Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33

Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33

Dalam Al Qur’anul Karim terdapat ayat yang cukup fenomenal dan menjadi kontroversi diantara pengikut salafy dan pengikut syiah. Syiah meyakini kalau Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 [ayat tathir] bukanlah istri-istri Nabi sedangkan salafy dan para nashibi justru mengkhususkan bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi. Selain itu terdapat penafsiran baru dari kalangan “mereka yang terinfeksi virus nashibi” yaitu mereka mengatakan kalau Al Ahzab 33 turun memang untuk istri-istri Nabi hanya saja Nabi SAW memperluas makna Ahlul Bait itu kepada Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.

Dalam pembahasan ini kami akan membuktikan bahwa penafsiran ini keliru, yang benar adalah Al Ahzab 33 turun untuk Ahlul Kisa’ yaitu Nabi SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Tentu saja kami akan membawakan riwayat-riwayat shahih yang menjadi bukti kejahilan mereka.

عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير

Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. [Shahih Sunan Tirmidzi no 3205].

Salafy nashibi berusaha berdalih dengan mengatakan bahwa hadis di atas bukan berarti mengkhususkan Ahlul Bait untuk Ahlul Kisa’ justru hadis di atas merupakan perluasan dari makna Ahlul Bait oleh Nabi SAW. Ayat tersebut memang turun untuk istri-istri Nabi tetapi Nabi SAW karena kecintaannya juga menginginkan ayat tersebut untuk Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Hujjah mereka ini batal dengan alasan berikut

  • Hadis Sunan Tirmidzi di atas menyebutkan bahwa ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW langsung memanggil Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain bukannya memanggil istri-istri Beliau. Ini bukti kalau ayat tersebut ditujukan untuk Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain dan bukan untuk istri-istri Nabi SAW.
  • Ummu Salamah tidak merasa kalau dirinya adalah Ahlul Bait yang dimaksud, padahal jika memang seperti yang diklaim para nashibi kalau Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 turun untuk istri-istri Nabi SAW maka Ummu Salamah pasti tahu kalau dirinyalah Ahlul Bait yang dimaksud dan Beliau tidak perlu mengajukan pertanyaan kepada Nabi [“Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”] bahkan dalam riwayat lain Ummu Salamah bertanya [“Apakah Aku termasuk Ahlul Bait?”].

Nashibi berusaha membela diri dengan mengatakan kalau Ummu Salamah awalnya tidak tahu kalau ayat tersebut ditujukan untuknya sehingga pada saat itu ia bertanya dalam kondisi tidak tahu, barulah setelah itu ia mengetahui kalau ayat tersebut turun untuknya. Jawaban ini batal dengan alasan berikut

  • Pada awalnya nashibi mengatakan kalau ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW dan Nabi SAW berkehendak agar Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain juga masuk dalam Ahlul Bait.  Kalau memang benar kejadiannya seperti itu maka ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW pertama-tama akan memberitahu Ummu Salamah karena sudah jelas beliau adalah istri Nabi SAW [apalagi ayat tersebut turun di rumahnya sehingga Nabi SAW bisa langsung memberitahu] kemudian Rasulullah SAW juga akan memanggil istri-istri Beliau yang lain untuk menyampaikan ayat tersebut. Setelah ayat tersebut disampaikan kepada orang-orang yang dituju maka barulah Rasulullah SAW melakukan keinginan atau kehendaknya agar Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain ikut masuk sebagai Ahlul Bait. Tetapi fakta yang ada dalam hadis shahih justru menyebutkan kalau Rasulullah SAW malah langsung memanggil Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain bukan istri-istrinya bahkan Rasulullah SAW tidak menyampaikan ayat tersebut kepada Ummu Salamah yang dari awal berada disana. Sungguh mustahil mengatakan kalau Nabi SAW lebih mendahulukan kehendak atau keinginannya dan menunda untuk menyampaikan firman Allah kepada orang yang dituju.
  • Kalau memang seperti yang dikatakan nashibi Ummu Salamah bertanya dalam kondisi tidak tahu atau Nabi SAW belum memberitahu kalau ayat tersebut turun untuknya selaku istri Nabi maka setelah itu sudah pasti Ummu Salamah akan diberitahu oleh Nabi SAW. Tentunya ketika Ummu Salamah meriwayatkan hadis ini kepada para tabiin maka saat itu Ummu Salamah pasti sudah mengetahui kalau pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya kepada Nabi adalah kesalahpahamannya [karena pada dasarnya ia tidak perlu bertanya, toh ayat itu untuknya]. Jadi Ummu Salamah pasti akan menjelaskan kesalahpahamannya itu kepada para tabiin tetapi faktanya dalam riwayat-riwayat Ummu Salamah pertanyaan itu tetap ada dan tidak ada penjelasan Ummu Salamah kalau sebenarnya ia sudah salah paham. Ini justru membuktikan kalau arguman nashibi itu tidak bernilai dan hanya basa basi semata.

Al Ahzab 33 memang turun untuk Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Merekalah yang dituju dalam ayat tersebut bukannya seperti yang dikatakan nashibi kalau ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi dan ahlul kisa’ hanyalah perluasan ahlul bait berdasarkan kehendak Nabi. Perhatikan riwayat Ummu Salamah berikut

عن حكيم بن سعد قال ذكرنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه عند أم سلمة قالت فيه نزلت (إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا) قالت أم سلمة جاء النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيتي, فقال: “لا تأذني لأحد”, فجاءت فاطمة, فلم أستطع أن أحجبها عن أبيها, ثم جاء الحسن, فلم أستطع أن أمنعه أن يدخل على جده وأمه, وجاء الحسين, فلم أستطع أن أحجبه, فاجتمعوا حول النبي صلى الله عليه وسلم على بساط, فجللهم نبي الله بكساء كان عليه, ثم قال: “وهؤلاء أهل بيتي, فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا, فنزلت هذه الآية حين اجتمعوا على البساط; قالت: فقلت: يا رسول الله: وأنا, قالت: فوالله ما أنعم وقال: “إنك إلى خير”

Dari Hakim bin Sa’ad yang berkata “kami menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib RA di hadapan Ummu Salamah. Kemudian ia [Ummu Salamah] berkata “Untuknyalah ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun . Ummu Salamah berkata “Nabi SAW datang ke rumahku dan berkata “jangan izinkan seorangpun masuk”. Lalu datanglah Fathimah maka aku tidak dapat menghalanginya menemui Ayahnya, kemudian datanglah Hasan dan aku tidak dapat melarangnya menemui kakeknya dan Ibunya”. Kemudian datanglah Husain dan aku tidak dapat mencegahnya. Maka berkumpullah mereka di sekeliling Nabi SAW di atas hamparan kain. Lalu Nabi SAW menyelimuti mereka dengan kain tersebut kemuian bersabda “Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. Lalu turunlah ayat tersebut ketika mereka berkumpul di atas kain. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah SAW dan aku?”. Demi Allah, beliau tidak mengiyakan. Beliau hanya berkata “sesungguhnya engkau dalam kebaikan”. [Tafsir At Thabari 22/12 no 21739]

Riwayat Hakim bin Sa’ad di atas dikuatkan oleh riwayat dengan matan yang lebih singkat dari Ummu Salamah yaitu

حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين  إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227]

Riwayat Hakim bin Sa’ad ini sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat

  • Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi  dan Ibnu Asakir [Tarikh Al Islam 20/416 dan Tarikh Ibnu Asakir 48/459 no 5635]
  • Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7  no 299]
  • Jarir bin Abdul Hamid, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 2 no 116]
  • Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]
  • Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Ta’jil Al Manfaah 1/ 387].  Imam Bukhari menyebutkan biografinya seraya mengutip kalau dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174]. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy. [Ats Tsiqat juz 6 no 7050]
  • Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 787]

Riwayat Ummu Salamah dikuatkan oleh riwayat Abu Sa’id Al Khudri sebagai berikut

حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani yang berkata telah menceirtakan kepada kami Abu Rabi’ Az Zahrani yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad dari Sufyan Ats Tsawri dari Abi Jahhaf Daud bin Abi ‘Auf dari Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Said Al Khudri RA bahwa firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun untuk lima orang yaitu Rasulullah SAW Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhum [Mu’jam As Shaghir Thabrani 1/231 no 375]

Riwayat Abu Sa’id ini sanadnya hasan karena Athiyyah Al Aufy seorang yang hadisnya hasan dan Hasan Al Kirmani seorang yang shaduq la ba’sa bihi.

  • Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani dia seorang yang shaduq seperti yang disebutkan Adz Dzahabi [Al Kasyf no 1008]. Ibnu Hajar menyatakan ia la ba’sa bihi [tidak ada masalah] kecuali hadisnya dari Musaddad [At Taqrib 1/199]
  • Abu Rabi’ Az Zahrani yaitu Sulaiman bin Daud seorang Al Hafizh [Al Kasyf no 2088] dan Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/385]
  • Umar bin Muhammad Ats Tsawri seorang yang tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Ali bin Hujr, Abu Ma’mar Al Qathi’I, Ibnu Saad dan Ibnu Syahin. Disebutkan dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4832].
  • Sufyan Ats Tsawri seorang Imam Al Hafizh yang dikenal tsiqah. Adz Dzahabi menyebutnya sebagai Al Imam [Al Kasyf no 1996] dan Ibnu Hajar menyatakan ia Al hafizh tsiqah faqih ahli ibadah dan hujjah [At Taqrib 1/371]
  • Daud bin Abi Auf Abu Jahhaf, ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. [At Tahdzib juz 3 no 375] dan Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah [Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347].

Athiyyah Al Aufy adalah seorang yang hadisnya hasan, kami telah membuat pembahasan yang khusus mengenai Beliau. Beliau adalah seorang tabiin dan pencacatan terhadapnya tidaklah tsabit seperti yang telah kami bahas.

Ummu Salamah sendiri tidak memahami seperti pemahaman nashibi. Ummu Salamah mengakui kalau ia bukan ahlul bait yang dimaksud dan jawaban Nabi “kamu dalam kebaikan” dipahami oleh Ummu Salamah bahwa ia tidak termasuk dalam Ahlul Bait Al Ahzab 33 yang disucikan

عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة : يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق

Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Turun dirumahku ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait] kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhu ajma’in dan berkata “Ya Allah merekalah Ahlul BaitKu”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Rasul SAW menjawab “kamu keluargaku yang baik dan Merekalah Ahlul BaitKu Ya Allah keluargaku yang haq”. [Al Mustadrak 2/451 no 3558 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].

حدثنا الحسين بن الحكم الحبري الكوفي ، حدثنا مخول بن مخول بن راشد الحناط ، حدثنا عبد الجبار بن عباس الشبامي ، عن عمار الدهني ، عن عمرة بنت أفعى ، عن أم سلمة قالت : نزلت هذه الآية في بيتي : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ، يعني في سبعة جبريل ، وميكائيل ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن ، والحسين عليهم السلام وأنا على باب البيت فقلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال إنك من أزواج النبي عليه السلام  وما قال : إنك من أهل البيت

Telah menceritakan kepada kami Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Mukhawwal bin Mukhawwal bin Rasyd Al Hanath yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Jabar bin ‘Abbas Asy Syabami dari Ammar Ad Duhni dari Umarah binti Af’a dari Ummu Salamah yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] dan ketika itu ada tujuh penghuni rumah yaitu Jibril Mikail, Rasulullah Ali Fathimah Hasan dan Husain. Aku berada di dekat pintu lalu aku berkata “Ya Rasulullah Apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?”. Rasulullah SAW berkata “kamu termasuk istri Nabi Alaihis Salam”. Beliau tidak mengatakan “sesungguhnya kamu termasuk Ahlul Bait”. [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/228]

Riwayat Ummu Salamah ini memiliki sanad yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat

  • Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi adalah seorang yang tsiqat [Su’alat Al Hakim no 90] telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqat dan hafiz seperti Ali bin Abdurrahman bin Isa, Abu Ja’far Ath Thahawi dan Khaitsamah bin Sulaiman.
  • Mukhawwal adalah Mukhawwal bin Ibrahim bin Mukhawwal bin Rasyd disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 19021]. Abu Hatim termasuk yang meriwayatkan darinya dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 8/399 no 1831].
  • Abdul Jabbar bin Abbas disebutkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud dan Al Ajli bahwa tidak ada masalah padanya. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 209]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/552]. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [Al Kasyf no 3085]
  • Ammar Ad Duhni yaitu Ammar bin Muawiyah Ad Duhni dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/708] tetapi justru pernyataan ini keliru dan telah dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ammar Ad Duhni seorang yang tsiqat [ Tahrir At Taqrib no 4833]
  • Umarah binti Af’a termasuk dalam thabaqat tabiin wanita penduduk kufah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4880]. Hanya saja Ibnu Hibban salah menuliskan nasabnya. Umarah juga dikenal dengan sebutan Umarah Al Hamdaniyah [seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 2345].

عن أم سلمه رضي الله عنها قالت نزلت هذه الاية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت يارسول الله ألست من أهل البيت قال إنك إلى خير إنك من أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أجمعين

Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?. Beliau SAW menjawab “kamu dalam kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah SAW”. Aku berkata “Ahlul Bait adalah Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radiallahuanhum ajma’in”.[Al Arba’in Fi Manaqib Ummahatul Mukminin Ibnu Asakir hal 106]

Ibnu Asakir setelah meriwayatkan hadis ini, ia menyatakan kalau hadis ini shahih. Hadis ini juga menjadi bukti kalau Ummu Salamah sendiri mengakui bahwa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Al Ahzab 33 firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.

Nashibi mengatakan kalau Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain pada awalnya tidak termasuk Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33, mereka bukanlah yang dituju oleh ayat tersebut tetapi karena kecintaan Rasulullah SAW kepada mereka maka Beliau menyelimuti mereka agar mereka bisa ikut masuk sebagai Ahlul Bait. Perkataan nashibi ini merupakan perkataan yang bathil karena Ahlul Kisa’ sendiri mengakui kalau merekalah yang dimaksud dalam Firman Allah SWT Al Ahzab 33. Diriwayatkan dari Abu Jamilah bahwa Imam Hasan pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dan beliau berkata

ياأهل العراق اتقوا الله فينا, فإِنا أمراؤكم وضيفانكم, ونحن أهل البيت الذي قال الله تعالى: {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً} قال فما زال يقولها حتى ما بقي أحد في المسجد إِلا وهو يحن بكاءً

Wahai penduduk Iraq bertakwalah kepada Allah tentang kami, karena kami adalah pemimpin kalian dan tamu kalian dan kami adalah Ahlul Bait yang difirmankan oleh Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Beliau terus mengingatkan mereka sehingga tidak ada satu orangpun di dalam masjid yang tidak menangis [Tafsir Ibnu Katsir 3/495]

Riwayat Imam Hasan ini memiliki sanad yang shahih. Ibnu Katsir membawakan sanad berikut

قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي, حدثنا أبو الوليد, حدثنا أبو عوانة عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جميلة قال: إِن الحسن بن علي

Ibnu Abi Hatim berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan  kepada kami Abu Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Hushain bin Abdurrahman dari Abi Jamilah bahwa Hasan bin Ali berkata [Tafsir Ibnu Katsir 3/495]

Ibnu Abi Hatim dan Abu Hatim telah dikenal sebagai ulama yang terpercaya dan hujjah sedangkan perawi lainnya adalah perawi tsiqah

  • Abu Walid adalah Hisyam bin Abdul Malik seorang Hafizh Imam Hujjah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [2/267]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5970]
  • Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yaskuri. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 6049].
  • Hushain bin Abdurrahman adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqah [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124]
  • Abu Jamilah adalah Maisarah bin Yaqub seorang tabiin yang melihat Ali dan meriwayatkan dari Ali dan Hasan bin Ali. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 693]. Ibnu Hajar menyatakan ia maqbul [At Taqrib 2/233]. Pernyataan Ibnu Hajar keliru karena Abu Jamilah adalah seorang tabiin dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah bahkan Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats Tsiqat maka dia adalah seorang yang shaduq hasanul hadis seperti yang dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 7039].

Tulisan ini kami cukupkan sampai disini dan tentu kami tertarik untuk melihat berbagai dalih nashibi yang mau membela keyakinan or dogma yang sudah lama jadi penyakit mereka. Entah mengapa mereka seperti keberatan kalau Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain mendapatkan keistimewaan dan keutamaan yang khusus. Apapun cara mereka, kebathilan akan selalu terungkap dan dikalahkan oleh kebenaran.

156 Tanggapan

  1. Ehm Pertamax!

    Mau tanya nih mas: Sebenarnya pd saat kejadian turunnya wahyu tsb Ummu Salamah ra mengetahui lgs wahyunya turun atw diberi tahu oleh Nabi SAW ?

    Lalu ada ga hadis lain yg menceritakan Surat Al Ahzab ayat 28 – 34 (di luar ayat Tathir)? Sbb Salafi berpendirian bhw ayat tsb bersambung tdk turun terpisah. Jd ya menurut mereka ahlul bait itu istri nabi SAW + ahlul Kisa’.

    apa Motivasi sebenarnya dr pertnyaan ummu Salamah?

    Sekedar sharing dr pengalaman debat, mereka membuat penafsiran dri hadis sunan Tirmizi spt :
    1. kata هؤلاء
    Itukan artinya adl “mereka yg di depan”, sementara imam Ali as berada di belakang Nabi SAW. Berarti imam ALi as tdk dido’akan.

    2. kata على خير
    Artinya “di atas kebaikan” bukan di dlm atw menuju kebaikan.

    3. mereka mencacatkan hadis Tirmizi tsb.

    Hehe saya spt mewakili salafi di sini:P Punten……

  2. @Nomad

    Mau tanya nih mas: Sebenarnya pd saat kejadian turunnya wahyu tsb Ummu Salamah ra mengetahui lgs wahyunya turun atw diberi tahu oleh Nabi SAW ?

    Sepertinya tidak ada sahabat yang mengetahui kalau wahyu turun kecuali Nabi SAW yang memberitahukan. tetapi biasanya sahabat bisa menduga kalau sedang datang wahyu dari tanda-tanda yang terlihat pada diri Nabi. Itu sih yang saya tahu.

    Lalu ada ga hadis lain yg menceritakan Surat Al Ahzab ayat 28 – 34 (di luar ayat Tathir)? Sbb Salafi berpendirian bhw ayat tsb bersambung tdk turun terpisah. Jd ya menurut mereka ahlul bait itu istri nabi SAW + ahlul Kisa’.

    tidak setiap ayat punya asbabun nuzul yang shahih tetapi al ahzab ayat 28 dan 29 memang ada asbabun nuzulnya tersendiri. saya sudah pernah tulis disini

    Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Ahlul Bait (Ahlul Bait Dalam Ayat Tathir Bukan istri-istri Nabi SAW)

    apa Motivasi sebenarnya dr pertnyaan ummu Salamah?

    Ummu Salamah ingin juga sebagai Ahlul Bait yang disucikan

    Sekedar sharing dr pengalaman debat, mereka membuat penafsiran dri hadis sunan Tirmizi spt :
    1. kata هؤلاء
    Itukan artinya adl “mereka yg di depan”, sementara imam Ali as berada di belakang Nabi SAW. Berarti imam ALi as tdk dido’akan.

    ah keliru sekali ini, mereka yang disini adalah mereka yang diselimuti bukan mereka yang didepan. Itu kan salafy nashibi saja yang suka mengada-ada.
    2. kata على خير

    Artinya “di atas kebaikan” bukan di dlm atw menuju kebaikan.

    tidak ada masalah dengan itu

    3. mereka mencacatkan hadis Tirmizi tsb.

    namanya pencacatan itu bisa dicari-cari. salafy saja bisa kok mendhaifkan hadis kisa’ shahih Muslim riwayat Aisyah. silakan deh tampilkan hujjah mereka biar bisa didiskusikan disini 🙂

    Hehe saya spt mewakili salafi di sini:PPunten……

    ah gapapa kok, santai saja 🙂

  3. Saya pernah dengar hadis yang menyatakan bahwa Salman Al Farisi termasuk dalam Ahlul Bait, apa benar ?. Kalau benar, apa hal ini tidak menafikan bahwa Ahlul Bait itu hanya terbatas pada pribadi yang diturunkan atasnya Al Ahzab 33 itu ?. Terima kasih

  4. Oh ya ada lagi. Kata salafi: Seandainya ayat Tathir ditujukan hanya kpd ahlul kisa’ mengapa Nabi SAW malah mendo’akan alias memohon “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Yg logiskan beliau SAW menyebut “Maha suci Allah yg telah mensucikan mereka sesuci sucinya”.

  5. up. nomad
    maaf nomad ikut nyelutuk,
    apa artinya kalimat dibawah ini mengajarin, atau mau jadi jibril nee atau apa yaa, gue penyimak jadi bingung, sp mohon tanggapannya ,…:
    Yg logiskan beliau SAW menyebut “Maha suci Allah yg telah mensucikan mereka sesuci sucinya

  6. Nah iya saya ga tau tuh. Akal2xannya salafi kali…?

  7. jos gandos…mantap maknyus…

  8. Nah ini jawaban alfanarku

    Ah ternyata mudah sekali ditebak alur pikiran orang rafidhi sekaligus nashibi (karena diduga dia membenci ahlul bait yaitu istri2 Nabi) itu 😀 .

    Silakan saja kalau mau berdusta 🙂

    saya sudah pernah membaca sebagian besar dalil2 yang dibawakannya di sebuah blog syi’ah rafidhah yg sebenarnya riwayat2 tsb sebagian besar bermasalah, tidak ada yang baru.

    Silakan saja, btw gak perlu mengklaim, justru dengan metode anda yang mudah mengklaim seperti itu maka kita dapat menemukan banyak sekali hadis kutubus sittah [termasuk Bukhari dan Muslim] yang bermasalah. Penolakan dengan gaya alfanarku ini bukan hal yang baru

    pertama, dia masih mempermasalahkan mengapa Nabi segera memanggil keluarga Fatimah ketika ayat tsb turun, bagi kami hal itu bisa dimaklumi, agar makna ahlul bait segera mencakup keluarga beliau berdasarkan nasab yaitu keluarga Fatimah saat ayat tsb baru turun,

    Kalau alfanarku tidak bisa memahami hujjah kami ya sudah, toh ia tidak mendengarkan dengan baik kalau saat itu Ummu Salamah ada di dekat Beliau, mengapa Rasulullah SAW gak langsung memberitahu dulu. Allah SWT dalam ayat tersebut sedang berbicara kepada istri-istri Nabi, otomatis sebagai seorang Nabi SAW Beliau akan menyampaikan terlebih dahulu firman Allah tersebut kepada orang yang memang dituju oleh Allah SWT dalam firmannya baru kemudian Rasulullah SAW melaksanakan keinginannya. Itu kalau memang hujjah alfanarku benar faktanya kan tidak begitu :mrgreen:

    dan itu adalah kekhususan yg Allah berikan kepada beliau, apalagi ayat tsb menyinggung ahlul bait beliau, bukan ahlul bait orang lain, sehingga hal yang wajar apabila beliau memohon kekhususan untuk urusan ahlul bait beliau tsb.. ah ada2 saja nich rafidhi nashibi.

    Silakan saja, alfanarku tidak bisa mengerti or tidak mau mengerti kalau hujjahnya itu rapuh

    kedua, riwayat2 yang ditampilkan oleh rafidhi nashibi tsb selain Tirmidzi adalah bukan dari kutubussittah,

    Gak ada masalah dengan ini, cuma orang yang awam dalam hadis yang mempermasalahkan hal seperti ini. Yang penting dalam sebuah riwayat adalah perawi-perawi yang meriwayatkannya. Kalau perawinya shahih ya bisa diterima

    apalagi ternyata sebagian besar riwayat tsb bermasalah sanadnya, yg sebagian rawinya kalau ga dilemahkan oleh sebagian para ulama mutaqodimin, eh ternyata terinfeksi syi’ah..

    Yah lagu lama yang basi, saya kasih contoh nih siapa yang terinfeksi syiah, apakah Al ‘Amasy yang hadis-hadisnya banyak sekali dalam kitab -kitab hadis kutubus sittah. melemahkan hadis karena perawinya syiah adalah hujjah yang sangat rapuh dan menunjukkan kedangkalan dalam ilmu hadis. Dan ngomong2 soal sanad yang bermasalah, ada tuh orang yang tidak tahu malu berhujjah dengan hadis riwayat Ahmad seolah hadisnya itu sendiri tidak bermasalah. btw memangnya Musnad Ahmad yang dijadikan hujjah oleh alfanarku itu apa termasuk kutubus sittah ya 🙄

    jika bertentangan dengan Al-Qur’an yang begitu jelas bahwa ayat tsb berkenaan dengan Nabi dan istri-istri beliau pada awalnya, ga usah terlalu diperhatikan-lah.

    Kita telah membahas justru menyatakan turun ayat tersebut untuk ahlul kisa’ sangat sesuai dengan lafaz ayat dalam Al Qur’an yang menggunakan lafaz “kum” untuk laki-laki dan perempuan. Sedangkan yang mengkhususkan ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi bertentangan dengan lafaz ayat dalam Al Qur’an. Btw kalau alfanarku memang tidak tahu ada ayat yang bisa terselip seperti itu maka kita maklum saja dengan sedikitnya pengetahuan yang ia punya. Dalam Al Quran terdapat ayat lain yang kasusnya mirip seperti al ahzab 33 yaitu al maidah ayat 3. Kasus-kasus terselip seperti ini diketahui melalui dalil hadis yang shahih

    ketiga, Justru terlihat dalil-dalil yang dibawakannya mengenai cerita Ummu Salamah dalam riwayat2 tersebut saling bertentangan, contoh riwayat dari Hakim bin Sa’ad bertentangan dg riwayat Tirmidzi dan yg lainnya dimana jelas dalam riwayat Tirmidzi ayat tsb turun terlebih dahulu, sedangkan dalam riwayat Hakim bin Sa’ad ayat tsb baru turun setelah datang keluarga Fatimah, mana yang benar?

    Tidak ada masalah kok, yang penting keduanya menunjukkan kalau ayat tersebut turun untuk ahlul kisa’. Jadi pertentangan [jika memang mau dikatakan pertentangan] disini masih bisa dikompromikan, bisa saja untuk dikatakan kalau ayat tersebut turun berulang-ulang seperti yang terjadi di rumah Ummu Salamah dan juga di rumah Fathimah. Lagipula sebenarnya riwayat yang kita jadkan hujjah adalah riwayat Hakim bin Sa’ad yang kedua itu yang menyatakan bahwa Ummu Salamah mengakui kalau ayat tathir turun untuk ahlul kisa’.

    maka kita lebih merujuk kepada riwayat yg terdapat dalam kutubussittah yaitu hadits riwayat Tirmidzi. riwayat2 Ummu Salamah yg lain pun yg dibawakannya juga saling bertentangan, hal ini dimungkinkan kekeliruan terletak pada perawinya dalam memahami perkataan beliau.

    Seperti biasa, nashibi tidak akan menerima kok dalil shahih yang memberatkan mereka. Ada saja dalih mereka, jadi kita maklumi saja :mrgreen:

    Kemudian ada lagi riwayat yg musykil, dimana disebutkan Ummu Salamah bisa melihat malaikat Jibril dan Mikail, tapi begitu melihat sanadnya, saya jadi ga heran, ternyata ada rawi yg syi’ah tho..

    Tidak ada yang musykil, karena Ummu Salamah bukannya melihat Malaikat Jibril dan Mikail tetapi ia menceritakan hadis tersebut setelah diberitahu oleh Nabi SAW bahwa ada ayat yang sedang turun yaitu al ahzab 33 dan ada malaikat jibril dan mikail disitu. Tidak ada dalam hadis tersebut kalau Ummu Salamah melihat langsung malaikat jibril dan mikail. Jadi penolakan alfanarku ini sangat mengada-ada sekali. mari kita maklumi kedangkalan pemahamannya 🙂

    kemudian riwayat Said Al-Khudry yang didalamnya terdapat Athiyah Al- Aufi, tidak perlu kita perhatikan riwayatnya, jelas banyak ulama2 mutaqodimin yang lebih kompeten tentunya dibandingkan dg si Rafidhi Nashibi yg bukan ulama ini,

    Terus dia dan abul-jauzaa itu siapa? ulamakah? silakan saja deh, lucu ya hujjah dengan cara seperti ini. Benar-benar seperti anak kecil yang gak tahu cara berhujjah. Memangnya kamu siapa?. Perhatikan isi hujjahnya dong kalau memang mau kritis tetapi kalau memang mau taklid yo wes silakan saja. Lagipula dalam pembahasan kami tentang Athiyyah kami juga mengutip ulama-ulama yang menta’dil Athiyyah. Sepertinya alfanarku itu tidak bisa membaca dengan baik 🙂

    jelas telah melemahkan Athiyah dari berbagai sisi, aksi penyelamatan si rafidhi nasibhi ini thd Athiyah tidaklah ada gunanya sama sekali, yg jelas Athiyah ini memang pernah berguru & bermajelis kepada Al-Kalbi

    Mungkin alfanarku ini tidak tahu kali ya kalau banyak para imam yang ternyata pernah bermajelis kepada para perawi dhaif seperti Asy Sya’bi yang pernah berguru kepada Al Harits padahal ia sendiri mengakui kalau Al Harits itu berdusta bahkan Sufyan Ats Tsawri yang dikenal imam tsiqat dan hujjah pernah bermajelis kepada Al Kalbi, jadi apa masalahnya?. kembali ke Athiyah kita telah membuktikan bahwa jarh atas dasar Al Kalbi ini tidak bisa dijadikan hujjah karena bersumber dari perkataan Al Kalbi. lucu sekali ulama yang menjarh athiyah dengan berhujjah melalui perkataan Al Kalbi yang diakui pendusta atau pemalsu hadis. Mungkin begitu kali metode yang dibanggakan oleh alfanarku

    dan Athiyah ini dikenal adalah seorang syi’ah, maka jika dia meriwayatkan sesuatu yg mendukung kebid’ahannya, tidak perlulah untuk diperhatikan.

    Athiyyah adalah seorang tabiin, dan menyatakan ahlul bait dalam hadis tersebut khusus untuk ahlul kisa’ bukanlah bid’ah karena riwayat yang shahih memang membuktikannya. lagipula Athiyah itu dituduh syiah karena apa? karena meriwayatkan hadis-hadis keutamaan ahlul bait? lha kalau begitu apa setiap hadis keutamaan ahlul bait disebut bid’ah. Lebih masuk akal kalau seorang tabiin seperti Athiyyah disebut syiah karena ia lebih condong dalam memihak Imam Ali beserta keluarganya dalam perselisihan yang terjadi di masa itu, dan tentu saja sikap seperti ini adalah kebenaran 🙂

    keempat, Perkataan Al-Hasan ra tidaklah ada masalah, dengan do’a Nabi, mereka (ahlul kisa’) termasuk menjadi ahlul bait yang difirmankan oleh Allah dalam QS 33:33, kami pun tidak pernah mengingkari keutamaan ahlul kisa’ dalam hal ini.

    Kalau alfanarku tidak paham maka mari kita bantu ia memahami “tanaqudh” nya. awalnya ia bilang ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi artinya Allah SWT berfirman dan menujukan firmannya tersebut kepada istri-istri Nabi. Sedangkan Ahlul Kisa’ kan ia nyatakan cuma keinginan atau kehendak Nabi yang ingin mendoakan mereka. Faktanya Imam Hasan sendiri mengakui kalau dirinya adalah pribadi yang dinyatakan dalam firman Allah Al Ahzab 33 artinya Imam Hasan dari awal memang Ahlul Bait dalam Firman Allah SWT tersebut. Bagi orang yang paham akan mengerti kalau hujjah alfanarku ini sudah mengalami pertentangan, alias cuma basa-basi saja

    Ada sedikit kerancuan yang tidak disadari oleh alfanarku. Ia berkata bahwa al ahzab 33 itu adalah keutamaan bagi ahlul kisa’. Maka kita tanyakan padanya sebenarnya apa makna al ahzab 33 itu sehingga bisa disebut keutamaan?. Bukankah jika ia konsisten dengan siyaq ayat maka lafaz al ahzab 33 adalah lafaz penyucian yang terikat dengan perintah-perintah di ayat sebelumnya. Kalau ia mengatakan bahwa Imam Hasan sebagai Ahlul bait juga dalam al ahzab 33 maka lafaz penyucian itupun terikat dengan perintah-perintah sebelumnya tetapi hal ini musykil bukankah perintah sebelumnya yaitu “tetaplah di rumahmu” dan “jangan berhias” adalah perintah khusus bagi wanita kok bisa itu juga menjadi keutamaan Imam Hasan. Tentu ini rancu sekali bagi mereka yang bisa memahami dengan baik.

    Berbeda halnya jika kita mengakui kalau al ahzab 33 turun terpisah maka lafaz penyucian tersebut bersifat takwini atau tidak terikat dengan syariat/perintah apapun, artinya kesucian itu justru menunjukkan keutamaan yang besar dan sejalan dengan keutamaan Ahlul bait dalam hadis Tsaqalain dimana mereka Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat islam agar tidak tersesat. Sangat masuk akal jika pedoman bagi Umat islam adalah pribadi-pribadi yang disucikan oleh Allah SWT

    Intinya dalil-dalil yg ditampilkan si Rafidhi Nashibi ini tidaklah cukup untuk menutupi kebenaran dari ayat Al-Qur’an yang jelas dan terang.

    Ayat Al Qur’an yang jelas dan terang dan hadis-hadis shahih telah membuktikan kalau ayat tathir turun khusus untuk Ahlul Kisa’. Jadi percuma saja penolakan alfanarku yang dicari-cari untuk melindungi dogma yang ia anut. kita masih ingat kok bagaimana hadis tsaqalain yang sanadnya shahih terang benderang saja bisa ia tolak nah begitu pulalah dengan ayat tathir

  9. alfanarku dari dulu tak pernah berubah. argumen rapuh tapi ngeyel. belajarlah logika terlebih dahulu sebelum belajar kitab2 kuno…

  10. Dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah zaman dahulu; dan dirikanlah sembahyang serta berilah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah (perintahkan kamu dengan semuanya itu) hanyalah kerana hendak menghapuskan perkara-perkara yang mencemarkan diri kamu – wahai “AhlulBait” dan hendak membersihkan KALIAN sebersih-bersihnya (dari segala perkara yang keji).

    Kata ganti KALIAN pada ayat ini ialah kata ganti pada LAKI LAKI….ia itu KAP MIM iatu pada Laki laki….Kalau di tuju pada Isteri Nabi Baris Akhir ayat tersebut ialah KAP NUN…Jadi Sah lah Ayat Ini Ahul Bait di tujukan pada LAKI LAKI….
    Dan Simboliknya Ayat Ini ..Allah telah memberi Gambaran AKAN Berlakunya Perang JAMAL SIFFIN,…Ia Itu Perintah Allah Supaya Isteri Nabi DUDUK diam Dalam rumah( Tidak Aktif Berpolitik) dan Kebenaran IMAM ALI ,IMAM HASSAN dan IMAM HUSSIN dalm Perang Tersebut….
    Akibat Aishah AKTIF BERPOLITIK …ribuan nyawa Melayang begitu sahaja..Perang Itu Tamat setelah Unta Aishah Jatuh….Kalau UNTA seorang Askar Biasa JATUH ..pernga masih Berterusan….Ini UNTA KETUA ANGKATAN PERANG..yang tersungkur…

  11. Bukan penjelasannya yang kurang jelas.
    Bukan dalilnya yang kurang.
    Hadits2 dari ahlul sunnah yang menjelaskan sudah banyak.
    Tafsir2 Qur’an dari ahlul sunnah sudah menjelaskan.
    Mengapa semua ditolak? karena kedengkianlah yang menghalangi masuknya kebenaran.
    Yang buta adalah hati yang tertutup oleh kedengkian. Selama kedengkian itu masih ada maka Rasulullah datang menjelaskan pun akan ditolak.

  12. So..ahlul bait cuma untuk perempuan kan?

  13. @nomad:
    “Yg logiskan beliau SAW menyebut “Maha suci Allah yg telah mensucikan mereka sesuci sucinya”.

    Kalau Nabi saw mengatakan “Maha suci Allah yg TELAH mensucikan mereka sesuci sucinya”, justru bertentangan dg surat 33:33 itu sendiri dimana Allah menggunakan pola kata present continous tense (fi’il mudhore) dlm kalimat “yuridullah” – Allah senantiasa berkehendak dan “yuthhiro” – Allah senantiasa menjaga kesucian, yg artinya suatu maqom kesucian (ismah) yg berkesinambungan/abadi. Manusia atau figur spt ini jelas seseorang yg berbeda dan terpilih untuk mengemban misi tertentu yg agung dan sangat berat. Mustahil para istri Nabi saw yg sering mendapat kecaman dari Al-Quran termasuk dlm Surat 33:33 tsb.

    Kalau menggunakan pola ‘TELAH” (Past tense/fi’il madhi) berarti tdk ada jaminan seseorang dijaga terus-menerus kesuciannya oleh Allah.

  14. @yg mikir begini:
    “Yg logiskan beliau SAW menyebut “Maha suci Allah yg telah mensucikan mereka sesuci sucinya”.

    Mungkin bisa kita ambil pelajaran dari ayat “Inna Allaha wa malaikatahu yushalluna ‘ala Al-Nabiyy” (Sesungguhnya Allah & para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi [Muhammad]).
    Lalu, dari hadis, Nabi Muhammad saw. mengajari kita membaca “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad” (Ya Allah, sampaikanlah shalawat atas Nabi Muhammad & keluarganya).
    Apakah kita akan berkomentar, “Yg logis kan beliau SAW mestinya mengajari kita kalimat “Mahasuci Allah yg telah bershalawat atas Nabi Muhammad.”?
    Ah, ada-ada aja.

  15. @Fitri
    ahlul bait bisa laki-laki dan bisa juga perempuan.

  16. @Fitri:
    “So..ahlul bait cuma untuk perempuan kan?”.

    Nampaknya pendapat anda mengacu ke suatu tulisan perihal ahlulmbait di blog Hanifa yg menurut saya sangat ngawur. Mentang2 di suatu ayat disebut ahlul bait yg kebetulan seorang ibu, maka disimpulkanlah bahwa ahlul bait=wanita ! Apakah ini merupakan salah satu usaha pengaburan makna hakiki “ahlul bait ? Wallahu ‘alam.

    Padahal secara bahasa yg sederhana saja ahlul bait itu berarti “penghuni/anggota rumah” atau juga “ahli rumah” dan “ahli rumah” itu pasti terdiri dari laki dan perempuan, karena minimal ada bapak dan ibu. Ini pengertian ahlul bait secara umum.

