Kekacauan Salafy Dalam Membela Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”

Kekacauan Salafy Dalam Membela Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”.

Tulisan kali ini dibuat untuk membantah pembelaan saudara salafi yang nashibi yang dapat dilihat  dalam komentarnya di tulisan saudara Abul Jauzaa itu. Seperti biasa pembelaan yang ngawur bin ajaib itu cukup sebagai bukti sikap keras kepala yang tidak mengherankan muncul dari orang-orang yang ngakunya salafy. Komentar asal-asalan penulis itu dikutip dan dicetak biru.

Pada asalnya, tashhih seorang muhaddits maknanya tashhiih li-dzaatihi. Maknanya, hadits tersebut telah memenuhi persyaratan shahih. Termasuk dalam hal ini persyaratan perawi yang include di dalamnya persyaratan ‘adaalah. Konsekuensinya, para perawi yang menyusun sanad hadits adalah ‘adil menurut penilaian muhaddits tersebut. Kecuali jika disebutkan dari muhaddits tersebut (baik secara langsung atau tidak langsung) bahwa hadits yang ia tashhiih terdapat cacat (baik dari faktor perawi, kebersambungan sanad, atau yang lainnya), maka tashhiih yang ia berikan adalah tashhiih li-ghairihi. Ini kaedah umumnya……

Lucu saudara kita yang nasibi ini, ia terlalu banyak berbicara metode yang tidak ia pahami dengan benar atau sebenarnya ia paham tetapi memang tidak mau mengakui kesalahannya. Kita tidak sedang berbicara kaidah yang umum. Kita membicarakan kredibilitas seorang perawi yang bernama Abdurrahman bin ‘Aaisy. Kalau saudara itu menukil pernyataan Bukhari yang menghasankan hadisnya lalu akan ia kemanakan bukti nyata kalau hadis tersebut mudhtharib yang bahkan diakui oleh Bukhari sendiri. Bisa saja dikatakan penghasanan Bukhari itu bukan penta’dilan kepada Ibnu ‘Aaisy tetapi penguatan Bukhari terhadap hadis tersebut dengan bantuan hadis-hadis lain sama halnya yang Bukhari lakukan terhadap hadis Asbath Al Bashri. Siapa yang menolak kaidah yang saudara sampaikan, pembahasan saya justru menunjukkan kalau kaidah tersebut tidak relevan dijadikan hujjah untuk menta’dil Ibnu ‘Aaisy. Kalau ia bersikeras berpegang pada penshahihan Bukhari, orang lain juga dapat berpegang pada pernyataan Bukhari bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy mudhtharib. Anehnya sejak kapan hadis mudhtharib itu menjadi hadis shahih. Atau yang bersangkutan merasa bisa menjungkirbalikkan seenaknya ilmu hadis hanya karena pembelaan yang membabibuta, silakan saja kita tidak peduli dengan itu 🙂

Dan yang saya sebutkan dalam tulisan saya di atas adalah kaedah umum ini dimana teman Rafidlah kita itu tidak perlu miris terhadapnya. Sama halnya ketika disebutkan tingkatan hadits shahih yang keempat sampai keenam : Hadits yang sesuai persyaratan Al-Bukhari dan Muslim – sesuai persyaratan Al-Bukhari saja – sesuai persyaratan Muslim. Apa makna sesuai persyaratan Al-Bukhari dan/atau Muslim ? Maknanya hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang terdapat di dua kitab (Shahih l-Bukhari dan Shahih Muslim) atau salah satunya. Ini juga kaedah umum. Apakah kaedah umum ini berlaku secara mutlak ? Tentu saja tidak…. Sebagaimana beberapa kaedah yang ma’ruf dalam ilmu hadits, ushul fiqh, dan fiqh, ada exception2-nya……

Anda tidak perlu berbicara banyak hal seolah menunjukkan kelimuan anda yang seolah pula tahu banyak hal. Hal yang seperti itu cukup dikenal dikalangan mereka para penuntut ilmu. Justru yang jadi masalah adalah orang-orang yang sok berpegang pada kaidah umum untuk membela kekeliruannya padahal tidak ada celah baginya untuk menjadikan kaidah umum tersebut sebagai hujjah.

Ada beberapa hadits – walau ia memakai jalur perawi yang dipakai oleh Al-Bukhari dan/atau Muslim – berkualitas dla’if. Kenapa ? Telah ma’ruf di kalangan ahli hadits bahwa tidak semua perawi dalam Shahihain selamat dari kritik. Diantara mereka dinyatakan jumhur sebagai perawi dla’if. Contohnya,…. Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin ‘Abdillah bin Uwais, Qathn bin Nusair, Asbaath bin Nashr, dan lain-lain. Ini mah tidak usah dibahas………. Karena dah ma’ruf.

Aduhai saudara, kalau memang merasa sudah ma’ruf maka tidak ada gunanya saudara memaksakan untuk menta’dil seseorang dari mereka atau yang seperti mereka hanya karena hadis mereka dimasukkan dalam kitab shahih atau dishahihkan oleh ulama tertentu. Yang jadi pokok permasalahan itu adalah kedudukan hadis Ibnu ‘Aaisy. Hadis Ibnu ‘Aaisy ini jelas mudtharib dan tidak ada gunanya penshahihan yang tidak memiliki dasar. Aneh bin ajaib justru penshahihan tidak berdasar itu dijadikan hujjah akan penta’dilan Ibnu ‘Aaisy yang ujungnya nanti dijadikan hujjah untuk menshahikan hadis tersebut. Ini lingkaran setan yang tidak pernah bisa dipahami oleh salafy yang memang tidak mempelajari logika berpikir dengan baik. Ia hanya sibuk dengan kitab-kitab rijal dan perkataan ulama ini itu tanpa menelaahnya dengan kritis.

Oleh karena itu, orang Rafidlah tersebut tidak perlu menolak kaedah umum yang saya sampaikan. Kalau mau menanggapi, seharusnya komentarnya adalah : “itu tidak berlaku mutlak…..” atau : “itu ada perinciannya….”. Ini baru benar…………

Silakan saja membual sesuka hati anda, kapan saya menyatakan menolak kaidah tersebut. Saya pribadi tidak mempermasalahkan kaidah itu, justru andalah yang tidak tahu juntrungannya berhujjah dengan kaidah yang sangat tidak relevan digunakan disini. Apakah anda membaca pembahasan saya panjang lebar soal kekacauan mereka para ulama mengenai hadis Ibnu ‘Aaisy?. Mungkin anda membaca tetapi maaf anda tidak mampu untuk memahaminya.

Orang Rafidlah tersebut menolak ta’dil ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy (yang sebelumnya ia ingin menyanggap kaedah umum yang saya sampaikan), bahwa tashhih Al-Bukhari tidak menunjukkan ta’dil beliau terhadapnya. Ia lalu menyampaikan contoh Asbaath bin Abil-Yasa’ Al-Bashri dan Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Lah,… yang aneh…. contoh ini justru menjadi hujjah saya atas dirinya, bukan hujjah dirinya terhadap saya. Tentu saja jika dihubungkan dengan apa yang saya tulis di awal. Asbaath dikatakan majhul oleh Abu Haatim dan Ibnu Hajar. Penilaian mereka berdua sebenarnya dilandaskan oleh penilaian Al-Bukhari terhadap Asbaath dalam At-Taariikh Al-Kabiir. Perlu diketahui, kitab At-Taariikh Al-Kabiir merupakan ushul dari kitab Al-Jarh wat-Ta’dil dengan beberapa penambahan.

Saudara yang nasibhi itu ternyata pandai bersilat lidah. Apanya yang  menjadi hujjah dirinya, jika dia memahami maksud saya maka tidak mungkin dia akan berbicara seperti itu. Jelas contoh yang saya sampaikan menunjukkan hujjah bahwa pentashihan Bukhari tidak selalu berarti pernyataan tsiqah Bukhari terhadap perawi tersebut. Perhatikan saja Asbath itu apa Bukhari menyatakan ia tsiqah?.

Dalam kitab taariikh-nya, Al-Bukhariy berdiam diri (tidak memberikan penilaian, baik jarh maupun ta’dil) terhadap Asbaath. Sebagian ahli hadits menilai bahwa diamnya Al-Bukhariy menandakan perawi tersebut adalah majhul (menurut beliau). Sedangkan yang lain (seperti Adz-Dzahabi dalam Al-Muuqidhah) menyatakan sedikit memberikan penekanan dan penajaman, bahwa perawi yang tidak mendapat jarh maupun ta’dil namun dipakai hujjah oleh Al-Bukhariy dan Muslim atau salah satu di antara keduanya dalam Shahih-nya, maka statusnya adalah tsiqah, dan haditsnya qawiy (kuat).

Lihatlah akhirnya saudara nasibhi itu berbicara melebar kemana-mana. Ia berkata sebagian ulama berkata seperti ini, sebagian ulama berkata seperti itu. Entah mau kemana arah pembicaraannya. Saudara ini terlalu sibuk dengan pembelaan tanpa memahami esensi pembicaraan. Anehnya ia malah menuduh kami yang tidak mengerti pembicaraan. Begitulah tabiat orang yang terbiasa menuduh orang lain sehingga lupa memperhatikan keadaan dirinya.

Jadi hadits Asbaath itu qawiy (kuat) lidzaatihi berdasarkan kaedah yang diterangkan Adz-Dzahabiy karena Al-Asbaath ini tsiqah.

Maaf saya sarankan anda tidak perlu banyak berbicara ini itu, anda sok berhujjah dengan kaidah umum dari Adz Dzahabi padahal Adz Dzahabi sendiri baik dalam Al Mizan maupun Al Kasyf tidak pernah menyatakan Asbath tsiqah, sebaliknya Adz Dzahabi mengikuti pernyataan Abu Hatim kalau ia majhul. Kalau memang Adz Dzahabi konsisiten mengikuti metode yang anda sampaikan itu maka tidak ada halangan baginya untuk menyatakan Asbath itu tsiqah. Faktanya itu tidak terjadi, hal ini justru menjadi petunjuk bahwa metode-metode umum itu tidak bisa dijadikan hujjah semaunya.

Atau……ia shahih dengan mutaba’ah dari Muslim bin Ibraahiim jika kita tetap menganggap status Asbaath ini majhul jika kita ingin menetapkan berdasarkan perkataan Ibnu Hajar.

Tidak ada kata “jika” dalam masalah ini, hadis Asbath itu memang shahih dengan mutaba’ah. Nah sebenarnya yang lebih dekat ke pembahasan kita ini adalah apakah dengan penshahihan hadis Asbath itu maka berarti penta’dilan terhadap Asbath atau menghapus status majhulnya. Memang inilah masalah besar bagi para pentaklid dari kalangan salafy, mereka dengan mudah meloncat-loncat dari ulama yang satu ke ulama yang lain asalkan bisa membela kepentingan mahzabnya. Padahal tidak setiap perkataan ulama itu menjadi hujjah.

Contoh kedua yang dibawakan adalah Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Di situ justru memperjelas permasalahan yang saya sampaikan. Al-Bukhariy mentashhih hadits Katsiir dari ayahnya dari kakeknya. Ia menghasankan riwayat Katsir karena Yahya bin Sa’iid Al-Anshariy – dengan keimaman beliau – telah meriwayatkan hadits darinya. Al-Bukhariy memberikan tashhih hadits Katsiir mengenai waktu yang diharapkan di hari Jum’at karena ia menganggap hadits Katsiir ini hasan dengan alasan yang telah dituliskan.

Alasan apa yang anda maksud, dimana letak alasan Bukhari menghasankan hadis tersebut. Bukankah dari penukilan Tirmidzi itu Bukhari justru mengutip pernyataan dhaif dari Ahmad bin Hanbal dan periwayatan Yahya bin Sa’id. Mana alasan penghasanan Bukhari. Apakah Bukhari menghasankan hadis tersebut karena penta’dilan terhadap Katsir atau karena memang ada hadis lain yang menguatkannya?. Lagipula hal yang lebih utama adalah penghasanan Bukhari ini jelas tidak ada artinya atau tidak bernilai hujjah karena perawi yang dimaksud memang sangat tercela kedudukannya. Kalau memang penghasanan Bukhari tidak bernilai hujjah maka tidak ada gunanya menjadikan penghasanan ini sebagai ta’dil terhadap Katsir bin Abdullah. Apakah harus dijelaskan dengan panjang lebar seperti ini baru anda mengerti. Silakan dibuka sedikit pikirannya biar kebenaran itu bisa masuk pelan-pelan.

Maka tidak ada hubungannya dengan perkataan Ahmad, Ibnu Ma’in, dan jama’ah ahli hadits yang mendla’ifkannya, karena yang saya tekankan di sini adalah tashhih hadits include terhadap tashhih sanadnya . Jelasnya, ketika Al-Bukhari men-tashhih hadits Katsir tentang hari Jum’at itu, maka ia men-ta’dil Katsir.

Lalu apa hubungannya pula sebelumnya anda membawa-bawa keimaman Yahya bin Sa’id. Kalau anda hendak mengatakan Bukhari sekedar taklid kepada Yahya bin Sa’id maka penghasanan tersebut jauh lebih tidak berarti. Jika Yahya menta’dilkan Katsir maka ada banyak Imam lain yang menjarhnya dengan keras. Kalau Bukhari hanya sekedar taklid kepada Yahya maka apalah artinya penghasanan tersebut. Heh bangun dong sampai kapan anda mau membutakan diri dengan pembelaan yang tidak tahu kemana arahnya. Kalau untuk seorang Katsir Bukhari hanya sekedar taklid kepada Yahya padahal banyak Imam yang mencacatnya dengan keras maka baik Bukhari maupun Yahya itu tidak benar penilaiannya. Kalau memang terbukti terdapat alasan yang cukup dalam mencacatkan seorang perawi maka tidak ada artinya penta’dilan dengan dalih penshahihan seorang ulama yang tidak ada dasarnya. Justru penshahihan ulama tersebut mesti ditolak. Nah inilah yang terjadi dengan kasus Ibnu ‘Aaisy, terdapat alasan yang cukup untuk mencacatkan dirinya dimana ia memiliki satu hadis yang mudhtharib sehingga tidak berlebihan untuk dikatakan ia mudhtharib al hadis. Jika memang hadis tersebut terbukti mudhtharib maka tidak ada alasan menerima penshahihan yang tidak berdasar.

Kembali pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Ketika Al-Bukhariy men-tashhih haditsnya dari jalur Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal secara marfu’; maka ia juga men-tashhih sanadnya dan juga memberikan ta’dil kepada perawinya. Kita ingin tanya kepada teman Rafidlah kita itu : “Ada gak perkataan Al-Bukhariy yang men-jarh ‘ secara jelas pada Abdurrahman bin ‘Aaisy ?”.

Begitulah saudara kita yang nashibi itu tidak dapat mengambil faedah dari pembahasan orang lain. Ia hanya sibuk melakukan pembelaan. Justru yang kita tanyakan pada Bukhari dan dirinya, apa dasarnya menyatakan hadis tersebut shahih?. Nama besar Bukhari tidak membuahkan apa-apa jika memang hujjahnya tidak berdasar. Bukhari adalah manusia yang tidak lepas dari salah, tidak lepas dari taklid dan sebagainya yang membuat penilaian shahihnya ini patut dipertanyakan apalagi hadis tersebut terbukti mudhtharib.

Al-Bukhariy hanya mengatakan bahwa ‘Abdurrahman ini hanya mempunyai satu hadits dimana para ulama menganggap haditsnya tersebut mudltharib. Tentu saja lain jika Al-Bukhari mengatakan : “mudltharibul-hadiits”. Tapi di sini tidak… Ini bukan jarh.

Ternyata semakin lama saudara kita yang nasibhi ini semakin ngawur saja. Jadi jika Ibnu ‘Aaisy hanya punya satu hadis dan hadis tersebut mudhtharib maka itu bukan jarh. Kalau anda mengakui pernyataan Bukhari itu maka saya kembalikan kepada anda, bukankah hadis Ibnu ‘Aaisy itu mudhtharib, nah sejak kapan hadis mudhtharib itu bisa dikatakan shahih. Pernyataan anda bahwa itu bukan jarh adalah hal paling menggelikan dari sekian banyak keanehan anda. Kita ganti sedikit bahasanya. Kalau seorang perawi dikatakan hanya punya satu hadis dan hadis tersebut munkar, maka apakah itu bukan jarh?. Apakah “lahu manakiir” itu bukan pernyataan jarh?. Cukup cukup, semakin terlihat kualitas anda 😦

Sebab, seorang yang tsiqah juga bisa mempunyai hadits mudltharib. Contohnya banyak…. Lantas, apa itu sangat musykil bagi teman Rafidliy kita ini jika tashhih beliau dibawa kepada tashhih sanad – sesuai keumuman kaedah – ?

Halah tidak hanya orang tsiqah kalee, orang dhaif, majhul bahkan pendustapun bisa mengalami mudhtharib. Tidak ada korelasi linier bahwa mudhtharib harus bersesuaian dengan pentsiqahan. Terus saja bicara yang umum, hal yang membuat anda semakin jauh dari kebenaran

Lantas bagaimana dengan perkataan Abu Zur’ah bahwa ia tidak dikenal (laisa bi-ma’ruuf). Ini memang kalimat jarh, namun sifatnya muqayyad. Jika ada seorang ulama/muhaddits yang diakui memberikan ta’dil kepadanya atau menegaskan bahwa ia seorang yang ma’ruf, maka sifat tidak dikenal (majhul) ini hilang, karena orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Dan ini telah diisyaratkan terhadap tashhih Al-Bukhariy.

Tidakkah saudara itu memahami bahwa justru perkataan Abu Zur’ah disini lebih mendekati kebenaran. Ibnu ‘Aaisy itu keberadaannya hanya dikenal melalui satu hadis ini saja. Padahal satu hadis ini terbukti mudhtharib, ini sudah menjadi hujjah yang cukup untuk menguatkan pernyataan Abu Zur’ah dan menyatakan kalau penshahihan terhadap hadis ini keliru. Bahkan kita dapat bertanya kepada mereka yang menshahihkan hadis ini, apa dasarnya menyatakan hadis ini shahih?.

Juga dengan tashhih Ahmad bin Hanbal. Tidak ternukil sama sekali ia men-jarh ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Bahkan ada dua riwayat darinya yang men-tashhih riwayat ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Pertama, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/203) : “Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy juga berkata : ‘Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah menceritakan sebuah hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku telah melihat Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk’. Qatadah juga menceritakan hadits tersebut dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana di antara keduanya yang lebih engkau cintai ?’. Ahmad menjawab : ‘Hadits Qatadah itu tidak ada apa-apanya. Dan perkataan (yang dianggap/shahih) di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir” [selesai]. Kedua, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/206) : “Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin ‘Adiy, dari Al-Fadhl bin Hubaab, dari Al-Khuzaa’iy, kemudian ia berkata : Hadits ini mempunyai beberapa jalan. Dan aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal menshahihkan riwayat yang dibawakan oleh Musaa bin Khalaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hadits ini adalah yang paling shahih”[selesai].

