untuk berpegangan pada al-Qur’an dan Sunnah dengan hadis yang memerintah kita semua berpegangan pada al-Qur’an dan Itrahnya (keturunannya)?

    Tuhan telah mengutus 124.000 utusan ke dunia ini, apa ada bukti bahwa semua peninggalan mereka akan menjadi sedekah bagi para pengikutnya? Jika Sunni menganggap demikian mengapa para Umm al-Mukminin tidak memberikan seluruh kepunyaan Rasulullah ke Pemerintahan Islam? Setelah wafatnya Rasulullah saw, Sayyidah Fatimah bertengkar dengan Abu Bakr mengenai Fadak, yang seharusnya menjadi miliknya dari warisan Nabi saw, Fatimah marah dan tidak akan berbicara dengan Abu Bakr sampai akhir hayatnya karena Abu Bakr tidak memberikan Fadak kepadanya. Kenapa Abu Bakr tidak memberikan tanah Fadak tersebut sedangkan Umar bin Abd Aziz saat menjabat sebagai khalifah mengembalikan kembali tanah Fadak ke keturunan Sayyidah Fatimah as?

    Jika anda melihat denah pemakaman Baqi’, anda akan mengetahui bahwa kuburan Uthman bin Affan terpencil dari makam sahabat lainnya. Bagaimana proses pemakaman khalifah ketiga Uthman bin Affan di luar Baqi’ (dulu)? Siapa saja sahabat besar yang bermusuhan dengan Uthman? dan siapa pemicu sebenarnya yang akhirnya membunuh Khalifah Uthman bin Affan? Aisyah bahkan menyebut Uthman sebagai Natsal, seseorang kafir yang harus dibunuh. Jika Sunni mengganggap Aisyah seorang yang benar berarti menerima julukan yang diberikan pada Uthman, dan jika Aisyah berkata dusta mengapa Sunni menganggap dia benar?

    Tuhan telah berfirman bahwa barang siapa yang membunuh seorang muslim dengan sengaja, hukumannya adalah laknat Tuhan dan balasan Neraka selamanya. Sejarah mencatat selama perang Shiffin dan Jamal, 70.800 kaum muslim telah terbunuh. Dimana posisi pembunuh saat itu? apakah ayat tersebut berlaku bagi mereka? Jika kaum muslim melawan khalifah yang sah dan menyebabkan kekacauan dan terbunuhnya ribuan nyawa kaum muslim, dimana posisi mereka saat Hari Pembalasan? Neraka karena Pembunuh atau Surga karena “Mujtahid Teroris”? … Yang pasti salah satunya salah, bukan benar semuanya. Jika anda jawab benar semuanya, APA KATA DUNIA!!!

    Apa sebenarnya arti dari kata “Mu’awiyah”, dan siapa sebenarnya ayah dari Muawiyah dan cerita sebelum kelahirannya, dan menurut al-Nasai, hanya ada satu hadis sahih yang menceritakan keutamaan Muawiyah, hadis apakah itu? Baca juga kisah menyedihkan wafatnya al-Nasa’i karena hadith tersebut.

    Biasanya Golongan Sunni menuduh bahwa Syiahlah yang membantai Imam Husayn as beserta para pengikutnya, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mayoritas Sunni yang jumlahnya lebih banyak dari Syiah tidak menolong Imam Husain as? Dimana posisi Sunni ketika terjadi pembantaian cucu Nabi saw, Imam Husayn as?

    Ingat, kebenaran itu harus dicari dan dipertahankan, bukan sesuatu yang dijejalkan langsung ke akal kita.

  43. Bagaimana Lahirnya Golongan Syi’ah?

    Setelah dengan jelas kita telusuri sejarah munculnya faham Tasyayyu’ dan mendapat pemahaman yang gamblang dan rasionil tentang faham tersebut, maka kita menginjak kepada pembahasan kedua, yaitu dengan mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana gdongan yang dikenal dengan nama Syi’ah dan bagaimana proses terbelahnya ummat Islam menjadi dua golongan sejak awal muncul masyarakat Islam itu terbentuk.

    Sebagai jawabannya, jika kita telusuri periode pertama dari kehidupan umat Islam pada zaman Nabi, kita akan menemukan adanya dua garis pemikiran utama yang sangat bertolak belakang dan juga muncul berbarengan dengan timbulnya masyarakat Islam. Perbedaan antara keduanya telah mengakibatkan timbulnya beberapa perbedaan ideologis saat Rasul menemui Kekasihnya. Yang mana ideologi itu melahirkan perbedaan garis politik antara dua kubu yang kemudian cenderung membentuk dua blok atau partai politik dalam tubuh masyarakat Islam. Lalu salah satunya berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan yang mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya, kubu lain yang tidak berhasil cenderung menjadi kelompok minoritas yang eksklusif dan tersudutkan di tengah-tengah masyarakat yang tidak mendukung bahkan memusuhi mereka. Kelompok minoritas tersebut adalah Syi’ah.

    Dua kubu utama yang sama-sama menyertai masa lahirnya dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman Nabi ttu sebagai berikut:

    – Haluan pertama: menerima secara mutlak keputusan dan perintah agama tanpa pamrih, tanpa mengutamakan ide sendiri atas ketentuan tersebut dan menghayati serta meyakini hukum dan penyelesaian agama terhadap segala aspek kehidupan.

    – Haluan kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan iman kepada agama tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek setiap masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam segala segi kehidupan.

    Para sahabat, di samping selaku generasi mukmin dan cemerlang, mereka juga merupakan generasi yang teristimewakan dan ikut berpartisipasi mensukseskan proyek pelancaran risalah. Sampai saat ini sejarah belum pernah membukukan dan membuktikan adanya sebuah generasi yang lebih handal dan hebat daripada generasi yang telah diciptakan oleh Rasulullah SAWW. Sekali pun kenyataan mereka itu demikian, akan tetapi adalah logis bila kita beranggapan bahwa sejak masa hidup Rasul, telah terlihat adanya dua garis pemikiran yang senang dengan pendapat pribadi yang mereka gunakan bila kepentingan menuntut dan memaksa mereka untuk menanggalkan hukum dan ketetapan agama yang telah tertera dalam nash-nash. Rasulullah seringkali terbentur bahkan terganggu aktifitasnya akibat ulah dan pota pemikiran ini. sampai-sampai ketika beliau sudah terbaring di atas ranjang terakhirnya. Di samping itu, kita juga harus mengakui ada – pada masa hidup Rasul – yang menerima dan sama sekali percaya sekaligus merealisasikan setiap ketentuan agama dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik ibadat, dogma, politik, pemikiran dan lain sebagainya.

    Mungkin faktor utama dari berkembang dan tersebarnya pengaruh pemikiran ijtihad (bir ra’iy) di kalangan muslimin adalah garis dan pola pemikiran seperti ini yang sedikit banyak bersatu dengan naluri kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak sesuai dengan kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar perintah dan dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti maksudnya.

    Garis pemikiran ini dipelopori dan disponsori oleh beberapa sahabat senior seperti Umar bin Khattab yang terkenal nekad menegur dan mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu) dan mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan dengan teks ketetapan agama. Atas dasar alasan dan anggapan yang tampaknya rasionil bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan sendiri beberapa urusan yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama dengan penyelesaian yang telah diajarkan agama.

    Kenyataan ini terlihat dalam sikapnya yang kontroversial dalam menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah dan kritiknya yang tegas terhadap resolusi per­damaian yang disepakati dan ditanda tangani deh Rasul dan langkahnya yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya ‘ala khairil ‘amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan deh Rasulullah SAWW. la juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan hukum modern dan menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan meniadakan Hajji Mut’ah (Tamattu’) dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang tak asing lagi bagi kita.

    Dua aliran pemikiran yang sangat berbeda itu pernah bertemu dan tertumpah secara kebetulan di satu tempat dan wadah pada hari terakhir hidup Nab). Bukhori telah meriwayatkan dalam sahihnya dari Ibnu Abbas. Ia berkata:

    Ketika Rasulullah hampir wafat sedangkan di rumah beliau terdapat beberapa orang termasuk Umar bin Khattab, beliau bersuara: “Mari kutuliskan untuk kalian sebuah pusaka (yang jika kalian mengikutinya), maka kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya”.

    Tiba-tiba Umar berseloroh:

    “Penyakit Nabi itu sudah terlalu parah sehingga beliau mengigau, apa perlunya tulisan itu sedangkan Al Quran ada di sisi kalian. Sudahlah, Al Quran itu sendiri cukup sebagal pedoman bagi kita”.

    Pernyataan Umar ini akhirnya mengundang keriuhan dan perselisihan pendapat di antara orang-orang yang berkerumun menengok Rasul yang sedang terbaring sakit. Sebagian berkata:

    “Berikan! Beliau hendak menuliskan sebuah pedoman untuk kalian yang akan dapat menyelamatkan kalian kelak.”

    Sebagian yang lain mendukung Umar menolak memberikan secarik kertas kepada Nabi Besar Muhammad SAWW. Selang beberpa saat, rumah Rasul tersebut berubah menjadi ajang perang mulut antar sahabat yang berkerumun mengelilingi beliau. Akhirnya, Nabi dengan kesal mengusir mereka:

    “Ayo Enyahlah kalian!”

    Begitu perintah Rasul.

    Tragedi bersejarah ini dengan jelas membuktikan dan menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya perbedaan antara dua gdongan adalah peristiwa perselisihan dan cekcok yang muncul akibat dari penunjukkan Rasul kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai Panglima devisi perang, padahal penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung dari Nabi yang tak dapat ditolak. Sampai-sampai beliau bangkit dari ranjang dengan memaksakan tubuhnya yang sudah lemah-lunglai untuk keluar dari rumah dalam keadaan sakit. Beliau mengeluh kesal di hadapan pengikutnya:

    “Wahai ummat! Desas-desus apa yang aku dengar tentang penunjukkan Usamah (sebagai panglima perang)? Tetapi mengapa dulu kalian tidak menolak penunjukkan ayahnya sebagai panglima. Demi Tuhan! Ia pantas dan mampu memegang jabatan panglima!”

    Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan pada masa hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimpinan imam setelah Nabi

    Orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa adanya nash dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan sebab dan dasar prinsip yang mengharuskan seorang muslim agar menerima secara mutlak segala macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan gagasan sendiri karena beberapa pertimbangan kepentingan di samping kondisi dan situasi yang ada (ini menurut logika dan pola pemikiran mereka tentunya).

    Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa golongan Syi’ah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup Rasul yang beranggotakan orang-orang muslim yang secara praktis telah mematuhi dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah Rasul. Dan haluan yang berfaham Syi’ah kemudian lebih menjelma dalam kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dari sikap protes dan menolak keputusan yang telah diambil pada sidang darurat Saqifah Bani Saidah yang telah membekukan fungsi pim­pinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya kepada orang lain.

    Ath-Thabarsi dalam buku Al-Ihtijaj membawakan sebuah riwayat dari Aban bin Taghlib. la bertanya kepada Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq a.s.:

    “Kujadikan diriku tebusan darimu. Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para sahabat Rasullah?”

    Imam menjawab: “Ya. Dua betas orang dari kaum Muhajirin yang menolak; mereka itu adalah Khalid bin Said bin Abi Al-’Ash, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad bin Al-Aswad, Ammar bin Yasir, dan Buraidah Al-Aslami. Dan dari pihak Anshar adalah Abul Haitsam bin At-Taihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin Tsabit Dzus-syahadatain, Ubay bin Ka’ab dan Abu Ayyub Al-Anshari”.

    Mungkin anda atau siapa pun saja ingin mengatakan hal ini, yaitu jika memang benar haluan Syi’ah itu adalah yang teguh menerima ketetapan secara mutlak dan menerapkannya dalam bentuk praktek kehidupan mereka dan bahwa haluan yang lain lebih mengutamakan pikiran sendiri daripada menerima secara mutlak ketentuan agama, maka ini berarti haluan nash lebih picik dan tidak menggunakan akal sehat. Padahal selama ini haluan dan golongan Syi’ah menggunakan ijtihad dalam syari’at amat sering.

    Jawabannya adalah ijtihad yang dibenarkan bahkan terkadang wajib (kifayah) yang digunakan adalah ijtihad yang mempunyai definisi menyerap suatu hukum dari nash dan ketetapan syar’i. Tapi dalam kamus mereka ijtihad itu bukanlah menggunakan pikiran sendiri daripada menerima suatu ketetapan yang jelas dari agama. Dan ijtihad itu tidak hanya digunakan atas dasar ingin mencapai tujuan dan memperoleh keuntungan pribadi sendiri. Ijtihad demikianlah yang tidak dibenarkan. Sebab ini bertentangan dengan keputusan agama. Dan Syi’ah menolak hak wewenang ijtihad yang demikian. Dan yang kita maksudkan kandungan misi risalah yang baru. Bertindak dari sini kita dapat ketahui bahwa garis pemikiran yang berorientasi kepada nash itu adalah golongan yang lebih menghayati risalah dan menerimanya secara menyeluruh sekaligus tidak menolak fungsi ijtihad selama ijtihad tersebut tidak berten­tangan dengan nash dan selama ijtihad itu bersumberkan hukum syari’at yang sudah ada. Patut diketahui bahwa sikap menerima sepenuhnya ketetapan nash tidak berarti picik dan kedangkalan berfikir yang tidak peduli akan perkembangan dan tuntutan-tuntutannya serta bertentangan dengan faktor-faktor yang dapat menunjang kemajuan dan program pembaharuan yang beraneka warna terhadap kehldupan manusia.

    Maka sikap menerima nash agama mutlak, artinya bertindak atas dasar tuntutan dan ketetapan agama tanpa memilih-milih yang kelihatan ringan. Padahal agama itu adalah selaras dengan kelembutan dan berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta mencakupnya segala macam corak dan ciri kemajuan dan pem­baharuan. Maka bersikap menerima secara mutlak setiap ketetapan agama berarti bersikap menerima segala macam faktor yang dapat menunjang kemajuan. termasuk kreatifitas dalam menciptakan sesuatu yang baru, melakukan pembaharuan terhadap beberapa pemikiran dan gagasan, dan seterusnya.

    Ini semua merupakan garis besar dari penafsiran tentang Syi’ahisme sebagai suatu fenomena dan pemandangan yang logis dan lazim dalam ruang lingkup program dan strategi pengembangan dakwah serta penafsiran tentang timbulnya gdongan Syi’ah sebagai refleksi dan cermin jari fenomena yang alami tersebut.

    Dan kepemimpinan Ahlul Bayt serta Ali yang merupakan fenomena logis itu mempunyai dua fungsi utama dalam teori kepemimpinan. Fungsi pertama selaku Pemimpin dalam bidang pemikiran budaya dan intelektual, dan fungsi kedua sebagai pembimbing dan arkitek projek perombakan dalam bidang sosial. Kedua fungsi kepemim­pinan itu bersatu dan tertumpah dalam satu wadah yang terjelma dalam pribadi Nabi. Kemudian setelah meneliti secara seksama situasi dan kondisi yang ada, beliau mempersiapkan seorang kader handal yang mampu berfungsi sebagai pemimpin dari keduanya secara sempurna, sehingga fungsi kepemimpinan intelektual dapat mengisi kekosongan yang ada pada pola berfikir masyarakat. Sekaligus Rasul bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan sebagai jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema-problema pemikiran dan kehidupan serta menerapkan satu demi satu nllai-nilai dan pikiran-pikiran yang tersirat dalam AI-Qur’an yang sangat rumit dan kurang jelas yang mana Kitab suci tersebut merupakan sumber utama dan khazanah bagi pemikiran dan intelektual Islam di samping agar supaya kepemimpinan sosial berfungsi meneruskan perjalanan Islam di atas garis target sosialnya.

    Dan kedua fungsi kepemimpinan tersebut terdapat pada Ahlul Bayt sesuai dengan kondisi yang telah kita pelajari atas dasar nash-nash Nabi yang telah menekankan hal tersebut berkali-kali. Contoh utamanya ialah nash-nash Nabi tentang kepemimpinan intelektual seperti hadisTsaqalaian Rasulullah yang berbunyi demikian:

    Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka penting(as-saqalain); yaitu Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus dari langit hingga ke bumi dan yang kedua adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul Baytku. Dan bahwa keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi masing-masing sampai keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Oleh karena itu lihatlah kelak bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan melanggarnya. (AI-Hakim dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat).

    Dan contoh utama dari fungsi kepemimpinan sosial adalah hadis Al-Ghadir yang dibawakan oleh Ath-Thabrani dengan sanad (rantai urutan perawi) yang shahih dari Zaid bin Al’arqam. Ia berkata:

    “Rasulullah pernah berpidato di daerah Ghadir Khum di bawah pohon, beliau bersabda: “Wahai manusia! Aku akan diminta pertanggungjawaban dan begitu juga kalian. Lalu bagaimana kalian mengatakan dan menanggapi ini semua!”

    Para sahabat serentak menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah berjuang dan telah menasehati, maka semoga Allah membalas jasa kebaikanmu dengan kebaikan pula”.

    Lalu beliau meneruskan dan bersabda: “Bukankah kalian bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, surga dan neraka-Nya adalah benar dan nyata, mati itu benar, saat kiamat itu pasti tiba dan bahwa Allah akan membangkitkan setiap orang yang terpendam dalam kubur?”

    Mereka serentak menjawab: “Ya! Kami bersaksi demikian”.

    Lalu beliau melanjutkan lagi: “Ya Allah! Saksikanlah”. Selanjutnya bersabda kepada hadirin: Wahai ummat! Allah adalah Pemimpin dan Kekasihku, dan aku adalah pemimpin setiap mukmin dan aku lebih utama (awla) dan lebih berhak atas diri kalian sendiri. Maka, barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka orang Ini (Ali disebelah beliau) adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah! Cintailah setiap orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya!”

    (Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh tabi’in. Dan dari penghafal hadis abad kedua sekitar enam puluh orang. Dan juga tercatat secara rinci dalam kitab Al-Ghadir dalam sebelas jilid).

    Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa kedua nash dan hadisRasul tersebut telah menyerahkan dua fungsi dan wewenang kepada Ahlul bait. Dan yang berpegang teguh kepada nash dan ketetapan Rasul dalam hal dua hak wewenang kepemimpinan itu adalah termasuk golongan muslim yang mengikuti dan menganggap Ahlul Bait bagi pemimpin dan tempat kembali mereka. Seandainya fungsi pimpinan sosial bagi setiap imam itu mempunyai pengertian bahwa mereka memimpin dan berkuasa dalam hidupnya, maka fungsi kepemimpinan intelektual dan pemikiran budaya adalah kenyataan yang tak dapat dibantah terlepas dari kehidupan sosial politiknya sebagai pemimpin dalam hidupnya. Dari sini kita dapat melihat kenyataan tersebut dalam setiap waktu. Karenanya, selama Muslimin membutuhkan suatu pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara, pasti mereka memerlukan adanya kepemimpinan intelektual yang jelas pula dan itu ditetapkan Allah sendiri melalui lidah Rasul yang terjelma dalam:

    1. Kitab Suci Al Quran.

    2. Itrah yang bebas dari dosa dan Ahlul Bayt Rasul.

    Keduanya tidak dapat dipisahkan atau diambil salah satu darinya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi.

    Adapun garis pemikiran lain dari golongan muslimin yang ijtihad dijadikan dasar pemikiran daripada mengikuti nash dan ketentuan agama secara mutlak, maka tokoh-tokoh senior pemikiran ini sejak Rasul wafat telah berhasil mengambil alih kekuasaan dan menyatakan berfungsi sebagai pemimpin sosial politik secara operasional dan dikelola oleh kaum Muhajirin yang bergaris politik lunak dan selalu berubah mengikuti kemajuan dan pertimbangan strategis serta memantau kondisi dan situasi yang ada.

    Atas dasar pemikiran inilah Abu Bakar mengambil alih kekuasaan begrtu Rasul menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menggunakan Saqifah Bani Saidah sebagai Sidang Parlemen Sementara dan ajang perebutan sengit kekuasaan antara Muhajirin dan Anshar yang terbatas bagi beberapa gelintir orang dari kedua golongan tersebut kemudian rekan sejatinya (Umar) menggantikannya atas perintah mendiang Abu Bakar, lalu tongkat estafet khilafah diambil oleh pengganti ketiga Utsman bin Affan atas dasar penunjukkan tertentu dan hanya terbatas bagi enam orang yang telah ditunjuk secara pribadi oleh Umar bin Khattab.

    Akhirnya sikap lunak ini yang lewat tiga abad sejak masa wafat Rasul telah berhasil menciptakan malapetaka terbesar sepanjang sejarah Umat Islam dengan kemballnya khilafah dan kekuasaan kepada orang-orang Islam mu`alaf dan para bekas musuh Rasul yang kemudian disihirnya menjadi pewarisduniawi dan kerajaan monarki yang pindah dari anak ke cucunya, dari saudara ke adiknya dan tamatlah riwayat khilafah yang selama ini dielu-elukan oleh Muslimin.

    Inilah kenyataan yang tragis dari orang-orang yang sebenarnya tidak berhak dan tidak mampu menjabat sebagai pemimpin sosial politik. Lain halnya kenyataan dari fungsi kepemimpinan intelektual budaya, sebab sulit rasanya kita mengatakan bahwa mereka yang berkuasa dalam bidang politik sosial juga berfungsi secara nyata sebagai pemimpin intelektual dan pemikiran setelah kita ketahui bersama bahwa ijtihad dan kecanduan menggunakan pikiran sendiri telah mencabut hak wewenang Ahlul Bayt sebagai pemimpin politik sosial secara operasional dan praktis, sebab akibat dari itu semua adalah terciptanya kondisi obyektif yang menunjang kepemim­pinan mereka sebagai pemimpin dan penguasa. Adapun sebab dari keberatan kita untuk beranggapan bahwa mereka yang berhasil mengambil alih kekuasaan dan pimpinan politik sosial secara operasional telah berfungsi sebagai pemimpin Intelektual dan budaya, adalah fungsi kepemimpinan Intelektual berbeda dengan fungsi kepemimpinan polttik sosial. Bila seorang khallfah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan men­jadi panutan pemikiran atas dasar Al Quran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbuktl bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bayt a.s. dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nash serta bukti-bukti yang sudah ada.

    Oleh karena itu, fungsi kepemimpinan intelektual budaya lebih penting daripada fungsi kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin intelektual – tidak dengan formal – karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai khalifah kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah intelektual. la selalu berkata:

    “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya.“

    Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlul Bayt Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang pemikiran, dan sebaliknya mereka sedikit demi sediktt memandang Ahlul Bayt sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam. Sikap ini telah memproses mereka menjadi tidak lagi membutuhkan pemimpin intelektual dari Ahlul Bayt dan mengambil pikiran sendiri sebagai gantinya. Dan bukan sang khalifah sebagai pengganti pemimpin in­telektual Ahlul Bayt secara tunggal tapi hak kepemimpinan ini mencakup seluruh sahabat. Dan selanjutnya mereka muncul sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pemikiran dan mereka mengucapkan “selamat tinggal” kepada rombongan Ahlul Bayt yang telah ditunjuk secara sah sebagai pemimpin intelektual di samping pemimpin sosial-politik, sebab para sahabat adalah generasi yang hidup bersama Rasul dan mengikuti setiap langkah dan perkembangan missinya serta menghayati dan mematuhi tuntutan sabda dan Sunnah beliau.

    Secara praktis nyata bahwa Ahlul Bayt kehilangan fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pudar di tengah-tengah para sahabat, dan mereka berstatus tidak lebih sebagai seorang sahabat Rasul saja yang semuanya berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin intelektual. Dan sebagaimana yang telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan men­ganggap lebih konsekwen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.

    Saya katakan bahwa sebagai akibat dart perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam, yang merupakan cermin dari pelbagal pertikaian yang terjadi antar kalangan pemimpin sendiri yang berhaluan ijtihadi.

    Kekeliruan Memandang Tasyayyu’

    Sebagai penutup, perlu saya jelaskan suatu hal yang sangat penting, yaitu sebagian dari cendikiawan modern ktta berusaha dengan penuh semangat membedakan dan membagi Syi’ahisme atau Tasyayyu’ menjadi dua macam:

    1. Tasyayyu’ Ruhi Maknawi (Syi’ah dalam moral dan spiritual);

    2. Tasyayyu’ Siasi (Syi’ah dalam masalah soslal politik).

    Dan mereka juga dengan susah payah ingin membuktikan bahwa Ahlul Bayt sejak setelah pembantaian Imam Husein dan keluarga serta sahabatnya di padang Karbala telah meninggalkan aktifitas politik, sebaliknya mereka menyibukkan diri dengan berkhalwat dan beribadat serta memberi wejangan dan nasehat kepada masyarakat.

    Tasyayyu’ sejak lahir tidak pernah tergambar sebagai garis haluan spiritual saja tetapi ia lahir sebagai konsep yang telah dicanangkan Rasul demi kelancaran dakwah di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah Rasul wafat baik dalam segi intelektual ataupun dalam segi politik sosial secara sama rata, sesuai dengan kondisi yang telah memproses timbulnya faham itu.

    Dan atas dasar yang telah kita pelajari di atas, kita tidak menemukan adanya perbedaan antara Syi’ah spiritual dan Syi’ah politik dalam konsep Tasyayyu’ secara utuh, mengingat kedua hal penting itu tidak terpisah dari Islam secara utuh.

    Dengan demlklan ktta dapat memastikan bahwa Tasyayyu’ adalah konsep yang disajikan guna menjaga kelancaran dakwah setelah Nabi. Masa depan yang memerlukan adanya suatu pimpinan intelektual dan soslal politik dalam rangka menelusuri perkembangan Islam secara serentak.

    Dan sejak semula sudah terdapat orang-orang yang mendukung kepemimpinan Ali sebagal individu satu-satunya di tengah-tengah masyarakat Islam yang mampu memainkan peranan khalifah dan melanjutkan kepemim­pinan dari ketiga orang yang telah mendahululnya. Rasa hormat dan simpati itulah yang mendorong hati masyarakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya setelah Utsman bin Affan tewas terbunuh. Rasa cinta mereka itu bukanlah Syi’ahis yang bersifat spiritual ataupun politik. Sebab Tasyayyu’ adalah rasa yakin dan iman bahwa Ali adalah pengganti secara langsung kepemimpinan Rasulullah. Tasyayyu’ mempunyai ruang lingkup dan pengertian yang lebih luas dari itu semua. Tasyayyu’ adalah sikap mendukung Ali secara menyeluruh sebagai pemimpin setelah Rasul. Maka tidak dapat kita seenaknya membagi Tasyayyu’ menjadi dua pengertian saja secara terpisah.