    Sementara pengertian “ahlul bait” dlm surat 33:33 tdk lagi bersifat umum, tetapi sudah bersifat khusus. Hal ini terlihat dari isyarat tata bahasa yg digunakan yaitu “innama” yg berarti memisahkan suatu kelompok orang dari kelompok lainnya, perubahan kata ganti wanita menjadi laki-laki dan penggunaan “‘an” ketimbang “min”. Dg digunakannya kata “an” berarti dosa dan kotoran itu belum menyentuh pribadi2 ybs. Sementara “min” berarti dosa dan kotoran sdh berada dlm diri pribadi2 ybs.

    Dg melihat latar belakang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein yg tdk pernah pernah bermaksiat baik sebelum Islam datang maupun akhir hayat mereka, dibandingkan dg para isteri nabi saw, maka ayat “…..innama yuridullaha…” dlm surat 33:33 yg didukung hadis Al-Kisa adalah memang semata hanya untuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husein.

  17. sebenernya gw bingung niy sama orang syi’ah, katanya al Quran mereka beda, bukan yg ada saat ini. tapi berdalil dan mencari pembenaran pemahamannya dengan ayat al Qur’an yang ada. …. wah dasar gelo …… diputer-puter aja padahal dusta …..

  18. oh ya mereka juga benci dan mengkafirkan para sahabat serta menuduh mereka semua pendusta dan munafik bahkan murtad. Tapi kalo ada dalil (hadits) yang cocok dengan pembenaran akidahnya buru-buru di jadikan hujjah … padahal mereka sendiri mendustai perkataan para sahabat …. jadi lieur …. wah dasar gelo …. diputer-puter aja padahal dusta …..

  19. @Asep
    saya justru lebih bingung dengan sampean ini. Dateng-dateng kok ngedumel syiah. Memangnya otak anda itu cuma dipenuhi dengan “syiah” “syiah” “syiah”. kalau tidak mau bingung maka tolong berpikir dengan kepala dingin. Ini bukan blog syiah, paham 🙂

  20. Aslkm,

    Sesungguhnya mazhab Syi’ah adalah Islam yg benar dan hakiki, karena secara totalitas mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya yg disucikan dlm QS Al Ahzab 33 dan Sunnah dlm hadits Al-Kisa. Adapun orang yg mengingkari ketetapan Allah dan Rasul-Nya tsb, sangat jelas patut dipertanyakan lagi Islam dan Iman mereka.

    Wslkm,

  21. @Asep, makanya jangan jadi muslim turunan atuh sep…! Banyak baca dan jangan katanya-katanya melulu…euy..!

  22. Karena tidak mengakui imam zaman jadi ya seperti orang jahiliah. Oh sayang sekali.

  23. @Asep
    mikir atuh… beragama dengan “katanya” moal baleg euy..

  24. FIRMAN FIRMAN ALLAH SWT YANG MENJELASKAN SIAPA ITU “AHLUL BAIT”


    72. Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”

    73. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

    (QS Huud : 72-73)


    mari kita cermati kembali ayat di atas, bukankah Malaikat sedang berbicara dengan istri Nabi Ibrahim saat itu? pada kalimat “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?” (“kamu” dalam kalimat tsb adlh bentuk mu’anats (perempuan) bentuk kedua tunggal yaitu istri Nabi Ibrahim) dan selanjutnya Malaikat berkata dengan menggunakan jama’ muzakkar “(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” hal ini disebabkan karena ada Nabi Ibrahim di di situ sebagai sayyidul bait. sungguh lucu jika ada orang yg akan mengatakan ayat di atas terpenggal hanya karena perubahan kalimat dari Mu’anats ke jama’ Muzakkar?

    Demikian juga dalam al-Ahzab 33, jelas dari awal Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril berbicara dengan istri-istri Nabi pada kalimat “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya” kemudian selanjutnya Allah menggunakan jama’ muzakkar pada kalimat berikutnya “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” karena ada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam di situ sebagai penerima wahyu dan sebagai sayyidul bait. sungguh begitu jelas hal ini, jadi Allah berbicara kepada istri-istri Nabi, tetapi ketika menyinggung ahlul bait (penghuni rumah) ya otomatislah suami mereka dimasukkan ke dalamnya, bukankah para suami adalah sayyidul bait? dan mereka juga penghuni rumah (ahlul bait)? apa lagi suami tersebut adalah seorang Nabi dan Rasul yang menerima wahyu/ayat tsb turun, maka secara otomatis berubahlah kata penunjuknya menjadi jama’ muzakkar, karena ada laki-laki yang berkumpul dengan para wanita di situ..

  25. @KAB

    mari kita cermati kembali ayat di atas, bukankah Malaikat sedang berbicara dengan istri Nabi Ibrahim saat itu? pada kalimat “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?” (“kamu” dalam kalimat tsb adlh bentuk mu’anats (perempuan) bentuk kedua tunggal yaitu istri Nabi Ibrahim) dan selanjutnya Malaikat berkata dengan menggunakan jama’ muzakkar “(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” hal ini disebabkan karena ada Nabi Ibrahim di di situ sebagai sayyidul bait.

    Kalau ayat yang anda bawakan ini lafal ayatnya memang jelas dan urutan ayatnya memang cocok dan sesuai kalau itu ditujukan kepada Nabi Ibrahim juga. Karena anak itu adalah rahmat tidak hanya bagi istri Nabi Ibrahim tetapi juga bagi Nabi Ibrahim. Jadi struktur ayatnya memang jelas. Lha kalau Al Ahzab ayat 33 mah mana masuk, masa’ anda mau bilang Nabi SAW itu disuruh tetap di rumah, jangan berhias, atau bertingkah jahiliyah dan apalagi Nabi SAW disuruh untuk taat kepada Allah dan RasulNya. sudah jelas yang Rasul itu ya Nabi Muhammad SAW. maka dari itu struktur ayatnya tidak ikut memasukkan Nabi SAW. pahamkah? baca baik-baik deh 🙂

    sungguh lucu jika ada orang yg akan mengatakan ayat di atas terpenggal hanya karena perubahan kalimat dari Mu’anats ke jama’ Muzakkar?

    gak ada yang lucu ah kalau dipahami dengan benar. Justru yang lucu adalah anda tidak memahami dengan benar Al Ahzab 33 itu. banyak qarinah yang menunjukkan ayat tersebut terpenggal alias tidak berurutan. perubahan kata ganti itu adalah salah satunya ditambah lagi berbagai hadis shahih yang sudah dibawakan di atas.

    Demikian juga dalam al-Ahzab 33, jelas dari awal Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril berbicara dengan istri-istri Nabi pada kalimat “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya” kemudian selanjutnya Allah menggunakan jama’ muzakkar pada kalimat berikutnya “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” karena ada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam di situ sebagai penerima wahyu dan sebagai sayyidul bait.

    Alasan anda itu gak nyambung, pada kasus Nabi Ibrahim, Malaikat menyatakan dengan kata “kum” karena rahmat tersebut tidak terkhusus pada istri Nabi Ibrahim tetapi juga untuk Nabi Ibrahim. makanya digunakan kata “kum”. Tetapi pada Al Ahzab 33 Nabi Muhammad SAW jelas tidak bisa anda masukkan [kalau berhujjah dengan urutan ayat] karena kesucian yang dimaksud berhubungan dengan perintah yang dilakukan yaitu tetap di rumah, jangan berhias dan sebagainya yang tidak mungkin ditujukan pada Rasulullah SAW. Jadi pahami dulu dengan benar.

    sungguh begitu jelas hal ini, jadi Allah berbicara kepada istri-istri Nabi, tetapi ketika menyinggung ahlul bait (penghuni rumah) ya otomatislah suami mereka dimasukkan ke dalamnya, bukankah para suami adalah sayyidul bait? dan mereka juga penghuni rumah (ahlul bait)? Demikian juga dalam al-Ahzab 33, jelas dari awal Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril berbicara dengan istri-istri Nabi pada kalimat “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya” kemudian selanjutnya Allah menggunakan jama’ muzakkar pada kalimat berikutnya “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” karena ada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam di situ sebagai penerima wahyu dan sebagai sayyidul bait. sungguh begitu jelas hal ini, jadi Allah berbicara kepada istri-istri Nabi, tetapi ketika menyinggung ahlul bait (penghuni rumah) ya otomatislah suami mereka dimasukkan ke dalamnya, bukankah para suami adalah sayyidul bait? dan mereka juga penghuni rumah (ahlul bait)?

    Sekarang saya tanya nih, kalau Allah SWT berbicara kepada istri-istri Nabi sebagai ahlul bait agar mereka tetap di rumah, jangan berhias dan taat kepada Allah dan Rasulnya agar mereka disucikan, maka apakah itu juga ditujukan untuk Rasulullah SAW. Masa’ sih Rasul disuruh taat kepada Allah dan Rasul-Nya agar bisa disucikan juga. Tolong dipikirkan dengan baik-baik.

    apa lagi suami tersebut adalah seorang Nabi dan Rasul yang menerima wahyu/ayat tsb turun, maka secara otomatis berubahlah kata penunjuknya menjadi jama’ muzakkar, karena ada laki-laki yang berkumpul dengan para wanita di situ

    Ini ucapan yang terburu-buru. Nabi SAW memang yang menerima wahyu. tetapi wahyu tersebut ditujukan untuk istri-istri Beliau SAW agar mereka tetap di rumah, jangan berhias, taat kepada Allah dan Rasul-Nya agar mereka dijaga kesuciannya. Bukankah wahyu ini adalah untuk para istri Nabi. Nabi SAW tidak diperintahkan untuk tetap di rumah, jangan berhias apalagi taat pada Allah dan Rasul-Nya. kata-kata ini jelas untuk orang lain selain Rasul SAW. Mana mungkin Nabi SAW disuruh taat kepada Rasul agar dijaga kesuciannya juga. kalimat macam apa itu :mrgreen:

    apa lagi suami tersebut adalah seorang Nabi dan Rasul yang menerima wahyu/ayat tsb turun, maka secara otomatis berubahlah kata penunjuknya menjadi jama’ muzakkar, karena ada laki-laki yang berkumpul dengan para wanita di situ..

    Berubahnya kata ganti itu harus disesuaikan dengan siapa yang sedang diajak bicara. Jika memang saat itu Allah SWT menunjukan perintahnya kepada laki-laki dan wanita yang sedang ada di sana otomatis digunakan kata “kum” tetapi jika Allah SWT menujukan perintah tersebut khusus untuk wanita maka ya lafal digunakan adalah “kunna”. Al Ahzab 33 Allah SWT menujukan perintah-perintah kepada para istri Nabi agar mereka terjaga kesuciannya. Nah sudah jelas Nabi SAW tidak ikut mendapat perintah tersebut alias perintah itu memang khusus untuk istri2 Nabi SAW maka searusnya lafal yang digunakan adalah “kunna” tetapi faktanya lafal yang ada malah “kum”. Ini menunjukkan bahwa penggalan ayat tersebut ditujukan untuk pribadi2 lain selain istri2 Nabi SAW dan ini telah dijelaskan dalam berbagai hadis shahih asbabun nuzul ayat tersebut. Silakan deh dipahami 🙂

  26. Hehehe, demikianlah para Salafiyun (KAB) berusaha dgn menghalalkan segala cara untuk merendahkan kedudukan Ahlubayt Nabi Muhammad saw disisi Allah dan Rasul-Nya. Jawab lagi dong KAB penjelasan dari SP. Cari lagi cara lain untuk merendahkan Ahlulbayt, biar secara otomatis tokoh panutan ente menjadi menjadi Ahlulbayt :mrgreen:

    Wslkm,

  27. FIRMAN FIRMAN ALLAH SWT YANG MENJELASKAN SIAPA ITU “AHLUL BAIT”


    72. Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”

    73. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

    (QS Huud : 72-73)

    Pada ayat 73 dibagi 2, yaitu:

    1.Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?

    1.1 Kalimat ayat ini untuk istri Nabi Ibrahim AS,karena:
    “kamu” dalam kalimat tsb adlh bentuk mu’anats (perempuan) bentuk kedua tunggal yaitu istri Nabi Ibrahim.
    1.2 Kalimat ayat ini, sangat tidak cocok untuk nabi Ibrahim AS, karena beliau tidak merasa heran apapun ketentuan Allah swt, termasuk ketika api menjadi dingin. Tetapi untuk meyakinkan istri nabi Ibrahim yg pada ayat sebelumnya (72) merasa heran dan aneh.


    2.(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

    Malaikat berkata dengan menggunakan jama’ muzakkar , hal ini disebabkan karena ada Nabi Ibrahim di situ sebagai sayyidul bait.

    APAKAH AYAT INI MAU DIPENGGAL KARENA PEMBAGIAN TADI?

    sungguh lucu 🙂


    33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
    hai ahlul bait
    (penghuni rumah) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
    (Al-Ahzab :33)

    Ayat 33 ini dibagi 2, yaitu:

    1. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.

    Kalimat ayat ini untuk Istri Nabi Muhammad saw, sesuai dengan kata ganti dan perintahnya.


    2. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (penghuni rumah) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

    Kemudian datang miim jama’ karena masuknya laki-laki bersama para wanita tersebut, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai sayyidul-bait. Apabila laki-laki masuk pada kumpulan wanita, maka nun niswah berubah (kalah) menjadi miim jama’ (mudzakkar)

    APAKAH AYAT INI MAU DIPENGGAL KARENA PEMBAGIAN TADI?

    sungguh lucu 🙂

  28. @KAB
    lalu fungsi innama nya menurut anda bgmn tuh…

    trus fungsi waw di ayat setelahnya apaan donk..penjelasannya?

  29. Salam
    allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad

    Perkhabaran itu disaksikan oleh isteri Nabi Ibrahim a.s. sendiri. Itu keistimewaan yg Siti Sarah telah dapat. Tidak menjadi satu kehairanan pun kerana: “Wahai Tuhan yang mempunyai kuasa pemerintahan! Engkaulah yang memberikan kuasa pemerintahan kepada sesiapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang mencabut kuasa pemerintahan dari sesiapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah juga yang memuliakan sesiapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang menghina sesiapa yang Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan Engkaulah sahaja adanya segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”

    Maka, memang layak pun Siti Sarah berada dalam ahlul bait kerana ia benar2 menjaga dirinya malah benar2 taat. Sehingga sanggup duduk dalam “peti”.

    Sesungguhnya, Nabi Ibrahim a.s seorang suami yg amat cemburu…. 🙂 (wahai @KAB…. sya mmg tidak memahamkan apa yg telah kamu sampaikan tapi kamu mengakui dirimu orang2 yang memahami).

    wasalam

  30. @KAB
    kayaknya argumen anda sudah saya jawab, jadi yang sedng melucu ya anda ini tapi maaf saja tingkah anda itu tidak lucu, silakan dijawab tanggapan saya sebelumnya, itu kalau anda memang mau berdiskusi. Jika tidak ya diam sajalah 🙂

  31. @KAB

    Tambahan deh buat anda yang ngotot taklid dengan logika alfanarku [antirafidhah]. Silakan lihat baik-baik ayat yang kita bicarakan

    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ

    Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu,

    Lihat baik-baik, Awal ayat Allah SWT menggunakan kata buyutikunna [itu artinya untuk wanita] kemudian para wanita ini dikatakan

    وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ

    dan taatilah Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dari kamu “Rijs”.

    Perhatikan baik-baik bahkan sebelum Allah SWT mengucapkan kata Ahlul Bait, kata ganti yang digunakan adalah “kum” yaitu Liyudzhiba ‘ankum [menghilangkan dari kamu]. Kalau memang ayat tersebut berurutan maka orang-orang yang dituju dengan kata وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُdan kataلِيُذْهِبَ عَنكُمُ adalah orang yang sama.Tetapi secara bahasa ada perbedaan kata ganti. Lagipula mana mungkin Nabi SAW dituju pada kata لِيُذْهِبَ عَنكُمُ padahal orang yang sama juga diharuskan dengan kataوَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ bukankah aneh kalau Nabi disuruh mentaati Rasul. Jadi gak cocok kalau dipaksakan ayat tersebut turun berurutan. Akan muncul kontradiksi-kontradiksi. Kemudian silakan perhatikan lanjutannya

    أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراوَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفاً خَبِيراًً

    wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan Ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah.Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.

    Kalau memang ayat tersebut turun berurutan maka orang yang dituju dengan kata وَيُطَهِّرَكُمْdan kata بُيُوتِكُنَّ adalah orang yang sama. Tetapi faktanya kataوَيُطَهِّرَكُمْ itu untuk laki-laki/laki-laki dan wanita bersama-sama sedangkan kata بُيُوتِكُنَّ khusus untuk wanita.

    Selain itu kalau dipaksakan berurutan maka yang ada dalam kata بُيُوتِكُنَّ yang artinya [rumah kalian] bukankah yang dimaksud adalah rumah Ahlul bait dan sudah jelas Nabi SAW sebagai sayyidulbait adalah pemilik rumah tersebut. Otomatis Nabi SAW juga masuk dong dalam kata بُيُوتِكُنَّ begitu kan kalau menuruti logika anda, tapi anehnya kok kata yang digunakan “kuna” alias khusus wanita, gak pakai “kum” padahal jelas-jelas Nabi sebagai sayyidul bait dan pemilik rumah. Ini menunjukkan kalau penafsiran anda soal kata ganti [yang taklid semata dengan alfanarku] dengan alasan Nabi sebagai Sayyidul bait adalah tafsir yang seenaknya saja dan bertentangan dengan lafaz Ayat Al Qur’an tersebut. btw kayaknya akal sehat versi alfanarku itu memang hanya sehat untuk dirinya saja kali 🙂

  32. @bijaw,

    Maka, memang layak pun Siti Sarah berada dalam ahlul bait kerana ia benar2 menjaga dirinya malah benar2 taat.

    jwb:

    Lha iya, masalahnya apa toh ??

  33. Tiada masalah…… Tp, Siti Sarah [ isteri Nabi Ibrahim a.s ] telah mengukir senyuman disebabkan anda.

    Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad

  34. @KAB

    Saya terkesima membaca jawaban anda dgn mengatakan …Lha iya, masalahnya apa toh ??… :mrgreen:

  35. SAYA RALAT

    1.Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?

    1.1 Kalimat ayat ini untuk istri Nabi Ibrahim AS,karena:
    “kamu” dalam kalimat tsb adlh bentuk mu’anats (perempuan) bentuk kedua tunggal yaitu istri Nabi Ibrahim.

    1.2 Kalimat ayat ini, untuk meyakinkan istri nabi Ibrahim yg pada ayat sebelumnya (72) merasa heran dan aneh. (saya ralat bagian ini)

    harap maklum…

  36. @KAB

    Trimskh atas ralatnya, sudah dimaklum sedari dulu juga 😆

  37. @yadi

    komentar anda tidak mengubah keadaan bahwa istri Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw adalah AHLUL BAIT yg tercantum dalam Al-Qur’an.

    terima kasih.

  38. @KAB

    Klo begitu tolong sebutkan siapa saja Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33; menurut versi anda? biar dapat dimengerti dgn jelas. Sebelumnya sy mengucapkan terimakasih atas penjelasannya.

  39. @KAB

    Silakan perhatikan dengan jelas Surah Hud yang anda jadikan hujjah.

    قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَاْ عَجُوزٌ وَهَـذَا بَعْلِي شَيْخاً إِنَّ هَـذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌقَالُواْ أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌفَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الرَّوْعُ وَجَاءتْهُ الْبُشْرَى

    Isterinya berkata “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah. Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya

    Silakan perhatikan baik-baik. Para malaikat membawa kabar gembira kelahiran Ishaq untuk Nabi Ibrahim dan istrinya. kabar gembira itu sudah jelas tidak hanya untuk istri Nabi Ibrahim melainkan juga untuk Nabi Ibrahim, buktinya pada ayat tersebut sebelum diucapkan kata Ahlul Bait istrinya berkataوَأَنَاْ عَجُوزٌ وَهَـذَا بَعْلِي شَيْخاً , ini menunjukkan kalau kata Ahlul Bait itu adalah Nabi Ibrahim berserta istrinya maka digunakan kata “kum”. Juga tampak jelas setelah diucapkan kata Ahlul Bait, Nabi Ibrahim hilang rasa takutnya sebagaimana tampak dalam kataذَهَبَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الرَّوْعُ dan jelas pula bahwa rahmat itu adalah untuknya juga sebagaimana tampak dalam kataوَجَاءتْهُ الْبُشْرَى.

    Dalam Surah Hud ini penunjukkan ayatnya jelas-jelas menunjukkan kalau lafal “kum” ditujukan untuk Nabi Ibrahim berserta istrinya. Berbeda sekali dengan kasus surat Al Ahzab dimana urutan ayat menunjukkan kalau ayat tersbut khusus untuk wanita. Mengertikah anda? 🙂

    Ada hal yang aneh dalam komentar anda yaitu soal ayat yang terpenggal. Al Ahzab 33 itu terpenggal dari ayat sebelumnya dan turun untuk peristiwa lain berdasarkan hadis-hadis shahih asbabun nuzulnya tidak hanya terbatas pada perubahan kata ganti. Yang lucu adalah orang yang katanya mengaku salaf tetapi malah menentang hadis shahih, apalah namanya itu :mrgreen:

  40. hehehe..tuuuuuuu bener kan si SP mengeluarkan isteri2 rasulullah dari Ahlu bait… Mau berkelit lagii pak… monggooooooo, taqiyah + orientelis + MODE ON = SP

  41. @abu jufri
    yah maklum deh kalau anda nggak ngerti bahasa orang pada umumnya. Anda pakai bahasa khusus ya. nih saya ingatkan lagi Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33 yaitu ayat tathir itu bukan ditujukan pada istri-istri Nabi tetapi kepada Ahlul Kisa’ yaitu Rasul SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. masih gak ngerti, ke laut saja :mrgreen:

  42. @ kab,

    pendapat ente benar, karena istri-istri rasul juga termasuk dalam Ahlul Bayt.

    @sp dan sekutunya,

    ente benar juga, karena keluarga Sayyidina Ali r.a juga masuk dalam Ahlul Bayt.

    Masalah gitu aja kok direpotin ?? Ga usah suka bandingin2 siapa yang lebih utama lah diantara Shalafus Shalih, karena hanya ALLAH Ta’ala yang tau siapa yang lebih utama.
    ( Kecuali kalo ada yang berpaham rafidhah ye, yang suka ngawur tapi pake atas nama Ahlul Bayt 😀 )

  43. @Muhibbin

    Masalah gitu aja kok direpotin ?? Ga usah suka bandingin2 siapa yang lebih utama lah diantara Shalafus Shalih, karena hanya ALLAH Ta’ala yang tau siapa yang lebih utama.

    Kan sudah saya bilang kayaknya salafy dan sebagian sunni mengutamakan Abu Bakar, Umar dan Utsman di atas Ali. dan sebagian sunni beserta Syiah mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Utsman. lha kalau anda gak mau ya gapapa, tapi gak perlu deh pakai kata-kata yang merendahkan, karena kerendahan itu terlihat jelas dari cara anda berkomentar disini. Lagipula anda sudah berulang-ulang menyampaikan komentar yang isinya begitu. cukup kok orang lain sudah lihat. Setuju silakan tidak ya sudah, kalau mau nyepam seperti yang saya bilang, sana ke laut saja :mrgreen:

  44. dalam hadits shahih Bukhari :

    فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَقَالَتْ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

    Nabi pergi dan menuju tempat kediaman Aisyah dan berkata, “Assalamu’alaikum ahlul bait wa rahmatullah” (salam sejahtera atas kamu, wahai ahlul bait dan semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepadamu), ia menjawab, “Wa alaika salam wa rahmatullah”. (dan semoga kesejahteraan dan rahmat Allah atasmu). “Bagaimana Anda menemukan istri baru Anda? Semoga Allah memberkati Anda”. Lalu beliau pergi ke tempat-tempat kediaman semua istri-istri beliau yang lain dan berkata kepada mereka sama seperti apa yang beliau katakan kepada Aisyah dan mereka pun menjawab beliau sama seperti Aisyah telah menjawab beliau.

    Lihatlah dalam hadits shahih di atas sangat jelas sekali, bukankah Nabi SAW juga menggunakan dhamir jama’ muzakkar ketika menyebut istri-istri beliau sebagai ahlul bait. dan saat itu beliau hanya berbicara dengan istri-istri beliau saja dan tidak kepada orang lain. beliau menggunakan “kum” bukan “kunna”.

    sudahlah dalih SP itu sangat-sangat lemah jika mau mengeluarkan istri-istri Nabi dari makna ahlul bait dalam ayat thathir. jadi ke laut aja dech.. wuakakakak…

  45. @alfanarku

    Lihatlah dalam hadits shahih di atas sangat jelas sekali, bukankah Nabi SAW juga menggunakan dhamir jama’ muzakkar ketika menyebut istri-istri beliau sebagai ahlul bait. dan saat itu beliau hanya berbicara dengan istri-istri beliau saja dan tidak kepada orang lain. beliau menggunakan “kum” bukan “kunna”.

    Silakan dipikirkan dulu baik-baik, anda sudah salah dlam menarik kesimpulan. Ucapan salam ditujukan tidak hanya khusus kepada siapa yang akan kita tuju, melainkan kepada siapapun yang mendengar salam tersebut. Makanya salam yang diajarkan dalam islam bersifat jamak muzakkar artinya ia ditujukan bagi semua orang islam baik laki-laki maupun wanita yang mendengar salam tersebut. Tidak ada tuh dalam islam kita mengucapkan salam harus khusus melihat dulu siapa yang ada di dalam rumah atau siapa yang harus kita tuju. walaupun di dalam rumah yang ada hanya perempuan tetap saja salam yang kita ucapkan berlafal jamak muzakkar karena memang ucapan salam bersifat jamak untuk siapapun yang mendengar baik laki-laki maupun perempuan. Ini kan ma’ruf sekali, bahkan jika kita hanya bertemu seorang teman di jalan, lafal salam yang digunakan tetap bersifat jamak muzakkar, jadi kata ganti jamak memang ditujukan bagi setiap orang muslim yang mendengar salam tersebut

    sudahlah dalih SP itu sangat-sangat lemah jika mau mengeluarkan istri-istri Nabi dari makna ahlul bait dalam ayat thathir.

    Ehem kayaknya dalil-dalilnya shahih bahkan sampai yang gak setujupun gak bisa komen apa-apa membantah dalilnya kecuali dengan ucapan “ah itu lemah”.ya setiap orang bisa saja bilang begitu 🙂

    Ngomong-ngomong kayaknya anda gak ada urusannya deh berhujjah dengan hadis Shahih Bukhari di atas, justru malah menentang hujjah anda sendiri, tapi maaf andanya malah gak paham. Nih saya tunjukkan ya, bukankah dari awal anda mengatakan lafal “kum” dalam ayat tathir dikarenakan Nabi sebagai Sayyidul bait juga ikut sebagai yang dimaksud, nah oleh karena wanita dan laki-laki bergabung maka digunakan lafal jamak muzakkar. Lha sekarang justru dengan hadis Shahih Bukhari yang anda bawa bertentangan dengan hujjah anda. Disitu Rasulullah SAW menyampaikan salam kepada istri-istri Beliau, dan lafal “kum” yang ada disana mana mungkin mau ditafsirkan kalau Nabi sebagai Sayyidul Bait ikut masuk, lha yang kasih salam kan Nabi SAW sendiri. Nah anda sendiri akan mentafsirkan lafal “kum” dalam salam itu sebagai apa, mau pakai dalih Nabi sebagai sayyidul bait, he he he lucunya.

    jadi ke laut aja dech.. wuakakakak

    He he he ini kan blog saya, saya mah gak perlu ke mana-mana, mungkin anda kali yang mau pergi ke laut, eh btw ketawa anda mirip seseorang yang dulu sering banget ketawa disini :mrgreen:

  46. Sepengetahuan saya dari hadis2 Sunni sendiri, Ahlulbait secara umum adalah keluarga rumah tangga Nabi.saw yaitu; Istri2 + Keluarga Ali + Keluarga Aqil + Keluarga Abbas + Keluarga Ja’far. Ahlulbait khusus yg tdk boleh menerima zakat yaitu; Keluarga Ali, Aqil, Abbas dan Ja’far. Sementara Ahlulbait yg sangat khusus dan teristimewa dan terjamin suci (ma’shum) yaitu; Keluarga Ali (Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain.as).

  47. @SP
    Inkonsistensi itu halal atau gak sih?.. 😀

    Salam damai

  48. kayaknya halal tuh, kan ud di kasih logo nya he he he

  49. Ya berarti, kalau seperti itu, istri-istri Nabi adalah memang ahlul bait dalam al-ahzab : 33, orang Nabi juga menggunakan kum, artinya pakai kum dan kunna tinggal melihat siapa yang ada dalam rumah itu, dan yang ada dalam rumah itu saat ayat tersebut turun adalah Nabi dan istri-istrinya, jadi merekalah yang disebut ahlul bait, karena penyucian terhadap istri-istri Nabi tidaklah lepas dari Nabi SAW, karena mereka adalah bagian dari ahlil bait Nabi. jadi penyucian mereka dalam ayat itu adalah dalam rangka menyucikan Nabi juga, kalau pendapat yg punya blog ini kan seolah-olah istri-istri Nabi ga ada sangkut pautnya dg Nabi, jelas hal ini sangat keliru. bukankah dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi : “Kuu anfusakum wa ahlikum naaro” (jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka)? dan beliau adalah memang sayyidul bait sebgaimana yang disampaikan oleh blog alfanarku. saya kira ini adalah penjelasan yang paling masuk akal dan dilupakan oleh pemilik blog ini.

    maka kesimpulan yang paling logis adalah seperti pemahaman ahlussunnah yang bersifat tengah-tengah, bahwa ahlul bait dalam ayat tersebut mencakup Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum. tidak seperti pemahaman syi’ah yang meninggalkan istri-istri Nabi. Alhamdulillah semakin mantap keyakinanku.

  50. @edi

    Ya berarti, kalau seperti itu, istri-istri Nabi adalah memang ahlul bait dalam al-ahzab : 33, orang Nabi juga menggunakan kum, artinya pakai kum dan kunna tinggal melihat siapa yang ada dalam rumah itu,

    kayaknya yang ada di dalam rumah itu awalnya cuma Ummu Salamah deh, dan alih-alih menyampaikan ke Ummu Salamah Rasulullah SAW malah memanggil Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain. Ini bukti kalau ayat tersebut bukan untuk istri-istri Nabi tetapi untuk ahlul kisa’. Perhatikan baik-baik istri-istri Nabi SAW lain kan tiak tinggal di rumah Ummu Salamah tetapi di rumah mereka sendiri, so seharusnya mereka yang dipanggil ketika ayat tersebut turun tetapi faktanya Rasulullah SAW tidak memanggil mereka tuh 🙂

    dan yang ada dalam rumah itu saat ayat tersebut turun adalah Nabi dan istri-istrinya

    Maaf Mas sudah saya tunjukkan anda asal saja berkata begitu. Yang ada di dalam rumah tersebut hanya Ummu Salamah dan maaf Rasulullah SAW sendiri mencegah Ummu Salamah untuk ikut masuk sebagai Ahlul Bait yang disucikan 🙂

    jadi merekalah yang disebut ahlul bait, karena penyucian terhadap istri-istri Nabi tidaklah lepas dari Nabi SAW,

    penarikan kesimpulan anda berdasarkan arguman yang asal saja, seperti yang telah saya tunjukkan, istri-istri Nabi yang lain tidak dipanggil tuh 🙂

    karena mereka adalah bagian dari ahlil bait Nabi. jadi penyucian mereka dalam ayat itu adalah dalam rangka menyucikan Nabi juga,

    Saya bingung nih, seandainya istri Nabi berbuat salah melakukan hal yang maaf menyakiti Nabi SAW baik sengaja ataupun tidak, atau melanggar perintah Nabi SAW agar tetap di rumah apakah itu semua menodai kesucian Nabi SAW?. Apakah Nabi SAW tidak suci jika istrinya ada yang berbuat salah.

    kalau pendapat yg punya blog ini kan seolah-olah istri-istri Nabi ga ada sangkut pautnya dg Nabi, jelas hal ini sangat keliru.

    saya males nih dengan orang yang dengan asalnya berkata atas nama orang lain. Saya gak pernah tuh bilang atau berpendapat seolah-olah istri Nabi tidak ada sangkut paut dengan Nabi, jadi perkataan Mas itu sungguh keliru

    bukankah dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi : “Kuu anfusakum wa ahlikum naaro” (jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka)?

    Lha iya dan ayat itu untuk semua kaum muslimin kan

    dan beliau adalah memang sayyidul bait sebgaimana yang disampaikan oleh blog alfanarku.

    Tolong dimengerti dengan baik, kami tidak menolak kalau Nabi SAW adalah sayyidul bait, hal begitu tidak perlu diperdebatkan. Yang kami tolak adalah cara beragumen alfanarku dan orang-orang seperti anda yang menjadikan alasan perubahan kata ganti “kum” karena Nabi sebagai Sayyidul bait ikut masuk. Struktur ayatnya jelas gak mungkin. penyucian yang dimaksud dalam ayat 33 jika dipandang dengan urutan ayat maka itu karena berbagai perintah seperti “jangan berhias” atau “tetaplah di rumah” atau “taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya” dan perintah ini adalah perintah khusus terhadap istri2 Nabi. Kalau memang ayat tersebut berurutan maka kata ganti yang dipakai misalnya dalam kata {liyudzhiba ankum} harus dengan kata ganti “kunna” karena di ayat2 sebelumnya semuanya menggunakan kata ganti kunna.

    saya kira ini adalah penjelasan yang paling masuk akal dan dilupakan oleh pemilik blog ini.

    Saya heran dengan anda ini, mau dikemanakan hadis-hadis shahih yang mengkhususkan ahlul bait dalam al ahazab 33 khusus untuk ahlul kisa’. Apakah anda lebih mementingkan “akal” yang anda punya daripada hadis-hadis shahih?. silakan saja

    maka kesimpulan yang paling logis adalah seperti pemahaman ahlussunnah yang bersifat tengah-tengah, bahwa ahlul bait dalam ayat tersebut mencakup Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum.

    tentu bagi anda pikiran anda itu logis, padahal tuh banyak mengandung kontradiksi. Ditambah lagi ini bukan masalah tengah2 seperti yang anda katakan tetapi masalah yang mana yang benar. Kalau memang Rasulullah SAW sudah mengkhususkan ayat al ahzab 33 untuk ahlul kisa’ maka tidak ada gunanya argumen basa-basi baik dari anda alfanarku abu-abu lain dan sebagainya.

    tidak seperti pemahaman syi’ah yang meninggalkan istri-istri Nabi. Alhamdulillah semakin mantap keyakinanku.

    Silakan anda berpegang pada keyakinan anda, tapi maaf ya pemahaman al ahzab 33 khusus untuk ahlul kisa’ bukan hak milik kaum Syiah. Ulama sunni yang terkenal seperti Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitabnya Musykil Al Atsar juga berpandangan demikian karena ia menerima hadis-hadis Rasul SAW yang mengkhususkan Ahlul bait dalam Al Ahzab 33 khusus untuk ahlul kisa’ saja. Jadi berhentilah mengumbar-ngumbar kata-kata “pemahaman syiah”. btw dan anda mungkin gak perlu deh ngaku-ngaku ahlus sunnah dalam perkara ini karena yang namanya ahlus sunnah itu berpegang pada sunnah atau hadis-hadis shahih bukannya malah menentang hadis shahih dengan dalih “akal logis” versi mereka sendiri :mrgreen:

  51. @edi

    maka kesimpulan yang paling logis adalah seperti pemahaman ahlussunnah yang bersifat tengah-tengah, bahwa ahlul bait dalam ayat tersebut mencakup Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum. tidak seperti pemahaman syi’ah yang meninggalkan istri-istri Nabi. Alhamdulillah semakin mantap keyakinanku.

    Wahh.. anda berarti kurang mendalami dan mempelajari buku2 ulama sunnah (mungkin terlebih dahulu anda pahami dulu apa itu mazhab sunni dengan baik). Jangan2 anda salah mengenali mazhab sunni itu sendiri (banyak lho yang ngaku2 sunni).. :D.
    Satu-dua buku sunni tidak mewakili mazhab sunni, satu-dua buku syi’ah tidak mewakili syi’ah.
    Satu-dua ulama sunni tidak mewakili sunni, satu-dua ulama syi’ah tidak mewakili syi’ah

    Terlebih lagi kalau ternyata anda menenali suatu mazhab dari perilaku segelintir penganutnya… hmmm anda akan tertipu.

    kalau saya pribadi gembira anda semakin yakin dengan keyakinan anda, karena memang tidak niatan untuk merubah keyakinan anda. Yang ingin kita (saya) lakukan adalah agar anda2 bisa memahami keyakinan orang lain… 😀

    Salam damai.

  52. @secondprince mengatakan :

    “kayaknya yang ada di dalam rumah itu awalnya cuma Ummu Salamah deh, dan alih-alih menyampaikan ke Ummu Salamah Rasulullah SAW malah memanggil Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain. Ini bukti kalau ayat tersebut bukan untuk istri-istri Nabi tetapi untuk ahlul kisa’. Perhatikan baik-baik istri-istri Nabi SAW lain kan tiak tinggal di rumah Ummu Salamah tetapi di rumah mereka sendiri, so seharusnya mereka yang dipanggil ketika ayat tersebut turun tetapi faktanya Rasulullah SAW tidak memanggil mereka tuh”

    Saya sudah baca hadits lengkap bukhari yg dibawakan alfanarku, ternyata tempat kediaman istri-istri Nabi adalah berupa bilik-bilik atau kamar-kamar yang saling berdekatan dalam satu area, terbukti di saat pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy, beliau mengunjungi seluruh istri-istri beliau untuk mengucapkan salam dan memanggil mereka ahlul bait. maka kalau boleh dibilang mereka sebenarnya menempati satu area kediaman, hanya bilik-bilik saja yang membatasi kediaman mereka dan sayyidul bait dari tempat kediaman tersebut adalah Nabi SAW.

