Shahih Hadis Tawassul Malik Ad Daar : Jawaban Atas Tuduhan Malik Ad Daar Majhul

Analisis Majhulnya Malik Ad Daar

Dalam tulisan saya yang lalu saya telah menolak predikat majhul yang disematkan kepada Malik Ad Daar yang kemudian ditanggapi oleh saudara penulis sebagai kekurangcermatan saya. Saya akan memulai penjelasan saya dengan tanggapan terhadap pernyataan Syaikh Al Albani.

kebenaran kisah ini tidak dapat diterima, karena Maalik Ad-Daar ini tidak dikenal kejujuran dan kekuatan hafalannya. Sedangkan dua persyaratan ini sangat esensial di dalam setiap sanad yang shahih, sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu Mushthalah Hadiits.

Akan ditunjukkan nanti bahwa Syaikh keliru, cukuplah disini saya katakan bahwa orang yang dituduh Syaikh Al Albani kalau bukan seorang tabiin senior maka ia adalah sahabat Nabi. Dan telah jelas bahwa menurut salafy sendiri sahabat dan tabiin senior adalah manusia yang paling baik. Jadi kesaksian mereka jauh lebih baik dari orang setelah mereka, begitukah?

Ibnu Abi Haatim telah meriwayatkan di dalam Al-Jarh wat-Ta’dil (4/213) dan dia tidak menyebutkan perawi darinya selain Abu Shaalih ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa dia majhul. Ibnu Abi Haatim sendiri, sebagai orang yang kuat hapalannya dan luas telaahannya, mendukungnya dengan tidak menceritakan adanya penguatan (tautsiq) padanya. Dengan demikian, maka tetaplah ia atas ke-majhul-annya.

Satu hal yang pasti Ibnu Abi Hatim sendiri sedikitpun tidak menyatakan kalau Malik adalah majhul dan tidak saya ketahui ada dari kalangan ulama terdahulu yang mengatakan kalau Malik adalah majhul, merujuk pada ulama-ulama yang saya kutip sebelumnya yaitu, Ibnu Sa’ad, Bukhari, Ibnu Asakir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Hibban, Ahmad bin Hanbal, Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar tidak satupun diantara mereka mengatakan Malik majhul. Pernyataan Syaikh bahwa yang meriwayatkan dari Malik hanya Abu Shalih telah jelas kekeliruannya.

Ini tidak bertentangan dengan perkataan Al-Haafidh : “….dengan riwayat shahih dari Abu Shaalih As-Samaan…”, karena kami berpendapat bahwa perkataan ini tidak berarti menshahihkan semua sanadnya, tetapi hanya sampai Abu Shaalih saja.

Itu adalah pendapat Syaikh yang lebih didasarkan atas pikiran dan asumsi Syaikh sendiri yang tidak menginginkan Ibnu Hajar menjadi orang yang berseberangan dengan Syaikh.

Jika tidak demikian, tentu dia tidak akan memulai isnad itu dari Abu Shaalih, dan tentu dia akan langsung mengatakan : “Dari Maalik Ad-Daar, dan sanadnya shahih”. Tetapi dia sengaja berbuat demikian untuk meminta perhatian bahwa di situ ada sesuatu yang harus diperhatikan. Para ulama melakukan hal ini karena beberapa kemungkinan. Antara lain, boleh jadi mereka tidak mendapatkan biografi sebagian perawi, hingga karenanya mereka tidak berani membuang semua sanadnya, mengingat adanya keraguan tentang keshahihannya, terutama ketika digunakan sebagai dalil; tetapi mereka menyebutkan sebagian perawi yang menjadi tempat keraguan tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh Al-Haafidh di dalam hadits ini. Seolah ia mengisyaratkan kebersendirian Abu Shaalih As-Sammaan dari Maalik Ad-Daar, sebagaimana dikutip dari Ibnu Abi Haatim. Dengan demikian, ia menunjuk kepada wajibnya melakukan pemeriksaan terhadap Maalik Ad-Daar ini, atau mengisyaratkan ke-majhul-annya.