Walaupun telah ditunjukkan kekeliruannya, saudara nashibi itu tetap tidak mau memperhatikan. Ahmad bin Hanbal tidak memberi tautsiq kepada Ibnu ‘Aaisy. Jika memang Ahmad menshahihkan hadis tersebut maka yang ia lakukan pada dasarnya sama seperti Ibnu Hibban yaitu merasa-rasa bahwa Ibnu ‘Aaisy itu sahabat. Dan sahabat memang sesuai kaidah kontroversial ilmu hadis[yang saya yakin diyakini oleh Ahmad bin Hanbal] selalu tsiqah. Nah kalau memang penulis itu mengakui Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat maka tidak ada gunanya ia mengambil hujjah dengan ta’dil Ahmad. Lihat saja hadis yang katanya dishahihkan oleh Ahmad itu adalah hadis Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW. Betapa lucunya cara ia berhujjah

Teman kita ini merasa aneh dengan perbedaan hadits yang di-tashhih antara Al-Bukhariy dan Ahmad (ia hanya memandang satu perkataan Ahmad saja). Saya juga bingung, apa yang dianehkan ? aneh-aneh saja……….. Tidak ada masalah jika ada perbedaan tashhih antara Al-Bukhariy dengan Ahmad, karena yang sedang kita perbincangkan adalah sisi ta’dil atas ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy.

Maaf saja, sudah berulang kali anda menunjukkan sikap selalu menganggap normal hal-hal aneh yang ada pada diri anda. Yah mana ada maling ngaku maling. Cukuplah anda lihat dengan baik apa yang sudah saya sebutkan. Penshahihan Bukhari tidak ada artinya apalagi anda gabungkan dengan penshahihan Ahmad yang justru menentang Bukhari. Penshahihan Ahmad berdasar pada anggapannya kalau Ibnu ‘Aaisy itu sahabat[kalau Ahmad tidak menganggap Ibnu ‘Aaisy sahabat pasti ia mengatakan hadis itu mursal], hal yang bahkan ditolak oleh Bukhari. Kalau anda merasa tidak aneh maka itu adalah hal yang biasa muncul dari diri anda.

Kelihatannya, teman Rafidlah kita tidak memahami esensi yang dibicarakan.

Ta’dil terhadap ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dikuatkan lagi oleh beberapa faktor (sebagian telah saya sebutkan) :

Keadaan yang sebenarnya adala saudara nashibi itu tidak memahami esensi yang dibicarakan, ia berbicara panjang lebar tak tentu arah, berhujjah dengan hujjah yang justru untuk membahasnya maka pembahasan kita pun jadi meluas kemana-mana. Lihatlah bahkan sekarang ia menambahkan faktor yang mengada-ada hanya untuk melakukan pembelaan membabi buta.

1. Ibnu Hibban telah mencantumkannya dalam Ats-Tsiqaat —- ingat, saya tidak sedang bergantung semata-mata dari tautsiq Ibnu Hibban, namun ini merupakan penguat dari qarinah2 yang ada.

Kira-kira orang seperti apa yang jika telah ditunjukkan kalau ia terbukti keliru ia tetap keras kepala dengan pendiriannya. Kita telah tunjukkan bahwa Ibnu Hibban menganggap Ibnu ‘Aaisy seorang sahabat maka dari itu Ibnu Hibban pasti memasukkannya kedalam Ats Tsiqat. Ibnu Hibban jelas beranggapan semua sahabat itu tsiqah makanya ia memasukkan Ibnu ‘Aaisy dalam kitabnya Ats Tsiqat. Sedangkan saudara nashibi kita ini telah mengakui kalau Ibnu Aaisy bukan sahabat so tidak ada celah baginya berhujjah dengan Ats Tsiqat-nya Ibnu Hibban.

2. Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan termasuk shahabat, namun dengan dimasukkannya ia oleh sebagian muhaddits dalam thabaqah shahabat, maka ini petunjuk akan ke-‘adalah-annya.

Kuat berdasarkan apa?. Kalau berdasarkan hadisnya mudhtharib maka benar ia bukan sahabat dan hadis penyimakan itu tergolong mudhtharib. Tetapi kalau berdasarkan perkataan ulama semisal Bukhari dan sebagainya maka jawaban Ibnu Hajar dalam Al Ishabah jauh bernilai dan lebih kuat dibanding mereka. Lha jelas sekali bagi mereka yang beranggapan Ibnu ‘Aaisy sahabat maka ia adalah tsiqah karena sahabat itu kan katanya semuanya adil dan tsiqah. Terus kalau saudara kita ini, bukankah dia mengatakan Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat lantas dari mana dasarnya mau mengatakan tsiqah. Pahami dulu bantahan orang lain sebelum balas membantah :mrgreen:

[adapun pertanyaan teman Rafidlah kita : “Mengapa saya berpegang pada tautsiq Ibnu Hibban, namun tidak berpegang pada perkataannya bahwa Ibnu ‘Aaisy bukan seorang shahabat; maka saya jawab : Jelas beda antara tautsiq dengan thabaqah perawi, tidak ada korelasi linear antara keduanya. Ia menyangka jika kita melemahkan pendapat seorang muhaddits tentang peletakan thabaqah perawi (apakah ia shahabat, tabi’iin, atau tabi’ut-taabi’iin), juga harus berkonsekuensi melemahkan jarh dan ta’dil yang diberikan muhaddits tersebut kepadanya. Pemahaman macam apa ini ya ?….].

Ho ho ini bukti nyata kalau saudara nashibi itu terbiasa berhujjah dengan hal umum tak tentu arah. Perhatikan wahai pembaca memang beda antara tautsiq dan thabaqah perawi tetapi ini berlaku untuk selain sahabat karena sahabat itu dalam kaidah ilmu hadis adalah adil dan tsiqah. Tidak ada itu yang namanya sahabat dhaif bagi salafy. Kita bisa tanyakan pada penulis itu jika memang ada sahabat dhaif menurutnya. Jadi jika seorang ulama menetapkan atau meyakini seseorang sebagai sahabat maka orang itu pasti akan dikelompokkan atau dimasukkan dalam kitab yang memuat perawi tsiqah. Inilah yang dilakukan Ibnu Hibban, ketika ia memasukkan Ibnu ‘Aaisy dalam kitabnya Ats Tsiqat itu dengan alasan menurutnya Ibnu ‘Aaisy adalah sahabat Nabi. Saudara itu sok berkata keheranan “pemahaman macam apa ini” padahal betapa menyedihkan orang yang tidak mampu memahami hal mudah seperti ini. Sahabat sekali lagi tidak melewati mekanisme jarh wat ta’dil mereka berdasarkan kesepakatan ulama adalah tsiqah dan adil. Jadi thabaqah sahabat adalah thabaqah yang tsiqah menurut ilmu hadis.

3. Tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.

Pernyataan ini pun tidak ada gunanya. Kita dapat mengatakan bahwa tiga perawi tsiqah telah meriwayatkan hadis darinya dimana jika kita melihat hadis yang dimaksud itu maka diketahui bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy itu mudhtharib maka tidak ada gunanya pernyataan tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.

4. Satu lagi saya tambah : Umumnya, penghukuman idlthirab pada satu hadits oleh muhadditsiin dimaksudkan terjadi pada perawi tsiqah (atau minimal shaduuq). Bahkan sebagian ulama yang mengkhususkan pembicaraan mudltharib ini hanya pada perawi-perawi tsiqaat (lihat Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 337). Karena jika idlthiraab ini terjadi atau berporos pada perawi dla’iif, maka ia sudah gugur dari segi asalnya dan ta’arudl atau perselisihan sanad setelah rawi tersebut tidak dianggap.

Hujjah macam apa ini, kita tak perlu memperhatikan pernyataannya dengan kaidah umum yang justru memperluas pembahasan ini kemana-mana. Jika ia mengatakan “sebagian ulama” maka “sebagian lain” juga berkata lain. Bahkan Syaikh Al Albani sendiri mengakui kalau idhthirab bisa terjadi pada perawi dhaif [lihat Shahih Shifat Shalat An Naby] dan memang begitulah faktanya. Idhthirab bisa terjadi baik pada perawi tsiqah, dhaif, atau majhul.

Beberapa qarinah ini semua menunjukkan akan ke-‘adalah-an ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dan ‘adalah itu tidak hanya diketahui dari tashrih ta’dil atau pujian yang diberikan oleh muhadditsiin pada seorang perawi. Ada banyak jalan/cara untuk mengetahui sifat ‘adl (ta’dil muhadditsiin) pada seorang perawi [bisa lihat selengkapnya dalam Al-Hadiitsush-Shahih wa Manhajul-‘Ulamaa’il-Muslimiin fit-Tashhih hal. 95-98 dan Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 55-60 – padanya ada beberapa jalan/cara, adayang maqbul, ada pula yang mardud].

Silakan dilihat, qarinah-qarinah tersebut hanya akan dipercaya oleh mereka yang memang awam dan tidak tahu menahu soal ini tetapi bagi mereka yang mempelajarinya dengan kritis akan terlihat betapa rapuhnya qarinah-qarinah yang ia pakai.

Ada yang lucu dari komentar teman Rafidlah kita ini. Ia mengatakan bahwa saya dengan seenaknya mengatakan bahwa hadits ‘Ibnu ‘Aaisy dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini mursal. He….he… sungguh lucu bin aneh pernyataan ini. Ia sendiri dalam tulisannya terdahulu mengatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini bukan seorang shahabat. Kali saja ia lupa dengan perkataannya :

“oleh karena itu hadits dengan sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasul SAW itu memang keliru”.

“Pendapat yang benar mengenainya adalah dia bukanlah sahabat Nabi……”.
Lah, …. kalau saya tanya padanya : “Dari mana Anda menyimpulkannya ?”. Jawaban Anda sekaligus jawaban bagi saya (sebenarnya ia melakukan tarjih dari pendapat para imam, namun sayangnya gak nyadar). Makanya sangat aneh statementnya pada saya ini… Jika ia sendiri mengatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan shahabat, tentu saja konsekuensi dari hadits yang ia bawakan dihukumi mursal. ‘Abdurrahman telah menggugurkan perawi antara dia dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.…………

Saudara nashibi ini sok mau memakai logika atau sok mau menyalahkan orang padahal ia tidak memahami posisi orang lain. Jika ia mau dengan benar memahami posisi saya maka penolakan saya akan status sahabat Ibnu ‘Aaisy tidak hanya bersandar pada keterangan ulama tetapi statusnya yang majhul dan hadisnya mudhtharib [disinilah hujjah utama saya]. Sedangkan ia sendiri adalah orang yang justru mengatakan Ibnu ‘Aaisy tsiqah dan menolak kalau hadisnya mudhtharib. Maka tidak ada dasar baginya untuk menilai hadis Ibnu ‘Aaisy itu mursal. Halo tolong dibuka sedikit dong pikirannya agar bisa memahami hujjah orang lain. Begitulah ia, memahami hujjah orang lain dengan benar saja ia tidak mampu apalagi mau membahas dengan kritis. Silakan pembaca lihat tulisan saya yang membahas kedudukan Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami, disitu dengan jelas saya menunjukkan bahwa Ibnu ‘Aaisy hadisnya mudhtarib dan ia sendiri tidak dikenal kredibilitasnya maka dari itu saya menolak kalau ia dikatakan sahabat. Sungguh menyedihkan saudara nashibi itu, apakah ia begitu bodoh sehingga sulit memahami tulisan orang lain? atau ia sengaja membodoh-bodohi orang awam agar terpengaruh dengan perkataannya?. Ataukah ia sengaja berdusta untuk melemahkan lawan bicaranya?. Kalau anda penulis tidak mampu menjawab maka cukuplah diam saja dan jangan menjadi orang yang menyedihkan.

Jika telah diketahui bahwa hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy itu mursal – jika ada riwayat yang menyambungnya (maushul) – maka ia dibawa kepada yang maushul. Riwayat mursal ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy tersebut adalah : Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy secara marfu’. Adapun riwayat maushul itu yang menyambung sanad Ibnu ‘Aaisy adalah : Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.

Gak ada alasannya ia mau menyatakan hadis itu mursal kalau ia mengakui Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah. Hadis penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW adalah kesaksian Ibnu ‘Aaisy dan jika saudara itu mengakui ia tsiqah maka tidak ada alasan untuk menolak kesaksiannya. Seperti yang saya katakan jika Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah maka pernyataannya bahwa ia mendengar dari Rasulullah SAW adalah bukti kalau ia sahabat. Nah kalau ia sahabat maka kesaksiannya jauh lebih berarti dari para ulama yang anda jadikan hujjah. Aneh ya kekacauan seperti ini tidak dimengerti oleh anda. Lucunya ulama panutan anda Bukhari itu meragukan hadis penyimakan Ibnu ‘Aaisy dengan mengisyaratkan kalau itu kesalahan Walid padahal Walid telah dikuatkan dengan yang lain dan ini sebagai bukti kalau riwayat Walid itu memang terjaga. Bukankah ini adalah petunjuk kalau pernyataan Bukhari itu bisa salah dan begitu pula dengan penshahihannya, ya bisa salah juga.

Terakhir, apakah perawi tsiqah bisa meriwayatkan hadits mursal ? Maka jawabnya adalah bisa, banyak contohnya. Pun, jika perawi tersebut menggunakan lafadh tahdits, walaupun kasus ini bisa dibilang sangat sedikit. Ini diakibatkan oleh kekeliruan sebagian perawinya. Contohnya :

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepadaku ayahku : telah menceritakan kepadaku Syu’bah, dari Abu Bisyr (ia berkata) : Aku mendengar Mujaahid menceritakan hadits dari Ibnu ‘Umar, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai tasyahud (dalam shalat) : …..(al-hadits)….

Hadits ini ada dalam Sunan Abi Dawud no. 971. Hadits ini rijalnya adalah rijal Ash-Shahiih, Ad-Daaruquthniy (1/351) mengatakan : “Sanad hadits ini shahih”. Namun dalam Tahdziibut-Tahdziib, Imam Ahmad berkata : “Syu’bah mendla’ifkan hadits Abu Bisyr dari Mujaahid, ia berkata : “Ia tidak mendengar apapun darinya”. Asy-Syaikh Muqbil berkata : “Adapun tashrih dengan sima’ dari Mujaahid, maka hal itu kemungkinan berasal dari kekeliruan Abu Bisyr atau selainnya. Wallaahu a’lam” [lihat Al-Ahaaditsul-Mu’allah Dhaahiruhash-Shihah hal. 240].

Silakan saja anda menampilkan hadis-hadis seperti itu. Satu hal yang harus anda ingat dalam berhujjah dengan perkataan ulama adalah apa dasarnya ulama tersebut mengatakan seperti itu. Mari kita anggap Syu’bah dalam hal ini benar, saya katakan pernyataannya memang patut diperhatikan karena Syu’bah sendiri mengenal bertemu dan berguru kepada Abu Bisyr. Dalam hal ini Syu’bah punya kapabilitas untuk mengetahui keadaan sebenarnya Abu Bisyr. Lain ceritanya dengan hadis Ibnu ‘Aaisy di atas. Mereka yang menolak status sahabat Ibnu ‘Aaisy atau menolak penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW adalah para ulama yang terpisah jauh darinya dalam arti mereka tidak bertemu atau mengenal Ibnu ‘Aaisy. Alasan penolakan mereka hanya berdasarkan penolakan mereka terhadap hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW dan adanya hadis dimana Ibnu ‘Aaisy meriwayatkan dengan perantara. Oleh karena itu terdapat ulama yang mengingkari mereka ini seperti Ibnu Hajar yang dengan jelas menyatakan Ibnu ‘Aaisy sahabat setelah mengumpulkan berbagai riwayat penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW dan riwayat tersebut pada kenyataannya bukanlah kesalahan Walid seperti yang dikatakan Ibnu Khuzaimah dan Al Bukhari.

Kemudian mari kita anggap Syu’bah dalam hal ini keliru maka memang terdapat alasan untuk menyatakan ia keliru. Satu-satunya kesaksian bahwa Abu Bisyr tidak mendengar dari Mujahid berasal dari Syu’bah sendiri sedangkan kesaksian Abu Bisyr mendengar dari Mujahid berasal dari kesaksian Abu Bisyr sendiri. Mereka berdua sama-sama tsiqat tetapi Abu Bisyr jelas lebih mengetahui keadaan dirinya dibanding orang lain. Oleh karena itu pernyataan syu’bah tidaklah mutlak.

  • Secara tarikh, Abu Bisyr memang sezaman dan memungkinkan bertemu dengan mujahid
  • Berdasarkan kesaksian Abu Bisyr sendiri dan dia tsiqah maka ia mengatakan dengan jelas telah mendengar dari Mujahid.

Jika pernyataan Abu Bisyr mendengar langsung dari Mujahid dikatakan salah maka ada dua kemungkinan

  • Kesalahan tersebut berasal dari Abu Bisyr, hal ini musykil karena Abu Bisyr dengan jelas menyatakan ia mendengar langsung. Menyatakan kesalahan padanya sama halnya dengan menuduh ia berdusta.
  • Kesalahan tersebut berasal dari yang meriwayatkan dari Abu Bisyr yaitu Syu’bah. Kalau memang ia salah maka pernyataan Syu’bah disini jelas-jelas kontradiksi, di saat lain ia mengatakan Abu Bisyr mendengar dari Mujahid di saat lain ia mengatakan Abu Bisyr tidak mendengar dari Mujahid. Kalau memang Syu’bah yang salah, lantas kesaksian mana yang salah.

Hadis Abu Bisyr dari Mujahid tidak hanya dishahihkan oleh Daruquthni tetapi Bukhari juga telah memasukkan hadis Abu Bisyr dari Mujahid dalam kitab Shahih-nya [hadis no 2095, no 4056 dan no 4656]. Mungkin saja Abu Bisyr mendengar dari Mujahid dan pernyataan Syu’bah itu bisa dijamak dalam arti Syu’bah awalnya tidak mengetahui kalau Abu Bisyr mendengar hadis dari Mujahid tetapi setelah ia mengetahui Abu Bisyr mendengar dari Mujahid maka ia mengakuinya dan meriwayatkan hadis tersebut. Tentu saja ini sebuah kemungkinan tetapi kami tidak akan memusingkan hal itu.

