Bantahan Terhadap Salafy : Benarkah Hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya” Berstatus Hasan Lighairihi?

Bantahan Terhadap Salafy : Benarkah Hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya” Berstatus Hasan Lighairihi?

Jika anda sering mengkaji kitab-kitab Salafy maka anda dapat melihat Antagonisme Salafy dalam berhadapan dengan hadis-hadis yang menjadi hujjah mereka. Jika hadis tersebut bertentangan dengan keyakinan mereka, contohnya berkenaan dengan tawassul (yang menjadi hujjah para ulama Alawy) atau keutamaan Ahlul Bait (yang sering menjadi hujjah Syiah) maka salafy akan bersikap ketat dalam mencacatkan hadis tersebut. Tetapi jika suatu hadis menjadi dasar hujjah mereka, maka mereka bertasahul dalam menguatkan hadis tersebut. Contoh nyata adalah hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya”. Telah berlalu penjelasan kami bahwa hadis ini berstatus dhaif tetapi salafy telah berupaya dengan “begitu memaksa” bahwa hadis ini berstatus hasan lighairihi. Berikut adalah bantahan kami.

.

.

Pembahasan Sanad Hadis Al Ifriqy Dan Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i

Pada dasarnya Salafy tidak membawakan sanad lain dari hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya”. Salafy hanya membawakan riwayat Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy dan Abdullah bin Sufyan, kemudian membuat kesimpulan bahwa kedua riwayat itu saling menguatkan sehingga berstatus hasan lighairihi.

Kesimpulan tersebut terburu-buru tetapi salafy dengan cerdik membungkusnya dengan kata-kata yang seolah-olah ilmiah tetapi mengandung kerancuan. Mengenai Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy ia adalah seorang yang dhaif dan kami tidak keberatan kalau dikatakan bahwa dhaifnya Abdurrahman disebabkan kelemahan pada hafalannya. Memang ada indikasi yang menunjukkan ke arah sana seperti

  • Adanya penta’dilan dari beberapa ulama terhadap Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy
  • Sebagian dari Jarh yang disematkan pada Abdurrahman bukan bersifat jarh yang menjatuhkan keadilan perawi seperti perkataan “tidak kuat”, “ada kelemahan padanya” atau “ada hal-hal yang diingkari dalam hadisnya”.

Walaupun begitu terdapat pula sebagian ulama yang menetapkan jarh yang bersifat syadid dan ada yang memberikan alasannya. Diantaranya adalah Imam Ahmad yang bahkan tidak mau menulis hadis darinya, Ibnu Kharrasy yang menyatakan ia matruk, An Nasa’i yang menyatakan ia dhaif, dan Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Al Majruhin no 586 sebagai perawi dhaif dan ia berkata

كان يروي الموضوعات عن الثقات

Ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari perawi tsiqat.

Salafy mengatakan bahwa perkataan Ibnu Hibban berlebihan karena jika pernyataan Ibnu Hibban benar maka akan masyhur pernyataan ulama bahwa Abdurrahman seorang pendusta atau minimal tertuduh melakukan kedustaan. Logika seperti ini tidak mutlak benar karena ada kalanya para ulama memang berselisih paham terhadap kedudukan suatu perawi karena ulama yang satu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama lain dan mungkin pula sebaliknya. Sehingga kaidah yang benar menyebutkan bahwa jarh yang bersifat mufassar (dijelaskan sebabnya) lebih diutamakan dibanding ta’dil. Melihat status Abdurrahman bin Ziyad, kita melihat ada ulama yang menyatakan ia matruk dan tidak mau menulis hadis darinya. Hal ini merupakan suatu kemungkinan bahwa para ulama tersebut pada dasarnya bersepakat dengan Ibnu Hibban yang mencacat Abdurrahman dengan cacat yang menjatuhkan. Kami pribadi tidak melihat adanya ulama yang membantah perkataan Ibnu Hibban dengan mengatakan bahwa Ibnu Hibban berlebih-lebihan dalam hal ini, bahkan Ibnu Jauzi memasukkan Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy dalam kitabnya Ad Dhu’afa Wal Matrukin 1670 dengan mengutip perkataan Ibnu Hibban.

Salafy juga mengutip pernyataan Ibnu Hajar dalam At Taqrib yang menyatakan bahwa Abdurrahman bin Ziyad orang yang lemah hafalannya. Itu adalah pendapat Ibnu Hajar sedangkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3862 justru mengatakan kalau Abdurrahman bin Ziyad dhaif dan dapat dijadikan I’tibar. Dengan mempertimbangkan semua pernyataan di atas maka kami berkesimpulan bahwa pada dasarnya Abdurrahman bin Ziyad dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah tetapi hadisnya dapat dijadikan I’tibar dan menjadi naik statusnya jika dikuatkan oleh perawi yang setaraf dengannya atau lebih tinggi darinya.

Jadi agar hadis Abdurrahman bin Ziyad naik statusnya menjadi hasan lighairihi maka ia harus dikuatkan oleh perawi yang setingkat dengannya atau lebih baik darinya. Salafy hanya membawakan riwayat Abdullah bin Sufyan sebagai penguat Abdurrahman bin Ziyad. Tentu saja Abdullah bin Sufyan tidaklah setingkat dengan Abdurrahman disebabkan

  • Abdullah bin Sufyan hanya dikenal melalui hadis ini artinya yang meriwayatkan darinya hanya satu orang yaitu Wahab bin Baqiyah, jadi ia berstatus majhul ‘ain.
  • Tidak ada satupun Ulama yang memberikan predikat ta’dil padanya sehingga bagaimana bisa ditentukan ‘adalahnya (keadilannya)
  • Terdapat Ulama seperti Al Uqaili dan Adz Dzahabi yang memasukkannya ke dalam daftar perawi dhaif.