    Mengenai pemanggilan Fatimah dan keluarganya ke tempat kediaman Ummu Salamah, saya sependapat dengan alfanarku, karena Nabi ingin mendo’akan mereka agar menjadi bagian ahlul bait dalam ayat tsb.

    anda mengatakan:

    “saya males nih dengan orang yang dengan asalnya berkata atas nama orang lain. Saya gak pernah tuh bilang atau berpendapat seolah-olah istri Nabi tidak ada sangkut paut dengan Nabi, jadi perkataan Mas itu sungguh keliru”

    di atas anda mengatakan sendiri, bahwa ayat yang turun terhadap istri-istri Nabi tidak ada sangkut pautnya dg Nabi, itu yg saya tangkap. padahal istri-istri adalah masih dibawah tanggung jawab suami, jika ada kenapa-kenapa tentunya sang suami juga paling tidak ditanyain, bagaimana kepemimpinannya thd ahlul baitnya. karena Nabi Muhammad SAW adalah penghulu para ambiya’ dan kekasih Allah maka dalam rangka memuliakan nama beliau dengan sempurna yg berbeda dg nabi2 sebelumnya, sehingga tidak ada celah bagi orang yg akan mencela beliau, Allah mentarbiyah keluarga beliau dan Allah bersihkan mereka dari dosa.

    anda mengatakan :

    “Lha iya dan ayat itu untuk semua kaum muslimin kan”

    bukankah Nabi juga terkena syari’at? dan beliau adalah suri teladan seperti firman Allah sendiri.

    anda mengatakan:

    “Tolong dimengerti dengan baik, kami tidak menolak kalau Nabi SAW adalah sayyidul bait, hal begitu tidak perlu diperdebatkan. Yang kami tolak adalah cara beragumen alfanarku dan orang-orang seperti anda yang menjadikan alasan perubahan kata ganti “kum” karena Nabi sebagai Sayyidul bait ikut masuk. Struktur ayatnya jelas gak mungkin. penyucian yang dimaksud dalam ayat 33 jika dipandang dengan urutan ayat maka itu karena berbagai perintah seperti “jangan berhias” atau “tetaplah di rumah” atau “taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya” dan perintah ini adalah perintah khusus terhadap istri2 Nabi. Kalau memang ayat tersebut berurutan maka kata ganti yang dipakai misalnya dalam kata {liyudzhiba ankum} harus dengan kata ganti “kunna” karena di ayat2 sebelumnya semuanya menggunakan kata ganti kunna.”

    memang ayat sebelumnya adalah ayat perintah dan larangan untuk istri-istri Nabi, tetapi itu semua adalah untuk mensucikan mereka, dalam rangka mensucikan Nabi juga, mereka bagian dari kehidupan Nabi mas. jadi anda ga bisa memisahkan mereka dengan Nabi, makanya digunakanlah “kum”. bukankah dalam ayat sebelumnya Allah berfirman : “kalian tidak sama dengan wanita yang lain” maksudnya mereka adalah istri Nabi, Ahlul bait beliau. coba anda baca lagi ayat tersebut dari awal sampai akhir pasti sangat klop.

    anda mengatakan :

    “Saya heran dengan anda ini, mau dikemanakan hadis-hadis shahih yang mengkhususkan ahlul bait dalam al ahazab 33 khusus untuk ahlul kisa’. Apakah anda lebih mementingkan “akal” yang anda punya daripada hadis-hadis shahih?. silakan saja”

    hadits yg shahih tidak mengkhususkan mereka, tetapi Nabi mendo’akan mereka agar menjadi bagian ahlul bait tsb.

    “tentu bagi anda pikiran anda itu logis, padahal tuh banyak mengandung kontradiksi. Ditambah lagi ini bukan masalah tengah2 seperti yang anda katakan tetapi masalah yang mana yang benar. Kalau memang Rasulullah SAW sudah mengkhususkan ayat al ahzab 33 untuk ahlul kisa’ maka tidak ada gunanya argumen basa-basi baik dari anda alfanarku abu-abu lain dan sebagainya. ”

    saya meyakini kebenaran dari argumentasi sebagian besar pendapat ahlussunnah, jelas, adil, logis dan bisa mengkompromikan dalil-dalil yg ada serta tidak ada tendensi apa-apa terhadap orang-orang terdekat Nabi.

    anda mengatakan:

    “Silakan anda berpegang pada keyakinan anda, tapi maaf ya pemahaman al ahzab 33 khusus untuk ahlul kisa’ bukan hak milik kaum Syiah. Ulama sunni yang terkenal seperti Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitabnya Musykil Al Atsar juga berpandangan demikian karena ia menerima hadis-hadis Rasul SAW yang mengkhususkan Ahlul bait dalam Al Ahzab 33 khusus untuk ahlul kisa’ saja. Jadi berhentilah mengumbar-ngumbar kata-kata “pemahaman syiah”. btw dan anda mungkin gak perlu deh ngaku-ngaku ahlus sunnah dalam perkara ini karena yang namanya ahlus sunnah itu berpegang pada sunnah atau hadis-hadis shahih bukannya malah menentang hadis shahih dengan dalih “akal logis” versi mereka sendiri ”

    saya kira pendapat yg berbeda dg anda juga berpegang kepada dalil, baik al-qur’an, sunnah dan aqwal para ulama. dan menurut saya lebih mantap dan tidak bertendensi apapun dalam memuliakan ahlul bait nabi secara keseluruhan.

  53. @SP

    :mrgreen:

    Ikan hiu yang tadi kamu bawa merumput ke padang rumput sudah dikembalikan ke kandang belum sih?

    Ingat sabar itu tidak berujung…
    :mrgreen:

    Salam damai

  54. @SP

    Sepertinya konsep kedudukan ahlulbayt berbeda dgn sahabat nabi yg lain agak kesulitan diterima oleh sebagian orang. Begitu banyak dan panjang lebar riwayat2 mengenai kemuliaan mrk, toh msh tdk mampu menyadarkan. Menurut sy, selain dari memang msh ada sesuatu dalam hati mrk, juga ini mungkin krn mrk tdk dapat membayangkan bahwa di antara Nabi saw dan sahabat sebenarnya terdapat ruang derajat kemuliaan yg lebar yang ruang itu hanya dapat diisi oleh manusia-manusia pilihan seperti ahlulbayt Nabi saw.

    Di kepala mereka tdk ada ruang derajat antara Nabi saw dan para sahabat. Perbedaan keduanya cuman 1 strip, layaknya dalam kemiliteran AD, kalau Nabi saw adalah Jenderal Besar maka para sahabat itu menurut mrk ada pada posisi Jenderal. So, tdk mungkin ada pangkat yg melebihi Jenderal selain Jenderal Besar itu sendiri. Itulah makanya mrk bersikeras mempertahankan kedudukan ahlulbayt sebagai sahabat yg sama-sama berpangkat Jenderal, meski sebagian (kecil sih) dari mrk mrk bisa melihat pengetahuan, keutamaan, kemuliaan ahlulbayt melebihi diri para sahabat.

    Utk mengatasi problem ini, menurut sy, awalnya mrk harus paham dulu bagaimana tingginya kedudukan Jenderal Besar itu sendiri. Manusia seperti apa yg pantas dan layak menjabatnya. Apa ciri-cirinya. Bagaimana kehebatannya. Betapa besarnya cobaan dan ujian memegang posisi ini. Seberapa dekat hubungannya dgn Yang Menetapkan pangkat, dll. Kemudian seterusnya pangkat di bawahnya, Jenderal. Apa syarat2 yg harus dipenuhi utk menjabat Jenderal, apa ciri-cirinya, bagaimana kedekatannya dgn Jenderal Besar, dll.
    Selanjutnya penjelasan mengenai pangkat-pangkat di bawahnya spt Letjend, Mayjend, Brigjend hingga bahkan ke Kopral dan Prajurit. Apa ciri-cirinya. Mengapa mrk tidak bisa menjabat sebagai Jenderal atau Letjend atau Mayjend. Bagaimana hubungannya dgn Jenderal dan Jenderal Besar, dst..dst.

    Yah ini sih sy serahkan kepada semua orang yg belum memahami bagaimana sebenarnya posisi Jenderal Besar itu dan orang yg bagaimana yg pantas menjabatnya. Lalu bandingkan dgn pangkat-pangkat di bawahnya. Siapa yg layak menjadi Jenderal, siapa Letjend, siapa Mayjend, Kopral dst.

    Eh, ini intermezo saja. Diterima syukur. Ga diterima ga apa-apa 🙂

    Salam

  55. @arman
    Muantttaaapppp…!!!
    Sayang kalau menunggu di padang mashar pahamnya.

  56. Istri2 nabi termasuk Ahlulbait tapi tdk termasuk Ahlulbait yg disucikan. Ahlulbait yg disucikan dan menjadi tempat merujuk agama agar umat mengenal sunnah Nabi hanya pada Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Kalau saja istri2 nabi termasuk Ahlulbait yg disucikan, apa kata dunia?? Itu sama saja dgn mengatakan agama ini hanya sandiwara! Masa sih orang suci memerangi orang suci?? Itu gak sesuai dgn ajaran Islam dan gak masuk akal. Jadi orang suci cukuplah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain saja. Istri2 nabi juga Abu Bakar, Umar, Usman dll wajib mengikuti mereka.

  57. @armand

    siiip..!
    kt anda:
    Siapa yg layak menjadi Jenderal, siapa Letjend, siapa Mayjend, Kopral dst.
    kt sy:
    ketahuan nih klu anda bkn dr tentara,masa kopral dst? memangnya ada lg yg dibwh kopral..?
    tanya nih
    gmn klu kopral2 pd berembug,n memilih salah satunya langsung jd jendral….?

  58. @sp
    mdh2an allah meberikan anda kelapangan qalbu n kesabaran diri(nafs)

  59. @SP
    Kalo ada unta bisa masuk ke lubang jarum kayaknya mereka baru bisa paham…Tapi ini jarum beneran lo, bukan jarum raksasa yg lubangnya sebesar unta…hehehe

    @Armand
    Wah berarti ada jabatan ajudan juga dong. Setahu saya Jendral Besarnya nashibi adalah Muawiyah dan ajudannya adl Amr bin Ash..hehehe

  60. Maklumlah para Salafy dan Nashibi akan selalu menolak keutamaan Ahlulbayt yg disucikan dlm QS Al Ahzab 33 dan Hadits Al Kisa. Karena kebencian yg sesungguhnya adalah kepada kakeknya Rasulullah saw. Wslkm

  61. @edi

    Saya sudah baca hadits lengkap bukhari yg dibawakan alfanarku, ternyata tempat kediaman istri-istri Nabi adalah berupa bilik-bilik atau kamar-kamar yang saling berdekatan dalam satu area, terbukti di saat pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy, beliau mengunjungi seluruh istri-istri beliau untuk mengucapkan salam dan memanggil mereka ahlul bait.

    Pernyataan anda yang ini tidak ada relevansinya dengan al ahzab 33. sudah jelas setiap istri Nabi punya rumah sendiri-sendiri bisa saja berdekatan dalam satu area atau bisa juga tidak berdekatan. Dalam hadis shahih bukhari tidak ada indikasi yang menunjukkan tempat tersebut berdekatan kan kata-kata yang ada bunyinya seperti ini Lalu beliau pergi ke tempat-tempat kediaman semua istri-istri beliau yang lain maaf sepertinya di dalam kalimat itu tidak terdapat indikasi dekat atau jauh. Terlepas dari dekat atau tidak, setiap istri Nabi punya rumah sendiri artinya mereka tidak tinggal di rumah Ummu Salamah. Jadi ketika ayat tathir [al ahzab 33] turun di rumah Ummu Salamah maka Nabi SAW pasti memanggil istri2 Nabi dahulu dan memberi tahu mereka. Kenyataannya tidak begitu, yang Nabi SAW panggil adalah Ahlul Kisa’ dan hal ini karena memang merekalah yang dituju oleh ayat tersebut.

    maka kalau boleh dibilang mereka sebenarnya menempati satu area kediaman, hanya bilik-bilik saja yang membatasi kediaman mereka dan sayyidul bait dari tempat kediaman tersebut adalah Nabi SAW.

    hampir semua sahabat Nabi menempati satu area kediaman yaitu di Madinah dan Nabi SAW adalah Sayyid bagi mereka semua. btw kayaknya anda mengaburkan sesuatu yang sudah jelas. istri2 nabi yang lain tidak tinggal satu rumah dengan ummu salamah dan ayat tersebut kan menurut kesaksian Ummu Salamah turun di rumahnya. lantas mengapa istri-istri nabi yang lain tidak dipanggil. Apalagi jika menuruti logika anda bahwa areanya berdekatan tentu sangat mudah bagi Nabi SAW memanggil mereka semua dan menyampaikan ayat tathir tersebut dan faktanya lagi-lagi tidak begitu. Ada hal aneh yang tidak pernah terpikirkan oleh pengikut salafiyun. Kalau memang ayat tathir Al Ahzab 33 turun untuk istri-istri Nabi maka mengapa Ummu Salamah memenggal ayat tersebut. Seharusnya ummu Salamah menyebutkan bahwa ayat tersebut turun secara lengkap dengan kata-kata ‘hai istri-istri Nabi sampai akhir ayat”. sudah jelas Ummu Salamah tidak memenggal ayat tersebut, ayat tersebut memang turun terpisah dengan ayat sebelumnya oleh karena itulah Ummu Salamah ketika menceritakan hadis tersebut ia bersaksi kalau ayat yang turun dimulai dari kata “innama yuridullah”.

    Mengenai pemanggilan Fatimah dan keluarganya ke tempat kediaman Ummu Salamah, saya sependapat dengan alfanarku, karena Nabi ingin mendo’akan mereka agar menjadi bagian ahlul bait dalam ayat tsb.

    Anda atau alfanarku silakan saja berpendapat tetapi bukti hadisnya menunjukkan kalau Rasulullah SAW memanggil mereka karena memang merekalah yang dituju oleh ayat tersebut. Jika memang Ummu Salamah sebagai istri Nabi adalah sebagai yang dituju oleh ayat tersebut lantas mengapa ia meminta kepada Nabi agar dirinya ikut masuk sebagai ahlul bait. Bukankah ini bukti shahih kalau Ummu Salamah tidak merasa dirinya sebagai ahlul bait. jadi pendapat anda itu bertentangan dengan hadis shahih.

    di atas anda mengatakan sendiri, bahwa ayat yang turun terhadap istri-istri Nabi tidak ada sangkut pautnya dg Nabi, itu yg saya tangkap.

    Yang saya maksudkan adalah, jika berpegang pada urutan ayat maka Nabi SAW bukanlah pribadi yang dituju dalam ayat tersebut karena penyucian yang dimaksud akan terjadi jika istri-istri Nabi melakukan berbagai perintah yang disebutkan dalam ayat tersebut. Sangat jelas kok ini, saya kasih contoh ya misal nih Rasulullah SAW menyampaikan ayat kepada umatnya agar mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Maka apakah anda akan mengatakan bahwa ayat ini juga ditujukan untuk Rasul SAW. Apakah anda ingin mengatakan bahwa Rasul SAW diperintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Saya yakin anda pasti akan berkata tidak. Nah apakah ketika anda berkata begitu maka anda bisa langsung mengatakan kalau Nabi SAW gak ada sangkut pautnya dengan umatnya. Silakan diperiksa kekeliruan persepsi anda.

    padahal istri-istri adalah masih dibawah tanggung jawab suami, jika ada kenapa-kenapa tentunya sang suami juga paling tidak ditanyain, bagaimana kepemimpinannya thd ahlul baitnya.

    Itu benar tetapi apakah itu berarti setiap ayat yang turun untuk istri-istri Nabi maka itu juga untuk Nabi SAW pula.

    karena Nabi Muhammad SAW adalah penghulu para ambiya’ dan kekasih Allah maka dalam rangka memuliakan nama beliau dengan sempurna yg berbeda dg nabi2 sebelumnya, sehingga tidak ada celah bagi orang yg akan mencela beliau, Allah mentarbiyah keluarga beliau dan Allah bersihkan mereka dari dosa.

    Allah SWT mentarbiyah mereka para istri-istri Nabi SAW dengan ayat tersebut itu benar. Yang sedang kita permasalahkan adalah mengenai penggunaan kata ganti dari “kunna” menjadi “kum” terus menjadi “kunna” lagi. Nah saya menunjukkan kepada anda bahwa perubahan kata ganti karena memang ayat tersebut terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya dan “kum” ditujukan untuk ahlul kisa’ yang merupakan gabungan laki-laki dan perempuan. Ini sangat klop dengan hadis-hadis shahih asbabun nuzulnya.

    bukankah Nabi juga terkena syari’at? dan beliau adalah suri teladan seperti firman Allah sendiri.

    Nabi SAW adalah pembawa syariat dan maaf ya tidak ada yang mengingkari ini.

    memang ayat sebelumnya adalah ayat perintah dan larangan untuk istri-istri Nabi, tetapi itu semua adalah untuk mensucikan mereka,

    nah kalau begitu mereka itu khusus istri-istri Nabi SAW kan

    dalam rangka mensucikan Nabi juga, mereka bagian dari kehidupan Nabi mas.

    Ada hal yang rancu dengan ini. kalau anda katakan “bagian dari kehidupan Nabi” maka saya katakan kehidupan Nabi SAW tidak terbatas pada istri-istri Nabi SAW saja. Nabi SAW punya kaum kerabat yaitu keluarga Ja’far, keluarga Aqil dan keluarga Abbas. Nabi SAW juga punya banyak sahabat dan bukankah itu bagian dari kehidupan Nabi juga. Kesucian Nabi SAW tidak tergantung pada apakah semua yang menjadi bagian kehidupan Nabi SAW atau yang berinteraksi dengan Nabi SAW harus terbebas dari salah atau dosa. Saya jadi bingung apakah jika seandainy ada istri Nabi SAW yang berbuat salah atau berbuat dosa maka kesucian Nabi SAW jadi ternoda. Apakah surah At Tahrim itu menodai kesucian Nabi SAW. Apakah ketika Aisyah RA memimpin sebagian kaum muslim dalam perang Jamal maka itu berarti menodai kesucian Nabi SAW? bukankah Aisyah RA tidak tetap di rumah sesuai dengan perintah al ahzab 33 di atas?. apakah ketika istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth menyimpang dari kebnaran maka hal tersebut menodai kesucian Nabi Nuh AS atau Nabi Luth AS. Itulah yang saya bingung dari argumen anda dan semoga anda bisa menjelaskannya dengan baik.

    jadi anda ga bisa memisahkan mereka dengan Nabi, makanya digunakanlah “kum”. bukankah dalam ayat sebelumnya Allah berfirman : “kalian tidak sama dengan wanita yang lain” maksudnya mereka adalah istri Nabi, Ahlul bait beliau.

    kalau memang pandangan anda benar maka seharusnya Allah SWT menggunakan kata “kum” bukan “kunna”. contohnya nih, Allah SWT berkata وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ yang artinya dan hendaklah kamu tetap di rumahmu. Bukankah rumahnya istri-istri Nabi SAW adalah rumah Nabi SAW juga bukankah Nabi SAW sebagai Sayyidul bait bukankah istri-istri Nabi SAW menurut anda tidak bisa dipisahkan dari Nabi SAW lantas mengapa Allah SWT menggunakan kata kunna, jika menuruti logika anda itu maka seharusnya Allah SWT menggunakan kata “buyutikum” bukan “buyutikunna”. Inilah yang kita permasalhkan dari awal, saya menangkap semua argumen versi alafanarku dan versi anda itu terkesan basa basi dan gak sesuai dengan lafal ayatnya.

    coba anda baca lagi ayat tersebut dari awal sampai akhir pasti sangat klop.

    kalau anda hanya baca terjemah saja ya klop tetapi jika anda membaca bahasa arabnya maka akan muncul kerancuan dan kerancuan ini adalah perubahan kata ganti yang ternyata dijelaskan dalam hadis-hadis shahih bahwa “kum” disana merujuk pada ahlul kisa’ bukan istri-istri Nabi SAW.

    hadits yg shahih tidak mengkhususkan mereka, tetapi Nabi mendo’akan mereka agar menjadi bagian ahlul bait tsb.

    Apa sih kriteria shahih atau tidaknya versi anda ini. Apakah shahih itu adalah apa yang dikatakan ulama anda shahih? Apakah tidak shahih itu jika ulama anda mengatakan tidak shahih?. Ataukah shahih tidaknya tergantung dengan metode ulumul hadis. Silakan saja anda lihat hadis-hadis yang saya bawakan di atas. Itu lebih dari cukup bagi mereka yang memang mau berpegang teguh pada Sunnah. Kalau anda bisa seenaknya bilang tidak shahih maka orang lain bisa seenaknya mengatakan semua keyakinan anda tidak shahih pula. So kita tidak perlu diskusi kalau memang posisinya sudah main klaim, saya telah memaparkan berbagai riwayat di atas dan membuktikan keshahihannya maka bagi anda yang mengatakan tidak shahih silakan tunjukkan hujjah anda dlm perkara ini, dimana letak tidak shahihnya hadis-hadis yang saya bawa di atas.

    saya meyakini kebenaran dari argumentasi sebagian besar pendapat ahlussunnah, jelas, adil, logis dan bisa mengkompromikan dalil-dalil yg ada serta tidak ada tendensi apa-apa terhadap orang-orang terdekat Nabi.

    Dalam perkara ini justru pendapat yang menyatakan Al Ahzab 33 untuk istri-istri Nabi SAW dan ahlul kisa’ tidak memiliki dalil satupun untuk menopang pendapat mereka. Tidak ada dalil shahih yang menunjukkan kalau ayat tersebut turun untuk istri Nabi SAW dan ahlul kisa’ justru dalil yang shahih menunjukkan kalau ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’.

    saya kira pendapat yg berbeda dg anda juga berpegang kepada dalil, baik al-qur’an, sunnah dan aqwal para ulama. dan menurut saya lebih mantap dan tidak bertendensi apapun dalam memuliakan ahlul bait nabi secara keseluruhan.

    anda berhak berkata begitu sebagaimana saya pula berhak berkata seperti itu pula kepada anda. Jadi kalau anda sudah tidak mampu menunjukkan hujjah-hujjah anda maka diskusi kita cukupkan saja karena tidak ada gunanya kita main pengakuan dalam berdiskusi.

    Jika anda mengaku atau merasa anda yang benar maka begitu pula orang lain. Hormati saja apa yang diyakini saudara anda yang lain yang berbeda dengan anda, dan saya sarankan anda untuk tidak perlu mengucapkan kata-kata “itu tafsiran syiah rafidhah” atau kata-kata ‘hanya orang syiah yang berkata begitu”. Pertama karena kebenaran itu tidak bermahzab, kebenaran bukan terletak pada “karena Sunni maka itulah yang benar ” dan tidak juga terletak pada “karena Syiah maka itulah yang benar”. Kebenaran selalu memliki dasar-dasar yang benar dan bahkan dengan dasar itulah kita bisa menilai apakah tafsiran Sunni yang benar atau tafsiran syiah yang benar? atau malah tafsiran lain yang benar?. Kedua Bukankah pengikut Syiah sendiri akan mengaku atau merasa kalau mereka berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Jadi saran saya ya kalau anda tidak suka dituduh maka berusahalah untuk tidak menuduh, kalau anda tidak suka keyakinannya disalahkan maka tidak usah menyalhkan keyakinan orang lain. Kalau anda tidak suka keyakinan anda dikritik maka diam sajalah, kalau anda tidak mau dikatakan sesat ya jangan mensesatkan orang lain. lain halnya jika anda mau mendiskusikan hujjah keyakinan anda dan hujjah keyakinan orang lain, maka dalam hal ini semua pengakuan tidaklah penting karena yang dilihat adalah sejauh mana dalil atau hujjah tersebut benar.

  62. @truthseeker

    Mantap ya hehehe…

    @aldj

    Hehehe.. kata bung wiki, masih ada prajurit sebelum kopral.

    tanya nih
    gmn klu kopral2 pd berembug,n memilih salah satunya langsung jd jendral….?

    Kopral pengen langsung jadi Jenderal? Itu sih namanya kudeta! Ups…! Mancing ya… hehehe :mrgreen:

    Salam

  63. @secondprince mengatakan :

    “Pernyataan anda yang ini tidak ada relevansinya dengan al ahzab 33. sudah jelas setiap istri Nabi punya rumah sendiri-sendiri bisa saja berdekatan dalam satu area atau bisa juga tidak berdekatan. Dalam hadis shahih bukhari tidak ada indikasi yang menunjukkan tempat tersebut berdekatan kan kata-kata yang ada bunyinya seperti ini Lalu beliau pergi ke tempat-tempat kediaman semua istri-istri beliau yang lain maaf sepertinya di dalam kalimat itu tidak terdapat indikasi dekat atau jauh. Terlepas dari dekat atau tidak, setiap istri Nabi punya rumah sendiri artinya mereka tidak tinggal di rumah Ummu Salamah. Jadi ketika ayat tathir [al ahzab 33] turun di rumah Ummu Salamah maka Nabi SAW pasti memanggil istri2 Nabi dahulu dan memberi tahu mereka. Kenyataannya tidak begitu, yang Nabi SAW panggil adalah Ahlul Kisa’ dan hal ini karena memang merekalah yang dituju oleh ayat tersebut.”

    lho memang menurut banyak riwayat, Rumah Nabi dan istri-istrinya itu dalam satu area dekat Masjid Nabawi, Ketika beliau berada di Madinah, beliau pertama kali membangun tempat Ibadah, baru kemudian beliau membagun dua rumah sederhana. Kedua rumah itu diperuntukan istri termuda (Aisyah r.a) dan istri tetua (Saudah Binti Zam’ah). Sedangkan istri-istri lain, mereka dibuatkan kamar-kamar (Hujurat) khusus. Jumlah kamar-kamar (hujurat/rumah), sesuai dengan jumlah istrinya yaitu sembilan, kalau ayat tsb turun di rumah Ummu Salamah, ya artinya turun di rumah istri-istri Nabi juga, bukankah ayat selanjutnya Allah mengingatkan kembali tentang ayat-ayat yang turun di rumah-rumah mereka, kalau memang ayat tersebut bukan untuk mereka tentunya Allah tidak mengingatkan mereka tentang ayat yg turun di rumah mereka.

    silahkan dibaca ayat berikut :

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنكُمْ

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar) (Al-Ahzab : 53)

    buyutannabiyyi artinya rumah-rumah nabi yg dihuni oleh beliau dan istri-istri beliau, maka mereka-lah yang dimaksud ahlul bait itu. sedangkan Fatimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum tinggal di rumah Ali bin Abi Thalib ra yang terpisah dengan Nabi. dan asbabun nuzulnya adalah hadits riwayat bukhari di atas. (alhamdulillah tulisan alfanarku telah membuat saya paham)

    sedangkan syubhat anda sudah dijawab oleh alfanarku, kalau memang ayat itu untuk ahlul kisa’, mengapa Nabi masih meminta kepada Allah atau mendo’akan untuk mereka? dll.

    anda mengatakan :

    “Yang saya maksudkan adalah, jika berpegang pada urutan ayat maka Nabi SAW bukanlah pribadi yang dituju dalam ayat tersebut karena penyucian yang dimaksud akan terjadi jika istri-istri Nabi melakukan berbagai perintah yang disebutkan dalam ayat tersebut. Sangat jelas kok ini, saya kasih contoh ya misal nih Rasulullah SAW menyampaikan ayat kepada umatnya agar mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Maka apakah anda akan mengatakan bahwa ayat ini juga ditujukan untuk Rasul SAW. Apakah anda ingin mengatakan bahwa Rasul SAW diperintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Saya yakin anda pasti akan berkata tidak. Nah apakah ketika anda berkata begitu maka anda bisa langsung mengatakan kalau Nabi SAW gak ada sangkut pautnya dengan umatnya. Silakan diperiksa kekeliruan persepsi anda.”

    Mas, Nabi diikutkan ketika menyinggung term penyucian dan ahlul bait, maksudnya hasil dari perintah dan larangan terhadap istri-istri (ahlul bait) beliau pada akhirnya disamping dirasakan oleh istri-istri beliau akan dirasakan juga oleh beliau sebagai sayyidul bait, jadi saya merasa tidak ada yang keliru dengan persepsi saya

    anda mengatakan :

    “Itu benar tetapi apakah itu berarti setiap ayat yang turun untuk istri-istri Nabi maka itu juga untuk Nabi SAW pula.”

    ayat itu diawali dengan “wahai istri-istri Nabi”, juga “kalian tidaklah sama dengan wanita-wanita lain” bukankah ini sangat jelas ada sangkut pautnya dg Nabi?

    anda mengatakan :

    “Allah SWT mentarbiyah mereka para istri-istri Nabi SAW dengan ayat tersebut itu benar. Yang sedang kita permasalahkan adalah mengenai penggunaan kata ganti dari “kunna” menjadi “kum” terus menjadi “kunna” lagi. Nah saya menunjukkan kepada anda bahwa perubahan kata ganti karena memang ayat tersebut terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya dan “kum” ditujukan untuk ahlul kisa’ yang merupakan gabungan laki-laki dan perempuan. Ini sangat klop dengan hadis-hadis shahih asbabun nuzulnya.”

    bukankah sudah dijawab oleh alfanarku dan di atas sudah saya tambahi mengapa berkaitan deb Nabi?

    anda mengatakan :

    “Ada hal yang rancu dengan ini. kalau anda katakan “bagian dari kehidupan Nabi” maka saya katakan kehidupan Nabi SAW tidak terbatas pada istri-istri Nabi SAW saja. Nabi SAW punya kaum kerabat yaitu keluarga Ja’far, keluarga Aqil dan keluarga Abbas. Nabi SAW juga punya banyak sahabat dan bukankah itu bagian dari kehidupan Nabi juga. Kesucian Nabi SAW tidak tergantung pada apakah semua yang menjadi bagian kehidupan Nabi SAW atau yang berinteraksi dengan Nabi SAW harus terbebas dari salah atau dosa. Saya jadi bingung apakah jika seandainy ada istri Nabi SAW yang berbuat salah atau berbuat dosa maka kesucian Nabi SAW jadi ternoda. Apakah surah At Tahrim itu menodai kesucian Nabi SAW. Apakah ketika Aisyah RA memimpin sebagian kaum muslim dalam perang Jamal maka itu berarti menodai kesucian Nabi SAW? bukankah Aisyah RA tidak tetap di rumah sesuai dengan perintah al ahzab 33 di atas?. apakah ketika istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth menyimpang dari kebnaran maka hal tersebut menodai kesucian Nabi Nuh AS atau Nabi Luth AS. Itulah yang saya bingung dari argumen anda dan semoga anda bisa menjelaskannya dengan baik. ”

    tetapi ayat di atas menyinggung istri-istri Nabi Mas, bukan keluarga yang lain, jadi case by case sajalah.
    surat At-Tahrim justru menunjukkan penjagaan Allah / tarbiyah-Nya kepada istri-istri Nabi, lebih tepat adalah insiden Jamal bukan perang Jamal, karena memang tidak ada niat dari Aisyah maupun Ali untuk saling berperang, tetap tinggal di rumah memang benar tetapi tentunya bukan berarti tidak boleh keluar rumah sama sekali. tentang istri Nabi Nuh maupun Luth, bukankah di atas sudah saya sampaikan, dengan tarbiyah Allah terhadap ahlul bait Nabi, dimaksudkan untuk memuliakan beliau melebihi segenap para Nabi dan menutup celah bagi para pencela, jadi mohon jangan disamakan. jika anda punya keyakinan lain terhadap kemulian Nabi Muhammad atau anda menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW sederajat dg Nabi lain ya silahkan, kalau saya tidak.

    anda mengatakan :

    “kalau memang pandangan anda benar maka seharusnya Allah SWT menggunakan kata “kum” bukan “kunna”. contohnya nih, Allah SWT berkata وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ yang artinya dan hendaklah kamu tetap di rumahmu. Bukankah rumahnya istri-istri Nabi SAW adalah rumah Nabi SAW juga bukankah Nabi SAW sebagai Sayyidul bait bukankah istri-istri Nabi SAW menurut anda tidak bisa dipisahkan dari Nabi SAW lantas mengapa Allah SWT menggunakan kata kunna, jika menuruti logika anda itu maka seharusnya Allah SWT menggunakan kata “buyutikum” bukan “buyutikunna”. Inilah yang kita permasalhkan dari awal, saya menangkap semua argumen versi alafanarku dan versi anda itu terkesan basa basi dan gak sesuai dengan lafal ayatnya.”

    Mas, saya tidak pernah mengingkari bahwa ayat-ayat sebelumnya adalah perintah dan larangan untuk istri-istri Nabi, tetapi begitu menyinggung term pembersihan dan ahlul bait, Nabi diikutkan karena perintah dan larangan terhadap istri nabi
    dimaksudkan untuk membersihkan mereka yg pada akhirnya membersihkan Nabi sebagai suami/sayyidul bait mereka. silahkan jika anda menganggap kami berbasa basi, tetapi kami tidak pernah merasa spt itu.

    anda mengatakan :

    “kalau anda hanya baca terjemah saja ya klop tetapi jika anda membaca bahasa arabnya maka akan muncul kerancuan dan kerancuan ini adalah perubahan kata ganti yang ternyata dijelaskan dalam hadis-hadis shahih bahwa “kum” disana merujuk pada ahlul kisa’ bukan istri-istri Nabi SAW.”

    lho kita baca kan dua bahasa, arab dan terjemahan, dan tidak ada yang rancu saya rasa, semua sudah ada penjelasannya.

    anda mengatakan :

    “Apa sih kriteria shahih atau tidaknya versi anda ini. Apakah shahih itu adalah apa yang dikatakan ulama anda shahih? Apakah tidak shahih itu jika ulama anda mengatakan tidak shahih?. Ataukah shahih tidaknya tergantung dengan metode ulumul hadis. Silakan saja anda lihat hadis-hadis yang saya bawakan di atas. Itu lebih dari cukup bagi mereka yang memang mau berpegang teguh pada Sunnah. Kalau anda bisa seenaknya bilang tidak shahih maka orang lain bisa seenaknya mengatakan semua keyakinan anda tidak shahih pula. So kita tidak perlu diskusi kalau memang posisinya sudah main klaim, saya telah memaparkan berbagai riwayat di atas dan membuktikan keshahihannya maka bagi anda yang mengatakan tidak shahih silakan tunjukkan hujjah anda dlm perkara ini, dimana letak tidak shahihnya hadis-hadis yang saya bawa di atas.”

    silahkan anda mentakhrij hadits2 di atas sesuai dg versi anda, tetapi jelas banyak yg mendhaifkan hadits2 di atas dari kalangan ulama hadits terdahulu. jadi saya lebih memilih mengikuti mereka yg sudah jelas kredibilitasnya.

    anda mengatakan :

    “Dalam perkara ini justru pendapat yang menyatakan Al Ahzab 33 untuk istri-istri Nabi SAW dan ahlul kisa’ tidak memiliki dalil satupun untuk menopang pendapat mereka. Tidak ada dalil shahih yang menunjukkan kalau ayat tersebut turun untuk istri Nabi SAW dan ahlul kisa’ justru dalil yang shahih menunjukkan kalau ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’.”

    justru saya melihat begitu banyak dalil penopang bahwa istri-istri Nabi termasuk yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut. bertebaran di sana sini malahan. sedangkan hadits kisa’ yg shahih tidak terlihat mengkhususkan bahwa ahlul bait itu mereka saja.

    terakhir, mengenai syi’ah, tidak ada kompromi buat mereka, dengan paham mereka yang menghina para sahabat dan istri-istri Nabi SAW yang telah mengantarkan agama ini sampai ke kita, yang riwayat2 mereka sering anda tampilkan di blog ini, sungguh sangat menyakitkan kita dan kaum muslimin seluruhnya. maka jika mereka berhenti dari itu, tentunya kita pun akan berhenti melawan mereka.

  64. tambahan

    وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفاً خَبِيراً
    34. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. 33:34)

    dan ayat2 sebelumnya termasuk ayat Thathir (QS 33:33) turun di rumah istri-istri Nabi, jika mereka bukan yang dimaksud ayat tsb, tentunya Allah tidak perlu mengingatkan mereka mengenai ayat-ayat itu.

  65. Istri2 Nabi termasuk Ahlulbait yang disucikan, Kaluarga Ali termasuk yang disucikan! Lalu bagaimana dengan peristiwa perang jamal Istri Nabi memerangi Ali.as??????

    Ahlubait vs Ahlulbait ???????

    Orang Suci vs Orang Suci ??????

    Apakah Allah telah gagal dalam mensucikan mereka???? Naudzubillah tsumma naudzubillah…!!!!

    Yang pasti berdasarkan ayat, hadis, dan fakta sejarah Allah dan Rasul-Nya benar bahwa Keluarga Ali lah yang suci, mereka tidak berbuat dosa sepaninggalan Nabi.saw sampai mereka wafat. Seorang Istri Nabi dan beberapa sahabat benar2 menyimpang setelah wafat Nabi, mudah mudahan taubat mereka diterima Allah (itupun kalau mereka bertaubat).

    Dalam hal ini Syiah benar dan dalil2 Kitab Sunni pun mendukungnya.

  66. @edi

    lho memang menurut banyak riwayat, Rumah Nabi dan istri-istrinya itu dalam satu area dekat Masjid Nabawi, Ketika beliau berada di Madinah, beliau pertama kali membangun tempat Ibadah, baru kemudian beliau membagun dua rumah sederhana. Kedua rumah itu diperuntukan istri termuda (Aisyah r.a) dan istri tetua (Saudah Binti Zam’ah). Sedangkan istri-istri lain, mereka dibuatkan kamar-kamar (Hujurat) khusus.

    silakan tuh dibawa riwayat yang mau anda jadikan hujjah, tentu jika valid saya tidak akan keberatan menerimanya. lgipula yang kita diskusikan bukan soal ini.

    Jumlah kamar-kamar (hujurat/rumah), sesuai dengan jumlah istrinya yaitu sembilan, kalau ayat tsb turun di rumah Ummu Salamah, ya artinya turun di rumah istri-istri Nabi juga,

    wah ayat tersebut berdasarkan hadisnya turun di rumah Ummu Salamah dan ketika itu Rasul SAW malah memanggil ahlul kisa’ danmencegah Ummu Salamah untuk ikut masuk sebagai ahlul bait. Nah disinilah seharusnya yang menjadi fokus diskusi. Kalau ayat tersebut turun untuk Ummu Salamah maka mengapa Ummu Salamah tidak merasa begitu bahkan ia sendiri dicegah oleh Nabi SAW untuk ikut masuk sebagai ahlul bait. Ditambah lagi mengapa Rasul SAW tidk memanggil istri-istri beliau yang lain dan menyampaikan ayat tersebut untuk mereka. Ingat ayat yang kita bicarakan ini hanya dimulai dari kata “innama”.

    bukankah ayat selanjutnya Allah mengingatkan kembali tentang ayat-ayat yang turun di rumah-rumah mereka, kalau memang ayat tersebut bukan untuk mereka tentunya Allah tidak mengingatkan mereka tentang ayat yg turun di rumah mereka.

    Silakan tuh perhatikan kata ganti di ayat selanjutnya. Allah SWT menggunakan kata “kunna”. Jadi tentu yang dimaksud ayat-ayat untuk istri-istri Nabi adalah ayat sebelumnya yang menggunakan kata “kunna” sedangkan ayat tathir itu untuk ahlul kisa’ 🙂

    silahkan dibaca ayat berikut :
    buyutannabiyyi artinya rumah-rumah nabi yg dihuni oleh beliau dan istri-istri beliau, maka mereka-lah yang dimaksud ahlul bait itu.