Kembali kepada hadis Ibnu ‘Aaisy jika saudara nashibi itu mau menolak hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW maka apa dasarnya?. Kalau main asal comot perkataan ulama tanpa menelaahnya maka kita pun dapat main comot ulama yang menyalahkannya. Bahkan pernyataan Ibnu Hajar mengenai status sahabat Ibnu ‘Aaisy jauh lebih bernilai dibanding pernyataan ulama yang menyelisihinya seperti Bukhari dan Ibnu Khuzaimah. Walaupun menurut kami Ibnu Hajar tetap keliru karena tidak memperhatikan bahwa hadis tersebut mudhtharib.

Teman Rafidliy kita tetap berpendapat bahwa hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy itu idlthirab. Telah saya sebutkan ada dua riwayat yang tersisa yang berputar/berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy :

(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.

(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.

Memang saudara nashibi itu tidak bisa memahami hujjah orang lain dengan benar. Ia masih saja keras kepala dengan pernyataannya. Hadis tersebut tidak hanya seperti yang ia katakan, masih ada satu lagi hadis Ibnu ‘Aaisy yaitu dimana ia menyatakan mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadis tersebut tidak berbeda dengan kedua hadis ini. Mereka yang menolak hadis ini seperti Al Bukhari dan Ibnu Khuzaimah tidak memiliki hujjah apapun bahkan mereka terbukti keliru sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar bahwa riwayat penyimakan Ibnu ‘Aaisy langsung dari Rasulullah SAW tidak hanya diriwayatkan Walid tetapi juga oleh yang lainnya sehingga riwayat tersebut memang terjaga dan tidak bisa ditolak begitu saja. Jadi riwayat tersebut harus dimasukkan dalam pembahasan idhtirab hadis tersebut bukan seperti yang dikatakan saudara nashibi itu.

Untuk nomor 1, teman Rafidlah kita tetap memecahnya menjadi dua untuk lebih mengesankan ke-idlthirab-annya sesuai dengan yang ia inginkan, yaitu :

a. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian (ba’dlu) shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.

b. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.

Jangan melucu bung, hadis tersebut pada kenyataannya memang diriwayatkan dengan dua bentuk seperti itu. Anda mau menggabungkan ya silakan, tapi saya tetap menjadikannya seperti yang tertera dan diriwayatkan di dalam kitab hadis. Kami tidak perlu mengesankan apapun. Bagi mereka yang tahu apa itu idhthirab akan tahu dengan jelas bahwa hadis tersebut memang idhthirab dan kami tidak perlu meminta penerimaan anda akan hal ini. Kebenaran itu cukup jelas

Dua riwayat di atas masing-masing berasal dari Khaalid bin Al-Lajlaaj. Dalam setiap bahasan hadits mudltharib disebutkan bahwa satu hadits tidak dikatakan mudltharib jika ia bisa ditarjih atau dijamak. Di sini jamak bisa dilakukan. Di atas saya telah menuliskan bahwa tidak ada pertentangan antara sebagian shahabat dengan seorang laki-laki dari kalangan shahabat. Lafadh seorang laki-laki dari kalangan shahabat termasuk bagian dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ilmu ushul, itu termasuk bagian lafadh ‘aam dan lafadh khaash. Antara yang khaash dan ‘aam bukan merupakan bagian kontradiksi, sehingga tidak mengharuskan adanya idlthirab satu dengan lainnya.

Tidak masalah, idhthirabnya itu tidak hanya bersandar pada kedua riwayat ini saja. Kedua riwayat lain yaitu periwayatan langsung dari Rasulullah SAW dan periwayatannya dari tabiin adalah bukti nyata bahwa hadis tersebut idhthirab.

Saya ulangi : Sanad ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy hanya ada dua, yaitu :

(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.

(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.

Ho ho ho pengulangannya hanya menunjukkan segitu putus asanya saudara kita ini dalam berhujjah. Ia benar-benar tidak mau memasukkan hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah karena hal itu sangat memberatkannya maka dari itu yang bisa ia lakukan hanyalah pengulangan dengan penuh putus asa.

Hadits di atas tampak oleh kita bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima riwayat dari orang yang berbeda dan menyampaikannya kepada orang yang berbeda pula. Setelah menukil kalimat saya ini, teman Rafidlah kita itu berkata :

“Sungguh lucu kalimat ini. Jika syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama, maka sudah jelas ia bukan mudltharib, tetapi satu sanad yang utuh dan tsabit”.

Halo….halo….. dalam kalimat mana saya mengatakan syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama ya ? Saya baca ulang tulisan saya di atas gak ada tuh kalimat yang dimaksud…. baik secara lafadh ataupun makna. Itu hanya karangan teman Rafidlah kita saja untuk membuat opini menguatkan pendapatnya yang salah.

Aneh sekali saudara nashibi itu, ia lebih sibuk dengan persepsinya sendiri soal penggunaan bahasa yang menurutnya tidak tepat. Kapan pula saya menuduhnya?. Lihat saya sudah cukup berhati-hati dengan menggunakan kata “jika” jadi jangan sok sensi amat. Pada esensinya anda itu sudah jelas ngawur sok mengatakan pendapat orang lain salah padahal pendapatnya sendiri sebenarnya yang salah. Main salah-salahan semua orang bisa, mempengaruhi orang dengan kata-kata sok ilmiah atau mentertawakan juga semua orang bisa. Bagi pembaca silakan cukup memperhatikan hujjah dan dasar baik saya ataupun dia dan silakan nilai dengan adil.

Saya mengatakan hal di atas sebagai qarinah saja (bukan syarat). Tidak lain karena hal itu sangat memungkinkan. Apalagi hadits itu sendiri sangat memungkinkan diriwayatkan dari banyak jalan sanad (bukan dengan sanad tunggal). Bukankah hadits tersebut diucapkan oleh kesaksian para shahabat saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di masjid ? Maka, bukan hal yang aneh jika ada beberapa shahabat meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian beberapa diantaranya diriwayatkan melalui jalur ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini, ia sampaikan kepada Khaalid bin Al-Lajlaaj dan Abu Salaam pada waktu yang berbeda.

Jelas-jelas dia sebelumnya berkata Dua riwayat ini tidak mudltharib – walau berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy – karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda”. Dia justru menjadikan hal itu sebagai sebab bahwa riwayat tersebut tidak mudhtharib. Kita tanyakan pada pemilik kalimat ini, apa buktinya hadis tersebut diriwayatkan oleh para sahabat. Kita telah membuktikan bahwa tidak ada satu sanadpun yang tsabit bahkan dari satu orang sahabatpun. Kalau Cuma mau berdasarkan kesaksian Ibnu ‘Aaisy ya balik lagi ke awal hadisnya itu dhaif karena mudhtharib dan dia sendiri tidak dikenal.

Sebenarnya contoh yang saya berikan dari riwayat Az-Zuhri dalam Shahih Muslim cukup untuk membuat perbandingan dalam hal ini. Namun sayangnya – sebagaimana kebiasaannya – teman Rafidlah kita ini membuat ta’wil2 yang cukup mengherankan….. (bisa banyak komentar diberikan, tapi gak usahlah…hemat kata).

Silakan para pembaca perhatikan, tidak ada ta’wil apapun yang saya buat. Saya mengomentari hadis Zuhri yang ia bawa itu dengan seobjektif mungkin. Saya katakan bahwa hadis Zuhri tidak ada nilai idhthirabnya dan kedudukannya jauh berbeda dengan hadis Ibnu ‘Aaisy. Bahkan saya menyindir saudara nashibi itu ketika membahas idhthirab Simmak dari Ikrimah. Cara ulama menetapkan hadis Simmak dari Ikrimah idhthirab benar-benar sama persis dengan hadis Ibnu ‘Aaisy dan itu adalah bukti nyata kalau hadis Ibnu ‘Aaisy tersebut idhthirab. Hal ini yang tidak digubris oleh saudara itu yah mungkin karena ia malu mengakui kalau dirinya keliru.

Saya pikir cukup pembicaraan tentang idlthirab ini, karena sudah jelas. Intinya mah, saya sangat tidak sependapat dengan perkataan teman Raafidliy kita ini. Saya tidak mengingkari keberadaan sebagian ulama yang mendla’ifkan hadits Ru’yah yang dibawakan oleh Ibnu ‘Aaisy ini dengan alasan adanya idlthiraab, sama seperti alasan yang disampaikan teman Rafidlah kita.

Hujjah yang saya sampaikan juga sudah cukup. Pendhaifan tersebut memang berdasar justru penshahihan hadis tersebut yang terkesan asal-asalan. Saya pribadi jelas sangat tidak sependapat dengan saudara nashibi itu. Saya tidak mengingkari keberadaan ulama yang menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy, yang saya ingkari justru penshahihan mereka karena penshahihan mereka itu tidak berdasar.

Kalaupun misal sanad hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dihukumi idlthiraab, maka ia tetap bisa dijadikan i’tibar, karena hal itu hanya menunjukkan kurangnya sifat dlabth dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dua jalur sanad yang ia bawakan tetap bersanad dla’if. Tidak dapat dipastikan mana di antara dua sanad tersebut yang mahfudh (shahih). Bersamaan dengan itu, matan haditsnya hanya satu. Jika ada hadits lain yang menguatkan, maka hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy secara keseluruhan bisa terangkat dari ke-dla’if-an (akibat idlthirab sanad) menjadi hasan atau shahih.

Ini adalah hujjah terakhirnya yang bisa ia lakukan. Kami katakan hadis tersebut tidak dapat dijadikan I’tibar bahkan dengan mengumpulkan hadis-hadis tersebut kita dapati bahwa hadis tersebut mudhtharib dan munqathi’ kecuali hadis Simmak yang dhaif. Sekali lagi saya meminta perhatian pembaca untuk melihat hadis-hadis tersebut. Yang menjadi keyakinan salafy itu adalah Allah SWT bisa dilihat di dalam mimpi dan Nabi SAW telah melihat Allah SWT didalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk. Sedangkan hadis yang menyebutkan soal mimpi hanya bersandar pada hadis Ibnu ‘Aaisy dan Ibnu Abbas yang mudhtharib dan munqathi’. Jadi tidak bisa dijadikan hujjah.

Terus terang saya senyum2 geli melihat defense berlebihan yang dilakukan oleh teman Rafidlah kita ini dalam menutupi kekurangpengetahuannya. Dalam ucapannya terdahulu ia mengkritik Syaikh Al-Albani yang dianggapnya tidak konsisten ketika menjadikan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj sebagai hujjah. Katanya, Syaikh Al-Albani biasanya tidak menghiraukan tautsiq yang hanya diberikan oleh Ibnu Hibban.

Anda mau senyum loncat-loncat juga nggak penting. Saya saja geli melihat pembelaan saudara yang naïf. Kenyataannya Syaikh Al Albani memang tidak menghiraukan tautsiq Ibnu Hibban terhadap seorang perawi. Dalam Silsilah Adh Dhaaifah banyak sekali contoh-contoh tentang itu.

Telah saya sanggah perkataan orang ini bahwa sikap beliau menggunakan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj adalah sesuai dengan metode/manhaj yang telah ia terangkan sendiri. Makanya, sangat keliru jika teman Rafidlah kita ini ‘menyalahkan’ Syaikh Al-Albani, karena justru di sini beliau menunjukkan kesesuaiannya dengan manhaj beliau yang telah diterangkan dalam Tamaamul-Minnah. Ya,… berhubung ia tidak tahu metode yang diterangkan Syaikh Al-Albani, yang sesuai pun dianggap gak konsisten. He…he…he…

Telah saya sanggah pula apa yang ia katakan sebagai metode Syaikh Al Albani karena pada dasarnya konsisten atau tidak seorang ulama itu dilihat dari implementasinya ketika ia menilai suatu hadis. Bukannya seperti dirinya yang dengan sok membawakan hujjah Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minah. Seorang ulama boleh saja berkata metode saya begini, metode saya begitu, tetapi pada kenyataannya yang kita lihat adalah implementasinya ketika ia menilai hadis-hadis. Dalam Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah banyak keterangan kalau Syaikh memang menyatakan majhul hal kepada para perawi yang hanya mendapatkan tautsiq dari Ibnu Hibban walaupun telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat.

Dan anehnya, kok tiba-tiba karena ingin membela diri – malu ngaku keliru – dengan menampilkan beberapa statement dari Syaikh Al-Albani yang ia anggap gak konsisten dengan manhaj beliau terhadap tashhih Ibnu Hibban. Lucu dan gak ada relevansinya jika dikaitkan dengan kritikannya pertama dan sanggahan saya terhadapnya.

Saya katakan tidak ada yang lucu dengan itu. Syaikh Al Albani terbukti tidak konsisten dan bukti itu telah saya tunjukkan dengan contoh hadis-hadis dalam Silsilah Adh Dhaaifah. Kalau anda bisa menukil dari Tamamul Minah maka mengapa pula saya tidak bisa menukil dari Silsilah Ahadiits Adh Dhaaifah. Kalau anda bilang metode Syaikh Al Albani itu yang ada pada Tamamul Minah maka saya katakan lalu yang ada dalam Silsilah Adh Dhaaifah itu apa bukan pernyataan Syaikh Al Albani. Jadi ngawur sekali anda kalau mengatakan itu tidak ada relevansinya. Kutipan anda dari Tamamul Minah jsutru menguatkan pernyataan saya bahwa Syaikh Al Albani tidak konsisten, ia menyalahi dirinya sendiri di dalam kitabnya yang lain. Sebenarnya  yang sering tidak karuan dan melebarkan pembicaraan kemana-mana ya anda ini. Berhujjah dengan cara-cara yang menyedihkan.

Tentang Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy,……….. telah disebutkan bahwa Ibnu Hajar berkomentar dalam At-Taqriib : ‘maqbuul’. Ibnu Abi Haatim tidak menyebut padanya jarh ataupun ta’dil-nya. Beberapa perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya. Al-Mizziy menyebutkan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain : Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Abdullah bin Al-‘Allaa’ bin Zabr, ‘Abdurrahmaan bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Isaa bin Musaa Al-Qurasyiy, dan Manshuur Al-Khaulaaniy [Tahdziibul-Kamaal, 23/127].

Nah,…kemudian teman Rafidlah kita ini – dengan segala kepercayan dirinya – mengatakan :

“Percuma saja saudara Penulis itu mengutip berpanjang-panjang karena pada kenyataannya Syaikh Al-Albani sendiri mengatakan kalau Ghailan bin Anas Al-Kalbi adalah seorang yang majhul haal….”.

Saya jadi bertanya apakah yang bersangkutan paham tidak dengan manhaj Syaikh terhadap hadits mastuur (majhul haal) ? Mungkin yang bersangkutan salah paham dengan tulisan saya pada catatan kaki no. 15 : “maka terangkatlah status majhul haal-nya”. Mungkin beliaunya memahami dari perkataan saya ini, majhul haal-nya hilang. Padahal yang saya maksud status majhul haal nya terangkat adalah menjadi kuat dan bisa dijadikan hujjah, sebagaimana nukilan saya dari penjelasan Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (1/1/36) di atas. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan sedikit saya perbaiki kalimatnya agar tidak salah paham – dan itu tidak mengubah esensi hujjah saya.

Lho anda sendiri apa tidak ingat mengapa terjadi pembahasan seperti ini. Itu kan karena anda yang gak karuan malah sibuk mengomentari komentar keheranan saya soal syaikh Al Albani yang mengatakan hadis Tsauban shahih dengan syawahid. Anda mau membela syaikh anda tetapi apa sebenarnya yang sedang anda bela. Anda justru menyalahkan syaikh anda sendiri. Saya katakan sebelumnya dengan metode Syaikh Al Albani jelas-jelas mana mungkin hadis Tsauban menjadi shahih dengan syawahid. Mengapa? Karena

  • Menurut Syaikh hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih itu dhaif
  • Menurut Syaikh Ghailan bin Anas itu majhul hal
  • Menurut Syaikh Abu Yahya tidak dikenal

Kemudian saya katakan apalagi kalau ditambah dengan inqitha’ Abu Sallam dari Tsauban maka tetaplah kedhaifannya berat. Lucunya anda ini gak tau juntrungannya malah membela Syaikh Al Albani membabibuta dengan sok ikut-ikutan heran akan keheranan saya. Lihat baik-baik Syaikh anda yang terhormat itu, sepertinya anda juga ikutan mewarisi inkonsistensi ulama yang anda ikuti.

Mengenai majhul haal ini (dan bagaimana posisi Syaikh Al-Albani terhadapnya), sebenarnya dulu telah saya ketika membahas hadits Maalik Ad-Daar. Tapi mungkin yang bersangkutan lupa. Ada baiknya saya ulang :

Majhul haal, yaitu status perawi dimana yang meriwayatkan sebanyak dua orang atau lebih, namun tidak ada seorang pun yang men-tsiqah-kannya. Disebut juga mastur. Hadits atau riwayat dari perawi yang majhul haal atau mastur ini tidak ditolak dan juga tidak diterima secara mutlak. Jelasnya, apabila yang meriwayatkan darinya beberapa perawi tsiqah – meskipun tidak ada yang men-tsiqah-kannya – maka haditsnya/riwayatnya dapat diterima. Immaa derajatnya hasan atau shahih. Diterima riwayatnya karena yang meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah, yang mereka tidak meriwayatkan dari seorang perawi kecuali perawi tsiqah atau yang mereka angap tsiqah. Akan tetapi jika yang meriwayatkan darinya hanya perawi-perawi dla’if, maka riwayatnya tertolak dan haditsnya dla’if.

Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada teman Rafidlah kita jika pada tulisan di atas saya tidak maksimal menuliskan keterangan-keterangan dari Syaikh Al-Albani secara lengkap mengenai majhul haal. Hingga mengakibatkan teman kita yang terhormat ini buru-buru menyimpulkan. Salah lagi….ha…ha…ha….

Silakan saja tertawa, sama seperti dulu saudara nashibi itu tidak bisa menilai tanggapan orang dengan benar. Jika dalam hal inipun ia keliru memahami tulisan saya, maka mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya pikir tulisan itu lebih dari cukup untuk orang yang memang berpikiran dengan baik.

Aku (Al-Albani) katakan : Mungkin kejelasan keadaan perawi diperoleh dari adanya tautsiq dari seorang imam yang diakui tautsiq-nya. Dalam pernyataannya (Al-Haafidh) bahwa majhul hal adalah orang yang teriwayatkan haditsnya oleh dua atau lebih perawi, tetapi tidak ada pengakuan terpercaya. Aku katakan : Imam yang diakui tautsiq-nya, karena di sana ada ahli-ahli hadits yang tidak dapat diandalkan tautsiq-nya seperti berbedanya Ibnu Hibban dari tradisi/kebiasaan para ahli hadits pada umumnya. Ini akan saya jelaskan pada pedoman berikutnya.