    Kita ketahui bahwa diantara para sahabat besar ada yang mendukung dan berfaham Syi’i dalam segi intelektual dan politik sosial seperti Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, dan lain-lain. Tapi sikap mengikuti secara mutlak atau Tasyayyu’ mereka tidak terbatas pada segi sosial politik saja. Tetapi mereka beriman secara sempurna bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti Rasul dan pengemban dakwah setelahnya dan berfungsi sebagal pemimpin intelektual dan politik sosial. Sikap iman mereka dalam hal intelektual dan pemikiran tercermin dalam Tasyayyu’ spiritual mereka yang telah kita jelaskan tadi.

    Adapun sikap mengikuti dan iman mereka dalam soslal politik, itu tersirat dalam sikap protes terhadap kepemimpinan dan khalifah Abu Bakar dan partai berkuasa yang telah mengambil hak kekhilafahan Ali.

    Sebenamya pendapat yang memisahkan Tasyayyu’ moril dari Tasyayyu’ politik tidak timbul dan dihasilkan oleh logika seorang yang merasa dirinya sebagai seorang syi’i. Lontaran ini mereka keluarkan akibat dari rasa putusasa dan apatis melihat kenyataan yang ada di hadapannya dan merupakan pengamh dari jiwa dan semangat Tasyayyu’ yang mulai luntur dan lenyap yang tidak lagi melihat Tasyayyu’ sebagai konsep yang dipaparkan untuk melanjutkan kepemimpinan Islam dalam rangka membina ummat dan menyempumakan target perombakan besar-besaran yang telah digariskan Rasul yang akhirnya condong surut dan berubah menjadi ajaran dan bibit ideologi yang tersimpan di dalam lubuk hati dan menjadikannya sebagal tongkat dan pembimbing dalam mencapai cita-cita dan angan-angannya saja.

    Dari sini kita dapat menyadari mengapa sampai para imam dari keluarga Rasul dan Cucu Husein a.s. meninggalkan gelanggang sosial politik dan memisahkan diri dari dunia dengan semua keributan dan romantikanya yang bermacam-macam. Kita lihat Tasyayyu’ yang merupakan konsep pengembangan dakwah dan pelanjut kepemimpinan Islam dan bahwa manifestasi (misdaq) dari kepemimpinan Islam itu adalah aksi perombakan yang telah diprakarsai demi penyempurnaan upaya membina umat atas dasar prinsip dan ajaran Islam. Jika itu semua kita sadari, maka tidak mungkin kita akan beranggapan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul tidak lagi memperhatikan segi sosial politik. Sebab dengan tidak memperhatikan segi ini berarti mereka tidak antusias kepada Tasyayyu’ itu sendiri. Dan ini anggapan nihil bahwa para imam itu meninggalkan kancah sosial politik itu berdasarkan alasan bahwa para imam tersebut tidak lagi mengangkat senjata dan tidak mengadakan aksi pemberontakan militer dalam menanggapi situasi yang ada pada saat itu. Anggapan seperti ini adalah cermin kepicikan dan keterbatasan dalam memahami dan mengartikan aktifitas politik sebagai aksi pemberontakkan militer dan angkat senjata saja.

    Dan kita mempunyai nash dan data otentik yang banyak dari pada imam yang menunjukan bahwa para imam selalu siaga dan siap terlibat dalam aksi militer bila terdapat di sisi mereka pendukung dan pengikut-pengikut yang berani dan setia di samping bila ada kekuatan yang dapat menjamin tercapainya cita-cita Islam melaiui aksi militer tersebut.

    Jika kita selalu memantau dengan teliti perjalanan gerakan Syi’ahisme kita akan berkesimpulan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul berpandangan bahwa menerima tampuk kekuasaan dengan sendirinya tidak dapat menunjang dan menciptakan perombakan secara Islami, hal ini akan tercapai bila kekuasaan tersebut didukung dan dibangun atas dasar pondasi dan pangkalan yang kokoh serta sadar akan tujuan dan cita-cita kepemimpinan dan yakin akan kebenaran teori itu serta menjelaskan sikap mereka kepada masyarakat di samping mereka harus tabah menghadapi resiko penekanan dan intimidasi dari luar dan dalam.

    Pada pertengahan abad pertama setelah wafatnya Rasul tokoh-tokoh yang didukung oleh masa – sejak pengambilalihan kekuasaan dari pihak yang kompeten – selalu berusaha mengambil kembali kekuasaan dengan cara yang mereka anggap benar, sebab mereka masih yakin adanya tonggak-tonggak masa yang sudah sadar atau sedang menuju kearahnya balk dan pihak Muhajirin Anshar rnaupun dari pihak tabi’in. Tapi setelah berjalan lebih dari setengah abad dan setelah rasa optimisme itu larut sendiri dikalangan mereka ditambah dengan hadirnya generasi-generasi loyo dl tengah-tengah arus penyelewengan yang melanda pada saat itu. Setelah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apabila gerakan Syi’ah menerima kekuasaan pun itu tidak akan membuahkan hasil dan mewujudkan cita-cita yang diidamkan, karena tidak didukung dengan adanya pangkalan dan tonggak-tonggak masa yang sadar dan siap untuk berkorban. Menghadapi kenyataan ini diperiukan dua tindakan:

    1. Bertindak demi terciptanya tonggak dan sendi-sendi rakyat yang sadar sehingga dapat menyiapkan saat yang tepat dan menguntungkan untuk mengambil kembali kekuasaan.

    2. Menggerakkan dan menghidupkan nurani dan emosi umat Islam serta menjaga semangat dan nurani tersebut, sehingga dapat melindungi mereka dari segala macam sikap lunak yang bisa menjatuhkan harga diri dan identitas mereka selaku umat Islam dari pihak penguasa yang zalim.

    Tindakan pertama adalah tugas yang telah dijalankan den para imam dengan sendirinya. Dan tindakan kedua adalah tugas yang harus dilakukan oleh beberapa tokoh dan kader revolusioner alawi yang selalu rajin – dengan pengorbanan yang tidak sedikit – melindungi nurani dan semangat jiwa Islami. Dan sebagian orang mukhlis daripada mereka mendapat dukungan moril dari para Imam.

    Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. pernah berkata kepada Khalifah Ma’mun – ketika beliau mengenang jasa mulia Zaid bin Ali Zainal Abidin -: “Ia adalah termasuk dari pada cendekiawan-cendekiawan keluarga Muhammad. Ia murka dan marah hanya karena Allah lalu berjuang melawan musuh-musuh-Nya hingga tewas dijalan-Nya. Aku pernah diberitahu Ayahku Musa bin Ja’far bahwa ia dari ayahnya Ja’far berkata: Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada pamanku Zaid. la meminta kerelaan dan restu dari pihak keluarga Muhammad kemudian ia berhasil dan Allah penuhi permohonannya. la berkata:

    “Saya mengajak kalian agar rela akan keluarga Muhammad:” (Wasa’il As-Syi’ah Kitab al-Jihad).

    Akhimya kita ketahui bahwa tindakan dan sikap para imam meninggalkan aksi militer dan pemberontakan fisik secara langsung melawan penyelewengan-penyelewengan itu tidak berarti mereka meninggalkan secara menyeluruh fungsi segi sosial politik serta memisahkan diri dari urusan kekuasaan dan cita-cita mengambilnya kembali lalu hanya sibuk berkhalwat dan melakukan ibadah ritual, tapi sikap demikian ini menggambarkan dan menandakan perbedaan yang menyolok antara konsep tindakan yang berkenaan dengan masalah sosial politik yang dttentukan oleh kondisi objektif dan ditunjang dengan pemahaman yang mendasar tentang esensi dan kandungan yang ada pada tindakan dan aksi perombakan serta metode dan cara mewujudkannya dalam bentuk yang hadir dan terjelma dalam realitas.

  44. ADAKAH sesuatu yang jelas yang tidak bisa lagi digugat atau ditolak? Pertanyaan ulangan sepanjang ribuan tahun. Klasik dan kuno. Kata Thabatabai, “Tidak setiap yang kuno itu ketinggalan jaman”. Banyak dari yang kuno-kuno yang selalu menghadirkan kebaruan tanpa kehilangan kekunoannya. Barangkali bukan sebuah keterlaluan menyebut pertanyaan itu bagian dari yang kuno tapi baru. Di sinilah terungkap satu arti keunikan. Kita akan temukan pertanyaan tersebut sampai dalam sederetan karya terakhir era sekarang. Dan, ukuran ‘sepanjang ribuan tahun’ dimulai hitungannya dari abad ini sampai epik Gilgamesh itu ditulis.

    Kalau saja sejenak diseriusi, mungkin tidak sejenak kita memikirkannya. Di Baghdad, Al-Ghazali pernah melakukannya. “Batinku tergugah untuk mencari fitrah yang sesungguhnya, dan memeriksa kebenaran hakiki dari kepercayaan-kepercayaan yang diterima dengan cara taklid dari dua orang tua dan dua ustaz” . Ulama ini malah jadi mutahayyir, bimbang. Secara sungguh-sungguh dia meragukan dan pempersoalkan bukan hanya kepercayaan-kepercayaan agamanya yang diterimanya secara taklid dari orang tua dan ustaznya itu, tetapi juga segala sesuatu yang mungkin dipikirkannya. Ia sendiri menyebut kondisi ini da’, yakni penyakit yang mu’dhil, akut. Selama dua bulan merahasiakan dirinya sebagai skeptis hebat, sampai ia mensyukuri penyakit itu sebagai karunia besar. “Itulah nur yang Allah hidupkan dalam diriku”. Cara Al-Ghazali menemukan nur dan keyakinan kuat membuatnya menjadi ulama yang besar.

    Kalaulah tidak keberatan memakai metode Delthay, ada baiknya kita menyimak riwayat Al-Ghazali di atas tadi secara hermeneutis, yakni memasukkan dan menyatukan kesadaran kita ke dalam pengalamannya dan melihat diri kita layaknya dia kala itu. Tidak lagi sebatas membaca teks dan memahami maksud, tetapi berusaha meresapi dan menghayati pengalamannya tersebut. Jelas sekali, periwayatan di atas tidak cukup untuk hal ini. Tapi, ada yang bisa dimanfaatkan dari yang sedikit itu, setidaknya pertanyaan di atas. Maka, seandainya kita adalah Al-Ghazali, bagaimana kita menghadapi pertanyaan itu?

    Dengan cara hermeneutis ini, kiranya kita bisa memahami pertanyaan terdahulu sebagai persoalan kita sendiri, sekarang ini. Cara ini pula yang memperlihatkan keunikan pertanyaan itu, ia kuno tapi baru dan segar, setidaknya bagi orang-orang yang punya latar belakang keimanan yang sama dengan Al-Ghazali.

    Jika ada segenggam kesiapan, sisakan seujung jari untuk menghadapi kemungkinan da’ mu’dhil. Karena keimanan, seperti kata Kierkegaard, menuntut risk. Ini menjadi penting kalau dipandang sebagai imtihan. Meski begitu, tidak mesti kehilangan apa yang disebut Paul Tillich sebagai ultimate concern, tidak pula mesti berakhir pada Fideisme-nya Kierkegaard, karena ujian tidak sekadar memberikan satu-dua alternatif. No pain, no gain. Menguji berarti membukakan banyak jalan. Komit pada satu jalan yakni berani mengadapi resiko. Maka itu, memeriksa keimanan tampak sukar. Apapun kesukaran itu tidak berarti menutup segala kemungkinan. Sokeates bilang, “Hidup yang tak diuji tidak ada artinya”. Untuk itu, perlu –sekali lagi- kesiapan walau seujung jari. Apakah itu? Dalam sebuah judul bukunya, Tillich menyimpulkan, To be Courage.

    Menjajaki Kemungkinan

    Al-Ghazali menuturkan: “Sesungguhnya manusia yang tidak meragu niscaya tidak akan berfikir, tidak akan pula melihat kebenaran, maka ia hidup dalam buta, bimbang dan sesat. Tidak ada pintu keselamatan untuknya selain di dalam kemerdekaan”. Penuturan akan falsafah hidupnya yang dilirisnya dengan cara meragukan, sekali lagi, akan segala sesuatu.

    Ada kesepakatan yang tidak disengaja dari Sokrates. Bukankah dialektika dan maieutike techne-nya itu selaras dengan falsafah hidup Al-Ghazali ini. Meski begitu, harus diakui bahwa Sokrates menolak caranya menyikat sana sini, sampai-sampai meragukan segala sesuatu, apapun. Ia menyakinkan kita: “Hanya satu hal yang aku tahu, bahwa aku tidak tahu”.

    Menurut Socrates, ada kenyataan atau kebenaran yang tersisa di sepanjang usaha meragukan segala sesuatu, bahwa meragukan adalah tindakan; sesuatu yang nyata dan tidak bisa diragukan. Seandainya tindakan meragukan itu juga diragukan kenyataannya, maka tidak akan ada satu bentuk pun dari tindakan meragukan. Sokrates hendak menjelaskan bahwa skeptis sejati itu tidak pernah sejati. Penjelasan ini menyanggah tegas komentar Archelaues atas ungkapan Sokrates di atas. Archelaues mengatakan, “Adapun Aku, bahkan kata ‘Aku tidak tahu’ ini pun tidak bisa Aku pastikan”.

    Alih-alih mempertentangkan, masih ada sisa kemungkinan mengislahkan Al-Ghazali dengan Socrates, yaitu dengan menyatakan, “Aku bisa meragukan segala sesuatu kecuali (tindakan) meragukan ini”. Pernyataan ini mengingatkan kita pada diktum-nya Descartes; Cogito ergo sum. “Aku berfikir, maka Aku ada”. Ia ditahbiskannya sebagai kaidah fundamental kebenaran, setelah melalui delapan tahapan menjajal segala sesuatu untuk diragukan, termasuk kenyataan dirinya sendiri. Maka itu, ada sedikit perbedaan. Socrates dan pendahulu lainnya meragu dan berfikir untuk membuktikan adanya sisa kebenaran atau kenyataan pada diri mereka, sementara Descartes melakukan hal sama untuk membuktikan kenyataan dirinya sendiri kemudian selainnya.

    Kaidah Cartesian ini lebih menarik dan disoroti oleh banyak filsuf, karena –paling tidak- lebih mutawatir ketimbang pendahulunya. Tidak terlalu cepat membandingkan sanggahan Immanuel Kant. Berbekal dua belas kategori, forma, dan dikotomi noumena (realitas hakiki) dan fenoumena (yang tampak dari realitas hakiki), sebagaimana dalam Critique of Pure Reason, Kant mempermasalahkan kaidah itu. Baginya, ‘Aku’ yang terdapat dalam kaidah cartesian itu adalah kondisi niscaya dari pengalaman. maka itu, ia tidak diperoleh dalam pengalaman; ia merupakan ego transendental, bukan ego empiris. Oleh karena itu, kendati secara psikologis mungkin berfikir tentang ‘Aku’ sebagai substansi tunggal, kategori-kategori seperti; substansi dan kesatuan, tidak dapat diaplikasikan lalu menghadirkan pengetahuan dalam konteks ini. Karena fungsi kognitif ini berada dalam aplikasinya pada fenomena, bukan pada noumena.

    Dengan kata lain, jika Kant menyodorkan pilihan kepada Descartes, apakah ‘Aku’ yang Anda ketahui lewat kegiatan berfikir itu noumena ataukah fenomena? Kemungkinan besar ia menjawab yang pertama. Bahwa tindakan berfikir-ku menunjukkan diriku sebagai kenyataan hakiki (noumena). Inilah yang ditentang Kant. Berdasarkan filsafat kritiknya, noumena itu –meski diakuinya ada dan nyata- tidak bisa diketahui, karena struktur bangunan pikiran manusia –dalam rangka pengetahui- hanya dibekali forma (ruang dan waktu) serta 12 konsep dasar rasional (kategori). Dan, forma bersama konsep apriori ini hanya dapat berurusan –lewat intuisi indera- dengan tampakan-tampakan (fenomena) dari realitas hakiki, bukan dengan realitas hakiki (noumena) itu sendiri, karena bekal pikiran manusia tidak memadai untuk berhubungan (mengetahui) dengan yang belakangan ini. Jadi, manusia hanya dapat mengetahui dunia fenomena.

    Dengan begitu, hanya ada satu pilihan kita memahami ‘Aku’ dalam kaidah cartesian, yaitu ‘Aku’ fenomenal (empirikal). Ini artinya kita tidak mengetahui ‘Aku’ yang hakiki dan sejati. Di sini Kant menegaskan bahwa tidak ada alasan yang bisa meloloskan pikiran kita berhubungan dengan dan mengetahui ‘Aku’ noumenal.

    Untuk mencermati ‘Aku’ secara lebih dalam, perlu dibahas pula ihwal kaidah Cartesian itu dari sisi ‘berfikir’. Yang bisa kita mengerti dari berfikir ialah tindakan ‘Aku’. Tindakan ini adalah realitas. Jelas, realitas ini berbeda dengan realitas atau afirmasi sebagai dua kategori Kant. Dimanakah akan ia tempatkan? Alih-alih ia mengatakan tidak ada tempat dalam pikiran, justru realitas berfikir ini –setidaknya- salah satu kasus yang tidak tunduk pada supremasi kategori Kant.

    Kalau pun Kant menafsirkan ‘Aku’ noumenal itu hanya sebagai subjek logika atau sebatas term dalam proposisi “Aku berfikir maka Aku ada”, ini artinya tidak ada sentuhannya dengan realitas hakiki. Masalahnya menjadi serius manalaka Kant memberikan penjelasan dan keterangan mengenai hal ihwal ‘Aku’ noumenal, padahal ia sendiri percaya bahwa noumena itu, apapun ia, tidak bisa diketahui. Bagaimana sesuatu yang tidak bisa diketahui tapi dijelaskan, diterangkan dan difahamkan? Tidak begitu jelas apakah Kant hendak menyelaraskan dirinya dengan sang sofis, Georgias, yang menyatakan, “Sesuatu itu tidak ada. Seandainya ada sesuatu, niscaya tidak akan bisa diketahui. Kalau pun bisa ia bisa diketahui, niscaya tidak akan bisa diinformasikan”, mengingat itikad baiknya dalam menyelamatkan Metafisika. Namun begitu, tidak juga berlebihan tatkala sebagian menilai usahanya sebagai succes de scandale. Pernyataan ‘noumena itu ada tapi tidak bisa diketahui’ membawa kita pada lembaran-lembaran pertama Tractatus-Logico Philosophicus. Di sana, Ludwig Wittgenstein menegur kaum skeptis,…. Barangkali kaidah terakhirnya di buku itu jadi coup de grace yang melesak tepat di titik awal pembukaan kisah indah Kant mengenai noumena, bahwa “Terhadap apa saja yang tidak bisa dikatakan semestinya diam”.

    Sesungguhnya ‘Aku’ nomenal dan ‘Aku’ fenomenal tidak mesti digariskan secara horizontal dan vis-a-vis. Tapi, memetakan keduanya secara vertikal sama artinya mengasumsikan adanya hubungan konsisten di antara keduanya. Adakah kemungkinan Kant mengakui hubungan demikian ini antara noumena dan fenoumena? Jawaban Kant bisa kita tunggu tatkala ia dihadapkan pada pertanyaan, Anda yang mengulas kritis ‘Aku’ noumenal, dengan perangkat apa Anda memperlihatkannya sebagai realitas hakiki yang tidak bisa diketahui? Tampaknya, tidak ada yang perlu diajukan olehnya, karena pikiran manusia punya dua intuisi; intusi inderawi/empiris yang menangkap fenomena dan intuisi murni/formal yang menyediakan secara apriori dua forma dan dua belas kategori. Oleh karena ini, Kant hanya memberikan satu kemungkinan untuk pertanyaan di atas, bahwa ‘Aku’ sebagai realitas hakiki tidak dapat diketahui kecuali melalui kontak intuitif langsung dengannya. Kalau kita tanya Kant, adakah intuisi yang berhubungan langsung dengan ‘aku’ dan noumena-noumena lainnya? Kant mungkin akan mempersalahkan pertanyaan ini. Ada tidak adanya tidak lagi berarti, karena intuisi macam itu di luar batas-batas pikiran dan rasio.

    Barangkali jawaban inilah yang membawa kita memahami penilaian Heidegger atas usaha Kant sebagai langkah pertama membangun Metafisika, ketimbang menenggarainya sebagai penghancur. Heidegger sendiri mencoba menyempurnakan langkah-langkah berikutnya lewat da-sein. Sebagai eksistensialis, ia cukup terpikat pada sang pendiri mazhab; Soren Kierkegaard. Yang belakangan ini secara langsung mempertimbangkan Cogito cartesian tersebut. Jika ‘Aku’ dalam kaidah itu menunjuk pada manusia sebagai maujud personal, maka ini tidak membuktikan sesuatu apapun. “jika aku berfikir, adakah gerangan Aku ini sungguh aku!”. Badawi, benih eksistensialis di dunia Arab, menjelaskan bahwa Cogito ergo sum sama artinya dengan “Aku; si subjek yang berfikir, adalah ada”. Di sini, tidak ada lompatan (kognitif) dari Berfikir ke ada, tetapi dari subjek ke ada. Jika berfikir ini dipakai untuk menunjukkan keberadaan ‘Aku’, justru tahshilul hashil, usaha pemborosan yang sia-sia. Atau anggaplah ‘Aku’ dalam cogito itu tidak lebih dari sebuah kata ganti yang tidak lagi memberikan arti apapun, selain untuk mempermudah dalam merangkai kaidah. Sebuah tawaran Russell untuk Descartes yang tidak lebih baik dari kritik Kierkegaard.

    Sampai di sini bapak Eksistensialisme belum menuntaskan perkara. Bila kita bertanya, apakah benar adanya lompatan kognitif dari ‘Aku’ ke ada? Kant dengan hazanah filsafat kritiknya masih berhak mengingatkan kita, bahwa lompatan kognitif itu tidak akan terjadi. ‘Aku’ tidak bisa menjadi satu sisi lompatan pengetahuan, karena ‘Aku’ sebagai noumena dan realitas hakiki –untuk kesekian kalinya- tidak dapat diketahui kecuali melalui kontak intuitif langsung dengannya.

    Berbeda dengan Kierkegaard. Ia justru menekankan adanya intuisi yang langsung tersebut. Ia menyebutnya sebagai keputusan eksistensial. Meski nyaris sepakat dengan Kant tatkala menyatakan bahwa ‘Aku’ bukan objek pikiran, namun alasan Kierkegaard untuk pernyataan ini mempertajam perbedaan di antara keduanya. ‘Aku’ bukan objek pikiran karena seketika ‘Aku’ berfikir dan dipikirkan, seketika itu pula ‘Aku’ keluar dari keberadaannya. Padahal, keterpisahan ‘Aku’ dari keberadaannya adalah ketiadaaan diri sendiri. Maka, ‘Aku’ adalah subjek dalam arti yang seutuh-utuhnya. “Aku’ adalah keberadaannya, tanpa perlu penalaran rasional kecuali pengalaman langsung atau intuisi mistis.

    Tampak ada kesepakatan di antara Kant dan Kierkegaard. Pertama, bahwa tidak ada hubungan vertikal dan konsisten antara ‘Aku’ noumenal dan ‘Aku’ fenoumenal. Kedua, Kierkegaard tidak mengakui adanya lompatan kognitif antara ‘Aku’ dan ‘ada’, bukan karena di luar kapasitas rasio seperti kata Kant, tetapi karena ‘Aku’ seutuh dengan keberadaannya. Kalaulah mesti ada lompatan, sebut saja “lompatan dari ada ke ada’.

    Kesepakatan itu boleh jadi terganggu dengan catatan Kant berikut ini, “jika memang benar tidak ada lompatan rasional, dan jika memang benar ada intuisi yang langsung berhubungan (mengetahui) ‘Aku’ noumenal, bagaimana memahami dan menginterpretasikan secara rasional apa yang terungkap oleh intuisi terebut? Sementara Kant jauh sebelumnya sudah menolak intuisi langsung dalam wacana rasionalitas tanpa perlu repot-repot menanggapi pertanyaan, Kierkegaard secara kesatria menolak usaha menalarkan ‘Aku’ noumenal secara rasional. Selanjutnya, ia menyadari kecenderungan eksistensialistiknya kepada subjektivitas. Dan akhirnya, ia pun kembali nyaris sepakat dengan Kant –minamalnya-untuk membuang Ontologi Metafisis.

    Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli

    Baik Kant maupun Kierkegaard, sama-sama mengambil pendirian yang berlebihan dalam menanggapi ‘Aku’ noumenal Cartesian. Keduanya tidak merestui kehadiran dan hubungan ‘Aku’ noumenal itu dalam diskusi rasional. Kant –kata Yusuf Karam- membangun dinding sebegitu tebal antara ‘Aku’ noumenal dan ‘Aku’ fenomenal, sehingga tidak lagi menyisakan celah. Semantara, Kierkegaard –kata Badawi- menerima ‘Aku’ noumenal sepenuh-penuhnya sampai menyia-nyiakan ‘Aku’ fenomenal. Sayangnya, Karam dan Badawi sendiri selaku dua pemikir Arab yang akrab dengan literatur filsafat Islam tidak melakukan elaborasi. Misalnya melalui karya-karya Ibnu Sina, terutama Al-Ta’liqot; satu dari sekian karya falsafi Ibnu Sina yang direvisi Badawi sendiri.

    Di beberapa tempat dari Al-Ta’liqot, Ibnu Sina cukup aktif mengulas pengetahuan ‘Aku’ akan dirinya sendiri. Coba kita memulai dari filsafat kritik Kant. Asumsikan saja sallamna (kita terima) forma (ruang dan waktu), 12 konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi sebagaimana yang dipaparkan Kant. Ibnu Sina mengingatkan kita, sekiranya benar bahwa kita tahu forma (ruang dan waktu) serta konsep-konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi, tentunya semua itu hadir dan ada pada diri kita. Kehadiran ini menujukkan bahwa kaitan semua itu langsung dalam relungan diri. Tidak ada lagi dualisme dan rentang. Diri secara langsung meliput forma, konsep dan cerapan-cerapan inderawi sebagaimana adanya. Dalam bahasa Kant, ia mengatakan, forma, konsep dan cerapan indrawi dalam kapasitas sebagai noumena hadir langsung pada diri pengetahu, dan diri ini mengetahui atau menyaksikan langsung akan hal ihwal mereka dalam kapasitas yang sama. Maka, ada serangkaian noumena dan bisa diketahui.

    Seandainya forma, dua belas konsep dan semua cerapan inderawi itu diketahui oleh diri pengetahu masih juga sebagai fenomena, maka diri pengetahu perlu suatu perangkat kognitif (apakah semacam intuisi inderawi, formal ataukah lainnya) yang dengannya ia mengetahui semua itu. Jika demikian, bagaimana dengan hasil pencerapan intuisi yang terakhir ini, apakah masih juga sebagai (berupa) fenomena pada diri pengetahu? Mempertahankan ke-fenomena-annya malah akan terus dicecar tanpa henti oleh pertanyaan seperti ini. Yakni, memilih fenomena tidak akan mungkin menuntaskan persoalan, karena harus selalu dan selalu mengandaikan fenomena di atas fenomena dan intuisi di atas intuisi, pengandaian ini berlanjut terus dan terus, tanpa akhir (tasalsul).

