Hadis Nabi Memerangi Orang Yang Memerangi Ahlul Bait

Hadis Nabi Memerangi Orang Yang Memerangi Ahlul Bait

Kebenaran selalu bersama Ahlul Bait yaitu Imam Ali AS, Sayyidah Fatimah AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Rasulullah SAW telah berwasiat kepada umatnya agar berpegang teguh kepada Ahlul Bait supaya terhindar dari kesesatan. Tetapi kenyataannya sebagian orang menyelisihi Ahlul Bait, menyimpang dari mereka bahkan sampai memerangi mereka. Padahal Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa Beliau akan memerangi siapapun yang memerangi Ahlul Bait dan berdamai dengan siapapun yang berdamai dengan Ahlul Bait.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah 1/52 no 145

حدثنا الحسن بن علي الخلال وعلي بن المنذر قالا حدثنا أبو غسان حدثنا أسباط بن نصر عن السدي عن صبيح مولى أم سلمة عن زيد بن أرقم قال- قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعلي وفاطمة والحسن والحسين أنا سلم لمن سالمتم وحرب لمن حاربتم

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al Khallal dan Ali bin Mundzir yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan yang berkata telah menceritakan kepada kami Asbath bin Nashr dari As Suddi dari Shubaih mawla Ummu Salamah dari Zaid bin Arqam yang berkata Rasulullah SAW berkata kepada Ali, Fathimah, Hasan dan Husain “Aku akan berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian dan Aku akan memerangi orang yang memerangi kalian”.

Hadis di atas juga diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 6/378 no 32181, Shahih Ibnu Hibban 15/433 no 6977, Sunan Tirmidzi 5/699 no 3870, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 3/40 no 2619, Mu’jam Al Kabir 5/184 no 5030, Mu’jam As Shaghir 2/53 no 767, dan Mu’jam Al Awsath 5/182 no 5015.

.

.

Kedudukan Hadis

Hadis Hasan. Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq hasanul hadis sedangkan Shubaih adalah seorang tabiin mawla Ummu Salamah dan mawla Zaid bin Arqam.

  • Hasan bin Ali Al Khallal, Perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dalam At Tahdzib juz 2 no 530 disebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Yaqub bin Syaibah, An Nasa’i, Al Khatib dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/207 menyatakan ia tsiqat.
  • Ali bin Mundzir, Perawi Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 7 no 627 bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, An Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/703 memberikan predikat shaduq padahal ia sebenarnya orang yang tsiqah. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4803 menyatakan Ali bin Mundzir tsiqat.
  • Malik bin Ismail, dengan kuniyah Abu Ghassan adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Dalam At Tahdzib juz 10 no 2 ia dinyatakan tsiqat oleh Yaqub bin Syaibah, Ibnu Hibban, Ibnu Ma’in, Al Ajli, An Nasa’i dan Ibnu Syahin. Ibnu Sa’ad dan Utsman bin Abi Syaibah menyatakan ia shaduq. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/151 menyatakan Abu Ghassan tsiqah.
  • Asbath bin Nashr adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Dalam Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Dawri no 1251 Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqah. Dalam At Tahdzib juz 1 no 396 disebutkan kalau ia dimasukkan Ibnu Hibban ke dalam Ats Tsiqat, Bukhari menyatakan ia shaduq (jujur) dan Musa bin Harun berkata “tidak ada masalah dengannya” . Ibnu Syahin juga memasukkan namanya dalam Tarikh Asma Ats Tsiqat no 101. Sebagian orang mencacatnya diantaranya An Nasa’i yang berkata “laisa bi qawy (tidak kuat), Abu Nu’aim dan As Saji tetapi mereka tidak menyebutkan alasan pencacatannya sehingga pernyataan ta’dil terhadap Asbath bin Nashr lebih layak untuk diterima. Adz Dzahabi memasukkan namanya dalam Man Takallamu Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 27.
  • Ismail As Suddi adalah Ismail bin Abdurrahman bin Abi Karimah adalah perawi Muslim dan Ashabus Sunan. Dalam At Tahdzib juz 1 no 572 ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, Al Ajli dan Ibnu Hibban. An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. Ibnu Ady menyatakan ia hadisnya lurus jujur dan tidak ada masalah dengannya. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/97 menyatakan ia jujur terkadang salah tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 463 bahwa sebenarnya As Suddi seorang yang shaduq hasanul hadis.
  • Shubaih mawla Ummu Salamah dan mawla Zaid bin Arqam. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat juz 4 no 3462. Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 3/405 no 4037 menyebutkan bahwa ia gurunya As Suddi dan ia seorang tabiin. Al Bukhari menyebutkannya dalam Tarikh Al Kabir juz 4 no 2972 tanpa menyebutkan jarh atau cacat padanya. Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 4/449 juga menuliskan keterangan tentangnya tanpa sedikitpun menyatakan cacatnya. At Tirmidzi dalam Sunannya mengatakan kalau Shubaih tidak dikenal, pernyataan ini tidak perlu diperhatikan karena telah disebutkan banyak ulama yang menulis keterangan tentangnya bahkan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 2371 juga memberikan predikat ta’dil padanya. Shubaih seorang tabiin dan tidak ada satupun ulama yang mencacatkan dirinya dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan mendapat predikat ta’dil dari Adz Dzahabi. Oleh karena itu hadisnya lebih tepat dinilai hasan.

