Menggugat Hadis

Ada suatu permasalahan sederhana yang menarik yaitu tentang Hadis yang terkadang memiliki makna yang membuat Miris. Ok deh tidak perlu berbasa basi silakan baca hadis ini

Rasulullah SAW bersabda “Susu sapi adalah pembawa kesembuhan, lemaknya mengandung obat dan dagingnya mengandung penyakit”. (Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak dimana beliau shahihkan dan dishahihkan pula oleh Adz Dzahabi dalam At Talkhis. Lihat Shahih Jami’ As Saghir Wa Ziyadatuhu Syaikh Nashiruddin Al Albani hadis no 1233, 4060, dan 4061)

Hadis itu memiliki 3 premis yaitu

  • Susu Sapi pembawa kesembuhan
  • Lemak Sapi mengandung obat
  • Daging Sapi mengandung penyakit

Yang terakhir itu benar-benar menusuk dibanding kedua yang lain. Hadis ini jelas-jelas menyatakan bahwa Daging Sapi mengandung penyakit. Padahal telah jelas halalnya daging Sapi berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Maidah ayat 1

Wahai orang-orang yang beriman penuhi serta sempurnakanlah perjanjian-perjanjian. Dihalalkan bagi kamu (memakan) binatang-binatang ternak (dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (tentang haramnya) kepada kamu. (Halalnya binatang-binatang ternak dan sebagainya itu) tidak pula berarti kamu boleh menghalalkan perburuan ketika kamu dalam keadaan berihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum apa yang Dia kehendaki. (QS Al Maidah ayat 1)

Disini Allah SWT dengan jelas menghalalkan binatang ternak dan menjelaskan apa yang haram dari binatang ternak tersebut yaitu perburuannya ketika ihram. Allah SWT tidak pernah menjelaskan keharaman daging Sapi karena mengandung penyakit.

Selain itu Allah SWT telah menjelaskan dalam Al An’am ayat 142-144

Dan di antara binatang-binatang ternak itu, ada yang dijadikan untuk pengangkutan, dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari apa yang telah dikurniakan oleh Allah kepada kamu, dan janganlah kamu menurut jejak langkah Syaitan; kerana sesungguhnya Syaitan itu musuh bagi kamu yang terang nyata.
(Binatang ternak itu) delapan ekor ,(empat) pasangan; dari kambing biri-biri dua ekor (sepasang jantan betina), dan dari kambing biasa dua ekor (sepasang jantan betina). Tanyalah (wahai Muhammad kepada orang-orang musyrik itu): “Adakah yang diharamkan Allah itu, dua jantannya atau dua betinanya, atau yang dikandung oleh rahim dua betinanya? Terangkanlah kepadaku dengan berdasarkan ilmu pengetahuan (Syarak dari Allah yang menjadi dalil tentang haramnya), jika betul kamu orang-orang yang benar”.
Dan dari unta dua ekor (sepasang jantan betina), dan dari lembu dua ekor (sepasang jantan betina). Tanyalah (wahai Muhammad): “Adakah yang diharamkan Allah itu dua jantannya atau dua betinanya, atau yang dikandung oleh rahim dua betinanya? Ataupun kamu ada menyaksikan ketika Allah menyuruh serta menentukan kepada kamu (atau kepada datuk nenek kamu) dengan yang demikian ini?” Oleh itu, siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berdusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia dengan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS Al An’am ayat 142-144)

Ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa Allah SWT menganjurkan untuk memakan binatang-bintang ternak termasuk kambing, sapi, unta, lembu dan domba. Anehnya Hadis sebelumnya justru mengatakan kalau Daging Sapi mengandung penyakit. Apakah mungkin Allah SWT menganjurkan untuk memakan sesuatu yang mengandung penyakit. so bagaimana nih? :mrgreen:

Ada beberapa pilihan

  • Pilihan pertama, Gak penting amat sih kan sudah tahu kalau daging sapi itu halal dan udah sering kali dimakan, dan gak ada itu yang namanya penyakit. Kalau iya udah dari dulu yang namanya daging sapi itu nggak boleh dimakan. jadi gak usah diungkit-ungkit tuh hadis (sudah terlambat ya 😛 )
  • Pilihan kedua, Tolak saja hadisnya, hadis itu dibuat-buat. Karena bertentangan dengan Al Quranul Karim dan Ilmu Pengetahuan maka hadis itu harus ditolak. :mrgreen:
  • Pilihan ketiga, Sudah jelas hadis itu shahih, apa antum mau mendustakan hadis Rasulullah SAW? naudzubillah. Sungguh antum berada dalam kesesatan yang nyata 😈

Masih mau memilih, atau membuat pilihan yang lain. Terserah, ini hadis memang membuat miris :mrgreen:

Salam Damai

35 Tanggapan

  1. makin dipikir, makin diamati, memang banyak hal2 paradoks yang melekat dalam sumber2 ajaran Islam; yang namanya hadits itu.