    Dengan kata lain, bila semua konsep dan lain-lainnya yang ada pada diri dianggap sebatas fenomena, maka mesti adanya jarak kognitif (cognitive gap) antara diri pengetahu dan konsep itu.

    Sama sekali tidak pernah menyentuh dan tahu fenomena (konsep dan selainnya) itu. Bukankah Kant sendiri yang mempercayai adanya noumena dan fungsinya sebagai sebab kemunculan fenomena. Oleh karena ini, forma, konsep-konsep dasar dan semua cerapan indera diketahui noemena-nya oleh subjek pengetahu secara langsung. Suhrawardi menyebut pengetahuan langsung ini dengan istilah isyraqi yang selalu disandingkan dengan istilah hudhuri.

    Dalam kaitannya dengan ‘Aku’ Kant, uraian Ibnu Sina menjadi lebih jelas lagi. Yakni, kalau saja forma dan lainnya itu adalah noumena-noumena yang secara langsung diketahui diri pengetahu tanpa melalui perangkat (rasio dan indera) ataupun refleksi (gambaran), sudah barang tentu ‘Aku’ pun diketahui sebagai noumena oleh dirinya sendiri secara langsung. Konsep-konsep dasar dan lain-lainnya itu ialah citra-citra ‘Aku’ yang diketahui secara noumenal dan langsung, tentunya ‘Aku’ mengetahui kenyataan dirinya sendiri secara noumenal dan langsung pula.

    Oleh karena ini, Ibnu Sina mengatakan, realitas noumenal ‘Aku’ tidak bisa didemonstrasikan melalui citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan pula difahami kecuali dengan menyadari realitas ‘Aku’ terlebih dahulu.

    Kendati demikian, Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas ‘Aku’ dengan dua argumen. Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika realitas ‘Aku’ diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena ‘Aku’ tidak tersentuh dan berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas ‘Aku’ bukan ‘Aku’, tetapi ‘Dia’, karena ‘Dia’ berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah implikasi yang bertentangan dengan identitas ‘Aku’.

    Ba’dal-lutayya wallati, baik Ibnu Sina maupun Suhrawardi menentang cara Decartes membuktikan realitas aku melalui citranya, yakni berfikir. Aku adalah realitasku, jauh sebelum berfikir, dipikirkan, didalilkan dan dinyatakan. Mereka sama-sama menyatakan bahwa pengetahuan hudhuri manusia pada dirinya adalah dasar segenap pengetahuan. Bahwa pengetahuan sesorang akan keraguan, pengetahuan, perasaan, dan konsep-konsep di mental berlandaskan pada pengetahuan dirinya akan dirinya sendiri.

    Pengetahuan hudhuri sebagai perasaan, peresapan dan penjiwaan ini bersifat sederhana dan tidak terbagi-bagi. Ia bukan layaknya proposisi “Aku berfikir” atau “Aku ada” yang tersusun dari dua konsep. Dua proposisi ini atau proposisi lain semacamnya berfungsi sebagai pengungkap dan pengurai pengetahuan itu dalam bentuk-bentuk logika (proposisi) dan bahasa (kata-kata). Ia menggambarkan apa-apa yang dirasakan, diresapi dan dijiwai oleh seseorang. Maka, ‘Aku’ dan citra-citranya adalah noumena-noumena atau hakikat-hakikat yang bisa ditangkap oleh pikiran untuk lalu diungkapkan dan dipahamkan. Hakikat yang ditangkap oleh pikiran itu bukan lagi hakikat, namun gambaran, refleksi, fenomena, shurah zihniyah. Jadi, pikiran bisa menyadari dan memahami ‘Aku’ serta citra-citranya melalui gambaran dan refleksinya. Secara istilah, pengetahuan tentang sesuatu melalui gambaran mentalnya adalah pengetahuan hushuli. Sejak saat itu, yakni Suhrawardi, sampai generasi filsuf muslim terakhir sekarang, secara jelas dan tegas pengetahuan manusia dibagi kepada dua macam; hudhuri (langsung) dan hushuli (berperantara).

    Pernyataan ini tidak mesti berakhir pada Subjektifisme sebagaimana Kierkegaard. Yakni, sampai di sini jelas bahwa ada noumena-noumena pada diri manusia dan bisa diketahuinya secara langsung dan hudhuri. Tidak dengan refleksi ataupun perangkat inderawi dan rasional, tetapi dengan penyaksian dan kesadaran jiwa. Kant boleh saja mengkritik, bagaimana memahami secara rasional dan meniterpretasikan ‘Aku’ dan citra-citranya yang terungkap oleh penyaksian jiwa tersebut? Sebagaimana yang lalu, Kierkegaard berpandangan bahwa –setidaknya- ‘Aku’ tidak bisa dirasionalkan, karena tidak bisa dijadikan objek pikiran dan rasio. ‘Aku’ adalah subjek pikiran.

    Bagaimana dengan Ibnu sina dan Suhrawardi serta filsuf-filsuf Muslim lainnya? Barangkali hal yang amat sederhana untuk dikatakan bahwa ‘Aku’ yang subjektif dan hudhuri ini diketahui oleh semua subjek secara sama, rata dan mufakat; mereka sepakat dan tegas akan keakuan dan keberadaannya. Sebuah usulan sederhana yang –memang barangkali- menyimpan penuntasan awal. Waalahu a’lam.

  45. Upaya pendekatan antara Syiah dan Suni sudah sering kali diadakan. Namun masih saja sebagian golongan Sunni yang masih menganggap Syiah sebagai umat yang lain. Sebenarnya upaya pendekatan tidak perlu dilakukan jika semua golongan mau belajar dan memahami sejarah Islam dari ribuan riwayat sahih yang beredar. Jika saja sebagian Sunni tersebut mau mempelajari dan memahami sejarah tersebut, mereka pasti paham dan mengenal baik akan keberadaan golongan Syiah sejak Nabi saw masih hidup, bukan setelah beliau wafat. Coba anda cari di Jagad Internet yang luas ini tentang jawaban persoalan di bawah ini:

    Abu Bakr dipandang sebagai sahabat terdekat Nabi saw oleh mayoritas Sunni, Lalu mengapa pada waktu “hari persaudaraan” saat pertama kali datang di Madinah, Nabi saw lebih memilih Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya dengan mengatakan “Kamu adalah saudaraku di dunia ini dan di akhirat nanti”. Atas dasar apa golongan Sunni menganggap Abu Bakr sahabat terdekat Nabi saw.

    Semua kaum muslim sepakat bahwa ajaran Islam mencakup dan menormai dalam segala aspek kehidupan, dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang amat besar. Kaum Sunni mengatakan masalah Imamah tidak dijelaskan oleh Qur’an dan sunnah, jadi sahabat berijtihad dalam masalah imamah. Jika benar Nabi saw wafat tanpa memberikan petunjuk apapun tentang Imamah pada umatnya, lalu mengapa Abu Bakr menyebutkan hadits “al-aimmah min al-Quraish” Para imam berasal dari kaum Quraish di Saqifah Bani Saidah. Apa Abu Bakr memalsukan riwayat Nabi saw? dan mengapa Abu Bakr memilih Umar sebagai penggantinya, dengan menyalahi sunnah Nabi saw yang tidak menjelaskan apapun tentang imamah.

    Dalam hadis-hadis sahih (Bukhari, Muslim, dll) Nabi saw menyatakan bahwa ”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.” atau “Agama (Islam) akan berlanjut sampai datangnya Sa’ah (Hari Kebangkitan), berkat peranan Dua Belas Khalifah bagi kalian, semuanya berasal dari suku Quraisy”. Bandingkan susunan 12 imam yang disusun golongan sunni dan Syiah?

    Kuat mana derajat kesahihan antara riwayat yang menyebutkan wasiat Nabi saw (biasa disebut hadits al-Thaqalain) untuk berpegangan pada al-Qur’an dan Sunnah dengan hadis yang memerintah kita semua berpegangan pada al-Qur’an dan Itrahnya (keturunannya)?

    Tuhan telah mengutus 124.000 utusan ke dunia ini, apa ada bukti bahwa semua peninggalan mereka akan menjadi sedekah bagi para pengikutnya? Jika Sunni menganggap demikian mengapa para Umm al-Mukminin tidak memberikan seluruh kepunyaan Rasulullah ke Pemerintahan Islam? Setelah wafatnya Rasulullah saw, Sayyidah Fatimah bertengkar dengan Abu Bakr mengenai Fadak, yang seharusnya menjadi miliknya dari warisan Nabi saw, Fatimah marah dan tidak akan berbicara dengan Abu Bakr sampai akhir hayatnya karena Abu Bakr tidak memberikan Fadak kepadanya. Kenapa Abu Bakr tidak memberikan tanah Fadak tersebut sedangkan Umar bin Abd Aziz saat menjabat sebagai khalifah mengembalikan kembali tanah Fadak ke keturunan Sayyidah Fatimah as?

    Jika anda melihat denah pemakaman Baqi’, anda akan mengetahui bahwa kuburan Uthman bin Affan terpencil dari makam sahabat lainnya. Bagaimana proses pemakaman khalifah ketiga Uthman bin Affan di luar Baqi’ (dulu)? Siapa saja sahabat besar yang bermusuhan dengan Uthman? dan siapa pemicu sebenarnya yang akhirnya membunuh Khalifah Uthman bin Affan? Aisyah bahkan menyebut Uthman sebagai Natsal, seseorang kafir yang harus dibunuh. Jika Sunni mengganggap Aisyah seorang yang benar berarti menerima julukan yang diberikan pada Uthman, dan jika Aisyah berkata dusta mengapa Sunni menganggap dia benar?

    Tuhan telah berfirman bahwa barang siapa yang membunuh seorang muslim dengan sengaja, hukumannya adalah laknat Tuhan dan balasan Neraka selamanya. Sejarah mencatat selama perang Shiffin dan Jamal, 70.800 kaum muslim telah terbunuh. Dimana posisi pembunuh saat itu? apakah ayat tersebut berlaku bagi mereka? Jika kaum muslim melawan khalifah yang sah dan menyebabkan kekacauan dan terbunuhnya ribuan nyawa kaum muslim, dimana posisi mereka saat Hari Pembalasan? Neraka karena Pembunuh atau Surga karena “Mujtahid Teroris”? … Yang pasti salah satunya salah, bukan benar semuanya. Jika anda jawab benar semuanya, APA KATA DUNIA!!!

    Apa sebenarnya arti dari kata “Mu’awiyah”, dan siapa sebenarnya ayah dari Muawiyah dan cerita sebelum kelahirannya, dan menurut al-Nasai, hanya ada satu hadis sahih yang menceritakan keutamaan Muawiyah, hadis apakah itu? Baca juga kisah menyedihkan wafatnya al-Nasa’i karena hadith tersebut.

    Biasanya Golongan Sunni menuduh bahwa Syiahlah yang membantai Imam Husayn as beserta para pengikutnya, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mayoritas Sunni yang jumlahnya lebih banyak dari Syiah tidak menolong Imam Husain as? Dimana posisi Sunni ketika terjadi pembantaian cucu Nabi saw, Imam Husayn as?

    Ingat, kebenaran itu harus dicari dan dipertahankan, bukan sesuatu yang dijejalkan langsung ke akal kita.

  46. Kelompok minoritas adalah di antara masalah sensitif di dunia. Sangat disayangkan, sejumlah negara tidak menjaga hak-hak minoritas agama, dan malah mendorong ke arah diskiriminasi. Kondisi Syiah di Arab Saudi dapat disebut sebagai contoh jelas pengabaian hak-hak kelompok minoritas.
    Di Arab Saudi, kelompok Syiah tidak mendapat hak-hak mendasar. Akan tetapi pemerintah negara ini tidak melakukan tindakan apapun untuk kelompok tertindas di negara ini. Padahal mereka adalah warga negara ini yang semestinya mendapatkan hak-hak seperti warga lainnya.

    Meski jumlah populasi Syiah di Arab Saudi tidak terdata secara detail, tapi sekitar 10 hingga 15 persen penduduk negara ini bermadzhab Syiah. Pada umumnya, komunitas Syiah di Arab Saudi berada di timur negara ini. Sebagian lainnya juga berada di kota suci Madinah.

    Dari sisi sejarah, Syiah di Arab Saudi mempunyai sejarah penjang di negara ini dan dunia Arab. Meski sepanjang sejarah, komunitas Syiah hidup di bawah pemerintah Sunni, namun mereka biasanya mempunyai posisi terhormat di tengah masyarakat. Akan tetapi kondisi ini tidak bertahan lama setelah berkuasanya keluarga Arab Saudi di awal abad ke-20.

    Komunitas Syiah di negara ini ditindas di masa keluarga Saudi. Keluarga Saudi berkeyakinan Wahabi. Menurut keyakinan ini, sejumlah ajaran Syiah dianggap syirik yang harus ditentang. Yang lebih ekstrim lagi, sejumlah ulama Wahabi mengeluarkan fatwa menghalalkan darah Syiah.

    Satu Abad Penindasan Syiah

    Masa penindasan terhadap kelompok Syiah di Arab Saudi sudah memasuki satu abad. Selama itu, kelompok Syiah di negara ini benar-benar dimarginalkan, bahkan hak-hak mereka diabaikan. Kondisi itu terus berlanjut hingga kini, bahkan kelompok Syiah sekarang ini tidak boleh menggelar shalat jamaah di rumah mereka. Seorang tokoh Syiah di Arab Saudi, Hasan Ali Al-Maliki ditangkap karena tudingan menggelar shalat jamaah di rumahnya.

    Ternyata Hasan Ali Al-Maliki bukan orang pertama yang ditangkap karena menggelar shalat jamaaah di rumahnya. Sebelumnya, ada beberapa warga Syiah di Arab Saudi yang dijebloskan ke penjara dengan tudingan menggelar shalat jamaah di rumah mereka.

    Sikap pemerintah Arab Saudi ini tentunya mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Direktur Arabic Network for Human Rights, Gamal Eid menilai tindakan Arab Saudi yang melarang warga Syiah menggelar shalat jamaah di rumah mereka, sebagai sikap rasis dan arogan.

    Hal yang harus menjadi catatan bahwa larangan menggelar shalat jamaah di rumah bukan berarti memperbolehkan warga Syiah melakukan shalat di masjid. Ibrahim Al-Muqaithib yang juga anggota Organisasi Hak Asasi Manusia di Arab Saudi mengatakan, “Warga Syiah di Arab Saudi tidak boleh melakukan shalat di masjid dan juga tidak boleh berpartisipasi dalam peringatan-peringatan agama. Mereka juga tidak diizinkan untuk mengerjakan shalat di masjid-masjid.”

    Hujjatul Islam Mohammad Bagir Al-Naser, imam jamaah di wilayah Khobar, mengeluarkan statemen keras mengenai pelarangan pelaksanaan shalat jamaah di masjid. Dalam statemen itu, ia menyatakan, “Setelah pemerintah melarang shalat jamaah di masjid-masjid, warga Syiah ingin bergabung dengan kelompok Sunni dan bersedia menjadi makmum imam masjid setempat. Akan tetapi upaya ini tetap dilarang oleh pemerintah Arab Saudi.” Bagian lain statemen itu juga menambahkan, ” Untuk itu, kita baru bisa melakukan shalat jamaah di masjid-masjid dengan syarat meninggalkan hukum fikih Syiah.”

    Ketika komunitas Syiah tidak diizinkan menggelar shalat jamaah dan acara keagamaan di masjid dan rumah-rumah mereka, maka peringatan Asyura atau Hari Kesyahidan Cucu Rasulullah Saww, Imam Husein as, juga tidak dapat dilaksanakan di negara ini. Padahal acara Asyura mendapat perhatian tersendiri dari kalangan Syiah di dunia. Acara semulia peringatan mengenang kesyahidan cucu kesayangan Rasulullah Saww pun dilarang di negara ini. Lantaran memperingati kesyahidan Imam Husein as, sekitar 30 warga Syiah ditangkap.

    Selain itu, para pejabat Arab Saudi juga berupaya menghalangi warga Syiah memiliki tempat untuk menyelenggarakan acara-acara keagamaan. Karena kebijakan ini, sejumlah masjid dan huseiniyah ditutup di negara ini. Belum lama ini, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Nayef bin Abdul Aziz mengeluarkan perintah menutup sembilan masjid Syiah. Penutupan ini mendorong kelompok Syiah di negara ini mengumpulkan tanda tangan yang kemudian dikirimkan ke Raja Abdullah bin Abdul Aziz.

    Dengan pengumpulan tanda tangan itu, komunitas Syiah di Arab Saudi meminta Raja Abdul Aziz supaya kembali membuka masjid-masjid Syiah dan menyetop larangan bagi warga Syiah untuk beraktivitas. Selain itu, mereka juga meminta pembebasan warga Syiah yang ditahan karena menggelar shalat jamaah di rumah mereka. Apalagi para tahanan Syiah yang ditahan mempunyai umur di atas 50 tahun. Sebagian besar pengikut madzhab Ahlul Bait di Arab Saudi dipenjara karena masalah agama dan politik.

    Protes dan reaksi atas sikap diskriminasi terus berlanjut, dan Komite Kebebasan Beragama di AS akhirnya melayangkan surat protes terhadap pemerintah Arab Saudi. Komite itu juga meminta pembebasan terhadap tahanan terlama di Arab Saudi yang bernama Hadi Al-Mathif.

    Larangan Bekerja di Instansi

    Tak diragukan lagi, selama diskriminasi terhadap warga Syiah terus berlanjut, pemerintah Arab Saudi tidak akan mengizinkan warga Syiah terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan politik di negara ini. Warga Syiah di negara ini tidak boleh bekerja di instansi resmi pemerintah seperti militer dan kepolisian. Dengan demikian, warga Syiah tidak akan mendapatkan posisi penting di negara ini.

    Selain itu, kondisi warga Syiah terus menghadapi penghinaan, bahkan anak-anak Syiah mendapat cemoooh di lingkungan-lingkungan pendidikan dan akademi. Yang lebih ekstrim lagi, buku-buku pendidikan di negara ini sarat dengan doktrinasi anti-Syiah. Para guru Syiah juga tidak berhak menonjolkan keyakinan mereka. Jika tetap membangkang, mereka akan dijebloskan ke penjara. Para ulama Syiah juga dilarang menyampaikan ajaran-ajaran Ahlul Bait kepada para pengikut madzhab ini. Kondisi Syiah benar-benar terisolir di Arab Saudi.

    Berbagai penghinaan anti-Syiah juga mewarnai kampus-kampus di negara ini. Mahasiswa yang ketahuan bermadzhab Syiah akan mendapatkan kendala serius untuk mendapat prestasi. Sementara itu, mahasiswa yang menulis skripsi anti-Syiah akan mendapat poin istimewa. Bahkan, pemerintah juga akan mencetak hasil skripsi tersebut. Sebaliknya, warga Syiah sama sekali tidak berhak mencetak karya-karya mereka. Pada saat yang sama, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan dana besar hingga jutaan dolar untuk mencetak buku-buku anti-Syiah di negara ini. Lebih dari itu, situs dan media-media anti-Syiah di dalam dan luar Arab Saudi seperti Televisi Al-Arabiah, juga mendapat dukungan penuh dari Arab Saudi.

    Komunitas Syiah di Arab Saudi berada di sumber-sumber minyak. 40 persen pekerja perusahaan minyak Amerika, Aramco Services Company (ASC) yang juga perusahaan utama eksplorasi minyak di Araba Saudi, adalah warga Syiah. Dengan demikian, kondisi ekonomi komunitas Syiah tidak ideal. Pemerintah Arab Saudi menutup pintu niaga bagi para pengusaha Syiah. Dengan demikian, Arab Saudi menerapkan diskriminasi terhadap komunitas Syiah di bidang politik, sosial dan ekonomi.

    Faktor Anti-Syiah di Arab Saudi

    Pada intinya, ada dua faktor yang menyebabkan pemerintah Arab Saudi bersikap sentimen terhadap kelompok Syiah. Pertama, keyakinan radikal Wahabi yang bertolak belakang dengan Syiah.

    Adapun faktor kedua adalah unsur politik. Fenomena Revolusi Islam Iran dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan keluarga Saudi yang kini berkuasa di Arab Saudi. Munculnya gerakan-gerakan perjuangan Syiah di Irak, Lebanon dan Yaman kian mengkhawatirkan para penguasa Arab Saudi. Kondisi inilah yang membuat pemerintah Arab Saudi kian menekan warga Syiah di dalam negeri.

    Pandangan sempit dan radikal pemerintah Arab Saudi menyebabkan para pejabat negara ini memasukkan diskriminasi dan pelecehan terhadap Syiah dalam program kerja pemerintah. Pada mulanya, warga Syiah berharap Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang menggantikan kakaknya, Fahd bin Abdul Aziz, dapat mengubah kondisi yan ada. Akan tetapi hingga kini, tidak ada perubahan akan kondisi yang ada. Syiah tetap dimarginalkan di negara ini. Padahal keterlibatan Syiah di berbagai kancah malah justru menguntungkan pemerintah Arab Saudi.

    sumber kutipan :http://groups.yahoo.com/group/PPDi/message/20065

  47. Lho……itu koq ada yang make nama saya “Ytse-Jam”…?????????

    Ini orang pada gak tau malu banget, siapa sih koq kayanya usil nih orang??

    Saya menduga orang yang mencatut nama saya adalah saudara syiahali, atau syiahindonesia1, ainunmarziah, aminfaraza itu karena TULISAN YANG DITAMPILKAN OLEH ORANG2 TERSEBUT MEMBUKTIKAN DUGAAN SAYA..!!!

    Mohon perhatian mas SP, siapa tuh yang mencatut nama saya apakah orang2 yang saya sebutkan di atas ataukah ada Salafy2 lain yang usil.

  48. @ Ytse-Jam PALSU

    Anda gak perlu membawa nama saya untuk membuat pengakuan IDIOT anda itu, anda mencoba mengelabui kami dengan menulis:

    Ytse-Jam, di/pada Juni 17, 2010 pada 2:45 pm Dikatakan: r

    koreksi :

    Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang mantan Sunni.. Saya kenal orgnya

    setelah saya telusuri ternyata website s.y.i.a.h.a.l.i tersebut dibuat oleh seseorang yang bernama Amin Farazala, Saya kenal orgnya

    Saya TIDAK PERNAH MENGOREKSI TULISAN SAYA TENTANG ANDA, JADI ANDA TIDAK BISA BERBOHONG DENGAN MENULIS STATAMENT SEPERTI DI ATAS.

    Mohon mas SP berkenan membongkar orang yang mrncatut nama saya di atas..apakah ‘Ytse-Jam” palsu di atas adalah benar orang yang ber-nick name syiahali, syiahindonesia1, ainunmarziah, aminfaraza????????????

  49. Muncul lagi nih sampah masayarakat yang tidak tau malu dengan memdawa bukti kedunguan lalu ok mau bela diri.

  50. website http://syiahindonesia1 sudah di blokir
    karena sering mencatut nama website lain dalam hal “tautan”

    laporan ini kami peroleh pada tanggal 16 juni 2010 malam……

    Jika anda menemukan website yang menyimpang
    laporkan ke e mail : pengawaswebsite@yahoo.co.id

  51. Saya memang PERNAH MENGOREKSI TULISAN SAYA TENTANG ANDA, JADI ANDA jujur DENGAN MENULIS STATAMENT SEPERTI DI bawah ini :

    koreksi :

    Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang mantan Sunni.. Saya kenal orgnya

    setelah saya telusuri ternyata website s.y.i.a.h.a.l.i tersebut dibuat oleh seseorang yang bernama Amin Farazala, Saya kenal orgnya

    saat ini banyak website yang berbau syi’ah…

    Mereka mengambil tulisan ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH…

    Jadi mungkin mereka menganggap web tersebut berisi “”tulisan ulama syi’ah””,

    maksudnya : bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat dan diketik oleh ulama syiah yang asli…..

    Orang yang mengaku web nya dibuat ulama syi’ah , mungkin maksudnya Mereka mengambil tulisan
    ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH… jadi bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat oleh ulama syiah yang asli….

    ————————————————————————–
    adapun ucapan saya ( Ytse-Jam ) :
    Muncul lagi nih sampah masayarakat yang tidak tau malu dengan memdawa bukti kedunguan lalu ok mau bela diri..Muncul lagi nih sampah masyarakat dengan nama baru lagi…Wahh ini orang ngomong apa, ya? Nyampah disini

    jawab : saya mohon maaf atas kekasaran saya, saya orang berpendidikan, khilaf menulis hal tersebut, ucapan seperti itu tidak layak diucapkan orang BERADAB seperti saya, saya telah mengelabui pembaca… saya minta maaf telah mengadu domba dan memuat kata kata yang cuma membuat ricuh

    Kepada SP mohon tulisan diarahkan kepada isi artikel SP… SP blokir aja tulisan tulisan ngawur ya

    viva SP

  52. anda benar,

    Ali bin Abi Thalib satu-satunya sahabat Nabi saw yang memiliki kepribadian kuat dengan keunikan yang khas mampu menarik dan menolak…Menarik para penyandang keimanan yang tulus dan menolak kaum munafik…Sehingga Nabi menjadikan kecintaan kepadanya sebagai tanda keimanan dan kebencian terhadapnya bukti kemunafikan…

    Sejak masa hidup Nabi saw kaum munafik telah tercirikan dengan kebencian mereka terhadap Ali as., dan sejak itu pulalah kaum Mukmin yang tulus telah menggabungkan diri dalam kafilah para pecinta Ali!

    Ayat demi ayat turun, sebagaimana sabda terlontar dari lisan suci yang selalu terhiasi dengan wahyu ilahi untuk menyebutkan keistimewaan kafilah para pecinta sejati ini…

    Syi’ah adalah sebaik-baik hamba pilihan Allah, singa-singa padang pasir, dan rahib di mihrab-mihrab…teladan dalam kebajikan dan penghambaan…konsisten dalam menegakkan Syari’at…teguh dalam keimanan dan keyakinan…tenggelam dalam kecintaan kepada Nabi dan Ahlulbait…Besar perhatian terhadap sesama hamba Allah…

    Mereka itulah hamba-hamba pilihan Allah yang sangat merindukan surga.

  53. @SP
    jgn khawatir,yg tdk menyukai situs anda ternyata memiliki hati yg kotor,sabar n berjuang terus.
    sejak mulai muncul @deskov,sy sdh melihat ada gelagat yg tdk baik
    sy fikir anda bisa memulai dgn menghapus tulisan2 sampah tsb
    @all
    mari kita berikan dukungan kpd SP

  54. Heee,,,,hee,,,,he,,,,,, Ferizal…..duhai Ferizal…..! Begitukah akhlak orang2 Salafy???? Mencatut nama orang untuk merusak reputasi orang tapi rusak reputasi sendiri.