Bagaimana mungkin Salafy dengan mudahnya berkata

Jika kita perhatikan perkataan para ahli hadits di atas terhadap ‘Abdullah bin Sufyaan, maka kritik mereka disebabkan karena kebersendiriannya dalam periwayatan. Jenis kelemahan ini biasa disebabkan karena keraguan atas kekuatan hapalannya – dan ia merupakan kelemahan yang ringan.

Perkataan ini mengandung kerancuan. Kebersendirian Abdullah bin Sufyan dalam periwayatan dinyatakan dhaif karena tidak ada satupun ulama yang memberikan predikat ta’dil padanya (ditambah lagi hadisnya tidak diikuti) sehingga dalam hal ini kredibilitasnya tidak diakui. Ini saja sudah cukup untuk  mengatakan sebab pendhaifan Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i bukan karena kelemahan pada hafalannya. Bagaimana bisa salafy mengatakan bahwa cacat Abdullah bin Sufyan terletak pada hafalannya padahal tidak ada yang memberikan predikat ta’dil padanya. Jika pernyataan ini disebabkan ketidaksengajaan maka itu adalah kekeliruan atau kecerobohan dan jika dilakukan dengan sengaja maka itu adalah sebuah kedustaan. Kelemahan Abdullah bin Sufyan jelas lebih parah dibanding Al Ifriqy lantas bagaimana bisa ia menjadi penguat bagi Abdurrahman Al Ifriqy.

Salafy mengutip pernyataan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 1/448 no 899

رواه الطبراني في الصغير وفيه عبد الله بن سفيان قال العقيلي  لا يتابع على حديثه هذا وقد ذكره ابن حبان في الثقات

Diriwayatkan Thabrani dalam As Shaghir dan didalamnya ada Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili berkata “hadisnya tidak diikuti” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat.

Pernyataan Al Haitsami layak diberikan catatan. Pernyataannya yang mengutip Al Uqaili benar adanya dan memang itulah yang tertulis dalam kitab Ad Dhu’afa Al Uqaili 2/262 no 815 tetapi kami tidak menemukan nama Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Bahkan diantara ulama yang menyebutkan tentang Abdullah bin Sufyan tidak ada satupun yang mengutip pentsiqahan Ibnu Hibban.

  • Adz Dzahabi baik dalam kitabnya Mizan Al I’tidal no 4356 , Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Diwan Ad Dhu’afa Al Matrukin no 2187 tidak menyebutkan adanya pentsiqahan dari Ibnu Hibban, Adz Dzahabi hanya mengutip pencacatan Al Uqaili.
  • Ibnu Hajar dalam Lisan Al Mizan juz 3 no 1230 juga menyebutkan tentang Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i, Ibnu Hajar mengutip pencacatan Al Uqaili tetapi tidak sedikitpun menyebutkan kalau Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.

Kami berpandangan bahwa Al Haitsami keliru soal perkataannya bahwa Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i disebutkan dalam Ats Tsiqat Ibnu Hibban (kecuali kalau salafy memang menemukannya dalam Ats Tsiqat, karena tidak menutup kemungkinan bahwa kami bisa juga keliru) . Seandainya pula Ibnu Hibban memasukkan Abdullah bin Sufyan dalam Ats Tsiqat maka itu tidak akan menjadi hujjah apapun bagi Salafy karena sangat masyhur di kalangan salafy bahwa Tautsiq Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tidak menjadi hujjah jika ia menyendiri karena menurut Salafy, Ibnu Hibban sering memasukkan perawi-perawi majhul dalam kitabnya Ats Tsiqat.

Kesimpulan dari kedua sanad tersebut adalah sanad dengan Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy adalah dhaif walaupun dikatakan karena hafalannya tetap saja hadisnya dhaif jika menyendiri alias tidak bisa dijadikan hujjah dan hanya bisa terangkat oleh perawi yang setingkat atau lebih baik darinya. Sedangkan sanad Abdullah bin Sufyan memiliki cacat yang lebih parah dari Al Ifriqy karena tidak ada satupun yang menta’dilkannya bahkan terdapat ulama yang memasukkannya sebagai perawi dhaif. Ditambah lagi jika kita menuruti cara kerja Salafy maka hadis Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i juga mengandung illat dugaan inqitha’ karena tidak ditemukan tahun lahir dan tahun wafatnya dalam biografi perawi dan tidaklah diketahui penyimakan hadisnya dari Yahya bin Sa’id Al Anshari, bukankah bagi salafy ini sebuah  cacat. Maka dari itu Pendapat yang benar adalah Sanad Abdullah bin Sufyan tidak menaikkan status hadis Al Ifriqy.

.

.