Keterangan mengenai para perawinya menunjukkan kalau hadis ini adalah hadis yang hasan. Syaikh Al Albani dalam Shahih Jami’ As Shaghir no 1462 menyatakan bahwa hadis ini hasan tetapi anehnya beliau malah mendhaifkan hadis tersebut dalam Dhaif Sunan Ibnu Majah dan Dhaif Sunan Tirmidzi. Dalam Silsilah Ahadist Ad Dhaifah no 6028 ternyata Syaikh Al Albani menyatakan bahwa ia rujuk dari pandangannya dalam Shahih Al Jami’. Menurut beliau hadis tersebut dhaif dan mesti dipindahkan ke Dhaif Jami’ As Shaghir. Mari kita ikuti telaah Syaikh Al Albani

.

.

Tinjauan Pencacatan Syaikh Al Albani

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah no 6028 ketika membahas hadis ini telah membawakan 3 jalan hadis yaitu

  • Hadis Shubaih mawla Ummu salamah
  • Hadis Abu Hurairah
  • Hadis Zaid bin Arqam dari Muslim bin Shubaih

Hadis Shubaih di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani karena Shubaih mawla Ummu Salamah. Syaikh mengatakan kalau Shubaih tidak dikenal nasabnya kemudian Syaikh mengutip Ibnu Ady (dalam Al Kamil 4/86) yang menuliskan keterangan tentang “Shubaih yang tidak dikenal nasabnya”. Dalam kitab tersebut disebutkan kalau Shubaih seorang pendusta.

Tanggapan kami : Hujjah syaikh Al Albani sungguh tidak bernilai dan terkesan dicari-cari. Shubaih yang dimaksud Ibnu Ady dalam Al Kamil 4/86 bukanlah Shubaih mawla Ummu Salamah tetapi Shubaih yang tidak dikenal nasab maupun hadis-hadisnya. Bukti kalau Shubaih mawla Ummu Salamah bukanlah Shubaih yang dimaksud Ibnu Ady adalah

  • Shubaih mawla Ummu Salamah meriwayatkan hadis dari Zaid bin Arqam (berdasarkan keterangan dari kitab-kitab biografi perawi) sedangkan Shubaih yang dimaksud Ibnu Ady meriwayatkan hadis dari Utsman dan Aisyah.
  • Shubaih mawla Ummu Salamah dikenal hadisnya yaitu hadis keutamaan Ahlul Bait di atas sedangkan Shubaih yang dimaksud Ibnu Ady dikatakan oleh Ibnu Ady sendiri bahwa ia tidak dikenal hadis-hadisnya.

Ibnu Ady dalam Al Kamil hanya mengutip Yahya dan Abu Khaitsamah yang menyatakan bahwa ada seseorang bernama Shubaih yang tidak dikenal nasabnya meriwayatkan hadis dari Utsman dan Aisyah dan dia seorang pendusta. Syaikh Al Albani dengan seenaknya menduga bahwa Shubaih mawla Ummu Salamah adalah Shubaih yang dimaksud. Bagaimana bisa Yahya dan Abu Khaitsamah menyatakan Shubaih yang tidak dikenal nasabnya itu sebagai seorang pendusta?. Jawabannya tidak lain dari hadis-hadis yang diriwayatkan Shubaih yang sampai kepada mereka yaitu hadis Shubaih dari Utsman dan Aisyah. Tetapi sayang sekali hadis-hadis Shubaih ini tidaklah tercatat dalam kitab-kitab hadis sehingga Ibnu Ady berkata “tidak dikenal hadis-hadisnya”. Oleh karena itu tidak bernilai sedikitpun menjadikan riwayat Ibnu Ady tersebut sebagai hujjah untuk melemahkan Shubaih mawla Ummu Salamah.Tidak ada bukti sedikitpun kalau “Shubaih yang tidak dikenal nasabnya” adalah Shubaih mawla Ummu Salamah