  55. Mohon maaf, ingin ikut berkomentar. Saya baru ikut thread ini.

    1. Bagi penulis, atau siapapun yang menyatakan penggunaan kata “bihi” bisa diartikan sebagai kata ganti jamak, mohon penjelasan yang lebih detail. Kalau memang merujuk kepada kata ulama-ulama tertentu, mohon dijelaskan bagaimana detailnya ucapan ulama tsb, agar kita tidak salah menginterpretasikannya? Saya bukan Ulama, bahkan jauh dari predikat tsb, namun Saya yang cuma paham bahasa Arab secuil ini masih belum mendapati penjelasan dalam tata bahasa Arab bahwa kata “bihi” bisa dipakai untuk kata ganti jamak, dan tidak dianggap sebagai kesalahan grammar.

    2. Seandainya kata “bihi” memang bisa digunakan untuk kata ganti jamak, mohon saya diberitahu, selain di dalam hadith-hadith tsaqalain, bisa dijumpai dimana lagi? Atau mungkin memang hanya bersifat “unique” untuk hadith-hadith tsaqalain saja?

    3. Yang Saya tahu dari 11 hadith tsaqalain yang bisa Saya dapati (mungkin bisa dilihat di 1syahadat.wordpress.com) – mohon Saya diberitahu jika ada yang mendapati lebih dari 11, yang menggunakan kata “huma” (bukan “bihima”) ada 1 hadith (Mustadrak ala sahihain). Sementara yang menggunakan kata “bihi” ada 4 hadith Imam Muslim, 1 hadith Imam Ahmad bin Hambal, 2 hadith dari Sunan Tirmidzi, 1 hadith dari Al Ma’rifat wat Tarikh, dan 1 hadith dari Musykil al Athar.
    Saya belum mendapati hadith yang menggunakan kata “bihima”. Mohon infonya, bisa Saya dapati di kitab apa?

    Terima kasih.

  56. @1syahadat
    tolong dibaca dulu dengan benar tulisannya kemudian barulah anda berkomentar. itu bukan kesalahan grammar kok, penggunaan bihi [dengannya] dan bihima [dengan keduanya] disesuaikan dengan struktur kalimat. 🙂

  57. @SP

    Terima kasih. Sebetulnya sudah Saya baca beberapa kali. Dan baru saja Saya baca lagi. Saya tidak mendapati adanya jawaban pasti.

    Yang Saya dapati adalah sbb:

    1. Logika “bihi diucapkan lebih dulu” sebelum kedua benda yang dimaksud, dan “bihima diucapkan belakangan” setelah penyebutan kedua benda yang dimaksud.
    Saya tidak sepakat dengan ini, karena:

    – Secara grammar, tidak peduli apakah kata ganti tsb diucapkan sebelum atau sesudah penyebutan bendanya, yang penting jika bendanya tunggal, kata gantinya harus tunggal – dan jika bendanya lebih dari satu, maka kata gantinya harus jamak. Karena itulah muncul pertanyaan Saya, jika ada dijumpai di Al Quran ataupun hadith selain hadith tsaqalain, ataupu teks ilmiah berbahasa Arab sajalah, yang menyebutkan kata ganti tunggal untuk menyebutkan benda jamak, apakah itu diposisikan di depan ataupun di belakang, tolong Saya diberi tahu. Kecuali kalau kemudian muncul pengecualian, dimana ketentuan “grammar error” ini hanya berlaku untuk hadith-hadith tsaqalain.

    – Dari 8 hadith yang menggunakan kata “bihi”, 5 hadith menyebutkan kata “Bihi” SETELAH perawi menyebut Kitabullah dan SEBELUM perawi menyebut ahlul bayt (4 hadith Imam Muslim dan 1 hadith Imam Ahmad bin Hambal). Dari poin ini sesungguhnya mudah bagi Kita untuk memahami bahwa yang dimaksud dengan “bihi” oleh para perawi adalah Kitabullah saja.

    – Ada 3 hadith yang menyebutkan kata “bihi” SEBELUM Kitabullah dan ahlul bayt (1 hadith Sunan Timidzi, 1 hadith dari Al Ma’rifat wat Tarikh dan 1 hadith dari Muskil al Athar). Namun kalau kita perhatikan lagi, pada hadith-hadith yang menggunakan kata “bihi” yang Anda katakan untuk menyebut Kitabullah dan ahlul bayt, SEMUA hadith yang menyebutkan “keduanya tidak akan berpisah – dst” kembali memakai kata ganti jamak! Kalau Kita menggunakan logika “Kitabullah dan ahlul bayt sudah dianggap menyatu”, kenapa di bagian ini digunakan lagi kata ganti jamak? Itulah grammar bahasa Arab yang benar menurut Saya, di bagian “keduanya tidak akan berpisah – dst” benar-benar nyata bahwa keduanya adalah 2 entitas yang berbeda.

    – Pada kitab Mustadrak ala sahihain, penyebutan kata ganti jamak yang digunakan sebelum menyebut Kitabullah dan ahlul bayt secara grammar dapat diterima, terlepas dari pembahasan derajat hadith tsb.

    Adapun mengenai hadith yang bathil (Kitabullah dan sunnahku), menurut Saya penggunaan kata “bihi” secara grammar tetap merujuk kepada “Kitabullah” saja. Bukan “sunnahku”. Anyway, hadithnya memang bathil, wallahua’lam apa tujuannya, sehingga memang menjadi sangat kontroversi, termasuk dari sisi grammarnya. Sebaiknya tidak usah dijadikan hujjah untuk apapun, kecuali hanya menjelaskan bahwa ia hadith yang bathil.

    2. Mengenai pendapat ulama (Al Mundziri dan As Suyuthi), Saya mohon dikutipkan pendapat (kalimat) mereka yang menyebutkan “bihi” berlaku untuk 2 benda. Saya ingin tahu saja kalimat persisnya. Siapa tahu yang dimaksud ulama itu seperti layaknya “Ta’at kepada Allah tidaklah terpisahkan dengan ta’at kepada RasulNya”. Sebagai penafsiran atas konsekuensi saja. Wallahua’lam, Saya belum bisa berkomentar apapun sebelum mengetahui bagaimana kalimat yang digunakan para ulama tsb.

    Demikian argumen Saya.

    Selanjutnya, mohon ada yang bersedia untuk menjawab pertanyaan Saya saja pada komentar sebelumnya.

    Sebetulnya sederhana saja. Secara pribadi, bila ada yang bisa menunjukkan bahwa ada penggunaan kata ganti tunggal untuk benda jamak yang menyalahi grammar/tata bahasa Arab, misalnya “bihi”, dalam Al Quran ataupun hadith ataupun teks ilmiah apapun, niscaya pemahaman Saya akan tata bahasa Arab yang cuma secuil ini akan runtuh seruntuh-runtuhnya.

    Terima kasih.

  58. @1syahadat

    1. Logika “bihi diucapkan lebih dulu” sebelum kedua benda yang dimaksud, dan “bihima diucapkan belakangan” setelah penyebutan kedua benda yang dimaksud.
    Saya tidak sepakat dengan ini, karena:

    Maaf, anda keliru ini bukan soal logika tetapi soal tata bahasa yang digunakan. Penggunaan bihi dan bihiima disesuaikan dengan struktur kalimat.

    – Secara grammar, tidak peduli apakah kata ganti tsb diucapkan sebelum atau sesudah penyebutan bendanya, yang penting jika bendanya tunggal, kata gantinya harus tunggal – dan jika bendanya lebih dari satu, maka kata gantinya harus jamak.

    Kalau begitu anda tidak memahami struktur kalimatnya dengan baik. Nih saya kasih contoh pas buat anda, dalam tata bahasa inggris, penggunaan “is” bersifat tunggal sedangkan “jamak” digunakan “are”. Tetapi ketika ingin mengatakan setiap orang atau masing-masing orang tetap digunakan “is” yang bersifat tunggal walaupun orangnya ada banyak. Inilah yang namanya tatabahasa. Yang harus anda mengerti sekarang dalih bihi dan bihiima yang anda angkat-angkat ini hanyalah syubhat semata yang tidak ada dasarnya pada tatabahasa arab. Oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang fasih berbahasa arab mempermasalahkan penggunaan bihi dan bihiima baik dalam hadis Tsaqalain ataupun hadis Kitab Allah dan Sunahku. bihi itu berarti “dengannya” dan hadis dengan lafaz bihi menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ditinggalkan Rasul SAW dimana kita harus beroegang teguh dengannya, nya disini kembali kepada “sesuatu” yang belum disebutkan ada berapa jumlahnya, nah ketika disebutkan sesuatu itu adalah Kitab Allah dan Ahlul Bait maka itu berarti
    Kitab Allah adalah sesuatu yang jika berpegang teguh dengannya maka tidak akan tersesat
    Ahlul Bait adalah sesuatu yang jika berpegang teguh dengannya maka tidak akan tersesat.
    Bihi atau “dengannya” merujuk pada masing-masing item, persis dengan contoh bahasa inggris yang saya tunjukkan di atas.
    Pada hadis dengan lafaz bihiima, Disana dikatakan aku tinggalkan dua hal atau dua perkara yang jika kalian berpegang teguh dengan keduanya [bihiima]. Dari awal dikatakan bahwa ada dua hal yang ditinggalkan sehingga ketika digunakan kata “keduanya” yaitu bihiima. Jadi baik hadis dengan lafaz bihii dan bihiima tidak memiliki perbedaan makna. Keduanya memiliki konsekeunsi yang sama yaitu berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait.

    Karena itulah muncul pertanyaan Saya, jika ada dijumpai di Al Quran ataupun hadith selain hadith tsaqalain, ataupu teks ilmiah berbahasa Arab sajalah, yang menyebutkan kata ganti tunggal untuk menyebutkan benda jamak, apakah itu diposisikan di depan ataupun di belakang, tolong Saya diberi tahu. Kecuali kalau kemudian muncul pengecualian, dimana ketentuan “grammar error” ini hanya berlaku untuk hadith-hadith tsaqalain.

    Tidak ada yang error disini, saya sarankan agar anda mempelajari bahasa arab dengan baik sebelum menyatakan hadis shahih sebagai “grammar error” 🙂

    Dari 8 hadith yang menggunakan kata “bihi”, 5 hadith menyebutkan kata “Bihi” SETELAH perawi menyebut Kitabullah dan SEBELUM perawi menyebut ahlul bayt (4 hadith Imam Muslim dan 1 hadith Imam Ahmad bin Hambal). Dari poin ini sesungguhnya mudah bagi Kita untuk memahami bahwa yang dimaksud dengan “bihi” oleh para perawi adalah Kitabullah saja.

    Pada hadis Muslim yang lainnya, bihi [dengannya] diucapkan setelah Kitabullah maka bihi disini kembali kepada Kitabullah itu benar. tetapi tidak ada petunjuk dalam hadis Shahih Muslim bahwa itu tidak berlaku buat ahlul bait. Hadis shahih Muslim dan yang lainnya tidak menyebutkan pesan atau peringatan apa yang dimaksud Rasul SAW tentang Ahlul Bait. Jadi disini perawi tidak menjelaskan kalau kita umat ini disuruh ngapain perihal “Ahlul Bait”. Nah penjelasan itu terdapat dalam hadis-hadis lain 🙂

    – Ada 3 hadith yang menyebutkan kata “bihi” SEBELUM Kitabullah dan ahlul bayt (1 hadith Sunan Timidzi, 1 hadith dari Al Ma’rifat wat Tarikh dan 1 hadith dari Muskil al Athar). Namun kalau kita perhatikan lagi, pada hadith-hadith yang menggunakan kata “bihi” yang Anda katakan untuk menyebut Kitabullah dan ahlul bayt, SEMUA hadith yang menyebutkan “keduanya tidak akan berpisah – dst” kembali memakai kata ganti jamak!

    Ya iyalah, kata ganti jamak digunakan karena telah disebutkan bahwa sesuatu itu ada dua yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait terus keduanya tidak akan berpisah. Nya itu kan nempel pada kata kedua ya jelas digunakan jamak.

    Kalau Kita menggunakan logika “Kitabullah dan ahlul bayt sudah dianggap menyatu”, kenapa di bagian ini digunakan lagi kata ganti jamak? Itulah grammar bahasa Arab yang benar menurut Saya, di bagian “keduanya tidak akan berpisah – dst” benar-benar nyata bahwa keduanya adalah 2 entitas yang berbeda.

    Kalau begitu saya tanya kepada anda jika ada dua hal dikatakan menyatu terus anda mau mengatakan dalam bahasa arab “keduanya menyatu” maka lafal apa yang anda ucapkan? silakan dijawab 🙂

    Itulah grammar bahasa Arab yang benar menurut Saya, di bagian “keduanya tidak akan berpisah – dst” benar-benar nyata bahwa keduanya adalah 2 entitas yang berbeda.

    Maaf Mas itu kan memang translate-nya. Coba tuh anda sebutkan kata “keduanya” dalam bahasa Arab. 🙂

    – Pada kitab Mustadrak ala sahihain, penyebutan kata ganti jamak yang digunakan sebelum menyebut Kitabullah dan ahlul bayt secara grammar dapat diterima, terlepas dari pembahasan derajat hadith tsb.

    Pada hadis Al Mustadrak dari awal telah disebutkan aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang jika kalian mengikuti keduanya. Dari awal telah disebutkan ada dua perkara maka ketika menyebutkan kata “keduanya” nya digunakan dalam bentuk jamak. So tidak ada masalah kok pada grammar hadis Tsaqalain.

    Adapun mengenai hadith yang bathil (Kitabullah dan sunnahku), menurut Saya penggunaan kata “bihi” secara grammar tetap merujuk kepada “Kitabullah” saja. Bukan “sunnahku”. Anyway, hadithnya memang bathil, wallahua’lam apa tujuannya, sehingga memang menjadi sangat kontroversi, termasuk dari sisi grammarnya. Sebaiknya tidak usah dijadikan hujjah untuk apapun, kecuali hanya menjelaskan bahwa ia hadith yang bathil.

    Baru anda nih yang mengatakan bahwa hadis ini mengandung kesalahan grammar. Saya meminta anda agar menunjukkan satu saja ulama yang ketika membahas hadis “kitabullah dan sunnahku” dengan lafal bihi mengatakan bahwa hadis tersebut mengandung kesalahan grammar atau bahwa itu merujuk hanya pada kitabullah saja. Kalau memang kesalahan grammar yang anda maksudkan ini bisa dipahami oleh orang yang paham secuil bahasa arab maka tidak mungkinlah hal seperti ini luput dari pandangan ulama-ulama yang fasih berbahasa arab. Silakan ditunjukkan dan saya tunggu dengan senang hati 🙂

    2. Mengenai pendapat ulama (Al Mundziri dan As Suyuthi), Saya mohon dikutipkan pendapat (kalimat) mereka yang menyebutkan “bihi” berlaku untuk 2 benda. Saya ingin tahu saja kalimat persisnya.

    Maaf menurut saya, anda tidak memiliki kehalusan dalam berhujjah terutama dalam penggunaan bahasa. Al Munziri dan As Suyuthi memahami hadis dengan lafal bihi [hadis kitab Allah dan Sunahku] sebagai dalil berpegang teguh pada Kitab Allah dan berpegang teguh pada Sunnah Rasul. Mereka berdua tidak pernah menganggap ada kesalahan grammar pada hadis dengan lafal bihi seperti syubhat yang anda bawakan.

    Sebetulnya sederhana saja. Secara pribadi, bila ada yang bisa menunjukkan bahwa ada penggunaan kata ganti tunggal untuk benda jamak yang menyalahi grammar/tata bahasa Arab, misalnya “bihi”, dalam Al Quran ataupun hadith ataupun teks ilmiah apapun, niscaya pemahaman Saya akan tata bahasa Arab yang cuma secuil ini akan runtuh seruntuh-runtuhnya.

    Insya Allah tidak akan ada yang dirugikan jika pemahaman tata bahasa arab anda [yang anda katakan secuil] runtuh seruntuh-runtuhnya. Saya hanya menganjurkan kepada anda untuk memahami struktur kalimat dalam suatu hadis dengan baik atau dengan kaedah tata bahasa yang benar sebelum anda mengatakan adanya “grammar error” dan sebagainya “)

  59. @SP

    Saudaraku,

    Pertama, Saya hendak mengklarifikasi mengenai grammar error. Dari sudut pandang Saya, hadith-hadith tsaqalain adalah benar grammarnya, dimana “bihi” menunjukkan kepada 1 entitas saja, yaitu Kitabullah. Namun bila dilihat dari sudut pandang Anda yang menerima “bihi” untuk entitas jamak, maka memang Anda jadi melihat Saya menempatkan hadith-hadith tsb sebagai grammar error. Tidak mengapa. Itu masalah perspektif/sudut pandang. Saya tidak merisaukannya sedikitpun karena Saya yakin dngan yang Saya pahami. Saya hanya ingin ada contoh lain, “pengecualian grammar” (jika istilah “grammar error” akan diperdebatkan) yang serupa dalam teks formal apapun (Al Quran, hadith, dsb). Jika pengecualian ini adalah hal yang lazim, Saya yakin banyak yang bisa menunjukkan kekeliruan pemahaman Saya. Dan runtuhlah pemahaman Saya seruntuh-runtuhnya, meski tidak ada yang dirugikan, ataupun diuntungkan dengan itu. Tidak mengapa pula, karena tegak pun pemahaman Saya sepertinya juga tidak akan menguntungkan ataupun merugikan siapapun, insya Allah. Jadi, mohon tunjukkan saja kalau memang ada, karena tokh tidak akan ada yang dirugikan..

    Kedua, penggunaan “each” dalam bahasa Inggris bukanlah jamak. “Each” itu pengertiannya adalah tunggal, Saudaraku, silahkan cari di literatur manapun, ataupun guru bahasa Inggris manapun. Memang dimaksudkan untuk menunjuk kepada 1 entitas saja, yang merepresentasikan entitas-entitas lainnya. Karena “each” itu sebetulnya betuk singkat dari “each of ..” (“each of them”, misalnya), yang secara harfiah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “salah satu dari …”. Kebetulan Saya belajar bahasa Inggris secuil juga. 🙂 Jadi makin menarik buat Saya karena bahasa Inggris sudah mulai dibahas. Saya contohkan lagi penggunaan “both” yang berarti “keduanya”. Both, dianggap semenyatu apapun orang memandang kedua entitas yang dimaksud, secara tata bahasa (grammar) pengertian “both” adalah jamak. Saat ini Saya sedang mencari literatur terjemahan hadith-hadith tsaqalain dalam bahasa Inggris, karena Saya yang pemahaman bahasanya memang serba tanggung (secuil-secuil) ini belum berani menerjemahkan hadith, apa lagi ke dalam bahasa yang bukan bahasa ibu Saya, tanpa literatur baku. Yang baru Saya dapati adalah hadith-hadith dari Imam Muslim, yang lainnya belum. Bisa Saya sampaikan bahwa kata yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah “so hold fast to the Book of Allah and adhere to it”. Tapi mungkin informasi tsb barangkali belum lah cukup untuk digunakan sebagai hujjah bagi sebagian dari kita, meski mungkin cukup untuk sebagian yang lain. Mudah-mudahan literatur yang lain bisa Saya segera dapatkan.

    Sekali lagi, Saudaraku, Saya mohon diberi tahu seperti apa persisnya kata-kata Al Mundziri dan As Suyuthi, sehingga Saya yang berilmu secuil dan tidak halus dalam berhujjah kebahasaan ini bisa belajar dari mereka, juga dari Anda, dan juga Saudara-saudaraku yang lainnya. Semoga segala kekurangan yang ada pada Saya tsb tidak menjadikan terlarangnya Saya dari mendapatkan pelajaran yang bersumber dari siapapun.

    Wallahua’lam dan terima kasih.

  60. @1syahadat

    Pertama, Saya hendak mengklarifikasi mengenai grammar error. Dari sudut pandang Saya, hadith-hadith tsaqalain adalah benar grammarnya, dimana “bihi” menunjukkan kepada 1 entitas saja, yaitu Kitabullah.

    Dari sudut pandang saya, hadis-hadis Tsaqalain benar grammarnya dimana hadis dengan lafaz bihi [dengannya] berlaku untuk masing-masing item yaitu Kitabullah dan Ahlul Bait. Konsekuensi dari hadis Tsaqalain adalah berpegang tguh pada Kitabullah dan Ahlul Bait 🙂

    Namun bila dilihat dari sudut pandang Anda yang menerima “bihi” untuk entitas jamak, maka memang Anda jadi melihat Saya menempatkan hadith-hadith tsb sebagai grammar error. Tidak mengapa. Itu masalah perspektif/sudut pandang. Saya tidak merisaukannya sedikitpun karena Saya yakin dngan yang Saya pahami.

    Silakan anda yakin dengan yang anda pahami, tetapi dalam kasus ini anda tidak mengerti dengan baik apa yang saya sampaikan. Penggunaan bihi diatas berlaku untuk masing-masing item sebagaimana yang telah saya bahas dengan tuntas di atas.

    Saya hanya ingin ada contoh lain, “pengecualian grammar” (jika istilah “grammar error” akan diperdebatkan) yang serupa dalam teks formal apapun (Al Quran, hadith, dsb). Jika pengecualian ini adalah hal yang lazim, Saya yakin banyak yang bisa menunjukkan kekeliruan pemahaman Saya.

    Ini bukan masalah contoh tetapi ini masalah anda salah menempatkan apa yang anda pahami. Saya tanya kepada anda arti dari kata “bihi” itu apa? dan arti dari kata bihiima itu apa?.Kemudian silakan lihat hi pada bihi merujuk ke kata apa dan hiima pada kata bihiima merujuk ke kata apa. Saya sarankan agar anda tidak terjebak dengan asumsi sendiri.

    Dan runtuhlah pemahaman Saya seruntuh-runtuhnya, meski tidak ada yang dirugikan, ataupun diuntungkan dengan itu. Tidak mengapa pula, karena tegak pun pemahaman Saya sepertinya juga tidak akan menguntungkan ataupun merugikan siapapun, insya Allah. Jadi, mohon tunjukkan saja kalau memang ada, karena tokh tidak akan ada yang dirugikan..

    Apa yang perlu ditunjukkan?. Pada kasus ini tidak ada yang salah baik pada grammar hadis dan arti hadis Tsaqalain dengan lafaz bihi jelas artinya berpegang teguh pada masing-masing item yang disebutkan. Syubhat yang anda katakan itu tidak memiliki dasar dalam tata bahasa arab, buktinya saya belum pernah menemukan ulama yang fasih berbahasa arab ketika menjelaskan hadis Tsaqalain atau hadis Kitabullah dan Sunahku dengan lafaz bihi menyatakan kalau bihi disana artinya merujuk pada satu saja yaitu Kitabullah. Kalau memang masalah ini adalah masalah secuil bahasa arab sangat tidak mungkin tidak ada ulama yang mengetahuinya. Jadi mengapa saya harus mengikuti syubhat anda justru andalah yang harus membuktikan syubhat anda dengan membawakan contoh ulama yang fasih berbahasa arab yang mengatakan seperti yang anda katakan soal hadis Tsaqalaian atau hadis Kitabullah dan Sunnahku dengan lafaz bihi.

    Kedua, penggunaan “each” dalam bahasa Inggris bukanlah jamak. “Each” itu pengertiannya adalah tunggal, Saudaraku, silahkan cari di literatur manapun, ataupun guru bahasa Inggris manapun.

    Nih saya kasih contoh untuk melihat apa yang saya maksud, jika di suatu ruangan terdapat sepuluh orang dimana mereka semua sangat tinggi terus saya berkata “setiap orang di ruangan tersebut sangat tinggi”. Nah ada sepuluh orang yang sangat tinggi bukan satu orang tetapi kalimat yang digunakan akan menggunakan kata is yang bersifat tunggal. Mengapa karena “sangat tinggi” itu menjelaskan sifat masing-masing mereka di ruangan tersebut.

    Memang dimaksudkan untuk menunjuk kepada 1 entitas saja, yang merepresentasikan entitas-entitas lainnya. Karena “each” itu sebetulnya betuk singkat dari “each of ..” (“each of them”, misalnya), yang secara harfiah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “salah satu dari …”.

    Wah maaf saya baru tahu kalau kata each of them diartikan “salah satu dari”. Mungkin anda punya kaidah khusus sendiri dalam bahasa inggris, kalau salah satu dari biasanya pakai “one of” bukan each, itu setahu saya sih maklumlah saya tidak begitu paham bahasa inggris, semoga bisa dimaklumi 🙂

    Kebetulan Saya belajar bahasa Inggris secuil juga. 🙂 Jadi makin menarik buat Saya karena bahasa Inggris sudah mulai dibahas.

    Mungkin ada baiknya anda menambahkan lagi pada diri anda apa yang anda sebut secuil itu, insya Allah akan berguna sekali 🙂

    Saya contohkan lagi penggunaan “both” yang berarti “keduanya”. Both, dianggap semenyatu apapun orang memandang kedua entitas yang dimaksud, secara tata bahasa (grammar) pengertian “both” adalah jamak.

    No problemo, semua orang yang paham bahasa inggris akan menerimanya 🙂

    Saat ini Saya sedang mencari literatur terjemahan hadith-hadith tsaqalain dalam bahasa Inggris, karena Saya yang pemahaman bahasanya memang serba tanggung (secuil-secuil) ini belum berani menerjemahkan hadith, apa lagi ke dalam bahasa yang bukan bahasa ibu Saya, tanpa literatur baku.

    Oh silakan saja, walaupun begitu saya akan berikan saran yang lebih baik. Daripada anda sibuk mencari bagaimana terjemahan orang lain bukankah lebih baik kalau anda belajar sendiri cara menerjemahkan. Saya rasa itu lebih berguna bagi anda, saya ataupun siapa saja 🙂

    Yang baru Saya dapati adalah hadith-hadith dari Imam Muslim, yang lainnya belum. Bisa Saya sampaikan bahwa kata yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah “so hold fast to the Book of Allah and adhere to it”. Tapi mungkin informasi tsb barangkali belum lah cukup untuk digunakan sebagai hujjah bagi sebagian dari kita, meski mungkin cukup untuk sebagian yang lain. Mudah-mudahan literatur yang lain bisa Saya segera dapatkan.

    Silakan silakan itu adalah hak anda pribadi dimana saya tidak punya otoritas apapun terhadapnya 🙂

  61. Sesungguhnya aku meninggalkan 2 pusaka di tengah-tengah kalian. Yang pertama adalah Kitabullah ‘azza wajalla. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, berpegang teguhlah kalian padanya dan taatilah. Beliau menasehati (kami untuk berpegang teguh) kepada Kitabullah. Kemudian beliau bersabda lagi: Dan (yang kedua adalah) ahlul baytku. Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baytku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baytku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul-baitku.

    Sama dengan

    Sesungguhnya aku meninggalkan 2 buah. Yang pertama adalah Jeruk. Di dalamnya terkandung berbagai macam vitamin dan gizi yg baik. Karena itu, makanlah daripadanya. Beliau menasehati (kami untuk memakan) jeruk. Kemudian beliau bersabda lagi: Dan (yang kedua adalah) apel. Aku ingatkan kalian kepada apel.