Pembahasan Matan Hadis Al Ifriqy

Salafy membawa hujjah lain untuk menguatkan hadis ini yaitu hadis Irbadh bin Sariyyah, Hadis “berpegang teguh pada SunahKu dan Sunnah Khulafaur Rasydin yang mendapat petunjuk”. Hadis ini memang shahih tetapi menjadikan hadis ini sebagai penguat bagi hadis Al Ifriqy adalah kesimpulan yang prematur. Mari kita lihat perkataan Salafy

Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
a. ‘Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap Sunnahku’ (‘alaikum bi-sunnatii) adalah sama dengan ‘Apa-apa yang aku berada di atasnya’ (maa ana ‘alaihi);
b. ‘Dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk’ (wa sunnatil-Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin) adalah sama dengan ‘Dan para shahabatku’ (wa ashhaabiy).

Bagi mereka yang berpikir kritis maka poin b itu jelas sekali rancu. Apa dasarnya mengatakan bahwa Sunnah Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin yang dimaksud itu Para Sahabat?. Memangnya siapa Khulafaur Rasydin yang dimaksud dalam hadis Irbadh? Apakah itu adalah setiap sahabat Nabi? Atau hanya orang-orang tertentu. Jika memang khusus orang-orang tertentu maka mengapa dipukul rata untuk semua sahabat. Kemudian Apakah itu adalah Khalifah Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA?. Bagaimana bisa dikatakan bahwa sunnah mereka harus dipegang teguh jika sebagian perilaku mereka bertentangan dengan Sunah Nabi?. Contoh yang mudah adalah pelarangan haji tamattu yang justru dibolehkan secara mutlak oleh Rasulullah SAW. Perkara ini saja sudah cukup untuk mengugurkan bahwa sunah mereka tidak layak dipegang teguh.

Lagipula terlalu jauh menjadikan hadis Irbadh sebagai penguat. Itu namanya mencampuraduk umum dan khusus. Apakah para Sahabat itu semuanya menjadi khalifah?. Rasanya tidak, seandainya juga ada sahabat yang menjadi khalifah itu tidak membuatnya langsung dikatakan sebagai bagian dari Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin. Hal ini disebabkan sangat jelas bahwa sahabat yang menjadi khalifah itu sendiri sering menyatakan hal yang berbeda dan bertentangan satu sama lain. Jadi bagaimana mungkin berpegang pada hal-hal yang bertentangan.

Lafaz Hadis Al Ifriqy sudah jelas tidak bisa diterima. Para sahabat bukanlah hujjah dan kenyataannya terkadang para sahabat juga berselisih, melakukan kesalahan, yang bahkan ada diantara kesalahan tersebut berbau maksiat seperti meminum khamar, berzina, membunuh, mencaci Ahlul Bait dan lain-lain. Dan kita tidak melupakan sejarah para sahabat dimana mereka berselisih sampai menyulut terjadinya perperangan. Semua fakta ini menunjukkan bahwa para sahabat bukanlah timbangan kebenaran dan justru perbuatan sahabat itu yang harus ditimbang dengan timbangan kebenaran yaitu Allah SWT dan RasulNya.

Keanehan Salafy yang lain adalah perkataan

Dan ini sama sekali tidak bertentangan dengan makna Al-Jama’ah sebagaimana dalam riwayat yang lain. Sebab, al-jama’ah yang pertama kali ada saat hadits ini diucapkan adalah jama’ah para shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’in.

Boleh-boleh saja kalau salafy mengatakan tidak bertentangan tetapi apa dasarnya bahwa Al Jama’ah itu para sahabat. Anehnya salafy seperti pura-pura tidak tahu bahwa hadis tersebut justru diucapkan dihadapan para sahabat dan untuk sahabat juga. Jika Al Jama’ah yang dimaksud adalah para sahabat bukankah jauh lebih tepat kalau redaksinya “Apa Yang Aku dan Kalian Ada Di Atasnya”. Jika Al Jama’ah yang dimaksud adalah para sahabat maka patutlah kita bertanya apakah pada zaman sahabat sudah terdapat 73 firqah yang dimaksud?. Jika ada dan yang selamat adalah Al Jama’ah yaitu para sahabat maka ini mengandung kontradiksi. Karena jika Para sahabat itu Al Jama’ah yang dimaksud maka bagaimana mungkin bisa ada firqah-firqah diantara sahabat, lha sahabat itu sendiri Al Jama’ah yang dimaksud. Jika firqah yang dimaksud akan ada sampai akhir zaman maka tidak ada alasan bagi salafy untuk mengkhususkan Al Jama’ah pada para Sahabat Nabi, bisa saja Al Jama’ah yang dimaksud juga berasal dari kalangan Umat Islam yang bukan Sahabat Nabi. Sungguh berkutat dalam pemaksaan seperti ini hanya membuahkan asumsi-asumsi yang membutuhkan banyak bukti. Bagi kami Pernyataan yang lebih bernilai soal Al Jama’ah telah disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Al Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun sendirian.

Mengenai perkataan salafy bahwa Sahabat adalah generasi yang terbaik maka cukuplah dikatakan bahwa ada pula Mereka yang lebih baik dari Sahabat Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan beliau menshahihkannya

أبو جمعة قال تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح قال فقال يا رسول الله هل أحد خير منا اسلمنا معك وجاهدنا معك قال نعم قوم يكونون من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني

Dari Abu Jum’ah RA yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah SAW dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah RA yang berkata “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau SAW menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku”

Kalau mengikuti cara berhujjah salafy maka bukankah bisa juga dikatakan kalau Al Jama’ah itu adalah mereka Umat Islam yang beriman kepada Nabi SAW tetapi tidak bertemu Nabi SAW dengan kata lain bukan Sahabat Nabi. Lha mereka bahkan lebih baik dari Sahabat Nabi SAW berdasarkan hadis di atas.