    Kalau begitu maka anda tolong perhatikan dengan baik disitu digunakan kata “buyutannabiyyi”. nah sekarang saya tanya mengapa di Al Ahzab 32 dan 34 justru digunakan kata buyutikunna, bukannya buyutannabiyy. Bukankah ini menunjukkan kalau ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi saja dan bukan untuk Nabi :mrgreen:

    sedangkan Fatimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum tinggal di rumah Ali bin Abi Thalib ra yang terpisah dengan Nabi. dan asbabun nuzulnya adalah hadits riwayat bukhari di atas. (alhamdulillah tulisan alfanarku telah membuat saya paham)

    Kata Ahlul Bait itu memiliki banyak pengertian. Ia bisa berarti penghuni rumah, bisa juga keluarga secara nasab, bisa juga keluarga melakui ikatan perkawinan. oleh karena itu silakan tentukan dulu apa makna ahlul bait dalam ayat tersebut. Jika melihat hadis asbabun nuzulnya maka sudah jelas ahlul bait yang dimaksud adalah bermakna ahlul bait secara nasab bukan penghuni rumah karena Ummu Salamah sendiri si penghuni rumah tidak ikut masuk dalam ayat tersebut.

    sedangkan syubhat anda sudah dijawab oleh alfanarku, kalau memang ayat itu untuk ahlul kisa’, mengapa Nabi masih meminta kepada Allah atau mendo’akan untuk mereka? dll.

    Kayaknya yang membuat syubhat adalah si alfanarku. sekarang saya tanya kalau lafaz yang anda katakan doa itu tidak ada maka bagaimana bisa orang-orang tahu kalau ahlul kisa’ adalah pribadi yang dimaksud dalam ayat tersebut. lafaz itu justru menunjukkan kepada siapapun yang mendengarnya kalau ayat tersebut adalah untuk mereka. btw silakan deh anda lihat pernyataan saudara Badari di atas

    Mungkin bisa kita ambil pelajaran dari ayat “Inna Allaha wa malaikatahu yushalluna ‘ala Al-Nabiyy” (Sesungguhnya Allah para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi [Muhammad]).
    Lalu, dari hadis, Nabi Muhammad saw. mengajari kita membaca “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad” (Ya Allah, sampaikanlah shalawat atas Nabi Muhammad & keluarganya).
    Apakah kita akan berkomentar, “Yg logis kan beliau SAW mestinya mengajari kita kalimat “Mahasuci Allah yg telah bershalawat atas Nabi Muhammad.”?
    Ah, ada-ada aja.

    Tentu saja dengan logika alfanarku itu maka anda atau dia patut bertanya kepada Nabi SAW mengapa nabi SAW mengajarkan kita shalawat Ya Allah, sampaikanlah shalawat atas Nabi Muhammad padahal dalam Al Qur’an sendiri Allah SWT telah bershalawat kepada Nabi SAW. Mengapa masih dipinta kalau memang sudah terjadi, begitu kan logika anda atau alfanarku. Jadi saran saya jangan merasa cara berpikir anda atau alfanarku itu sudah benar, silakan diperhatikan dulu jawaban orang lain.

    Mas, Nabi diikutkan ketika menyinggung term penyucian dan ahlul bait,

    kalau anda berpegang pada urutan ayat maka term penyucian itu berkaitan dengan perintah dan larangan pada ayat sebelumnya. Jadi penyucian itu dimaksudkan untuk istri-istri nabi jika mereka melakukan perintah yang dimaksud, itu kalau anda berpegang pada urutan ayat.

    maksudnya hasil dari perintah dan larangan terhadap istri-istri (ahlul bait) beliau pada akhirnya disamping dirasakan oleh istri-istri beliau akan dirasakan juga oleh beliau sebagai sayyidul bait, jadi saya merasa tidak ada yang keliru dengan persepsi saya

    Anda belum menjawab apa yang membuat saya bingung dari pernyataan anda sebelumnya. contohnya adalah Aisyah RA pada insiden Jamal itu “tidak tetap di rumah” bukankah itu sudah bertentangan dengan ayat tersebut. maka tolong dijawab dulu dengan baik apakah tindakan Aisyah RA yang bertentangan dengan ayat tersebut menodai kesucian Nabi SAW?

    ayat itu diawali dengan “wahai istri-istri Nabi”, juga “kalian tidaklah sama dengan wanita-wanita lain” bukankah ini sangat jelas ada sangkut pautnya dg Nabi?

    Maaf Mas anda tidak mengerti kata-kata saya. saya mengatakan apakah setiap ayat yang turun untuk istri Nabi SAW maka otomatis itu juga untuk Nabi SAW?. tidak ada gunanya anda menggunakan kata “sangkut paut” sudah jelas Nabi ada sangkut pautnya dengan istri Nabi SAW.

    bukankah sudah dijawab oleh alfanarku dan di atas sudah saya tambahi mengapa berkaitan deb Nabi?

    Bukankah saya sudah menjawab baik hujjah anda maupun alfanarku, wah apalah artinya kata-kata seperti ini 🙄

    tetapi ayat di atas menyinggung istri-istri Nabi Mas, bukan keluarga yang lain, jadi case by case sajalah.

    Satu hal yang harus anda ingat, ayat yang kita bicarakan itu dimulai dari kata “innama” gak ada tuh bunyi istri-istri Nabi di ayat tersebut. kemudian anda juga tidak menjawab pertanyaan saya. kalau memang ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah secara berurutan maka mengapa Ummu Salamah memenggal ayat tersebut. mengapa ia tidak mengatakan bahwa ayat yang turun dimulai dari kata “hai istri-istri nabi” sampai akhir ayat?. Mana mungkin Ummu Salamah memotong ayat tersebut kecuali ayat tersebut memang turun terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya 🙂

    surat At-Tahrim justru menunjukkan penjagaan Allah / tarbiyah-Nya kepada istri-istri Nabi,

    Anda tidak menjawab pertanyaan saya. surat At Tahrim membuktikan bahwa para istri Nabi SAW bisa juga berbuat salah dan apakah kesalahan mereka itu menodai kesucian Nabi SAW? Adakah dalam surat At Tahrim kata-kata kalau mereka telah menodai kesucian Nabi SAW? itulah yang harus anda jawab.

    lebih tepat adalah insiden Jamal bukan perang Jamal, karena memang tidak ada niat dari Aisyah maupun Ali untuk saling berperang, tetap tinggal di rumah memang benar tetapi tentunya bukan berarti tidak boleh keluar rumah sama sekali.

    Lagi-lagi anda tidak menjawab pertanyaan saya. Apakah ketika Aisyah melanggar perintah “tetap di rumah” maka itu menodai kesucian Nabi SAW? silakan dijawab dulu. btw yang saya bingung dari pernyataan anda adalah “tetap tinggal di rumah” bukan berarti tidak boleh keluar rumah sama sekali”. Maksudnya apa, jadi tetap boleh keluar rumah?. wah saya malah bingung, semakin anda banyak bicara kok semakin banyak muncul pertanyaan

    tentang istri Nabi Nuh maupun Luth, bukankah di atas sudah saya sampaikan, dengan tarbiyah Allah terhadap ahlul bait Nabi, dimaksudkan untuk memuliakan beliau melebihi segenap para Nabi dan menutup celah bagi para pencela,

    Anda silakan menjawab dulu pertanyaan saya, apakah ketika istri nabi Nuh dan Nabi Luth AS menyimpang dari kebenaran maka itu telah menodai kesucian Nabi Nuh dan Nabi Luth? silakan dijawab dulu. Kalau kemuliaan Nabi Muhammad SAW di atas para Nabi yang lain, maka hal itu tidak usah dipermasalahkan. yang kita bicarakan adalah premis anda itu bahwa jika istri Nabi melanggar perintah Allah SWT maka itu menodai kesucian Nabi.

    jadi mohon jangan disamakan. jika anda punya keyakinan lain terhadap kemulian Nabi Muhammad atau anda menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW sederajat dg Nabi lain ya silahkan, kalau saya tidak.

    anda tidak perlu berbasa-basi, silakan jawab dulu pertanyaan yang sudah saya ajukan sebelumnya kepada anda bukannya malah berkelit mengalihkannya kepada hal-hal lain yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan

    Mas, saya tidak pernah mengingkari bahwa ayat-ayat sebelumnya adalah perintah dan larangan untuk istri-istri Nabi, tetapi begitu menyinggung term pembersihan dan ahlul bait, Nabi diikutkan karena perintah dan larangan terhadap istri nabi
    dimaksudkan untuk membersihkan mereka yg pada akhirnya membersihkan Nabi sebagai suami/sayyidul bait mereka.

    Nah disinilah poinnya, dan membuat saya bingung karena anda ingin menyatakan kalau kesucian dan kebersihan Nabi SAW tergantung dengan apakah istri Beliau SAW taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang sedang dibahas dan silakan dijawab dulu kebingungan yang muncul dari pernyataan anda ini. Apakah jika istri Nabi SAW melanggar perintah Allah SWT atau melanggar perintah Rasul SAW maka itu menodai kesucian Nabi SAW atau Nabi SAW menjadi tidak bersih? 🙄

    silahkan jika anda menganggap kami berbasa basi, tetapi kami tidak pernah merasa spt itu.

    Buktikan saja kalau anda tidak berbasa-basi, silakan dijawab pertanyaan saya dengan fokus.

    lho kita baca kan dua bahasa, arab dan terjemahan, dan tidak ada yang rancu saya rasa, semua sudah ada penjelasannya.

    Betulkah, terus apakah anda paham. saya tanya makna kata “innama” itu apa, bukankah kata itu bermakna “hashr”. terus makna “yuthahhirakum tathiira” bermakna apa?. btw kalau anda tidak merasa rancu ya silakan saja

    silahkan anda mentakhrij hadits2 di atas sesuai dg versi anda,

    versi saya? wah wah Mas kayaknya saya melakukan yang sesuai dengan metode Ulumul hadis, kalau anda tidak tahu lagi-lagi bukan salah saya.

    tetapi jelas banyak yg mendhaifkan hadits2 di atas dari kalangan ulama hadits terdahulu.

    Tunjukkan, silakan tunjukkan ulama hadis terdahulu yang mendhaifkan hadis di atas. Buktikan kalau anda gak asal bicara 🙂

    jadi saya lebih memilih mengikuti mereka yg sudah jelas kredibilitasnya.

    Maaf ya, ini yang saya sebut argumen basa basi. silakan anda lihat kembali tulisan saya. Disana bahkan saya mengutip kalau Al hafizh Ibnu Asakir menshahihkan hadis yang mengkhususkn ayat tersebut turun untuk ahlul kisa’. begitu pula dengan Al Hakim dan sekedar info buat anda Abu ja’far At Thahawi dalam Musykil Al Atsar telah berhujjah dengan hadis-hadis di atas dan menyatakan kalau ayat tathir tersebut turun untuk ahlul kisa’. Jadi tidak ada gunanya berbasa basi. Bukankah sebelumnya anda berkata riwayat tersebut tidak shahih kalau begitu silakan tunjukkan dalil atau hujjah anda.

    justru saya melihat begitu banyak dalil penopang bahwa istri-istri Nabi termasuk yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut. bertebaran di sana sini malahan. sedangkan hadits kisa’ yg shahih tidak terlihat mengkhususkan bahwa ahlul bait itu mereka saja.

    wah mana tuh, buktikan deh apa yang anda lihat “banyak dalil” buknkah sudah saya katakan tidak ada gunanya pengakuan. silakan bawakan buktinya dan itulah yang kita bahas. Jika tidak maka tidak ada gunanya diskusi 🙂

    terakhir, mengenai syi’ah, tidak ada kompromi buat mereka, dengan paham mereka yang menghina para sahabat dan istri-istri Nabi SAW yang telah mengantarkan agama ini sampai ke kita, yang riwayat2 mereka sering anda tampilkan di blog ini,

    silakan saja, kalau anda mau memfitnah syiah dan pengikutnya itu bukan urusan saya.

    sungguh sangat menyakitkan kita dan kaum muslimin seluruhnya. maka jika mereka berhenti dari itu, tentunya kita pun akan berhenti melawan mereka.

    Pernah memandng diri anda atau pengikut mahzab anda. pernahkah anda mendengar bahwa anda atau mahzab anda dikatakan sebagai orang yang membela dan memuliakan mereka yang memerangi dan menyakiti ahlul bait. anda merasa tidak terima? lha sama, mereka juga begitu tidak terima tuh dengan tuduhan anda?. saya sering bertemu dengan penganut Syiah dan maaf saya tidak seperti anda atau mahzab anda yang akan mengatakan Syiah menghina para sahabat dan istri Nabi SAW, saya juga tidak seperti anda atau mahzab anda yang mengatakan syiah menyakiti kaum muslimin. Yang saya tahu, mereka sangat mencintai ahlul bait Nabi dan mereka tidak suka kepada sahabat yang menyakiti ahlul bait Nabi dan diantara sahabat yang dimaksud itu menjadi kebanggaan anda dan mahzab anda. Jadi ya kalau anda tidak bisa mengerti mereka, maka mereka pun tidak akan bisa mengerti anda atau mahzab anda. kalau anda merasa membela islam maka mereka pun juga merasa membela islam. jadilah seperti yang saya bilang “hanya saling rasa-merasa”. gunakan kepala dingin, bicara dengan fakta dan bukti, bersikap objektif dan tidak perlu tuduh menuduh. simpan tuduhan itu didalam hati dan berdiskusilah dengan mengajukan bukti dan fakta atau argumen yang valid.Jika tidak mau diskusi ya sudah, diam lebih baik 🙂

  67. @edi

    Nih saya tampilkan tanya jawab antara ulama Syi’ah dengan penanya. Silahkan mas SP dan yg Teman2 yg lain untuk mengkritisinya.

    Pertanyaan :

    Bagaimana pandangan ulama Syi’ah ihwal hadis Kisa dan silsilah sanadnya? Bagaimana penjelasan mengenai ungkapan-ungkapan aneh yang disebutkan di akhir hadis tersebut?

    Jawaban :

    Dalam menjawab pertanyaan ini, pertama perlu diperjelas maksud dari “hadis kisa” itu. Apakah maksudnya itu sesuai denga apa yang dinukil dalam sumber-sumber utama Ahlusunnah dan Syi’ah yang menyatakan bahwa hadis Kisa merupakan sebab-sebab turunnya ayat tathhir dan berkumpulnya 5 orang di bawah kain Kisa dan penjelasan asli peristiwa Kisa, atau yang dimaksudkan adalah suatu hadis yang disebutkan pada sebagian kitab-kitab seperti: “al-Muntakhâb”[1] dan “’Awâlim al-‘Ulûm”[2] dan “Muntahal Âmâl”[3]dan “Mafâtîh al-Jinân” [4] dan lain-lain itu sebagai “hadis kisa”?

    Dari ungkapan-ungkapan sang penanya, dapat dipahami bahwa kebanyakan maksud dari hadis kisa adalah suatu hadis yang dijelaskan dalam kitab Mafâtîh al-Jinân dan lain-lain yang dinukil dari Fatimah al-Zahra As. Bagaimanapun juga di sini kita akan menjawab kedua kemungkinan pertanyaan di atas.

    1. Hadis kisa dalam sumber-sumber Ahlusunnah dan Syi’ah:

    Peristiwa kisa yang terjadi ketika pada proses turunnya ayat tathhir: “innamaa yuriidullaahu liyudzhiba ‘ankumurrijsa ahlalbait wayuthahhirakum tathhiira”[5] merupakan suatu hal yang pasti dan tidak bisa dipungkiri lagi kebenarannya. Kejadian ini banyak dinukil dalam teks-teks dan hadis-hadis dari Ahlusunnah (para sahabat dan tabi’in) dan Syi’ah (para Imam Ma’sum As), yang menjelaskan ketinggian maqam dan kesucian Ashâb al-kisa. Peristiwa ini sedemikian mutawatir sehingga para ahli hadis Ahlusunnah dan Syi’ah menukilnya dan banyak bukti-bukti serta indikasi dalam sejarah yang mendukung hal ini.

    Dengan itu, hari dimana peritiwa ini terjadi itu disebut sebagai “hari kisa” dan 5 orang yang mana pada hari itu mendapat limpahan rahmat khusus Allah Swt dengan turunnya ayat itu, dikenal dan populer dengan sebutan “Ashâbul Kisa” .[6] Ashâbul (dan ahli) kisa di antaranya adalah: Rasulullah Saw, Imam Ali As, Fatimah As, Imam Hasan As, Imam Husein As.

    Riwayat-riwayat yang ada kaitannya dengan hal ini, tidaklah sama dan terdapat perbedaan-perbedaan dalam isi dan lafaz-lafaznya. Sebagian darinya menjelaskan inti dari peristiwa itu, tapi tidak menyebutkan tipologinya. Sebagiannya juga menjelaskan bagian-bagian dan pelbagai tipologi peristiwa itu, namun setiap dari penjelasan itu punya titik tekan dan sudut pandang yang berbeda-beda.

    Dengan alasan ini, perbincangan tentang ayat tathir, penafsiran dan pengkajian tentang hadis-hadis yang terkait dengannya dan bahwa apakah ayat tersebut khusus ditujukan kepada Ahlulbait As dan Ashâbul Kisa itu di luar kajian kita kali ini dan barangkali dengan merujuk ke kitab-kitab yang ditulis khusus tentang hal ini dan juga tafsir-tafsir dan kitab-kitab hadis, dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan bagi para pembaca.[7]

    Saya kira cukup dengan menyebutkan hal ini bahwa salah seorang ilmuan menyusun sebuah kitab tentang seputar ayat tathhir dimana pada jilid pertama buku tersebut, ia menjelaskan tentang matan-matan hadis serta sejumlah sahabat-sahabat yang menukilkan hadis tersebut, ia menyebutkan sekitar lebih dari 50 orang.[8]

    Jumlah riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ayat tathhir itu lebih dari 70 hadis.[9] Qunduzi (Hanafi), setelah menukil hal-hal seputar “mawadda fil qurba” mengatakan Rasulullah Saw, setelah turunnya ayat “wa’mur ahlaka bish shalaati wash thabir ‘alaiha”, selama 9 bulan selalu datang ke depan pintu rumah Fatimah As dan membaca:”innamaa yuriidullaahu liyudzhiba ‘ankumurrijsa ahlalbait wayuthahhirakum tathhiira”, ia (Qunduzi) berkata seperti ini: “berita ini dinukil dari sekitar 300 sahabat”.

    Layak disebutkan di sini bahwa terdapat orang yang berusaha mengingkari mayoritas riwayat-riwayat terkait dengan keutamaan-keutamaan Ahlulbait As namun mengakui kesahihan hadis kisa dan berkata: “Adapun hadis kisa ini adalah sahih dan benar”.[10]

    Dengan meneliti dan memeriksa sanad hadis-hadis yang terkait dengan ayat tathhir dan peristiwa kisa, maka akan ditemukan lebih dari 30 orang sahabat. Sebagian diantaranya adalah: “Imam Ali As, Imam Hasan As, Imam Ali bin Husein As, Imam Shadiq As, Imam Ridha As, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ja’far Thayyar, Buraidah al-Aslami, Abdullah bin Umar, ‘Imran bin Hashin, Salamah bin al Ukuu’, Abu Sa’id al Khudri, Anas bin Malik, Abu Dzar, Abu Laili, Abul Aswad Duali, ‘Amru bin Maimun Awda, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ummu Salamah, Aisyah, Umar bin Abi Salamah, Abul Hamra, Zaenab binti Abi Salamah, ‘Amir bin Sa’ad, al Barra’ bin ‘Azib, Watsilah bin al Asqa’ (al Ashqa’), Tsauban (pembantu Nabi Saw), ‘Atha bin Sayyar, Abu Hurairah dan lain-lain…” [11]

    Tentunya sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa bisa saja ditemukan dan disaksikan perbedaan-perbedaan pada lafaz riwayat-riwayat dan syarat-syarat, tempat, waktu peristiwa kisa dan turunnya ayat tathhir, namun tak ada keraguan sedikit pun akan substansi hadis kisa. Adapun mengenai apa rahasia yang terkandung pada adanya perbedaan tersebut, itu merupakan tema penting dan terpisah dari kajian kita kali ini dan tidak begitu penting untuk menjelaskannya d isini secara detil, namun singkatnya dapat dikatakan bahwa peristiwa kisa terjadi di rumah Ummu Salamah, kendati sebagian mengatakan bahwa hal itu terjadi di rumah istri lain Nabi saw. Dan hal ini tidak hanya sebagai bukti kelemahan, bahkan ia menjadi saksi-saksi dan indikasi lain bahwa ada orang lain, seperti Aisyah dan Zaenab yang juga menjadi saksi peristiwa ini, meskipun dimana terjadinya peristiwa ini di rumah Ummu Salamah, sebagai bukti dan tanda akan pribadi dan maqam wanita mulia tersebut.[12]

    Bahkan sebagian menganggap lebih kuat pandangan yang menyatakan bahwa kemungkinan peristiwa itu terjadi di rumah Fatimah As.[13] Sebagian ahli hadis memberikan kemungkinan akan berulang-ulangnya peristiwa ini dimana pandangan ini tidak begitu dianggap sahih dan valid[14] dan dapat dikatakan: Pokok peristiwa ini terjadi di rumah Ummu Salamah dan ayat tathhir pun turun di sana, namun kemudian Rasulullah Saw mengulang-ulang kisah tersebut pada beberapa tempat sehingga hal itu menjadi sangat jelas dan menerangkan obyek luaran (misdaq) Ahlulbait As itu guna nantinya tidak ada lagi yang mencoba mengatakan bahwa istri-istri Nabi Saw itu adalah obyek luaran dari Ahlulbait itu atau mengatakan bahwa kisah tersebut merupakan perkara yang biasa-biasa saja,[15] atau pada peristiwa kisa, sekelompok dari keluarga dan pembantu serta sahabat khusus Nabi Saw, menjadi saksi dan melihat peristiwa kisa tersebut serta mereka menukilkannya, seperti: Imam Ali As, Imam Hasan As, Ummu Salamah, Aisyah, Zaenab binti Ummu Salamah, Tsauban (hamba yang dimerdekakan Rasulullah Saw), Watsilah bin Asqa’.[16] (dengan asumsi semua sanad hadist itu sahih).

    Jadi bahwa setelah ayat tathhir turun di rumah Ummu Salamah, Rasulullah Saw memanggil Imam Ali As, Fatimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As ke dekatnya dan sebuah pakaian yang beliau gunakan itu dihamparkan serta diselimutkan di atas kepala mereka dan beliau Saw berdoa:”ya Allah, mereka ini adalah Ahlulbait-ku, hilangkanlah segala kotoran dari mereka serta sucikanlah diri mereka”, tak ada keraguan dan syubhat di kalangan ulama syi’ah dan secara yakin bahwa Ummu Salamah dan lain-lain kendati memiliki manzilah dan maqam, tapi ia tidak termasuk bagian dari Ahlulbait As dan juga tidak termasuk orang-orang yang berada di bawah kain kisa tersebut.[17]

    2. Hadis Kisa riwayat dari Fatimah al-Zahra

    Dari bagian pertama tulisan ini, ditarik sebuah kesimpulan seperti ini bahwa hadis kisa, sesuai dengan yang disepakati oleh Syi’ah dan Ahlusunnah, merupakan perkara yang pasti dan jelas dan tak ada sedikit pun keraguan dan syubhat pada sanad dan matan hadis. Namun hadis yang diberi nama “hadis Kisa” yang dinukil dari putri Rasulullah Saw dan pemimpin wanita dunia, Hadrat Fatimah As dicantumkan pada beberapa kitab. Misalnya pada kitab “Mafâtîh al-Jinân” –nya Muhaddits Qumi, dimana hadis ini dicantumkan di akhir kitab.[18] Namun dicantumkannya hadis ini dalam kitab “Mafâtîh al-Jinân” tidak menjadi dalil akan kesahihan dan kebenaran hadis ini di mata ulama Syi’ah, bahkan tidak pada Muhaddits Qumi.

    Dari sini dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan “hadis kisa” yang dinukil dari Hadrat Fatimah As itu tidak bisa dianggap memiliki sanad yang valid dan tidak bisa dijadikan sandaran, karena:

    A. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhaddits Qumi, mungkin orang pertama yang menukil hadis ini tanpa menyebutkan sanadnya adalah Syekh Tharihi dalam kitab “al Muntakhab”,[19] dimana ia adalah salah seorang ulama yang hidup pada abad 11 hijriyah dan selama 1000 tahun dan seterusnya tidak ada berita tentang hadis seperti ini. Sebagaimana Muhaddits Qumi mengisyarahkan hal ini. Beliau mengatakan:”sebuah hadis yang bentuknya seperti ini yang ada pada masa kami serta populer dengan sebutan “hadis kisa” , tidak ditemukan pada kitab-kitab hadis muktabar dan atau pokok-pokok hadis serta kumpulan-kumpulan hadis valid para ulama hadis manapun dan bisa kita anggap bahwa itu merupakan salah satu kekhususan kitab “al-Muntakhâb”.[20]

    B. Kendati bahwa hadis kisa dalam kitab al-Muntakhâb disebutkan tanpa sanad, pada penukilan yang ada pada catatan pinggir kitab ‘Awalimul ‘Ulûm itu disebutkan dengan sanadnya,[21] ”Saya melihat dengan khat/tulisan Syaikh al-Jalil al-Sayyid Hasyim, dari Syaikh-nya al-Sayyid Majid al-Buhrani, dari…, dari Ali bin Ibrahim, dari bapak-nya Ibrahim bin Hasyim, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashrul Bazanthi, dari Qasim bin Yahya al-Jala al-Kufi, dari Jabir bin Abdullah al Anshari, dari Fatimah As binti Rasulullah Saw, berkata: Saya mendengar Fatimah As, sesungguhnya ia berkata: telah masuk kepada-ku Rasulullah Saw, lalu berkata: Assalaamu ‘alaiki yaa Fatimah As…”

    C. Namun dengan asumsi bahwa Syaikh Abdullah bin Nurullah Buhrani menulis sanad ini pada catatan pinggir kitab ‘Awâlim al-‘Ulûm, dengan landasan dan barometer apa dia memastikan bahwa apa yang beliau saksikan itu adalah khat atau tulisan Sayid Hasyim Buhrani? Kedua bahwa sanadnya (dari sisi sebagian perawinya, seperti Qasim bin Yahya dan lain-lain) memiliki masalah dan tidak dianggap valid. Ketiga bahwa dengan ini Sayid Hasyim Buhrani, dalam dua kitanya yang bernama Tafsir al Burhân dan Ghâyat al-Marâm, punya perhatian khusus dalam mengumpulkan hadis-hadis (bukan pen-sahihan hadis) lalu mengapa ia tidak mencantumkan dalil-dalil hadis ini? Keempat bahwa para ulama besar hadis, seperti Kulaini, Syaikh Thusi, Syaikh Mufid dan lain-lain ada dalam silsilah sanad hadis tersebut, namun tak ada seorang pun dari mereka menyebutkan hadis ini dalam kitab-kitabnya!

    D. Tak ada satu pun dari sumber-sumber hadis Ahlusunnah dan Syi’ah seperti kitab “Bihâr al-Anwâr” dan lain-lain, yang menukil hadis dan menyebutkan hadis ini.

    E. Dengan memperhatikan pandangan Muhaddits Qumi tentang hadis ini dalam Muntahâ al-Âmâl, dari satu sisi dan ucapannya pada mukaddimah lampiran-lampiran Mafâtih al-Jinân dimana ia merasa khawatir akan bertambah dan berkurangnya sebagian ziarah dan doa dalam kitabnya, dan kedudukan dan maqam yang dimiliki kitab ini di tengah-tengah umat manusia, dari sisi lain, dan pengumpulan materi-materi dan permasalahan-permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, mungkin dapat dikatakan bahwa hadis kisa dengan tema “hadis kisa dengan sanad sahih dari kitab ‘Awâlim al-‘Ulûm” adalah merupakan tambahan-tambahan yang dilakukan pasca wafatnya (Muhaddits Qumi) ke dalam kitab Mafâtih al-Jinân, atau lain-lainnya.[22]

    Kesimpulannya, hadis yang ada dalam beberapa kitab yang dinisbahkan kepada Fatimah As, tidak dapat dianggap muktabar dan valid, lebih khususnya lagi matan hadis tersebut berbeda dengan matan hadis-hadis yang dianggap muktabar dan valid.

    Adapun terkait dengan keanehan ungkapan-ungkapan dan subjek-subjek matan hadis, dapat dikatakan bahwa dengan menutup mata dari sebagian poin-poin dan catatan, apa yang ada dan disebutkan dalam hadis ini tentang maqam Ahlulbait As, juga telah dijelaskan dalam riwayat-riwayat (Ahlusunnah dan Syi’ah) dan bahkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

    Maqam nurani dan Ilahi mereka merupakan maqam-maqam menjulang yang dapat ditelusuri dengan merujuk kitab-kitab hadis dan riwayat.[23] Di sini kita hanya akan mencukupkan diri dengan menyebutkan sebagian dari sebuah riwayat dimana dikenal dengan sebutan “hadis ma’rifatii binnuuraaniyah” dari Imam Ali As.

    Abu Dzar al-Giffari bertanya kepada Salman al-Farisi (semoga Allah Swt meridhai keduanya): Qahai Abu Abdillah (panggilan Salman) apa maksud dari makrifat Imam Ali As terhadap nuraniyat? Salman berkata: Wahai Jundab (nama Abu Dzar) mari kita pergi untuk menanyakan langsung hal ini kepadanya (Imam Ali As). Lalu kami pun tiba di rumah Imam Ali As, namun beliau tidak ada. Abu Dzar berkata: Kita tunggu saja beliau sampai datang. Imam Ali As datang dan bertanya: Ada urusan apa sehingga kalian datang ke sini? Abu Dzar dan Salman berkata: Wahai Baginda, kami datang kepada Anda untuk menanyakan tentang makrifat Anda terhadap nuraniyat, Imam Ali As berkata: Sungguh luar biasa kalian berdua ini adalah sahabat yang siap berkorban untuk agama kalian dimana kalian tidak pernah mengabaikan…makrifatku terhadap nuraniyat adalah makrifat Allah Swt dan itu adalah agama ketulusan dan suci dimana…, barangsiapa menegakkan wilayah-ku maka ia telah menegakkan shalat,…janganlah kalian memposisikan kami sebagai tuhan-tuhan dan selain itu kalian boleh mengungkapkan keutamaan kami sekehendak kalian. Kalian tidak akan pernah sampai ke puncak hakikat yang ada pada kami,…akulah washi terakhir, akulah “Shirathal Mustaqim”, akulah “Nabaun ‘Azhim…”…[24] []

    [1]. Penulis buku ini adalah Syekh Fakhruddin, Muhammad bin Ali bin Ahmad, popular dengan sebutan “Syekh Tharihi”. Lahir di Najaf dan wafat pada tahun 1085 H.

    [2]. Kitab ini, yang nama lengkapnya adalah ‘Awâlimul ‘Ulûm wal Ma’ârif wal Ahwâl minal Âyâti wal Akhbâri wal Aqwâali disusun oleh ulama hadits, Syekh Abdullah bin Nurullah Buhrani (ulama yang hidup pada abad 12).

    [3]. Penyusun kitab Muntahâ al-Âmâl, fi Ahwâlât al-Nabi wal Âli” adalah almarhum Haji Syekh Abbas Qumi, yang wafat pada tahun 1359 H. Dan beliau adalah salah seorang ulama besar hadits Syi’ah.

    [4] .Syekh Abbas Qumi, Mafâtihul Jinân, bagian akhir, hadits kisa yang dinukil dari Jabir bin Abdullah Anshari.

    [5] .Qs. al-Ahzab (33):33.

    [6] .Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 22, hal 245, 246, 494, 495, hadits 40.

    [7] .Tafsir-tafsir tentang surat al Ahzab ayat 33, seperti: al Mizan, jil. 6, hal 309-329; Muhammad Ali Muwahhid Abthahi, ayatuttathhir fii ahaadiitsil fariqaini; tafsir al Burhan, jil. 3, hal 309-329; Ihqaaqul haq, jil. 2, hal 502-573, jil. 3, hal 513-531 dan lain-lain; Fadhâil al-Khamsah minashshihâhi al-sittah, jil. 1, hal 224-243; Bihâr al-Anwâr, jil. 22, hal 245-246 dan jil. 35, hal 206-237; Ta’wilul Âyâati al-Zhâhirah, jil. 2, hal 457-459; Sayid Hasyim Buhrani, Ghâyat al-Marâm; Muhammad bin Hasan Hurra Amili, Itsbâtul Hudâti; Asad Haidar, al-Imâm Shâdiq wa Madzâhibul Arba’ah; Syawâhidu al-Tanziil, jil. 2, hal 5-140; Sunan Turmuzi; Sulaiman bin Ibrahim Qunduzi, Yanâbî’ al-Mawaddah; Suyuthi, Durr al-Mantsûr; Musnad Ahmad, jil. 6, hal 298; Mir Hamid Husein, ‘Abaqât al-Anwâr; Ali bin Muhammad bin Ahmad al Maliki, Fushul al-Muhimmah fii ma’rifati Ahwâlil Aimmah; Ibrahim Amini, Barresi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 174-196. Sayid Ja’far Murtadha Amili, Ahl-e Bait dar Ayat-e Tathhir; Muhammad Rei Syahri, Ahlulbait fil Kitâb wassunnah, hal 35-71.

    [8]. Sayid Ali Mahdi Abthahi, Ayatuttathhir fii Ahâdiitsil Fariqaîni (ayat tathhir dalam hadits-hadits syi’ah dan sunni).

    [9] .Muhammad Husein Thabathabai, al-Mizân, jil. 16, hal 311.

    [10] . Ahl-e Bait dar Ayat-e Tathhir, hal 27.

    [11] .ibid; Bihâr al-Anwâr, jil. 35, hal 236; Ibrahim Amini, Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 178-180; Sayid Hasyim Buhrani, Ghâyat al-Marâm; Mir Hamid Husein, ‘Abaqât al-Anwâar; Jalaluddin Suyuthi, Durr al-Mantsûr; Muhammad bin ‘Isa surah Turmuzi, Sunan Turmuzi, Ahmad bin Abdullah Thabari, Dzakhâirul ‘uqbâ Ahmad bin Hajar Haitsami, Al-Shawâ’iq al-Muhriqah; dan lain-lain…

    [12] .Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar ayat-e Tathhir, hal 90 dan 91; Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 179-180.

    [13] .Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar Ayat-e Tathhir, hal 92.

    [14] Muhammad Rei Syahri, Ahlulbait fil Kitâb wa al-sunnah, hal 39; Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar ayat-e Tathhir, hal 91-92.

    [15] . Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 179-180.

    [16] .Ibrahim Amini, Barrasi-e Masâil-e kulli-e Imâmat, hal 171-179; Abdullah Jawadi Amuli, Tajalliy-e Wilâyat dar Ayat-e Tathhir, hal 91; Syarif al Murtadha, Abul Qasim Ali bin al Husein al Musawi, al-Fushû al-mukhtarah minal ‘uyuun wal mahâsin, hal 53-54.

    [17] .Yanâbi’ul Mawaddah, hal 125; Jâmi’ al-Ushûl, jil. 10, hal 101; Dzakhâir al-‘Uqbâ, hal 21; Durr al Mantsûr, jil. 5, hal 198; Syawâahidu al-Tanziil, jil. 2, hal 65-140; Bihâr al-Anwâar, jil. 35, hal 222; Majma’ al-Bayân, jil. 8, hal 357; Musnad Ahmad, jil. 6, hal 292 dan 404.

    [18] .Mafâtih al-Jinân, bagian akhir, hadis kisa.

    [19] .Muntah al-Âmâl, jil. 1, hal 527, dinukil dari kitab Ahlulbait fil Kitâb wa al-Sunnah, hal 39 dan 40.

    [20] Ibid.

    [21] .’Awâlim al-‘Ulûm, jil. 2, hal 930, (dinukil dari Ahlulbait fil Kitâb wa al-Sunnah, hal 41; Tajalliy-e Wilâyat dar Ayat-e Tathhir, hal 92).

    [22] . Ahlulbait fil Kitâb wa al-Sunnah, hal 42-43.

    [23] .Hakim Huskani, Syawâhid al-Tanzîl, jil. 1 dan 2; Qunduzi Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah; al-Ghadiir, jil. 6, hal 79-81; Ushul al-Kâfi, jil.1, kitabul hujjah; Bihâr al-Anwâr, jil. 26-35, khususnya jil. 26 dan 40; Hurr al- Amili, Itsbâtul Hudât; Sayid Hasyim Buhrani, Ghâyat al-Marâm; Ziyârat-e Jami’ah wa Syuruh-e Ân; Tuhaf ul-‘Uqûul; Mirâ’tul ‘Uqûl; Âmali Shadûq; Ali Huseini Astarabadi, Ta’wilul Âyâati al-Zhâhirah; Mir Hamid Husein Hindi, ‘Abaqâtul Anwâr, dan lain-lain.

    [24] . Bihâr al-Anwâr, jil. 26, hal 1, hadits nurani ini membutuhkan penelaahan mendalam dan penjelasan lebih.

    Wslkm

  68. @SP
    Ucapan salam ditujukan tidak hanya khusus kepada siapa yang akan kita tuju, melainkan kepada siapapun yang mendengar salam tersebut. Makanya salam yang diajarkan dalam islam bersifat jamak muzakkar artinya ia ditujukan bagi semua orang islam baik laki-laki maupun wanita yang mendengar salam tersebut.

    saya belum ngerti tuh:

    hadits yg dibawa alfanarku itu, Rasul bersabda:

    السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ

    “Assalamu’alaikum ahlul bait wa rahmatullah” (salam sejahtera atas kamu, wahai ahlul bait dan semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepadamu),

    Kata “kum” bersifat jamma muzakkar.

    Kemudian Aisyah menjawab:

    وَعَلَيْكَ السَّلَامُ

    Wa alaika salam wa rahmatullah”. (dan semoga kesejahteraan dan rahmat Allah atasmu)

    Kata “ka” ,apakah bersifat jamma muzakar? Atau hanya kepada Rasul seorang saja?

  69. @KAB
    Ngertinya gampang saja kok. Anda silakan ingat-ingat kalau anda mengucapkan salam menggunakan lafal apa, Assalamu alaikum atau Assalamualaika?. intinya lafal jama’ muzakkar pada kata salam di hadis Bukhari bukan karena adanya term ahlul bait tetapi karena lafal salam memang umumnya jamak muzakkar. Mengenai ucapan Aisyah itu mah sah-sah saja sebagaimana kita sehari-hari dalam shalat mengucapkan salam kepada Nabi SAW dengan kata “Assalamualaika Ayyuhan Nabiyyu”. Intinya kan si alfanarku itu mau berhujjah kalau lafal “kum” di salam itu karena ada kata “ahlul bait”. itu mah keliru lafal “kum” pada salam karena memang begitulah syiar salam yang diajarkan oleh Nabi SAW.