Kalau memang mau menuruti logika Syaikh Al Albani maka kita dapat menemukan Shubaih lain yang juga satu thabaqah dan lebih cocok untuk dinisbatkan dengan “Shubaih yang tidak dikenal nasabnya”. Dalam kitab Tabshir Al Muntabah 3/882 Ibnu Hajar menyebutkan nama-nama Shubaih dan diantaranya ada Shubaih mawla Ummu Salamah kemudian Ibnu Hajar juga menyebutkan Shubaih lain

صبيح، عن عثمان، وعنه أبو عون الثقفي

Shubaih yang meriwayatkan dari Utsman dan meriwayatkan darinya Abu ‘Aun Ats Tsaqafi

Dalam Tahdzib Al Kamal no 5433 biografi Muhammad bin Ubaidillah bin Sa’id Abu ‘Aun Ats Tsaqafi, Al Mizzi menyebutkan bahwa Abu ‘Aun meriwayatkan dari Shubaih sahabat Utsman. Shubaih ini lebih cocok dinisbatkan dengan “Shubaih yang tidak dikenal nasabnya” dalam Al Kamil Ibnu Ady karena mereka sama-sama meriwayatkan hadis dari Utsman. Kesimpulannya Shubaih yang dikatakan pendusta dalam Al Kamil Ibnu Ady bukanlah Shubaih mawla Ummu Salamah.

Kedua hadis lainnya yaitu hadis Abu Hurairah dan hadis Zaid bin Arqam dari Muslim bin Shubaih juga dinyatakan dhaif oleh Syaikh Al Albani. Hadis Abu Hurairah dinyatakan dhaif karena dalam sanadnya terdapat Talid bin Sulaiman yang dikenal dhaif sedangkan dalam hadis Muslim bin Shubaih di dalamnya terdapat Husain bin Hasan Al Urani yang tidak dikenal oleh Syaikh sehingga ia menduga bahwa orang tersebut adalah Husain bin Hasan Al Asyqar.

Tanggapan kami : Pernyataan dhaif terhadap Talid bin Sulaiman patut diberikan catatan karena ia adalah Syaikh atau gurunya Ahmad bin Hanbal dimana Ahmad bin Hanbal hanya meriwayatkan dari orang yang dikenal tsiqah menurutnya. Dalam Tahdzib juz 1 no 948 disebutkan kalau Ahmad bin Hanbal, Al Ajli dan Muhammad bin Abdullah bin Ammar menyatakan tidak ada masalah dengannya. Memang banyak ulama yang mengecam Talid menuduhnya pendusta dikarenakan ia mencaci sahabat Nabi yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman. Lucunya kalau ada perawi lain yang mencaci Ali bin Abi Thalib (seperti Hariz bin Utsman Al Himsh), hal itu malah tidak merusak kredibilitas perawi tersebut dan ia tetap dinyatakan tsiqah. Sungguh suatu inkonsistensi yang layak dibuat bahasan tersendiri, tapi itu cerita lain untuk saat ini. Kemudian Hadis Zaid bin Arqam dari Muslim bin Shubaih memang sanadnya dhaif tetapi perawi yang dimaksud bukanlah Husain bin Hasan Al Urani seperti yang dikatakan Syaikh Al Albani tetapi dia adalah Hasan bin Husain Al Urani seperti yang diriwayatkan dalam Amali Al Muhamili 2/36 no 515. Biografinya disebutkan dalam Al Mizan dan jelas sekali ia bukan Husain bin Hasan Al Asyqar.

.

.

Kesimpulan

Pada dasarnya kami tidak menjadikan Hadis Abu Hurairah dan Hadis Zaid bin Arqam dari Muslim bin Shubaih sebagai hujjah. Kami berhujjah dengan hadis Shubaih mawla Ummu Salamah di atas yang merupakan hadis hasan sedangkan pencacatan Syaikh terhadap Shubaih tidak bernilai dan hanyalah pencacatan yang dicari-cari untuk melemahkan hadis tersebut.

Salam Damai

28 Tanggapan

  1. inni silmun liman salamakum, wa harbun liman harabakum…

  2. Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yg berdamai dengan ahlulbait Nabi-Mu serta jauhkanlah aku dari memerangi mereka. Amin.