Bagi saya pribadi kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. Ibnu Hajar telah dengan jelas menshahihkan hadis Malik dalam Fath Al Bari, tidak ada sedikitpun Ibnu Hajar meminta perhatian atas sanadnya atau mengisyaratkan keraguan pada sanadnya. Beliau berhujjah dengan hadis Malik bahkan menambahkan keterangan Saif terhadap hadis tersebut. Apalagi kalau dikatakan tidak mendapat keterangan biografi, hal ini sangat jauh terjadi pada Ibnu Hajar mengingat ia sendiri telah menuliskan biografi Malik dalam Al Ishabah. Jadi semua penjelasan Syaikh hanyalah dalih agar Ibnu Hajar tidak berada pada sisi yang berseberangan dengan syaikh, itulah yang tampak dengan jelas.

Ilmu yang menyangkut masalah ini sedimikian rumitnya, sehingga hanya diketahui oleh orang yang menekuninya. Pendapat Penulis (Asy-Syaikh Al-Albani) ini dikuatkan oleh Al-Haafidh Al-Mundziriy yang menyebutkan di dalam At-Targhiib (2/41-42) dari riwayat Maalik Ad-Daar dari ‘Umar. Kemudian ia berkata : “Ath-Thabaraniy meriwayatkannya dalam Al-Kabiir. Para perawinya sampai Maalik Ad-Daar adalah terpercaya (tsiqaat). Namun Maalik Ad-Daar, aku tidak mengetahuinya” [At-Tawassul, Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu, hal. 118-119].

Memang betul ilmu ini sedemikian rumitnya sehingga terkadang Syaikh tidak menyadari kalau di lain waktu ia telah menghasankan hadis Malik Ad Daar. Dan bagaimana bisa Syaikh menjadikan pernyataan Al Hafiz Al Munziri sebagai penguat bagi Syaikh. Al Munziri mengatakan ia tidak mengetahui siapa Malik, setidaknya itu yang beliau katakan. Bagi saya itu seperti Al Munziri tidak menemukan keterangan yang menjelaskan siapa Malik dan tentunya ini berbeda jauh dengan penjelasan panjang Syaikh yang telah menukil keterangan Ibnu Abi Hatim tentang Malik. (sekian tanggapan untuk Syaikh)
.

Anda mengatakan kalau saya tidak tahu antara majhul dan mubham, tuduhan yang menurut saya aneh. Bagi saya sepertinya Syaikh Albani juga tidak bisa membedakan apa yang dimaksud oleh Al Munziri “aku tidak mengetahuinya” dengan anggapannya sendiri akan majhulnya Malik Ad Daar. Padahal terkesan apa yang dikatakan Munziri lebih ke arah “ia tidak mengenalnya”. Al Munziri mengatakan kalau ia tidak tahu siapa Malik sedangkan Syaikh mengatakan Malik majhul. Rasanya beda. Jadi bagaimana bisa Al Munziri menguatkan Syaikh.
Anda juga berpanjang-panjang menjelaskan soal majhul dan yang lainnya bahkan anda menegaskan bahwa yang dimaksud majhul Syaikh adalah tidak adanya tautsiq, hal yang justru memperkuat kontras antara Syaikh dan Al Munziri.

Ketidakpahaman akan peristilahan inilah yang banyak mengakibatkan Anda terjatuh dalam beberapa kesalahan. Sekarang saya bertanya kepada Anda dari beberapa nukilan Anda yang cukup “banyak” di atas : “Apakah di dalamnya ada penegasan tautsiq atas Maalik Ad-Daar ?”. Jawablah dengan jujur. Bila saya lihat sebatas dari nukilan Anda, maka perawi yang meriwayatkan dari Maalik Ad-Daar ini hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan. Jika demikian, maka status Maalik ini adalah majhul ‘ain.

Saya tidak akan memusingkan tuduhan-tuduhan anda, silakan saja. Mengenai tautsiq terhadap Malik maka saya katakan ada, karena bagi saya tautsiq tidak hanya terbatas pada tsiqat atau shaduq semata.