Memang benar bahwa riwayat majhul dapat diterima jika ada sejumlah besar perawi-perawi yang terpercaya meriwayatkan darinya hadits yang tidak mengandung unsur pengingkaran. Pendapat ini dianut oleh sejumlah ulama muta’akhkhirin seperti Ibnu Katsir, Al-‘Iraqiy, Al-‘Asqalaniy, dan yang lainnya. Lihat contohnya pada halaman 204-207” [selesai – lihat Tamaamul-Minnah, hal. 19-20].

Setelah membaca ini, dimana letak kontradiksinya ? Sekarang, siapa yang lebih pantas dianjurkan untuk membaca kitab Syaikh Al-Albani dan kitab-kitab hadits lainnya ya ? saya…….

Apa anda tidak membaca apa yang saya kutip. Jangan Cuma sibuk dengan kutipan anda saja. Saya tanya dengan anda ini apa sebenarnya yang kita permasalahkan?. Menurut saya ya sikap inkonsistensi Syaikh Al Albani, dan itu terlihat dari berbagai kitabnya tidak hanya satu kitab Tamamul Minah seperti yang anda kutip. Saya cuma mengutip pernyataan Syaikh Al Albani bahwa ia sendiri dalam Silsilah Ahadiits Ad Dhaifah tetap menyatakan majhul hal walaupun perawi tersebut dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. Bukti bahwa Syaikh tidak konsisiten adalah sebagaimana yang saya katakan sebelumnya dalam kitab As Sunnah Ibnu Abi Ashim Syaikh menyatakan tsiqat kepada Khalid bin Al Lajlaaj [lihat hadis no 388] padahal Khalid hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. Kalau begitu maka posisi Khalid itu seharusnya majhul hal. Begitu pula saya katakan maka menurut metode syaikh Ghailan bin Anas itu majhul hal walaupun telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah, dan memang itulah yang Syaikh tersebut katakan. Baik Khalid bin Al Lajlaaj maupun Ghailan bin Anas ya sami mawon kedudukannya tapi kok penilaiannya beda. Kalau anda masih bertanya dimana letak kontradiksinya?. Apa peduli saya, siapa yang banyak bicara maka telanlah sendiri akibat pembicaraannya.

Akhirnya,… riwayat kedudukan Ghailaan di sini bukan perawi dla’iif. Ia bisa dipakai sebagai hujjah dengan keadaan-keadaan yang telah disebutkan oleh Syaikh Al-Albani.

Saya hanya menyatakan bahwa Ghailan bin Anas itu dikatakan sendiri oleh Syaikh sebagai majhul hal dan itu saya masukkan sebagai isyarat kelemahan dalam hadis Tsauban. Pernyataan majhul hal dalam hal ini termasuk pernyataan yang melemahkan.

Mengenai Abu Shaalih, nampaknya teman Rafidlah kita tidak bisa menjawab hujjah yang saya sampaikan. Malahan, ia menggunakan metode kuno yang ia kira bisa membuat saya terkaget-kaget dengan menampilkan pendapat Syaikh Al-Albani atas Abu Shaalih. Tidak ilmiah…

Saya katakan kepada saudara nasibhi itu, justru ia sendiri yang berhujjah dengan metode kuno yang membuat orang awam terpesona seolah-olah dengan perkataannya ia tampak benar. Kalau ia mengatakan hujjah saya tidak ilmiah maka yang harus ia katakan sebagai tidak ilmiah adalah Syaikhnya sendiri Syaikh Al Albani, syaikh dengan jelas mendhaifkan hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih.

Ibnu Hajar sendiri telah memberikan kesimpulan perincian jarh atas Abu Shaalih : ““Shaduuq (jujur) namun banyak salahnya. Tsabt dalam kitabnya, dan padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”.

Apa makna tsabt dalam kitabnya ? Tentu saja jika ia meriwayatkan melalui perantaraan (bantuan) kitabnya, maka haditsnya maqbul. Ini perincian yang sangat bagus. Dan di sini, ia meriwayatkan hadits Mu’awiyyah bin Shaalih dengan perantaraan kitabnya, karena ia mempunyai catatan-catatan hadits darinya. Oleh karena itu, haditsnya dari Mu’awiyyah tidak turun dari derajat hasan. Wallaahu a’lam.

Saudara itu mengatakan ini perincian yang sangat bagus. Lha iya bagus karena sesuai dengan pembelaannya. Tumben-tumbenan ia taklid buta dengan pernyataan Ibnu Hajar padahal di saat lain ia mengatakan Ibnu Hajar termasuk ulama muta’akhirin dimana pernyataannya harus berdasarkan pernyataan ulama sebelumnya. Silakan para pembaca lihat dalam biografi Abdullah bin Shalih, para ulama yang mencacatnya mengakui kalau ia menulis hadis dari Laits dan itu tidak mencegah mereka untuk mengatakan bahwa hadisnya dari Laits mungkar. Jadi walaupun hadis tersebut berasal dari tulisan Abu Shalih tetap saja tidak seenaknya dikatakan tsabit. Apalagi yang ia tulis dari Muawiyah bin Shalih yang bisa dikatakan tidak lebih mayshur dibanding riwayatnya dari Laits. Maka dari itu cukup wajar syaikh Al Albani tetap mendhaifkan hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih walaupun syaikh juga menukil pernyataan Ibnu Ady seperti yang dikutip saudara nashibi tersebut.

Adapun Abu Yahyaa yang dikatakan tidak dikenal ini, maka ia sebenarnya adalah : Sulaim bin ‘Aamir Al-Kalaa’iy, Abu Yahyaa Al-Himshiy. Seorang tsiqah. Jadi tidak perlu dipersoalkan.

Silakan buktikan perkataan anda itu?. Kalau memang hujjah anda dalam hal ini kuat maka tidak ada alasan bagi saya tidak menerimanya. Tetapi jika hujjah anda tersebut cuma klaim semata maka tidak ada artinya. Apakah orang yang anda sebut Sulaim bin Aamir itu meriwayatkan hadis dari Ghailan bin Anas Al Kalbi?. Ngomong-ngomong Syaikh Al Albani itu ternyata tidak sepintar anda, kok dia tidak tahu siapa itu Abu Yahya :mrgreen:

Akhirnya, jelas sudah bahwa kelemahan hadits Tsaubaan hanya ada pada inqithaa’-nya saja. Ini kelemahan yang ringan. Sangat wajar jika Syaikh Al-Albani menghukumi shahih lighairihi. Dan sebaliknya, keheranan Anda menjadi tidak wajar karena ketidakvalidan metode penilaian Anda.

Anda ini lucu, mau menilai Syaikh Al Albani atau menilai saya. Kalau mau menilai Syaikh Al Albani maka nilailah dengan jujur. Saya lihat pernyataan anda malah menyalahkan semua pernyataan Syaikh Al Albani dan anda sendiri berhujjah dengan inqitha’ yang tidak disebutkan oleh Syaikh. Kemudian setelah itu dengan enaknya anda berkata “sangat wajar jika Syaikh menghukumi shahih lighairihi”. Tidak ada satupun alasan anda yang tegak dengan hujjah. Ghailan bin Anas terbukti majhul hal [menurut Syaikh Albani], Abdullah bin Shalih dhaif [dan penguatan anda itu hanya subjektif semata], Abu Yahya yang menurut anda Sulaim bin Aamir, maaf anda belum membuktikannya.

Penolakan tahsin hadits Jaabir ini adalah yang paling tidak saya mengerti dari rekan Rafidlah kita ini. Sudah jelas sekali bahwa rukun sanad yang dibawakan oleh Ibnu Abi ‘Aashim di sini adalah rukun sanad yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (mulai pangkal sampai ujung sanad), yang tentu saja bukan berkualitas dla’if menurut standar penilaian Ahlus-Sunnah. Gak tahu kalau yang bersangkutan memakai standar penilaian Syi’ah.

Begitulah saudara nashibi itu, jika memang ia terbiasa berhujjah dengan tuduhan maka silakan telan sendiri tuduhan itu. Anda itu lucu, yang saya katakan adalah Simmak bin Harb itu dhaif, tidak ada juntrungannya anda menukil rukun sanad. Mengenai Imam Muslim berhujjah dengan hadisnya, maka saya katakan Imam Muslim saja berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais yang dikenal dhaif. Simmak dhaif dengan alasan yang sudah saya sebutkan. Kalau anda berkeras menolak dengan dalih hujjah Imam Muslim, ya silakan. Apa perlu saya ingatkan bahwa jarh yang mufassar lebih didahulukan ketimbang ta’dil?. Mau dikemanakan kaidah itu. Apa itu kaidah dari Syiah, kalau begitu bakar habis saja kaidah ilmu hadis itu. Terus ulama yang mendhaifkan hadis-hadis Simaak seperti Ibnu Mubarak, Shalih bin Muhammad, Nasa’i dan Ibnu Jauzi yang memasukkannya dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 1552 apakah mereka semua adalah orang yang mengikuti standar Syiah?. Makin lama diikuti bicara anda makin ngawur saja 😛

Memang benar bahwa sebagian ulama hadits telah melemahkannya dari sisi hapalannya. Tapi harus fair juga dong (dan ini harus disebutkan) bahwa para ulama lain memberikan tautsiq kepadanya.

Jelas-jelas saya mengakuinya, kalau anda tidak membacanya maka buka mata anda lebar-lebar.

Pertanyaan sederhananya yang layak diberikan kepada teman Rafidliy kita ini : “Apakah semua riwayat yang dibawakan oleh Simaak bin Harb adalah dla’if ?”. Jika ia mendla’ifkan semua riwayat Simaak, maka berapa banyak hadits dalam Shahih Muslim yang akan berkualitas dla’if ? Jika ia menjawab tidak semua, maka mana saja yang tidak dla’if ? Kriterianya apa ? Kriteria ini generik, atau kriteria sesuai selera ? Saya tebak, yang bersangkutan akan kesulitan karena tidak punya standar yang jelas alias gelap. Apalagi melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya sering meletakkan hadits Simaak dalam ushul riwayat.

Anda itu membaca tidak sih tulisan saya, kalau memang situ merasa risih yo wes kita terapkan seperti yang dikatakan Ibnu Hajar kepada Ibnu Abi Uwais yaitu hadis Simmak selain di kitab shahih adalah dhaif. Kalau anda katakan kriteria ini sesuai selera lha apa pernyataan Ibnu Hajar terhadap Ibnu Abi Uwais [hadisnya selain dalam kitab shahih tidak bisa dijadikan hujjah] itu gak sesuai selera. Saya tebak andalah yang akan kesulitan melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya telah berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais.

Sangat aneh, ketika teman kita ini menyangkutkan pada hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy yang ia klaim mudltharib – yang kemudian ingin menunjukkan bahwa Simaak dalam penyampaian hadits ini juga mudltharib. Jaka sembung makan kedondong…. Gak nyambung dong!

saya cuma menunjukkan kemungkinannya, tidak ada saya memastikan hadis Simmak yang ini mudhtharib. Daripada anda sibuk cuap-cuap membela salah satu alasan dhaif yang ada banyak pada Simmak lebih baik anda perhatikan hujjah anda riwayat Simmak dari Ikrimah mudhtharib. Dengan cara yang sama sebagaimana anda mengutip

Ahmad bin ‘Abdillah Al-‘Ijliy berkata tentangnya : “…..Jaaizul-hadiits, kecuali dalam periwayatan hadits ‘Ikrimah. Terkadang ia menyambungkan sesuatu dari Ibnu ‘Abbas, dan terkadang ia berkata : ‘Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Padahal (hadits/riwayat) itu hanyalah ‘Ikrimah yang menceritakan dari Ibnu ‘Abbas…”.

Ya’quub pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Apa pendapatmu tentang riwayat Simaak dari ‘Ikrimah ?”. Ia menjawab : “Mudltharib”.

Lihat baik-baik, dari kutipannya hadis Simaak dari Ikrimah dihukum mudhtharib karena Simaak terkadang meriwayatkan dari Ibnu Abbas, terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terkadang meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Kalau penulis mengakui bahwa hal ini mudhtharib maka begitu pula seharusnya hadis Ibnu ‘Aaisy, ia terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, terkadang meriwayatkan dari sahabat dan terkadang meriwayatkan dari tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW. Apa ini gak nyambung juga 🙄

Gampangnya, mari kita lihat kesimpulan dari para ahli hadits dari Simaak bin Harb ini. Ibnu Hajar mengatakan : “Simaak bin Harb bin Aus bin Khaalid Adz-Dzuhliy Al-Bakriy Al-Kuufiy Abu Mughiirah. Shaduuq. Riwayatnya dari ‘Ikrimah secara khusus adalah mudltharib. Di akhir umurnya hapalannya berubah. Kadangkala ia meriwayatkan dengan talqin
Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang mudltharib adalah riwayatnya dari ‘Ikrimah. Sama dengan perkataan para imam sebelumnya. Adapun ikhtilath yang dialami oleh ‘Ikrimah terjadi pada akhir umurnya. Adapun talqin, maka ini tidak selalu.

Tidak perlu main gampang-gampangan, Simmak dhaif karena hal-hal berikut

  • Simaak sering melakukan kesalahan seperti yang dikatakan Ibnu Ammar dan Ibnu Hibban [Ibnu Hibban mengatakan ia banyak melakukan kesalahan].
  • Simaak hafalannya buruk seperti yang dikatakan Daruquthni
  • Simmak menerima talqin seperti yang dikatakan Nasa’i. An Nasa’i menyatakan kalau riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri. [ia menyendiri meriwayatkan dari Jabir]
  • Simaak mengalami ikhtilath seperti yang dikatakan Al Bazzar dan Ibnu Hajar.

Kalau anda mengatakan ia tidak selalu menerima talqin, lantas kapan anda bisa yakin ia sedang tidak menerima talqin?. Kalau anda katakan ia ikhtilat di akhir umur lalu apakah hadis ini diriwayatkan sebelum ikhtilath atau sesudah ikhtilath?. Lantas bagaimana dengan pernyataan hafalannya yang buruk dan banyaknya kesalahan yang ia buat. Kalau mau menjawab jangan tanggung-tanggung atau memang merasa tidak mampu 🙄

Martabat shaduuq menempati peringkat keempat dalam tingkatan jarh wa ta’dil menurut Ibnu Hajar. Ini maknanya bahwa rawi tersebut baik ‘adalah-nya, namun sedikit kurang dalam ke-dlabith-annya. Karena itu, kadang-kadang ia diisyaratkan dengan lafadh laa ba’sa bihi atau laisa bihi ba’sun, yaitu riwayatnya diterima dan masuk dalam derajat hasan.

Adz-Dzahabi mengatakan : “Shaduuq shaalih”. Dalam terminology Adz-Dzahabi (lihat Al-Muuqidhah hal. 81-82), lafadh mengindikasikan haditsnya jayyid, namun tidak menduduki puncak keshahihan. Ekuivalen dengan hasan.

Ini kesimpulan yang sangat bagus yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi setelah melihat berbagai jarh dan ta’dil para imam kepada Simaak.
Selain itu, sependek pengetahuan saya dari beberapa praktek yang dilakukan oleh Syaikh Al-Albani, murid-muridnya, dan juga dengan beberapa pihak yang sering kontra dengan mereka; semuanya tidak ada yang memutlakkan kedla’ifan pada Simaak.

Tidak perlu berhujjah dengan hujjah yang menarik simpati orang awam. Pada esensinya anda tidak membahas dengan baik jarh yang saya tampilkan. Ismail bin Abi Uwais saja tetap dinyatakan shaduq oleh Ibnu Hajar walaupun ia didhaifkan oleh jumhur. Lagipula maaf ya saya tidak pernah memutlakkan pendhaifan Simmak. Pendhaifan itu sangat beralasan karena hadis ru’yah ini selain Simmak tidak ada yang tsabit, semuanya mudhtharib dan munqathi’ sedangkan Simmak diketahui hafalannya buruk, melakukan banyak kesalahan[bisa jadi ini kesalahannya] menerima riwayat dengan talqin [bisa jadi riwayat ini ia dapat dari talqin] ditambah lagi ia terbukti hadisnya mudhtharib yaitu riwayat Ikrimah dimana ia terkadang menyambungkan hadis tersebut langsung ke Rasulullah SAW atau ke sahabat tanpa melalui Ikrimah. [bisa jadi hadis ini ia sambung dari mana] begitu pula ia sering memusnadkan hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lain [bisa jadi hadis ini pula karena terbukti hadis yang lain munqathi’]. Semuanya memang bisa jadi tetapi sangat beralasan.

Intinya,…. pelemahan rekan Rafidlah kita atas hadits Jaabir karena Simaak bin Harb adalah pelemahan yang paling saya ingkari.

Silakan melakukan pengingkaran. Saya tidak pernah terpikir mau memaksa anda menerima hujjah saya. Sudah saya duga anda sama seperti salafy yang lainnya yang tidak bisa menerima hujjah orang lain, seolah-olah ilmu hadis itu hanya milik anda dan ulama-ulama anda saja.

Apalagi – seperti kebiasanya – ia mencari dalih bahwa ada sebagian perawi dalam Shahihain yang mendapat jarh. Itu betul. Tapi menjadikan itu alasan untuk menolak riwayat Simaak, khususnya dalam rantai riwayat yang sama persis seperti yang digunakan Muslim dalam Shahih-nya adalah lemah dan rejected. Mengada-ada dan ujung-ujungnya kok ngasal (?)

Tidak tahu malu, yang pertama kali berhujjah pakai embel-embel perawi Muslim kan anda. Menjadikan itu sebagai alasan menerima hadis seorang perawi [walaupun terbukti jarh terhadapnya beralasan] adalah lemah, mengada-ada dan ujung-ujungnya ngasal. Bukhari dan Muslim itu bukan harga mati, siapapun yang tahu pasti tahu dan yang tidak tahu ya tidak tahu.

1. Hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah dla’if karena idlthiraab dalam sanad, tidak dalam matan. Maka di sini ia bisa dijadikan i’tibaar.

2. Hadits Ibnu ‘Abbas dla’if. Satu jalur karena inqitha’ dan jalur lain ghairu mahfudh (sebagaimana ditegaskan Ibnu-Jauziy). Sanad yang ghairu mahfudh (yaitu dari jalan Mu’aadz bin Hisyaam, dari ayahnya, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’) tidak bisa dijadikan i’tibar, sedangkan yang lain dapat dijadikan I’tibar.

Kedua hadis ini baik hadis Ibnu ‘Aaisy dan hadis Ibnu Abbas terbukti mudhtharib, walaupun dikumpulkan bersama malah mempertegas idhthirabnya seperti yang dilakukan Daruquthni dalam Al ‘Ilal.

3. Hadits Tsauban adalah dla’if karena inqitha’ dan kedla’ifan Abu Shaalih.
5. Hadits Abu Umaamah dla’if karena adanya inqitha’ dan kedla’ifan Laits.