  3. Kajian hadist yang “menantang” bagi mereka yang MANHAJnya menyelisihi Ahlul Bayt seharusnya gerombolan atau komplotan Salafiers menghadirkan pula orang yang mengerti KWALITAS hadist untuk menandingi kajian Mas SP ini (juga kajian-kajian yang laen) agar pengunjung yg laen bisa ikut menyimak dan menimbang sehingga dapat kita ambil kesimpulan secara obyektif kajian hadist tsb.
    Tapi selama ini kawanan Wahabiers tidak ada yang mengkaji sebuah hadis sebagaimana Mas SP.
    Ini membuktikan kalo mereka cuma sebagai fans, pengekor, kambrat, cucunguk, gedibal, anak asuhnya Ki Buyut Bin BaZ atau Ki Ageng Al Albanie
    Apapun yang di katakan mereka berdua di jadikan Jimat sami’na wa atho’na nuwun inggih sendhiko dhawuh
    he..he..he..

  4. Siapa saja yang mencoba memutarbalikkan hadits tsb. Maka mereka menjilat ludah mereka sendiri. Wasalam

  5. Sejarah telah mencatat oknum2 yg berperang dgn ahlulbait antara lain:

    1. Perang Jamal, Imam Ali vs ‘Aisyah-Thalhah-Zubair
    2. Perang Shiifin, Imam Ali vs Muawiyyah-Amr bin ‘Ash
    3. Imam Hasan vs Muawiiyah
    4. Imam Husein vs Yazid bin Muawiyyah

    Sy tdk tau bagaimana dgn ‘Aisyah. Tapi Muawiyyah dan Yazid? Hmmm…

  6. @armand

    ingin tahu mengenai aisyah ra?

    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالا ( رواه البخاري ومسلم)

    Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus Abu Bakar memimpin pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasululah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)

    Apakah Rasul SAW ingin memeranginya?hmmmm…

  7. apakah Rasul berkontradiktif dg hadits yg dibawakan @SP dengan hadits yg saya bawa?

    Yg hadits satu ingin memerangi, tetapi yg lain ingin mencintai….BINGUNG kan?

  8. @kembali ke aqidah yang benar
    situ kali yang bingung, jelas dalam insiden perang Jamal Aisyah RA keliru. Padahal ketika di perjalanan(sampai di Hauab) Beliau berencana pulang karena teringat sabda Rasulullah SAW, tapi yah bujukan orang-orang malah mengurungkan niatnya.

  9. @ Kembali ke aqidah…

    permasalahan ttg siapa yg paling dicintai oleh Nabi, telah banyak dibahas oleh mas SP di blog ini….

  10. @sp

    kalau memang Aisyah ra memerangi Ali ra dalam perang jamal, kenapa Rasul saw malah mencintainya…dan meninggal di atas pangkuannya.

    hehehe….

  11. @kembali ke aqidah yang benar
    situ logikanya gak kebalik ya, Aisyah memerangi Imam Ali di perang Jamal itu mah fakta sejarah. Itu kan terjadi selepas Rasulullah SAW meninggal 🙂

  12. Aisyah RA istri kesayangan beliau, masak mau di benci, ya jelas dicintainya dunk?? Dan mertuanya juga tentunya,
    perkara siapa yg dicintai Rosul tentu banyak dan beda itung-itungannya dengan amal perbuatan mereka masing-masing.
    Apa semua orang baek harus masuk daftar yang dicintai beliau??
    Dan beda pula dengan keistimewaan dan keunggulan sahabat yg di akui oleh Rosul.

  13. Ki Buyut Bin BaZ tidak di cintai dan di sayangi oleh Rosulullah tapi ia di puja-puja, di puji-puji perkataannya di jadikan jimat oleh gerombolan Salafiers wa Wahabiers
    ironis dan kontradiktif
    he..he..he..

    @ kembali ke aqidah terroris dan akal(celana) cingkrang
    he..he..he..

  14. @kembali ke…..
    Mana lebih anda percaya KRBEBARANNYA, Firman Allah atau kicauan Aisyah. Saya anjurkan anda baca surah at-Tharim ayat 1 – 4. Agar anda tahu siapa itu Aisyah binti Abubakar.

  15. Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) dalam sya’irnya:

    Kecintaan Yahudi kepada keluarga Musa nyata
    Dan bantuan mereka kepada keturunan saudaranya jelas
    Pemimpin mereka dari keturunan Harun lebih utama
    Kepadanya mereka mengikut dan bagi setiap kaum ada penuntun.

    Begitu juga Nasrani sangat memuliakan dengan penuh cinta
    Kepada Al-Masih dengan menuju perbuatan kebajikan.

    Namun jika seorang muslim membantu keluaga Ahmad (Muhammad)
    Maka mereka bunuh dan mereka sebut kafir
    Inilah penyakit yang sulit disembuhkan, yang telah menyesatkan akal
    Orang-oramg kota dan orang-orang desa, mereka tidak menjaga
    Hak Muhammad dalam urusan keluarganya dan Allah Maha Menyaksikan.

    Semoga bermanfaat.