  • Pernyataan Ibnu Sa’ad “wa kana ma’ruf” itu bernilai tautsiq
  • Pernyataan Al Khalili “muttafaqu alaih” itu bernilai tautsiq
  • Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat adalah taustiq (hal yang anda tolak dengan alasan yang tidak pada tempatnya)

Dalam kitab Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 56/491 terdapat penukilan dari Muawiyah bin Salih yang berkata telah mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan Malik Ad Daar maula Umar bin Khattab termasuk tabiin dan muhaddis Madinah, hal yang menurut saya juga bernilai tautsiq. Ada banyak cara untuk menetapkan tautsiqnya Malik Ad Daar, kedudukannya sendiri sebagai seorang tabiin senior (walaupun ada kemungkinan dia Sahabat) dan sebagai orang yang dipercaya oleh dua khalifah Umar RA dan Usman RA atau sebagai bendahara Umar yang merupakan indikasi kalau khalifah Umar mengakui kejujurannya, bagi saya bernilai tautsiq. Hal ini ditambah lagi dengan pernyataan kedua ulama Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir yang menshahihkan hadis Malik, dan sebagaimana dipahami bahwa penshahihan suatu sanad adalah tautsiq terhadap para perawinya. Jadi bagi saya dalam pandangan Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir, Malik adalah tsiqat.

.

.

Metode Ibnu Hajar Dalam At Taqrib Membuktikan Tautsiq Malik

Ibnu Hajar adalah penulis kitab Tahdzib At Tahdzib dan Taqrib At Tahdzib, kedua karyanya ini walaupun sama-sama tentang perawi hadis memiliki perbedaan. Kitab At Tahdzib memuat kumpulan berbagai pendapat ulama jarh maupun ta’dil terhadap perawi sedangkan kitab At Taqrib memuat apa pendapat Ibnu Hajar sendiri tentang perawi tersebut. Dengan melihat keadaan perawi dalam At Tahzib dan melihat apa pendapat Ibnu Hajar dalam At Taqrib saya menemukan kenyataan bahwa perawi seperti Malik Ad Daar akan mendapat predikat tautsiq oleh Ibnu Hajar jika saja ia merawikan hadis dalam Kutub As Sittah.

Untuk membuktikan ini saya akan menunjukkan perawi kutub as sittah yang memiliki keadaan sama persis dengan Malik Ad Daar yaitu Syarik bin Hanbal. Syarik bin Hanbal dalam At Tahdzib juz 4 no 585 disebutkan hanya ada dua tautsiq pada Syarik

  • Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat
  • Ibnu Sa’ad mengatakan “kana ma’ruf” dan sedikit hadisnya

Kemudian saya juga menelusuri apa pendapat Ibnu Abi Hatim dan Al Bukhari mengenai Syarik bin Hanbal. Dalam Al Jarh Wat Ta’dil 4/364 no 1593, Ibnu Abi Hatim tidak mengemukakan jarh maupun ta’dil padanya. Dalam Tarikh Al Kabir juz 4 no 2648 Bukhari juga tidak mengemukakan jarh maupun ta’dil padanya. Ini pun keadaannya sama dengan Malik Ad Daar selain itu Syarik bin Hanbal diperselisihkan apakah ia tabiin atau shahabat (yang rajih adalah tabiin) hal yang setidaknya juga terjadi pada Malik. Kemudian baik Ibnu Hajar, Ibnu Abi Hatim dan Bukhari menegaskan hanya ada dua perawi yang meriwayatkan darinya yaitu

  • Abu Ishaq As Sabi’i
  • Umair bin Tamim Ats Tsa’labi

Hal yang juga tidak jauh berbeda dari Malik Ad Daar (telah meriwayatkan darinya dua perawi tsiqah, yang akan ditunjukkan nanti)

Kemudian apa keputusan Ibnu Hajar dalam At Taqrib, dapat dilihat dalam At Taqrib 1/417, Ibnu Hajar berkata “Tsiqat dan tidak tsabit kalau ia sahabat”. Jadi perawi yang memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki Syarik adalah orang yang mendapat predikat tsiqat oleh Ibnu Hajar. Sehingga dengan metode Ibnu Hajar ini maka dalam pandangan Ibnu Hajar, Malik Ad Daar sudah pasti tsiqah dan hadisnya shahih.