  70. Bismillah

    Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.
    (QS. AL AHZAB

  71. @SP
    Pak….. ane mo nanya neh.. menurut sampeyan Umahatul mu’minin itu ahlu bait ato bukan seh?? Kate ente Cuma g setuju kalo isteri2 Rasulullah sallallahualaihi wassalam termasuk dalam ayat al ahzab 33? Lha kalo emang udah termasuk ngapain sampeyan sibuk g karuan banget n mati2an mau ngeluarin isteri2 Rasulullah sallallahualaihi wassalam dalam ayat tersebut ?? pak..pak…. ente tafsiri aja makna kata AHLI apakah hanya pada perorangan/laki2 aja/perempuan aja ato gimanalah menurut anda yang pinter sekali dalam mengadakan syubuhat ayat2 terang benderang gini. Sebaiknya ente angkat tema ulama2 rafidha ente dalam kasus sholat dikuburan, ratapan kematian, mencium anak kecil dengan sahwat, curhat atau pengakuan dosa, kolaborasi dengan pendeta2, ceramah yang jadi gila di mimbar, fatwa2 sesat+gila dst UNLIMITED lah pokeke, masih mau ngurus masalah ini pula ckckck, hus…gih sana urus (Agama syi’ah) dan ulama sampeyan juga bilang ke dia jangan merokok itu haram.

  72. @abu jufri

    Pak….. ane mo nanya neh.. menurut sampeyan Umahatul mu’minin itu ahlu bait ato bukan seh??

    lho ada tuh hadis shahih yang menyatakan istri Nabi sebagai ahlul bait, tidak ada alasan saya untuk menolaknya.

    Kate ente Cuma g setuju kalo isteri2 Rasulullah sallallahualaihi wassalam termasuk dalam ayat al ahzab 33?

    yang saya maksudkan ahlul bait yang dituju dalam ayat tathir ya bukan istri-istri Nabi SAW melainkan ahlul kisa’. Begitulah yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW sendiri 🙂

    Lha kalo emang udah termasuk ngapain sampeyan sibuk g karuan banget n mati2an mau ngeluarin isteri2 Rasulullah sallallahualaihi wassalam dalam ayat tersebut ?? pak..pak….

    Kalau Rasulullah SAW telah mengkhususkan ahlul bait dalam ayat tersebut hanya untuk ahlul kisa’ dan bukan istri Nabi lha ngapain anda menentang. wah wah kalau saya mah ikut Rasul SAW saja 😛

    ente tafsiri aja makna kata AHLI apakah hanya pada perorangan/laki2 aja/perempuan aja ato gimanalah menurut anda yang pinter sekali dalam mengadakan syubuhat ayat2 terang benderang gini.

    Sebenarnya anda dan kaum anda itu tidak mengerti apa itu yang dimaksud syubhat, bisanya cuma mengucap saja. Hadis-hadis shahih telah menjelaskan tetapi tetap saja anda dan kaum anda mengikuti syubhat, silakan saja itu kan bukan urusan saya.

    Sebaiknya ente angkat tema ulama2 rafidha ente dalam kasus sholat dikuburan,

    ah saya bosan menghadapi orang dengan mental memfitnah seperti anda.

    ratapan kematian, mencium anak kecil dengan sahwat, curhat atau pengakuan dosa, kolaborasi dengan pendeta2, ceramah yang jadi gila di mimbar, fatwa2 sesat+gila dst UNLIMITED lah pokeke, masih mau ngurus masalah ini pula ckckck, hus…

    wah saya gak ngerti tuh ocehan orang yang sukanya fitnah, makin hari komentar anda gak ada isinya 😛

    gih sana urus (Agama syi’ah) dan ulama sampeyan juga bilang ke dia jangan merokok itu haram.

    saran saya kalau anda sudah gak ketahanan mau memfitnah. Bagusnya anda pergi ke tepi laut dan silakan teriak or mengumpat sehebat-hebatnya biar anda puas. anda mau ribuan kali fitnah seperti itu ya gak ada gunanya. Seperti orang meracau saja, anda mau bilang apapun percuma karena kenyataannya saya ini bukan syiah or rafidhah 🙂

  73. @abu jufri

    Kalau anda mengenal konsistensi sebagai salah satu syarat kebenaran, maka hujatan anda kepada SP sekaligus adalah hujatan kepada semua ulama dan salafus shalih yang berpendapat bahwa Ahlul Bayt adalah ahlul kisa’.
    Apakah tidak bisa anda mengkritisi dengan akal dan dalil (tidak ada hujatan, klaim sepihak, fitnah, dan hasut )?.
    Dalam diskusi, jika seseorang merasa tidak sanggup lagi berdiskusi (tidak memiliki lagi dalil) maka akan muncul umpatan2, caci maki dan segala macam keburukan yang mana hanya menunjukkan kekalapan orang tsb.

    Salam damai.

  74. @Secondprince mengatakan :

    “wah ayat tersebut berdasarkan hadisnya turun di rumah Ummu Salamah dan ketika itu Rasul SAW malah memanggil ahlul kisa’ danmencegah Ummu Salamah untuk ikut masuk sebagai ahlul bait. Nah disinilah seharusnya yang menjadi fokus diskusi. Kalau ayat tersebut turun untuk Ummu Salamah maka mengapa Ummu Salamah tidak merasa begitu bahkan ia sendiri dicegah oleh Nabi SAW untuk ikut masuk sebagai ahlul bait. Ditambah lagi mengapa Rasul SAW tidk memanggil istri-istri beliau yang lain dan menyampaikan ayat tersebut untuk mereka. Ingat ayat yang kita bicarakan ini hanya dimulai dari kata “innama””

    Sudah dijawab oleh alfanarku, Nabi mencegah Ummu Salamah saat beliau sedang berdo’a buat Fatimah dan keluarganya, bukan berarti beliau menolak Ummu Salamah sebagai ahlul bait beliau. Mengapa yg disebutkan Ummu Salamah mulai kata “innama” karena ketika menyinggung pembersihan ahlul bait, Nabi menghendaki agar Fatimah dan keluarganya turut serta. Makanya saat beliau sedang berdo’a Ummu Salamah dicegah karena kata Nabi Ummu Salamah “sudah dalam kebaikan”, secara tidak langsung menunjukkan bahwa Ummu Salamah tidak perlu dido’akan lagi oleh Nabi dan telah mendapatkan apa yang sedang Nabi mintakan kepada Allah buat Fatimah dan keluarganya.

    Anda mengatakan :
    “Silakan tuh perhatikan kata ganti di ayat selanjutnya. Allah SWT menggunakan kata “kunna”. Jadi tentu yang dimaksud ayat-ayat untuk istri-istri Nabi adalah ayat sebelumnya yang menggunakan kata “kunna” sedangkan ayat tathir itu untuk ahlul kisa’”

    Lho bukankah ayat thathir turun di rumah Ummu Salamah, istri Nabi dan tentunya adalah rumah Nabi juga. Gimana sich mas.

    Anda mengatakan :
    “Kalau begitu maka anda tolong perhatikan dengan baik disitu digunakan kata “buyutannabiyyi”. nah sekarang saya tanya mengapa di Al Ahzab 32 dan 34 justru digunakan kata buyutikunna, bukannya buyutannabiyy. Bukankah ini menunjukkan kalau ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi saja dan bukan untuk Nabi”

    Lho lho.. bukankah rumah istri-istri Nabi adalah rumah Nabi juga? Jadi yang dimaksud “buyutannabiyyi” maupun “buyutikunna” ya sama lah fisiknya yaitu rumah yang didiami Nabi bersama istri-istri beliau dan yang jelas bukan rumah Ali bin Abi Thalib. Dalam ayat 32 dan 34 obyek yg dibicarakan adalah istri-istri Nabi, di ayat 33 obyek yg dibicarakan adalah Nabi dan istri-istri beliau karena menyangkut term pembersihan dan ahlul bait, kemudian juga di ayat 53 di surat yg sama obyek pembicaraan adalah kaum mukminin mengenai adab di rumah-rumah Nabi (yang dihuni oleh istri-istri beliau) Lalu apa yang anda bingungkan mas?

    Anda mengatakan :
    “Kata Ahlul Bait itu memiliki banyak pengertian. Ia bisa berarti penghuni rumah, bisa juga keluarga secara nasab, bisa juga keluarga melakui ikatan perkawinan. oleh karena itu silakan tentukan dulu apa makna ahlul bait dalam ayat tersebut. Jika melihat hadis asbabun nuzulnya maka sudah jelas ahlul bait yang dimaksud adalah bermakna ahlul bait secara nasab bukan penghuni rumah karena Ummu Salamah sendiri si penghuni rumah tidak ikut masuk dalam ayat tersebut.”

    Tetapi jelas konteks dan urutan ayat sangat jelas berbicara tentang Nabi dan istri-istrinya yang tinggal dalam satu rumah tangga, tidak bicara sama sekali tentang ahlul bait yang lain, justru Ummu Salamah dikatakan Nabi sudah dalam kebaikan sehingga yang dido’akan ya tentunya yang belum dapat kebaikan (ayat pembersihan).

    Anda mengatakan :
    “Kayaknya yang membuat syubhat adalah si alfanarku. sekarang saya tanya kalau lafaz yang anda katakan doa itu tidak ada maka bagaimana bisa orang-orang tahu kalau ahlul kisa’ adalah pribadi yang dimaksud dalam ayat tersebut. lafaz itu justru menunjukkan kepada siapapun yang mendengarnya kalau ayat tersebut adalah untuk mereka. btw silakan deh anda lihat pernyataan saudara Badari di atas”

    Maka itulah perlunya hadits tersebut, untuk menunjukkan bahwa Fatimah dan keluarganya termasuk yang dido’akan Nabi sebagai ahlul bait dalam ayat tsb.

    Anda mengatakan :
    “Tentu saja dengan logika alfanarku itu maka anda atau dia patut bertanya kepada Nabi SAW mengapa nabi SAW mengajarkan kita shalawat Ya Allah, sampaikanlah shalawat atas Nabi Muhammad padahal dalam Al Qur’an sendiri Allah SWT telah bershalawat kepada Nabi SAW. Mengapa masih dipinta kalau memang sudah terjadi, begitu kan logika anda atau alfanarku. Jadi saran saya jangan merasa cara berpikir anda atau alfanarku itu sudah benar, silakan diperhatikan dulu jawaban orang lain.”

    Ya jelas beda lah mas, pada hadits shalawat jelas-jelas Nabi mengajarkan umatnya untuk bershalawat untuk beliau, sedangkan hadit kisa’ adalah mencatat kejadian ketika Nabi sedang berdo’a untuk keluarga Fatimah. Beda kasus mas

    Anda mengatakan :
    “kalau anda berpegang pada urutan ayat maka term penyucian itu berkaitan dengan perintah dan larangan pada ayat sebelumnya. Jadi penyucian itu dimaksudkan untuk istri-istri nabi jika mereka melakukan perintah yang dimaksud, itu kalau anda berpegang pada urutan ayat.”

    Dan tidak diragukan berhubungan juga dengan Nabi sebagai sayyidul bait.

    Anda mengatakan :
    “Anda belum menjawab apa yang membuat saya bingung dari pernyataan anda sebelumnya. contohnya adalah Aisyah RA pada insiden Jamal itu “tidak tetap di rumah” bukankah itu sudah bertentangan dengan ayat tersebut. maka tolong dijawab dulu dengan baik apakah tindakan Aisyah RA yang bertentangan dengan ayat tersebut menodai kesucian Nabi SAW?”

    Apakah menurut anda perintah “tetaplah di rumah” itu berarti tidak boleh keluar sama sekali walaupun itu mungkin adalah untuk hal syar’i? sekarang tinggal anda punya definisi kayak apa tentang perintah itu.

    Anda mengatakan :
    “Maaf Mas anda tidak mengerti kata-kata saya. saya mengatakan apakah setiap ayat yang turun untuk istri Nabi SAW maka otomatis itu juga untuk Nabi SAW?. tidak ada gunanya anda menggunakan kata “sangkut paut” sudah jelas Nabi ada sangkut pautnya dengan istri Nabi SAW.”

    Adanya ayat-ayat tsb tentang mereka adalah karena kedudukan mereka sebagai istri Nabi, apalagi jelas-jelas disebutkan hal itu. Kalau mereka bukan istri Nabi tentu treatment Al-qur’an akan berbeda.

    Anda mengatakan :
    “Satu hal yang harus anda ingat, ayat yang kita bicarakan itu dimulai dari kata “innama” gak ada tuh bunyi istri-istri Nabi di ayat tersebut. kemudian anda juga tidak menjawab pertanyaan saya. kalau memang ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah secara berurutan maka mengapa Ummu Salamah memenggal ayat tersebut. mengapa ia tidak mengatakan bahwa ayat yang turun dimulai dari kata “hai istri-istri nabi” sampai akhir ayat?. Mana mungkin Ummu Salamah memotong ayat tersebut kecuali ayat tersebut memang turun terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya”

    Ya jelas karena pada ayat tersebut Ummu Salamah melihat Nabi mendo’akan keluarga Fatimah agar mereka dibersihkan oleh Allah, dan itulah yg diceritakan oleh beliau tidak yang lain-lain. Bukan terpisah tetapi perluasan ahlul bait yang dibersihkan.

    Anda mengatakan :
    “Anda tidak menjawab pertanyaan saya. surat At Tahrim membuktikan bahwa para istri Nabi SAW bisa juga berbuat salah dan apakah kesalahan mereka itu menodai kesucian Nabi SAW? Adakah dalam surat At Tahrim kata-kata kalau mereka telah menodai kesucian Nabi SAW? itulah yang harus anda jawab.”

    Memang istri-istri Nabi bukanlah orang-orang maksum, makanya mereka hendak dibersihkan oleh Allah karena kedudukan mereka adalah sebagai istri-istri Nabi, termasuk perbuatan mereka yang diceritakan dalam ayat tsb. Dan Allah telah mentarbiyah mereka, meluruskan yang keliru, itu semua akhirnya untuk kebaikan mereka dan tentunya untuk kebaikan Nabi juga dan akhirnya mereka memilih untuk bertaubat untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat. Perbuatan mereka jika tidak diluruskan oleh Allah tentunya akan mengurangi kinerja Nabi sebagai Nabi Allah, karena Nabi sempat mengharamkan menggauli salah satu istri beliau, sehingga kemudian beliau ditegur oleh Allah dan kemudian Allah menegur istri-istri beliau tersebut dan meluruskan segala kekeliruan. Jadi apa yg mereka perbuat berpengaruh terhadap pribadi beliau karena mereka adalah orang terdekat beliau di rumah beliau dan Allah pun meluruskannya dan membersihkan mereka dari dosa, tentunya pada akhirnya untuk menjaga kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Happy ending dech jadinya.

    Anda mengatakan :
    “Lagi-lagi anda tidak menjawab pertanyaan saya. Apakah ketika Aisyah melanggar perintah “tetap di rumah” maka itu menodai kesucian Nabi SAW? silakan dijawab dulu. btw yang saya bingung dari pernyataan anda adalah “tetap tinggal di rumah” bukan berarti tidak boleh keluar rumah sama sekali”. Maksudnya apa, jadi tetap boleh keluar rumah?. wah saya malah bingung, semakin anda banyak bicara kok semakin banyak muncul pertanyaan”

    Sudah saya jawab di atas, tinggal bagaimana anda mendifinisikan “tetap tinggal di rumah” tersebut, kalau anda memahami “tetap tinggal di rumah” adalah tidak boleh keluar sama sekali walaupun untuk keperluan syar’i, terus terang saya tidak sependapat.

    Anda mengatakan :
    “Anda silakan menjawab dulu pertanyaan saya, apakah ketika istri nabi Nuh dan Nabi Luth AS menyimpang dari kebenaran maka itu telah menodai kesucian Nabi Nuh dan Nabi Luth? silakan dijawab dulu. Kalau kemuliaan Nabi Muhammad SAW di atas para Nabi yang lain, maka hal itu tidak usah dipermasalahkan. yang kita bicarakan adalah premis anda itu bahwa jika istri Nabi melanggar perintah Allah SWT maka itu menodai kesucian Nabi.”

    Sudah saya sampaikan Allah menghendaki kemuliaan Nabi Muhammad dengan kemuliaan yang sempurna sehingga tidak ada celah bagi para pencela, maka Allah tarbiyah ahlul bait beliau dan membersihkan mereka, yang hal itu menunjukkan keutamaan beliau dibandingkan Nabi-Nabi yang lain, dimana pada Nabi2 yang lain kadang ada istrinya yang durhaka atau anaknya. tentunya hal ini membuat point mereka menjadi berkurang dan jadi bahan celaan bagi musuh2 mereka, apalagi Allah telah mengukuhkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah uswatun hasanah, maka hal ini adalah pengukuhan yang menuntut adanya keniscayaan teladan dalam segala aspek kehidupan beliau, termasuk hal kepemimpinan dalam rumah tangga beliau, sebagaimana ayat kuu anfusakum wa ahlikum naaro. Saya kira sudah begitu jelas maksud saya.

    Anda mengatakan :
    “anda tidak perlu berbasa-basi, silakan jawab dulu pertanyaan yang sudah saya ajukan sebelumnya kepada anda bukannya malah berkelit mengalihkannya kepada hal-hal lain yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan”

    Saya tidak berbasa basi, justru anda lah yang seharusnya juga berintrospeksi diri.

    Anda mengatakan :
    “Nah disinilah poinnya, dan membuat saya bingung karena anda ingin menyatakan kalau kesucian dan kebersihan Nabi SAW tergantung dengan apakah istri Beliau SAW taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang sedang dibahas dan silakan dijawab dulu kebingungan yang muncul dari pernyataan anda ini. Apakah jika istri Nabi SAW melanggar perintah Allah SWT atau melanggar perintah Rasul SAW maka itu menodai kesucian Nabi SAW atau Nabi SAW menjadi tidak bersih?”

    Saya sudah jelaskan maksud saya di atas, saya kira cukup jelas yaitu menyangkut kemuliaan yang sempurna dari Allah kepada penghulu para Nabi.

    Anda mengatakan:
    “Buktikan saja kalau anda tidak berbasa-basi, silakan dijawab pertanyaan saya dengan fokus.”

    Saya sudah jawab, bagaimana dg anda? Akankah anda akan melebar kemana-mana?

    Anda mengatakan :
    “Betulkah, terus apakah anda paham. saya tanya makna kata “innama” itu apa, bukankah kata itu bermakna “hashr”. terus makna “yuthahhirakum tathiira” bermakna apa?. btw kalau anda tidak merasa rancu ya silakan saja”

    Para ulama sudah menjelaskannya, malah maaf penjelasan anda yg terlihat rancu dan dipaksakan.

    Anda mengatakan :
    “Maaf ya, ini yang saya sebut argumen basa basi. silakan anda lihat kembali tulisan saya. Disana bahkan saya mengutip kalau Al hafizh Ibnu Asakir menshahihkan hadis yang mengkhususkn ayat tersebut turun untuk ahlul kisa’. begitu pula dengan Al Hakim dan sekedar info buat anda Abu ja’far At Thahawi dalam Musykil Al Atsar telah berhujjah dengan hadis-hadis di atas dan menyatakan kalau ayat tathir tersebut turun untuk ahlul kisa’. Jadi tidak ada gunanya berbasa basi. Bukankah sebelumnya anda berkata riwayat tersebut tidak shahih kalau begitu silakan tunjukkan dalil atau hujjah anda.”

    Tetapi banyak ulama sunni yang berpendapat bahwa ayat tersebut untuk istri-istri Nabi dan juga ada yang mengkompromikan keduanya, anda juga mengetahuinya kan? jadi siapa yang berbasa basi?

    Anda mengatakan :
    “silakan saja, kalau anda mau memfitnah syiah dan pengikutnya itu bukan urusan saya.”

    Saya tidak memfitnah, itu kenyataan yang ada. Kalau anda tidak tahu atau merasa ya bukan salah saya

    Anda mengatakan :
    “Pernah memandng diri anda atau pengikut mahzab anda. pernahkah anda mendengar bahwa anda atau mahzab anda dikatakan sebagai orang yang membela dan memuliakan mereka yang memerangi dan menyakiti ahlul bait. anda merasa tidak terima? lha sama, mereka juga begitu tidak terima tuh dengan tuduhan anda?. saya sering bertemu dengan penganut Syiah dan maaf saya tidak seperti anda atau mahzab anda yang akan mengatakan Syiah menghina para sahabat dan istri Nabi SAW, saya juga tidak seperti anda atau mahzab anda yang mengatakan syiah menyakiti kaum muslimin. Yang saya tahu, mereka sangat mencintai ahlul bait Nabi dan mereka tidak suka kepada sahabat yang menyakiti ahlul bait Nabi dan diantara sahabat yang dimaksud itu menjadi kebanggaan anda dan mahzab anda. Jadi ya kalau anda tidak bisa mengerti mereka, maka mereka pun tidak akan bisa mengerti anda atau mahzab anda. kalau anda merasa membela islam maka mereka pun juga merasa membela islam. jadilah seperti yang saya bilang “hanya saling rasa-merasa”. gunakan kepala dingin, bicara dengan fakta dan bukti, bersikap objektif dan tidak perlu tuduh menuduh. simpan tuduhan itu didalam hati dan berdiskusilah dengan mengajukan bukti dan fakta atau argumen yang valid.Jika tidak mau diskusi ya sudah, diam lebih baik”

    Saya pun sering berdiskusi dengan mereka, dan kenyataan mereka memang meremehkan para sahabat Nabi dan istri-istri beliau, silahkan anda berselancar di internet atau di blog anda sendiri, fakta yang berbicara, maka tidak perlu adanya basa basi mengenai mereka.

  75. @edi

    Sy ingin menanggapi pernyataan anda yg ini;

    Tetapi jelas konteks dan urutan ayat sangat jelas berbicara tentang Nabi dan istri-istrinya yang tinggal dalam satu rumah tangga, tidak bicara sama sekali tentang ahlul bait yang lain, justru Ummu Salamah dikatakan Nabi sudah dalam kebaikan sehingga yang dido’akan ya tentunya yang belum dapat kebaikan (ayat pembersihan)

    Dari yg anda tulis (tebal), terapat kesan bahwa ummu salamah tdk perlu didoakan lagi karna sdh ada dalam kebaikan. Sedangkan ahlulbait perlu didoakan karna belum ada dalam kebaikan. Benarkah?

    Salam

  76. @armand

    kan di atas sudah saya kasih kurung maksud saya.

  77. @edi

    Pernyataan anda yg ini,

    Ya berarti, kalau seperti itu, istri-istri Nabi adalah memang ahlul bait dalam al-ahzab : 33, orang Nabi juga menggunakan kum, artinya pakai kum dan kunna tinggal melihat siapa yang ada dalam rumah itu, dan yang ada dalam rumah itu saat ayat tersebut turun adalah Nabi dan istri-istrinya, jadi merekalah yang disebut ahlul bait, karena penyucian terhadap istri-istri Nabi tidaklah lepas dari Nabi SAW, karena mereka adalah bagian dari ahlil bait Nabi. jadi penyucian mereka dalam ayat itu adalah dalam rangka menyucikan Nabi juga

    Apakah maksud anda ummu salamah termasuk yg didoakan dan disucikan?

  78. maksud @edi itu dari tulisannya..jelas mengatakan bahwa

    Ummu salamah ra itu sudah dalam kebaikkan shg tdk perlu didoakan
    ” justru Ummu Salamah dikatakan Nabi sudah dalam kebaikan sehingga yang dido’akan ya tentunya yang belum dapat kebaikan (ayat pembersihan) ”

    Nah yg belum dapat kebaikkan itu menurut si @ edi itu adalah

    Nabi dan istri istrinya…

    “. jadi penyucian mereka dalam ayat itu adalah dalam rangka menyucikan Nabi juga”

    sehingga dapat disimpulkan nabi dan istrinya kecuali ummu salamah itu tdk lebih suci dari Ummu salamah krn mereka masih perlu disucikan..

    ngakak guling guling sampe sakit perut baca nalar yg Hancur lebur kayak gini….

    ampun om…ampun….kok ada yg konslet logikanya yah..hehe

  79. @armand & bob

    Ummu Salamah dan istri-istri yang lain beserta Nabi lah yg pada asalnya dimaksud ahlul bait yg dibersihkan dalam ayat tsb, sedangkan ahlul kisa’ dido’akan Nabi untuk ikut juga dibersihkan.

  80. @edi
    Logika anda rupanya mencontoh logika non-muslim ketika promosi aqidah mereka:
    “Tidak ada satupun umat Islam yang berada di jalan yang lurus (dalam keadaan tersesat) karena mereka setiap hari berdo’a agar ditunjuki jalan yang lurus”
    “Para Nabi adalah manusia yang penuh kesalahan karena harus dijaga oleh Allah”
    “Mereka orang muslim sering menyatakan dirinya hina dan penuh dosa ketika berdo’a, ini menunjukkan mereka adalah orang2 yang penuh dosa”

    Logika apaan ini?
    Apakah anda sudah bisa membedakan derajat suci dan baik?

    Berikut adalah konsekuensi dari logika (babak belur) anda:

    “Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“ (QS:3:43)

    Yang lain tidak perlu diperintahkan patuh kepada Allah karena mereka sudah patuh, terkecuali maryam yang belum patuh.
    Cara anda meyakini sesuatu sungguh sangat gegabah. Anda katakan Ummu Salamah sudah disucikan sehingga tidak perlu dido’akan adalah rekaan anda (kecuali anda bisa tunjukkan bukti AQ or Hadits) bahwa Beliau sudah disucikan sehingga tidak perlu ikut dalam mereka yang didoakan Rasul SAW.

    Salam damai

  81. @edi

    Ummu Salamah dan istri-istri yang lain beserta Nabi lah yg pada asalnya dimaksud ahlul bait yg dibersihkan dalam ayat tsb, sedangkan ahlul kisa’ dido’akan Nabi untuk ikut juga dibersihkan

    Ga jelas mas. Siapa yg ditujukan disucikan dalam ayat itu? Ahlulbait atau Ahlukisa? Siapa Ahlulbait, siapa Ahlukisa?

    Salam

  82. Salam untuk semua

    Orang baik belum tentu suci, tapi orang suci sudah pasti baik.
    Gitu aja kok repot

  83. @truthseeker08

    kita bicara tentang siapa ahlul bait dlm al-ahzab : 33, logika yg sederhana, bahwa ayat tersebut turun berkenaan Nabi dan istri-istri beliau yang tinggal bersama dalam satu tempat, sungguh hal yang masuk akal jika Nabi pun ingin mengikutkan keluarganya dlm hubungan nasab untuk turut juga merasakan pembersihan dari Allah, maka beliau panggil mereka di salah satu rumah beliau yg ditempati istri beliau Ummu salamah kemudian beliau do’akan mereka, sehingga mereka pun termasuk ahlul bait yang dibersihkan dalam ayat tersebut. silahkan saja jika anda mengatakan ini adalah logika non muslim.

  84. @ediPernyataan anda terakhir mengundang pertanyaan:
    1. Apakah Ummu Salamah tahu bahwa Beliau sudah disucikan oleh ayat tsb?.
    2. Apakah anda paham kenapa (hikmah) digunakannya kain menyelimuti mereka Ahlul Kisa’?.
    3. Bisakah anda menjelaskan:

    Dari Hakim bin Sa’ad yang berkata “kami menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib RA di hadapan Ummu Salamah. Kemudian ia [Ummu Salamah] berkata “Untuknyalah ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun. dstnya

    4. Jika anda menganggap bahwa Ahlul Bayt adalah kesemua mereka istri2 Rasul SAW dan Ali, Fatimah, Hasan, Husein. Maka mengapa Ali, Fatimah, Hasan & Husein perlu dido’akan di rumah Ummu Salamah sedang Ummu Salamah tidak perlu?
    Bukankah mereka (Ahlul Kisa’) juga sudah disucikan oleh ayat tsb sehingga tidak perlu dido’akan.
    5. Manakah yang terlebih dahulu, do’a Rasulullah ataukah turunnya ayat tsb?

    Salam damai

  85. @truthseeker08

    1. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. 33:34). Adalah bukti dari Al-Qur’an bahwa ayat-ayat tersebut telah dibacakan di rumah-rumah istri2 Nabi. maka ini adalah berita tershahih dibandingkan dg hadits, jika ayat2 sebelumnya bukan untuk istri2 Nabi, tentu Allah takkan mengingatkannya kembali.

    2. Karena Nabi ingin menunjukkan bahwa mereka adalah ahlul bait beliau juga atau bagian dari diri beliau, beliau saat itu sedang memohon belas kasih Allah agar mereka dibersihkan.

    3. riwayat Sunan Tirmidzi bertentangan dg riwayat hakim bin sa’ad, dalam sunan Tirmidzi ayat tersebut turun duluan baru Nabi memanggil Fatimah dan keluarganya, sedangkan riwayat hakim bin sa’ad menceritakan sebaliknya. jadi kita memilih yg lebih kuat yg terdapat dalam kutubussittah (saya contek dr jawaban Alfanarku). Dalam sunan Tirmidzi Ummu Salamah mengatakan ayat tsb turun kepada Nabi.

    4&5, riwayat yg lebih kuat yg langsung diriwayatkan oleh anak Ummu Salamah sendiri menunjukkan bahwa ayat tsb turun lebih dahulu baru beliau memanggil Fatimah dan keluarganya.

  86. @edi

    Sudah dijawab oleh alfanarku, Nabi mencegah Ummu Salamah saat beliau sedang berdo’a buat Fatimah dan keluarganya, bukan berarti beliau menolak Ummu Salamah sebagai ahlul bait beliau.

    Kalau dari hadisnya Rasulullah SAW mencegah Ummu Salamah untuk ikut mereka sebagai ahlul bait yang disucikan. lafaz yang anda katakan doa itu kan merupakan petunjuk bahwa ayat tersebut ditujukan untuk mereka. Lagipula kalau memang Ummu Salamah adalah ahlul bait maka yang seharusnya dikatakan Nabi SAW adalah sesuangguhnya kamu Ummu Salamah juga ahlul baitku dan rasanya Nabi SAW juga tidak perlu mencegah Ummu Salamah. Kembali saya tunjukkan rusaknya logika anda, alfanarku dkk. kalian menganggap bahwa istri-istri Nabi SAW termasuk Ummu Salamah untuk tidak perlu lagi diikutkan dalam doa Nabi SAW karena mereka telah disucikan, tentu saja pernyataan ini rancu. Jika kita berpegang pada penyucian ayat maka penyucian dalam ayat tathir bersifat syar’i artinya ia terkait dengan apakah istri-istri Nabi SAW melakukan yang diperintahkan kepada mereka. Jadi apakah istri Nabi SAW disucikan atau tidak itu tergantung dengan perbuatan mereka selanjutnya. Oleh karena itu tidak ada istilah “telah disucikan” bahkan yang paling masuk akal adalah para istri Nabi SAW harus senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar mereka bisa selalu taat terhadap perintah Allah SWT sehingga kesucian mereka terjaga.

    Jadi kalau memang berpegang pada urutan ayat maka tidak ada alasan Rasulullah SAW mencegah Ummu Salamah dalam lafaz yang anda katakan doa. Apakah salah jika Nabi SAW mengikutkan Ummu Salamah di dalam doa beliau terhadap ahlul kisa’ [ini menurut pengertian kalian lho]? Bukankah dengan mengikutkan Ummu Salamah dalam doa tersebut berarti Rasulullah SAW juga menginginkan agar Ummu Salamah itu bisa selalu mentaati perintah Allah SWT dalam ayat tersebut sehingga kesucian mereka terjaga?. Tapi lagi-lagi faktanya tidak seperti itu, Ummu Salamah dicegah oleh Rasul SAW untuk ikut bersama ahlul kisa’ maka itu berarti lafaz yang anda katakan doa itu sebenarnya adalah lafaz yang bersifat mengkhususkan bahwa hanya merekalah ahlul bait yang dimasukkan dalam ayat tersebut sedangkan Ummu Salamah dalam kebaikan.

    Mengapa yg disebutkan Ummu Salamah mulai kata “innama” karena ketika menyinggung pembersihan ahlul bait, Nabi menghendaki agar Fatimah dan keluarganya turut serta.

    Anda keliru, jelas-jelas Ummu Salamah sedang menyatakan kesaksian bahwa saat itu ada ayat yang sedang turun. Jadi kalau memang ayat tersebut turun berurutan maka Ummu Salamah akan menyebutkan ayat yang turun dimulai dari kata-kata “hai sitri-istri Nabi” sampai akhir ayat tetapi lagi-lagi faktanya tidak seperti itu. Ummu Salamah hanya mengatakan bahwa ayat yang turun adalah dimulai dari kata “innama”.

    Makanya saat beliau sedang berdo’a Ummu Salamah dicegah karena kata Nabi Ummu Salamah “sudah dalam kebaikan”,

    Dalam kebaikan punya banyak makna, artinya Ummu Salamah itu punya kedudukan yang baik, misalnya beliau akan mendapatkan surga atau menjadi istri Rasul SAW dunia akhirat atau yang lainnya. Justru kalau memang beliau Ummu Salamah adalah ahlul bait yang disucikan maka seharusnya Rasulullah SAW mengatakan dengan jelas bahwa Ummu Salamah adalah ahlul bait yang dimaksud dalam ayat tersebut.

    secara tidak langsung menunjukkan bahwa Ummu Salamah tidak perlu dido’akan lagi oleh Nabi dan telah mendapatkan apa yang sedang Nabi mintakan kepada Allah buat Fatimah dan keluarganya.

    Saya sudah tunjukkan logika rusak anda. jika anda berpegang pada urutan ayat maka lafal penyucian itu bersifat syar’i artinya mereka istri Nabi SAW tersucikan jika mereka melaksanakan berbagai perintah yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut. Sesuatu yang bersifat syar’i ya tergantung individunya, apakah mereka melakukannya atau tidak? maka tidak ada istilah “telah disucikan”. Contoh nyata adalah bukankah kita umat islam mendapat banyak perintah dari Allah SWT lantas bukankah kita selalu berdoa kepada Allah SWT agar kita bisa selalu mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT. Begitu pula justru sangat baik sekali kalau Ummu Salamah ikut didoakan oleh Nabi SAW plus istri-istri Nabi yang lain sehingga mereka senantiasa mentaati perintah Allah SWT. jadi logika anda itu tidak konsisten alias banyak kontradiksi sehingga jika dianalisis hanya tampak sebagai pembenaran saja 🙂

    Lho bukankah ayat thathir turun di rumah Ummu Salamah, istri Nabi dan tentunya adalah rumah Nabi juga. Gimana sich mas.

    Kalau begitu, rumah istri Nabi pada dasarnya rumah Nabi SAW juga kan. Maka mengapa gak pakai istilah buyutikum, nah kan Nabi beserta istri-istri beliau adalah laki-laki dan perempuan yang berarti jamak muzakkar. Apalagi menurut anda ayat tersebut ya untuk Nabi SAW juga jadi akan sangat wajar kalau dari awal digunakan kata ganti “kum” [terutama pada kat”buyutikuna”] tetapi faktanya malah digunakan kata “buyutikunna”. Anda tidak mngerti komentar saya ya, gimana sich :mrgreen:

    Lho lho.. bukankah rumah istri-istri Nabi adalah rumah Nabi juga? Jadi yang dimaksud “buyutannabiyyi” maupun “buyutikunna” ya sama lah fisiknya yaitu rumah yang didiami Nabi bersama istri-istri beliau dan yang jelas bukan rumah Ali bin Abi Thalib.

    Nah kalau menurut anda bukan rumah Ali RA maka justru menjadi kontradiksi buat anda tentunya. Bukankah anda mengatakan kalau Rasulullah SAW memperluas ahlul bait yang dimaksud dalam ayat tersebut untuk Ahlul Kisa’ artinya ayat tersebut untuk istri Nabi dan ahlul kisa’. Lha ini jelas rancu bagaimana mereka bisa dituju bersama oleh ayat tersebut. Kalau berpegang pada urutan ayat mana mungkin pakai kata “buyutikunna” bukankah harusnya pakai kata “buyutikum”. istri Nabi dan ahlul kisa’ kan jamak muzakkar. sekali lagi saya ingatkan lafal penyucian dalam ayat tersebut kan terkait dengan ayat perintah dan larangan maka jika berpegang pada urutan ayat maka penyucian itu terjadi jika orang-orang yang dituju melakukan perintah dan larangan. Kalau anda mengatakan Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain juga masuk kedalam ayat tersebut karena doa Nabi SAW, maka ini menimbulkan kerancuan masa’ mereka disuruh “tetaplah di rumahmu” dan janganlah berhias. Itu kan perintah khusus wanita 🙂

    Dalam ayat 32 dan 34 obyek yg dibicarakan adalah istri-istri Nabi, di ayat 33 obyek yg dibicarakan adalah Nabi dan istri-istri beliau karena menyangkut term pembersihan dan ahlul bait,

    Ngomong-ngomong saya tanya nih, apakah perintah di ayat tersebut hanya khusus untuk istri-istri Nabi SAW saja. kalau memang begitu lantas mengapa Rasulullah SAW menginginkan Imam Ali Imam Hasan dan Imam Husain masuk dalam ayat tersebut. Terus kenapa Imam Hasan bersaksi kalau ayat tersebut turun untuk mereka, seperti hadis shahih yang saya tulis di atas.

    kemudian juga di ayat 53 di surat yg sama obyek pembicaraan adalah kaum mukminin mengenai adab di rumah-rumah Nabi (yang dihuni oleh istri-istri beliau) Lalu apa yang anda bingungkan mas?

    awalnya sih saya bingung karena anda tidak bisa dengan cermat memahami setiap sanggahan yang sampai kepada anda. Akibatnya anda [dan termasuk alfanarku] terus mengulang-ngulang logika yang sama padahal telah jelas ditunjukkan kalau logika tersebut cacat. Alhamdulillah pada akhirnya saya paham, ini bukan masalah paham atau tidak tetapi ini masalah “anda harus benar” dan “saya harus salah” makanya anda saya lihat kurang serius memahami komentar saya.

    Tetapi jelas konteks dan urutan ayat sangat jelas berbicara tentang Nabi dan istri-istrinya yang tinggal dalam satu rumah tangga, tidak bicara sama sekali tentang ahlul bait yang lain,

    Kalau begitu kenapa ayat yang turun cuma dari kata “innama”. kalau begitu mengapa Ummu Salamah sampai akhirnya ia meriwayatkan hadis tersebut ia tetap tidak merasa sebagai ahlul bait yang dimaksud. Anda silakan saja kalau mau menentang fakta yang begitu jelasnya.

    justru Ummu Salamah dikatakan Nabi sudah dalam kebaikan sehingga yang dido’akan ya tentunya yang belum dapat kebaikan (ayat pembersihan).