    Wassalam

  16. Apakah Rasul saw tidak tahu, ketika pada saat ajal menjemput , beliau dipangku oleh orang yg akan memerangi ahlul baitnya?

    Fikirkan wahai para pencela istri Nabi!

  17. @Kermbali ke….
    Siapa yang mengatakan Rasulullah meninggal dipangkuan Aisyah? Itukan hanya kata Aisyah yang membenci Imam Ali.
    Ibnu Abbas ditanya seseorang.: “Dipangkuan siapa Nabi menghembuskan napas terakhir?” Ibn Abbas menjawab: “Saat meninggal dipangkuan Ali” Orang itu menambahkan: ” Aisyah mengaku bahwa ketika menghembuskan napas terakhir, kepala Nabi bersandar kedadanya.” Ibn Abbas menolak pengakuannya itu seraya berkata: “Nabi menghembuskan napas terakhir dipangkuan Ali, dan Ali serta saudara saya Fadhl yang memandikannya.”
    (Thabagat al-Kubra jil.II hal.263: Sirah Ibn Hisyam II hal. 654; Tarikh al-Kamal II )
    Jadi mungkin saja Aisyah memerangi Ahlulbait Nabi

  18. @ Kembali ke ….

    apakah Rasul SAWW meninggal di pangkuan aisyah??

    😀

  19. @abu rahat

    Tuuuuh kan, nabi kita saja sudah berbeda. Kalau nabi saya Muhammad saw meninggal di pangkuan Aisyah ra.
    Kalau anda……?
    Gimana aqidah mau sama?

  20. @Kembali

    Rasullah saw bersabda :
    ” Aku kota ilmu, Ali pintu gerbangnya”.
    ” Kebenaran bersama Ali, Ali bersama kebenaran”
    “Al Qur’an bersama Ali, Ali bersama Al Qur’an”
    Jadi mustahil kalo Imam Ali berbohong atas nama Rasulullah saw pada waktu wafat dalam pangkuannya. Kalo Aisyah, tidak ada satu pun hadits dari Rasulullah saw yg disandarkan kepada Aisyah.

    Wassalam…

  21. @ all
    kalo mau jujur secara obyektif tanpa tendensi, dalam hal wasiyat nabi sehubungan dengan PERMINTAAN NABI yang ingin menuliskan wasiyat namun di halangi oleh Umar maka ke DUA BELAH PIHAK SALAH SEMUA !!!, baik para sahabat (di wakili Umar) maupun pihak Ahlul Bayt (di wakili semua Ahlul Bayt) simak baik-baik :

    Umar sudah jelas kesalannya dalam menghalangi kehendak Nabi menulis wasiyat dan Ahlul Baytpun juga bisa di salahkan karena tidak mampu dan berusaha mencari waktu dan kesempatan baik secara lesan ato tertulis mengenai apa yang hendak di tuliskan oleh Nabi mengingat posisi Ahlul Bayt yang paling dekat dan selalu/paling berhak menjaga beliau.

    Kesimpulan: Fenomena ini membuktikan bahwa ke khalifahan sepeninggal beliau sudah tidak berarti AMIR MUKMININ melainkan hanya alat kekuasaan biasa, sehingga siapapun pemegang khalifah PERTAMA tidak berarti ia yang paling UTAMA/TINGGI ketaqwaannya dan berdasar hujjah-hujjah yang kuat maka Imam Ali AS yang TETAP BERKEDUKUKAN sebagai AMIRUL MUKMININ yang dilanjutkan oleh para Itrah Ahlul Bayt di sepanjang Zaman kemudian.
    Kalau memang kekhalifahan (penguasa) itu MUTLAK menjadi Syarat Dienul Islam PASTI tidak ada khalifah yang memerangi Ahlul Bayt.
    Semoga Menjadi Solusi.
    Salam Damai.

  22. @ Kembali ke aqidah yang benar

    – riwayat Nabi meninggal dipangkuan Aisyah hanya di riwayatkan oleh Aisyah seorang.

    – sedang riwayat Nabi meninggal bersandar di dada Ali diriwayatkan oleh banyak sahabat..

    😀

  23. “Apa yang diwasiatkan Rasulullah kepada Ali ?” Aisyah menjawab, “Beliau (Rasulullah) menyuruh agar bejana tempat buang air kecil dibawakan, kemudian ia bersandar dan akulah yang menjadi tempat sandarannya, tak lama kepala beliau terkulai jatuh dan ternyata beliau telah wafat tanpa aku ketahui. Jadi bagaimana mungkin orang-orang itu mengatakan bahwa Rasulullah saw memberikan wasiat kepada Ali ?” [Shahih al-Bukhari, kitab al-Wasaya 5/356 dari Fathul Baari, dan Muslim, kitab al-Wasiyah hadits no.1637].
    Hadits tersebut ada didalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah yang ditulis oleh Ibnu Katsir, terbitan Darul Haq, Jakarta, Cetakan pertama tahun 2004 halaman 58.