Terakhir masalah penukilan pendapat ulama seperti Al Iraqi, Ibnu Katsir dan Al Albani yang telah menghasankan hadis Al Ifriqy, semua itu adalah sikap tasahul yang tidak berpegang pada dalil atau hanya cenderung pada keyakinan semata. Telah berlalu penjelasan kami atas dhaifnya sanad hadis tersebut. Pernyataan Hasan mereka bisa jadi dikarenakan

  • Mereka menjadikan hadis Iftiraq Al Ummah yang lain sebagai penguat yang mengangkat hadis Al Ifriqy. Sudah jelas ini keliru karena lafaz yang kita permasalahkan (Apa yang Aku dan Para SahabatKu Ada Di Atasnya) tidak ada pada riwayat Iftiraq Al Ummah yang bersanad shahih.
  • Mereka menganggap hadis Al Ifriqy dan hadis Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i sebagai saling menguatkan sehingga statusnya menjadi hasan lighairihi. Telah kami tunjukkan bahwa hal ini keliru, hadis Abdullah bin Sufyan kedhaifannya lebih parah dari Al Ifriqy sehingga jelas tidak bisa menguatkannya.

Karena mereka meyakininya maka mereka memudahkan dalam menguatkan hadis tersebut. Anehnya jika ada hadis lain yang mengecam sahabat tak peduli sekuat apapun sanadnya atau sebanyak apapun sanadnya tetap harus ditolak dan dinyatakan palsu. Sungguh Antagonisme yang aneh. Tulisan berikutnya mungkin akan membahas salah satu hadis yang sering dinyatakan palsu padahal sanadnya jauh lebih kuat dari sanad hadis “Apa Yang Aku dan Para SahabatKu ada di Atasnya”. Mari kita lihat akankah Salafy menyatakan hadis tersebut hasan lighairihi atau malah bersemangat menyatakan hadis tersebut palsu.

23 Tanggapan

  1. Pemilik blog ini menganggap orang lain melakukan antagonisme, padahal jika diteliti artikel2 yang ditulisnya sendiri, terlalu banyak antagonisme yang dilakukan yang disebabkan mengikuti prakonsepsi yang ia yakini, tetapi tampaknya beliau ini ga ngrasa.. manusia… manusia… :mrgreen:

  2. @antirafidhah
    silakan saja ditunjukkan, saya selalu bersedia menerima kritik dan saran :mrgreen:
    yah begitu lebih baik kan daripada sekedar cuap-cuap tanpa bukti 😛

  3. @antirafidhah

    ah masa sih…. ko saya tidak melihat adanya prakonsepsi. Bisa dijelaskan?…. karena apa yang anda sampaikan bukanlah argumen, itu baru pernyataan awal yang butuh bukti..
    silahkan kemukakan ….

    Anda tidak bisa membantah kemudian menyerang pribadi penulisnya….Ini hanya menunjukkan kekerdilan pribadi anda dan kecupetan akal pikiran anda…

  4. Kata Mas SP

    yah begitu lebih baik kan daripada sekedar cuap-cuap tanpa bukti 😛

    Kata Mas Yusuf :

    …Ini hanya menunjukkan kekerdilan pribadi anda dan kecupetan akal pikiran anda…

    Klop..!

    Ayooo antirafidhah al Nashibi jgn cuma cuap-cuap…bukti dunk…buktiiii… :mrgreen: 😛

  5. Artikel TOP BGT!

  6. Thnx to SP… pembuktian yang susah di sanggah.

  7. dahsyat….
    semoga Allah dan rasul saw juga para shiddiqin maksumin
    senantiasa memeberi cahaya kebenaran dan kecerdasan serta kesehatan pada anda SP..

    semoga para salafy berani mengkomentari dgn data yg valid dan teruji bukan dengan caci maki dan asumsi..seperti anti rafidhah…silahkan diundang ustad aljauza, sewet, ja’far atau yg baru pulang …
    biar kami dikayakan dengan diskusi yg berilmu…

  8. Saya ingin bertanya, bagaimanakah jika beberapa orang yang ekstrim dan kontra dengan anda mengetahui identitas anda yang sebenarnya??? Pernahkah timbul dzan-dzan bahwa anda akan diincar??? mudah-mudahan anda tetap dilindungi Allah, atas tulisan anda saya salut, saya pikir anda bukanlah dari golongan cendikia terkemuka dari ulama syiah, tetapi pengetahuan anda cukup luas, kegigihan apa gerangan yang membuat anda tetap bertahan? karena saya dapat merasakan fisik anda letih…mungkin semangat anda masih menggelora…Entah…mungkin anda memang terlahir untuk ini…Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yg paling baik diantaranya, mereka itulah orang2 yg telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang2 yg mempunyai akal…Az Zumar 18…

  9. meminjam bait syair Rendra “si Burung Merak”,
    Aku lemas
    Tapi berdaya
    Aku tidak sambat rasa sakit
    atau gatal
    Salut deh buat SP……. pencerahan lagih nih,..lumayaaan

  10. betul artikel bagus!!
    emangnya siapa yg berhak netapkan kulaurrosydin cuma empat doang? masa setelah empat itu apa ga ada lg? lalu seterusnya sampai kini n yad jg ga ada? sia2 lah ayat perintah untuk mentaati ulilamri…
    renungkanlah gaibnya nabi ‘Isa as. kalo kita bisa percaya itu mestinya dijadikan jembatan untuk dpt percyai adanya Imam yg gaib yg jg pasti salah satu dr kulafaurrosyidun yg disebut nabi saw. yg jelas sangat aneh jk orang pernah tercela macam ab bakar, umar n ustman jadi pemimpinnya orang2 beriman terlebih tak tercela seperti Imam Ali kw! itulah bedanya sejarah yg terjadi dg yg seharusnya terjadi!