    Apakah Nabi SAW ketika menyelimuti Nabi SAW berdoa “ya Allah SWT berikan kebaikan pada mereka”. Rasulullah SAW justru menegaskan bahwa mereka adalah Ahlul Bait. Jika memang Ummu Salamah adalah ahlul bait dalam ayat tersebut seharusnya Rasulullah SAW menggunakan lafal yang jelas yaitu “ahlul bait” bukan dengan term “dalam kebaikan” adanya perbedaan term ya karena maknanya beda. Nabi SAW menolak Ummu Salamah sebagai ahlul bait dengen mencegahnya tetapi beliau tetap menyenangkan Ummu Salamah yaitu dengan menyatakan bahwa ia dalam kebaikan. Penolakan Rasul SAW adalah penolakan yang sangat baik dan sesuai dengan akhlak mulia Beliau SAW.

    Maka itulah perlunya hadits tersebut, untuk menunjukkan bahwa Fatimah dan keluarganya termasuk yang dido’akan Nabi sebagai ahlul bait dalam ayat tsb.

    Mengapa Fathimah AS dan keluarganya diinginkan Nabi untuk masuk dalam ayat tersebut? padahal jika berpegang pada urutan ayat maka penyucian itu tekait dengan perintah khusus bagi wanita, nah mengapa Imam Ali AS dan kedua putranya AS harus masuk ke dalam ayat tersebut yang penyuciannya terkait dengan perintah khusus wanita?. bagaimana anda menjelaskan hal yang musykil seperti ini. bagi saya ini bukti kalau ayat tersebut tidak terkait dengan perintah sebelumnya artinya ayat tersebut turun terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya oleh karena itu tidak ada masalah Imam Ali dan Kedua putra Beliau AS adalah ahlul bait dalam ayat tersebut.

    Ya jelas beda lah mas, pada hadits shalawat jelas-jelas Nabi mengajarkan umatnya untuk bershalawat untuk beliau, sedangkan hadit kisa’ adalah mencatat kejadian ketika Nabi sedang berdo’a untuk keluarga Fatimah. Beda kasus mas

    Namanya analogi sudah jelas peristiwanya beda, siapapun tahu itu. Seharusnya yang anda perhatikan adalah persamaan keduanya yang saya tanpilkan. kedua peristiwa itu sama-sama menyatakan hal yang sudah ditetapkan tetapi Rasulullah SAW tetap menyampaikan dengan lafal yang anda katakan “doa”. Logika anda itu kan seolah-olah adanya doa berarti sebelumnya ahlul kisa’ itu bukan termasuk dalam ayat tersebut. nah saya tunjukkan peristiwa lain dimana tetap saja ada “doa” padahal hal tersebut sudah terjadi yaitu Allah SWT telah bershalawat kepada Nabi. Terus Nabi SAW mengajarkan agar kita bershalwat dengan doa “Ya Allah sampaikanlah shalawat kepada Nabi”. apakah adanya doa ini menunjukkan kalau Allah SWT belum bershalwat kepada Nabi SAW. Kalau anda tidak bisa memahami dengan cermat komentar orang lain maka anda tidak perlu berkomentar panjang-panjang.

    Dan tidak diragukan berhubungan juga dengan Nabi sebagai sayyidul bait.

    para sahabat yang dekat dengan Nabi SAW pun selalu berhubungan dengan Nabi, karena Nabi adalah sayyid bagi mereka. Lantas apakah setiap ayat yang ditujukan untuk para sahabat berlaku untuk Nabi SAW. Apakah ketika digunakan lafal “kum” agar orang-orang beriman mentaati Allah SAW dan RasulNya maka Nabi SAW juga ikut dalam ayat tersebut. Rasul SAW disuruh taat kepada Allah SWT dan RasulNya, logika rusak yang muncul dari premis-premis anda.

    Apakah menurut anda perintah “tetaplah di rumah” itu berarti tidak boleh keluar sama sekali walaupun itu mungkin adalah untuk hal syar’i? sekarang tinggal anda punya definisi kayak apa tentang perintah itu.

    Lagi-lagi anda tidak menjawab pertnyaan saya. Alih-alih menjawab anda malah mengajukan pertanyaan kepada saya. Sekalian saja anda bilang Aisyah RA melakukan hal syar’i sehingga ia boleh keluar rumah. Itukah maksud anda? kalau iya maka saya katakan, hal yang syar’i bagi istri Nabi SAW itu sudah dijelaskan dalam al ahzab yaitu agar mereka tetap di rumah mereka, jangan berhias dan taatilah Allah SWT dan RasulNya. Lagipula apakah hal syar’i yang anda maksud?. Apakah istri-istri Nabi SAW yang lain selain Aisyah tidak mengerti hal syar’i yang anda maksud?. Kalau anda mengakui istri Nabi SAW tidak maksum maka akui saja kalau Aisyah RA keliru ketika ia keluar rumah memimpin orang-orang. Memangnya apa yang ingin dilakukan oleh Aisyah RA dengan keluar rumah?. Kalau Beliau SAW ingin mengajak umat bersatu maka cukuplah Beliau SAW menulis surat atau menyampaikan pesan kepada orang-orang agar mentaati khalifah yang sah dan telah dibaiat pada saat itu yaitu Imam Ali. Apapun yang telah dilakukan Aisyah RA adalah ijtihad Beliau, saya tidak mau merendahkan Aisyah RA sebagai istri Nabi SAW tetapi bukan berarti saya menyatakan bahwa yang Beliau lakukan benar. Bagi saya pribadi, sikap istri-istri Nabi SAW lainlah yang benar karena mereka tetap tinggal di rumah mereka. Jadi kembali saya ingatkan apakah kesalahan Aisyah RA di atas dimana ia tidak tetap dirumah itu telah menodai kesucian Nabi SAW? silakan dijawab dengan lugas, ya atau tidak kemudian jelaskan 🙂

    Ya jelas karena pada ayat tersebut Ummu Salamah melihat Nabi mendo’akan keluarga Fatimah agar mereka dibersihkan oleh Allah, dan itulah yg diceritakan oleh beliau tidak yang lain-lain.

    Inilah yang saya sebut logika basa basi. Jelas-jelas dalam kata-kata kesaksian Ummu Salamah ia mengatakan ada ayat yang turun. nah kalau berpegang pada urutan ayat maka ayat yang turun dimulai dari kata “hai sitri-istri Nabi” kalau memang ayat yang turun mencakup ayat sebelumnya maka mengapa lantas Ummu Salamah memotong atau memenggalnya. Kalau anda mau bilang itu karena Rasul SAW memperluasnya, lha bukankah menurut anda ayat tersebut turun dulu baru kemudian diperluas. Artinya ya ayat tersebut turun seluruhnya dulu kemudian baru yang khusus kata innama diperluas oleh Nabi SAW, kok malah faktanya Ummu Salamah hanya menyatakan ayat yang turun dimulai dari kata “innama”?. Dan ini sangat wajar dengan sikap Ummu Salamah, toh ia tidak merasa kalau ayat tersebut tertuju untuknya karena ketika ayat tersebut turun tidak ada kata-kata “hai istri-istri Nabi”. Kalau ada, maka Ummu Salamah gak perlu berharap ikut masuk bersama ahlul kisa’ sebagai ahlul bait.

    Memang istri-istri Nabi bukanlah orang-orang maksum, makanya mereka hendak dibersihkan oleh Allah karena kedudukan mereka adalah sebagai istri-istri Nabi, termasuk perbuatan mereka yang diceritakan dalam ayat tsb. Dan Allah telah mentarbiyah mereka, meluruskan yang keliru, itu semua akhirnya untuk kebaikan mereka dan tentunya untuk kebaikan Nabi juga dan akhirnya mereka memilih untuk bertaubat untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat. Perbuatan mereka jika tidak diluruskan oleh Allah tentunya akan mengurangi kinerja Nabi sebagai Nabi Allah, karena Nabi sempat mengharamkan menggauli salah satu istri beliau, sehingga kemudian beliau ditegur oleh Allah dan kemudian Allah menegur istri-istri beliau tersebut dan meluruskan segala kekeliruan. Jadi apa yg mereka perbuat berpengaruh terhadap pribadi beliau karena mereka adalah orang terdekat beliau di rumah beliau dan Allah pun meluruskannya dan membersihkan mereka dari dosa, tentunya pada akhirnya untuk menjaga kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Happy ending dech jadinya.

    Anda tetap tidak menjawab pertanyaan saya. Apakah ketika Aisyah dan Hafsah yang dimaksud dalam ayat tahrim itu melakukan kekeliruan atau kesalahan maka itu telah melanggar kesucian Nabi SAW?. silakan dijawab dulu, Allah SWT mentarbiyah mereka ya karena mereka adalah istri-istri Nabi SAW tetapi apakah jika istri Nabi SAW berbuat salah maka itu menodai kesucian Nabi SAW. Apakah Nabi SAW jadi tidak mulia jika ada istrinya yang berbuat salah?. Mengapa dalam ayat tersebut ada kata-kata “Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan-Nya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan [At Tahrim ayat 5].

    Ngomong-ngomong soal ayat At Tahrim ada analogi yang bagus buat anda [dan termasuk alfanarku]. Di ayat tersebut firman Allah SWT menggunakan kata “istri-istriMu” nah pertanyaan saya, apakah itu untuk semua istri-istri Nabi SAW? kalau tidak bagaimana anda bisa tahu, dan mengapa para penerjemah memasukkan nama Aisyah dan Hafsah padahal tidak ada tuh tertulis dalam ayatnya. Nah dari mana mereka tahu kalau ayat tersebut tertuju pada kedua istri nabi Hafsah dan Aisyah?. Hayo dari mana, dari urutan ayat :mrgreen:

    Sudah saya jawab di atas, tinggal bagaimana anda mendifinisikan “tetap tinggal di rumah” tersebut, kalau anda memahami “tetap tinggal di rumah” adalah tidak boleh keluar sama sekali walaupun untuk keperluan syar’i, terus terang saya tidak sependapat.

    Ngomong-ngomong Istri Nabi SAW setelah wafat Nabi SAW pergi haji tidak? nah silakan dijawab, itu syar’i kan 🙂

    Sudah saya sampaikan Allah menghendaki kemuliaan Nabi Muhammad dengan kemuliaan yang sempurna sehingga tidak ada celah bagi para pencela, maka Allah tarbiyah ahlul bait beliau dan membersihkan mereka, yang hal itu menunjukkan keutamaan beliau dibandingkan Nabi-Nabi yang lain,

    Maaf anda belum menjawab pertanyaan saya, apakah jika istri Nabi Luth AS atau Nabi Nuh AS menyimpang maka kedua Nabi tersebut jadi tidak suci atau kesuciannya ternoda?.

    dimana pada Nabi2 yang lain kadang ada istrinya yang durhaka atau anaknya. tentunya hal ini membuat point mereka menjadi berkurang dan jadi bahan celaan bagi musuh2 mereka,

    poin? siapa nih yang sedang berebut poin, dan siapa yang menentukan poin para Nabi, anda kah? saran saya silakan berhati-hati menggunakan kata-kata untuk membela keyakinan anda. dipikirkan dulu dengan baik. Adakah Allah SWT menyatakan poin Nabi Luth atau Nabi Nuh berkurang? atau adakah Allah SWT mengkritik kedua Nabinya karena perkara istri mereka?. Ngomong2 kerabat Nabi lain yang dinyatakan kafir oleh salafy seperti kedua orang tua Nabi dan paman tercinta Nabi Abu Thalib, adakah anda merasa risih? atau mari saya bertanya pada anda apakah hal itu menodai kesucian Nabi SAW? atau dengan bahasa anda poin Nabi berkurang?. saya malah bingung

    apalagi Allah telah mengukuhkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah uswatun hasanah, maka hal ini adalah pengukuhan yang menuntut adanya keniscayaan teladan dalam segala aspek kehidupan beliau, termasuk hal kepemimpinan dalam rumah tangga beliau, sebagaimana ayat kuu anfusakum wa ahlikum naaro. Saya kira sudah begitu jelas maksud saya.

    Bagaimana dengan kasus Abu Thalib RA, apakah anda mau mempermasalahkan dakwah Nabi?. bukankah menurut anda keniscayaan uswatun hasanah, saya lihat logika anda itu logika hasil, artinya keteladanan seseorang dilihat dari hasilnya. Jika istri Nabi melanggar perintah Nabi maka apakah anda mau mengatakan Nabi tidak bisa memimpin rumah tangga?. logika hasil yang memaksa, seolah-olah karena Nabi maka semua yang dibawah kepemimpinannya akan selalu baik, padahal namanya manusia yang dipimpin ada yang baik dan ada pula yang buruk. Apakah jika suatu umat menolak untuk beriman maka akan adan katakan bahwa Nabi itu tidak bisa menyampaikan dakwah?. Apakah jika Nabi memimpin suatu kaum maka tidak akan ada diantara kaumnya ingkar? apakah jika ada diantara orang atau kaum yang dipimpin Nabi melakukan penyimpangan maka Nabi tidak bisa memimpin?. Apakah semua itu membuat poin Nabi berkurang? jujur saja jawaban anda malah membuat saya semakin bingung.

    Saya tidak berbasa basi, justru anda lah yang seharusnya juga berintrospeksi diri.

    Kalau tidak mau berbasa basi ya jawablah dengan jelas, introspeksi itu tugas setiap orang kan 🙂

    Saya sudah jelaskan maksud saya di atas, saya kira cukup jelas yaitu menyangkut kemuliaan yang sempurna dari Allah kepada penghulu para Nabi.

    Saya deskripsikan untuk anda. Diantara istri Nabi SAW selepas Nabi SAW wafat ada yang melakukan kesalahan yaitu Aisyah RA. Beliau tidak seperti istri Nabi yang lain malah keluar rumah dan memimpin orang-orang hingga terjadi “perang Jamal”. Beliau Aisyah RA pun mengakui kesalahannya. Nah apakah dengan ini anda akan menyatakan kemuliaan Nabi SAW tidak sempurna?. Contoh lain Nabi SAW punya banyak sahabat yang beliau didik dan diantara mereka ternyata ada yang terbukti melakukan kesalahan dan penyimpangan termasuk diantaranya Abu Bakar dan Umar yang pernah melarang haji tamattu. Apakah kesalahan sahabat ini menunjukkan kemuliaan Nabi SAW jadi kurang sempurna? silakan dijwab dengan baik dan tidak perlu basa-basi. 🙂

    Saya sudah jawab, bagaimana dg anda? Akankah anda akan melebar kemana-mana?

    Kan saya bilang jawab dengan fokus, saya ingin membuktikan kepada anda bahwa kesucian Nabi SAW adalah suatu sifat yang niscaya diberikan Allah SWT tidak mesti tergantung dengan manusia yang berinteraksi dengan Nabi SAW. Jika istri Nabi SAW tidak taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya maka Allah SWT akan mengganti dengan istri lain yang lebih taat. Itulah firman Allah SWT dan maaf sangat bertentangan dengan premis anda.

    Para ulama sudah menjelaskannya, malah maaf penjelasan anda yg terlihat rancu dan dipaksakan.

    Ulama yang mana ya, kayaknya anda belum bilang tuh. kalau cuma begitu orang lain pun bisa berkata “para ulama sudah menjelaskannya”. 🙂

    Tetapi banyak ulama sunni yang berpendapat bahwa ayat tersebut untuk istri-istri Nabi dan juga ada yang mengkompromikan keduanya, anda juga mengetahuinya kan? jadi siapa yang berbasa basi?

    lho maaf ya anda ini yang terbukti berbasa-basi. Anda boleh saja bilang banyak tetapi seyogianya anda menyebutkan dulu siapa-siapa mereka, begitulah caranya berhujjah, bila perlu referensi anda mengutip. Yang anda lakukan itu cuma pengakuan, dan setiap orang bisa ngaku-ngaku, pengakuan anda bisa benar dan bisa pula salah. kalau tidak mau dikatakan berbasa-basi ya to the point saja, kalau memang tahu sebutkan, kalau tidak tahu ya katakan tidak tahu, kalau lupa ya katakan lupa. jangan pakai logika “katanya” atau “katanya”. Berhujjah dengan gaya begitu yang saya sebut basa-basi

    Saya tidak memfitnah, itu kenyataan yang ada. Kalau anda tidak tahu atau merasa ya bukan salah saya

    kenyataan apa? kenyataan karena anda berkata begitu?. Apa dasar anda? apa bukti anda? pengalaman anda ketemu orang syiah?. lho pengalaman saya beda terus gimana. Saya juga pernah tuh pengalaman ketemu orang islam [sunni] yang suka menghina dan mensesatkan orang? terus apa saya bilang “begitulah Sunni” wah wah bisa rusak pikiran saya kalau menuruti cara kerja pikiran anda 🙂

    Saya pun sering berdiskusi dengan mereka, dan kenyataan mereka memang meremehkan para sahabat Nabi dan istri-istri beliau, silahkan anda berselancar di internet atau di blog anda sendiri, fakta yang berbicara, maka tidak perlu adanya basa basi mengenai mereka.

    Itu karena anda gak berada di posisi mereka, bagi mereka mungkin anda kali yang akan dituduh menghina atau merendahkan ahlul bait. Anda gak terima sambil berkata “itu fitnah saya mencintai ahlul bait” lalu mereka berkata “bohong mana mungkin mengaku mencintai ahlul bait tetapi memuliakan mereka yang menyakiti ahlul bait”. Kan sudah saya bilang anda tidak mau mengerti mereka maka sama mereka pula tidak mau mengerti anda. Mau bilang mereka sesat, ya sama anda dibilang mereka sesat. teruslah begitu sampai tua dan saya gak ikut-ikutan. Mau sibuk merasa-rasa ya silakan, saya sih jalan terus menyisihkan untaian benang kusut satu-satu :mrgreen:

  87. @edi
    Edi 22 maret 2010:

    kita bicara tentang siapa ahlul bait dlm al-ahzab : 33, logika yg sederhana, bahwa ayat tersebut turun berkenaan Nabi dan istri-istri beliau yang tinggal bersama dalam satu tempat, sungguh hal yang masuk akal jika Nabi pun ingin mengikutkan keluarganya dlm hubungan nasab untuk turut juga merasakan pembersihan dari Allah,

    Edi 18 maret 2010:

    maka kesimpulan yang paling logis adalah seperti pemahaman ahlussunnah yang bersifat tengah-tengah, bahwa ahlul bait dalam ayat tersebut mencakup Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum. tidak seperti pemahaman syi’ah yang meninggalkan istri-istri Nabi. Alhamdulillah semakin mantap keyakinanku.

    Belum genap seminggu anda sudah merubah statement dan keyakinan anda .. :mrgreen:
    Jadi yang mana yang pemahaman ahlul sunnah? anda sudah murtad dari ahlul sunnah dan pindah panutan ke alfanarku?
    Keyakinan anda yang terbaru tsb apakah berarti Rasulullah tidak paham bahwa ahlul bayt (ayat QS:33:33) adalah khusus untuk Istri2 beliau?
    Ataukah tafsir ayat tsb sebelum do’a Nabi berbeda dengan setelah do’a Nabi? (mestinya Rasullah meminta kepada Allah untuk ahlul kisa’ dengan tambahan kata “juga”).

    Waduhh…hancur lebuh dahh logikanya.
    Bagaimana anda menjelaskan ayat tsb, wong beda kebaikan dengan suci saja anda belum paham.
    Ahlul Bayt adalah dalam derajat suci sesuci2nya, sedang Ummu Salamah dalam derajat kebaikan. Tentunya saja Ummu Salamah ingin masuk dalam derajat suci sesuci2nya, namun penolakan halus Rasulullah (atas perintah Allah) dapat diterima oleh Ummu Salamah, karena memang Ummu Salamah termasuk istri yang paling ta’at.
    Dari penjelasan ini saya tidak perlu lagi menjelaskan kenapa mereka diselimuti kain, dan mengapa Rasulullah berpesan untuk jangan mengijinkan siapapun masuk.
    Rasulullah sudah mengetahui bahwa akan ada umatnya yang seperti anda2 ini yang menolak jika ahlul bayt dimuliakan sehingga Rasulullah menyelimuti mereka dengan kain agar terpisah dari yang lain (Ummu Salamah).
    Agar jelas bagi umatnya siapa yang disucikan Allah.
    Dan Ummu Salamah adalah saksi yang paling sempurna, karena beliau adalah istri Rasulullah yang amanah dan paling ta’at, sehingga beliau tidak tergoda untuk mengaku2 sebagai ahlu bayt yang disucikan.
    Juga diharapkan anda2 yang menolak bisa menerima karena istri beliau (yang anda kira sebagai yang disucikan) yang menyampaikan sendiri bahwa beliau tidak termasuk yang dimaksud ayat tsb.

    Wallahualam bissawab.

  88. @edi
    1.shahih at-turmudzi,dikutip dlm durr al mantsur,jalaludin alsayuti,jild 5 hal 605-606
    ibn abbas meriwayatkan,bhw rosulullah saw membacakan ayat,”sesungguhnya,….(al ahzab 33),dankemudian rosulullah bersabda,karena itu,aku n ahlulbaitku adlh bersih dr segala dosa.
    terlihat ayat ini juga berlaku utk rosul,jd bukan rosul yg menghendaki,tp allah lah yg menghendaki

    2.istri2 rosul bknlah ahlulbait
    -shahih muslim bab keutamaan sahabat,jilid 4 hal 1873,hadis ke 37
    “ibn hayyan meriwayatkan,kami pergi ke zaid bn arqam n berkt kpdnya,”….siapakah ahlulbait beliau?apakah mereka istri2 beliau,atas pertanyaan itu zaid berkata,’tidak,demi allah.!,seorang perempuan hidup brsama dg seorang pria utk sementara waktu,dan pria itu dpt menceraikan nya,dan dia kembali kpd orang tua n kaumnya.Ahlulbait nabi adalah garis darah n keturunan beliau yg dilarang menerima sedekah”.

    3.penegasan rosul bhw ahlul bait adlah ali,fatimah,hasan n husein.
    -as sawaiq al muhriqah,oleh ibn hajar bab 11 bag 1,hal 220.
    berkenaan dgn ayat tsb.
    anas bin malik meriwayatkan,sejak turunnya ayat itu,…
    n selama 6 bln sesudahnya,rosul biasa berdiri dipintu rumah fatimah n berkata,”Waktunya utk sholat,wahai ahlulbait!,Sesungguhnya allah berkehendak utk mengilangkan segala yg di benci dr kalian n menjadikan kalian suci n tak ternoda”
    -ibnu katsir,tafsir jild 3 hal 483. suyuti n ibn jarir thabari jg dlm kitab2 mereka
    abu hurairah meriwayatkan,”rosulullah selama 9 bulan dimadinah terus menerus mendatangi pintu ali pd setiap subuh meletakan ke 2 tangan beliau dike 2 sisi pintu n berseru “……sama dgn yg diriwayatkan anas bin malik..”

    adakah penegasan jg terjadi pd istri2 beliau n di ucapkan scr terus menerus?

  89. @secondprince

    saya akan ringkas saja jawaban saya :

    1. saya tidak melihat kerancuan dari al-ahzab : 33, semuanya sangat jelas dan berurutan dan terdapat penjelasannya, dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunnah menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah sebagai ahlul bait dalam ayat thathir dan ahlul kisa’ pun masuk dalam pengertian ahlul bait yang dibersihkan dalam ayat tersebut berdasarkan do’a Nabi dalam hadits kisa’

    2. ayat pembersihan untuk ahlul bait Nabi adalah sebesar-besar kenikmatan yang diberikan kepada Nabi-Nya sebagai anugrah untuk sang penghulu Nabi dan Rasul agar kemuliaan beliau semakin sempurna.

    3. yang saya maksud poin adalah bagi musuh-musuh para Nabi, dengan dibersihkannya ahlul bait beliau menutup celaan dari para pencela di kalangan musuh-musuh beliau (orang2 kafir, munafik dll). bukan dari kalangan yg mendukung beliau. saya kira sudah jelas maksud saya, dan hal itu sebagai anugrah untuk penghulu para Nabi, silahkan jika anda masih bingung.

    4. anda harus bedakan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh adalah perumpamaan orang yg kafir sebagaimana yg disebutkan dlm Al-Qur’an, sedangkan istri-istri Nabi SAW, walaupun mereka pernah berbuat keliru karena sifat mereka sebagai manusia biasa yang punya rasa cemburu thd suami mereka, tetapi tidak ada satu dalil pun yg mengatakan mereka telah kafir karena kekeliruan mereka tersebut. jelas bedanya kan? keluarga terdekat beliau adalah keturunan dan istri-istri beliau, dan berada bawah kepemimpinan beliau, yg berhubungan dg kedudukan beliau sbg sayyidul bait dalam rumah tangga harus sesuai ayat kuu anfusakum wa ahlikum naaro. dan ayat tsb tidak berlaku untuk ahlul bait yg lain ataupun umat beliau, Abu Thalib tidaklah termasuk dalam rumah tangga beliau, sedangkan kedua orang tua beliau telah meninggal di saat beliau masih kecil. saya kira hal ini sudah jelas.

    5. ayat yg anda sebutkan mengenai istri-istri Nabi adalah bentuk peringatan kepada mereka agar ta’at dan akhirnya mereka pun memilih keta’atan dan tetap menjadi istri Nabi baik di dunia maupun di akhirat.

    6. Hidayah adalah milik Allah, memang jika anak ataupun istri Nabi kafir misalnya, tidaklah akan mengurangi kemuliaan beliau, tetapi yg saya maksud adalah pembersihan thd mereka oleh Allah adalah merupakan anugrah untuk kemuliaan Nabi yang sempurna, sehingga orang kafir pun tertutup pintu untuk mencela beliau, anda tentu mengetahui haditsul ifki, tentang berita bohong mengenai A’isyah ra, bagaimana hal tsb berpengaruh thd Nabi, hingga Allah menurunkan ayat untuk membersihkan Aisyah. jadi viewnya kemuliaan beliau dilihat dr sisi luar (musuh2 beliau). dan Allah tidak menghendaki hal spt itu trjd pada diri beliau. inilah maksud saya dan kenyataan bahwa anak dan istri beliau tidak ada satupun yg kafir, tetapi mereka adalah orang2 yg ta’at dan istri2 beliaupun menjadi ummahatul mukminin. kekeliruan yg pernah terjadi adalah bagian dari proses tarbiyah. jadi yg kita bicarakan adalah tentang Nabi SAW yg sudah terjadi, ga perlu pengandaian2 lg.

    7. mungkin kita berbeda memahami insiden Jamal dan keluarnya Aisyah ra. demikian juga mengenai ijtihad Abu Bakar, Umar, Utsman maupun Ali. jika mereka keliru dalam berijtihad ya karena mereka manusia biasa dan tentunya tidak sebanding dengan keutamaan mereka berdasarkan ayat Alqur’an dan hadits yg menyinggung tentang mereka.

    8. Hadits Kisa’ bukanlah asbabun Nuzul al-ahzab : 33, menurut hadits Tirmidzi, ayat tsb turun duluan baru mereka dipanggil. maka jelas hadits kisa’ adalah tambahan makna ahlul bait dalam ayat itu bukan asbabun nuzul. jadi simpan saja analogi anda itu.

    9. Justru karena rasulullah adalah manusia yang suci, maka Allah berkehendak untuk membersihkan ahlul bait beliau yaitu istri2 beliau plus anak cucu beliau, jadi pembersihan itu jelas ada hubungannya dg beliau kan.

    10. Tentang Syi’ah sangat jelas sekali bahwa paham mereka berusaha menghancurkan agama ini, yaitu menjarh generasi awal Islam yg membawa agama ini. konsekuensi dr paham mereka adalah Nabi telah gagal berdakwah selama 23 th karena sebagian besar sahabatnya saat itu telah menyimpang dengan tidak memilih Ali sebagai khalifah, padahal Allah sendiri yang telah memenangkan agama-Nya melalui mereka dan memuji mereka. dan konsekuensinya juga adalah hampir semua riwayat adalah cacat karena sebagian besar sahabat dicacat oleh mereka. daya rusak mereka lebih dahsyat drpda kaum tartar. maka tidak ada kompromi / rasa merasa dg mereka, sudah jelas kok bahaya paham mereka. tapi silahkan jika anda membelanya. kita pun sedang menguntai benang2 yg kusut yg telah dikusutkan oleh mereka.

    Salam

  90. @edi

    Memang istri-istri Nabi bukanlah orang-orang maksum, makanya mereka hendak dibersihkan oleh Allah karena kedudukan mereka adalah sebagai istri-istri Nabi,

    Anda sendiri mengakui bahwa Ummu Salamah tdk ikut masuk dalam do’a Nabi saw karena sdh dalam kebaikan. Kenapa pula sekrg anda katakan hendak dibersihkan? Yang mana sih hujjah anda sesungguhnya? Isteri2 Nabi ikut disucikan atau tidak? Jika Ya, maka Ummu Salamah dan isteri2 yang lain harusnya ikut bersama2 Ali, Fatimah, Hasan & Husein.
    Jika tidak ikut, maka mrk msh dalam keadaan belum suci. Kan begitu?

    Ataukah anda ingin mengatakan bahwa sebagai ahlulbait, mereka tdk perlu lagi disucikan karna sdh suci. Begitukah?
    Pernyataan2 anda msh membingungkan sy.

    Siapa ahlulbait dan siapa ahlulkisa?

    Bisakah anda menjawab sesuai pertanyaan dan bukan secara umum?

    Salam

  91. @edi

    1. saya tidak melihat kerancuan dari al-ahzab : 33, semuanya sangat jelas dan berurutan dan terdapat penjelasannya, dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunnah menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah sebagai ahlul bait dalam ayat thathir dan ahlul kisa’ pun masuk dalam pengertian ahlul bait yang dibersihkan dalam ayat tersebut berdasarkan do’a Nabi dalam hadits kisa’

    Silakan anda berpendapat begitu, anda mau mengatakan anda yang paling benar juga gak ada masalah karena bagi saya yang namanya pengakuan setiap orang bisa merasa-rasa. Anda boleh berkata tidak rancu yang jelas saya sudah menjelaskan panjang lebar kerancuan anda, kalau anda tidak mau melihat atau menutup mata ya silakan, lagi-lagi gak ada gunanya buat saya. Kalau mau berdiksusi maka anda harus fokus dengan argumen lawan bicara anda bukannya fokus dengan perasaan anda :mrgreen:

    2. ayat pembersihan untuk ahlul bait Nabi adalah sebesar-besar kenikmatan yang diberikan kepada Nabi-Nya sebagai anugrah untuk sang penghulu Nabi dan Rasul agar kemuliaan beliau semakin sempurna.

    Sudah jelas itu,kita disini cuma beda siapa yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut 🙂

    3. yang saya maksud poin adalah bagi musuh-musuh para Nabi, dengan dibersihkannya ahlul bait beliau menutup celaan dari para pencela di kalangan musuh-musuh beliau (orang2 kafir, munafik dll). bukan dari kalangan yg mendukung beliau. saya kira sudah jelas maksud saya, dan hal itu sebagai anugrah untuk penghulu para Nabi, silahkan jika anda masih bingung.

    Maaf anda ini tidak konsisten dengan argumen anda sendiri, terkadang bilang begini terkadang bilang begitu. Bukankah telah dijelaskan kepada anda bahwa pembersihan tersebut jika berpegang pada urutan ayat maka bersifat syar’i artinya tergantung perbuatan para istri Nabi SAW nantinya. Yang kita bahas kan adalah mengenai kesucian Nabi, apakah jika istrinya berbuat salah maka itu menodai kesucian Nabi SAW? ini kan gara-gara premis yang anda ajukan sebelumnya. Lucunya sekarang anda malah komentar bahwa “istri Nabi bukan kafir”. anda ini sedang melucu atau tidak tahu cara berdiskusi ya, siapapun juga tahu kalau istri Nabi bukan kafir, yang kita bahas kan jika istri Nabi SAW melakukan kesalahan, apakah kesalahan mesti disamakan dengan kafir. 🙂

    4. anda harus bedakan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh adalah perumpamaan orang yg kafir sebagaimana yg disebutkan dlm Al-Qur’an, sedangkan istri-istri Nabi SAW, walaupun mereka pernah berbuat keliru karena sifat mereka sebagai manusia biasa yang punya rasa cemburu thd suami mereka, tetapi tidak ada satu dalil pun yg mengatakan mereka telah kafir karena kekeliruan mereka tersebut. jelas bedanya kan?

    Memang jelas bedanya, yang saya harapkan anda mengerti persamaannya. jika istri Nabi bisa kafir dan kekafiran mereka tidak menodai kesucian Nabi seperti Nabi Nuh dan Nabi Luth maka apalagi kalau cuma sekedar kesalahan. Wajar saja istri Nabi SAW yang tidak maksum bisa salah dan kesalahan mereka tidaklah menodai kesucian Nabi SAW. pahamkah? ah rasanya tidak :mrgreen:

    keluarga terdekat beliau adalah keturunan dan istri-istri beliau, dan berada bawah kepemimpinan beliau, yg berhubungan dg kedudukan beliau sbg sayyidul bait dalam rumah tangga harus sesuai ayat kuu anfusakum wa ahlikum naaro. dan ayat tsb tidak berlaku untuk ahlul bait yg lain ataupun umat beliau, Abu Thalib tidaklah termasuk dalam rumah tangga beliau, sedangkan kedua orang tua beliau telah meninggal di saat beliau masih kecil. saya kira hal ini sudah jelas.

    Logika anda yang sederhana itu juga tidak hanya berlaku buat istri Nabi tetapi juga berlaku buat para sahabat Nabi. Bukankah mereka para sahabat berada di bawah kepemimpinan Beliau sebagai Sayyid mereka. Nah jika akhirnya para sahabat melakukan kesalahan bahkan diantara mereka terjadi perperangan apakah itu semua menodai kesucian Nabi SAW?. Jelas tidak, Nabi SAW telah memimpin dengan baik telah menyampaikan dan menjelaskan dengan baik nah semuanya kembali kepada para manusianya.

    5. ayat yg anda sebutkan mengenai istri-istri Nabi adalah bentuk peringatan kepada mereka agar ta’at dan akhirnya mereka pun memilih keta’atan dan tetap menjadi istri Nabi baik di dunia maupun di akhirat.

    Inilah salah satu contoh anda tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan, lha jelas sekali ayat tersebut untuk istri Nabi tidak ada yang menolak. Saya kan cuma mau menunjukkan lemahnya premis anda yang menyamakan antara Nabi dengan istri-istri Beliau. seolah jika istri Beliau salah maka Nabi jadi gak suci lagi. gak ada yang begini kecuali paham anda sendiri.

    6. Hidayah adalah milik Allah, memang jika anak ataupun istri Nabi kafir misalnya, tidaklah akan mengurangi kemuliaan beliau,

    Nah ini yang seharusnya anda akui dari awal, bukannya malah berkomentar panjang tak jelas 🙂

    tetapi yg saya maksud adalah pembersihan thd mereka oleh Allah adalah merupakan anugrah untuk kemuliaan Nabi yang sempurna, sehingga orang kafir pun tertutup pintu untuk mencela beliau, anda tentu mengetahui haditsul ifki, tentang berita bohong mengenai A’isyah ra, bagaimana hal tsb berpengaruh thd Nabi, hingga Allah menurunkan ayat untuk membersihkan Aisyah. jadi viewnya kemuliaan beliau dilihat dr sisi luar (musuh2 beliau). dan Allah tidak menghendaki hal spt itu trjd pada diri beliau. inilah maksud saya dan kenyataan bahwa anak dan istri beliau tidak ada satupun yg kafir, tetapi mereka adalah orang2 yg ta’at dan istri2 beliaupun menjadi ummahatul mukminin. kekeliruan yg pernah terjadi adalah bagian dari proses tarbiyah. jadi yg kita bicarakan adalah tentang Nabi SAW yg sudah terjadi, ga perlu pengandaian2 lg.

    Tidak ada masalah yang ini, yang jadi masalah dari awal adalah anda menjadikan ini sebagai hujjah untuk kata ganti “kum”. Bukankah anda mengatakan kalau digunakan kata ganti “kum” karena pada dasarnya menyucikan Nabi juga. Nah hujjah anda inilah yang keliru dari awal. Kenapa? karena penyucian dalam urutan ayat tersebut tergantung perintah dan larangan maka penyucian tersebut ya tergantung individu yang dikenakan perintah tersebut yaitu khusus untuk istri-istri Nabi, maka kata ganti yang digunakan haruslah “kunna”. Apakah kalau digunakan kata “kunna” maka penyucian terhadap istri Nabi SAW tidak ada sangkut pautnya dengan Nabi?. cek tuh kata “buyutikunna” rumah istri Nabi adalah rumah Nabi SAW juga, mengapa Allah SWT gak pakai kata “kum” apakah itu bukan rumah Nabi SAW? ya jelas rumah Nabi SAW siapapun tahu itu, tapi gak mesti pakai kata ganti “kum” justru Allah SWT menggunakan kata “kunna” untuk mengkhususkan kalau yang sedang diajak bicara oleh Allah SWT itu adalah mereka khusus istri-istri Nabi. Lantas mengapa ketika kata “kum” di ayat tathir anda mengatakan itu penyucian untuk Nabi SAW juga karena otomatis penyucian terhadap istri Nabi juga berarti mensucikan Nabi?. siapapun tahu kali kalau istri Nabi SAW disucikan maka itu akan ada efeknya buat Nabi. artinya Beliau punya istri yang mentaati Allah SWT dan Rasulnya, tetapi sebagaimana kata buyutikunna yang sedang diajak bicara itu kan istri-istri Nabi jadi kata ganti yang digunakan ya tetap “kunna” mengapa harus kum. “kum” menandakan yang diajak bicara adalah laki-laki dan wanita bukan khusus wanita. Saya ulangi rumah istri Nabi itu kan rumah Nabi juga tapi kenapa Allah SWT pakai kata “buyutikunna” gak pakai buyutikum kan sama dengan logika anda “penyucian istri Nabi kan ujungnya penyucian Nabi juga”. so kenapa mesti pakai kata “kum” gak ada keharusan tuh. Jelas kata ganti disini merujuk pada siapa yang dituju oleh Allah SWT bukannya dengan logika anda yang “penyucian istri Nabi ya mengikutkan Nabi” lha sama dengan “rumah istri Nabi ya rumah Nabi” tetapi Allah SWT tetap pakai kata “buyutikunna”.