    Kata-kata itu saya maksudkan bahwa jeruk dan apel itu sama-sama mengandung berbagai macam vitamin dan gizi. oleh sebab itu makanlah kedua buah itu. begitu…

  62. @SP
    Jika tidak ada ulama (yang fasih bahasa arab) yang menyatakan bahwa hadits tsaqalain itu “grammer error” maka:
    1. Memang tidak ada “grammer error” disitu. atau
    2. Mereka (ulama2 tsb) tidak lebih cerdas/teliti daripada 1 syahadat.
    Bukankah ini konsekuensi logis dari masalah yang dibawa oleh 1syahadat?

    @1syahadat
    each of them (Kitabullah & Itthrati ahlul bayt) = setiap dari mereka (keduanya/Kitabullah & Itthrati Ahlul Bayt).

    Dipersilakan untuk mencari2 lagi alasan untuk menolak hadits tsb. Agar semua bisa melihat kebobrokan argumen (kelompok) anda.. 🙂

    Salam damai.

  63. hehehehe….Ampun bos…

  64. saya kira sudah jelas dan kuat hujjah yg disampaikan 1syahadat, jadi ga perlu dibantah lagi. Yang harus dipegang teguh adalah Kitabullah saja sbgmana disebutkan dlm hadits2 yg shahih mengenai wasiat Nabi SAW, “Bihi” dalam hadits2 di atas jelas merujuk pada Kitabullah, sedangkan ahlul bait adalah salah satu dari dua perkara yg berat yg ditinggalkan Nabi SAW.

  65. @ sok tau banget

    Seluruh Ulama Islam baik Sunni maupun Syiah menyatakan kata “bihi” itu ditujukan pada “Ats-Tsaqalain” yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. Hanya pendengki saja seperti Ibnu Taimiyah yang mencoba mengaburkan maksud dari hadis itu. Maklumlah Ibnu Taimiyah memang sangat benci dan dengki pada Ahlulbait. Dan sekarang muncul lagi pengekor Ibnu Taimiyah yang mempersoalkan kata “bihi” itu karena mereka masih tidak bisa menerima kedudukan tinggi Ahlulbait dalam Islam.

  66. @ sok tau banget
    “ahlul bait adalah salah satu dari dua perkara yg berat yg ditinggalkan Nabi SAW.
    Benar, sedemikian beratnya perkara Ahlul-Bayt sbg peninggalan Nabi saw. sehingga sebagian orang keberatan menjadikan mereka (Ahlul-Bayt) sebagai panutan utk diikuti, ditaati, sedemikian berat utk dijadikan sebagai rujukan utk dipegang-teguhi.
    Sedemikian berat sehingga ada orang yg mau cari enaknya saja [enak versi dirinya] dgn berkata, “Cukup Kitabullah.”

  67. @sok tahu banget

    saya kira sudah jelas dan kuat hujjah yg disampaikan 1syahadat, jadi ga perlu dibantah lagi.

    Saya maklum kok kalau apa yang anda sebut kuat hanyalah setiap hujjah yang sejalan dengan keyakinan anda saja.

    Yang harus dipegang teguh adalah Kitabullah saja sbgmana disebutkan dlm hadits2 yg shahih mengenai wasiat Nabi SAW, “Bihi” dalam hadits2 di atas jelas merujuk pada Kitabullah, sedangkan ahlul bait adalah salah satu dari dua perkara yg berat yg ditinggalkan Nabi SAW

    Hadis-hadis shahih telah menjelaskan bahwa agar tidak sesat maka yang harus dipegang teguh adalah Kitab Allah dan Ahlul Bait, penjelasan soal bihi sudah dibuktikan diatas, memang tidak aneh kalau anda dan yang lainnya [yang sama seperti anda] tidak bisa memahami dengan benar 🙂

  68. @sok tau banget cs
    ini ada ayat utk anda
    surah alkahfi 103 sd 106
    103. Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
    104. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
    105. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.

    klu anda telah merasa berbuat sebaik2nya (beribadah n beramal sholeh)
    tapi ternyata semuanya sia2,krn anda telah mendustakan ayat2 allah (kedudukan ahlulbait)
    saran sy utk anda hilangkan kedengkian anda terhadap ahlul bait.
    allah telah meberikan kutamaan kpd sebagian orang tp sebagian manusia dengki
    albaqarah 90.
    Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya] kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.

    annisa 54.
    ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia] yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.
    annisa 55.
    Maka di antara mereka (orang-orang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala apinya.

    @all
    selamat menunaikan ibadah di bln ramadhan,mohon maaf lahir n bathin

  69. @aldj
    Welcome back..!!!
    Selamat puasa ..
    Maaf Lahir & batin.

    Semoga puasa kali ini dapat menghilangkan kedengkian.

    Salam damai.

  70. @sok tau banget

    Pengikut “Umar” = Cukup Kitabullah..!!
    Pengikut Rasulullah SAW = Kitabullah & Wasiat (ahlul bayt).

    Saya mengikuti Rasulullah SAW secara totalitas:
    Baik ketika Beliau sehat ataupun sakit.
    Baik ketika Beliau Hidup maupun Wafat.
    Baik ketika Umar r.a. sependapat dengan Beliau ataupun ketika Umar r.a. menentangnya.

    *Hidup adalah pilihan*
    *Manusia akan ditanyakan atas pilihan2nya*

    Salam damai.

  71. @1syahadat/sok tau banget

    Bagaimana pun, menekankan bahwa hanya kitabullah yg menjadi pegangan hidup adalah sebuah bantahan asal-asalan, omong kosong & pembelaan membabi-buta yg sangat tdk sesuai dgn kenyataan.

    Di bagian-bagian lain anda-anda selalu mengumandangkan slogan: “Ikutilah para sahabat karena mrk generasi terbaik setelah Rasulullah saw”.

    Lupakah anda dengan yang ini: “Wajib atas kalian utk berpegang dgn sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yg mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu dgn gigi geraham kalian”

    Sy ingatkan anda-anda dgn slogan ini: “Berpeganglah kalian dengan Kitabullah dan Sunnah-ku”

    Nah, jika hanya kitabullah yg menjadi pegangan anda, bagaimana kemudian nasib yang di atas itu?

    Salam

  72. @all
    Saya tidak kaget atas sifat2 mereka yang membenci Ahlulbait Rasul.
    Mereka akan selalu mencari/membuat yang nyata menjadi kabur dan yang benar menjadi Ragu.
    Sifat mereka itu seperti Yahudi.
    Yahudi pernah mendebatkan ZAT Allah. Mereka mengatakan bahwa Allah BERJENIS LAKI2
    Dasar mereka mengatakan demikian atas dasar Firman2 Allah.
    Yakni kata HUA. Hua dalam bahasa Arab adalah kata ganti nama orang ketiga LAKI2
    Atau DIA laki2
    Dan sekarang mereka pembenci Ahlulbait mempersoalkan sabda Rasul mengenai BIHI dan BIHIMA
    untuk menghilangkan kedudukan Ahlulbait yang disejajarkan Allah dengan Alqur’an
    Kalau tidak ada RASA DENGKI dan HASUT dihati mereka,
    mereka akan melihat perbedaan makna dalam kalimat.
    BIHI dipakai pada kalimat yang bagaimana dan BIHIMA dipakai pada kalimat yang bagaimana. Salam damai . Selamat menuanaikan Ibadah Puasa. Wasalam

  73. @armand
    Sekarang ini hujjah tsb tidak menguntungkan posisi kami, jadi kami tinggalkan dahulu.
    Lain kali kalau kami butuhkan baru kami pakai, jadi mas armand tidak usah kuatir, ada saatnya kami gunakan lagi.

    Perlu mas armand ketahui, jika yang mengatakan bahwa cukup Kitabullah adalah musuh2 kami maka kami akan cerca mereka sebagai “ingkarussunnah” dan mereka akan kami cerca sebagai orang2 yang berpikiran cupat dan sesat.
    Namun jika kami yang menyatakannya maka pasti kami yang benar.

    *itu kira2 dialog yang tak terucapkan yang saya sedang bayangkan*

    Salam damai.

  74. @truthseekers
    trims n salam

    fanatisme n kedengkian di hati mereka(sok tau banget cs)
    mnyebabkan mereka menjadikan hawa nafsu diatas akal mereka,tanpa sadar mereka memposisikan diri nya inkar terhadap sunnah

    o..ya anda menulis bhw umar menentang rosul,bisa anda berikan dalil yg kuat,seperti apa penentangan itu?

  75. @all

    memang kenyataan seperti itu mau diapain? mau dipaksa-paksakan jg ga ada gunanya. Jelas dalam hadits2 shahih dijelaskan bahwa wasiat terbesar Nabi yang kita tidak akan tersesat bila berpegang teguh padanya adalah Kitabullah … ahlul bait dipegang teguh jika mengikuti Kitabullah, jika ga ya ga dipegang teguh. silahkan jika kalian menolaknya, lha kebenaran itu sudah begitu jelas kok.

  76. @sok tau banget
    Jadi menurut anda hadits tsb kurang/cacat krn tidak menyatakan/menambahkan: “Wasiat ini berlaku selama ahlul bayt berpegang teguh kpd Kitabullah?”
    Bagaimana menurut anda, apakah Ahlul Bayt berpegang teguh kepada Kitabullah atau tidak?

    Salam damai.

  77. @1syahadat
    Saya melihat ada ayat Al-Qur’an yg mudah2an bisa mempermudah Anda memahami aturan (bhs. Arab) utk penggunaan kata ganti “hi” dlm kalimat yg pada bagian awalnya belum menyebutkan jumlah atau perincian objek yg dituju, sekalipun objek yg dimaksud ternyata lebih dari satu dalam lanjutan kalimat2 selanjutnya.

    Silakan lihat surat Al-Kahfi[18] ayat 78, lalu perhatikan perincian objek yg dimaksud pada ayat 79-82.
    Ayat 78 surat Al-Kahfi: سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
    Terjemahan: Akan aku beritakan kepadamu takwil/penjelasan APA yang kamu tidak mampu bersabar atasNYA.

    Dalam ayat itu, digunakan kata ganti “hi” pada kata عَلَيْهِ. Kata ganti “hi” di situ merujuk ke kata “مَا” (= APA) dalam kalimat tsb.
    Dengan memperhatikan ayat 79-82, kita bisa melihat bhw kata “APA [مَا]” dan kata gantinya, yaitu “nya [hi]”, ternyata objek yg disebutkan ada 3 hal, yaitu: (1) perusakan perahu, (2) pembunuhan anak, dan (3) pendirian dinding.
    Jadi, 3 hal tsb adalah yg dituju/dimaksud oleh kalimat: “مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا” = APA yang kamu tidak mampu bersabar atasNYA.

    Kembali ke hadis tsaqalayn versi Tirmidzi berikut:
    إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنْ اْلآخَرِ
    كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلىَ اْلأَرْضِ وَعِتْرَتيِ أَهْلُ بَيْتيِ

    Pada frase “مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي”, kata ganti “hi” pada kata بِهِ mengacu ke kata “مَا” dlm frase tsb.

    Lalu, apa objek yg dimaksud pada frase: “مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي” ? Jawabannya disebutkan pada lanjutan kalimatnya, yaitu:
    (1) Kitabullah
    (2) ‘Itrahku, Ahlul-Baytku.

    Keterangan di atas cukup menjelaskan bhw apa yg mesti dipegang-teguhi agar sekali-kali tidak sesat sepeninggal Nabi saw. adalah 2 tsaqal: Kitabullah dan Ahlul-Bayt Nabi saw.

  78. @truthseekers
    akan tdk nyambung klu berdiskusi yg satu fihak menggunakan dalil naqli n aqli sedang fihak lain dgn fanatisme n hawa nafsu
    ini sy berikan dalil quran bgmn hub antara alquran n ahlulbait

    QSalwaqiah 77-79
    77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia,
    78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
    79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
    siapakah mereka yg disucikan?
    mereka yg dimuat dlm alahzab33,yaitu ahlulbait

  79. @Badari
    bukankah dari dulu saya katakan kalau anda ini bagusnya buat blog saja, Alhamdulillah senang bisa mendapat ilmu dari anda. So ayo buat blog 🙂

  80. @1syahadat,

    tuh udah dijawab dengan bagus oleh @Sp dan @badari … mau ngeles gimana lagi coba?

    @sok tahu banget,

    jangan jenggot aja lu panjangin, otak lu tuh benerin … hehehe

  81. hehehe .. pengetahuan bahasa arab 1syahadat yang cuma secuil, akhirnya runtuh seruntuh-runtuhnya … apalagi dong yang tersisa … 😀

  82. Ya bedalah, Al-Kahfi di atas menceritakan 3 hal yang sepadan dan yg dimaksud adalah merinci satu demi satu yg membuat Musa AS tidak sabar pada masing-masing tsb.

    sedangkan Kitabullah dan ahlul bait adalah dua hal yang tidak sepadan, yang satu lebih besar drpada yg lain, sehingga “bihi” di situ merujuk pada Kitabullah saja tidak kepada Ahlul bait.

    Wallahu A’lam

  83. @sok tahu banget

    Ya bedalah, Al-Kahfi di atas menceritakan 3 hal yang sepadan dan yg dimaksud adalah merinci satu demi satu yg membuat Musa AS tidak sabar pada masing-masing tsb.

    sepadan? apakah maksudnya? apakah di bagian membunuh anak sepadan dengan mendirikan bangunan, itu kah maksudnya?. gak ngerti deh 😛

    sedangkan Kitabullah dan ahlul bait adalah dua hal yang tidak sepadan, yang satu lebih besar drpada yg lain, sehingga “bihi” di situ merujuk pada Kitabullah saja tidak kepada Ahlul bait.

    hadis Tsaqalain dengan lafaz bihi menunjukkan ada dua hal yang dimaksud dengan merinci apa yang harus dipegang teguh agar tidak sesat yaitu Kitabullah dan Ahlul Bait. Jangan terlalu nafsu buat menolak. Kalau sudah salah ya akui saja buat apa menolak. Jelas-jelas dihadisnya disebutkan keduanya tidak akan berpisah :mrgreen:

  84. @sok tahu banget
    > Ya bedalah, Al-Kahfi di atas menceritakan 3 hal yang sepadan dan yg dimaksud adalah merinci satu demi satu yg membuat Musa AS tidak sabar pada masing-masing tsb.

    sepadan? konsep apalagi ini? setelah terdesak, baru keluar konsep sepadang …. hehehe dasar salafy gendeng …

    Yang gw tahu sih, otak lu sepadan sama anak TK … 🙂

  85. @sok tau banget

    memang kenyataan seperti itu mau diapain? mau dipaksa-paksakan jg ga ada gunanya. Jelas dalam hadits2 shahih dijelaskan bahwa wasiat terbesar Nabi yang kita tidak akan tersesat bila berpegang teguh padanya adalah Kitabullah

    Jadi yg benar yg mana donk? Apa dan siapa yg wajib anda ikuti? Kitabullah saja, sahabat saja, atau Kitabullah dan Sunnah Nabi? Kan menurut anda semuanya shahih tuh?
    Apakah anda ingin mengatakan bahwa Nabi anda memang plin-plan dan tidak konsisten dalam menyampaikan pesannya?

    Salam

  86. @sok tahu banget
    > sedangkan Kitabullah dan ahlul bait adalah dua hal yang tidak sepadan, yang satu lebih besar drpada yg lain, sehingga “bihi” di situ merujuk pada Kitabullah saja tidak kepada Ahlul bait.

    baca secara benar diskusi antara SP dan 1syahadat yang kemudian disambung sama badari. Jangan salahkan orang lain, jika anda tidak mengerti arah diskusi. salahkan diri anda sendiri yang otaknya ceper gara-gara tinggal dibumi ceper … heheheh *becanda*

    1syahadat meminta bukti ada tidak penggunaan kata bihi (tunggal) tetapi merujuk kepada pengertian jamak. SP sebenarnya telah menjelaskan secara gamblang dan jelas, bahwa secara kaidah bahasa hal itu memungkinkan. Badari kemudian memperkuat dengan bukti ayat Alquran yang menunjukkan bahwa kata ganta “hi” (tunggal) dapat merujuk kepada arti jamak.

    @1syahadat pernah berkata : “Sebetulnya sederhana saja. Secara pribadi, bila ada yang bisa menunjukkan bahwa ada penggunaan kata ganti tunggal untuk benda jamak yang menyalahi grammar/tata bahasa Arab, misalnya “bihi”, dalam Al Quran ataupun hadith ataupun teks ilmiah apapun, niscaya pemahaman Saya akan tata bahasa Arab yang cuma secuil ini akan runtuh seruntuh-runtuhnya.”

    nah, dengan bukti yang dibawa @badari, maka dengan senang hati saya katakan tata bahasa arab 1syahadat telah runtuh seruntuh-runtuhnya … hahahah

    Nah, kok tiba-tiba muncul satu orang salafy gendeng yang bernama “@sok tahu banget” mengeluarkan argumen jurus dewa mabuk dengan kata-kata “kan tidak sepadan?”

    dasar salafy gendeng … jenggotnya aja sih dipanjangin, harusnya otaknya tuh dibenerin … hehehehe …

  87. @armand
    Selamat menempati rumah baru.. 🙂

    Salam.

  88. @armand
    > Jadi yg benar yg mana donk? Apa dan siapa yg wajib anda ikuti? Kitabullah saja, sahabat saja, atau Kitabullah dan Sunnah Nabi? Kan menurut anda semuanya shahih tuh?
    Apakah anda ingin mengatakan bahwa Nabi anda memang plin-plan dan tidak konsisten dalam menyampaikan pesannya?

    Salafy itu tinggal dibumi ceper. Karena ceper, maka kemiringan buminya sering berubah-ubah atau inkonsisten. Kadang miring kekanan, kadang miring kekiri. Ternyata ini berpengaruh kepada pola pikir pada penduduk yang mendiaminya yaitu Salafy/wahhabi …:)

    makanya jawaban dari pertanyaan anda juga tidak ada yang konsisten.

    Apakah hanya Kitabullah saja yang diikuti? Jawabannya iya, jika diberikan argumen hadits Tsaqolain.

    Apakah Kitabullah dan Sahabat yang diikuti? Jawabannya iya, jika merujuk hadits Khulafaur Rasyidin.

    Kok bisa berbeda-beda? Apakah artinya Nabi Muhammad Plin-plan? Ehm, nggak juga sih. lebih tepatnya otak gw yang lagi miring kekanan. Siapa tahu otak gw miring kekiri. Mungkin jawabannya beda lagi.

    Kira-kira itu yang ada dipikirannya Salafy/Wahhabi … hehehehe …

  89. @truthseeker

    Trims 🙂

    @wahabi kampret

    Teori bumi ceper keliatannya masuk di semua lini ya… :mrgreen:

  90. @sok tau benar
    Anda pernah melihat iklan di TV?
    Ada iklan mengenai KOPI SUSU torabika.
    Mula kopi tersendiri dan susu tersendiri.
    Pada waktu kita sebut TORABIKA itu berart KOPISUSU. Tidak bisa kita katakan kopi saja atau susu
    Maka TORABIKA disinii adalah BIHI
    Rasul mengatakan:Aku tinggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haud.
    Ini berarti dua yang jadi satu. Dan kedua tidak bisa dipisahkan. Kalau dipisahkan maka bukan lagi TSAQALAIN atau wasiat Nabi. Kalau hanya Alqur’an buat apa Rasul memberi WASIAT. Alqur’an sudah dari mula (sejak dakwa) sudah DITAATI. wASALAM
    تارك فيكم أمر

  91. @armand,

    fatwa bumi ceper dan matahari mengelilingi bumi menurut saya adalah tonggak fatwa paling memalukan bagi salafy/wahhabi. Fatwa ini tidak dapat dihapus oleh hujan ataupun dihancurkan gelombang lautan. Betapun fatwa ini sudah direvisi oleh Bin Baz, tetap saja salafy/wahhabi pernah mengeluarkan fatwa paling memalukan. Karena itu, saya senang mengulang-ngulang fatwa tersebut .. 🙂

    pernah di beberapa situs yang saya kunjungi, banyak non muslim yang meledek fatwa ini. Pinginnya sih membela saudara sendiri [walaupun salafy/wahabi sering tidak menganggap saudara kepada orang2 seperti kita], tapi bagaimana mau membela? Tidak ada argumen yang bisa membela fatwa paling memalukan ini.

    Ada memang pendapat2 atau pikiran2 yang memalukan yang dikeluarkan salafy/wahhabi. ya contohnya pendapat salafy/wahhabi disini. Bagi saya, membaca pendapat salafy seperti membaca humor. Cukup mampu sebagai penghilang stress. Tapi tetap saja, masih belum ada pendapat/pikiran sememalukan fatwa bumi ceper .. 🙂

    salam bumi ceper!

  92. arti sepadan yg saya maksud adalah tiga hal tersebut masing-masing telah membuat Musa AS tidak sabar, sehingga ketiga hal tersebut diangap satu.

    sedangkan Kitabullah dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tidak sepadan, ada perbedaan dalam memperlakukan mereka, sangat jelas dalam teks hadit yg disampaikan Badari Kitabullah lebih besar drpd ahlul bait, disamping itu jelas dalam hadits Muslim yg dipegang teguh agar tidak sesat ya cuma Kitabullah.

  93. @sok tau banget
    alquran n ahlulbait rosul pun sepadan buat ummat ini spy tdk tersesat,krn keduanya tdk terpisahkan

  94. @sok tau banget

    sedangkan Kitabullah dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tidak sepadan, ada perbedaan dalam memperlakukan mereka

    Maksud ente apa sih dengan tidak sepadan?
    Apakah karena ente anggap tidak sepadan maka hanya berpegang teguh kepada Kitabullah dan tidak perlu berpegang kepada Ahlul Bayt hanya krn “tidak sepadan”??
    Mari kita ikuti alur LOGIKA (?) anda:
    1. Rasulullah tidak sepadan dengan Allah maka berpegang teguh kepada Allah dan tinggalkan (tidak perlu berpegang teguh kepada) Rasulullah??? Audzubillahimindzalik…!!
    2. Hadits/sunnah tidak sepadan dengan Qur’an, maka berpegang teguh kepada Qur’an dan tinggalkan Sunnah?? Audzubillahimindzalik..!!
    3. Shalat sunnah tidak sepadan dengan shalat wajib, maka laksanakan saja shalat wajib dan tinggalkan shalat sunnah. Audzubillahimindzalik..!!

    Ahhhh…ngerti gak kira2 ente dengan konsekuensi logika ini??

    Salam damai.

  95. @sok tahu banget

    arti sepadan yg saya maksud adalah tiga hal tersebut masing-masing telah membuat Musa AS tidak sabar, sehingga ketiga hal tersebut diangap satu.

    Kitabullah dan Ahlul Bait masing-masing harus dipegang teguh agar tidak tersesat sehingga keduanya dikatakan tidak akan berpisah sampai kembali ke Al Haudh.

    sedangkan Kitabullah dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tidak sepadan,

    Teks hadisnya menyebutkan yang satu lebih besar dari yang lain dan teks hadisnya menjelaskan kalau keduanya harus dipegang teguh agar tidak tersesat.

    ada perbedaan dalam memperlakukan mereka, sangat jelas dalam teks hadit yg disampaikan Badari Kitabullah lebih besar drpd ahlul bait,

    Sangat jelas dalam teksnya bahwa keduanya [walaupun yang satu lebih besar dari yang lain] harus dipegang teguh agar tidak tersesat 🙂

    disamping itu jelas dalam hadits Muslim yg dipegang teguh agar tidak sesat ya cuma Kitabullah.

    Dalam hadis Muslim gak ada kata-kata “cuma Kitabullah”. pertanyaan sederhana dalam hadis Muslim apa pesan Rasulullah SAW tentang ahlul bait?. Kalau mau jawab menjaga hak, menghormati dan memuliakan ahlul bait maka saya tanya kok dalam teks hadisnya gak ada yang menyebutkan soal itu 🙂

  96. sudah…para syiah mari memperbanyak pahala dibulan ramadan ini dengan MUTAH, satu hari 3, 4, 5 org wanita juga boleh kalo saling tukar anak gadis tuk dimutah juga boleh. inikan ajaran agama syiah dan jgn lupa minum obat kuat biar dahsyat seperti ulama ulama iran …..asyik asyik asyik

  97. @Truthseeker08

    sabar bro…:) ente yang biasanya kalem akhirnya tidak bisa menahan diri juga melihat “kengeyelan” @soktahubanget …

    cukuplah kita tahu bahwa @soktahubanget otaknya lagi miring kekanan dan kadang miring kekiri mengikuti pergerakan bumi ceper … jadinya jawabannya kadang-kadang miring juga hehehehe ..

    dan penjelasan @soktahubanget cuma ngeles kayak bajaj. Maklum-lah dulu @soktahubanget ini kan mantan sopir bajaj … jadi kebiasaan ngelesnya masih ketinggalan … 🙂

    @SP

    bro, barusan baca di haulasyiah tentang cerita Uhud. Sudah bisa ditebak jika isinya mengekerdilkan peran Imam Ali. Tapi yang mengagetkan, dalam cerita tersebut secara tersirat juga menceritakan bahwa Imam Ali juga termasuk sahabat yang kabur dari sisi Rasulullah. Yang tertinggal disamping Rasulullah cuma Talhah dan Saad bin Abi Waqosh.

    Boleh dong bro, jika ada waktu dan kebetulan menemukan, dishare ke-kita hadits2 yang menyebutkan siapa-siapa aja yang tinggal disisi Rasulullah dan siapa-siapa aja yang kabur dari sisi Rasulullah pada saat perang Uhud. Pingin tahu nih bro … thanks ya.

  98. @Truthseeker08

    sabar bro…:) ente yang biasanya kalem akhirnya tidak bisa menahan diri juga melihat “kengeyelan” @soktahubanget …

    cukuplah kita tahu bahwa @soktahubanget otaknya lagi miring kekanan dan kadang miring kekiri mengikuti pergerakan bumi ceper … jadinya jawabannya kadang-kadang miring juga hehehehe ..

    dan penjelasan @soktahubanget cuma ngeles kayak bajaj. Maklum-lah dulu @soktahubanget ini kan mantan sopir bajaj … jadi kebiasaan ngelesnya masih ketinggalan … 🙂

    @SP

    bro, barusan baca di haulasyiah tentang cerita Uhud. Sudah bisa ditebak jika isinya mengekerdilkan peran Imam Ali. Tapi yang mengagetkan, dalam cerita tersebut secara tersirat juga menceritakan bahwa Imam Ali juga termasuk sahabat yang kabur dari sisi Rasulullah. Yang tertinggal disamping Rasulullah cuma Talhah dan Saad bin Abi Waqosh. Cerita ini sangat tidak sesuai dengan sifat dan pribadi Imam Ali. Tapi saya cuma bisa bersabar.