    Ya jelas hadits ini yg saya pegang, sekaligus Nabi SAW tidak memberikan wasiat apapun kepada Ali ra.

    Kalau dibandingkan riwayat yg dibawa oleh abu rahat,
    Gak level kali……

  24. @kembali

    Dari hadits yg anda bawakan sangat jelas bahwa Aisyah berbohong atas nama Rasullah saw, karena tidak ada satupun hadits dari Rasulullah saw yg diriwayatkan mengenai keutamaan Aisyah.

    Wassalam…

  25. @kembabli ke………………..,

    Tuuuuh kan, nabi kita saja sudah berbeda. Kalau nabi saya Muhammad saw meninggal di pangkuan Aisyah ra.
    Kalau anda……?
    Gimana aqidah mau sama?

    setuju, betul………5x nabi kamu beda aku tambahin perbedaanya ya……,
    1. Dalam Kitab Shahih Bukhori Hal 125, Hadist 210 NABI KAMU LUPA SHOLAT SUBUH

    2. Dalam Kitab Shahih Muslim Bab Shalat Hal 282-283 No. Hadist 527-529 : NABI KAMU LUPA RAKAAT DALAM SHALAT dan masih banyak lagi.

    cocokan dg :
    1. Qs 9:105 :::::> Nabi menjadi saksi amal perbuatan kita.
    2. Qs 16:89:::::::> Nabi menjadi saksi dari para saksi

    jadi emang bedakan nabi kamu, he……….3x

    Wassallkm.

  26. Jangan debat kusir ah! Masalah wanita yg paling dicintai Nabi yg benar adalah Khadijjah…tak ada yg lain (Aisyah sendiri mengakuinya)..mau ngomong apa lagi….klo yg laki2 terserahlah..tapi yg jelas nabi sangat mencintai cucunya hasan dan husain…ada yg berani bantah…..? Klo ada yg berani bilang Nabi lebih mencintai aisyah daripada Khadjjah….terserahlah…..Mungkin memang benda kali Nabinya….
    Kawan salafi….Aisyah waktu kejadian itu masih amat muda belia…bahkan ketika Nabi meninggal dia baru 20 tahunan…pencemburu dsb.. jadi masih sangat labil, dan hadist yg keluar dari mulutnya sendiri lebih banyak kepada perasaannya saja……Tapi saya yakin Ummulmukminin yg satu ini juga punya tempat di surga Allah…tapi jangan berlebihan kita kepada beliau …

  27. maaf nih ngangkat bahasan jadul.. tapi jawabannya @zahra top banget tuh.. sampe si @kembali berenti nyap2..
    Semoga Allah mengampuni orang2 yang Nabinya bisa kena sihir.. (menurut Bukhari).
    dan semoga rahmatNya diturunkan untuk para pengikut Rahmatan lil Alamin.

    Salam

  28. Ada tanggapan terhadap tulisan di atas yang muncul dari sekumpulan nashibi di forum kebanggan mereka. Sayangnya setelah kami perhatikan tanggapan tersebut tidak bernilai dalam kaidah ilmu. Mungkin orang awam mereka seperti orang yang menyebut dirinya dengan nickname “ahlus sunnah” akan terkagum-kagum dengan ucapan para nashibi disana.

    Ahlus sunnah ini bisa dibilang nashibi yang tidak tahu diri. Ia mengutip tulisan kami seperti biasa dan menuliskan disana dengan kata-kata “shia said” atau syiah berkata. Tidak susah untuk berkata “secondprince said” atau secondprince berkata. Bukankah kami sudah mengatakan padanya bahwa kami bukan syiah dan kalau ia tetap ngeyel dengan sebutan itu maka perkenankanlah kami untuk memanggil anda dengan sebutan nashibi tulen. Kami katakan tidak tahu diri karena orang ini tidak bisa membaca dengan baik. Kami tidak tahu apa kemampuan berbahasanya yang pas-pasan atau memang karena ia tidak paham istilah dalam ilmu hadis. Ahlus sunnah setelah membaca tulisan kami, ia menerjemahkannya sebagai berikut

    Shia said the main critic in this chain is Shubaih mawla of Ummu Salamah and Zaid bin Arqam. At-Tirmidzi said he is unknown but this wrong since Adz Dzahabi in Al Kasyf no 2371 said he is tsiqah. Ibnu Hibban also consider him as tsiqaat.