  11. saya jadi mikir, ada hadits di Bukhari-Muslim dan lainnya bahwa sebaik-baik manusia adalah pada kurunku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya.

    tapi di atas disebutkan sebuah hadits oleh saudara secondprince riwayat Ahmad, ada yang lebih baik dari sahabat yaitu orang yang beriman kepada Rasulullah padahal mereka tidak melihat beliau.

    seolah-olah kedua hadits tsb bertentangan, padahal jika dipikir-pikir sebenarnya tidak. Pada hadits riwayat Ahmad di atas Rasulullah menyebutkan sebab mengapa umat yang beriman setelah sahabat adalah lebih baik, yaitu terletak pada keimanan mereka kepada Nabi Muhammad sedangkan mereka tidak pernah melihat atau bertemu beliau. itulah kelebihan mereka dibandingkan generasi sahabat, sedangkan sahabat bertemu dan melihat Rasulullah. jadi hanya dari segi inilah kelebihan umat setelah sahabat tersebut.

    Sedangkan kelebihan generasi sahabat lebih luas dan lebih banyak dalam berbagai segi saya kira dibandingkan generasi sesudahnya.

    seandainyapun kedua hadits tsb dipertentangkan, tetap keshahihan hadits bukhari-muslim lebih baik daripada riwayat ahmad.

    it’s just my opinion.

    Salam

  12. Sedangkan kelebihan generasi sahabat lebih luas dan lebih banyak dalam berbagai segi saya kira dibandingkan generasi sesudahnya

    Hingga detik ini, doktrin memang msh lebih perkasa dari fakta & bukti.

    Semoga Allah SWT memberikan Taufik dan Hidayah-Nya kepada kita semua.

    Salam

  13. Sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan.
    Setiap jaman ada kelebihannya masing. Setiap jaman memiliki tanggung jawabnya masing2.
    Yang manapun yang lebih baik tetap saja jaman dulu tidak dilakoni oleh manusia jaman sekarang, begitu juga jaman sekarang tidak dilakoni oleh manusia2 jaman dulu.

    Pandangan yang manapun akan bisa menyesatkan.
    Ketika kita mengatakan manusia2 terdahulu lebih baik, apakah berarti semua dari mereka tanpa kecuali?. Jika ada perkecualian, maka siapa yg membuat kriteria perkecualian tsb?. Ketika kita setuju mereka lebih baik apakah sama dengan kita menghilangkan tanggung jawab diri kita masing2 dalam memilih benar salah, sedangkan Allah memerintahkan kita untuk berfikir, berikhtiar, menggunakan akal?.
    Namun jika kita mengartikan mereka itu adalah mereka yang sudah dijamin oleh Allah kesuciannya (dan kita sudah diperintahkan untuk ta’at kpd mereka maka itu jelas bhw mereka lebih baik dari semua yang penuh dengan kesalahan).

    Wassalam.

  14. @armand

    Itu bukan doktrin, tetapi sabda Nabi yang shahih mengenai generasi beliau yang terbaik. dan dikuatkan juga oleh Allah dalam Al-Qur’an, sedangkan umat sesudah Nabi kan nggak.

    Salam

  15. @ardhi

    seolah-olah kedua hadits tsb bertentangan, padahal jika dipikir-pikir sebenarnya tidak. Pada hadits riwayat Ahmad di atas Rasulullah menyebutkan sebab mengapa umat yang beriman setelah sahabat adalah lebih baik, yaitu terletak pada keimanan mereka kepada Nabi Muhammad sedangkan mereka tidak pernah melihat atau bertemu beliau

    Maaf kayaknya Mas salah mengartikan riwayat itu, awalnya Abu Ubaidah bin Jarrah RA yang berkata “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau.
    Disini Abu Ubaidah menyebutkan sisi kebaikan para shahabat yaitu memeluk islam dan berjihad bersama Nabi. Tapi Nabi SAW menjawab bahwa ada yang lebih baik dari mereka, dan siapa mereka dijelaskan oleh Nabi SAW yaitu kaum yang akan datang setelah shahabat yang beriman kepada Nabi walaupun tidak melihat Nabi. Jadi perkataan beriman kepada Nabi walaupun tidak melihat Nabi adalah penjelasan mengenai siapa yang lebih baik dari sahabat. Rasanya mudah sekali kok memahami kedua hadis tersebut, Umat Islam memiliki kebaikan baik di zaman sahabat atau setelahnya, hanya saja kebaikan tersebut tidak membuat siapapun termasuk sahabat sebagai hujjah, karena baik sahabat dan umat Islam setelahnya telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW agar berpegang pada Al Qur’an dan Ithrah Ahlul bait Nabi SAW.