Dengan dasar inilah saya menetapkan bahwa penshahihan Ibnu Hajar terhadap hadis Malik adalah tsabit dan benar bukan seperti yang dipikirkan oleh Syaikh Al Albani yang lebih merupakan andai-anda beliau sendiri terhadap Ibnu Hajar. Dari penjelasan ini juga jika dikatakan Ibnu Hajar tidak menerima tautsiq Ibnu Hibban semata maka saya anggap pernyataan Ibnu Sa’ad “kana ma’ruf” adalah tautsiq dalam pandangan Ibnu Hajar yang dapat menjadi penguat bagi Ibnu Hibban, oleh karena itu beliau menerima pernyataan Ibnu Hibban dan memberikan predikat tsiqat pada Syarik. Dan jika kita melihat penilaian Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 2274 maka beliau pun memberikan predikat pada Syarik yang tidak jauh berbeda dengan Ibnu Hajar.
.
Anda mengatakan

Dari tiga orang di atas yang sudah jelas ada padanya tautsiq – sepanjang pengetahuan saya – hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan. Adapun dua orang anak Maalik Ad-Daar, sampai saat ini dari buku biografi yang saya punya atau penjelasan dari para ulama yang saya ketahui – tidak ternukil biografinya secara jelas beserta tautsiq-nya.
Atas dasar ini, maka status ke-majhul-an Maalik Ad-Daar tidaklah bisa terangkat sehingga riwayatnya bisa diterima. Apalagi, Ibnu Abi Haatim dan Al-Mundziri telah menegaskan keghariban riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar ini. Saya persilakan bagi Anda jika mempunyai keterangan yang lebih dari ini…..

Sebenarnya ada empat perawi yang meriwayatkan dari Malik Ad Daar yaitu Abu Shalih As Saman, Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’, Aun bin Malik dan Abdullah bin Malik seperti yang disebutkan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 56/489 no 7180 dan Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam 5/224. Dan dua diantara mereka adalah tsiqah yaitu Abu Shalih dan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’
Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/572 berkata

عبد الرحمن بن سعيد بن يربوع المخزومي أبو محمد المدني ثقة

Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ Al Makhzumi Abu Muhammad Al Madani tsiqat
Nah saya kembalikan kepada anda penulis, apakah dengan ini status majhulnya terangkat? Saya sendiri tidak pernah beranggapan kalau Malik Ad Daar itu majhul dan Alhamdulillah tidak ada satupun dari kalangan ulama terdahulu yang menyatakan Malik majhul.
.
.

Kontradiksi Syaikh Al Albani

Hadis Malik Ad Daar dari Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir 20/33 dan hadis ini telah dinyatakan hasan mauquf oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib Wat Tarhib no 926 padahal disitu Al Munziri juga mengatakan tidak mengenal siapa Malik Ad Daar. Jika memang kredibilitas Malik Ad Daar dipermasalahkan oleh Syaikh kenapa disini Syaikh malah menghasankan hadisnya. Sedangkan mengenai hadis Malik Ad Daar dari Abu Shalih beliau berpanjang-panjang mendhaifkannya.

Anda berkata

Adapun tautsiq Ibnu Hibban kepada Maalik Ad-Daar dengan memasukkanya dalam kitab Ats-Tsiqaat, maka itu belum cukup sebagaimana telah saya tuliskan penjelasannya.

Bagi saya anda menempatkan perkara yang tidak pada tempatnya. Berdasarkan nukilan anda baik dari Ibnu Hajar maupun Ibnu Abdil Hadi maka penarikan kesimpulan yang benar adalah, jika Ibnu Hibban memasukkan seorang perawi ke dalam Ats Tsiqat maka ada dua kemungkinan

  • Perawi tersebut benar-benar tsiqah
  • Perawi tersebut seperti yang anda katakan majhul

Jadi dua kemungkinan di atas bisa saja terjadi, dan dalam perkara Malik Ad Daar kemungkinan pertamalah yang benar karena dua alasan

  • Malik Ad Daar telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqah yaitu Abu Shalih dan Abdurrahman bin Sa’id
  • Malik Ad Daar adalah dari golongan tabiin senior (itu jika anda tidak menyetujui kalau ia shahabat)

Ditambah lagi Al Bukhari dan Ibnu Abi Hatim tidak memberikan jarh dan ta’dil pada Malik karena menurut pembacaan yang saya dapati dalam Musnad Ahmad Syaikh Ahmad Syakir, telah tsabit dari beliau bahwa Tautsiq Ibnu Hibban yang disertai penyebutan Bukhari dalam Tarikhnya tanpa adanya cacat ataupun ta’dil maka ditetapkan ta’dilnya. Salah satu contohnya adalah pada catatan kaki hadis no 2248 Musnad Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menjelaskan tentang salah seorang perawinya yaitu Abu Nahik, Syaikh Ahmad Syakir berkata