    Dalam tulisan kami di atas, kami tidak mengutip bahwa Adz Dzahabiy menyatakan ia tsiqat. Kami mengutip bahwa Adz Dzahabiy memberikan predikat ta’dil padanya yaitu kalau ahlus sunnah nashibi awam ini merujuk pada kitab Al Kasyf maka yang tertulis adalah lafaz “wutsiq”. Lafaz ini di sisi ilmu hadis berpredikat ta’dil.

    Kemudian datanglah si Farid yang sok berkomentar ala ulama mengutip perkataan Syaikh Al Albaniy.

    The tawtheeq of Ibn Hibban is not sufficient, which has been repeated here in many threads. The statement of Al-Thahabi, which says wuthiq, is unlike the statement thiqa. Al-Albani said:
    و قال الذهبي عنه في ” الكاشف ” : ” وثق ” ! قلت : يشير
    إلى أن ابن حبان وثقه ، و أن توثيقه هنا غير معتمد لأنه يوثق من لا يعرف ، و
    هذا اصطلاح منه لطيف عرفته منه في هذا الكتاب ، فلا ينبغي أن يفهم على أنه ثقة
    عنده كما يتوهم بعض الناشئين في هذا العلم .
    Rough translation: Al-Thahabi said about him in Al-Kashif, “Wuthiq!” I said: He is referring to Ibn Hibban’s tawtheeq, and that it is not reliable because he makes tawtheeq of those that he doesn’t know, and this is a nice terminology from him that I got from his book. So, one shouldn’t understand that he is a thiqa to him, like some youngsters in this ilm.

    Orang yang bernama Farid ini bisa dibilang ilmu hadisnya khas ala nashibi yaitu menganggap ta’dil Ibnu Hibban sebagai tidak bernilai. Tentu saja faktanya tidak begitu. Orang yang meneliti dengan baik akan mengakui kalau Ibnu Hibban memang tasahul dalam tautsiq-nya. Hal ini diakui Ibnu Hibban sendiri dalam kitabnya Ats Tsiqat sehingga dalam kitab tersebut Ibnu Hibban tetap memasukkan orang yang ia anggap majhul. Tetapi bukan berarti semua perawi dalam kitab Ats Tsiqat harus dipukul rata seperti itu seolah-olah tautsiq Ibnu Hibban itu tidak bernilai.

    Dalam perkara Shubaih mawla Ummu Salamah, tautsiq Ibnu Hibban memiliki qarinah penguat yang menunjukkan bahwa ia tidaklah majhul di sisi Ibnu Hibban yaitu Ibnu Hibban telah mejadikan hujjah dan menshahihkan hadisnya dalam Shahih Ibnu Hibban. Para ulama hadis telah mengakui bahwa persyaratan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya lebih ketat daripada kitab Ats Tsiqat. Dalam muqaddimah Shahih Ibnu Hibban, ia menjelaskan bahwa salah satu syarat perawi yang ia pakai dalam kitab Shahih adalah shaduq dalam hadis-nya dan ‘adalah dalam agamanya. Maka ini cukup menjadi qarinah yang menguatkan bahwa hadis Shubaih berpredikat hasan.

    Kemudian soal taklidnya si Farid terhadap pendapat Syaikh Al Albaniy tentang lafaz “wutsiq” di sisi Adz Dzahabiy, kami katakan : tentu para cecunguk dalam ilmu hadis akan mengaminkan pernyataan Al Albaniy bahwa lafaz tersebut hanya mengandalkan pada tautsiq Ibnu Hibban dan itu tidak mu’tamad di sisi para ulama. Faktanya tidak seperti itu, lafaz “wutsiq” di sisi Adz Dzahabiy bermakna penta’dilan [terlepas dari apakah itu bentuk ta’dil yang ringan atau sedang]. Dan tidak ada aturan bahwa lafaz “wutsiq” hanya mengandalkan pada tautsiq Ibnu Hibban, banyak contohnya dalam kitab Al Kasyf para perawi yang dita’dilkan oleh selain Ibnu Hibban tetapi tetap disebut Adz Dzahabiy dengan lafaz “wutsiq”.