  2. Membaca apa yg dip[osting diatas dan menurut SP se-akan2 ada kontradiksi antara Hadis dan Firman Allah. Coba kita telaah :
    1. Hadis Rasul tdk menyatakan haram jd tdk ada kontradiksi
    2. Blm tentu bahwa semua makanan yg halal itu tdk mempunyai efek negatif (cth: bh anggur bs menjadi minuman keras. Beras bs jd sake. Ikan ada yg beracun dlsb)
    3. Pd Hadis Rasul hanya memberikan peringatan kpd kita bahwa dlm daging sapi ada mengandung sesuatu yg akan menyebabkan penyakit. Ada penelitian bahwa dlm daging sapi ada mengandung bibit CACING PITA. Jd apabila memasaknya hrs betul matang beda dg daging kambing.
    Jadi menurut saya tdk ada kontradiksi antara ayat dan hadis. Cuma ada peringatan dari Rasul agar hati. Disini kelihatan betapa sempurnanya agama Islam. Klu krn kita kurang hati2 memakan sesuatu lalu Allah haramkan makanan tsb. Betapa banyak makanan yg hrs diharamkan. Oleh karena itu hanya beberapa saja yg Allah haramkan baca Surah Al-An’aam ayat 145
    Jd menurut saya Firman Allah menentukan kemudian dijelaskan oleh Rasul bahwa yg dihalalkan itu jg hrs kita hati2 memakannya.

  3. Wah tulisan mas ini justru yg bikin saya was-was bin miris :mrgreen: saya no comment aja deh soal content-nya.
    Soal naruto-nya 😈 knapa slalu foto2 itu yg muncul?
    kan dak ada hubungannya?

    *puas abis OOT*
    *ngloyor.. mudik..*

  4. Engga perlu was was. Namanya juga hadis, yaitu suatu tulisan/catatan dari perkataan dan perbuatan Nabi dan perbuatan sahabat yang didiamkan oleh Nabi. Setiap hadis belum tentu merepresentasikan perkataan atau perbuatan Nabi. Jangan lupa hadis (khususnya di kalangan Sunni) baru dibukukan pada tahun 100 H. Bayangkan waktu 100 tahun adalah waktu yang cukup leluasa bagi orang2 yang benci terhadap ajaran Muhammad untuk memproduksi hadis2 palsu, paling tidak sejak berdirinya Dinasti Umayah oleh Muawiyah yang secara licik menurunkan Ali bin Abi Thalib dari kursi kekhalifahan, sampai Dinasti Abbasiyah yang setali tiga uang dengan Dinasti Umayah.

    Sekalipun diberi label Sahih, tetap saja belum merupakan jaminan hadis tersebut benar2 ucapan Nabi. Selain sanadnya yang harus sahih, juga matannya tidak boleh bertentangan dengan AlQuran.

    Jadi kalau ada hadis yang aneh dan bertentangan dengan AlQuran dan Ilmu Pengatahuan serta akal sehat, itu artinya bukan Nabinya yang salah tetapi hadisnya yang bermasalah.

    Dalam kasus yang lain bahkan pribadi Nabi Muhammad saw sendiri yang dalam Sahih Bukhari digambarkan sebagai pribadi yang banyak melakukan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang Nabi yang maksum (baca buku al Mustafa).

    Sekali lagi tolok ukur sahih tidaknya suatu hadis tidak saja dari segi sanadnya, tetapi juga tidak boleh bertentangan dengan nash2 AlQuran.

  5. Apakah mas SP tau motivasi apa dibalik penciptaan hadits ini? Saya jadi pengen tau mengapa “cuman” masalah susu, lemak dan daging perlu diciptakan hadits yang membuat kita rada risih/miris. Apakah hal ini ada kaitannya dengan Sang Penguasa Muawiyyah & Anak Cucunya? Apakah ia kembali memainkan peranannya dalam masalah “sapi” ini?

    Damai…damai

  6. apa yang salah dengan sapi? kasihan si sapi? dijadikan komoditi politik

  7. Salam ‘alaykum.
    Coba tolong Pak secondprince memeriksa para perawi hadis tsb. Apakah ada ulama hadis/ulama rijal yg mengkritik salah satu perawinya? Bagaimana kritik tsb?