    7. mungkin kita berbeda memahami insiden Jamal dan keluarnya Aisyah ra. demikian juga mengenai ijtihad Abu Bakar, Umar, Utsman maupun Ali. jika mereka keliru dalam berijtihad ya karena mereka manusia biasa dan tentunya tidak sebanding dengan keutamaan mereka berdasarkan ayat Alqur’an dan hadits yg menyinggung tentang mereka.

    Apanya yang beda, jelas-jelas anda mengakui kalau mereka bisa keliru. Nah bagi saya Aisyah RA keliru dalam perkara ini, nah apakah kekeliruan beliau ini akan menodai kesucian Nabi SAW?. Tidak akan ada yang bilang begitu kecuali orang yang terperangkap nafsu ingin membantah saja. Kekeliruan Aisyah RA tidak menodai kesucian Nabi SAW. Kesucian Nabi SAW adalah sesuatu yang niscaya diberikan oleh Allah SWT

    8. Hadits Kisa’ bukanlah asbabun Nuzul al-ahzab : 33, menurut hadits Tirmidzi, ayat tsb turun duluan baru mereka dipanggil. maka jelas hadits kisa’ adalah tambahan makna ahlul bait dalam ayat itu bukan asbabun nuzul. jadi simpan saja analogi anda itu.

    Apalagi argumen anda yang ini, menunjukkan anda tidak mengerti apa itu asbabun nuzul. Jika memang ayat yang ingin disampaikan terkait hukum-hukum syariat tertentu maka memang biasanya ada peristiwa yang mendahului, lha ayat ini kan tentang Allah SWT yang berkehendak menyucikan ahlul bait dan memuliakan mereka. Nah ketika ayat ini turun Rasul SAW langsung memanggil mereka yang dituju oleh ayat tersebut makanya disebut asbabun nuzul. Kalau memang sekedar perluasan saja maka Nabi SAW tidak perlu buru-buru, tugas Nabi SAW terlebih dahulu adalah menyampaikan wahyu kepada siapa yang dituju dalam wahyu tersebut. jika memang ayat tersebut turun dan untuk istri-istri Nabi SAW maka ketika ayat itu turun Nabi SAW akan langsung memanggil istri-istri Beliau SAW dan menyampaikan ayat perintah dan larangan tersebut kepada mereka, setelah selesai barulah melakukan perluasan. Itu kalau logika anda dan alfanarku yang benar tetapi faktanya tidak begitu, Rasul SAW tidak memanggil istri Beliau malah langsung memanggil ahlul kisa’. Hal ini bukti kalau ayat tersebut turun untuk mereka bukan istri Nabi. Jadi silakan anda simpan logika cacat milik anda dan alfanarku, hujjah anda itu sudah terjawab semua disini. Jadi kalau anda tidak punya jawaban lain ya silakan cukupkan diri.

    9. Justru karena rasulullah adalah manusia yang suci, maka Allah berkehendak untuk membersihkan ahlul bait beliau yaitu istri2 beliau plus anak cucu beliau, jadi pembersihan itu jelas ada hubungannya dg beliau kan.

    Terus kerabat Nabi SAW Beliau lain gimana? mana keluarga Ja’far? mana keluarga Abbas?. lho padahal ada hadis shahih yang bilang mereka adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Kenapa mereka gak masuk ayat tersebut?. Artinya tidak semua kerabat mendapat ayat tathir hanya ahlul bait tertentu saja dan siapa mereka ya dijelaskan oleh Rasul SAW sendiri yaitu ahlul kisa’.

    10. Tentang Syi’ah sangat jelas sekali bahwa paham mereka berusaha menghancurkan agama ini, yaitu menjarh generasi awal Islam yg membawa agama ini.

    Anda gak usah terlalu sibuk dengan logika cacat yang diulang-ulang. Saya tanya anda, apakah anda mengambil agama islam ini dari para sahabat langsung? jawabannya pasti tidak, ada berapa generasi yang dilewati?. Saya tanya apakah semua generasi tersebut tidak bisa disalahkan jika mereka memang salah?. Heh lucu logika anda ini yang kayaknya cuma mengulang logika basi : para sahabat telah menyampaikan agama ini kepada kita jadi tidak boleh menyatakan mereka cacat atau keliru. lantas bagaimana dengan generasi tabiin terus tabiit tabiin dan seterusnya yang ternyata banyak sekali pribadi2 dhaif yang dicacat para ulama padahal generasi2 itu menyampaikan agama kepada anda. Jadi main tebang pilih saja kan.

    konsekuensi dr paham mereka adalah Nabi telah gagal berdakwah selama 23 th karena sebagian besar sahabatnya saat itu telah menyimpang dengan tidak memilih Ali sebagai khalifah,

    Saya tidak bermaksud membela Syiah, tetapi justru logika anda inilah yang cacat. Nabi SAW tidak gagal berdakwah, Beliau SAW telah menyampaikan dengan jelas apa yang harus disampaikan. maka semuanya itu kembali kepada para sahabat sendiri. Kalau memang para sahabat dikatakan salah, terus kenapa? bukankah anda mengakui kalau mereka tidak maksum?. Apa kalau para sahabat salah lantas Nabi SAW gagal berdakwah?. Kenapa anda gak pakai bilang mereka para sahabat berijtihad dalam perkara kekhalifahan ini dan mereka keliru, salah satu pahala benar dua pahala. Sedangkan nash yang jelas menunjukkan Imam Ali sebagai khalifah maka itulah yang benar karena Rasulullah SAW lebih layak untuk diikuti. Nah silakan lihat sendiri saya kasih contoh tuh bagaimana bersikap tanpa mengkafirkan para sahabat Nabi.

    padahal Allah sendiri yang telah memenangkan agama-Nya melalui mereka dan memuji mereka. dan konsekuensinya juga adalah hampir semua riwayat adalah cacat karena sebagian besar sahabat dicacat oleh mereka.

    Saya tanya nih apakah setiap kesalahan sahabat membuat mereka menjadi cacat sepanjang masa? sehingga tidak bisa dijadikan hujjah?. Saya rasa saya telah menunjukkan berbagai kesalahan yang dilakukan sahabat termasuk Abu Bakar dan Umar, dan tidak ada tuh saya mengkafirkan mereka karena kesalahan tersebut. Saya tetap memakai hadis-hadis mereka disini. logika anda itu seolah manusia itu kalau tidak hitam seluruhnya maka ia harus putih seluruhnya. siapapun tahu kali kalau logika seperti itu tidak benar 🙂

    daya rusak mereka lebih dahsyat drpda kaum tartar. maka tidak ada kompromi / rasa merasa dg mereka, sudah jelas kok bahaya paham mereka. tapi silahkan jika anda membelanya. kita pun sedang menguntai benang2 yg kusut yg telah dikusutkan oleh mereka.

    Jangan sok deh, anda justru membuat yang kusut malah jadi lebih kusut. Yang saya bela adalah yang benar, kalau anda yang benar saya tidak keberatan membela anda. Dalam soal rasa merasa baik anda maupun mereka gak ada yang benar. Yah namanya saja rasa merasa ya sama-sama merasa benar. Kalau mau mencari yang benar maka bukan dengan pamer pengakuan tetapi dianalisis dengan tenang dan objektif dalil-dalil atau dasar-dasarnya. Anda saja yang sok merasa mereka lebih berbahaya dari kaum tartar, padahal anda sendiri tuh cuma bisa merasa-rasa sambil menuduh sesat. Mau bersikeras dengan tuduhan anda atau waham anda ya silakan. Saya tidak berniat mengubah diri anda, saya ya saya dan anda ya anda. Salam 🙂

  92. @edi
    Nabi telah gagal berdakwah…??? Anda menilai keberhasilan dan kegagalan dari hasil. Bila logika seperti ini dipakai maka SELURUH para Nabi telah Gagal. Saya berlindung dari paham seperti ini.

    Bagi saya, keberhasilan tugas dinilai dari terpenuhi atau tidaknya tugas yang diamantkan kepadanya. Bagi saya semua Rasul telah BERHASIL menunaikan amanat yang diberikan oleh Allah SWT.

    Anak Nabi adam membunuh saudaranya, isteri Nabi Luth yang ingkar, murid Nabi Isa yang berkhianat, anak Nabi Nuh yang kufur atau banyaknya sahabat Rasul saww yang menyimpang, sama sekali tidak menunjukkan kegagalan dari tugas yang diemban oleh beliau saww.

    Bacalah ayat ini:
    “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. 5: 67)

    Apakah Rasul telah menyampaikan? Bila belum maka Rasul telah GAGAL. Bila sudah, Rasul telah BERHASIL.

    Bila kemudian ummatnya para Nabi banyak yang tidak menta’ati atau tidak mau peduli seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dsb….. maka hal itu TIDAK mengindikasikan bahwa mereka telah GAGAL.

    Bila banyak sahabat yang meninggalkan Nabi ketika berkhutbah. Bila banyak sahabat yang kabur dari medan perang. Bila banyak sahabat yang membunuh saudaranya sendiri. Bila banyak sahabat yang berlomba terhadap harta dan kekuasaan. Bila banyak sahabat yang masuk neraka. Maka semua itu SAMA SEKALI TIDAK MENUNJUKKAN BAHWA NABI TELAH GAGAL.

    Bila pikiran/aqidah anda kusut, jangan menyalahkan orang lain….. baiknya introspeksi!

  93. [QUOTE]
    Mukhawwal adalah Mukhawwal bin Ibrahim bin Mukhawwal bin Rasyd disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 19021
    [/QUOTE]

    uz 9/9 Ats-Tsiqah Ibnu Hibban berakhir pada nomor 16508, yaitu rawi yang bernama Abu Bakr bin Abi an-Nadhr.
    Darimana anda mengutip rawi tsb ?

    [QUOTE]
    Abu Hatim termasuk yang meriwayatkan darinya dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 8/399 no 1831].
    3. Abdul Jabbar bin Abbas disebutkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud dan Al Ajli bahwa tidak ada masalah padanya. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 209]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/552]. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [Al Kasyf no 3085]
    [/QUOTE]

    Abdul Jabar bin Abbas asy-Syabamiy tidak disebut-sebut oleh al-Ajli, yang ada adalah عبد الجبار بن أبي العباس الهذلي (‘Abdul Jabar bin Abi al-‘Abbas al-Hadzaliy) rawi no. 1005, dan dia dinyakan لا بأس به (tidak apa-apa dengannya)

    [QUOTE]
    4. Ammar Ad Duhni yaitu Ammar bin Muawiyah Ad Duhni dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/708] tetapi justru pernyataan ini keliru dan telah dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ammar Ad Duhni seorang yang tsiqat [ Tahrir At Taqrib no 4833]
    5. Umarah binti Af’a termasuk dalam thabaqat tabiin wanita penduduk kufah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4880].
    [/QUOTE]

    Dalam Ats-Tsiqah Ibnu Hibban no. 4880 disebutkan rawi yang bernama عمرة بنت الشافع (Umarah binti asy-Syafi’

    [QUOTE]
    Hanya saja Ibnu Hibban salah menuliskan nasabnya. Umarah juga dikenal dengan sebutan Umarah Al Hamdaniyah [seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 2345].
    [/QUOTE]

    Benar dalam Ma’rifatuts TsiqahNo. 2345 disebutkan rawi bernama عمرة الهمدانية كوفية تابعية ثقة (Umarah al-Hamdaniyah Kufiyah, seorang tabi’in yang tsiqah

    Tau dari mana bahwa Dalam Ats-Tsiqah no. 4880 disebutkan rawi yang bernama عمرة بنت الشافع (Umarah binti asy-Syafi’ adalah yang disebut dalam Ma’rifatul Tsiqah no. 2345 disebutkan rawi bernama عمرة الهمدانية كوفية تابعية ثقة (Umarah al-Hamdaniyah Kufiyah, seorang tabi’in yang tsiqah)

    Dan dimana disebutkan secara jelas bahwa Ibnu Hibban salah memberi nasab Umarah dengan binti asy-Syafi’ yang seharusnya adalah Af’a ?

  94. امهات المومنين من اهل البيت

    ومما لا شك فيه ان ازواج النبي صلي الله عليه وسلم من اهل بيته ومن والبديهي عقلا ان زوجة اي واحد من الناس تعتبر من اهله حتى اصبح من الالفاظ العرفية المتداوله بين الناس ان يطلق الرجل على زوجته لفظ (الاهل ) وهذا ما ص…رح به القران كما سترى

    وقال الزمخشري في الاساس ((تأهل تزوج ويقال في اللغة لمن يريد ان يتزوج اريد ان اتاهل ويقال له تأهلت اي تزوجت فصار لك اهل ))

    وقال الخليل في مقاييس اللغة ((اهل الرجل زوجه ,والتاهل التزوج واهل الرجل اخص الناس به ))

    ((وهذا المصطلح الشرعي في ال رسول الله صلي الله عليه وسلم واهل البيت سكانه واهل الاسلام من يدين به )))

    والاهل للرجل زوجته كما قال الله تعالى في قصه موسى عليه السلام ((فَلَمَّا قَضَى مُوسَىالْأَجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِن جَانِبِ الطُّورِ نَاراً قَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَاراً)القصص29 يعني زوجته ابنة شعيب ومن ذلك ايضا قوله تعالي ((وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا))طه132

    ولكن الشيعه يخرجون على هذه القاعدة فيحصرون اهل البيت في علي وفاطمة والحسنين رضي الله عنهم اجمعين ويزعمون ان امهات المؤمنين ازواج الرسول صلي الله عليه وسلم لسن من اهل بيته

    فنقول لهم تدبروا كلام الله عز وجل ففي كتاب الله تجدون هذا الحوار الذي دار بين الملائكة وبين زوجة النبي ابراهيم عليه السلام عندما بشروها بأن الله سيرزق ابراهيم عليه السلام منها ولدا كما قال سبحانه في ذلك (وَامْرَأَتُهُ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِن وَرَاء إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ@قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَاْ عَجُوزٌ وَهَـذَا بَعْلِي شَيْخاً إِنَّ هَـذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ@قَالُواْ أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ)هود73_71

    فتامل فضل الله بالرحمة والبركات علي ابينا ابراهيم وزوجه حيث عبر عن نزول ذلك عليهما فقال ((عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ))

    وازواج رسولناصلي الله عليه وسلم امهات المومنين رضي الله عنهن اجمعين من اهل بيته وقد نص القران علي هذا فقال تعالي ((يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاًوَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً))الاحزاب 34

    فتأمل لسياق الايات في خطاب القران لنساء النبي صلي الله عليه وسلم فبعد الايات المذكوره تواصل الخطاب لهن بقوله ((وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفاً خَبِيراً))34

    قال الامام الشوكاني في تفسيره قال ابن عباس وعكرمه وعطاء والكلبي ومقاتل بن سعيد ((ان اهل المذكورين في الاية هن زوجات النبي صلي الله عليه وسلم خاصة ))قالوا والمراد من البيت ((بيت النبي صلي الله عليه وسلم ومساكن زوجاته ))لقوله تعالى ((وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفاً خَبِيراً))الاحزاب34

    وفي الحديث ان النبي صلي الله عليه وسلم دخل حجرة عائشه رضي الله عنها فقال ((السلام عليكم اهل البيت ورحمه الله وبركاته فقالت وعليكم السلام ورحمه الله وبركاته ))وقد اختار الله تعالى اولئك النسوة ازواجا لرسوله صلي الله عليه وسلم كما اختارهن امهات للمؤمنين فقال سبحانه ((النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ))الاحزاب 6

    وخصهن بأيات دون غيرهن ومن ذلك ان الله حرم علي رسوله صلي الله عليه وسلم ان يستبدل ازواجا غيرهن وحرم عليهن الزواج من غيره بعد وفاته صلي الله عليه وسلم كما قال تعالى ((وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَداً إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيماً))الاحزاب 53

    ووصفهن بالطيبات لاطيب الطيبين صلي الله عليه وسلم كما ورد في سورة النور عند ذكر قصة ام المؤمنين عائشه رضي الله عنها حيث ختم الايات بمدحها ومدح رسولنا صلي الله عليه وسلم بقوله ((والطيبت للطيبين ))النور 26

    ومن اعتقد في أزواج نبينا أمهات المؤمنين غير هذا في وصفهن وتسميتهن بالطيبات فقد اخرج نفسه من صفه الايمان وليس في عداد المؤمنين با هو من الجاحدين لايات الله

    وقد يقول قائل :أليس علي وفاطمة والحسنين رضي الله عنهم اجمعين من اهل البيت

    فنقول:لاشك ولا ريب أن عليا وزوجه فاطمة الزهراء وولديهما رضي الله عنهم اجمعين من أهل البيت وكانوا احب قرابة النبي صلي الله عليه وسلم حيث الحقهم بأهل بيته الذين اذهب الله عنهم الرجس وطهرهم تتطهيرا

  95. Bismillah…

    salam SP..kalau benar anda dipihak yg benar..jawablah hujah ini…dan haruslah adil..jangan kerna anda tidak tahu menjawabnya lalu anda tidak mengapprove komentar saya…lalu orang2 sunni disini tidak mengetahui hakekat yg dapat mematahkan hujjah syiah..lagi sekali saya nasihatkan..tolonglah adil…kerna saya ada mengomentar tentang ini di blog syiahali.wordpress…tapi pemilik blog tdk mengapprove komentar saya..lalu org sekitarnya tidak mengetahui apa yg hakekatnya..yg dapat mematahkan hujjah syiah yg jahil dlm ilmu bahasa Arab..saya minta maaf kalau bahasa saya kasar..

    Pertama

    Adakah ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman?

    Jawapannya tidak. Perhatikan semula ayat 33 surah al-Ahzab:

    Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][3]

    Perhatikan bahawa Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan perkataan Yuridu (يريد) yang bererti “kehendak” atau “keinginan” atau “bermaksud”. Kemudian perkataan Yuzhiba (يذهب) didahului dengan huruf Lam (ل) yang bererti “untuk” atau “supaya”. Justeru firman Allah:(إنما يريد الله ليذهب) hanyalah menerangkan “kehendak” Allah “untuk” menghilangkan dosa para Ahl al-Bait.

    Seandainya Allah ingin menetapkan sifat maksum (bebas dari dosa dan suci), Allah akan berfirman dengan sesuatu yang bersifat menetapkan, umpama:

    “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan telah membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

    Oleh itu Syi‘ah telah melakukan satu kesalahan yang amat besar lagi fatal apabila mereka mendakwa ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman. Yang benar ayat 33 surah al-Azhab tidak membicara subjek kemaksumam, jauh sekali daripada berperanan menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah atau kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.[4]

    Timbul soalan seterusnya, apakah maksud sebenar firman Allah dalam ayat 33 surah al-Ahzab? Jawapannya akan diperolehi dalam perbahasan kedua seterus ini.

    Sebelum itu untuk memantapkan fahaman para pembaca, berikut dikemukakan contoh sebuah ayat yang juga menggunakan perkataan (يريد) dan (التطهير). Ia adalah ayat berkenaan perintah wudhu’, firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

    Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sembahyang (padahal kamu berhadas kecil), maka (berwuduklah) iaitu basuhlah muka kamu, dan kedua belah tangan kamu meliputi siku, dan sapulah sebahagian dari kepala kamu, dan basuhlah kedua belah kaki kamu meliputi buku lali; dan jika kamu junub (berhadas besar) maka bersucilah dengan mandi wajib; dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pelayaran, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk dan mandi), maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah – debu yang bersih, iaitu: sapulah muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah – debu itu.

    Allah tidak mahu menjadikan kamu menanggung sesuatu kesusahan (kepayahan), tetapi berkehendak untuk membersihkan (طهر) kamu dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya kepada kamu, supaya kamu bersyukur. [al-Maidah 5:06]

    Perhatikan perenggan kedua ayat di atas. Seandainya Syi‘ah menafsirkan ayat 33 surah al-Ahzab sebagai menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait, maka dengan itu juga setiap orang beriman yang berwudhu’ akan memiliki sifat maksum juga. Ini kerana kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah mengunakan istilah Tahara (طهر) yang bermaksud “bersih” atau “suci”.

    Di sisi Ahl al-Sunnah, kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah tidak membicarakan sifat maksum mahupun menetapkan sifat maksum kepada orang yang dirujuk olehnya. Perhatikan, sebagaimana ayat 33 surah al-Ahzab, ayat di atas juga menggunakan perkataan Yuridu dan tambahan huruf Lam: …tetapi (Allah) berkehendak (يريد) untuk membersihkan (ل + يطهر = ليطهر) kamu dan…

    Berdasarkan penggunaan perkataan Yuridu (يريد) dan tambahan huruf Lam (ل), maka ayat kelima surah al-Maidah ini tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada setiap orang beriman yang berwudhu’. Demikianlah juga bagi ayat 33 surah al-Ahzab, ia tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait.

    Jawapan

    Kedua: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?

    Jawapannya akan diperolehi dengan mengkaji keseluruhan konteks perbincangan ayat dari mula hingga akhir. Ia bermula dengan ayat 28 surah al-Ahzab:

    Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: Sekiranya kamu semua mahukan kehidupan dunia (yang mewah) dan perhiasannya (yang indah), maka marilah supaya aku berikan kepada kamu pemberian mut’ah (sagu hati), dan aku lepaskan kamu dengan cara yang sebaik-baiknya. [al-Ahzab 33:28]

    Dan sekiranya kamu semua mahukan (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta (nikmat kemewahan) di Negeri Akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kamu: pahala yang besar. [al-Ahzab 33:29]

    Wahai isteri-isteri Nabi, sesiapa di antara kamu yang melakukan sesuatu perbuatan keji yang nyata, nescaya akan digandakan azab seksa baginya dua kali ganda. Dan (hukuman) yang demikian itu adalah mudah bagi Allah melaksanakannya. [al-Ahzab 33:30]

    Dan sesiapa di antara kamu semua tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal yang salih, Kami akan beri kepadanya pahala amalnya itu dua kali ganda, dan Kami sediakan baginya limpah kurnia yang mulia. [al-Ahzab 33:31]

    Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki asing) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik (sesuai dan sopan). [al-Ahzab 33:32]

    Dan hendaklah kamu tetap di rumah kamu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu; dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya.

    Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][5]

    Dan ingatlah (serta amalkanlah) apa yang dibaca di rumah kamu dari ayat-ayat Allah (Al-Quran) dan hikmah pengetahuan (hadis-hadis Rasulullah). Sesungguhnya Allah Maha Halus Tadbir-Nya, lagi Maha Mendalam pengetahuanNya. [al-Ahzab 33:34]

    Jelas daripada ayat-ayat di atas bahawa yang menjadi konteks perbincangan ialah tunjuk ajar serta perintah dan larangan Allah ‘Azza wa Jalla kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Firman Allah dalam ayat 33 ……Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya…… bukan suatu ayat yang terpisah daripada rangkaian ayat 28 hingga 34. Akan tetapi ia termasuk sebahagian daripada ayat-ayat tersebut. Ia berperanan menerangkan tujuan atau hasil yang ingin dikurniakan oleh Allah kepada para isteri Rasulullah dengan segala tunjuk ajar, perintah dan larangan tersebut.

    Oleh itu perkataan Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab tetap merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Jika ditafsirkan ayat 33 ini merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, ia bererti ‘Ali, Hasan dan Husain diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah. Seterusnya mereka dilarang berhias (tabarruj) apabila berada di luar rumah. Ini adalah tafsiran yang menjauhi fakta yang benar dan pemikiran yang sihat kerana sedia diketahui bahawa ‘Ali, Hasan dan Husain sentiasa bergiat aktif di luar rumah dalam ekspedisi dakwah dan jihad. Lebih dari itu mereka terdiri daripada kaum lelaki yang tidak berhias sebagaimana kaum wanita. Justeru tidak mungkin menafsirkan perkataan Ahl al-Bait dalam ayat di atas sebagai merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.

    Adapun beberapa petunjuk daripada al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah sebagai bukti bahawa ayat 33 surah al-Ahzab hanya merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum, ia dapat dijawab dengan mudah seperti berikut:

    Jawapan Kepada Petunjuk Pertama:

    Istilah Ahl al-Bait tidaklah mutlak merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan nasab sahaja. Ia juga merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan pernikahan. Berikut adalah satu contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan istilah Ahl al-Bait ketika merujuk kepada isteri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

    Isteri (Nabi Ibrahim) berkata: Sungguh ajaib keadaanku! Adakah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku ini juga sudah tua? Sesungguhnya kejadian ini suatu perkara yang menghairankan.

    Malaikat-malaikat itu berkata: Patutkah engkau merasa hairan tentang perkara yang telah ditetapkan oleh Allah? Memanglah rahmat Allah dan berkat-Nya melimpah-limpah kepada kamu, wahai Ahl al-Bait. Sesungguhnya Allah Maha terpuji, lagi Maha Melimpah kebaikan dan kemurahanNya. [Hud 11:72-73]

    Jawapan Kepada Petunjuk Kedua:

    Ayat 33 surah al-Ahzab yang bersifat maskulin (muzakkar) bukan kerana ia mengecualikan para isteri Rasulullah tetapi kerana ia merujuk kepada perkataan Ahl (أهل) yang sememangnya bersifat maskulin. Dalam kaedah bahasa Arab:

    1. Apabila istilah Ahl bersifat maskulin, maka seluruh ayat akan bersifat maskulin juga sekalipun yang dibicarakan ialah berkenaan kaum wanita.

    2. Ayat yang bersifat maskulin tidak mengecualikan kaum wanita kerana lafaz mazkulin boleh mewakili kedua-dua lelaki dan wanita.[6]

    Kedua-dua poin di atas merupakan kaedah yang amat asas dalam ilmu bahasa Arab.

    Hujah ini sebenarnya menunjukkan kejahilan mereka (Syi‘ah) dalam bahasa Arab kerana kebanyakan mereka daripada bangsa Parsi tidak memahami bahasa Arab secara mendalam.

    Jawapan Kepada Petunjuk Ketiga:

    Syi‘ah menggunakan teguran Allah kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum dalam ayat 4 surah al-Tahrim sebagai hujah bahawa mereka (para isteri) tidak termasuk dalam ciri-ciri kemaksuman yang ditetapkan dalam ayat 33 surah al-Ahzab. Hujah ini tertolak dengan dua sebab:

    1. Teguran Allah kepada para isteri Rasulullah bukanlah untuk merendahkan mereka tetapi kerana ingin memelihara mereka daripada sifat-sifat yang tidak baik. Para isteri Rasulullah radhiallahu ‘anhum adalah ibu kepada umat Islam seluruhnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

    Nabi itu lebih menolong dan lebih menjaga kebaikan orang-orang yang beriman daripada diri mereka sendiri; dan isteri-isterinya adalah menjadi ibu mereka. [al-Ahzab 33:06]

    Sebagai “ibu” umat Islam, para isteri Rasulullah menjadi teladan kepada para isteri orang beriman seluruhnya. Justeru apabila Allah menegur dan memberi tunjuk ajar, ia bukanlah kerana keburukan yang ada pada para isteri Rasulullah tetapi kerana Allah ingin menjadikan mereka sumber teladan atau rujukan kepada para isteri umat Islam seluruhnya.

    2. Ayat 33 surah al-Ahzab tidak menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah mahupun ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Oleh itu sia-sia sahaja penghujahan Syi‘ah ini.

    Demikianlah jawapan Ahl al-Sunnah kepada petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah untuk mengecualikan para isteri Rasulullah daripada istilah Ahl al-Bait. Kembali kita kepada persoalan asal yang sedang dibahas: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?

    Jawapannya: Istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sahaja radhiallahu ‘anhum.

  96. @Yantz

    Bismillah…

    salam SP..kalau benar anda dipihak yg benar..jawablah hujah ini…dan haruslah adil..jangan kerna anda tidak tahu menjawabnya lalu anda tidak mengapprove komentar saya…lalu orang2 sunni disini tidak mengetahui hakekat yg dapat mematahkan hujjah syiah..lagi sekali saya nasihatkan..tolonglah adil…kerna saya ada mengomentar tentang ini di blog syiahali.wordpress…tapi pemilik blog tdk mengapprove komentar saya..lalu org sekitarnya tidak mengetahui apa yg hakekatnya..yg dapat mematahkan hujjah syiah yg jahil dlm ilmu bahasa Arab..saya minta maaf kalau bahasa saya kasar..

    Salam, saya akan menjawabnya dan tolong pahami jawaban saya baik-baik sebelum balik membantah karena maaf saya bosan mengulang jawaban apalagi kepada orang yang hanya mengandalkan kupipes 🙂

    Pertama

    Adakah ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman?

    Jawapannya tidak. Perhatikan semula ayat 33 surah al-Ahzab:

    Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][3]

    Perhatikan bahawa Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan perkataan Yuridu (يريد) yang bererti “kehendak” atau “keinginan” atau “bermaksud”. Kemudian perkataan Yuzhiba (يذهب) didahului dengan huruf Lam (ل) yang bererti “untuk” atau “supaya”. Justeru firman Allah:(إنما يريد الله ليذهب) hanyalah menerangkan “kehendak” Allah “untuk” menghilangkan dosa para Ahl al-Bait.

    Seandainya Allah ingin menetapkan sifat maksum (bebas dari dosa dan suci), Allah akan berfirman dengan sesuatu yang bersifat menetapkan, umpama:

    “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan telah membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

    Oleh itu Syi‘ah telah melakukan satu kesalahan yang amat besar lagi fatal apabila mereka mendakwa ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman. Yang benar ayat 33 surah al-Azhab tidak membicara subjek kemaksumam, jauh sekali daripada berperanan menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah atau kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.[4]

    Anda berpanjang-panjang menjawab padahal anda tidak memahami kalau Iradah Allah SWT itu ada yang bersifat takwiniyah dan ada yang bersifat tasyri’iyah.

    Iradah takwiniyah adalah Iradah yang sifatnya langsung terjadi atau sebuah ketetapan. seperti pada ayat

    Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya. Kami hanya berkata kepadanya “Jadilah” maka terjadilah ia [AnNahl ayat 40]

    Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap Apa yang Dia kehendaki [Hud ayat 107]

    Masih banyak ayat lain. Iradah dalam ayat di atas adalah iradah yang sifatnya ditetapkan oleh Allah SWT dan itulah makna Iradah dalam Al Ahzab 33. karena Iradah tersebut diawali dengan kata Innama yang bermakna hashr atau pembatasan.

    Timbul soalan seterusnya, apakah maksud sebenar firman Allah dalam ayat 33 surah al-Ahzab? Jawapannya akan diperolehi dalam perbahasan kedua seterus ini.

    Sebelum itu untuk memantapkan fahaman para pembaca, berikut dikemukakan contoh sebuah ayat yang juga menggunakan perkataan (يريد) dan (التطهير). Ia adalah ayat berkenaan perintah wudhu’, firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

    Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sembahyang (padahal kamu berhadas kecil), maka (berwuduklah) iaitu basuhlah muka kamu, dan kedua belah tangan kamu meliputi siku, dan sapulah sebahagian dari kepala kamu, dan basuhlah kedua belah kaki kamu meliputi buku lali; dan jika kamu junub (berhadas besar) maka bersucilah dengan mandi wajib; dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pelayaran, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk dan mandi), maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah – debu yang bersih, iaitu: sapulah muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah – debu itu.

    Allah tidak mahu menjadikan kamu menanggung sesuatu kesusahan (kepayahan), tetapi berkehendak untuk membersihkan (طهر) kamu dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya kepada kamu, supaya kamu bersyukur. [al-Maidah 5:06]

    Perhatikan perenggan kedua ayat di atas. Seandainya Syi‘ah menafsirkan ayat 33 surah al-Ahzab sebagai menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait, maka dengan itu juga setiap orang beriman yang berwudhu’ akan memiliki sifat maksum juga. Ini kerana kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah mengunakan istilah Tahara (طهر) yang bermaksud “bersih” atau “suci”.

    Iradah yang dimaksud dalam ayat yang anda kutip adalah Iradah yang bersifat tasyri’iyyah artinya ia terikat syariat tertentu. Jika kita melakukan syariat yang dimaksud dalm hal ini wudhu maka tujuan tersebut akan terlaksana yaitu tujuannya Allah SWT membersihkan orang-orang yang beriman. AL maidah ayat lima itu berbeda dengan Al Ahzab 33. Iradah dalam Al Ahzab 33 adalah Iradah yang dibatasi pada pribadi -pribadi tertentu yang disebutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan tidak terikat dengan syariat tertentu. ditambah lagi pada lafaz akhir terdapat penekanan “wayuthahhirakum tathhiira” artinya “dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. Jadi Iradah yang dimaksud disini bersifat takwiniyah bukan terikat syariat seperti contoh yang anda kutip.

    Di sisi Ahl al-Sunnah, kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah tidak membicarakan sifat maksum mahupun menetapkan sifat maksum kepada orang yang dirujuk olehnya. Perhatikan, sebagaimana ayat 33 surah al-Ahzab, ayat di atas juga menggunakan perkataan Yuridu dan tambahan huruf Lam: …tetapi (Allah) berkehendak (يريد) untuk membersihkan (ل + يطهر = ليطهر) kamu dan…

    Berdasarkan penggunaan perkataan Yuridu (يريد) dan tambahan huruf Lam (ل), maka ayat kelima surah al-Maidah ini tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada setiap orang beriman yang berwudhu’. Demikianlah juga bagi ayat 33 surah al-Ahzab, ia tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait.

    Satu hal lagi Iradah Tasyri’iyah tidak dibatasi, ia berlaku untuk seluruh orang yang terikat dengan syari’at. nah antara Al Ahzab 33 dan Al Maidah ayat 5 terdapat perbedaan nyata. Al Ahzab Iradahnya terbatas pada pribadi tertentu sedangkan Al Maidah Iradahnya untuk semua orang bahkan termasuk Ahlul Bait. Jadi Iradah dalam Al Ahzab 33 bersifat Takwiniyah sedangkan Iradah dalam Al Maidah ayat 5 bersifat Tasri’iyah.

    Jawapan

    Kedua: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?

    Jawapannya akan diperolehi dengan mengkaji keseluruhan konteks perbincangan ayat dari mula hingga akhir. Ia bermula dengan ayat 28 surah al-Ahzab:

    Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: Sekiranya kamu semua mahukan kehidupan dunia (yang mewah) dan perhiasannya (yang indah), maka marilah supaya aku berikan kepada kamu pemberian mut’ah (sagu hati), dan aku lepaskan kamu dengan cara yang sebaik-baiknya. [al-Ahzab 33:28]

    Dan sekiranya kamu semua mahukan (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta (nikmat kemewahan) di Negeri Akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kamu: pahala yang besar. [al-Ahzab 33:29]

    Wahai isteri-isteri Nabi, sesiapa di antara kamu yang melakukan sesuatu perbuatan keji yang nyata, nescaya akan digandakan azab seksa baginya dua kali ganda. Dan (hukuman) yang demikian itu adalah mudah bagi Allah melaksanakannya. [al-Ahzab 33:30]

    Dan sesiapa di antara kamu semua tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal yang salih, Kami akan beri kepadanya pahala amalnya itu dua kali ganda, dan Kami sediakan baginya limpah kurnia yang mulia. [al-Ahzab 33:31]

    Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki asing) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik (sesuai dan sopan). [al-Ahzab 33:32]

    Dan hendaklah kamu tetap di rumah kamu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu; dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya.

    Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][5]

    Dan ingatlah (serta amalkanlah) apa yang dibaca di rumah kamu dari ayat-ayat Allah (Al-Quran) dan hikmah pengetahuan (hadis-hadis Rasulullah). Sesungguhnya Allah Maha Halus Tadbir-Nya, lagi Maha Mendalam pengetahuanNya. [al-Ahzab 33:34]

    Jelas daripada ayat-ayat di atas bahawa yang menjadi konteks perbincangan ialah tunjuk ajar serta perintah dan larangan Allah ‘Azza wa Jalla kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Firman Allah dalam ayat 33 ……Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya…… bukan suatu ayat yang terpisah daripada rangkaian ayat 28 hingga 34. Akan tetapi ia termasuk sebahagian daripada ayat-ayat tersebut. Ia berperanan menerangkan tujuan atau hasil yang ingin dikurniakan oleh Allah kepada para isteri Rasulullah dengan segala tunjuk ajar, perintah dan larangan tersebut.

    Menjadikan ayat Al Ahzab 33 sebagai ayat yang berurutan sesuai dengan ayat sebelum dan sesudahnya jelas tertolak. Kenapa? karena jika memang berurutan maka ayat tersebut hanya tertuju pada istri-istri Nabi saja dan jika memang demikian maka kata ganti yang digunakan harus “kunna” bukannya “kum”. Adanya kata ganti “kum” menunjukkan ayat tersebut tidak berurutan berkaitan dengan istri-istri Nabi tetapi berkaitan dengan pribadi lain yaitu Ahlul Kisa’ dimana terhimpun laki-laki dan perempuan sehingga digunakan kata “kum”.

    Oleh itu perkataan Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab tetap merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Jika ditafsirkan ayat 33 ini merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, ia bererti ‘Ali, Hasan dan Husain diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah. Seterusnya mereka dilarang berhias (tabarruj) apabila berada di luar rumah. Ini adalah tafsiran yang menjauhi fakta yang benar dan pemikiran yang sihat kerana sedia diketahui bahawa ‘Ali, Hasan dan Husain sentiasa bergiat aktif di luar rumah dalam ekspedisi dakwah dan jihad. Lebih dari itu mereka terdiri daripada kaum lelaki yang tidak berhias sebagaimana kaum wanita. Justeru tidak mungkin menafsirkan perkataan Ahl al-Bait dalam ayat di atas sebagai merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.

    Seharusnya ini menjadi bukti kalau ayat tersebut tidak turun berurutan degan ayat sebelum dan sesudahnya. Berbagai hadis shahih sudah membuktikan kalau ayat tathir turun untuk Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husein, Sayyidah Fathimah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sangat tidak mungkin kalau Imam Ali Imam Hasan dan Imam Husein terikat syariat khusus wanita dari ayat sebelum dan sesudahnya. Maka satu2nya penjelasan yang mungkin adalah ayat tersebut tidak berkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

    Adapun beberapa petunjuk daripada al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah sebagai bukti bahawa ayat 33 surah al-Ahzab hanya merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum, ia dapat dijawab dengan mudah seperti berikut:

    Jawapan Kepada Petunjuk Pertama:

    Istilah Ahl al-Bait tidaklah mutlak merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan nasab sahaja. Ia juga merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan pernikahan. Berikut adalah satu contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan istilah Ahl al-Bait ketika merujuk kepada isteri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

    Isteri (Nabi Ibrahim) berkata: Sungguh ajaib keadaanku! Adakah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku ini juga sudah tua? Sesungguhnya kejadian ini suatu perkara yang menghairankan.