  16. Utk Secondprince/Ressay :
    Tulisan ini khusus utk anda berdua. Silahkan hapus setelah membacanya.
    Anda kan “bersemangat” sekali membahas penyimpangan para sahabat. Namun anda tak minat membahas penyimpangan di Era Kulayni (dengan paham Goibnya Imam Mahdi dalam 2 phase) serta penyimpangan di era Mufid (sesudahnya) yg berkaitan dengan terbitnya Kitab Sulaim. Dua penyimpangan diatas tergolong TIADA TARA nya karena melahirkan suatu paham/ajaran yg sekarang dianut Syiah Imamiah. Anda mungkin terlupakan membahas penyimpangan ini karena terlalu sibuk dengan program NGRASANI Abubakar, Umar, Usman.
    Kitab Sulaim mulai terbit/dipublikasikan sekitar abad 6H setelah kitab itu dibacakan oleh Al Rais Al Ali Abu Al Baqa th 565 H. Kitab tersebut KATANYA ditulis oleh Sulaim bin Qois sahabat Imam Ali Ra. Suatu kitab yg ditulis di abad 1 H namun baru terbit abad 6 H, dengan alas an bahwa kitab tersebut adalah rahasia. Hanya orang terpercaya saja yg menyimpannya.
    Namun di kitab Biharul Anwar oleh Majlisi (abad 10H) bahwa Jafar Shodiq berkata :
    “ sesiapa di kalangan Syiah kami dan pecinta kami tidak memiliki kitab Sulaim bin Qois al Hilali maka mereka tak mengetahui urusan kami dengan sebenarnya. Mereka tak mengetahui sesuatupun daripada sebab sebab kami. Ia adalah abjad Syiah yg mengandung rahasia daripada rahasia keluarga nabi Muhammad SAW.”
    Maka tersirat bahwa Imam Jafar Shodiq mengetahui bahkan mewajibkan Umat Syiah utk mengetahui kitab tersebut.
    Namun sayang, di Era Kulayni dan para Wakil Imam (abad 4H) tak ada yg mengetahui keberadaan kitab tersebut. Lihat saja di Al Kaffy oleh Kulayni, juga di kitab Manla Yaduru al Faqih oleh Saduq (akhir abad 4H), tak ada satu tex pun yg me -nyebut2 adanya Kitab Sulaim yang katanya diwajibkan Jafar Shodiq.
    Kitab Sulaim oleh Al Rais katanya diperoleh dari Syeh Al Amin al Alim Abu Abdullah bin Ahmad bin Talal Al Miqdad yg memperolehnya dari Mufid bin Tussi. Lihat saja nama2 ini. Diantara mereka inilah yg MENGARANG kisah Kitab Sulaim. Diantara mereka inilah yg BERTANGGUNG JAWAB atas kebohongan/penyimpangan yg TIADA TARA nya tsb. Agar anda membahasnya jika ingin benar2 MENCARI KEBENARAN, sehingga tak ada kesan blog ini hanya sebagai PENCARI PEMBENARAN.

  17. Assalamu’alaikum,
    mas, saya pengen tau penjelasan hadits soal ibn wahab menyatakan Allah di atas kambing berikut :

    عن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و آله و سلم: هل تدرون كم بين السماء و الأرض؟ قلنا: ألله و رسوله أعلم. قال: بينهما مسيرة خمسمائة سنة، و من كل سماء إلى سما مسيرة خمسمائة سنة، و كثف كل سماء مسيرة خمسمائة سنة، و بين السماء السابعة و العرش بحر بين أسفله و أعلاه كما بين السماء و الآرض، و الله تعالى فوق ذلك. و ليس يخفى عليه شيئ من أعمال بني آدم. أخرجه أبو داود و غيره

    bagaimana penjelasan sebenarnya

    jazakallah

  18. Hai… kok repot x sih sama kau memang kau gak tahu ya? kalo progaramsalafy itu di tunggangi yahudi dan Nasroni untuk memecah belah ummat islam yang sudah Ruku7n dan damai dari dahulu

  19. saya tanya sama kamu apakah abdullah bin baz dan albani punya ijazah ahli hadits ? kalo punya silahka tunjaukkan kepadaku bukti ijazahnya.

  20. Kebenaran itu tidak usah di cari ,karena yang benar itu sudah ada dalam diri kita sendiri

  21. @saifu
    Dicari bukanlah berarti tidak ada. Karena ia ada maka dicari (karena ia tercecer dimana2).
    Kadang ia tersembunyi, kadang ia tak dikenal.

    Salam damai.

  22. Semoga Alloh menambah ni’mat kecerdasan & keilmiyahan ilmu yg sesuai dg kenyataan alias bukan cuma bersilat dalil.

    Agar kita mendapat rahmat & berkahNya dg ampunan berupa keridhoan Alloh yaitu dlm SurgaNya aamiin…….

  23. Silakan dilihat pembelaan nashibi yang terbaru soal hadis ini. Ia berkata

    Ada yang menyangah artikel ini, namun sanggahannya tampak terlalu rapuh dan memaksakan diri.