Kedua hadis ini dhaif karena kedhaifan salah seorang perawinya dan sanadnya terputus. Walaupun dikumpulkan bersama tidak mengangkat sifatnya yang terputus dan sama-sama ada kedhaifan pada perawinya.

4. Hadits Jaabir adalah dla’iif karena Simaak bin Harb.

Hadis ini bisa dibilang sanad paling kuat mengenai masalah ini dan ternyata kedudukannya pun dhaif. Kalau mau menguatkannya maka carilah sanad lain yang tidak terputus dan tidak mudhtharib karena kelemahan Simmak terkait dengan kedua hal itu seperti yang telah kami jelaskan. Ditambah lagi hadis ini tidak menjadi hujjah bagi salafy karena tidak ada sedikitpun dalam kandungan matannya yang menyebutkan kalau peristiwa tersebut terjadi di dalam mimpi. Kalau mau berhujjah jangan dengan gaya seenaknya tolong perhatikan matannya dengan cermat dan teliti.

Coba perhatikan kedla’ifan masing-masing dengan pikiran yang jernih. Nampak bahwa dengan kedla’ifannya ia tetap berstatus shahih lighairihi atau minimal hasan lighirihi. Perkataan bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa saling menguatkan hanyalah merupakan igauan semata, dan penerapan prinsip YPD (Yang Penting Dla’if). He….he….he….

Dimana letak shahih lighairihi atau hasan lighairihi?. Perkataan ngasal seperti itu juga bisa dikatakan orang lain. Hanya karena itu manjadi keyakinan anda dan mahzab anda maka dengan seenaknya anda pakai prinsip pokoknya harus shahih, walaupun sudah terbukti kedhaifannya yang tidak bisa saling menguatkan. Makanya kalau mau menjawab itu jangan tanggung-tanggung dan cobalah lebih ilmiah jangan bisanya menuduh sana sini. Akhir kata, silakan pembaca menilai sendiri tanpa dipengaruhi mahzab apapun, walaupun saya tidak terlalu berharap ada pengikut salafy or nashibi yang mau menerima karena pada dasarnya penyakit mereka itu sama semua. Sok merasa paling ilmiah dan benar sendiri :mrgreen:

44 Tanggapan

  1. Assalau’alaikum…
    Belum selesai ah bacanya ….

    Firman Allah:
    Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

  2. Begitupanjang lebar tulisan mas SP yang berupa dialog sampai memusingkan saya.
    Dari kupasan mas SP dengan NASHIBI saya menarik satu garis pembatas yakni:
    MEREKA NASHIBI TIDAK PERCAYA ATAS FIRMAN ALLAH MEREKA LEBIH YAKIN ATAS KATA2 USTADZ MEREKA/IMAM/SYECH MEREKA.
    Oleh karena itu sampai kapanpun mas jelaskan tetap ditolak.
    Allah menegaskan: Tiada satu makhlukpun dapat memberi petunjuk.
    PETUNJUK ADALAH DARI AKU. Wasalam

  3. Sepanjang apapun hujjah mas SP sepertinya ndak akan ngaruh. Mereka membutuhkan mukjizat Nabi Isa as supaya bisa ‘MELEK’ dari keBUTAannya selama ini.

  4. Dia itu pakai prinisip Ngeyelisme.

  5. @mas SP

    Syukron, pembahasan yang cukup mendetail… makin lama makin tampak lawan anda yang nashibi itu makin kedodoran…

    tapi yang namanya “nashibi bin wahabi bin salafi” mana mau ngaku kalo sudah kebangkrutan hujjah… jadinya ya muter-muter terus..

    tapi bagi orang yang berakal sudah cukup jelas pembahasan ini bahwa hujjah salafy tentang hadis “tajsim/tasybih” ini memang dhaif kalo bukan palsu!

  6. Mas SP, coba anda baca Al-Ishabah karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, di sana jelas disebutkan bahwa Abdurrahman bin Aisy tidak hanya meriwayatkan satu hadits itu saja dari Nabi saw, tapi ada tiga hadits dan AL-Hafizh mendiamkannya.
    Lalu, masalah sanad hadits di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar juga sudah mengkompromikannya.
    Bahkan, Ibnu Hajar sepertinya menguatkan pendapat bahwa Abdurrahman ini adalah sahabat dgn berbagai bukti yg cukup panjang, lebih baik ente baca aja sendiri Al-Ishabah, kalau memang di sana ada yg dianggap tidak benar, cobalah buat bantahan terhadap segala pernyataan Al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut.

  7. pendapat Ibnu Hajar dalam Ishabah berkenaan status sahabat Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah berdasarkan hadis yang menggunakan lafal sami’tu. Hadis tersebut adalah hadis ru’yah yang telah disebutkan oleh SP kalau hadis tersebut mudhtharib. Sudah tentu hadis mudhtharib tidak bisa dijadikan hujjah Abdurrahman bin ‘Aaisy sahabat. Ibnu Hajar juga keliru ketika mengatakan ada hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy selain hadis ru’yah. Diantaranya Ibnu Hajar merujuk pada kitab Ma’rifat As Shahabah Abu Nu’aim, padahal yang sebenarnya di kitab tersebut tidak ada biografi Abdurrahman bin ‘Aaisy dan hadis yang dimaksud Ibnu Hajar tersebut bukan hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy tetapi hadis orang lain.

  8. ke ke ke saingan “espe” muncul. it’s phenomenon sekali dalam seratus tahun. Jangan lewatkan kesempatan langka, daftarkan diri antum semua 😆
    *dibom MA pakai basoka*

  9. sepakat dgn Al Mirza…. ini kejadian langka….. ada SP ada FP…. 😀

    maaf OOT (maklum langka seh)

  10. @FP
    Saya telah mengenal SP dengan cara memposting begitu banyak kebenaran dan begitu bijaksana memberi komentar. Saya salut untuk beliau.
    Tapi tiba2 ada yang turut berkomentar dengan nama First Prince. Wah, ini tentu pemain penting. Maka saya sangat mengharap sebagai pengagum blog ini anda tetap hadir dan beri kami masukan. Wasalam

  11. @ First Prince: Ente baca Ma’rifatus Shahabah cetakan mana Bro?!
    Ini redaksi lengkap Ma’rifatush Shahabah yg ada di saya:
    عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَائِشٍ الْحَضْرَمِيُّ وَقِيلَ: الْجُهَنِيُّ، يُعَدُّ فِي الشَّامِيِّينَ، مُخْتَلَفٌ فِي صُحْبَتِهِ، وَفِي سَنَدِ حَدِيثِهِ
    – حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ الْفِرْيَابِيُّ، ثنا دُحَيْمٌ، ثنا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ اللَّجْلَاجِ، وَسَأَلَهُ، مَكْحُولٌ أَنْ يَتَحَدَّثَهُ، قَالَ: نَعَمْ، سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَائِشٍ الْحَضْرَمِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: ” §رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ، فَقَالَ لِي: هَلْ تَدْرِي فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى يَا مُحَمَّدُ ؟ قُلْتُ: أَنْتَ أَعْلَمُ . . . ” الْحَدِيثَ . رَوَاهُ صَدَقَةُ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ جَابِرٍ مِثْلَهُ وَرَوَاهُ أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنِ ابْنِ عَائِشٍ
    – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا أَبِي، ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَائِشٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” §مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا، فَقَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَرَ فِي مَنْزِلِهِ ذَلِكَ شَيْئًا يَكْرَهُهُ حَتَّى يَرْتَحِلَ عَنْهُ ” قَالَ سُهَيْلٌ: قَالَ أَبِي: فَلَقِيتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَائِشٍ فِي الْمَنَامِ، فَقُلْتُ لَهُ: حَدَّثَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا الْحَدِيثَ ؟ قَالَ: نَعَمْ . رَوَاهُ مُوسَى بْنُ يَعْقُوبَ الزَّمْعِيُّ ثنا سُهَيْلٌ نَحْوَهُ
    Ini bithaqahnya:
    ـ[معرفة الصحابة]ـ
    المؤلف : أبو نعيم أحمد بن عبد الله بن أحمد بن إسحاق بن موسى بن مهران الأصبهاني (المتوفى : 430هـ)
    تحقيق : عادل بن يوسف العزازي
    الناشر : دار الوطن للنشر – الرياض
    الطبعة : الأولى 1419 هـ – 1998 م
    عدد الأجزاء : 7 ( 6 ، ومجلد فهارس )
    [ترقيم الكتاب موافق للمطبوع وهو ضمن خدمتي التخريج وتراجم الرجال]
    Kalau ngak percaya down load sendiri nih:
    http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2914

  12. Pendapat yg paling kuat adalah bahwa Abdurrahman bin ‘A`isy itu shahabi, makanya Ibnu Sa’d memasukkannya dalam kitab Ath-thabaqaat Al-Kubra di bab: “Tasmiyatu Man Nazala bisy syaam min Ash-haabi Rasulillaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
    Juga Ibnu Qani’ dalam kitabnya Mu’jam ASh-Shahabah dan Al-Baghawi dalam Mu’jam Ash-Shahabah.
    Salah satu bukti bahwa Abdurrahman bin Aisy ini adalh sahabat, adalah riwayat dalam Sunan Ad-Daraquthni:
    حدثنا أبو القاسم بن منيع ثنا داود بن رشيد أبو الفضل الخوارزمي ثنا الوليد بن مسلم عن الوليد بن سليمان قال سمعت ربيعة بن يزيد قال سمعت عبد الرحمن بن عائش صاحب رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول Y الفجر فجران فأما المستطيل في السماء فلا يمنعن السحور ولا تحل فيه الصلاة وإذا اعترض فقد حرم الطعام فصل صلاة الغداة إسناد صحيح
    (Sumber Sunan Ad-Daraquthni, kitab Ash-Shiyam, bab: Fii Waqtis Sahr)
    Cari dulu, kalau ngak ada juga di cetakan milik ente baru ana bantu sebutkan cetakan mana.
    Coba perhatikan siapa yg bilang bahwa Abdurrahman bin ‘Aisy itu sahabat Nabi saw dalam sanad Ad-Daraquthni itu.
    Secara kaedah bahasa bahwa yg mengatakan tentulah orang yg namanya lebih dekat dan dalam hal ini adalah Rabi’ah bin Yazid yg merupakan muridnya Abdurrahman.
    Sudah pasti sang murid akan lebih tahu keadaan gurunya dibanding orang yg lahir seratus tahun setelah Abdurrahman wafat.
    Bisa dicerna ngak kata-kata saya ini?

  13. @pria idaman

    Mas SP, coba anda baca Al-Ishabah karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, di sana jelas disebutkan bahwa Abdurrahman bin Aisy tidak hanya meriwayatkan satu hadits itu saja dari Nabi saw, tapi ada tiga hadits dan AL-Hafizh mendiamkannya.

    ooh sudah dibaca kok, hadis yang pantas untuk dikatakan milik Ibnu ‘ Aaisy itu ya hadis ru’yah. Sedangkan kedua hadis lainnya itu tidak tsabit sanadnya ke Ibnu ‘Aaisy

    Lalu, masalah sanad hadits di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar juga sudah mengkompromikannya.

    btw siapapun bisa mengkompromikan seperti yang dilakukan penulis Abul Jauzaa’, tetapi tidak setiap perkataan yang dimaksud kompromi itu benar. Hadis ru’yah masing-masing sanadnya tidak bisa ditarjih oleh karena itu dengan mengumpulkan semua sanadnya akan tampak adanya idhthirab.

    Bahkan, Ibnu Hajar sepertinya menguatkan pendapat bahwa Abdurrahman ini adalah sahabat dgn berbagai bukti yg cukup panjang, lebih baik ente baca aja sendiri Al-Ishabah, kalau memang di sana ada yg dianggap tidak benar, cobalah buat bantahan terhadap segala pernyataan Al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut.

    bukti yang dimaksud Ibnu Hajar adalah hadis dengan lafal sima’ langsung dari Rasulullah SAW. Hadis tersebut tidak tsabit karena idhthirab.

    @firstprince

    pendapat Ibnu Hajar dalam Ishabah berkenaan status sahabat Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah berdasarkan hadis yang menggunakan lafal sami’tu. Hadis tersebut adalah hadis ru’yah yang telah disebutkan oleh SP kalau hadis tersebut mudhtharib.

    yup benar sekali

    Ibnu Hajar juga keliru ketika mengatakan ada hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy selain hadis ru’yah.

    hadis-hadis yang disebutkan Ibnu hajar itu tidak tsabit sanadnya ke Ibnu ‘Aaisy makanya saya tidak menisbatkan hadis tersebut milik Ibnu ‘Aaisy

    Diantaranya Ibnu Hajar merujuk pada kitab Ma’rifat As Shahabah Abu Nu’aim, padahal yang sebenarnya di kitab tersebut tidak ada biografi Abdurrahman bin ‘Aaisy

    ah saudara keliru disini. Abu Nu’aim memang menyebutkan biografi Ibnu ‘Aaisy [punya saya sih pada no 1886] *akhirnya dikau bisa salah juga ya*

    dan hadis yang dimaksud Ibnu Hajar tersebut bukan hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy tetapi hadis orang lain

    ehem mungkin yang dimaksud saudara itu adalah riwayat Al Faryabi yang dikutip Ibnu Hajar dalam Al Ishabah. Saya tidak menemukan hadis ini kecuali dalam Ma’rifat As Shahabah Abu Nu’aim biografi Zaid bin Nu’man, kalau memang benar ya hadis itu memang bukan milik Ibnu ‘Aaisy 🙂

    @almirza

    ke ke ke saingan “espe” muncul. it’s phenomenon sekali dalam seratus tahun. Jangan lewatkan kesempatan langka, daftarkan diri antum semua 😆
    *dibom MA pakai basoka*

    ho ho ho nyebut inisial juga kagak boleh atuh Mas :mrgreen:
    *ikut nyiapin basoka*

    @wong kito galo
    ah gak langka, udah dari dulu kaleee 🙂

    @abu rahat
    yah dia gak aktif lagi ngeblog :mrgreen:

    @pria idaman

    Pendapat yg paling kuat adalah bahwa Abdurrahman bin ‘A`isy itu shahabi, makanya Ibnu Sa’d memasukkannya dalam kitab Ath-thabaqaat Al-Kubra di bab: “Tasmiyatu Man Nazala bisy syaam min Ash-haabi Rasulillaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
    Juga Ibnu Qani’ dalam kitabnya Mu’jam ASh-Shahabah dan Al-Baghawi dalam Mu’jam Ash-Shahabah.

    Menurut saya pendapat yang paling kuat justru ia bukan sahabat karena hadis sebagai bukti persahabatannya itu tidak tsabit. Kalau ulama mah ada banyak kali yang mengingkari persahabatannya seperti Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Syaikh Syu’aib dan Bashar Awad Ma’ruf.

    Salah satu bukti bahwa Abdurrahman bin Aisy ini adalh sahabat, adalah riwayat dalam Sunan Ad-Daraquthni:
    حدثنا أبو القاسم بن منيع ثنا داود بن رشيد أبو الفضل الخوارزمي ثنا الوليد بن مسلم عن الوليد بن سليمان قال سمعت ربيعة بن يزيد قال سمعت عبد الرحمن بن عائش صاحب رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول Y الفجر فجران فأما المستطيل في السماء فلا يمنعن السحور ولا تحل فيه الصلاة وإذا اعترض فقد حرم الطعام فصل صلاة الغداة إسناد صحيح
    (Sumber Sunan Ad-Daraquthni, kitab Ash-Shiyam, bab: Fii Waqtis Sahr)
    Cari dulu, kalau ngak ada juga di cetakan milik ente baru ana bantu sebutkan cetakan mana.

    Hadis itu dhaif dan tidak tsabit sanadnya sampai ke Ibnu ‘Aaisy karena Walid bin Muslim itu mudallis dengan tadlis taswiyah. Ibnu Hajar menyebutnya dalam Thabaqat Al Mudallisin no 127 pada martabat keempat

    Coba perhatikan siapa yg bilang bahwa Abdurrahman bin ‘Aisy itu sahabat Nabi saw dalam sanad Ad-Daraquthni itu.
    Secara kaedah bahasa bahwa yg mengatakan tentulah orang yg namanya lebih dekat dan dalam hal ini adalah Rabi’ah bin Yazid yg merupakan muridnya Abdurrahman.
    Sudah pasti sang murid akan lebih tahu keadaan gurunya dibanding orang yg lahir seratus tahun setelah Abdurrahman wafat.
    Bisa dicerna ngak kata-kata saya ini?

    Bisa kok dicerna, tapi lagi-lagi sanad itu juga gak tsabit sampai ke Rabi’ah bin Yazid karena Walid bin Muslim itu mudallis. lagipula kata-kata sahabat Rasulullah SAW itu besar kemungkinan berasal dari kata-kata Walid karena ia sebelumnya beranggapan Ibnu ‘Aaisy mendengar langsung dari Rasulullah SAW [lihat hadis ru’yah]. Jadi wajar kalau Walid berpendapat seperti itu padahal yang benar hadis ru’yah tersebut mudhtharib 🙂

  14. @pria idaman
    uups kelupaan

    عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَائِشٍ الْحَضْرَمِيُّ وَقِيلَ: الْجُهَنِيُّ، يُعَدُّ فِي الشَّامِيِّينَ، مُخْتَلَفٌ فِي صُحْبَتِهِ، وَفِي سَنَدِ حَدِيثِهِ
    – حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ الْفِرْيَابِيُّ، ثنا دُحَيْمٌ، ثنا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ اللَّجْلَاجِ، وَسَأَلَهُ، مَكْحُولٌ أَنْ يَتَحَدَّثَهُ، قَالَ: نَعَمْ، سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَائِشٍ الْحَضْرَمِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: ” §رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ، فَقَالَ لِي: هَلْ تَدْرِي فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى يَا مُحَمَّدُ ؟ قُلْتُ: أَنْتَ أَعْلَمُ . . . ” الْحَدِيثَ . رَوَاهُ صَدَقَةُ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ جَابِرٍ مِثْلَهُ وَرَوَاهُ أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنِ ابْنِ عَائِشٍ

    Ini hadis yang mudhthatrib, silakan lihat penjelasan panjang lebar yang sudah saya tuliskan tentang ini.