    Malaikat-malaikat itu berkata: Patutkah engkau merasa hairan tentang perkara yang telah ditetapkan oleh Allah? Memanglah rahmat Allah dan berkat-Nya melimpah-limpah kepada kamu, wahai Ahl al-Bait. Sesungguhnya Allah Maha terpuji, lagi Maha Melimpah kebaikan dan kemurahanNya. [Hud 11:72-73]

    Istilah Ahlul Bait memang bersifat umum bisa karena ikatan perkawinan dan bisa karena ikatan nasab jadi untuk urusan siapa Ahlul bait dalam ayat tathir kita tidak usah mengira-ngira, cukup berpegang pada penjelasan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri] bahwa Ahlul Bait yang dimaksud adalah Ahlul Kisa’. Penjelasan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah satu-satunya penjelasan yang mutlak benar.

    Jawapan Kepada Petunjuk Kedua:

    Ayat 33 surah al-Ahzab yang bersifat maskulin (muzakkar) bukan kerana ia mengecualikan para isteri Rasulullah tetapi kerana ia merujuk kepada perkataan Ahl (أهل) yang sememangnya bersifat maskulin. Dalam kaedah bahasa Arab:

    1. Apabila istilah Ahl bersifat maskulin, maka seluruh ayat akan bersifat maskulin juga sekalipun yang dibicarakan ialah berkenaan kaum wanita.

    Keliru sekali, perhatikan lafaz “liyudzhiba ankummur rijsa”. nah kum disana merujuk pada kata apa?. Kum disana diucapkan sebelum kata “Ahlul bait” jadi kalau menuruti metode ayat berurutan maka kum disana merujuk pada istri-istri Nabi. Lho kok bisa begitu, ini tidak mungkin kalau berdasarkan kaidah bahasa arab untuk istri2 Nabi seharusnya digunakan kata “kunna”.

    2. Ayat yang bersifat maskulin tidak mengecualikan kaum wanita kerana lafaz mazkulin boleh mewakili kedua-dua lelaki dan wanita.[6]

    Tetapi tidak mungkin lafaz maskulin digunakan untuk ayat yang hanya khusus untuk kaum wanita. Bukankah anda bilang sebelumnya kalau al ahzab 33 hanya untuk istri-istri Nabi saja. Nah bagaimana bisa lafaz maskulin untuk wanita saja. Lafaz “Kum” adalah untuk wanita dan laki-laki yaitu Imam Ali Imam Hasan Imam Husain dan Sayyidah Fathimah.

    Kedua-dua poin di atas merupakan kaedah yang amat asas dalam ilmu bahasa Arab.

    Hujah ini sebenarnya menunjukkan kejahilan mereka (Syi‘ah) dalam bahasa Arab kerana kebanyakan mereka daripada bangsa Parsi tidak memahami bahasa Arab secara mendalam.

    Sebenarnya yang berucap inilah yang lebih pantas untuk dikatakan tidak memahami kaidah bahasa Arab yang sangat jelas.

    Jawapan Kepada Petunjuk Ketiga:

    Syi‘ah menggunakan teguran Allah kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum dalam ayat 4 surah al-Tahrim sebagai hujah bahawa mereka (para isteri) tidak termasuk dalam ciri-ciri kemaksuman yang ditetapkan dalam ayat 33 surah al-Ahzab. Hujah ini tertolak dengan dua sebab:

    1. Teguran Allah kepada para isteri Rasulullah bukanlah untuk merendahkan mereka tetapi kerana ingin memelihara mereka daripada sifat-sifat yang tidak baik. Para isteri Rasulullah radhiallahu ‘anhum adalah ibu kepada umat Islam seluruhnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

    Nabi itu lebih menolong dan lebih menjaga kebaikan orang-orang yang beriman daripada diri mereka sendiri; dan isteri-isterinya adalah menjadi ibu mereka. [al-Ahzab 33:06]

    Sebagai “ibu” umat Islam, para isteri Rasulullah menjadi teladan kepada para isteri orang beriman seluruhnya. Justeru apabila Allah menegur dan memberi tunjuk ajar, ia bukanlah kerana keburukan yang ada pada para isteri Rasulullah tetapi kerana Allah ingin menjadikan mereka sumber teladan atau rujukan kepada para isteri umat Islam seluruhnya.

    2. Ayat 33 surah al-Ahzab tidak menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah mahupun ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Oleh itu sia-sia sahaja penghujahan Syi‘ah ini.

    sudah dijelaskan bahwa Al Ahzab 33 menunjukkan kesucian pribadi yang dimaksud yaitu Ahlul Kisa’. Dalil shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang shahih menetapkan kalau Ahlul Kisa’ lah pribadi yang dituju dalam Al Ahzab 33

    Demikianlah jawapan Ahl al-Sunnah kepada petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah untuk mengecualikan para isteri Rasulullah daripada istilah Ahl al-Bait. Kembali kita kepada persoalan asal yang sedang dibahas: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?

    Jawapannya: Istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sahaja radhiallahu ‘anhum.

    Jawaban ini kan cuma kupipes jawaban hafiz firdaus yang sudah lama sekali. Sebenarnya dari artikel di atas dan komentar-komentar saya sebelumnya sudah cukup jelas menjawab hujjah Hafiz Firdaus ini. Itulah jawaban saya dan tolong dibaca dulu artikel saya di atas beserta komentar2 saya disini.

  97. @sp
    luar biasa engkau,sang bertanya bertanya dgn kalimat yg panjang seolah2 sang bertanya ingin menunjukan bhw dirinya adalah allamah
    tp engkau patahkan dgn kalimat yg singkat tp jelas
    baraqallah….
    sesungguhnya mereka yg qalbux sdh diberi cahaya sangat mudah utk melihat kebenaran
    tp bgi mereka yg hatinya diliputi kegelapan krn hasut n dengki yg nampak buat mereka adalah kejahilan

  98. terima kasih SP..saya hanya mencopy paste dari Hafiz Firdaus..

    lalu saya bercerita tentang ini kpd saudara saya yg juga syiah..tetapi dia terdiam..mungkin kerana dia tidak cukup ilmu dlm syiah serta kelemahan bahasa Arab..

    sebenarnya saya sudah mulai bersikap adil dan tidak fanatik..dulunya saya suka mencemuh dan berkata kasar kpd syiah..salah satunya cemuhan saya kpd pemilik blog jakfari.wordpress..saya ingin mengenali syiah lebih mendalam..bukanlah menganut syiah..tetapi ingin mengetahui jawapan syiah terhadap beberapa fitnah yg dilemparkan..

    kerana sekarang saya sedar bahwa ramai org ingin menghentam syiah dan menunjukkan mereka sesat dgn cara memfitnah serta mengatakan sesuatu akidah syiah yg bukan pegangan syiah seperti mereka mengatakan anak mut’ah tidak dinasabkan kpd bapa(anak haram),pengertian bada’..serta mencipta hadis yg kononnya terdapat dalam kitab syiah….ini tidak adil..saya tahu ramai mereka yg mencipta hadis2 palsu syiah kerana ketika saya membaca buku Kenapa Keluar Dari Syiah ia(husain musawi) menukil hadis kononnya Ummul Mu’minin Aisyah ra marah kpd Saidina Ali ra kerana duduk diatas ribanya(Aisya ra)..riwayat ini ada didalam kitab sulaim seperti yg diberitahu oleh Husain Musawi..kemudian,saya menunjukkan hadis ini kpd saudara saya namanya Husayn..kebetulan dia ada kitab Sulaim..lalu apabila saya merujuk kpd kitab tersebut ternyata Husain Musawi berdusta..kata2 Ummul Mu’minin Aisyah yg sebenarnya ialah “rumahku sudah tidak ada ruang lagi untuk anda”..melihat ini saya jadi malu sama saya punya saudara..kerananya seblum itu saya bersungguh-sungguh menunjukkan kebejatan syiah..ternyata apa yg dinukil oleh Husain Musawi hanya rekaan..

    Bagi saya memang syiah banyak bercanggah atau berbeza dgn ahlusunnah tetapi tidak bercanggah dgn al’quran..malahan kebanyakan akidah syiah terdapat dan sejalan dgn apa yg ada dlm kitabullah..seperti raj’ah,mut’ah(tiada ayat yg memansukhkan),dll…jadi syiah tidak boleh dianggap ajaran sesat kerana ajaran yg sesat hanyalah ajaran yg bercanggah 100% dgn al’quran..

    perbezaan sesama mazhab adalah satu rahmat..kerana nabi pernah bersabda…”perbezaan adalah rahmat”.
    jadi..saya meminta dgn ihsan tuan pemilik blog SP..supaya membantu kemusykilan saya terhadap syiah..supaya saya tidak memandang jelek lagi terhadap syiah…nanti kalo saya ada beberapa kemusykilan tentnag syiah..saya akan bertanya pada pak SP..saya harap bapak sedia membantu..

  99. […] saya copy dari komentar yg ditulis oleh saudara sunni saya di secondprince.wordpress dibawah tajuk “Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33″ dijawab oleh pemilik blog […]

  100. @SP
    Maaf saya ingin bertanya atas pemahaman mas terhadap makna dari QS 2 ; 2 terutama mengenai”DZALIKA KITABU”
    1. Apa arti KITAB disini. Apakah kitab ayat2 yang tercerai berai atao ayat2 yang sudah terkumpul dan merupakan sebuah buku.
    2. Apabila yang dimaksud KITAB disini sudah merupakan buku dimana tersusun surah2 dan ayat2 secara teratur maka
    3. Mushaf Usman bukan Kitab yang dimaksud Allah dengan firmannya DZALIKA KITAB karena masih ada lagi ayat2 yang menyusul yang disampaikan oleh Jibril, Kalao bukan
    4.Maka KITAB Alqur’anul Karim sudah ada sebelum Rasululah diutus kebumi sebagai Nabi yang berada di LAUHIM MAHFUDZ,
    Saya menanyakan ini untuk menguatkan QS 33;33
    Wasalam

  101. salam SP..benarkah syiah membolehkan liwat ..???saya perlu jawapannya…

  102. @yantz…

    bukankah liwat hanya dilakukan oleh kaum wahaby ?

    http://abu-syafiq.blogspot.com/2009/05/video-wahhabi-melakukan-liwat-di-masjid.html

  103. salam abuzillan..

    saya minta maaf..saya mendapat tahu perkara ini dari buku karangan Hussain Musawi..”kenapa aku keluar syiah”..

    saya ada saudara syiah..dia menafikan..tapi dalam buku “kenapa aku keluar syiah” mendakwa syiah menghalalkan liwat.

    jadi untuk kepastian,,saya terus berkomentar diblog SP ini untuk menanyakan perkara ini..alhasil,alhamdulillah,,dari jawapan anda,saya mengerti bahwa syiah tidak menghalalkan liwat..
    saya mulanya risau,kerna saudara saya syiah..tapi kerisauan saya sudah terubati dengan jawapan anda..

    secara peribadi,dulunya saya kira wahabi adalah golongan yang baik2..kerana dipilih oleh Allah untuk menjaga Baitullah dan Masjid Nabawi..tetapi apabila saya mengetahui sejarah mereka bahwa mereka mendapatkan Hijaz dengan kekejaman,,saya terus hilang penghormatan kepada kaum Wahabi..

  104. salam..mana2 syiah disini saya mahu penjelasan..perlu amat.

    tahun lepas..syiah di Malaysia ditangkap kerana didakwa bercanggah dengan ahlusunnah..antara salah satunya adalah:

    Bagi syiah Ja:fari: Islam bukanlah syarat wajibnya haji. Perkara ini dinyatakan dalam buku Minhaj Kebenaran Dan Pendedahannya ( Fiqh Lima Mazhab Di antara Nas dan Ijtihad) oleh al-Hasan bin Yusuf al-Mutahhar al-Hulliyy, terjemahan Prof. Madya Dr. Lutpi.Ibrahim hal. 55:

    ULASAN

    Perkara ini amat bertentangan dengan al-Quran dan hadith. Telah jelas diterangkan di dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 196 yang bermaksud:

    “Dan sempurnakanlah ibadat Haji dan Umrah kerana Allah’,”

    Ayat ini dengan jelas menyatakan perintah Allah kepada orang-orang yang beragama Islam sahaja dan tidak ditujukan orang-orang yang bukan Islam. Sementara hadith Nabi s.a.w. yang bermaksud:

    “Wahai manusia, ambillah (daripadaku) cara-cara mengerjakan haji kamu, maka sesungguhnya Aku tidak mengetahui kerana berkemungkinan aku tidak dapat lagi mengerjakan haji lagi selepas tahun ini.”

    (Riwayat al-Nasai)

    Hadith ini ditujukan kepada para sahabat Nabi yang beragama Islam sahaja. Sementara hadith yang diriwayatkan oleh Muslim daripada Ibnu Umar ra. katanya Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud,

    “Islam itu dibina di atas lima perkara iaitu, mengucap dua kalimah syahadah bahawa sesungguhnya tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan bahawa sesungguhnya Nabi Muhammad ialah Pesuruh Allah, mendirikan sembahyang, memberi zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan haji ke Baitullah.”

    Jelas hadith di atas menerangkan kepada kita bahawa antara ciri-ciri seorang Islam itu ialah mengerjakan haji, sedangkan mengerjakan ibadat haji bukanlah menjadi amalan orang-orang bukan Islam. Sementara ibadat haji yang dilakukan oleh orang-orang musyrik di zaman Jahilliyyah dahulu adalah dengan cara bertela ‘ niang. Apakah cara mengerjakan haji seperti itu sesuai diamalkan di zaman sekarang ini dan berhujah mengatakan Islam bukan syarat wajib haji, sedangkan perbuatan seumpama itu tidak diterima Allah dan tidak boleh diterima pakai di zaman ini. Sudah jelas apabila datangnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w., dengan sendirinya amalan-amalan di zaman Jahiliah itu telah ditolak oleh Islam.

    saya mahu tahu..apa benar syiah tidak mewajibkan haji

  105. @Yantz
    Saya bukan ahli. Tapi coba kita bahas.
    Mula kita harus melihat mendengar apa yang dikata mengenai haji. Mungkin dalam mengatakan ada sambungan kata yang tidak didengar/dipahami.
    Memang ada beberapa perbedaan dalam kedudukan
    pengertian Islam. Ada yang mengatakan dua kalimat syahadat bukan Rukun Islam tetapi termasuk dalam ke Imanan. Dan ada yang mengatakan Rukun Islam bukan 5 tapi 6. Yang keenam itu Jihad.
    Mari kitta biucara sesuai pemahaman Suni
    Anda harus perhatikan benar2 pemahaman Suni mengenai Rukun Islam.

    1. Dua Kalimat Syahadat wajib diucapkan
    2. Shalat hukum wajib dilaksankan
    3. Puasa hukum wajib dilaksanakan
    4. Zakat Fitra wajib dilaksanakan
    Ke empat2 tsb wajib tanpa kecuali.
    5. Melaksanakan Haji hanya diwajibkan bagi yang mampu. Yang tdk mampu tidak diwajibkan.
    Jadi mungkin ini yang dimaksudkan. Wallahu A’lam

  106. salam sp..saya minta maaf jika saya merepotin kamu kerna saya banyak bertanya disini..saya masih lagi musykil berkenaan ayat tathir..saya masih tidak ngerti..
    kepada sesiapa sahaja syiah disini..boleh juga membantu untuk menjawab kemusykilan saya..

    apa yang saya musykilkan adalah
    a)saya masih tidak ngerti,,,,kata2 manakah dalam ayat tathir yang menetapkan sifat ma’sum kepada ahlil bait.
    Pada tingkat pemahaman saya..berdasarkan kata2 “menghilangkan dosa dari kamu dan MEMBERSIHKAN kamu SEBERSIH-BERSIHNYA”
    bukanlah penetapan sifat ma’shum..walaupun ditekankan dngan kata2 “sebersih-bersihnya”..

    Menurut saya..sebelum ini ahlil bait mempunyai ‘rijs'(maafkan saya jika kata2 saya ini merendahkan AHLIL BAIT..saya memohon ampun pada Allah)setelah itu barulah Allah membersihkan mereka sebersih-bersihnya..

    walhal..manusia yang ma’shum ialah orang yang sebelumnya memang tidak memiliki apa2 dosa..

    saya minta maaf jika saya ini merepotin.. mungkin saya tidak membaca komentar-komentar sebelumnya..saya bukan apa..saya malas mahu membaca..kerna terlalu banyak komentar-komentarnya..

  107. @Yantz

    “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. 33: 33)

    Terjemahan dari Depag RI.

    Yang lebih tepat adalah “mencegah dosa dari kalian”

    Karena “Liyudzhiba ‘an-kum” mengandung arti bahwa ar-rijs itu belum kena kepada mereka.

    Sedangkan “Liyudzhiba min-kum” mengandung arti bahwa ar-rjs itu telah ada pada mereka.

    Al-Quran menggunakan kata ” ‘an-kum ” bukan ” min-kum.” Dalam terjemah kata ” ‘an ” dan ” min ” suka diartikan sama yaitu “dari”

    salam..

  108. @Yantz

    Sedangkan kata “dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” adalah penegasan terhadap keabadian kesucian mereka dari ar-rijs itu.

    salam

  109. salam yusuf..

    ya..saya ada terbaca mengenai perkara ini…di syiahali.wordpress
    inilah yang membuatkan saya semakin musykil..kerana kalau kita lihat pada ayat surah Hud.ayat..73..Allah berfirman..”maka hilanglah rasa takut dihati ibrahim”..pada ayat ini digunakan kata “an ibrahim raw’u”.. jadi maksudnya sebelum ini nabi ibrahim tidak punya rasa takut..kerna Allah menggunakan kata “an”..bukan “min”
    maaf jika tanggapan saya salah..kerna saya tidak arif dalam berbahasa arab

  110. @Yantz

    QS. 11: 74 dengan QS. 33: 33 berbeda.

    QS. Hud [11]: 74 berasal dari wazan fa’ala (dzahaba ‘an), sedangkan
    QS. 33: 33 berasal dari wazan af’ala (adzhaba ‘an)

    salam

  111. saya ini jahil bahasa arab..boleh kamu terangkan pada saya secara lebih mendalam apa itu wazan fa’ala dan wazan af’ala..

    maaf kalau saya ini merepotin kamu..

  112. @Yantz

    QS. 33:33 = “liyudzhiba ‘an”
    QS. 11:74 = “dzahaba ‘an”

    yudzhibu berasal dari kata “adzhaba.” jadi berbeda dengan yang ada di QS. 11:74 yaitu “dzahaba”

    Secara lekskal:
    dzahaba artinya pergi
    Adzhaba artinya menyuruh pergi

    adzhaba sendiri berasal dari kata dzahaba+alif sehingga ia menetapi wazan (neraca) af’ala.
    kata yang berwazan af’ala bisa mengandung berbagai makna. Salah satunya adalah menghilangkan. makanya kata liyudzhiba diartikan dengan menghilangkan.

    Bila objek yang dihilangkannya tidak ada, maka maknanya bisa berarti mencegah untuk datang. Dikuatkan oleh penggunaan ‘an yang salah satu maknanya adalah untuk sesuatu yang belum terjadi.

    Apakah ar-rijs itu sudah ada? ar-rijs hanya ada bagi orang yang dewasa. Sedangkan ayat tersebut ditujukan pula untuk anak kecil yang belum terkena taklif.

    Bila kta berpikir bahwa yg dewasa telah ada padanya ar-rijs sedangkan anak kecil belum ada. Maka tentu saja yang anak kecil ini lebih mulia dari yang dewasa dan itu mustahil karena yang dewasa di sini adalah Rasul SAW.

    Dari keterangan di atas makna mencegah itu lebih tepat karena objek yang dihilangkan yaitu ar-rijs belum ada pada mereka.

    salam.

  113. @yusuf

    maaf sekali lagi saya bertanya..

    lalu kenapa di QS 11:74 Allah menggunakan kata “an”..apa jadinya jika Allah guna kata min..

  114. @atas
    diskusi yg bagus…

  115. @Yantz
    kata min memiliki banyak arti diantaranya untuk permulaan dan bagian. Bila min di tempatkan di situ maka ar-rawu’ (terkejut) bermula dari Ibrahim as. Artinya sudah ada sebelumnya kemudian pergi.

    Sedangkan ‘an memiliki banyak arti di antaranya melewati, berdekatan, atau sesuatu belum terjadi, dsb. Penepatan ‘an di situ membawa arti bahwa ar-rawu’ (terkejut) hanya lewat saja.

    Maaf bila kurang memuaskan.

    Salam

  116. terima kasih byk2..utk ini cukup memuaskan..

    tapi saya masih ada satu lagi soalan..mungkin ini yg terakhir berkenaan ayat tathir..
    maaf..saya ini jahil bahasa Arab..
    mungkin soalan saya ini menampakkan kejahilan saya

    saya mahu tanya…kalau “an” dlm QS. 11:74 memaksudkan hanya lewat saja…kenapa tidak kita menganggap QS 33:33 juga rijs itu lewat saja..

    apa yg menyebabkan QS 33:33 memaksudkan bahawa istilah “an” tersebut adalah rijs yg belum ada pada ahl bait..

  117. oh..tidak mengapa yusuf..saya sudah ngerti..

    bila saya membaca semula komentar2 kamu sebelumnya…yg menerangkan tentang wazan af’ala..saya sudah faham maksud QS 33:33..bahwa ayat ini menghilangkan rijs yg belum terdapat pd ahl bait…

  118. @Yantz

    itu dikarenakan fi’il yang digandengkan dengan ‘an (QS. 33: 33) perlu pada objek, itu lazimnya wazan (neraca) af’ala. Sedangkan objeknya tidak ada, karena yang dituju ayat ini adalah anak kecil juga. Yang tentu saja belum ada ar-rijs. Maka maknanya berubah menjadi mencegah. Kalau digunakan min, itu menunjukkan sudah ada. Jadi makna mencegah menjadi tidak berarti. Maka ‘an di sini memuluskan jalan bagi makna mencegah.

  119. @ yusuf

    saya tidak jemu2 membaca penerangan kamu..jujur saja…bagus sekali penjelasan kamu..saya jadi puas..terima kasih atas penjelasannya

  120. yusuf…saya mahu bertanya lagi..
    baru2 ini, saya ada terbaca komentar2 dari salah satu blog yg juga membahaskan berkenaan ayat tathir..

    si komentar berkata
    “ayat tathir ialah fa’il mudhari’/present tense..bukan fa’il madhi/past tense..jadi jelas disini Allah SENTIASA / SELALU / SETIAP MASA menghendaki untuk membersihkan ahl bait sebersih-bersihnya..

    boleh kamu terangkan pada saya supaya saya lebih faham..apa itu fa’il madhi dan mudhari’…

    dan adakah benar kata2 si komentar tersebut bahwa QS 33:33 adalah present tense

  121. @Yantz
    sama-sama..

  122. @Yantz
    fi’il madhi = kata yang menunjukkan telah lewat
    fi’il mudhari = kata yang menunjukkan sekarang dan yang akan datang.

  123. @Yantz
    Sdr Yusuf maaf saya ikut2an
    Perlu saya tambahkan bahwa Firman2 Allah dalam Alqur’an sudah ada sebelum manusia diciptakan (wallahu a’lam) tapi yang pasti sebelum Nabi diutus Allah menjadi Rasul dan tersimpan di LHAUHIM MA”FUDZ. Jadi Allah sudah siapkan pensucian Ahlulbait sebelum mereka lahir. Wasalam

  124. @Yantz

    QS. 33: 33: Liyudzhiba = Li + Yudzhiba

    Yudzhibu = fi’il mudhari. Fi’il madhinya= Adzhaba

    @Chany
    Terimakasih

  125. @yusuf..
    terima kasih atas penjelasannya

  126. salam..saya mahu nanya..

    kenapa syiah menyapu kaki saat berwuduk..
    bukankah lebih bersih jika dibasuh

  127. @uantz
    Mereka berbuat demikian karena tidak mau melanggar firman Allah Surah Al Maa’idah ayat 6 yang artinya (sebagian aja):”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki,”

  128. @chany
    tapi kan hadis menjelaskan bahwa saat wuduk harus membasuh kaki..

  129. sesiapa sahaja..boleh bagi saya link blog yang membahaskan tentang wudhuk disisi syiah

  130. @Yantz
    Anda lebih PERCAYA Alqur’an atau Hadits?

  131. bukan maksud saya untuk tidak mempercayai Al-Quran..

    al-Quran mengajarkan hukum2 agama yg utama..kemudia hadis2 nabilah yg menerangkan secara rinci hukum2 agama yg disebut dlm al-quran.

    sebagai contoh..Allah berfirman..”bagi yg mencuri mestilah dipotong tangannya”..
    disini kita tidak tahu,,,bahgian tangan yg manakah harus dipotong..jadi,,hadis nabi menerangkan..iaitu bahagian pergelangan tangan..

    sama seperti wuduk..Allah berfirman”…sapulah kepala dan kakimu…”..memang disini Allah tidak menyatakan bahwa kaki harus dibasuh..tapi,hadis nabi telah menyatakan bahwa kaki harus dibasuh..

    bukan begitu?

  132. @Yantz
    Pembahasan wudhu silakan lihat di sini:

    PERBAHASAN WUDHU’

  133. @Yantz
    Tolong anda sebutkan haditsnya. Karena setahu saya hanya pendapat para Ulama. Dan pemdapat mereka bisa berbeda. Wasalam

  134. @chany
    maaf saya tidak bisa membawa hadis berkenaan perintah membasuh kaki saat wuduk.. saya lupa..kerna saya hanya membaca di buku2 saja..lagi pula,,saya membacanya di perpustakaan. .buku itu bukan milik saya.

    @yusuf
    terima kasih atas link nya..
    tapi setelah saya baca artikel itu..saya tambah pusing..mana satu cara berwuduk yg benar..sunni atau syiah..pusing saya

  135. @Yantz
    Ok. tdk perlu anda tunjukan haditsnya. Tapi menurut anda bahwa anda telah membaca link yang dianjurkan sdr Yusuf. Disitu jelas. Rasul dan para sahabat menyatakan bahwa kepala dan kaki hanya di SAPU dan bukan di BASUH/cuci. Salam damai

  136. @chany
    saya tahu itu..
    so, sekarang sy lagi pusing..mana satu yg betul..syiah or suni..saya jadi tertanya-tanya.,,bagaimana bisa Imam 4mazhab mengajarkan untuk membasuh kaki ketika wuduk..aduhhh,,pusing nih..

  137. @Yantz
    Jangan pusing2 dalam beribadah pada Allah, Allah tidak melihat atas amal perbuatan anda tapi NIAT anda, Apabila anda BERKEYAKINAN bahwa WUDHU berdasarkan ke 4 Imam Mazhab, maka laksanakan. Tetapi apabila anda ingin mengetahui lebih mendalam maka pelajari semua mazhab dan putuskan mana yang paling benar dan jangan BERAKLID. Itu saja anjuran saya. Salam damai

  138. @chany
    terima kasih atas nasihatnya..

  139. @Yantz
    Sekedar tambahan.

    Ayat wudlu telah menjadi perdebatan di internal sunni sendri antara “membasuh atau mengusap kaki”. Tapi jumhur sunni memilih membasuh, meski bertentangan dengan nash al-Qur’an, sehingga ada pendapat bahwa hukum qur’an tersebut telah dihapus oleh sunnah!! Apakah ini karena syi’ah mengusap? apakah kecenderungan politik bermain? sangat mungkin sekali.

    padahal kalau kita perhatikan teks ayatnya dengan jelas menyatakan “mengusap kaki.” Coba perhatikan terjemah teks Quran di bawah ini.

    Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka:

    1. basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
    2. sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.

    Dua kalimat sempurna!. riwayat yg sejalan dengan al-quran didahulukan dari riwayat yang bercanggah dengan-nya.

    salam

  140. @Yusuf

    Tapi jumhur sunni memilih membasuh, meski bertentangan dengan nash al-Qur’an, sehingga ada pendapat bahwa hukum qur’an tersebut telah dihapus oleh sunnah!!

    Ahh.. saya pikir tidak perlu seekstrim dan tendesius seperti itu.. 🙂 . Pantas saja kita mudah pecah, karena perbedaan2 langsung disimpulkan sebagai pertentangan.
    Yang dilakukan oleh sunni adalah lebih dari mengusap, dan itu bukan bertentangan. Sebagaimana jika kita membasuh kaki melebihi mata kaki (bahkan ada yang sampai lutut), janganlah itu dianggap sebagai bertentangan, apalagi dikatakan hukum AQ dihapus oleh sunnah.. 😦
    Bisa saja tafsir dari mengusap adalah, sebagai standard minimum, sehingga islam tidak memberatkan umatnya ketika ketersediaan air sangat minim. Dan ketika dirasa air lebih dari cukup maka membasuh menjadi sah2 saja.
    Jika kita ingin menjaga ukhuwah, maka hal2 seperti janganlah menjadi sumber perpecahan (terlalu remeh).
    Sayang sekali saudara Yantz, berpindah dari masalah yang cukup berbobot (tafsir QS 33:33) ke masalah yang ikhtilaf. Yaitu masalah yang tidak akan ada habisnya bahkan di dalam sunni sendiri ataupun syi’ah juga ada banyak perbedaan.
    Yang terbaik adalah, silakan lakukan (fiqh) yang diajarkan oleh mazhab masing2, hargai fiqh mazhab lain, dan tidak usah mempertentangkan perbedaan2 tsb.

    Salam damai.

  141. Sayangkan kita umat Islam sekarang lebih mementingkan solidaritas dari pada yang hak. Islam sekarang terjadi perpecahan karena terbanyak kita menjaga perasaan pihak lain Sehingga ketegasan Hukum Allah menjadi kabur dan dipakai Hadits sebagai jalan keluar.Sedangkan hadits masih diragukan KEBENARANnya/shahih. Hanya Alqor’an yang tidak diragukan kebenarannya.
    Yang benar kita katakan benar. Apakah yang ada membenarkan atau tidak apa yang kita sampaikan, tergatung masing2.
    Mungkin ada yang ber paham. Inikan tafsir, bisa berbeda tafsir. Memang benar. Oleh karena itu tdk semua niat mereka Allah ridha, Tergantung niat mentafsirkan.
    Yang jelas ada beda antara BASUH dan SAPU. Salam damai.

  142. kalangan syiah terkadang mungkin merasa heran. ko ada tata cara wudhu dr ahlul bait yg mestinya di ikuti.
    knp mo pake yg lain?
    semakin heran lg pd hal sbgian ahlusunnah mengakui keutamaan mereka,tp ya tetap aja berpegang kpd selain mereka.pd mereka mengetahui bhw ahlulbait jg memiliki cara wudhu sendiri
    perbedaan jgn sll menjadi dalih utk bertentangan
    perbedaan yg mesti difahami adalah mencari suatu kebenaran.

  143. Kita manusia yang sok pandai telah merubah HUKUM2 Allah. Banyak hukum2 Allah tidak kita pergunakan dengan macam2 alasan. Tidak sesuai zaman atau keadaab masyarakat.
    Kita rupanya lupa bahwa Allah Maha Mengetahui. Maha Menetapkan. Karena manusia merasa pintar melebihi Allah Maka Allah peringatkan dalam surah Al Imran ayat 19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
    Lemudian Allah lanjutkan dengan FirmanNya surah ar Ruum ayat 32. yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
    Dan akhirnya surah An A’am ayat 65. Katakanlah: ” Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).” Insya Allah menjadi peringatan buat kita semua, Salam damai

  144. @chany

    Sayangkan kita umat Islam sekarang lebih mementingkan solidaritas dari pada yang hak. Islam sekarang terjadi perpecahan karena terbanyak kita menjaga perasaan pihak lain

    Untuk mas chany, agar ramai sedikit, maaf ya sy komentari.

    Sy kira kurang tepat kalau dibilang utk menjaga perasaan pihak lain, lbh tepatnya mungkin adalah menjaga silaturrahmi dan menghindari perpecahan.

    Sy jg mau nanya bagaimana pendapat mas dgn sikap Nabi saw terhdp kaum munafik dimana Nabi saw “tdk melakukan tindakan apa-apa” demi menjaga “nama baik” agar tdk disangka Nabi saw membunuh sahabatnya.

    Kemudian bagaimana pendapat mas dgn sikap Imam Ali yg “tdk melakukan apa-apa utk memperoleh haknya” thd kepemempinan Abubakar, Umar & Utsman?

    Bagaimana pendapat mas dgn sikap Imam Ali terhdp Muawiyyah, thd St ‘Aisyah? Imam Hasan thd Muawiyyah?

    Maaf & terima kasih 🙂

    Salam

  145. @armand
    1.Allah berfirman Rasul tegas terhadap orang kafir dan munafik.
    Apakah tindakan tegas harus membunuh? TIDAK
    Tapi Rasul tidak pernah toleransi terhadap mereka.
    Kita sekarang tidak tegas terhadap yang hak dan bathil.
    2. Selama 6 bulan tidak membaiat tanda protes. Apakah Imam Ali juga harus membunuh?
    3. Bukankah Perang Shiffin telah menunjukan ketegasan Imam Ali
    4. Imam Hasan berperang dengan Muawiyah yang berakhir dengan perdamaian yang dikhianati oleh Muawiyah. Ketegasan apa yang harus mereka tunjukan
    Tapi sekarang HUKUM Allah terlaly banyak yang diabaikan. Tapi umat Islam diam tanpa reaksi apa2. Salam damai

  146. @Truthseeker08
    di sunni -ketika membahas nasikh-mansukh-ayat wudlu ini dijadikan dalil bolehnya sunnah mengapus hukum qur’an. Di antara dalilnya adalah berikut ini:

    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahi, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Asim al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur’an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Ibnu Katsir berkata Sanad atsar ini sahih.

    Ibn Katsir berkata “Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.” kemudian ia membawakan dalil-dalilnya, di antaranya:

    1. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekat¬nya, “Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah ke pada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudlu). Maka ia mengatakan, ‘Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta basuhlah kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya. Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya’.” Maka Anas berkata, “Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman, ‘Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian’

    2. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij , dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua sapuan.

    3. Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya “dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.”(al-Maidah: 6). Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).

    Yang aneh, kenapa ia justeru menyerang syi’ah dengan pernyataan: “Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang khuf dari kalangan ulama Syi’ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan.”

    Apa hubungannya dengan syi’ah, kenapa ia tidak mengkritik salaf yang berpendapat demikian tapi malah syi’ah yang disesatkan? aneh…

    Ada 3 Amalan Bersuci (QS. 4: 43 dan QS. 5: 6) dengan perintah mandi, membasuh dan mengusap:

    1.Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan

    2.Sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.

    3. Sapulah mukamu dan tanganmu.(tayamum)

    Perbedaan qira’at tidak mempengaruhi arti dan maksudnya. Membasuh kaki karena mengikuti perintah “membasuh muka” bertentangan dengan susunan kalimat yang fasih seperti dicontohkan pada perintah “mengusap muka”

    Sunni sendiri umumnya mengakui bahwa ayat tersebut menyuruh mengusap kaki, hanya saja ada sunnah yang mewajibkan membasuh kaki. Sehingga ada yang membawa dalil sunnah tsb sebagai penjelas dan ada juga sebagai penghapus hukum ayat tersebut.

    Bagi saya ayat-ayat perintah dalam al-Quran adalah penting. semoga kita tidak termasuk orang yang diadukan oleh Rasul SAW:

    “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. 25: 30)

    Salam.

  147. @Yusuf
    Pendapat2 saya tidaklah mewakili mazhab manapun, baik syi’ah maupun sunni.
    Komentar yang saya sampaikan hendak mencegah diskusi mazhab yang berkutat di fiqh (yang memang sudah pasti berbeda). Berbeda jika memang diskusinya adalah khusus diskusi fiqh (sehingga tidak merembet pada pertentangan mazhab).
    penolakan saya adalah penolakan pada statement: berbeda = bertentangan.
    Kalau anda menafsirkan teks/ayat AQ tersebut dengan kaku, maka itu hak anda. Namun juga tidak ada larangan menafsirkan bahwa melebihi dari mengusap (membasuh) adalah sah. Saya juga tidak akan membatalkan wudhu saya ketika air yang saya pakai melebihi mata kaki saya.
    Namun saya juga tidak di posisi mewajibkan membasuh kedua kaki, artinya mengusap maupun membasuh adalah sah.

    Salam damai.

  148. Salam SP,

    Saya ingin bertanya, berdasarkan dua ayat di bawah:

    إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ
    “Sesungguhnya Allah berkehendak/ingin mensucikan noda dan kotoran (al-rijs) dari kalian (عَنْ kumur Rijsa Ahlal Bait)” [QS Ahzab: 33]

    فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الرَّوْعُ وَجَاءتْهُ الْبُشْرَى
    “Maka apabila hilang perasaan takut عَنْ (dari) hati Nabi Ibrahim, dan sampai kepadanya berita yang mengembirakan itu,..” [QS Hud: 74]
    …………………………………….

    Kita sedia maklum, Allah SWT menggunakan perkataan عَنْ (an) untuk menggambarkan “dari”, maka dosa, noda dan kotoran itu belum berlaku ke atas mereka Ahlul Bait a.s..

    Maka, dalam ayat 74 pula, Apakah berarti perasaan الرَّوْعُ (takut/ngeri/seram/horror) itu belum terkena pada Nabi Ibrahim a.s?
    Kerana terjemahan ayat di atas menjabarkan kpd kita “hilang perasaan takut” (bererti: sebelum itu wujudnya perasaan takut),

    Namun bila dilihat dari segi bahasa arab, perasaan takut عَنْ itu sepatutnya belum terjadi (sesuai dgn ayat tathir). Terkesan kontradik nya di situ jika kita menjadikan ayat tathir sbg pengukur “an” (belum terjadi)… saya bingung….apakah terjemahannya kurang tepat?

    Mohon penjabaran..

  149. @John
    Bagaimana kalau terjemahan sbb”
    Maka apabila dihati Ibrahim dihilangkan rasa takut.

  150. APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?

    Dlm Al Quran yang menyebut ‘ahlulbait’, rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

    1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah”.

    2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: ‘Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu ‘ahlulbait’ yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

    3. QS. 33:33: “…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu ‘ahlulbait’ dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.

    Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait menjadi universal:

    1. Kedua orang tua para nabi/rasul;.

    2. Saudara kandung para nabi/rasul.

    3. Isteri-isteri beliau.

    4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki.

    Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah bukan termasuk kelompok ahlul bait.

    Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    “Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwa pewaris tahta ‘ahlul bait’ yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya seperti Saidina Hasan dan Husein maupun yang perempuan bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.

  151. Tidak dapat dinafikan.
    Bila ditutup 5 orang sahaja mana perkataan yg dapat memasukkan ahli lain dalam selimut itu.
    TERIMA SAJA KEBENARAN YG SUDAH JELAS.

Tinggalkan komentar