    Boleh dong bro, jika ada waktu dan kebetulan menemukan, dishare ke-kita hadits2 yang menyebutkan siapa-siapa aja yang tinggal disisi Rasulullah dan siapa-siapa aja yang kabur dari sisi Rasulullah pada saat perang Uhud. Pingin tahu nih bro … thanks ya.

  99. Ah sayang, nama yg begitu mulia tidak tergambar dengan akhlaknya

  100. @ali akbar
    nama yg bagus,tp ahlak yg buruk inilah akibat dr kejahilan

  101. @ali akbar
    Masih lumayan syiah nikah mut’ah. Karena dinikahi yang menurut agama bisa dinikahi. Tapi anda dan kelompok anda. Anak sendiri diperkosa. Adik sendiri dinikahi, Mantunya diperkosa. Agama apa yang anda2 anut. Setahu saya perebuatan demikian adalah kehidupan dilingkungan BINATANG. Mau tau baca koran dan dengar TV

  102. Bagi yang suka mempermasalahkan nikah Mut’ah silahkan cari nikah Misyar atau Nikah dengan niat talak. ntar pasti dah ngak omong nikah mut’ah lagi :D. Silahkan diteruskan diskusinya dengan santun dan damai 😀 gus 1syahadat, gus secodprice … makasih ilmunya sangat memberikan pencerahan .

  103. […] Ahlul Bait Jaminan Keselamatan Dunia Akhirat : Membantah Syubhat Salafy Nashibi This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink. ← Hello world! LikeBe the first to like this post. […]

  104. maaf..saya rasa pertanyaan saya ini diluar tajuk..
    saya mahu tahu..benarkah menurut syiah..Saidina Hasan ra memiliki isteri yang banyak..

    saya ada terbaca satu link..ia mengatakan fitnah tersebut direka2 oleh syiah..fitnah tersebut juga diakui oleh syiah..ini linknya..maaf,,tajuknya agak lancang..

    http://www.scribd.com/doc/26646276/Sayyidina-Hassan-Jaguh-Seks

  105. @Yantz
    Menurut yang saya dengar dan baca BENAR,
    Tapi ada tapinya. Tapinya demikian.
    1,Beliau lebih mengetahui Hukum Allah.
    2.Saya yakin bahwa beliau tdk akan melanggar Hukum Allah.
    3. Dan sejarah tdk memberitahukan siapa2 yang beliau nikahi. Apakah janda2 atau yang masih perawan.
    4. Menurut saya bekiau menikahi begitu banyak adalah janda yang suaminya mati dlm peperangan.
    5.Dalam Alqur’an tdk pernah Allah menyebut istri tapi istri2.
    6. Apakah istri2nya sudah sampai ditiduri atau belum?
    7. Dlsbnya
    Saya yakin bahwa beliau mempunyai alasan tertentu.
    Wallahu A’lam. Hanya Allah yang mengetahui.
    Hanya demikian saya bisa jelasakan.
    Hanya sayang ada yang menafsirkan lain. Wasalam

  106. oke deh sepakat ngikut ahlul bait…tp solusinya mana?? byk sekarang yang ngaku ahlul bait…kita ikut yg mana??? klo g mw publish jawabanya pm ane saja macho_men_2k@yahoo.co.id

  107. Maaf bang SP.
    @ yg agak kesulitan memahami kesatuan Kitabullah dan Ahlul Bayth, yg satu lebih besar dari yg lain dan tidak bisa dipisahkan. Untuk mudahnya memahami saya contohkan seperti Playstation dgn stiknya, atau Komputer dgn keyboardnya, atau Truk dgn sopirnya, atau Tubuh dgn otaknya, 2 hal tapi tetap satu kesatuan biar berfungsi optimal. PS tanpa stik ya ndak jalan, Truk tanpa sopir ya ndak jalan, Tubuh tanpa otak ya.. nyasar!!

  108. v

  109. الدخيرةالثمينة
    فى الدفاع عن حديث الوصيّة
    كتاب الله والسنّة

    SANGGAHAN MAUDHU’ NYA HADITS WASIAT
    2 Pusaka NABI
    “Kitabullah &sunnaty”
    ?
    Abu ‘iffa

    KATA PENGANTAR
    بسم الله الرحمن الرحيم
    الحمد لله ر ب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأ نبيآء والمرسلين سيّدنا محمد وعلى آله وأزواجه وذرّيّاته وأهل بيته
    وأصحابه أجمعين سبحانك لاعلم لنا إلاّ ما علّمتنا إّنّك أنت العليم الحكيم
    قال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلّم تركت فيكم أمرين لن تضلّوا ما تمسّكتم بهما كتاب الله وسنّة نبيّبه ( أخرجه الإمام مالك فى الموطء(
    ولا حول ولا قوّة إلاّ بالله العليّ العظيم أمّا بعد

    Seiring dengan limpahan rahmat Allah SWT, al faqir bermaksud menyusun telaah tentang 2 pusaka Rasulullah SAW sepeninggal beliau. Yaitu 2 pegangan yang mana ummat tidak akan sesat selam berpegang teguh kapada keduanya. Akan tetapi pada kontek yang Kitabullah-sunnaty. Sebab ada kontroversi yang menyatakan bahwa hadits tersebut statusnya maudlu’ menurut seorang pakar hadits masa kini. Apa benar pernyataan ini. Dengan niatan semoga kita telaah ini bisa menambah wawasan pengetahuan kita dan semoga Allah swt menjadikan kita termasuk ummat yang dikategorikan sebagai ummat yang selamat Amin….
    Bangil, 5 Desember 2014
    LATAR PENYUSUNAN
    Sering kali al faqir mendengar ceramah dari seorang dai yang menganjurkan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan ilmu agama islam untuk senantiasa membawakan hadits wasiat 2 pusaka, yaitu yang diriwayatkan oleh imam Hakim :
    عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي قَالَ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلَ بَيْتِيْ. (سنن الترميذي, رقم. 372)

    “Dari Abi Sa’id al-Khudri ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah (al-Qur’an) dan keluargaku.” (Sunan al-Tirmidzi, [3720])

    Dan menyuruh untuk meninggalkan membawakan hadits wasiat yang satu :
    قال رسول اللَّه صلى الله عليه تركت فيكم شيئين لن تضلّوا بعدهما
    كتا ب الله وسنّتى( الحديث رواه الحاكم )
    “Aku tinggalkan padamu sekalian dua perkara yang kamu sekalian tidak akan sesat sesudah dua perkara tersebut, yaitu kitabullah dan sunnahku. (HR. Hakim dalam “Mustadrak’nya dari Abu Hurairah).
    Dengan dalil bahwa hadits sunnaty sanadnya lemah dan hadits Itroty ahli baity shohih. Namun tatkala kemudian terdengar lagi hadits sunnaty bukan lagi dalam ketegori dhoif, akan tetapi sudah masuk kategori hadits maudhu’ / palsu, maka al faqir terdorong untuk menyusun risalah Ad Dakhirotus Tsaminiah Difa’ an Haditsil wasiyyah Kitabullah was Sunnah, Sanggahan Maudhu’nya hadits Wasiyyah 2 Pusaka Nabi “Kitabullah was Sunnah”.

    Dengan 2 alasan sangat kuat yang mendorong al faqir segera merampungkannya.
    Pertama :
    Al faqir adalah salah satu santri dari PP Datuk Kalampayan Bangil. Yang pada saat ini masih ikut mengaji pada pengasuh PP Datuk Kalampayan. Yaitu KH Kasyful Anwar Syarwani, salah seorang putra dari KH Syarwani Abdan ( Guru Bangil ). Dan kebetulan pada saat ini kitab yang di baca adalah Tanbihul Ghofilin untuk yang sekian kalinya. Yang jadi masalah adalah hadits Tsaqolain dengan lafal ” Sunnaty” ada pada bab ”Amal Bis Sunnah”, Yaitu Rasulullah saw bersabda :
    تركت فيكم ثقلين لن تضلّوا بعدهما كتا ب الله وسنّتى
    Hal ini membuat al faqir penasaran yang membuat ghiroh untuk segera menyelesaikan risalah ini. Dan terpendam dalam lubuk hati bahwa hadits ini tidak mungkin maudhu’ / palsu oleh al Faqih Az Zahid Al A’lim Al A’mil wal Ustadz Al Muhaddits Al Mutqin al Kaamil Syekh Nasrun Bin Muhammad Bin Ibrohim Samarqondiy.
    Kedua :

    Teringat oleh al faqir akan salah satu buku Syaikhi wamurobbi KH Syarwani Abdan, yaitu ADZDAKHIROTUS TSAMINAH LIAHLIL ISTIQOMAH atau SIMPANAN BERHARGA yang disusun pada tahun 1967. Sesuai dengan namanya pasti akan berharga isinya untuk dijadikan pedoman ummat islam umumnnya dan bagi ahlu sunnah wal jama’ah pada khususnya menghadapi zaman yang penuh perselisihan. Dan bisa dijadikan penangkal untuk tegaknya ajaran ahlu sunnah wal jama’ah.
    Untuk itu isi kandungan buku Simpanan Berharga ini bisa mencukupi untuk menjawab apa yang disangkakan Syekh Ali As Saqqaff tentang kemaudhu’an hadit “ Sunnaty”.
    Dan daftar referensi kitab yang terlampir pada setiap pengambilan ruju’an bisa dipertanggung jawabkan dan ada pada hasanah kami.

    HADITS 2 PUSAKA YANG BIASA KITA BACA ATAU DENGARKAN

    قال رسول اللَّه صلى الله عليه تركت فيكم شيئين لن تضلّوا بعدهما
    كتا ب الله وسنّتى ( الحديث رواه الحاكم )
    “Aku tinggalkan padamu sekalian dua perkara yang kamu sekalian tidak akan sesat sesudah dua perkara tersebut, yaitu KITAB ALLAH dan SUNNAH-ku. (HR. Hakim dalam “Mustadrak’nya dari Abu Hurairah).
    Hadits tersebut diatas menurut para ulama’ hadits terdahulu sanadnya masih diperselisihkan. sekalipun begitu mereka tidak berani sampai memaudlu’kannya. Hal ini terbukti dengan nyata bahwa ulama’-ulama’ organisasi islam terbesar di Indonesia Nahdhotul Ulama ( NU ) memegang teguh hadits tersebut sebagai pedoman dasar untuk dipegangi guna mengibarkan panji-panji Ahlu Sunnah Wal Jama’ah didalamnya. Yang merupakan pokok-pokok dasar ajaran agama islam ala Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Yaitu Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qias. Hal ini berdasar pada firman Allah swt dalam surat An Nahl – 44 :
        ••   
    “Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka”.{An Nahl ,44 }
    Bcrdasarkan ayat tersebut di atas, kita dapat memahami bah¬wa :
     Al Qur’an ilu tidak berdiri sendiri, letapi selalu berdampingan dengan Al Hadits.
     Scscorang tidak boleh menafsirkan Al Qur’an tanpa dasar hadits Ra¬sulullah saw.; sebab hak untuk memberikan tafsir terhadap Al Qur’an hanya ada pada beliau saw. Bukan atas penafsiran orang lain.
    Oleh sebab itu, maka Al-Qur’an dan Al Hadits senantiasa salin menjalin dan saling mengisi, Sehingga Al-Qur’an dapat DITAKHSIS dengan Al Hadits, sebagaimana Al Hadits dapat juga DITAKHSIS dengan Al Qur’an. Dan disinilah letak rahasia dari wasiat Nabi Besar Muhammad saw tersebut diatas.
    Akan tetapi akhir-akhir ini beredar kabar yang menyatakan hadits tersebut maudlu’ atau palsu. Dan dikemukakan bahwa hadits, Kitabullah wa ‘Itrati (Kitabullah Alqur’an dan keturunanku) adalah hadits shohih dan tsabit yang terdapat dalam Shohih Muslim Dan kalimat hadits Kitabullah wa Sunnati (Kitab Allah dan Sunnahku) itu bathil dari sisi sanad dan tidak shohih. Maka mereka menganjurkan kepada para khatib, imam dan muballigh untuk segera meninggalkan pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw..
    Dan mereka juga menganjurkan untuk tidak segan-segan mengungkapkan hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. yang terdapat dalam Shohih Muslim yang antara lain menyebutkan ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa ahli baiti’.
    Berikut sanad dan matan hadits Kitabullah wa Sunnati tersebut :
    Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits (كتا ب الله وسنّتى) ini dalam kitabnya Al-Mustadrak (I : 93) dengan sanadnya dari jalan Ibn Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang diantara isinya sebagai berikut: ‘ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad saw.) telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku…..’.

    INILAH PENILAIAN MEREKA DALAM SANAD YANG TERSEBUT DALAM HADITS DIATAS :

    Dalam sanad hadits itu terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (III:127), mengenai biografi Al-Ibn yakni Ibn Abi Uwais dan saya (Al-Mizzi) akan mengutip perkataan orang yang mencelanya:
    1. “Berkata Mu’awiyah bin Shalih dari Yahya bin Ma’in, ‘Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dhoif (lemah), dan dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (Mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadits)’ “.
    2. Menurut Abu Hatim, “Ibn Abu Uwais itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah /dilengahkan/dibiarkan orang (mughaffa)”.
    3. Imam Nasa’i menilai: “Dia dhoif/lemah, dan dia tidak tsiqah”.
    4. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’i; “Imam Nasa’i sangat jelek menilainya sampai kederajat matruk (Ibn Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”.
    5. Menurut komentar Abu Ahmad bin ‘Adi; “Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (yakni) Malik berupa beberapa hadits gharib yang tidak di ikuti oleh seorang pun (dari periwayat lain yakni tidak ada mutaba’ah-nya)”.
    6. Al-Hafidz Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al Bari halaman 391 Dar Al-Ma’rifah mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan; “Atas dasar itu hadits dia tidak dapat dipakai hujjah/dalil selain yang terdapat dalam Ash-Sahih, karena celaan yang dilakukan oleh Imam Nasa’i dan lain-lainnya”.
    7. Al-Hafidz Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq dalam Fath Al-Mulk Al-Ali halaman 15 mengatakan; “Berkata Salamah bin Syabib, saya pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan, ‘Mungkin saya (Ismail bin Abi Uwais) membuat hadits (adha’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka’ “.

    SANGGAHAN :
    Pertama :
    Adapun Yahya ibnu Ma’in itu lebih keras dari pada imam Ahmad Hambal dalam satu hadits. Dan sekalipun dia Yahya ibnu Ma’in menilai ‘Abu Uwais dan putranya suka berbohong, hal ini tidak sampai ke derajat hadits maudhu’. Sebagaimana yang diterangkan dalam kitab RAF’UL-ASTAR yang menyatakan, bahwa hadits yang terlalu lemah (seperti hal keadaan orang yang meriwayatkan hadits itu disangka pernah berdusta, atau syadz (artinya riwayat yang menyalahi yang lebih kuat). Jikalau ternyata terdapat jalan yang lain, maka naiklah hadits yang sangat le¬mah itu daripada derajat munkar (artinya riwayat orang yang lemah yang tidak diterima dalam kedu¬dukan tersendiri atau yang tidak ada sumbernya).

    Dan menurut Syaikhul Islam, kadang-kadang disebabkan banyaknya jalan hadits itu, menjadilah ia (hadits yang sangat lemah) sampai kepada derajat mastur (artinya yang tidak diketahui hal adil atau tidak) dan sayyi’ul-hifzhi (artinya buruk hafalan). Lebih-lebih lagi bila terdapat bagi hadits mastur itu ada satu jalan lain yang tidak terlalu lemah, maka naik kederajat hasan (artinya baik dan bisa dijadikan hujjah). { Al Massyath, Rof’ul Astar, 42}.
    kesimpulannya bahwa Yahya bin Ma’in menyatakan hadits tersebut dalam kategori hadits dhoif, bukan hadits maudhu’ ( palsu).
    Kedua :
    Adapun para penilai hadits dalam hal mencela atau membaguskan periwayat-periwayat di da¬lam kitab TAKMIL antara lain disebutkan, bah-wa sebagian ada yang sangat keras sifatnya dan ada pula yang pertengahan. Pencelaan yang sangat keras itu kadang-kadang tidak dapat diterima apabila tidak disetujui oleh yang lain. Dan tiap-tiap tingkatan daripada penilai-penilai hadits itu ada yang terlalu keras dan ada pula yang pertengahan. { Al-Laknawi, Muhammad Abdul Hai, At-takmil Fil Jarhi Wat-Ta’dil, 18}.

    Adalah Abu Hatim jauh le¬bih keras dibanding Imam Bukhari dalam menilai hadits. Sebagaimana disebutkan bahwa Abu Ha¬tim, Nasa’ie, Ibnu Qatthan, Yahya Al-Qatthan, Ibnu Hibban dan Iain-lain terkenal sebagai orang-orang yang memberatkan dalam urusan mencela atau mencacat periwayat-periwayat hadits. { Al-Laknawi, Muhammad Abdul Hai, At-takmil Fil Jarhi Wat-Ta’dil, 20}.
    kesimpulannya bahwa Abu Hatim menyatakan hadits tersebut dalam kategori hadits dhoif, bukan hadits maudhu’ ( palsu).
    Ketiga :
    Berkata Imam Ahmad Ibnu Hambal:

    ضعيف الحديث أحبّ إلينا من رأي الرجال
    “Hadits dhaif itu lebih kami sukai daripada pendapat orang-orang (Mujtahidin)”. {Al Massyath, Hasan Muhammad. Rof’ul Astar. Mesir:Mustofa Al Halabi Wa’auladuh.t.t.68}

    Seorang mujtahid dapat mengangkat derajat hadits yang dha’if/ lemah. Apabila ada suatu hadits yang telah disepakati oleh para Huffazh (Orang-orang yang hafal hadits), bahwa hadits itu adalah dhaif/ lemah. Akan tetapi bagi seorang Mujtahid yang telah memegang kendali syari’at dapat mengangkat hadits tersebut kederajat hadits shahih. Ini adalah satu cara di dalam memahami hadits yang tidak diketahui oleh para Huffazh. Demikian menurut penjelasan dari As-syekh Muhammad Falih.
    { Al-Madani, Syekh Falih bin Muhammad, Anjahul Masa’ie, Mesir, Hasimiyah, 1331 H, 29}.

    kesimpulannya bahwa imam Nasa’i menyatakan hadits tersebut dalam kategori hadits dhoif, bukan hadits maudhu’ ( palsu).
    Keempat :
    Hadits matruk adalah sebuah hadits yang perowinya disangka bohong dalam periwayatan sebuah hadits Nabi saw atau dia disangka pendusta dalam omongannya. Atau perowi yang tampak kefasikannya dalam tindakan atau ucapannya atau jahat dalam kesalahannya atau banyak kealpaannya. Akan tetapi yang jelas hadits matruk adalah paling rendahnya derajat dalam kategori hadits dhoif. { Dr. Muhammad ‘Ajjaj al Khoyib, Ushul al Hadits. Darul Fiqri, 348 }.

    kesimpulannya bahwa Abu Qosim Al Ka’i menyatakan hadits tersebut dalam kategori hadits dhoif, bukan hadits maudhu’ ( palsu).
    Kelima :
    Hadits tersebut diatas bukan sendiri dalam periwayatannya, akan tetapi ada syahid atau mutaabi’ nya.
    Dengan demikian hadits tersebut menjadi kuat. Seperti keterangan sbb :

    Hadits dhaif itu bila ternyata dari jalan lain terdapat pula sebuah hadits yang bersamaan dalam hal lafazh atau ma’nanya, maka yang terakhir ini dapat menguatkan yang pertama. Menurut Ulama ahli hadits, maka yang pertama itu disebut “mutaaba'” dan yang terakhir (yang menguatkan) disebut “syahid” atau “mutaabi’ “. Oleh karena adanya syahid tersebut, maka hadits yang dhaif itu dapat digunakan menjadi hujjah. { Al-Massyath, Rof’ul Astar, 101}
    Terkadang hadits yang menguatkan (mutaabi’) dan hadits yang dikuatkan (mutaaba’) itu kedua-duanya tidak dapat menjadi pegangan (dhaif). Akan tetapi disebabkan berkumpulnya mutaabi’ dan mu¬taaba’ itu maka menjadi kuatlah hadits tersebut.
    Keenam :
    Perlu pula diketahui, bahwa perkataan lafadz tidak sah (Sahih) bukanlah berarti bahwa hadits itu palsu sebagaimana dikatakan oleh Ali Al-Qari, “Perkataan lafazh tidak sah boleh jadi hadits tersebut dhaif atau hasan”.

    Dalam hubungan ini Imam Nuruddin Assamhudi menyatakan bahwa perkataan lafazh Imam Ahmad tidak sah itu, terkadang hadits itu tidak shahih tapi patut dijadikan hujjah/dalil.

    Berkata pula Ibnu Hajar,”Bila ada perkataan lafazh tidak sah, tidaklah berarti bahwa keadaan hadits itu palsu”. Sedang Imam Zarkasi berpendapat,”Antara hadits palsu dan tidak sah itu jauh berlainan, tegasnya tidak dapat disamakan”.

    Tidak mensahihkannya Al-Hafidz Ibn Hajar akan hadits “ Sunnatiy” tersebut diatas bukan berarti hadits tersebut Maudhu’ akan tetapi masuk dalam kategori hadits dhoif.

    Ketujuh :
    Perkataan Ismail bin Abi Uwais,” ‘Mungkin saya membuat hadits (adha’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu perkara diantara mereka “. Tidak bisa dijadikan hujjah akan palsunya sebuah hadits sampai dia mau ikrar. Sebagaimana salah satu syarat kepalsuan sebuah hadits, Yaitu Pengakuan perowi akan kebohongannya. Seperti “Aku telah membuat hadits palsu tersebut”. ini adalah paling kuatnya dalil akan kepalsuan sebuah hadits. { Dr. Muhammad ‘Ajjaj al Khoyib, Ushul al Hadits. Darul Fiqri, 432 }

    kesimpulannya bahwa Al-Hafidz Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq menyatakan hadits tersebut dalam kategori hadits dhoif, bukan hadits maudhu’ ( palsu).
    Dengan demikian sudah jelas bahwa tidak ada satu muhaddtis tersebut diatas yang sampai mengeluarkan pendapat bahwa hadits “ Kitabullah dan sunnaty “ tersebut sebagai hadits maudlu’ / palsu.

  110. Sesungguhnya Imam AL-HAKIM sendiri telah MENGIKTIRAF ( MENGAKUI ) KEDHAIFAN HADITH TERSEBUT. Sehingga BELIAU TIDAK MENTASHIHKANNYA. Sebaliknya, beliau hanya mendatangkan (syahid) kesaksian terhadap hadis tersebut melalui riwayat Abu Hurairah.(al-Mustadrak m/s 171 juz 1, 1990, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Bayrouth). Sambung beliau lagi: “Akan tetapi, HADITH TERSEBUT (riwayat Abu Hurairah) adalah wahin (TERLALU LEMAH) dan isnadnya jatuh sehingga nampak ketara kelemahannya.” (Sahih Sifat al-Solat al-Nabi m/s 290,1993, Dar al-Imam al-Nawawi, Jordan) .

    Perlu diketahui sekalipun hadits itu dhoif, maka bisa jadi terangkat derajatnya dan digunakan menjadi dalil di dalam hal menetapkan sesuatu hukum agama. Mengenai hal ini dapat dijelaskan dengan keterangan-keterangan sebagai berikut :

    1. Seorang mujtahid dapat mengangkat derajat hadits yang dha’if/lemah.
    Ada suatu hadits yang telah disepakati oleh para Huffazh (Orang-orang yang hafal hadits), bahwa hadits itu adalah dhaif/ lemah. Akan tetapi bagi seorang Mujtahid yang telah memegang kendali syari’at dapat mengangkat hadits tersebut kederajat hadits shahih. Ini adalah satu cara di dalam memahami hadits yang tidak diketahui oleh para Huffazh. Demikian menurut penjelasan dari As-syekh Muhammad Falih. { Al-Madani, Syekh Falih bin Muhammad, Anjahul Masa’ie, Mesir, Hasimiyah, 1331 H, 29}.

    Keterangan tersebut di atas ini memberikan pengertian bahwa seseorang yang telah sampai tingkatannya sebagai seorang Mujtahid, kadang-kadang dengan cara tersendiri dapat menganggap suatu ha¬dits yang dhaif itu sebagai hadits yang shahih.

    2. Hadits dhoif yang mutawatir

    Ada suatu hadits yang tidak boleh diamalkan di dalam menetapkan hukum-hukum agama, yaitu apabila hadits tersebut telah ditolak oleh orang banyak. Adapun jika diterima dengan baik dan diamalkan oleh orang banyak, maka teranglah hadits itu menjadi hujjah, sebagaimana yang demikian itu telah dikatakan oleh Imam Syafi’ie. Dan di dalam kitab FATHUL MUGITS, disebutkan : Bahwasanya hadits dhaif dalam hal tersebut dapat disamakan de¬ngan hadits mutawatir dan dapat manasekh ( merobah) hukum yang telah tetap. { Al Massyat, Rof’ul Astar , 67}
    Lebih-lebih hadits tersebut ada syahid atau mutuaabi’ nya :
    تركت فيكم أمرين لن تضلّوا ما تمسّكتم بهما كتاب الله وسنّة نبيّبه
    ( أخرجه الإمام مالك فى الموطء )
    “Aku telah tinggalkan 2 perkara (ajaran) dalam perkara kalian nanti. Yang mana sekali-kali kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya. Yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya”.
    عليكم بسنّتى وسنّة الخلفآء الراشدين ( رواه ابو داود)
    “Wajib atasmu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah-sunnahnya Khulafaur Rosyidin”. (HR. Abu Dawud dari Ibnu Najih Al Irbas).

    Untuk memahami lebih detil tentang hadits dho’if, perlu kira mengetahui hal-hal yang bertalian dengan hadits dhaif/lemah. Ulama’ ahli hadits memang berbeda pandangan tentang penggunaan hadith dha’if dalam 3 pandangan :

    Pandangan pertama:
    Hadits dho’if tidak bisa diamalkan secara mutlak. Tidak dalam hukum dan tidak juga dalam Fadha’ilul a’mal. Ini adalah pegangan Yahya Bin Ma’in, al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.
    Pandangan kedua:
    Hadits dho’if boleh diamalkan secara mutlak. Pendapat dinisbahkan kepada pendapatnya imam Abu Daud dan Imam Ahmad Bin Hambal. Mereka berdua berpendapat bahwa hadits dho’if lebih kuat dari pada pandang mujtahid.

    Pandangan ketiga:
    Hadits dho’if boleh diamalkan dalam perkara fadha’ilul a’mal, mai’dhoh, ancaman, dosa dan pahala dan yang sejenisnya apa sudah terpenuhi sebagian syarat-syaratnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar :

    1. Kadar hadits tidak termasuk sangat dha’if seperti hadits matruk (ditinggal) dan matruh (dibuang).
    2. Hadits tersebut berjalan di atas syar’ie yang diamalkan berdasarkan nash al-Quran atau al-sunnah yang sahih.
    3. Hendaklah tidak beri’tiqad ketika bersandar hadith dha’if bahwa tsabit dari nabi SAW dalam bab itsbat, akan tetapi dalam bab ihthiyat (hati-hati).