“Abu Nahik (dengan fathah pada nuun) adalah Al Azdi Al Farahidi sang ahli qira’ah, namanya dicantumkan dalam At Tahdzib pada bagian nama dan gelar (7/157 dan 12/259) karena ada perbedaan pada namanya. Dia seorang yang tsiqah, disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tetapi dikatakan tidak dikenal oleh Ibnu Qaththan dan yang lainnya. Hanya saja Al Bukhari mengenalnya, sehingga ia disebutkan pada bagian gelar no 721, dia berkata ”Abu Nahik mendengar dari Ibnu Abbas. Mereka yang meriwayatkan darinya adalah Qatadah, Hasan bin Waqid dan Ziiyad bin Sa’ad”. Keterangan ini cukup untuk menyatakannya dikenal dan menilainya tsiqah”

Imam Bukhari dalam Tarikh Al Kabir terkadang menyebutkan biografi perawi hadis tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadap perawi itu tetapi di lain waktu beliau sendiri telah berhujjah dengan perawi tersebut. Oleh karena itu penyebutan Bukhari dalam Al Kabir tanpa jarh maupun ta’dil dapat menguatkan tautsiq Ibnu Hibban seperti yang dipahami oleh Syaikh Ahmad Syakir di atas. Contoh untuk hal ini adalah Ishaq bin Ibrahim bin Nashr. Al Bukhari menyebutkan dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 1212 tanpa menyebutkan cacat dan ta’dilnya. Kemudian jika kita melihat biografi Ishaq dalam At Tahdzib juz 1 no 409 hanya ada tautsiq Ibnu Hibban terhadapnya. Dalam kitab biografi perawi hadis tidak ada keterangan lain tentang jarh maupun ta’dil Ishaq kecuali dari Ibnu Hibban. Apakah dengan begini ia dianggap majhul?. Jawabannya tidak karena Bukhari sendiri telah berhujjah dengan hadis Ishaq di dalam Shahihnya dan Ibnu Hajar telah memberikan predikat shaduq kepada Ishaq dalam At Taqrib 1/78.
.
.

Hujjah Malik Ad Daar Sahabat Nabi

Anda mengatakan

Alhamdulillah, saya mempunyai matan kitab tersebut. Namun perlu Anda ketahui bahwa dalam kitab tersebut hanya khusus termuat para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja. Saya kira ini ma’ruf. Contohnya : Silakan Anda buka nomor 346 yang terpampang nama Uwais Al-Qarniy, dan ia adalah Sayyidut-Tabi’in. Oleh karena itu, nama-nama dalam kitab ini perlu di-tahqiq kembali. Dan pentahqiqan dengan membagi thabaqat-thabaqah ini telah dilakukan oleh Ibnu Hajar yang memasukkan Malik Ad-Daar pada thabaqah ketiga dimana thabaqah ini bukan termasuk shahabat dengan kesepakat para ‘ulama. Anda tentu paham makna kesepakatan ulama di sini. Apalagi itu diperkuat oleh Al-Khaliliy sebagaimana telah Anda nukil.

Sepertinya anda ingin mengatakan kalau kitab Adz Dzahabi tidak memuat khusus nama sahabat saja, oleh karenanya anda membawakan contoh Uwais Al Qarniy. Bisakah anda bawakan contoh lain selain Uwais karena bagi saya Uwais adalah orang yang hidup di masa Nabi dan tidak bertemu Nabi SAW tetapi kredibilitasnya telah diakui oleh Nabi SAW sendiri. Lagipula Adz Dzahabi ternyata tidak menyendiri dalam mendudukkan Malik Ad Daar sebagai sahabat Nabi.