    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا أَبِي، ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَائِشٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” §مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا، فَقَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَرَ فِي مَنْزِلِهِ ذَلِكَ شَيْئًا يَكْرَهُهُ حَتَّى يَرْتَحِلَ عَنْهُ ” قَالَ سُهَيْلٌ: قَالَ أَبِي: فَلَقِيتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَائِشٍ فِي الْمَنَامِ، فَقُلْتُ لَهُ: حَدَّثَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا الْحَدِيثَ ؟ قَالَ: نَعَمْ . رَوَاهُ مُوسَى بْنُ يَعْقُوبَ الزَّمْعِيُّ ثنا سُهَيْلٌ نَحْوَهُ

    Hadis ini tidak tsabit sanadnya ke Ibnu ‘Aaisy karena dhaifnya Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, ia dinyatakan pendusta oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Khirasy menyebutnya pemalsu hadis[Al Mizan no 7814]. Ibnu Jauzi bahkan memasukkannya dalam kitab Adh Dhuafa Wal Matrukin no 3119

  15. Betul hadits Ad-Daraquthni itu dha’if lantaran adanya Al Walid bin Muslim, tapi dia bisa dijadikan i’tibar.
    Kalau main banyak-banyakan jelas lebih banyak yg berpendapat bahwa Abdurrahman ini adalah sahabat Nabi saw, karena yg menafikan persahabatannya tidak memberikan bukti dari pernyataan Abdurrahman sendiri atau dari orang yg bertemu dengannya bahwa dia bukan sahabat.
    Sedangkan Beberapa indikasi dalam riwayatnya menunjukkan dia mendengar dari Nabi saw.
    Adapun masalah idhthirab, saya tidak sependapt dgn anda bahwa hadits itu mudhtharib, karena saya berkeyakinan bahwa Abdurrahman adalah shahabi.
    Lagi pula idhthirab yg ada sebutkan berporos pada Abdurrahman dimana sesekali dia menyebutkan mendengar dari seorang sahabat Nabi, lalu kadang menyebutkan dari Malik bin Yukhamir, dan kadang mendengar sendiri, maka jalur komprominya adalah semua itu pernah terjadi pada dirinya. Itupun kalau riwayatnya yg dari Malik bin Yukhamir memang benar Ibnu ‘A`isy, sedangkan Ibnu Hajar sendiri menyatakan bahwa yg meriwayatkan dari Malik itu adalah Abu Abdirrahman As-Saksaki yg dipersangkakan kuat adalah orang lain. Ini juga diamini oleh Al-Haitsami dalam AL-Majma’ hanya saja dia tidak menemukan biografi Abu Abdirrahman As-Saksaki ini.

    Mengenai Muhammad bin Abi Syaibah di kitab mana anda mendapatkan pernyataan Ahmad bin Hanbal bahwa dia kadzdzab. Yg mengatakan Muhammad bin Utsman itu kadzdzab adalah lawan debatnya yaitu Ibnu ‘Uqdah dan memang Ibnu ‘Uqdah sangat memusuhi Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah. Dan memang ada pernyataan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, tapi dia tidak menjelaskan alasannya.

    Bahkan, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Lisan Al-Mizan menyebutkan biografinya:
    محمد بن عثمان بن أبي شيبة أبو جعفر العبسي الكوفي الحافظ: سمع أباه وابن المديني وأحمد بن يونس وخلقاً وعنه النجاد والشافعي البزاز والطبراني وكان عالماً بصيراً بالحديث والرجال له تآليف مفيدة وثقه صالح جزرة.
    (Lisan Al-Mizan, bab: Man Ismuhu Muhammadn juz 2 hal. 443 (program maktabah syamilah).

    Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat (juz 9 hal. 155 cetakan Dar AlFikr).
    Dalam Tarikh Baghdad disebutkan bahwa Abdan ditanya ttg Muhamman bin Utsman dan dia menjawab, Kami tidak mengetahui padanya kecuali kebaikan dan kami menulis kitab ayahnya dari tulisan tangan sang anak.” (Tarikh Baghdad, juz 3, hal. 43).

    Lalu Al-Hafizh Adz-Dzahabi jug memberi kesimpulan tentang biografinya dalam kalimat awalnya ketika menulis biografi Muhammad bin Utsman ini:
    محمد بن عثمان بن أبي شيبة * الامام الحافظ المسند، أبو جعفر العبسي الكوفي.
    سمع أباه، وعميه: أبا بكر، والقاسم، وأحمد بن يونس اليربوعي، وعلي بن المديني، ويحيى الحماني، وسعيد بن عمرو الاشعثي، ومنجاب ابن الحارث، والعلاء بن عمرو الحنفي، وأبا كريب، وهنادا، وخلقا
    سواهم.

    Artinya, meski ada yg menjarh dan ada yg menta’dil, maka yg harus dilihat adalah kesimpulan para muhaqqiqin, apalagi pebicaraan seputarnya terutama ttg tuduhan berdusta adalah sangkaan dari orang-orang yg sezaman dengannya dan itu termasuk kalam qarin.

  16. Pernyataan Adz-Dzahabi itu ada dalam As-Siyar juz 14 hal. 21.

  17. SP mengatakn: ehem mungkin yang dimaksud saudara itu adalah riwayat Al Faryabi yang dikutip Ibnu Hajar dalam Al Ishabah. Saya tidak menemukan hadis ini kecuali dalam Ma’rifat As Shahabah Abu Nu’aim biografi Zaid bin Nu’man, kalau memang benar ya hadis itu memang bukan milik Ibnu ‘Aaisy .
    Jawab: Jelas-jelas Ibnu Hajar mengatakan riwayat itu dari AL-Faryabi dalam kitab Adz-Dzikr, bukan mengutip dari Ma’rifatus Shahabahnya Abu Nu’aim. Sebagai seorang hafizh yg terpercaya dalam menukil saya tentu lebih percaya kepada Ibnu Hajar daripada anda. Apalagi bisa jadi bahwa kitab Adz-Dzikr yg dimaksud Ibnu Hajar itu memang kitab yg mafqud dan itu banyak. Banyak kitab para ulama yg tidak sampai di kita, atau belum ditahqiq.

    Tambahan lagi, kalau anda katakan bahwa hadits Makhul yg mendengar dari Ibnu Aisy yg mendengar Rasulullah saw bersabda itu mudhtharib, maka itu akan benar andai Ibnu Aisy bukan shahabi, sementara saya sudah meyakini bahwa Ibnu Aisy adalah shahabi, bukan semata berpegang kepada riwayat Abu Nu’aim atau AlFaryabi atau Ad-Daraquthni, melainkan karena jalur AlWalid bin Muslim dan Makhul itu memang shahih dan tidak idhthirab…:)

  18. @pria idaman

    Betul hadits Ad-Daraquthni itu dha’if lantaran adanya Al Walid bin Muslim, tapi dia bisa dijadikan i’tibar.

    silakan saja, saya tanya riwayat mana yang mau anda jadikan i’tibar?.

    Kalau main banyak-banyakan jelas lebih banyak yg berpendapat bahwa Abdurrahman ini adalah sahabat Nabi saw, karena yg menafikan persahabatannya tidak memberikan bukti dari pernyataan Abdurrahman sendiri atau dari orang yg bertemu dengannya bahwa dia bukan sahabat.

    kok main banyak-banyakan? masih kurang banyakkah, nih saya tambah Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Atsir. Maaf logika anda itu terbalik, mereka yang menyatakan sahabat itulah yang seharusnya membuktikan apa dasarnya seseorang dikatakan sahabat?. lagipula coba anda perhatikan ulama yang anda sebut semisal Al Baghawi dalam Mu’jam As Shahabah dan Ibnu Qani’. Mereka menunjukkan bukti persahabatn Ibnu ‘Aaisy dengan membawakan hadis ru’yah yang ternyata mudhtharib. Jadi hujjah mereka jelas tidak kuat.

    Sedangkan Beberapa indikasi dalam riwayatnya menunjukkan dia mendengar dari Nabi saw.

    dan riwayat tersebut terbukti mudhtharib karena dalam hadis lain ia mengaku meriwayatkan itu dari seorang sahabat atau sekelompok sahabat dan dari hadis lain pula ia mengaku meriwayatkan hadis tersebut dari tabiin dari sahabat. Hadis mudhtharib sudah jelas dhaif dalam ulumul hadis.

    Adapun masalah idhthirab, saya tidak sependapt dgn anda bahwa hadits itu mudhtharib, karena saya berkeyakinan bahwa Abdurrahman adalah shahabi.

    logika macam apa itu, maaf siapa yang peduli dengan keyakinan anda. Ulama yang meyakini Ibnu ‘Aaisy sahabat saja sudah terbukti salah karena menjadikan hadis mudhtharib sebagai hujjah.

    Lagi pula idhthirab yg ada sebutkan berporos pada Abdurrahman dimana sesekali dia menyebutkan mendengar dari seorang sahabat Nabi, lalu kadang menyebutkan dari Malik bin Yukhamir, dan kadang mendengar sendiri, maka jalur komprominya adalah semua itu pernah terjadi pada dirinya.

    Itu semua bukti kalau hadis tersebut mudhtharib. Silakan lihat pengertian mudhtharib dalam kitab Ulumul hadis. Kalau perkara seperti itu seenaknya anda katakan bisa dikompromikan maka apa gunanya selama ini dipelajari “yang namanya mudhtharib”. btw sebagai contoh nyata silakan lihat riwayat Simmak dari Ikrimah yang dikatakan mudhtharib, sama kok dengan perkara Ibnu ‘Aaisy.

    Itupun kalau riwayatnya yg dari Malik bin Yukhamir memang benar Ibnu ‘A`isy, sedangkan Ibnu Hajar sendiri menyatakan bahwa yg meriwayatkan dari Malik itu adalah Abu Abdirrahman As-Saksaki yg dipersangkakan kuat adalah orang lain. Ini juga diamini oleh Al-Haitsami dalam AL-Majma’ hanya saja dia tidak menemukan biografi Abu Abdirrahman As-Saksaki ini.

    Maaf ya anda ini lucu, hadis Muadz itu jelas-jelas menyebutkan nama Ibnu ‘Aaisy. bagaimana bisa anda menafikan itu. Saya pribadi tidak menolak ada hadis riwayat lain dengan nama Abu Abdirrahman As Saksaki yang tidak tahu siapa dia. Hal ini justru menambahkan kenyataan bahwa hadis tersebut idhthirab. Kalau anda mau seenaknya taklid kepada Ibnu Hajar dan Al Haitsami bahwa orang yang dimaksud adalah Abu Abdirrahman As Saksaki bukan Ibnu ‘Aaisy maka orang lain bisa pula seenaknya taklid kalau riwayat tersebut yang benar adalah Ibnu ‘Aaisy bukan Abu Abdurrahman As Saksaki. Main taklid mah gampang. Coba jawab, apa buktinya kalau orang yang dimaksud adalah Abu Abdurrahman As Saksaki bukan Ibnu ‘Aaisy?. Atau bagaimana bisa anda memastikan kalau mereka berdua adalah orang yang berbeda atau jangan-jangan Abu Abdurrahman As Saksaki dan Ibnu ‘Aaisy itu orang yang sama?.

    Mengenai Muhammad bin Abi Syaibah di kitab mana anda mendapatkan pernyataan Ahmad bin Hanbal bahwa dia kadzdzab. Yg mengatakan Muhammad bin Utsman itu kadzdzab adalah lawan debatnya yaitu Ibnu ‘Uqdah dan memang Ibnu ‘Uqdah sangat memusuhi Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah. Dan memang ada pernyataan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, tapi dia tidak menjelaskan alasannya.

    Sudah saya koreksi, saya bermaksud menulis Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan maaf apa maksud anda dengan pernyataan “dia tidak menjelaskan alasannya”. Kalau memang jarh “dusta” atau “pemalsu hadis” membutuhkan alasan lagi maka akan banyak sekali para perawi yang dikatakan dhaif bisa jadi tsiqah. Silakan timbang jarh tersebut dengan adil. btw Ibnu Uqdah pada dasarnya bukan menyatakan pendapatnya sendiri, ia mendengar langsung kalau Abdullah bin Usamah, Ibrahim bin Ishaq dan Daud bin Yahya, ketiganya mengatakan kalau Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah pendusta. btw selain mereka ada Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ja’far bin Muhammad Ath Thayalisi yang juga menyatakan ia pendusta. Dan Ibnu Khirasy menyatakan ia pemalsu hadis. Itu semua jarh yang sangat keras. Kalau mau anda nafikan begitu saja, ya silakan :mrgreen:

    Bahkan, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Lisan Al-Mizan menyebutkan biografinya:
    محمد بن عثمان بن أبي شيبة أبو جعفر العبسي الكوفي الحافظ: سمع أباه وابن المديني وأحمد بن يونس وخلقاً وعنه النجاد والشافعي البزاز والطبراني وكان عالماً بصيراً بالحديث والرجال له تآليف مفيدة وثقه صالح جزرة.
    (Lisan Al-Mizan, bab: Man Ismuhu Muhammadn juz 2 hal. 443 (program maktabah syamilah).

    Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat (juz 9 hal. 155 cetakan Dar AlFikr).
    Dalam Tarikh Baghdad disebutkan bahwa Abdan ditanya ttg Muhamman bin Utsman dan dia menjawab, Kami tidak mengetahui padanya kecuali kebaikan dan kami menulis kitab ayahnya dari tulisan tangan sang anak.” (Tarikh Baghdad, juz 3, hal. 43).

    Kalau memang anda membaca kitab yang anda maksud, maka anda pasti membaca juga jarh terhadap Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah yang tergolong keras.

    Lalu Al-Hafizh Adz-Dzahabi jug memberi kesimpulan tentang biografinya dalam kalimat awalnya ketika menulis biografi Muhammad bin Utsman ini:
    محمد بن عثمان بن أبي شيبة * الامام الحافظ المسند، أبو جعفر العبسي الكوفي.
    سمع أباه، وعميه: أبا بكر، والقاسم، وأحمد بن يونس اليربوعي، وعلي بن المديني، ويحيى الحماني، وسعيد بن عمرو الاشعثي، ومنجاب ابن الحارث، والعلاء بن عمرو الحنفي، وأبا كريب، وهنادا، وخلقا
    سواهم.

    Artinya, meski ada yg menjarh dan ada yg menta’dil, maka yg harus dilihat adalah kesimpulan para muhaqqiqin, apalagi pebicaraan seputarnya terutama ttg tuduhan berdusta adalah sangkaan dari orang-orang yg sezaman dengannya dan itu termasuk kalam qarin.

    btw Adz Dzahabi sendiri memasukkan Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah dalam kitabnya Diwan Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 3873. Begitu pula Ibnu Jauzi mamasukkannya dalam Adh Dhuafa Wal Matrukin no 3119. btw saya mau tanya apa anda tidak pernah mendengar bahwa dalam As Siyar bahkan orang yang disebut Adz Dzahabi sebagai Al Imam atau Al Hafiz atau Al Musnad bisa saja berstatus dhaif bahkan pendusta?. ada kok 🙂

    Jawab: Jelas-jelas Ibnu Hajar mengatakan riwayat itu dari AL-Faryabi dalam kitab Adz-Dzikr, bukan mengutip dari Ma’rifatus Shahabahnya Abu Nu’aim. Sebagai seorang hafizh yg terpercaya dalam menukil saya tentu lebih percaya kepada Ibnu Hajar daripada anda.

    Siapa yang mengingkari apa yang anda katakan. Silakan cek dulu apa yang tertulis dalam kitab Abu Nu’aim dan bila perlu cek Mu’jam As Shahabah Al Baghawi biografi Zaid bin Ash Shamit yang dikenal dengan sebutan Abu ‘Ayyas. disana terdapat hadis dengan jalan dari Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya dari Abu ‘Ayyas dan menyebutkan hadisnya. Hadis tersebut sama dengan yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam Al Ishabah dimana Ibnu Hajar mengutipnya dari Al Faryabi. Saya pribadi tidak memiliki kitab Al Faryabi yang dimaksud ditambah lagi Ibnu Hajar tidak menyebutkan sanadnya dengan lengkap. daripada anda berapologia soal keilmuan Ibnu Hajar lebih baik anda nukilkan sanad lengkap riwayat Al Faryabi yang dimaksud. Untuk saat ini saya menduga sanad tersebut keliru, yang dimaksud adalah Abu ‘Ayyas bukan Ibnu ‘Aaisy.

    Apalagi bisa jadi bahwa kitab Adz-Dzikr yg dimaksud Ibnu Hajar itu memang kitab yg mafqud dan itu banyak. Banyak kitab para ulama yg tidak sampai di kita, atau belum ditahqiq.

    Lho bisa jadi juga Ibnu Hajar disini keliru, ya namanya bisa jadi ma bisa jadi apa aja. gak bernilai hujjah. Buktinya ketika membawakan riwayat Abu Nu’aim Ibnu Hajar tidak menyebutkan sanadnya dengan lengkap dan ternyata jika diperhatikan sanad lengkapnya hadis tersebut dhaif. Kalau memang mau berhujjah silakan bawakan sanad lengkapnya biar menjadi tambahan ilmu buat saya. sila sila

    Tambahan lagi, kalau anda katakan bahwa hadits Makhul yg mendengar dari Ibnu Aisy yg mendengar Rasulullah saw bersabda itu mudhtharib, maka itu akan benar andai Ibnu Aisy bukan shahabi, sementara saya sudah meyakini bahwa Ibnu Aisy adalah shahabi, bukan semata berpegang kepada riwayat Abu Nu’aim atau AlFaryabi atau Ad-Daraquthni, melainkan karena jalur AlWalid bin Muslim dan Makhul itu memang shahih dan tidak idhthirab…:)

    Lagi-lagi siapa yang peduli dengan apa keyakinan anda. Kita disinikan berdiskusi dengan hujjah bukan cuma soal keyakinan semata. Saya sudah tunjukkan bukti nyata bahwa hadis Walid tersebut idhthirab, pertanyaannya apa bantahan anda kalau hadis tersebut tidak idhthirab?.Jangan cuma pakai gaya seenaknya. btw yang mengatakan hadis tersebut mudhtharib bukan cuma saya ada yang namanya Daruquthni, dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Pendapat merekalah dalam hal ini yang benar karena didukung oleh bukti yang nyata. Semua hadis tersebut dimana Ibnu ‘Aaisy meriwayatkan dari Nabi SAW, meriwayatkan dari sahabat dari Nabi, meriwayatkan dari beberapa sahabat dari Nabi, meriwayatkan dari tabiin dari sahabat dari Nabi SAW, tidak bisa anda nafikan salah satunya. Mereka yang mencoba mentarjih tidak memiliki dasar yang kuat seperti Ibnu Hajar dan maaf juga saudara Abul Jauzaa [yang seenaknya menolak riwayat sima’ langsung Ibnu ‘Aaisy]. Dengan mengumpulkan semuanya maka terbukti sudah bahwa hadis tersebut mudhtharib dan bersumber pada Abdurrahman bin ‘Aaisy. Menjadikan hadis tersebut sebagai bukti persahabatannya adalah dasar yang sangat rapuh karena sudah jelas hadis tersebut mudhtharib. Lebih masuk akal Ibnu ‘Aaisy ini memang kacau periwayatannya.