    Sudah tidak diragukan lagi bahwa pandangan pertama lebih selamat. Akan tetapi perlu dipahami bahwa dalam ketetapan fadlo’ilul a’mal tidak melazimkan didalamnya satu hukum. Artinya hadits-hadits dho’if yang diriwayatkan tentang pahala amal yang sudah tetap (tsabit) sunnahnya, penggalakan satu amal atau keutamaan sebagian shahabat Nabi SAW sama sekali tidak melazimkan satu ketetapan hukum. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat didalamnya, yaitu tentang hadits dho’if tidak bisa menetapkan hukum yang ada adalah fadho’ilul a’mal. Akan tetapi perbedaan pendapat dan pembahasan yang ada hanya pada riwayat dho’ifnya hadits tersebut dan pengamalan secara umum. Dan ulama’ salaf sholihin telah mengamalkan hadits dho’if secara mutlak.

    Demikian diterangkan di dalam kitab ADZKAR NAWAWI dan HUDAL ABRAR. Selanjutnya di dalam kitab RAF’UL ASTAR dinyatakan, bahwa mengenai hal tersebut sekali-kali bukanlah berarti ingin menciptakan sesuatu ibadah yang baru atau mengada-adakan syara’ dalam agama. Karena selama hadits itu tidak maudhu’, maka tetap diakui sebagai hadits, sebagai-mana Imam Sayuthi telah mengatakan :
    أنّ المنكر من أقسام الضعيف الوارد لا من أقسام الباطل الموضوع
    “Bahwasanya hadits munkar itu salah satu dari bagian hadits dhaif yang warid (yang datang dari Nabi SAW)), bukan dari bagian bathil yang maudhu’ / palsu”.
    Hadits dhaif/lemah yang menerangkan pahala bagi sesuatu amal atau menggambarkan amal perbuatan yang mengandung siksaan. Apabila hadits tersebut tidak maudhu’ (yang artinya palsu), maka Ulama Muhadditsin dan Fuqaha’ dengan berdasarkan ihtiyath (hati-hati) telah membolehkan dan mensunnatkan untuk mengamalkannya. karena perbuatan yang demikian itu adalah berarti menuntut pahala dari sesuatu amal dengan jalan riwayat yang lemah tanpa menyebabkan kerugian apa-apa bagi yang mengamalkannya. { Al Siddiqi Muhammad Bin Alan. Syarhul Adzkar, Juz I Mesir, Al Sa’adah, 1347 H 82-83.}

    Sebelum menginjak masalah ini, marilah kita pelajari istilah hadits maudhu’. yaitu sebuah macam hadits yang bukan termasuk dalam kategori hadits shohih, hasan atau maupun dhoif.
    Tanda-tanda hadits maudhu’ / palsu dari sisi sanad adalah sebagai berikut:
    1. Pengakuan perowi akan kebohongannya. Seperti “Aku telah membuat hadits palsu”. ini adalah paling kuatnya dalil akan kepalsuan sebuah hadits.
    2. Ada bukti nyata yang menetapkan pengokohan akan hadits palsu tersebut. Seperti perowi meriwayatkan dari syech yang tidak pernah ditemuinya yang bisa menetapkan akan mendengarkan hadits dari syech tersebut. Atau meriwayatkan dari syech di suatu daerah yang belum pernah dia datangi.
    3. Berdiri sendirinya perowi yang dikenal sebagai pembohong dalam suatu riwayat tanpa ada rowi tsiqoh lain yang meriwayatkan hadits tersebut.
    Tanda-tanda hadits palsu dari sisi matan adalah sebagai berikut:
    1. Rusaknya makna hadits.
    2. Bisa membatalkan nash Alqur’an atau sunnah yang mutawattir dan ijma’.
    3. Rendahnya nilai lafad hadits
    Dari keterangan ini, maka bisa memberi petunjuk bawha hadits “ Kitabullah wa Sunnaty” tersebut diatas tidak ada mengandung tanda-tanda hadit maudhu’ ( palsu ).
    Sebagaiman ulama’ Ittifaq atau mufakat atas haramnya membuat hadits palsu, mereka ittifaq (mufakat) atas haramnya meriwayatkan hadits palsu tanpa menyebutkan kepalsuan hadits tersebut dan mendustakannya dan mereka tidak membolehkan menulis riwayat hadits palsu baik dalam buku cerita, kitab targhib (hal yang menyenangkan), kitab tarhib (hal yang menakutkan) atau kitab-kitab hukum lainnya.

  111. ULASAN TENTANG HADITS MAUDHU’ ( PALSU )
    Akhir-akhir ini memang di negara kita sering kita dengar ucapan-ucapan yang mengatakan “ini hadits lemah” atau “itu hadits palsu” dsb. dalam rangka menentukan kedudukan dari sesuatu hadits. Kejadian-kejadian semacam itu sebenarnya tidak hanya baru sekarang saja, akan tetapi dahulu pun ter¬dapat pula orang-orang yang menyatakan hal-hal yang serupa.
    Kita sebenarnya tidak boleh tergesa-gesa untuk selalu menerima saja perkataan yang demikian itu. Kita harus melihat dan memeriksa dengan seksama apakah orang itu benar-benar ahli serta diakui di dalam hal menilai hadits-hadits. Selanjutnya kita harus melihat pula apakah mereka taqlid pada orang-orang dan siapakah orang-orang yang ditaqlidi itu. Demikianlah antara lain beberapa unsur yang harus kita perhatikan di dalam menilai ucapan seseorang yang menyatakan misalnya “ini hadits lemah” dan sebagainya.
    Sehubungan dengan hal-hal sebutkan diatas ini, berkatalah Ibnus-Shalah antara lain : “Tidak boleh sese¬orang mentashihkan sesuatu hadits melainkan orang yang sudah dianggap ahli dalam urusan itu, terutama pada masa akhir-akhir ini”.
    Dan di dalam hal yang serupa, Qatthan dan Al-Mundziri dan lain-lainnya menyatakan : “Boleh menta¬shihkan hadits bagi seseorang yang tetap serta kuat pengetahuannya; karena terdapat beberapa orang yang mentashih¬kan yang belum ditashihkan oleh orang-orang dahulu, se¬perti Habil Hasan Al-Qatthan, Ad-Dhia’ Al-Muqdisi, Azzaki Abdul Azhim”. {Al Massayth, Rof’ul Astar, 32}
    Kedua pendapat tersebut pada hakikatnya adalah sama, bahwa untuk mentashihkan sesuatu hadits itu diperlukan syarat-syarat. Tegasnya tidaklah semua orang boleh menta¬shihkan atau melemahkan bahkan sampai memaudhu’kan kedudukan sesuatu hadits.
    Ada beberapa ciri yang harus kita perhatikan dalam menyoroti keadaan zaman sekarang mengenai kedudukan daripada hadits-hadits dari sudut pandang ahli ahli hadits kontroversial, yaitu :
    1. Orang-orang yang bukan ahlinya turut-campur.
    Akhir-akhir ini rupanya semakin banyak orang-orang yang bukan ahlinya di dalam fak Ilmu Hadits, sudah berani turut-campur. Orang-orang ini bahkan mengingkari hadits-hadits yang shahih, demikian kata Syaikhuna Muhammad Al-Arabi di dalam kitab TAHZHIRUL-ABQARI, yang di dalam bahasa Arabnya antara lain berbunyi sebagai berikut
    فينكرون صحّة الأحاديث المحفوظة
    “Mereka mengingkari akan sahnya hadits-hadits yang terpelihara”.{ Al-Arabi, Muhammad, Tahdzirul Abqari, Juz I,120}
    Dan di dalam kitab I’TIQADUL AHLIL IMAN, mengatakan pula antara lain sebagai berikut :
    وابن خلدون لم يكن فقيها فى مذهبه فضلا عن كونه محدّثا فضلا عن كونه مبرّزا فى علم الحديث فيه أهليّة النقد والتمييز للأحاديث
    “Ibnu Khaldun itu belum tergolong sebagai seorang yang faqih dalam madzhabnya, apalagi ahli hadits; lebih-lebih untuk dikatakan sebagai seorang yang unggul/ahli hadits yang dapat menilai dan membedakan hadits-hadits”. { Al-Arabi, I ‘tiqodu Ahli Iman, 55}.
    Bagaimana dengan keadaan kita sekarang adakah ciri yang tersebut diatas ini menampakkan dirinya? Hendaklah kita selalu berhati-hati!

    2. Orang-orang yang menentang sesuatu hadits karena tidak cocok dengan hawa-nafsunya.
    Terhadap ciri yang kedua ini, Syaikhuna Muhammad Al-Arabi menegaskan dengan kalimat-kalimat sebagai berikut :
    نراهم يستسهلّون على أنفسهم المخالفة لمرويّات كتب الحديث فيما لا يوافق أهوائهم طعنا فى ثبوت تلك الروايات عن رسول الله صلّى الله عليه وساّم
    “Kami lihat mereka meremehkan atas diri mereka untuk menentang hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits, dikarenakan tidak cocok dengan hawa nafsu mereka, mencela akan tsabitnya riwayat-riwayat tersebut dari Rasulullah SAW”.{ Al-Arabi, I ‘tiqodu Ahli Iman79}.
    Terkadang mereka membawa-bawa riwayat yang lemah, sebagaimana telah dikatakan pula oleh Syaikhuna Muhammad Al-Arabi, tentang hal cerita “Ashhabul fil” sebagai berikut :
    والعجب منه يتقوّل الروايات هنا فى هذه الحادثة وليس منها رواية أصلا لتمشية هواه فى حين أنّه يطعن فى الأحاديث الصحيحة بل فى المتواترة ويزدرى ويتهكّم بأ ئمّة الرواية مع كونه ليس من أهلها ولا يقيم لها ولا لحملتها وزنا إذا خالفت هواه
    “Dan sungguh mengherankan sekali, bahwa ada diantaranya orang yang membawa-bawa riwayat di dalam urusan “Ashhabul fil”, padahal apa yang dikatakannya itu tidak ada yang shahih, hanya sekedar menurutkan hawa nafsunya sehingga ia mencela hadits-hadits yang shahih, sampai-sampai hadits-hadits yang mutawatir. Dan menghina serta mengolok-olok Imam-imam riwayat, padahal ia sendiri bukan termasuk golongan Imam riwayat. Juga bila ada suatu riwayat yang tidak cocok dengan hawa-nafsunya, maka ia tidak mau menghargai riwayat dan ahli-ahli riwayat itu sedikit jugapun”. { Al-Arabi, I ‘tiqodu Ahli Iman, 55}.
    Sebaliknya bagaimana bila mereka mendapatkan hadits-hadits yang cocok dengan maksud mereka? Berkata Syaikhuna Muhammad Al-Arabi:
    وإذا وجد وا فى الأحاديث ما يوافق أهوائهم فهم متمسّكون به أشدّ التمسّك ولو كان أوهى من بيت العنكبوت
    “Maka bila mereka temukan di dalam hadits-hadits yang cocok dengan hawa-nafsu mereka, maka mereka berpegang betul-betul dengannya (hadits tersebut) sekalipun hadits itu sangat lemah, lebih lemah dari rumah laba-laba” . { Al-Arabi, I ‘tiqodu Ahli Iman, 130}.

    3. Orang-orang yang memasukkan hadits-hadits kedalam golongan Hadits Palsu.
    Ciri yang ketiga yang harus kita perhatikan dalam menyoroti keadaan sekarang mengenai kedudukan dari hadits-hadits ialah, bahwa terkadang ada sebagian orang memasukkan hadits-hadits ke dalam golongan hadits palsu padahal hadits itu mempunyai syahid-syahid (penyaksi/penguat/yang menguatkan). Dan perbuatan ini merupakan bahaya besar atas orang-orang yang rendah pengetahuannya, dan yang malas untuk mengoreksi ucapan-ucapan yang demikian itu.
    Contoh mengenai hal tersebut ialah sebuah hadits yang berbunyi:
    من كنوز البرّ إخفاء الصد قة وكتمان الشكوى وكتمان المصيبة
    “Setengah daripada gedung-gedung kebaikan ialah, menyamarkan shadaqah (tidak diperlihatkan), dan menyembunyikan keluh-kesah dan menutupi musibah.” { Al-Hindi, Muhammad bin Tohir, Tadzkirotul Maudzu ‘at, Mesir, al-Syaraf, 1343 H, 209}.
    Hadits yang tersebut diatas ini mereka golongkan kedalam hadits-hadits palsu, padahal ia mempunyai syahid-syahid (penyaksi/penguat), diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah. Ada pula jalan yang telah disahkan oleh Imam Hakim atas syarat Bukhari Muslim, dan kata Imam Baihaqi, isnadnya Shahih.
    Maka seperti hadits yang telah disahkan oleh kedua Imam tersebut, patutkah seseorang memasukkan (menggolongkan) ke dalam hadits-hadits palsu dengan tidak lebih dahulu memeriksa jalan-jalannya….? Dan tidak pula mau memeriksa ucapan-ucapan ahli-ahli pemeriksa yang ternyata mempunyai syahid-syahid itu…..?.
    Telah berkata Imam As-Sayuthi:
    قد أكثر ابن الجوزى فى الموضوعات من إخراج الضعيف بل ومن الحسن ومن الصحاح كما نبّه عليه الحفّاظ ومنهم ابن الصلاح
    “Ibnu-Jauzi telah banyak memuat dari hadits-hadits dhaif, hasan dan dari shahih, ia masukkan ke dalam golongan hadits-hadits palsu sebagaimana para Huffazh telah mengingatkan, diantaranya Ibnu-Shalah”. { Al-Hindi, Muhammad bin Tohir, Tadzkirotul Maudzu ‘at, Mesir, al-Syaraf, 1343 H, 3-4}.
    Di dalam kitab Al-Qaulul-Hasan, Imam Sayuthi menyebutkan bahwa Imam Jauzi telah memasukkan se-banyak 120 hadits ke dalam golongan hadits maudhu’ (palsu) padahal tidak maudhu..
    ومما لم يصب فيه ابن الجوزى إطلا قه الوضع بكلام قائل فى بعض رواته فلان ضعيف أو ليس بقويّ أو ليّن فحكم بوضعه من غير شاهد عقل ونفل ومخالفة كتاب وسنّة أو إجماع وهذا عدوان ومجازفة إنتهى
    “Setengah daripada bukti ketidak tepatan Ibnul-Jauzi, ia mengatakan palsunya hadits dengan sebab perkataan orang yang mengatakan bahwa setengah rawinya : Fulan itu dhaif atau tidak kuat atau lemah, maka dihukumkannya menjadi hadits palsu, tanpa mengemukakan syahid/penyaksi dari akal maupun naqal, atau menyalahi Qur’an atau Hadits atau Ijma’. Ini adalah perbuatan zhalim dan kurang penyelidikan .”{ Al-Hindi, Muhammad bin Tohir, Tadzkirotul Maudzu ‘at, Mesir, al-Syaraf, 1343 H, 3-4}.
    Sebuah contoh lainnya dalam bagian ini sebagai berikut : Sebagian orang telah mengatakan bahwa orang yang baik-baik sebagai pembohong.
    محمّد بن القاسم الأسديّ كذّاب أحاديثه موضوعة
    “Muhammad bin Qasim Al-Asadi itu adalah pembohong, hadits- haditsnya palsu”.{ Al Sayuti, alla’aali’ul mashnuah fi ahaditsil Maudhu’ah juz I, Mesir : al husainiyah,t.t.345}.
    Padahal kata Imam As-Sayuthi :”Ini orang adalah dari Rijalut-turmudzi (yakni orang yang diambil riwayatnya oleh Imam Turmudzi)”.
    Demikian pula Ahmad bin Abi Khotsamah telah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, ia mengatakan : “Bahwasanya Muhammad itu seorang yang tsiqah (dapat dipercaya), aku mengambil daripadanya”.{Al Sayuti, alla’aali’ul mashnuah fi ahaditsil Maudhu’ah juz I, Mesir : al husainiyah,t.t.345}.
    Dengan keterangan-keterangan tersebut diatas tahulah kita, bahwa ada orang-orang yang dengan mudah mengatakan hadits dhaif atau hadits hasan atau hadits shahih itu dimasukkan ke dalam golongan hadits-hadits palsu, atau setidak-tidaknya mereka mengatakan bahwa hadits shahih itu lemah. Oleh karena itu hendaklah kita selalu berhati-hati, jangan masa bodoh asal telan saja perkataan orang-orang sehingga tidak mau lagi menghiraukan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat Ulama’ yang besar-besar sebagaimana akhir-akhir ini banyak sekali kita temui. Jika tidak faham, kita harus bertanya kepada orang-orang yang benar-benar ahli di dalam hal ini.
    Telah berkata Habibullah As-Sanqiti:
    هذا ولمّا فى الدليل فرّطا بعض وبعض فيه جهلا أفرطا
    “Ketahuilah olehmu, bahwa ada sebagian orang-orang yang taqshir (yakni tidak memperhatikan dalil-dalil dari Qur’an, hadits, Ijma’ dan Qias)”.
    كفقهآء عصرنا لاسيّما فى أقطارالمغرب
    “Seperti Fuqahaa’ dizaman kita, terutama di negara-negara Barat”.
    Ada pula sebagian orang yang melampaui batas.
    كالمنتسبين فى الحديث من علمآء المشرق مع جهلهم بالأحاديث الجهل المركّب وهم مع ذلك يدّعون الإجتها د
    “Seperti sebagian Ulama-ulama Timur yang menisbahkan diri mereka sebagai ahli hadits, padahal mereka jahil tentang hadits-hadits, jahil murakkab. Dan dalam pada itu pula mereka mengaku mujtahid”. { Al Syanqiti, Idha’atul Halik Min Alfadzi Dalilis Salik, Mesir : al Istiqomah,1354H, 130}.
    Dengan keterangan-keterangan tersebut kiranya jelaslah sudah bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk masuk di dalam urusan mentashihkan atau mendhaifkan hadits, apalagi mengatakan maudhu’ / palsu.
    Selanjutnya perlu pula diperhatikan bahwa, bila kita dapatkan diantara ahli-ahli hadits di dalam mereka menilai dan memeriksa sebuah hadits, ada yang mengata¬kan dhaif, dan ada pula yang mengatakan shahih, maka hadits itu dinamakan ”PALING TINGGI HADITS DHAIF”. Karena ahli-ahli hadits tidak ittifaq atas men¬dhaifkan hadits itu. Kalaupun umpama telah sepakat mereka mengatakan dhaif, maka tidak selalu kita tolak hadits itu, melainkan lebih dahulu kita periksa, adakah penguat dan penyaksinya ataukah tidak. Jika ternyata ada, maka hadits itu bisa naik menjadi hasan. Setengah Ulama ada pula yang mengatakan : “Bisa naik menjadi shahih, dengan disebabkan berkumpulnya jalan-jalan hadits itu. Dan hal-hal yang demikian ini dalam ilmu hadits disebut “AL-MUTABA’AAT WAS-SYAWAAHID” . Dan umpama tidak ada penguatnya, maka apabila tidak terlalu lemah, boleh dipakai pada “Fadhailul ‘amal”.
    Kemudian siapa orang yang berani mengatakan hadits tersebut diatas maudlu’ ? Dia tak lain adalah Syekh Ali As Saqqaf seorang ahli hadits dari Yordania yang menyatakan bahwa tidak meragukan kemaudhu’annya karena kelemahan sanadnya dan faktor-faktorlainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya seperti tersebut diatas.
    Bahkan dia berkata sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah disebutkan diatas itu tidak dapat menjadi shohih, kecuali jika ada unta yang dapat masuk ke lubang jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa apa yang mereka bawa dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit/kuat dan shohih. . Al-Hakim sendiri telah mengakui ke-dhaif-an hadits tersebut, sehingga dia tidak menshohihkannya dalam Al-Mustadrak tersebut.
    Pertama kali yang harus untuk diperhatikan adalah siapakah jadi diri dari Syekh Ali As Saqqaf sebenarnya?
    Kabar dikabar al faqir mendengar salah seorang yang pernah berguru beberapa tahun kepada salah satu murid dari Syekh Ali As Saqqaf waktu di Yaman, dia mengatakan bahwa pada akhir-akhirnya Syekh Ali As Saqqaf aqidahnya cenderung kepada akidah syi’ah Zaidiyyah. Yaitu akidah yang berkeyakinan bahwa Imam Ali ra adalah sosok yang paling utama (afdhol) setelah Nabi saw dan yang berhak menggantikannya. Sedangkan Abu Bakar ra kedudukannya di bawah imam Ali ra (mafdhul). Namun demikian Zadiyyah tidak menafikan kepemimpinan Abu Bakar ra setelah nabi saw meninggal.
    Syekh Hassan Ibn Ali al-Saqqaf berasal dari Jordan. Beliau mendakwa dari keturunan Khalifah Ali Ibn Abi Talib radhiyallahu’anhu dan cukup berbangga dengan pangkat itu seolah-olah ia menjaminkan dirinya bersifat seakan-akan ma’sum dan sentiasa di atas kebenaran. Di kalangan orang yang mengenalinya menyatakan dia seorang agak pro-Syiah yang lazim di sebut mutasyayyi’
    Beliau coba menonjolkan diri bahwa beliau seorang ahli Sunnah yang bermazhab Syafi`ie. Dalam masa yang sama beliau selalu menghantam secara lisan para sahabah yang terlibat dalam peperangan menentang Khalifah Ali Ibn Abi Talib radhiyallahu’anhu.
    Nama Hasan As-Saqqaaf sudah terkenal yang mengaku bermadzhab Asyaa’irah dalam ‘aqidah, As-Saqqaaf dan dianggap sebagai pahlawan, singa pembela madzhab Asyaa’irah (dalam melawan ‘Wahabiy’). Terutama melawan Syekh Nashiruddi Albani. Ia merupakan tokoh pujangga bagi para pencela madzhab salaf semisal Abu Salafy.

  112. Ini barang kali prasangka belaka, akan tetapi mari kita lihat kenyataannya.
    Pertama :
    “Syekh Hassan Ali al-Saqqaf marah ketika mendengar pada salah surat kabar yang inti sarinya memuat pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa ulama-ulama sepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar ra dan Umar ra lebih afdal daripada Sayyidina Ali ra. sehingga salah seorang murid Syekh Hassan Ali al-Saqqaf menyangkalnya dengan mengemukakan fakta sejarah sahabat Nabi saw yang menyatakan bahawa Ali bin Abi Talib ra lebih afdal dari Abu Bakar ra dan sahabat yang lainnya. Namun tanpa sedikitpun mengecilkan kedudukan sayyidina Abu Bakar ra dan pembesar sahabat yang lain.
    kedua :
    Syekh Hasan as-Saqqof yang didengang-dengungkan oleh fanatikusnya sebagai muhaddits. Ini adalah tidak lebih dari seorang pencela sahabat dan melemparkan tuduhan kafir terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhu. Syekh Ali As-Saqqof menuduh Sahabat yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhu dengan nifaaq dan menganggapnya murtad.
    Sungguh benar ucapan Syaikh Ali Hasan hafizhahullahu, dan ta’liq as-Saqqof terhadap buku Daf’u Syubahit Tasbiih karya Ibnu Jauzi menjadi saksi atas kelancangannya dan keberaniannya menuduh sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Ia berkata di catatan kaki Daf’us Syubah (hal. 237) : ”Aku (as-Saqqof) berkata : Mu’awiyah membunuh sekelompok kaum yang shalih dari kalangan sahabat dan selainnya hanya untuk mencapai kekayaan duniawi. Dan dia mengkafirkan para Shahabat yang terlibat dalam peperangan dengan ‘Ali ra. Sebagaimana ada di kalangan rumpun tersebut di Malaysia dan Nusantara, yang berpegang kepada Syi`ah.
    Ketiga :
    Kenapa Syekh Hasan assaqaf lebih mengutamakan hadis aku tinggal dua perkara alquran dan ahlul bait shahih muslim dari pada alquran dan hadis kenapa karena Alquran sudah pasti terjaga sedangkan hadits???”
    Padahal dalam kitab kitab yang masyhur tentang hadits-hadits maudhu’ ( palsu) :
    1. Tadzkiroh maudhu’ah, Abi Fadhl muhammad Bin Thohur Bin Al Maqdisi’e (448-507 H )
    2. Al Madhu’ah Kubro, Abi Farj Abdurrahman Bin Jauzi ( 508-597 H )
    3. Al Ba’its ‘Alal Kholas min Hawaditsil Qosos, Al Hafidz Zainuddin Abdurrahim ‘Iroqi’e ( 725-806 H )
    4. Al La’alil Masnu’ah fil ahditsil Maudhu’ah, Al Hafidz Jalaluddin Suyuti ( 849-911 H )
    5. Tnzihus Syari’atil mMarfu’ah ‘anil Ahbari Syani’ah al Maudhu’ah, Abi Hasan Ali Bin Muhammad Al Kanani ( 963 H )
    6. Fawa’idul Majmu’ah fi Ahaditsil Maudhu’ah, Qodli Abi Abdillah muhammad BinAli Syaukani ( 1183-1255 H )
    Dalam kitab-kitab tersebut diatas , ulama’ ulama’ salafus sholihin tidak menyebutkan bahwa hadits Kitabullah wa sunnati termasuk dalam kategori hadits maudhu’ / palsu. yang jelas Syekh Ali As Saqqaf sendirian dari sekian ahli hadits pada zaman sekarang ini yang berani mengatakan maudhu’ Pertanyaannya, Ada apa ???
    Seandainya dikatakan oleh Syekh Ali as Saqqaf bahwa hadits Kitabullah was Sunnati , bathil ( salah ) dari sisi matannya, maka kitabullah (al Qur’an ) tidak mungkin. Karena sudah jelas terjaganya. Sebagaimana firman Allah swt :
      •    
    “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.[Al Hijr-9}
    Maka sudah tentu dari sisi matan” Sunnaty” adalah bathil (salah).
    Pertanyaanya apa betul demikian sebenarnya ???
    Ada satu pelajaran yang sangat penting untuk kita jadikan perbandingan, yaitu firman Allah swt :
          