Anda hanya berhujjah dengan penempatan thabaqah oleh Ibnu Hajar tetapi anda tidak melihat apa yang dikatakan Ibnu Hajar sendiri dalam biografi Malik. Disitu Ibnu Hajar berkata “lahu idraak”. Dengan merujuk pada perkataan Ibnu Hajar ini maka Malik bin Iyadh memang hidup pada zaman Nabi dan mungkin sempat melihat Nabi SAW hanya saja ia tidak meriwayatkan hadis Nabi SAW. Apakah orang yang tidak hidup di zaman Nabi SAW bisa melihat Nabi SAW?. Malik Ad Daar bisa jadi seorang sahabat Nabi tetapi tidak meriwayatkan satupun hadis dari Nabi SAW, hal ini mungkin yang menguatkan ulama lain kalau Malik seorang tabiin.

mukhtasar-asma-shahabah

malik-bn-iyadh-mukhtasar-asma-shahabah

Baru-baru ini juga saya mendapati keterangan bahwa salah satu murid Ibnu Hajar yaitu Ibnu Fahd Al Makki juga memasukkan Malik bin Iyadh atau Malik Ad Daar kedalam kitabnya Mukhtasar Asma Sahabah tentang nama-nama para sahabat Nabi (silakan lihat di atas). Di sana Ibnu Fahd menyebutkan “Malik bin Iyadh mawla Umar meriwayatkan dari Abu Bakar Shiddiq dan meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman” . Yah bisa-bisa saja kalau anda berkata kitab inipun perlu ditahqiq lagi :mrgreen:

6 Tanggapan

  1. @SP

    Two thumbs up for you….excellent job and a splendid refutation…

    Salam

  2. hahahahah….
    masyaikh (abu aljauza) dari saudi…kagak jelas alur berfikirnya…
    kebanyakan istilah arab tapi kagak ngarti penempatannya..kaya org mau silat banyak kembangan kagak nyambung.

    mas @ sp

    yg komentari anda ini ustad yg masih disaudi nih…jadi..anda dapat lawan diskusi lumayan..
    btw…saya melihat ustad saudi ini rada2..kusut logic berfikirnya..

  3. hey yg pada komen di atas, kalo pada ga mudeng ga usah ikut2 an mencela dech.. ga level & malu2 in ajah 😆

  4. @antirafidhah
    Terus ente di sini lagi ngapain?

  5. Sebenarnya saya pribadi tidak berhujjah kelemahan riwayat Maalik ini berdasarkan kemajhulan Maalik Ad-Daar. Karena saya tahu ia bukan seorang yang majhul, bahkan sebelum Anda menuliskan artikel ini (di internet banyak kok yang membahas). Coba baca kembali di :

    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar.html

    Saya hanya menulis catatan ringan tentang klaim sebagian orang yang menganggap Syaikh Al-Albani telah memajhulkan shahabat. Yang benar, Syaikh tidak memajhulkan shahabat. Tentu saja ini dikarenakan Maalik ini bukan shahabat, melainkan tabi’in senior. Lihat kembali pada tulisan saya tersebut.

    Saya tertarik menulis tentang analisis Syaikh Al-Albani karena Anda telah keliru dalam memahami status majhul yang dimaksudkan oleh Syaikh Al-Albani.

    Coba kembali tulisan Anda di : https://secondprince.wordpress.com/2009/03/29/analisis-hadis-tawassul-malik-ad-daar/ (tepatnya di atas gambar sampul kitab At-Tajriid). Di situ Anda telah menulis bahwa status majhul Maalik itu tertolak karena beberapa ulama telah menuliskan biografinya. Apalagi Anda menambah embel-embel kalimat :

    “Pernyataan Al Mundziri tidak bisa menjadi hujjah karena orang yang tidak tahu dikalahkan oleh orang yang tahu. Dalam hal ini Ibnu Sa’ad, Ibnu Hajar, Al Khalili dan Ibnu Hibban telah mengetahui siapa Malik.”

    Ini menunjukkan Anda sebenarnya tidak memahami apa makna majhul yang dimaksudkan Syaikh Al-Albani.

    Oleh karena itu, saya memaparkan pandangan Syaikh Al-Albani tentang kemajhulan ini. Menurut beliau, Maalik ini adalah majhul haal. Nah, dalam sanggahan Anda di :

    Analisis Hadis Tawassul Malik Ad Daar


    sama sekali tidak ada bahasan tentang itu. Apalagi Anda hanya menukil pentsiqahan Ibnu Hibban dan periwayatan dari Abu Shaalih. Maka, saya katakan begini :

    “Dan bila saya lihat sebatas dari nukilan Anda, maka perawi yang meriwayatkan dari Maalik Ad-Daar ini hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan. Jika demikian, maka status Maalik ini adalah majhul ‘ain. Tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani !! ”

    Perhatikan kata “sebatas” di atas.