    Akan saya jawab tiga point pokoknya saja :

    siapapun bisa dengan mudahnya bilang rapuh. Sayapun bisa bilang kalau hujjah nashibi itu terlalu rapuh, dan memang begitulah kenyataannya :mrgreen:

    1. Tajrih Ibnu Hibbaan terhadap ‘Abdurrahman bin Ziyaad.

    Sudah masyhur bahwa Ibnu Hibbaan ini termasuk ulama yang berlebih-lebihan dalam menjarh perawi (terutama dalam kitab Al-Majruuhiin-nya). Oleh karena itu bersandar hanya pada perkataan Ibnu Hibbaan dalam jarh (yang mengatakan ‘Abdurrahmaan bin Ziyaad meriwayatkan hadits-hadits palsu dari para perawi tsiqah) adalah kekeliruan. Nampaknya orang Raafidlah tersebut asing dengan perkataan ulama atau muhaqqiq tentang tasyaddud-nya Ibnu Hibbaan. Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankiil telah menjelaskan hal ini.

    Nah ini kan perkataan lucu, kami tidak menafikan kalau Ibnu Hibban juga terkadang berlebihan dalam menjarh perawi tapi itu mesti dilihat apakah perawi yang dimaksud memang terbukti adil dan dhabit sehingga perkataan Ibnu Hibban berlebihan atau hanya Ibnu Hibban yang menjarhnya sedangkan ulama lain menta’dil perawi tersebut. Silakan lihat dalam pembahasan tentang Walid bin Qasim. Nashibi ini dengan enaknya menuduh dhaif kepada Walid hanya bersandar pada perkataan Ibnu Hibban dalam Al Majruhin tetapi kok sekarang ketika terpojok ia malah berkata jarh Ibnu Hibban itu berlebihan, sungguh tanaqudh. btw saudara nashibi itu sepertinya tidak punya penglihatan yang cukup untuk melihat kalau Ibnu Kharrasy menyatakan Abdurrahman bin Ziyad matruk, dan An Nasa’i dan Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif bahkan Imam Ahmad tidak mau menulis hadis darinya. jadi pendhaifan terhadap Al Ifriqy bukan berdasar jarh Ibnu Hibban sahaja seperti yang diungkapkan dengan lucu oleh nashibi yang memang agak lucu itu 🙂

    Pertanyaannya : Ada tidak bukti beberapa hadits palsu seperti yang didakwakan Ibnu Hibbaan ? Selanjutnya : Ada tidak ulama lain yang mendakwa seperti Ibnu Hibbaan dengan lafadh tersebut atau yang semakna ?

    Kira-kira pernyataan Ibnu Kharrasy itu cukup kok sebagai penguat, ia mengatakan kalau Al Ifriqy itu matruk. :mrgreen:

    Nampaknya, kita harus belajar kembali tentang ilmu Jarh wa Ta’dil.

    Oh tentu, kita memang harus belajar. apalagi ilmu jarh wat ta’dil bukan hak milik salafy nashibi, siapapun bisa mempelajarinya. tentu ini sangat diperlukan untuk membantah syubhat salafy nashibi yang sok ilmiah dalam ilmu hadis.

    Adapun dimasukkannya ‘Abdurrahmaan bin Ziyaad oleh Ibnul-Jauziy dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, maka itu karena bersandar pada jarh Ibnu Hibbaan. Padahal jarh Ibnu Hibbaan ini sendiri bermasalah.

    silakan saja, tidak masalah

    Yang semakin menunjukkan bahwa orang Rafidlah tersebut tidak mengerti lafadh-lafadh jarh wa ta’dil, kesimpulan Ibnu Hajar bahwa ‘Abdurrahmaan bin Ziyaad adalah seorang yang lemah dalam hapalannya, harus ‘dikonfrontasikan’ dengan perkataan Dr. Basyar ‘Awwaad & Al-Arna’uth bahwa Abdurrahman bin Ziyad dhaif dan dapat dijadikan i’tibar. Jadi senyum geli.

    wah lucu sekali ya nashibi satu ini. Kami cuma menampilkan koreksi yang dilakukan oleh kedua muhaqqiq tersebut. Kalau memang sama maka ngapain Syaikh Syu’aib dan Bashar Awad Ma’ruf membuat koreksi terhadap pernyataan Ibnu Hajar. Apa menurut nashibi dua orang muhaqqiq itu tidak mengerti lafadz jarh wat ta’dil. kayaknya nashibi satu ini merasa pintar sendiri. 😛

    Dua perkataan ini adalah semakna dan tidak bertentangan, sebab seorang perawi dla’if yang dapat dijadikan i’tibar karena cacat dalam hal dlabth (hapalan). Bukan pada ‘adalah.

    Orang yang lemah hafalannya itu ada yang jujur [shaduq] dan ada juga yang dhaif. Banyak perawi yang bermasalah pada hafalannya tetapi kedudukan mereka berbeda-beda. Ini kan sangat ma’ruf sekali.

    2. Kritik terhadap ‘Abdullah bin Sufyaan.

    Al-‘Uqailiy memasukkan dalam Adl-Dlu’afaa-nya dengan menyebutkan alasannya, yaitu haditsnya tidak punya mutaba’ah. Ath-Thabaraniy juga mengisyaratkan kedla’ifannya dengan sebab infirad (kebesendirian). Jarh dengan perkataan laa yutaabi’u ‘alaa hadiitsihi atau yang semisal, menurut para ulama jarh wa ta’dil menunjukkan cacat dalam hal hapalan. Sebab, jika ia seorang yang tsiqah, kebersendirian dan ketiadaan mutaba’ah tidaklah memudlaratkan periwayatannya. Ini ada dalam penjelasan Ibnul-Qaththaan.

    Perkataan ini berlaku untuk perawi yang memang tsiqah sedangkan Abdullah bin Sufyan, siapa yang menyatakan ia tsiqah? geli sekali melihat cara hujah seperti ini.