    Shilah bin Zufar Al Absiy Al Kufiy disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Al Kasyf no 2414 dengan lafaz “wutsiq”. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Khirasy, Al Khatib, Ibnu Ma’in, Ibnu Numair, Ibnu Hibban dan Al Ijliy [lihat At Tahdzib juz 4 no 767]

    ‘Abbad bin Musa Al Khattaliy disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Al Kasyf no 2576 dengan lafaz “wutsiq”. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan Shalih bin Muhammad [lihat At Tahdzib juz 5 no 173]
    ‘Amru bin Utsman bin ‘Abdullah At Taimiy disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Al Kasyf no 4194 dengan lafaz “wutsiq”. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Madini, Yaqub bin Sufyan dan Yaqub bin Syaibah [lihat At Tahdzib juz 8 no 113]

    Ketiga contoh di atas menggugurkan teori palsu bahwa lafaz “wutsiq” hanya bersandar pada ta’dil Ibnu Hibban. Kami akui memang ada sebagian perawi yang hanya mendapat ta’dil Ibnu Hibban dan dinyatakan oleh Adz Dzahabiy dengan lafaz “wutsiq” tetapi bukan berarti semua lafaz “wutsiq” dipukul rata seperti itu. Kamipun juga tidak menyatakan bahwa lafaz tersebut berarti “tsiqat”. Intinya lafaz tersebut adalah bentuk ta’dil.

    Dengan meneliti kitab Al Kasyf bahwa dapat dipahami bahwa lafaz “wutsiq” di sisi Adz Dzahabi adalah lafaz ta’dil sehingga ia menyematkannya pada para perawi yang dinyatakan tsiqat oleh sebagian ulama dan seandainya perawi tersebut hanya mendapat ta’dil Ibnu Hibban maka itu berarti di sisi Adz Dzahabi ta’dil Ibnu Hibban pada perawi tersebut bernilai sehingga ia condong padanya. Harap diingat bahwa Adz Dzahabi termasuk ulama yang paham bahwa Ibnu Hibban tasahul dalam tawtsiq perawi. Maka lafaz “wutsiq” tersebut sebagai qarinah yang menguatkan tautsiq Ibnu Hibban.

    Kemudian si ahlus sunnah itu membawakan tulisan kami berkaitan dengan hadis Talid bin Sulaiman. Tentu saja tidak ada gunanya karena sudah kami sebutkan dengan jelas bahwa kami tidak berhujjah dengan hadis Talid. Kami hanya memberikan catatan atas komentar Syaikh Al Albaniy bahwa Talid ternyata dita’dilkan oleh ulama lain dan penisbatan “kadzab” atasnya bisa jadi bersifat subjektif. Anehnya si Farid malah berkomentar

    Second Prince is being irrational. The hadith scholars differentiated between liars and rafidha. We have narrators that are seen as rafidha but are not referred to as liars, and vice versa. So, stating that being a rafidhi is a reason to be condemned as a liar is simply wrong.

    Tentu kami tahu akan hal itu tetapi ada kalanya ulama menuduh perawi dusta karena bid’ah yang mereka buat. Bukankah ada sebagian para ulama yang beranggapan bahwa rafidhah sudah pasti pendusta. Dalam perkara Talid bin Sulaiman, subjektifitasnya dapat dilihat pada pernyataan Ibnu Ma’in

    سمعت يحيى يقول تليد كذاب كان يشتم عثمان وكل من يشتم عثمان أو طلحة أو أحدا من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم دجال لا يكتب عنه وعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين

    [Ad Duuriy] berkata aku mendengar Ibnu Ma’in berkata “Talid pendusta, ia mencaci Utsman dan siapa saja yang mencaci Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Nabi maka ia adalah Dajjal tidak boleh ditulis hadisnya dan untuknya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2670]

    Contoh nyata subjektifitas penolakan perawi karena ia rafidhah itu nampak sekali dalam ocehan nashibi si mulut syiah dajjal ketika mengomentari Talid

    So he was a Rafidi….Lol
    So sad but the whole dajjali arguments falls down.

    Nah apa susahnya jika orang lain berkomentar bahwa si nashibi mulut syiah dajjal ini jelas nashibi tulen maka apapun yang keluar dari mulutnya dan tulisannya sudah tidak layak karena telah jelas bahwa nashibi itu munafik dan munafik kalau berbicara ya dusta. Mungkin kalau Talid bin Sulaiman ini hidup kembali ia akan menyatakan hal yang sama pada nashibi si mulut syiah dajjal [sword of sunnah]. So funny heh 😆

    Berkomentar itu gampang, yang susah itu mencari kebenaran dan jauh lebih susah adalah tunduk pada kebenaran. Forum nashibi itu bagi saya tidak bernilai tetapi alangkah kasihannya orang awam yang disesatkan oleh forum nashibi seperti itu. Memang sih tidak semua anggota forum disana nashibi atau layak untuk dikatakan nashibi. Intinya sih simpel saja selagi mereka masih menyebut secondprince sebagai syiah maka mereka akan kami sebut sebagai nashibi.

Tinggalkan komentar