    Dan di akhir pembahasan kemajhulan Maalik, saya isyaratkan kepada Anda jika Anda ingin menganalisis kemajhulan Maalik Ad-Daar (majhul haal), maka Anda harus membawakan riwayat lain yang benar-benar mengangkat majhul haal tersebut dari Maalik. Saya katakan :

    “Kesimpulan sampai saat ini dari keterangan di atas adalah bahwa Maalik Ad-Daar tetaplah berstatus majhul (kecuali jika Anda dapat memberikan beberapa hal yang dapat mengangkat status majhul-nya itu di tulisan Anda berikutnya).”

    [lihat : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog.html%5D.

    Oleh karena itu, saya melihat sanggahan Anda pada tulisan Anda yang pertama tentang majhul itu gak tepat sasaran sama sekali.

    Dan di sini – sekali lagi saya tegaskan – , saya tidak berhujjah dengan kemajhulan Maalik Ad-Daar. Pada tulisan saya di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog.html pun masih tetap konsisten pada 4 point yang telah saya kemukakan semenjak pertama kali.

    Baru dalam artikel Anda kali ini sudah menjurus pada pembahasan majhul haal dan hal-hal yang bisa mengangkatnya.

    Kesimpulan tentang ini adalah sebenarnya Anda memang tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh majhul oleh Syaikh Al-Albani yang dialamatkan pada Maalik Ad-Daar.

    NB : Keliru jika Anda mengatakan bahwa tidak ada ulama terdahulu yang tidak memajhulkan Maalik Ad-Daar. Ibnu Abi Haatim telah membuat kaidah bahwa apa yang didiamkannya atas seorang perawi (tanpa memberikan jarh atau ta’dil), maka ia majhul. Namun sekali lagi, ini kemajhulan ini adalah lemah. Dan saya memang tidak berhujjah dengan ini dari awal.

    =============

    Adapun tentang status shahabat Maalik Ad-Daar, sekali lagi Anda telah menampakkan kecerobohan Anda. Perkataan Ibnu Hajar tentang Maalik : LAHU IDRAAK; maknanya bukan melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Makna yang dimaksudkan Ibnu Hajar adalah bahwa Maalik ini MENEMUI masa Jahiliyyah dan masa Islam (semasa dengan Nabi), namun tidak pernah melihat dan berkumpul bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

    Sungguh aneh bahwa Anda merasa lebih mengetahui perkataaan Ibnu Hajar dalam kitabnya dibanding Ibnu Hajar sendiri.

    Dan tolong jangan katakan bahwa saya tidak melihat langsung kitab Al-Ishaabah pada point biografi Maalik Ad-Daar, karena saya punya matan kitab tersebut pada cetakan asli atau yang berbentuk program chm.

    Anda ingin mengetahui nama tabi’in lain yang ada di kitab At-Tajriid nya Adz-Dzahabi ? (atau Anda belum pernah menelaah kitab ini secara langsung ? ). Masuknya nama Uwais Al-Qarniy saja sebenarnya telah cukup menjelaskan metode Adz-Dzahabi dalam kitabnya tersebut bahwa nama-nama yang dimuat itu tidak semuanya merupakan shahabat. Dan saya mohon maaf kali ini saya belum bisa bukan kitab At-Tajrid secara lebih mendalam, karena sedang ada di kantor. Semoga kali lain saya dapat mencontohkannya kepada Anda.

    Tentang Mukhtashar Asma’ Shahabah pun belum diklasifikasi sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Hajar. Dan jika Anda membaca kitab Al-Ishaabah, banyak sekali penjelasan di situ bahwa beberapa ulama memang memasukkan nama-nama tabi’in mutaqaddimin dalam kitab-kitab biografi shahabat, karena kitab tersebut memutlakkan untuk menulis orang-orang yang dianggap pernah sejaman dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik yang mendapati masa Jahiliyyah atau tidak, baik yang bertemu dengan Nabi atau tidak, ataupun masuk Islam pada jaman Nabi atau setelah wafatnya.

    Abul-Jauzaa’

Tinggalkan komentar