    “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’”. { Al Fathir, 28 }
    Maka ulama’ disini sudah sudah jelas dapat dimaklumi, yaitu ulama’ mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Sehingga mereka senantiasa takut kepada Allah swt. Dengan demikian mustahil mempermasalahkan lafal Ulama’ ini.
    Dalam ayat lain Allah swt berfirman :
           •    
    “Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.{ Ali Imron ,32 }
         •         
    “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.{ Ali Imron, 31}.
    Dari kedua ayat diatas, ada perintah dari Allah swt untuk mengikuti Nabi saw. Maka pengertiannya adalah mau gak mau dengan cara mengamalkan sunnah-sunnah Nabi saw. tanpa ada yang perlu untuk dipermasalahkan.
    Hal demikian ini banyak disinggung dalam hadits nabi saw, seperti :
    قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عمل قليل فى سنّة خيرمن عمل كثير فى بدعة (الحديث)
    Rasulullah saw bersabda,” Amal sedikit dalam rangka menjalankan sunnah itu lebih baik dari pada amal banyak akan tetapi dari amalan bid’ah”.
    عن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم انّه قال المتمسّكون بسنّتى عند قساد أمّتى له أجر مائة شهيد (الحديث)
    Dari Rasulullah saw bersabda,” Orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnahku pada saat rusaknya ummatku, maka baginya pahala 100 syahid”.
    Dari kedua hadits tersebut lafah sunnah dan sunnati sudah tentu tidak perlu dipermasalahkan. Sebab lafal sunnah dan sunnati tersebut sudah dapaat dipahami dan dimaklumi, yaitu mengamalkan hadits-hadits Nabi saw yang bisa dijadikan dasar pengambilan hukum atau bisa manjadi landasan untuk beramal dalam menjalan syareat agama islam ala ahlu Sunnah wal Jama’ah.
    Setelah pembaca dapat meneliti dan mempelajari dengan baik tiap-tiap segi dan bagian serta persoalan-persoalan yang menyangkut pembahasan dalam karangan singkat ini, dapatlah kiranya dimaklumi bahwa sejak wafatnya junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, maka ummat Islam dalam perkembangannya banyak menghadapi persoalan-persoalan dalam perkara Agama, terutama dalam hal-hal yang baru yang tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut timbullah berbagai penafsiran-penafsiran yang satu sama lain kadang-kadang merupakan dua segi yang berbeda sama sekali. Hal ini tidak berarti bahwa di dalam ajaran-ajaran Islam itu terdapat kesimpang siuran yang tidak menentu karena ajaran-ajaran Islam cukup memberikan jaminan dan dasar-dasar pemikiran yang dapat dijadikan landasan atau dasar-dasar kekuatan hukum sepe’rti Al-Qur’an dan Hadits serta Ijma’ dan Qias, baik dalam perkara-perkara yang bersifat Ibadat maupun Mu’amalat.
    Menyelesaikan perkara-perkara yang menyangkut Agama yang tidak sedikit dan didalam memberikan petunjuk-petunjuk didalam risalah ini, sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran penyusun sendiri tapi hasil dari pemikiran Ulama-Ulama besar kita yang telah mengambil dasar-dasar menurut ril yang sebenarnya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian bagi setiap pembaca yang setelah mempelajari dengan seksama isi dari karangan ini, tidak perlu lagi meragu-ragukan akan segala isinya karena pada dasarnya bahwa segala masalah yang penulis utarakan disini bukanlah masalah yang baru, tapi sudah sejak dahulu kala berabad-abad lamanya telah dikerjakan oleh ummat Islam di dunia ini, seperti telah penulis terangkan juga di dalam bagian pendahuluan.
    Diterbitkannya susunan singkat ini dalam bentuk yang sederhana adalah dimaksudkan sekedar untuk menangkis serangan yang dilancarkan secara tajam oleh pihak-pihak atau “kiyai-kiyai muda” yang secara sembrono memberikan “fatwa-fatwa” seolah-olah para Alim Ulama kita yang ter-dahulu itu telah memberikan jalan yang sesat pada kita. Dengan adanya buku ini dan setelah membacanya dengan teliti, mudah-mudahan dapat merobah cara berfikir me-reka dan kembali kejalan yang benar yang diridhai oleh Allah SWT.
    Yang terpenting bagi penulis ialah terarah kepada angkatan-angkatan yang mendatang dari golongan-golongan Ahlissunnah Waljamaah agar dapat mempelajari masalah pokok dari karangan ini dengan baik dan seksama agar tidak ragu-ragu lagi bahkan meyakini benar akan kebenaran fatwaI falwa Ulama-Ulama kita yang terdahulu yang telahmempunyai kedudukan sebagai Waratsatul Ambiyaa’.
    Akhirnya penyusun tidak lupa menasehatkan disini agar angkatan-angkatan muda dari kalangan ummat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai sesuatu perkara Agama itu, jangan dianggap mudah atau dipermudah, tapi hendak-nya ditanyakan langsung kepada yang betul-betul menge-tahui tentang urusan Agama jika sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis mengharapkan jang¬an sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa akibat yang tidak diinginkan karena segala masa¬lah yang dibahas dalam buku ini semuanya menunjukkan pegangan bagi Ahlissunnah Waljama’ah.
    Demikianlah penulis akhiri karangan singkat ini, semoga banyak memberikan manfaat bagi setiap pembaca. Dan jika ada kekurangannya mohon dimaafkan. Rabbana atina fiddunia hasanah wafil akhirati hasanah, waqina ‘adza banner.

  113. حديث الثقلين
    tELAAH HADITS
    TENTANG

    2 Pusaka “Kitabullah”
    &
    ahli baity / sunnaty
    ?

    Abu ‘iffa

    KATA PENGANTAR

    بسم الله الرحمن الرحيم
    الحمد لله ر ب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأ نبيآء والمرسلين سيّدنا محمد وعلى آله وأزواجه وذرّيّاته وأهل بيته
    وأصحابه أجمعين سبحانك لاعلم لنا إلاّ ما علّمتنا إّنّك أنت العليم الحكيم
    ولا حول ولا قوّة إلاّ بالله العليّ العظيم أمّا بعد

    Seiring dengan limpahan rahmat Allah SWT, al faqir bermaksud menyusun telaah tentang 2 pusaka Rasulullah SAW sepeninggal beliu. Yaitu 2 pegangan yang mana ummat tidak akan sesat selam berpegang teguh kapada keduanya. Akan tetapi ada kontek yang berbeda dalam hadits tersebut. Kitabullah-ahli baity dan Kiabullah-sunnaty. Dengan niatan semoga kita telaah ini bisa menambah wawasan pengetahuan kita dan semoga Allah swt menjadikan kita termasuk ummat yang dikategorikan sebagai ummat yang selamat Amin….

    HADITS ATS TSAQOLAIN

    Hadits Ats Tsaqolain adalah hadits yang meriwayatkan tentang keutamaan ahlul bait Nabi SAW. Banyak riwayat hadits ini, akan tetapi banyak terdapat perbedaan matan hadits yang satu dengan hadits yang lainnya. Syi’ah sangat getol sekali memegang dan mengagungkannya. Sebab dengan hadits ini, ajaran syi’ah bisa terangkat dengan istilah madzhab ahlul baitnya.

    عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي قَالَ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلَ بَيْتِيْ.
    (سنن الترميذي, رقم. 372)

    “Dari Abi Sa’id al-Khudri ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah (al-Qur’an) dan keluargaku.” (Sunan al-Tirmidzi, [3720])

    إنّى تارك فيكم الثقلين كتلب الله وعترتي أهل بيتي ولن تتفرّقا حتى تردا الحوض ( الحديث )
    Imam Ahmad Bin Hambali meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Kutinggalkan kepadamu dua penggantiku: Kitabullah, tali penghubung yang membentang antara langit dan bumi, dan Itrah-ku, Ahlubait-ku. Keduanya tak akan berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Al Haudh.” (Musnad al Imam Ahmad Hambali, juz 5, hal 182-189).

    Al Hakim, dalam Mustadraknya, juga meriwayatkan dari Nabi SAW yang berkata, “Aku merasa segera akan dipanggil (oleh Allah SWT) dan aku akan menunaikan panggilan itu. “Kutinggalkan padamu Ats Tsaqalain, yaitu Kitabullah, serta Itrah-ku (kerabatku). Kitabullah, tali penghubung antara langit dan bumi. Dan Itrah-ku, Ahlulbait-ku. Dan sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui telah berfirman kepada-ku bahwa keduanya tak akan berpisah, sehingga berjumpa kembali dengan-ku di Al Haudh. Oleh karena itu, jagalah baik-baik, kedua peninggalanku itu.”
    (Mustadrak Al Hakim, juz 3, hal 148.

    Komentar tokoh-tokoh syi’ah tentang hadits tersebut :

    Dikatakan bahwa sanadnya adalah shahih, sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya).

    Meskipun nas-nas di atas satu sama lain berbeda redaksi dari rawinya, namun hal itu tidak berpengaruh sama sekali. Karena Nabi SAW telah berulang kali menyampaikan pesan-pesannya itu dibeberapa tempat yang berlainan. Diantaranya disebutkan bahwa hadis itu diucapkan Rasulullah SAW di Arafah pada waktu melakukan ibadah haji perpisahan (wada’). Kemudian beliau mengucapkan lagi ketika sakit menjelang wafat, dihadapan para sahabat yang memenuhi ruangan kamar beliau.

    Lalu pernah juga beliau mengucapkannya di Ghadir Khum. Adapula riwayat menyebutkan ucapan beliau itu disaat Nabi SAW pulang dari Thaif ketika beliau berpidato di hadapan para sahabat. Nah, demikian itu Rasulullah SAW sengaja mengulang-ulang pesannya itu di pelbagai tempat dan situasi yang tak lain untuk menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap Al Kitab Al ‘Aziz dan Itrah Thahirah

    Mengamati hadis-hadis tersebut, yang telah mencapai tingkat mutawatir yang tidak akan ada tandingannya, kecuali hadis Al Ghadir yang menuntun manusia kepada hukum, dan bagi yang tidak berpegang pada kedua-duanya akan tersesat. Jadi, mereka yang berpegang pada keduanya adalah firqah Najiyah. Sementara yang menyeleweng dan menyimpang dari keduanya, atau mendahului keduanya, maka mereka itu dianggap sebagai firqah yang binasa (halak). Ath Thabari telah menukil ucapan Rasulullah saw pada penghujung hadis:”…maka janganlah kamu mendahului keduanya, nanti kamu binasa. Janganlah pula kamu ketinggalan dari mereka, nanti kamu celaka. Dan janganlah mengajari mereka, sebab mereka itu lebih mengerti dari kamu.”(Ash Shawaiq Al Muhriqah, hal 135, bab wasiat Nabi saw kepada mereka).

    Berkata Ibnu Hajar:”menamsilkan mereka dengan bahtera Nuh as (safinah Nuh) berarti siapa pun mencintai dan menghormati mereka sebagai manifestasi rasa terima kasih serta syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya dan mengikuti petunjuk para ulama dari kalangan mereka, maka akan selamat dari akibat penyimpangan mereka. Sebaliknya siapa pun yang menyimpang dari ajaran-ajaran mereka, niscaya ia akan tenggelam di lautan pengingkaran nikmat Allah SWT dan dia pun akan binasa dalam arus gelombang kebatilan.”

    Ungkapan Ibnu Hajar tersebut dikomentari oleh Sayid Syarafuddin al Musawi dalam kitab Al Muraja’at dengan komentar yang indah sekali, “Tanyakan padanya mengapa ia sendiri tidak mengakui petunjuk para Imam Ahlulbait as, baik dalam soal furu’uddin dan kaidah-kaidahnya, sampai pada,” dan mengapa ia tidak ikut bersama mereka, agar selamat dari bahaya tenggelam di lautan pengingkaran nikmat Allah, dan terhindar dari kesesatan di lembah kebatilan?.

    Inilah ringkasan kesimpulan komentar syi’ah diatas :

    1. Hadits Tsaqolain tersebut adalah shohih, sekalipun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitab shohih mereka berdua. Hadits tersebut mencapai derajat mutawatir dan setara dengan hadits Ghodir Khum.
    2. Yang berpegang kepada kedua Kitabullah & imam-imam (ahlu baiti Nabi SAW) adalah firqotun Najiyah dan yang tidak berpegangan dengan keduanya adalah sesat masuk golongan yang binasa.

    Derajat Hadits Ats Tsaqolain
    Syi’ah beranggapan bahwa hadits tersebut diatas telah mencapai derajat mutawatir. Artinya kedudukannya sangat kuat di bawah al Qur’an. Akan tetapi apa benar kenyataannya. Untuk itu mari kita meruju’ kepada definisi hadits mutawatir menurut ulama’ ahlu sunnah yang lebih terpecaya dari orang-orang diluar ahlu sunnah.
    Menurut Sayyid Maliki, yang dikatakan hadist mutawatir adalah:
    ما رواه جمع عن جمع بلا حصر بحيث يبلغون حدّا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب
    ”Hadits yang diriwayatkan oleh kelompok perowi hadits shohih dari kelompok perowi hadits shohih tanpa ada batas. Sekiranya mereka mencapai batas yang adat tidak memungkin mereka bermufakat atas kebohongan”.

    Begitu juga, Dr. Muhammad ‘Ajaj Al Khotib dalam kitabnya Ushulul Hadits berkata hadist mutawatir adalah :

    ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب
    ”Hadits yang diriwayatkan oleh kelompok perowi hadits shohih yang adat tidak memungkin mereka bermufakat atas kebohongan”.
    Hadits mutawatir ini wajib diamalkan dan orang yang ingkar atau tidak percaya hukumnya kafir.
    Contoh hadits mutawaitr :
    من كذّب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النار (رواه جمع )
    “ Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siap akan tempat duduk kelak dari api neraka”.
    Kembali pada hadits Ats Tsaqolain, hadits ini yang diriwayatkan oleh Turmudzi, Nasai, Imam Ahmad Hambali dan Al Hakim. Namun imam Bukhori dan imam Muslim tidak mencantumkan hadits tersebut kedalam kedua kitab shohih mereka. Hal ini sudah pasti mereka berdua lebih tahu akan keabsahan hadits Ats Tsaqolain tidak se-shohih seperti hadits shohih yang disusun dan ditulis dalam kitab shohih mereka. Hal ini berarti juga bahwa standar kemutawatiran Ats Tsaqolain tidak masuk dalam standar hadits mutawatir menurut imam Bukhori dan imam Muslim.
    Dengan demikian batal pendapat oarng yang mengkategorikan hadits Ats Tsaqolain sebagai hadits mutawatir. Sebab hadits AtsTsaqolain kalu berdiri sendiri tanpa ada hadits pengikat laiinnya, maka akan menjadi rancuh penafsirannya.
    Mari kita buktikan seandainya hadits AtsTsaqolain diartikan secara mutlak dengan apa adanya : “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah dan keluargaku”,
    Yang dimaksud dengan kitabullah jelas semua sudah maklum, yaitu Al Qur’an sebagai dasar sumber pegangan hukum secara mutlak yang pertama. Akan tetapi ahlu baiti ( keluarga ) sebagai sumber hukum yang kedua, tapi ini masih ada perselisihan penafsiran diantara ahlu sunnah dan syi’ah.
    Katakan syi’ah yang berpendapat bahwa ahlu bait adalah imam-imam syi’ah yang 12. Maka mau tidak mau semua landasan hukum harus mengikuti ajaran imam mereka. Dan barang siapa yang ingkar dengan imam-imam mereka adalah kafir.
    Untuk itu dalam menafsiri hadits Ats Tsaqolain perlu satu hadits dari sekian bamyak yang semakna dengan hadits Ats Tsaqolain. Kita ambil satu dari hadits Nabi SAW yang bisa dikompromikan dengan hadits Ats Tsaqolain :
    تركت فيكم أمرين لن تضلّوا ما تمسّكتم بهما كتاب الله وسنّة نبيّبه ( أخرجه الإمام مالك فى الموطء )
    “Aku telah tinggalkan 2 perkara (ajaran) dalam perkara kalian nanti. Yang mana sekali-kali kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya. Yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya”.
    Hadits ini menerangkan bahwa selama Nabi SAW masih hidup, maka sumber syareat adalah Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya. Tapi setelah Nabi SAW tiada dan sudah terputusnya wahyu, maka tidak ada lagi yang jadi pemimpin ummat kecuali Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Maka siapakah yang masih memegang teguh sunnah-sunnah Nabi SAW kalau bukan para sahabat Nabi SAW dari kalangan muhajirin, anshor dan para tabi’in. Karena mereka berkewajiban melaksakan perintah Allah SWT dan ta’at kepada Rasulullah SAW. Dan pada waktu tidak ada imam-imam yang disangkakan oleh syi’ah. Yang ada adalah Khulafaur Rosyidin, khalifah yang memegang dan mengamalkan sunnah-sunnah Nabi SAW.

    Pengertian Hadit Ats Tsaqolain
    Sesungguhnya hadits Nabi SAW,”
    إِنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلَ بَيْتِيْ.
    “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah (al-Qur’an) dan keluargaku”,
    Maka memang benar itu adalah sabda Nabi SAW. Akan tetapi perkara pokok pada pemahaman orang yang berhaq menyandang keutamaan, apabila ahlul bait itu dari Sayyidina Abbas ra dan keturunannya, Sayyidina Ali ra dan keturunannya dan ahlu bait yang mengikuti jejak langkah dan perkataan mereka sampai hari kiamat, maka sudah jelas perkaranya.
    Buktinya adalah oleh karena mereka senantiasa mengikat diri dengan kitabullah dan sunnah Nabi SAW. Sebagaimana hadits :
    تركت فيكم شيئين لن تضلّوا بعدهما كتا ب الله وسنّتى ( الحديث رواه الحاكم )
    Nabi SAW bersabda,”Aku tinggalkan pada kalian 2 perkara yang mana sekali-kali kalian tidak akan tersesat setelah berpegangan dengan keduanya, yaitu kitabullah (al- Qur’an) dan sunnahku (al- Hadits)”. HR. Hakim
    Dan telah tersebarnya dari mereka ahlu baiti Nabi SAW kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, nasehat, hikmah, siasah, riyadhoh dan yang lainnya yang meliputi bumi dan memenuhi penjuru dunia. Bagi orang yang menentang mereka dan memusuhinya, maka laknat Allah SWT, laknat para malaikat-Nya dan laknat semua manusia akan menimpa kepadanya.

    Uraian matan hadts Ats Tsaqolain
    Dari 2 wasiat, salah satu diantaranya adalah paling agung nilainya dari yang lain. Yaitu kitabullah. Bahwasanya Al Qur’an paling agung nilainya dikarenakan Al Qur’an adalah panutan yang diikuti. Sedangkan itroh ahlu baiti Nabi SAW adalah yang diperintahkan untuk mengikuti Al Qur’an. Sebagaimana seluruh manusia mengikuti Al Qur’an dan ahlu bait.
    Adapun itroty ahlu baiti itu dimutlakkan kepada keluarga Nabi SAW yang paling dekat dan yang paling jauh. Oleh karena itu Nabi SAW membatasi dengan itroty ahlu baiti dengan maksud keluarga Nabi SAW masuk dalam firman Allah SWT :
              
    “ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.(Al Ahzab 33)
    Ulama’ jumhur berpendapat bahwa mereka keturunan Bani Hasyim dan Muthollib yang haram menerima harta shodaqoh.
    Yang dimasud dengan berpegangan dengan Al Qur’an adalah mengamalkan apa yang ada dalam Al Qur’an dengan cara melaksanakan perintah-perintanya dan menjauhi larangan-larangannya. Sebagian dari hal tersebut adalah mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah SWT. yaitu para Nabi, Rasul, Malaikat dan sahabat Rasulullah SAW. Serta mengetahui apa yang wajib kepada mereka dari pada memuliakan, menghormati dan cinta karena Allah SWT dan Rasul-Nya.
    Yang dimasud dengan berpegangan dengan ahlul bait adalah mengikuti mereka dalam hukum kitabullah yang sudah mereka ikuti.
    Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya ahlul bait yang mana kita diperintahkan untuk mengikuti dan memeganginya, terutama pada zaman ini adalah orang-orang dari kalangan ahlul bait yang sudah tampak pada mereka kebenaran dan keteguhan dengan kitabullah dan sunnah Nabi SAW. Maka bisa terpilah dengan syarat tersebut orang yang mengada-ada (ahlu bid’ah) dan orang yangmenyalahi kitabullah, sunnah dan ijma’ salaf sholihin. Sebab banyaknya kitab-kitab yang tersebar dari keturunan Sayyidina Ali ra dan Abbas ra dari pada tafsir Al Qur’an, hadits dan fiqih. Kemudian dari keturunan Ali Bin Husein ra, Ja’far dan semisalnya serta keturunan mereka yang mengikuti perjalanan datuk-datuknya telah tersebar dari mereka kitab-kitab rahasia ilmu, hikmah, nasehat, siasah dan yang tak terbilang jumlahnya.
    Dengan mufakatnya ulama salaf dan kholaf bahwa mereka sudah berada diatas petunjuk (hidayah) dari Tuhannya dan mereka tidak memisahkan diri dalam perjalanan hidupnya dari hukum-hukum Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Dan sepakatnya mereka berpendapat bahwa seluruh sahabat Nabi SAW dan para tabi’in berada diatas petunjuk (hidayah) dari Tuhannya, masih menetapi hukum-hukum Al Qur’an dan Sunnah. Dan bahwasanya masing-masing dari mereka (sahabat Nabi SAW dan ahlu bait) adalah satu kumpulan dan golongan yang menyatu, saling tolong-menolong diatas kebenaran dan saling membantu diatasnya. Lebih-lebih ahlul bait dan Sayyidina Abu Bakar ra dab Sayyidina Umar ra. Maka sesungguhnya mengangkatnya Sayyidina Ali ra dan Ibnu Abbas kepada keduanya sebagai kholifah dan memujinya mereka atas keduanya tidak perlu lagi membutuhkan dalil atas kebenaran hal tersebut.
    Akan tetapi apabila ada keturunan ahlul bait yang mengikuti madzhab ahlul bait nyata-nyata mereka diatas kesesatan. Yaitu orang-orang yang mengaku sebagai ahlu baiti Nabi SAW padahal mereka telah keluar berpisah dari hukum-hukum Al Qur’an dan membuang kitabullah dari belakang punggunya serta mencampakkan sunnah-sunnah Nabi SAW. Bahkan mereka telah memutus tali persaudaraan. Maka mereka berhak mendapatkan apa yang difirmankan Allah SWT kepada nabi Nuh as tatkala beliau berkata bahwa anakku itu adalah keluargaku :
         •    •                 
    “Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik”.

    Begitu juga Nabi SAW pernah ditanya siapakah keluarga beliau. Maka nabi SAW bersabda bahwa keluargaku adalah setiap orang yang bertaqwa sampai datangnya hari kiamat.
    Dengan demikian dapat diketahui bahwa hubungan pertalian diantara ahlul bait dan keturunannya dengan Al Qur’an adalah hubungan pertalian yang benar. Setiap ahlul bait yang telah berpegang teguh dengan Al Qur’an sampai ajal menjemputnya, maka benarlah dia sebagai ahlu baiti Nabi SAW yang tidak meninggalkan Al Qur’an dan Al Qur’an sendiri tidak meninggalkannya sampai berjumpa dengan Allah SWT.
    Begitu juga apa bila ada sekelompok orang dari keturunan ahlul bait yang menyimpang dari jalan datuk-datuknya. Dan mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran datuknya yang sudah benar di jalan Allah SWT, maka jadilah mereka dalam kedudukan golongan yang ditiadakan dari kalangan ahlul bait Nabi SAW dan sudah tidak ada lagi pusaka berharga bagi mereka. Sebagaimana Nabi SAW :
    الذين يرثون ميراثه كلّ بارّ تقيّ
    “Sesungguhnya orang-orang yang mendapat pusaka sunnah Nabi SAW adalah setiap orang yang baik dan bertaqwa”.

    Demikian semoga sedikit telaah ini ada manfaat bagi kita semua. Amin

  114. Insyaallah, kita sungguh memerlukan kebenaran dlm kehidupan beragama, maka kita harus terus membaca, menelaah, dan tabayyun secara jujur dan adil, tanpa rasa egois, benci dan prasangka negatif, insyaallah hidayah ttg kebenaran itu akan sampai kpd kita. Wallahu a’lam

  115. Abu iffah,berkata :
    Kembali pada hadits Ats Tsaqolain, hadits ini yang diriwayatkan oleh Turmudzi, Nasai, Imam Ahmad Hambali dan Al Hakim. Namun imam Bukhori dan imam Muslim tidak mencantumkan hadits tersebut kedalam kedua kitab shohih mereka.

    Ana jawab
    Lah….antum ini terlalu asyik dgn koment sendiri shg tidak membaca posting SP yg mencantum hadist tsaqalain dalam riwayat imam muslim. (silhakan lihat kembali tulisan SP diatas mas bro [Shahih Muslin no 2408]

    Abu iffah,berkata
    Hal ini sudah pasti mereka berdua lebih tahu akan keabsahan hadits Ats Tsaqolain tidak se-shohih seperti hadits shohih yang disusun dan ditulis dalam kitab shohih mereka. Hal ini berarti juga bahwa standar kemutawatiran Ats Tsaqolain tidak masuk dalam standar hadits mutawatir menurut imam Bukhori dan imam Muslim.

    Ana jawab
    Oh….jadi kreteria hadist mutawatir itu terletak ditangan imam bukhari dan muslim ya ??? artinya bukhari- muslim penentu sebuah hadist, apakah ia muthawatir atau tidak. Begitukah Abu iffah ???. siapa nama guru wahabimu yang mengajarkan seperti itu ???
    Hmmmm….ana baru tahu…. Dapat ilmu baru nih dari pengikut wahabi dari najd.

  116. Tema bahasan yang tak akan lekang termakan zaman. Coba bayangkan lebih dari seribu tahun sudah dan tak terkiiraaa banyak ulama yang membahas dan mengupasnya tapi kata sepakat hampir dipastikan mustahil dicapai.

    Para ulama masa lalu yang berpanjang2 membahas dalam kitab mereka, saat ini telah mengetahui kebenaran sejatinya dan ketidak sepakatan atas permasalahan ini diwariskan kepada ulama masa kini yang hidup seribuan tahun setelah berlalu peristiwa itu.

    Terkendala rentang jaman dan waktu ulama masa kini hanya mengandalkan kitab2 ulama terdahulu, kemudian mereka kembali merangkai berbagai macam pendapat dan dituangkan kedalam kitab2. Di mulai dari titik ini lingkaran perdebatan dimulai sebagaimana yang telah terjadi seribuan tahun silam.

    Sesungguhnya apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan perselisihan yang tak akan habis ini adalah melaluinya banyak orang yang hendak Allah selamatkan ataupun menjadi sesat karena pilihan mereka sendiri dalam memahami permasalahan ini.

    Perdebatan sepertinya akan terus menerus terjadi sampai kebenaran sejati Allah tampakkan di muka bumi. Selamat merenung!….dan tentukanlah pilihan anda!

  117. malah jadi arena ring tinju hahahaha

  118. @gi me,….ah biasa aja ,..kan antar sahabat pun dahulu bukan saja ring tinju tapi medan peperangan,….saja hikmahnya bukan seperti orang yg selalu merindukan agama ini mesti damai dari perselisihan internal namun kenyataan sejarahnya seperti itu (sebaliknya)

Tinggalkan komentar