    Pendek kata, jarh dengan kalimat laa yutaabi’u ‘alaa hadiitsihi atau yang semisal itu menunjukkan kelemahan dari sisi hapalan. Jika perawi tersebut jatuh dari sisi ‘adalah, tentu mutaba’ah tidak bermanfaat baginya.

    jarh tersebut menunjukkan kelemahan hafalan jika perawi yang dimaksud adalah perawi yang terbukti tsiqah. Jika tidak dikenal ‘adalahnya maka kedudukannya jatuh ke derajat dhaif. karena majhulnya perawi tersebut diperberat dengan hadis-hadisnya yang ternyata tidak memiliki mutaba’ah.

    Bisa juga kelemahannya terletak dari kemajhulannya. Dan kemajhulan ini termasuk kelemahan yang bisa menerima penguat. Bisa dibaca-baca dalam buku Al-Khulashah fii ‘Ilmi Al-Jarh wat-Ta’diil hal. 370-371.

    tentu saja bisa tetapi perawi yang majhul tidak bisa begitu saja dijadikan penguat. Abdullah bin Sufyan ini majhul dan hadis-hadisnya tidak memiliki mutaba’ah.

    Oleh karena itu, bagaimana orang Raafidlah tersebut bisa mengatakan keadaan ‘Abdullah ini lebih ‘parah’ dibandingkan Al-Ifriqiy ? Padahal kedua perawi lemah yang bisa terangkat naik karena adanya mutaba’ah ?

    Abdullah bin Sufyan jelas lebih parah dari Al Ifriqy karena Abdullah bin Sufyan itu majhul sedangkan Al Ifrqiqy itu mendapat penta’dilan dari sebagian ulama. wah wah begini saja susah diemngerti ya. Mungkin nashibi ini terlalu banyak belajar kali ya sampai hal yang sederhana saja susah sekali untuk mengerti.

    3. Inqithaa’ antara Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i dengan Yahya bin Sa’id Al Anshari.

    Ini adalah temuan ‘baru’ lagi diada-adakan oleh orang Raafidlah ini. Telah masyhur dalam ilmu hadits bahwa lafadh ‘an dari seorang perawi yang tidak diketahui biografinya tidak selalu harus diindikasikan inqitha’. Kecuali ada alasan yang mendukungnya.

    lho ini kan cuma memakai metode yang biasa dipakai oleh salafy nashibi. kami sebelumnya berkata Ditambah lagi jika kita menuruti cara kerja Salafy maka hadis Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i juga mengandung illat dugaan inqitha’ karena tidak ditemukan tahun lahir dan tahun wafatnya dalam biografi perawi dan tidaklah diketahui penyimakan hadisnya dari Yahya bin Sa’id Al Anshari, bukankah bagi salafy ini sebuah cacat.

    Kami dengan jelas menyebutkan illat dugaan inqitha’. Perhatikan baik-baik, kami menyebut dugaan inqitha’ tetapi nashibi itu berkata inqitha’, bukankah ini bukti kalau nashibi itu tidak bisa memahami perkataan orang lain dengan baik. Tolong dipahami dulu hujjah orang lain baru membantah. Abdullah bin Sufyan itu majhul dan dalam biografinya tdk ada tahun lahir dan wafat sehingga ttidak bisa dipastikan apakah ia mendengar langsung dari Yahya atau tidak, jadi dugaan inqitha’ masih mungkin. Lain halnya jika perawi tersebut tsiqah maka lafaz ‘an sudah dapat dianggap muttasil [jika tidak ada yang memberatkannya]. lagipula illat ini kami gunakan hanya untuk menyindir cara kerja salafy nashibi yang penuh tanaqudh itu.

    Kalau orang Raafidlah tersebut merefresh pada diskusi Malik Ad-Daar, tentu saja lain. Karena dalam pembicaraan Maalik Ad-Daar, ada pernayataan dari Al-Khaliiliy yang menyatakan Abu Shaalih tidak bertemu dengan Maalik Ad-Daar. Tentu saja ini perlu penggalian.
    Adapun dalam kasus ini, ada tidak keterangannya ? Atau hanya karangan orang Raafidlah itu ?

    Dan kalau kita merefresh kembali diskusi Malik Ad Daar maka Al Khalili tidak menampilkan pendapatnya sendiri. Al Khalili menyebutkan ada sebagian ulama yang menyatakan Abu Shalih mendengar langsung dari Malik Ad Daar dan ada sebagian lain yang berkata mursal. Padahal jika telah ditetapkan sebagian ulama kalau Abu Shalih mendengar langsung dari Malik Ad Daar maka yang mengatakan ia mursal itulah yang harus menunjukkan hujjah perkataannya. Sebagaimana telah ma’ruf dalam ilmu ushul yaitu al mutsbitu muqaddamun ‘alan nafy maka yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikkan. Dan kita lihat salafy nashibi itu tidak memiliki hujjah apapun untuk membuktikan riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Daar mursal selain kutipan Al Khalili yang ditaklid dengan seenaknya saja. 😛

    Semakin mengada-ada hujjah Raafidlah dalam membatalkan keutamaan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam……

    Kita lihat semakin mengada-ada hujjah Nashibi untuk membela keyakinan or dogma yang sudah jadi penyakitnya [alias mendarah daging] 🙂

Tinggalkan komentar