  19. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad…
    @SP
    Syukron Ustadz…. Top Dah…
    Kapan saya bisa kayak ustadz, yang detail, logis, dengan dasar keilmuan yang kokoh…(?)

    Semoga Allah SWT merahmati antum, dan kehadiran antum di dunia menjadikan keberkahan buat kita semua..

  20. @yusuf
    waduh Mas saya bukan ustadz, saya cuma orang yang sedang belajar. btw kalau Mas punya anak, jangan-jangan anaknya seumuran dengan saya :mrgreen: *just kidding*

  21. Anda mengatakan bahwa pernyataan Ibnu Hajar keliru ketika mengutip dari AL-Faryabi, sementara anda sendiri mengakui tidak punya buku Al-Faryabi tersebut. Padahal, bisa saja hadits itu diriwayatkan baik dari Ibnu ‘Aisy ataupun dari Abu Ayyasy. Tapi kalau anda mau menganggap Ibnu Hajar yg keliru silahkan saja.

    Saya juga tidak peduli dgn keyakinan anda bahwa Abdurrahman bin Aisy itu bukan sahabat, tapi persoalan sekarang, ketika saya meyakini bahwa Abdurrahman bin Aisy adalah sahabat, maka mengapa anda menghujjahi saya dgn alasan idhthirab pada haditsnya. Ketika saya yakin dia adalah sahabat, maka tak ada idhthirab pada haditsnya dgn keyakinan bahwa Kadang dia mendengar dari Rasulullah saw secara langsung, dan lalu dia mendengar dari sahabat Nabi saw yg lain juga seperti itu, lalu dia mendengar dari Mu’adz melalui informasi yg dibawa oleh Malik bin Yukhamir, semua itu bisa dikompromikan, mengapa susah-susah harus menafikan salah satu?!

    Masalah Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah, tidakkah anda baca dalam Lisan Al-Mizan, siapa yg menginformasikan bahwa Muhammad itu seorang pendusta? Semua bersumber dari Ibnu ‘Uqdah dan Mathin yg jelas permusuhannya terhadap Muhammad bin Utsman, Itu makanya Al-HAfizh Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa Muhammad ini Hafizh sebagaimana dia sebutkan di awal kalimat ketika menyebut biografinya.
    Justru anda harus membaca kalam Ibnu Hajar, dan juga melihat kesimpulan Ibnu ‘Adi:
    وهو على ما وصف عبدان لا بأس به ولعل قول مطين فيه للبلدية لأنهما كوفيان ولم أر له حديثاً منكراً.

    Sehingga semua nukilan ttg kedha’ifan Muhammad bin Utsman ini adalah kalam qarin yg tidak bisa diterima.

  22. Tambahan lagi, Dalam Diwan Adh-Dhu’afa wal matrukin Adz-Dzahabi hanya menukil pernyataan Abdullah bin Ahmad yg menganggapnya dusta dan itu sudah dibahas dalam As-Siyar, lalu kesimpulan Adz-Dzahabi dalam As-Siyarlah yg terpakai, sedangkan Ibnu Al-Jauzi, siapa yg tidak kenal Ibnu Al-Jauzi dalam tasahulnya termasuk menganggap hadits yg shahih adalah palsu sebagaimana yg dia lakukan dalam Al-Maudhu’at.?!

  23. kalo menurut saya ini aneh..

    Dari sisi matannya hadits ini abnormal..
    dari sisi jalur periwayatan ..terindikasi kuat mudhtarib sehingga tdk bisa dijadikan hujjah alias dhaif.

    tapi kenapa ada org yg berusaha melakukan kompromi-kompromi tanpa hujjah hanya berdasarkan asumsi dan pokoknya utk menyatakan hadist ini shohih.

    cara berfikirnya bagaimana yah…org 2 ini, apakah para ulama itu tdk memiliki alur berfikir lagis yah..
    sehingga berhujjah dengan sesuatu yg sedang diperdebatkan.

    seperti org yg sedang berdebat ttg ADA nya Allah dengan mengajukan dalil dari ayat2 Allah (alquran) hihih…aneh..bin ajib

    logika “ngeloop” yg dipake para salafyer…

    mikir mas dipake donk jgn di simpen doank..hehe

  24. @Bob: Saya pikir si pria idaman itu cukup logis mikirnya.
    coba pikir kalau si Ahmad adalah muridnya Muhammad dan Muhammad ini sering ceramah di mana-mana dan mengatakan satu kisah yg sering dia ulang-ulang, lalu satu ketika si Ahmad mendengar kisah tersebut langsung dari Muhammad. Kemudian, pada suatu hari dia juga mendengar bahwa ada Si Budi yg juga mendengar kisah itu dari si Muhammad, Apa berarti Si Ahmad menjadi kcau gara-gara menceritakan itu kepada si Ali, selanjutnya Si Ahmad bertemu dgn si Malik dan dia mengatakan, Wahai Pak Ahmad saya mendengar pak Mu’adz berkata bahwa sang guru Muhammad berkata begini. Apa itu mustahil?

  25. @pria idaman

    Anda mengatakan bahwa pernyataan Ibnu Hajar keliru ketika mengutip dari AL-Faryabi, sementara anda sendiri mengakui tidak punya buku Al-Faryabi tersebut. Padahal, bisa saja hadits itu diriwayatkan baik dari Ibnu ‘Aisy ataupun dari Abu Ayyasy. Tapi kalau anda mau menganggap Ibnu Hajar yg keliru silahkan saja.

    Kelihatan sekali kok, kalau anda ini orang yang maunya membantah saja. Bukankah sudah saya sarankan kepada anda untuk melihat matan hadisnya. Itu adalah sebuah isyarat agar anda mengumpulkan sanad-sanad seputar hadis tersebut. Karena jika anda melakukannya maka anda akan menemukan apa yang saya maksud. btw Ibnu Hajar keliru mah cukup jelas bagi saya. Silakan cari kalau tidak percaya di kitabnya yang lain ia sudah menyebutkan kalau Ibnu ‘Aaisy dalam hadis itu bukan Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami. makanya jangan cuma melototi Al Ishabah doang :mrgreen:

    Saya juga tidak peduli dgn keyakinan anda bahwa Abdurrahman bin Aisy itu bukan sahabat, tapi persoalan sekarang, ketika saya meyakini bahwa Abdurrahman bin Aisy adalah sahabat, maka mengapa anda menghujjahi saya dgn alasan idhthirab pada haditsnya.

    lho kalau saya tidak peduli dan anda tidak peduli jadi ngapain anda datang kemari berdiskusi soal hadis ini. Apa sih yg tidak anda mengerti? keyakinan anda bahwa Ibnu ‘Aaisy sahabat itukan berdasarkan hadis yang mudhtharib?. Jika hadis tersebut terbukti mudhtharib maka tidak bisa digunakan hujjah bahwa ia sahabat. jadi kalau mau berhujjah bahwa Ibnu ‘Aaisy sahabat maka cari hadis selain hadis Walid sebagai hujjah. gitu toh 🙂

    Ketika saya yakin dia adalah sahabat, maka tak ada idhthirab pada haditsnya dgn keyakinan bahwa Kadang dia mendengar dari Rasulullah saw secara langsung, dan lalu dia mendengar dari sahabat Nabi saw yg lain juga seperti itu, lalu dia mendengar dari Mu’adz melalui informasi yg dibawa oleh Malik bin Yukhamir, semua itu bisa dikompromikan, mengapa susah-susah harus menafikan salah satu?!

    lho lho malah muter-muter, bagaimana anda bisa yakin dia sahabat. jelas2 anda gak punya bukti. kalau anda mau berhujjah dengan hadis Walid ya kagak bisa lah, hadis itu justru yg terbukti mudtharib. masih gak ngerti juga, wah wah terserah :mrgreen:

    Masalah Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah, tidakkah anda baca dalam Lisan Al-Mizan, siapa yg menginformasikan bahwa Muhammad itu seorang pendusta? Semua bersumber dari Ibnu ‘Uqdah dan Mathin yg jelas permusuhannya terhadap Muhammad bin Utsman, Itu makanya Al-HAfizh Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa Muhammad ini Hafizh sebagaimana dia sebutkan di awal kalimat ketika menyebut biografinya.Justru anda harus membaca kalam Ibnu Hajar, dan juga melihat kesimpulan Ibnu ‘Adi:
    وهو على ما وصف عبدان لا بأس به ولعل قول مطين فيه للبلدية لأنهما كوفيان ولم أر له حديثاً منكراً.

    Sehingga semua nukilan ttg kedha’ifan Muhammad bin Utsman ini adalah kalam qarin yg tidak bisa diterima.

    anda itu lucu, terus gimana dengan Abdullah bin Ahmad, Ibnu Khirasy dan Ja’far Ath Thayalisi. adanya kesaksian dari mereka justru menunjukkan kalau Muthayyin dan Ibnu Uqdah itu yang benar. heh lagian yang paling lucu adalah perkataan anda soal Ibnu Hajar menyebutnya Al Hafidz, memangnya anda tidak pernah tahu ada Al Hafiz yang dhaif. ni saya kasih contoh Al Hafidz Abu Bakar bin Abi Darim, silakan dicek. Perkataan Al Hafiz tidak membatalkan jarh kok 😛

    Tambahan lagi, Dalam Diwan Adh-Dhu’afa wal matrukin Adz-Dzahabi hanya menukil pernyataan Abdullah bin Ahmad yg menganggapnya dusta dan itu sudah dibahas dalam As-Siyar, lalu kesimpulan Adz-Dzahabi dalam As-Siyarlah yg terpakai,

    kira-kira kitab Adh Dhu’afa itu berisi perawi dhaif atau bukan?. lagian apa maksud anda dibahas dalam As Siyar, cuma disebutkan kali. dan kesimpulan apa yang anda maksud dalam As Siyar, apakah pernyataan bahwa dia seorang Al Imam Al Hafiz?. lagi-lagi anda tidak menanggapi komentar saya sebelumnya

    btw saya mau tanya apa anda tidak pernah mendengar bahwa dalam As Siyar bahkan orang yang disebut Adz Dzahabi sebagai Al Imam atau Al Hafiz atau Al Musnad bisa saja berstatus dhaif bahkan pendusta?. ada kok.

    contohnya udah saya kasih tuh, dalam As Siyar 15/577 Adz Dzahabi menyebutkan Abu Bakar bin Abi Darim dengan sebutan Al Imam Al Hafidz Al Fadhl Al Muhaddis, nah dalam Al Mizan no 552 Adz Dzahabi kembali menyebutnya seorang Muhaddis tetapi dengan tambahan Rafidhi yang pendusta.

    sedangkan Ibnu Al-Jauzi, siapa yg tidak kenal Ibnu Al-Jauzi dalam tasahulnya termasuk menganggap hadits yg shahih adalah palsu sebagaimana yg dia lakukan dalam Al-Maudhu’at.?!

    ho ho ho begitu ya, ya udah kalau maunya begitu.

  26. Anda ini yg muter, saya sudah katakan bahwa jarh yg bersumber terhadap Muhammad bin Utsman itu bersumber dari qarinnya yaitu Ibnu Uqdah dan Muthayyin.
    Sepertinya anda ingin membutakan mata dgn penilaian terakhir Ibnu Adi dan Abu Nu’aim ttg Muhammad bin Abu Syaibah ini.
    Kalau anda ingin menyamakannya dgn Ibnu Abi Darim jelas salah besar, karena Ibnu Abi Ad-Darim itu rafidhah, sehingga dianggap pendusta karena memang rafidhah menghalalkan dusta dalam ajarannya sebagai taqiyyah. Sedangkan Muhammad bin Utsman bukanlah Rafidhah atau menganut keyakinan bid’ah dan dia termasuk ulama jarh wat ta’dil yg sering meriwayatkan dari gurunya Ibnu Al Madini.

  27. @pria idaman

    Anda ini yg muter, saya sudah katakan bahwa jarh yg bersumber terhadap Muhammad bin Utsman itu bersumber dari qarinnya yaitu Ibnu Uqdah dan Muthayyin.
    Sepertinya anda ingin membutakan mata dgn penilaian terakhir Ibnu Adi dan Abu Nu’aim ttg Muhammad bin Abu Syaibah ini.

    buka mata anda, memangnya anda ini siapa yang perkataannya harus saya ikuti mentah-mentah. bukannya sebelumnya saya sudah mengatakan terus gimana dengan Abdullah bin Ahmad, Ibnu Khirasy dan Ja’far Ath Thayalisi. jadi siapa yang buta sebenarnya

    Kalau anda ingin menyamakannya dgn Ibnu Abi Darim jelas salah besar, karena Ibnu Abi Ad-Darim itu rafidhah,

    mau tahu tidak, anda itu persis sekali cara berpikirnya dengan salafy. jangan terlalu sibuk dengan pikiran sendiri. saya berhujjah dengan Ibnu Abi Darim untuk menunjukkan kepada anda bahwa pernyataan Adz Dzahabi dalam As Siyar soal Al Imam Al Hafiz bukanlah pernyataan yang bisa membatalkan jarh terhadap seorang perawi. camkan yang itu, kan hujjah anda disitu dengan enaknya berhujjah pada perkataan Al Imam Al hafiz yang dikatakan Adz Dzahabi 🙂

    sehingga dianggap pendusta karena memang rafidhah menghalalkan dusta dalam ajarannya sebagai taqiyyah.

    terus Abbad bin Yaqub itu siapa, Rafidhah bukan. coba baca apa yang ditulis Ibnu hajar dalam At Taqrib mengenai Abbad, ia menyebutnya seorang Rafidhah yang jujur. heh mana tuh kok rafidhah dikatakan jujur. kalau mau melebar kemana2 saya juga bisa. Anda tahu apa itu nashibi pembenci Imam Ali dan tahukan anda hadis shahih kalau pembenci Ali itu adalah munafik. lantas berapa banyak nashibi yang diambil hadisnya, boleh gak saya bilang itu namanya mengambil hadis dari munafik?. :mrgreen:

    Sedangkan Muhammad bin Utsman bukanlah Rafidhah atau menganut keyakinan bid’ah dan dia termasuk ulama jarh wat ta’dil yg sering meriwayatkan dari gurunya Ibnu Al Madini.

    memangnya saya gak tahu, tapi maaf saja ya kalau memang dia ulama jarh wat ta’dil apa dia sendiri kebal dari jarh?, heh lucu anda ini, Al Jauzjani itu kental sekali nashibinya dan anehnya ia ulama jarh wat ta’dil. mau bilang apa anda? :mrgreen:

  28. Lagi pula untuk menetapkan Abdurrahman bin Aisy sebagai sahabat Nabi tidak perlu hanya berdasarkan riwayat haditsnya dari Nabi saw. BEtapa banyak orang yg jadi sahabat Nabi tapi tidak pernah meriwayatkan hadits dari beliau. Untuk melihat siapa saja yg mengatakan bahwa Abdurrahman bin Aisy itu adalah sahabat Nabi saw cobalah baca Tarikh Ibnu ‘Asakir, jelas di sana Al-Bukhari dimasukkan dalam kategori orang yg menganggap Abdurrahman adalah sahabat Nabi saw.
    Emang ada aturan harus meriwayatkan hadits dari Nabi dulu baru bisa dianggap sahabat?

  29. @pria idaman

    Lagi pula untuk menetapkan Abdurrahman bin Aisy sebagai sahabat Nabi tidak perlu hanya berdasarkan riwayat haditsnya dari Nabi saw. BEtapa banyak orang yg jadi sahabat Nabi tapi tidak pernah meriwayatkan hadits dari beliau

    kalau begitu ditetapkan pakai apa, jangan basa basi dong, mau seenaknya. sekarang saya tanya bagaimana anda menetapkan Abdurrahman bin ‘Aaisy itu sahabat?. jawab dengan fokus 🙂

    Untuk melihat siapa saja yg mengatakan bahwa Abdurrahman bin Aisy itu adalah sahabat Nabi saw cobalah baca Tarikh Ibnu ‘Asakir, jelas di sana Al-Bukhari dimasukkan dalam kategori orang yg menganggap Abdurrahman adalah sahabat Nabi saw.

    anda mau menukil ulama yang menyatakan ia sahabat juga gak ada guna, saya bisa menukil banyak ulama yang menyatakan ia bukan sahabat. lucu anda ini, btw mengenai Bukhari anda silakan buka kitab Al Illal Tirmidzi dimana Timidzi bertanya langsung pada Al Bukhari dan Bukhari mengatakan kalau Ibnu ‘Aaisy tidak bertemu Nabi SAW. main kutip sana kutip sini ya sami mawon :mrgreen:

    Emang ada aturan harus meriwayatkan hadits dari Nabi dulu baru bisa dianggap sahabat?

    lha iya, untuk sahabat2 yang tidak ada sejarah hidupnya, yang tidak dikenal keberadaannya kecuali dari hadis yang ia riwayatkan maka sangat perlu sekali, btw yang gak ada aturan itu yang main yakin seenaknya dengan berlindung di balik perkataan sebagian ulama, padahal tidak ada hujjah kuat yang melandasi perkataan ulama tersebut. :mrgreen:

  30. AlJauzajani kental nashibinya? Kapan dia menghina Ali? Ibnu Hajar mengatakannya demikian hanya karena dia memang banyak mengkritik penduduk Kufah, tapi tak satupun dia pernah menghina Ali dan keluarga Nabi saw sehingga disebut nashibi.

  31. @pria idaman

    Wah…wah…wah jika sy cewek maka mas bkn termasuk pria idaman sy. Sungguh maaf 🙂

  32. @Armand,

    Sebutan itu khusus bagi wanita salafi, seharusnya primadona salafiers.

  33. @pria idaman

    AlJauzajani kental nashibinya? Kapan dia menghina Ali? Ibnu Hajar mengatakannya demikian hanya karena dia memang banyak mengkritik penduduk Kufah, tapi tak satupun dia pernah menghina Ali dan keluarga Nabi saw sehingga disebut nashibi.

    anda itu aneh, sejak kapan pengertian nashibi menjadi “orang yang banyak mengkritik penduduk kufah”. makin lama saya harap anda jangan terlalu banyak bicara kemana-mana 🙂

  34. Mas SP, yg menetapkan bhwa Abdurrahman bin AIsy itu sahabi adalah Ibnu Hajar, Abu Nu’aim dan Al-Baghawi berlandaskan riwayat Al Walid bin Muslim dan lain-lain yg ada tashrih dari Abdurrahman mendengar hadits dari Rasulullah saw dan riwayat itu shahih. Itulah landasan mereka menempatkan Abdurrahman sebagai shahabi. Lalu anda katakan bahwa riwayat itu mudhtharib, tentu saja mereka yg menshahihkan riwayat itu sehingga Abdurrahman dianggap shahabi tidak bisa menerima tuduhan idhthirab, karena Abdurrahman adalah shahabi, sehingga tidak ada pilihan idhthirab, kecuali kalau mau dianggap Abdurrahman itu pendusta, atau yg idhthirab adalah perawi dari Abdurrahman, tapi apa ada perawi Abdurrahman dalam hal ini yg idhthirab?
    Berbeda dgn kasus Simmak bin HArb, karena semua sepakat bahwa Simmak tidak mendengar dari Ibnu Abbas, sehingga riwayatnya tidak bisa dipastikan apakah dari Ikrimah ataukah dari Ibnu Abbas.
    Sedangkan Abdurrahman, menurut yg meyakininya shahabi maka tidak bisa dinafikan pendengarannya dari Rasulullah saw, sehingga hadits yg dia menggunakan lafaz “sami’tu” itulah yg menjadi landasan bahwa dia shahabat.

    Lagi pula apakah semua bentuk idhthirab itu dha’if. Coba anda baca lagi penjelasan Ibnu Hajar dalam An Nukat ‘ala Ibni Shalaah, terutama pada jenis keempat dari jenis-jenis mudhtharib.
    Di sana disebutkan contoh riwayat Abu Hurairah dal mriwayat Az-Zuhri yg kadang meriwayatkannya dari Al-Agharr, kadang dari Sa’id, kadang dari Abu Salamah, semuanya dari Abu Hurairah dan semua riwayat ini terpakai dan tidak ada idhthirab pada diri Az-Zuhri.
    Ini sama persis dgn contoh yg ada pada diri Abdurrahman bin Aisy (kalaupun dia dianggap bukan shahabi). Ketika shahih riwayat “Sami’tu” yg dia katakan dari orang-orang yg tsiqah, maka semakin jelas dia adalah shahabi dan haditsnya tidak pula mudhtahrib
    Jelas bukan dalilnya bahwa dia adalah shahabi. Jadi bukan asal atau basa-basi dan asal comot Mas…:))

  35. Kalau memang demikian, lalu kapan Al Jauzajani menghina Ali, kasi tahu kami dong riwayatnya…

  36. @pria idaman

    Mas SP, yg menetapkan bhwa Abdurrahman bin AIsy itu sahabi adalah Ibnu Hajar, Abu Nu’aim dan Al-Baghawi berlandaskan riwayat Al Walid bin Muslim dan lain-lain yg ada tashrih dari Abdurrahman mendengar hadits dari Rasulullah saw dan riwayat itu shahih. Itulah landasan mereka menempatkan Abdurrahman sebagai shahabi. Lalu anda katakan bahwa riwayat itu mudhtharib, tentu saja mereka yg menshahihkan riwayat itu sehingga Abdurrahman dianggap shahabi tidak bisa menerima tuduhan idhthirab, karena Abdurrahman adalah shahabi, sehingga tidak ada pilihan idhthirab, kecuali kalau mau dianggap Abdurrahman itu pendusta, atau yg idhthirab adalah perawi dari Abdurrahman, tapi apa ada perawi Abdurrahman dalam hal ini yg idhthirab?

    anda itu masi aja ngeyel, coba pikirkan baik-baik mereka yang berhujjah dengan hadis Walid itu beranggapan Ibnu ‘Aaisy sahabat Nabi karena pada hadis Walid Ibnu ‘Aaisy menyatakan “mendengar langsung dari Rasulullah SAW”. Makanya mereka bilang ia sahabat. Nah ternyata hadis itu mudhtharib dan memang terbukti mudhtharib, perkara mereka mau menolak atau tidak ya itu urusan mereka. Kenyataannya hadis itu mudhtharib dimana Ibnu ‘Aaisy terkadang tidak meriwayatkan dari Nabi tetapi dari sahabat dari Nabi dan dari tabiin dari sahabat dari Nabi. jadi mana mungkin hadis mudhtharib dijadikan hujjah, tolong dipahami dulu baik-baik 🙂

    Berbeda dgn kasus Simmak bin HArb, karena semua sepakat bahwa Simmak tidak mendengar dari Ibnu Abbas, sehingga riwayatnya tidak bisa dipastikan apakah dari Ikrimah ataukah dari Ibnu Abbas.

    lagi-lagi anda ini gak menangkap esensinya, cukuplah untuk dikatakan bahwa situasi dengan sanad yang tidak bisa dipastikan kebenarannya maka itu tergolong mudhtharib. ya jelas Simmak tidak mendengar dari Ibnu Abbas karena ia mendengar hadis tersebut dari Ikrimah 🙂

    Sedangkan Abdurrahman, menurut yg meyakininya shahabi maka tidak bisa dinafikan pendengarannya dari Rasulullah saw, sehingga hadits yg dia menggunakan lafaz “sami’tu” itulah yg menjadi landasan bahwa dia shahabat.

    mereka yang meyakini ia sahabat itu dasarnya apa? kalau berhujjah dengan hadis Walid ya mana bisa lah, hadis itu terbukti mudhtharib, apa perlu saya sebutkan contoh kalau lafal sami’tu saja bisa keliru 😛

    Lagi pula apakah semua bentuk idhthirab itu dha’if. Coba anda baca lagi penjelasan Ibnu Hajar dalam An Nukat ‘ala Ibni Shalaah, terutama pada jenis keempat dari jenis-jenis mudhtharib.

    gak perlu basa basi, langsung aja deh memangnya mudhtharibnya Ibnu ‘Aaisy ini tergolong apa?.

    Di sana disebutkan contoh riwayat Abu Hurairah dal mriwayat Az-Zuhri yg kadang meriwayatkannya dari Al-Agharr, kadang dari Sa’id, kadang dari Abu Salamah, semuanya dari Abu Hurairah dan semua riwayat ini terpakai dan tidak ada idhthirab pada diri Az-Zuhri.

    apanya yang sama, contoh yang sama persis itu yang riwayat Simmak dari Ikrimah 🙂

    Ini sama persis dgn contoh yg ada pada diri Abdurrahman bin Aisy (kalaupun dia dianggap bukan shahabi). Ketika shahih riwayat “Sami’tu” yg dia katakan dari orang-orang yg tsiqah, maka semakin jelas dia adalah shahabi dan haditsnya tidak pula mudhtahrib

    lha kalau ia bukan sahabat, lantas kedudukannya apa?. tidak dikenal kredibilitasnya. kalau anda maksain bahwa dia sahabat ,berhujjah dengan hadis Walid ya hadis tersebut terbukti mudhtharib dan mana bisa dipakai hujjah. Sumber mudhtharib tersebut adalah Ibu ‘Aaisy ia tidak tsabit periwayatannya karena mengalami kekacauan.

    Jelas bukan dalilnya bahwa dia adalah shahabi. Jadi bukan asal atau basa-basi dan asal comot Mas…:))

    Dalil dari mana, dalil yang sudah dipatahkan semua kok diulang lagi. Sepertinya anda segitu putus asanya untuk mencari dalil sehingga harus mengulang dalil yang sama berulang-ulang. Kalau mau menunjukkan Ibnu ‘Aaisy sebagai sahabat, silakan cari hadis lain yang shahih menunjukkan sima’nya karena hadis Walid itu terbukti mudhtharib :mrgreen:

    Kalau memang demikian, lalu kapan Al Jauzajani menghina Ali, kasi tahu kami dong riwayatnya…

    wah wah kalau situ memang berkepentingan ya cari sendiri saja 😛

  37. Dipatahkan bagaimana Mas, jelas-jelas saya tidak mengakui riwayat Ibnu Aisy ini mudhtharib dan kasusnya sama dgn yg disebutkan Ibnu Hajar dalam contoh mudhtharib keempat. Dan jelas bedanya dgn Simmak yg disepakati tidak mendengar dari Ibnu Abbas, apa Abdurrahman ini disepakati tidak mendengar dari Rasulullah saw?
    Kalaupun anda mau patahkan bahwa Ibnu Aisy ini shahabi maka bukan dgn menganggap dia mudhtharib riwayat ini, tapi lemahkan dulu riwayat yg ada mengatakan bahwa dia mendengar langsung dari Rasulullah saw yaitu sanad dari Ibnu Al-Lajlaj ke bawah, barulah termentahkan dalil bahwa dia shahabi berlandaskan hadits ini.

    Itu riwayat Al Jauzajani menghina Ali kalau memang anda punya mengapa terlalu pelit untuk berbagi ilmu ke kita?

  38. @pria idaman

    Dipatahkan bagaimana Mas, jelas-jelas saya tidak mengakui riwayat Ibnu Aisy ini mudhtharib dan kasusnya sama dgn yg disebutkan Ibnu Hajar dalam contoh mudhtharib keempat.

    berulang kali saya katakan, apa peduli saya dengan keyakinan anda. Tinggal bawakan hujjahnya saja, kok susah amat 🙂

    Kalaupun anda mau patahkan bahwa Ibnu Aisy ini shahabi maka bukan dgn menganggap dia mudhtharib riwayat ini, tapi lemahkan dulu riwayat yg ada mengatakan bahwa dia mendengar langsung dari Rasulullah saw yaitu sanad dari Ibnu Al-Lajlaj ke bawah, barulah termentahkan dalil bahwa dia shahabi berlandaskan hadits ini.

    cara pikir anda yang aneh jangan dipaksakan ke orang lain. sumber mudhtharib hadis tersebut ya Ibnu ‘Aaisy kalau memang mau berhujjah ia sahabat cari hadis yang bersih dong dan gak mudhtharib 🙂

    Itu riwayat Al Jauzajani menghina Ali kalau memang anda punya mengapa terlalu pelit untuk berbagi ilmu ke kita?

    heh memangnya situ siapa sok memaksa orang, kalau memang situ yang berkepentingan ya cari sendiri.

  39. Jangan terlalu emosi gitu dong Mas, saya kan tidak memaksa, saya cuma nanya, mana riwayat Al-Jauzajani yg menghina Ali sehingga dia layak disebut Nashibi. Kalau situ ngak mau jawab ya ngak apa-apa, siapa yg maksa…:D

  40. Ada bantahan tuh dari Abu Al Jauza ttg Muhammad bin Ustman bin Abu syaibah:

    Adapun Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, maka ia seorang imam dan haafidh. Adz-Dzahabiy berkata : “Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, Al-Imaam Al-Haafidh, Al-Musnad” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/21]. Ada penjelasan menarik dari Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy mengenai jarh yang diberikan oleh sebagian ulama semasanya dalam kitab At-Tankiil. Mengenai jarh dari Muthayyin (Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy), maka ia tidak diterima karena statusnya aqraan. Telah masyhur perselisihan di antara keduanya. Sedangkan jarh Ad-Daaruquthniy yang mengatakan ia mengambil kitab Numair dan meriwayatkan hadits dengannya; maka ini bukan kalimat/pernyataan jarh yang diakui. Hal yang sama dari perkataan Al-Barqaaniy.
    Bersamaan dengan itu telah tsabit ta’dil dari Abu ‘Aliy Shaalih bin Muhammad dengan lafadh jazm : tsiqah. Begitu juga ‘Abdaan. Ibnu ‘Adiy menggunakan lafadh ta’dil pertengahan : laa ba’sa bihi. Al-Khathiib berkata : “Ia mempunyai banyak hadits, luas pengetahuan riwayatnya, serta pengetahuan dan pemahaman yang dalam” [Taariikh Baghdaad, 2/42]. Ibnul-Munadiy berkata : “Kami mendengar para syaikh dan senior muhadiits mengatakan : telah mati hadits orang-orang Kufaah dengan wafatnya Musa bin Ishaq, Muhammad bin ‘Utsmaan, Abu Ja’far Al-Hadlramiy, dan ‘Ubaid bin Ghanaam”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (9/155), dan berkata “Para shahabat kami menulis (hadits) darinya….”. Maslamah bin Al-Qaasim mengatakan : “Laa ba’sa bihi, orang-orang menulis riwayat darinya, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang meninggalkannya” [Lisaanul-Miizaan, 5/281].

    Selain Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy, ada beberapa ulama yang memberikan jarh yang keras terhadap Muhammad bin ‘Utsmaan dengan dusta (atau yang selevel dengannya), seperti : ‘Abdullah bin Usamah Al-Kalbiy, Ibraahim bin Ishaaq, Ash-Shawaaf, Dawud bin Yahyaa, ‘Abdurrahman bin Yusuf bin Khiraasy, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ahmad Al-‘Adawiy, dan Muhammad bin ‘Ubaid bin Hammaad. Semuanya jarh ini berporos dari nukilan Ibnu ‘Uqdah [Taariikh Baghdaad]. Dari sinilah kemudian jarh-jarh tersebut ternukil (dan diikuti) oleh para ulama muta’khkhirin, seperti Adz-Dzahabiy, Ibnul-Jauziy, de el el.

    Al-Khathiib Al-Baghdaadiy – sebagai salah seorang ulama yang paling ‘alim mengenai seluk-beluk ahlul-Baghdad – membawakan riwayat dengan sanadnya dari ‘Aliy bin Muhammad bin Nashr, ia berkata : Aku mendengar Hamzah As-Sahmiy berkata : Aku bertanya kepada Abu Bakr bin ‘Abdaan mengenai Ibnu ‘Uqdah jika ia menghikayatkan satu hikayat dari seseorang dari kalangan syaikh dengan satu jarh, apakah perkataannya itu diterima atau tidak diterima ? Ia menjawab : ‘Tidak diterima”.

    Apalagi diketahui antara Ibnu ‘Uqdah dan Ibnu Abi Syaibah ini punya perbedaan madzhab.

    Akhirnya di sini kita ketahui bahwa ta’dil pada Muhammad bin ‘Utsmaan harus lebih didahulukan daripada yang menjarhnya (dari nukilan mutaqaddimiin).

    Mengenai pendla’ifan Adz-Dzahabiy kepada Muhammad bin ‘Utsmaan, karena ia mendapat nukilan bahwa ada ulama mutaqaddimin yang memberikan jarh kepadanya. Dan sudah kita lihat tidak benarnya jarh yang dimaksud. Oleh karena itu, yang tersisa dari perkataan Adz-Dzahabiy adalah pujian mengenai keimaman dan kehafidhan Muhammad bin ‘Utsman – sebagaimana dalam kitab As-Siyar.

    Hal yang sama dengan Ibnul-Jauziy yang memasukkan Muhammad bin ‘Utsman pada Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin no. 3119. Ia berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya, Yahya bin Ma’iin, dan yang lainnya. ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya telah mendustakannya”. Telah jelas, bahwa jarh-jarh tersebut tidak benar.

    Itu saja yang dapat saya komentari. Maap, gak bisa maksimal karena sesuatu dan lain hal.

    Mengenai perkataan antum :

    “Dan juga SP menganggap Abdurrahman bin Aisy tidak dikenal kredibilitasnya karena tidak ada yg menganggapnya tsiqah selain Ibnu Hibban”.

    SP memang tidak mempunyai metode yang jelas dalam penyikapan tautsiq Ibnu Hibbaan. Kadang ia membelanya (seperti saat ia menjelaskan manhaj Syaikh Ahmad Syaakir), kadang pula ia tidak menganggapnya/tidak mempertimbangkannya seperti dalam bahasan hadits ru’yah. Selebihnya cuma berapologi saja dengan alasan-alasan yang tidak jelas.

    Kalau “intinya” adalah mudltharib, ya ini seperti “pokoknya” mudltharib. Bercabangnya satu sanad dengan satu poros rawi itu tidak selalu dianggap mudltharib, kecuali jika diketahui bahwa asal sanad dan hadits itu satu. Lha wong di sini asal sanadnya menunjukkan ganda, dan haditsnya sendiri memungkinkan diriwayatkan oleh banyak perawi…. Lah, bagaimana bisa memaksakan diri mudltharib ? aneh !!

  41. Oh ya diingat ya, Abu gosok, Anti Rafidhah dan pria idaman itu saya orangnya sama. cuma mau meramaikan saja…bolehkan…:D

  42. he he he masih tetap salafi dong walau punya 3 nama.

  43. Bagaimana kalau letiga nama tersebut menjadi satu kalimat: Anti rafidhah, pemuda idaman abu gosok

  44. @Abu gosok

    mengenai Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah silakan saja kalau kalian mau menguatkan ta’dilnya. Pada prinsipnya jarh mufassar itu lebih didahulukan daripada ta’dil. Apalagi jarh yang dikutip Ibnu Uqdah adalah apa yang ia dengar dari orang-orang tersebut dan terkadang dengan perincian yang jelas seperti “mencuri hadis” dan “memalsu hadis”[saya akan meneliti lebi dalam soal ini]. Lagipula jikapun ia dianggap ta’dil tetap riwayat yang dimaksud tidak bisa dijadikan hujjah kecuali oleh orang yang tidak meneliti riwayat itu dengan baik. Saya lebih tertarik mengomentari yang ini

    SP memang tidak mempunyai metode yang jelas dalam penyikapan tautsiq Ibnu Hibbaan. Kadang ia membelanya (seperti saat ia menjelaskan manhaj Syaikh Ahmad Syaakir), kadang pula ia tidak menganggapnya/tidak mempertimbangkannya seperti dalam bahasan hadits ru’yah. Selebihnya cuma berapologi saja dengan alasan-alasan yang tidak jelas.

    Ini pernyataan aneh yang timbul dari orang yang tidak bisa memahami tulisan orang lain. sudah saya jelaskan sebelumnya masih diulang-ulang, tautsiq Ibnu Hibban kepada Ibnu ‘Aaisy adalah pernyataanya bahwa ia sahabat. Jelas sekali saya menolaknya karena bukti persahabatnnya tidak kuat ya hadisnya mudhtharib. Kalau gak paham-paham ya silakan

    Kalau “intinya” adalah mudltharib, ya ini seperti “pokoknya” mudltharib. Bercabangnya satu sanad dengan satu poros rawi itu tidak selalu dianggap mudltharib, kecuali jika diketahui bahwa asal sanad dan hadits itu satu. Lha wong di sini asal sanadnya menunjukkan ganda, dan haditsnya sendiri memungkinkan diriwayatkan oleh banyak perawi…. Lah, bagaimana bisa memaksakan diri mudltharib ? aneh !!

    Kalau kalian mau menolak hadis itu mudhtharib ya silakan saja. Kelihatan kok orang yang mau menilai dengan jujur dan orang yang berdalih. Jelas sekali hadis seperti itu mudhtharib dan ini tidak hanya diakui oleh saya saja bahkan para hafiz yang memang mengumpulkan riwayat tersebut juga mengatakan hal yang sama. saudara Abul Jauzaa mau menganalogikan riwayat tersebut dengan riwayat Zuhri sebelumnya, itu pun juga sudah saya tanggapi, dan kalau memang merasa benar ya ditanggapi balik pembahasan soal itu jangan cuma berkata apologia apologia. Yah btw silakan saja kalau mau berdalih

Tinggalkan komentar