    Usul lain: Mohon Pak secondprince juga membahas hadis yg maknanya “bila lalat masuk ke wadah minuman, cemplungkan seluruhnya”. Sebaiknya dibahas pada tulisan tersendiri.
    Terima kasih atas bantuan analisisnya. Salam ‘alaykum.

  8. Saya pernah ingin membuat postingan dengan judul yang sama persis dengan postingan ini. Tapi saya gak berani. 😀

  9. […] saya kira.., daging sapi itu (masih) tergolong halal kok *sambil lirik-lirik pangeran kedua* Possibly related posts: (automatically generated)“pembaruan” Islam & OrientalismeBelajar […]

  10. @gentole

    Saya pernah ingin membuat postingan dengan judul yang sama persis dengan postingan ini. Tapi saya gak berani. 😀

    kanapa mas ??
    takut ketempelan “cap sesat” di jidat yah ??
    hahaha … kalau masalah ini sebabnya, sama … saya juga seringkali merasa ketakutan untuk sekedar bertanya tentang hal yang agak berbeda (dari penafsiran umum).
    saya memang pengecut (saat ini), mau dibilang apalagi 😀

    maybe someday … i hope someday …

  11. @watonosit
    Jgn berkata begitu mas. Dan jgn jg maybe someday. Nanti someday berkepanjangan akhirnya nda pernah sampai. Klu kita tak pernah buat kesalahan maka kita tak akan mengetahui mana yg benar. Nda usah tahut mas paling2 mati. Ditunggu mas

  12. Apa mungkin karna hadist itu maka orang-orang di india tidak makan daging sapi?

  13. Mohon Maaf….

    Belajarlah dulu ilmu Ushul FiQh… dan ilmu Asbabul Wurud (sebab-sebab suatu Hadist) sebelum ada berbicara/komentar tentang Hadist….

    Terlalu Berlebihan kl Membaca Hadist dari sudut Pandang Akal Fikiran anda Belaka….
    Tanpa Merujuk Pada Pemahaman yang benar….

    Kl benar anda Berminat, Menjadi Pengkaji Hadist…. Belajarlah yang banyak dulu… baca buku Tentang ilmu Hadist… Baca Kitab Fathul Baari atau semacamnya… dan tanyakan kepada Ulama yang Mengerti…

    Kecuali memang anda adalah orang yang Berniat hanya Mencara-cari Kelemahan suatu Hadist… atau memang INGKAR terhadap HADIST Rasulullah…

  14. Kaidah Emas di Dalam Mengetahui Riwayat Hadits Shahih dan Dha’if

    -Kaidah di dalam Menghukumi Suatu Hadits-

    Abu ’Umar Usamah bin Athaya bin Utsman al-Utaibi
    الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد:

    Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara Alam Semesta, Sholawat dan Salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Adapun setelah itu :

    Berikut ini merupakan kaidah-kaidah yang mesti dilalui oleh seorang peneliti hadits atau pengkritik (nuqad) ketika menghukumi suatu hadits akan keshahihan atau kedha’ifannya.

    Ketahuilah –semoga Alloh merohmatiku dan anda- bahwa menghukumi suatu hadits, baik itu keshahihan atau kedha’ifannya, melalui dua cara :

    Cara Pertama : menghukumi sanad zhahirnya saja tanpa menilai matannya.

    Cara kedua : menghukumi sanadnya secara bathin1, dimana di sini matannya juga dihukumi (atau dengan kata lain, menghukumi hadits secara keseluruhan).
    ________________________________________
    1 Diantara yang dilontarkan oleh adz-Dzahabi dari hadits-hadits Mustadrak karya al-Hakim : ”Sesungguhnya di dalam kebanyakan hadits-hadits di dalam zhahirnya baik atas syarat salah satu atau kedua-duanya [Bukhari – Muslim, pent.], dan di dalam bathin-nya memiliki suatu illat (penyakit) yang khofiyah (samar/tersembunyi) yang mu’atstsaroh (dapat mempengaruhi)” Siyaru A’lamin Nubalaa’ (XVII/174)

  15. Kaidah Emas di Dalam Mengetahui Riwayat Hadits Shahih dan Dha’if

    -Cara Pertama : Menghukumi Sanad Secara Zhahir-

    Abu ’Umar Usamah bin Athaya bin Utsman al-Utaibi
    Ada 5 hal di dalam menghukumi sanad secara zhahir :

    Pertama : Membedakan seorang perawi dengan perawi lainnya.2

    Untuk mengetahui seorang perawi ada beberapa jalan, diantaranya :
    1. Murid perawi tersebut yang menjelaskannya yang tidaklah terancukan (karena keserupaan) dengan perawi lainnya, seperti Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain yang berkata : Menceritakan kepada kami Sufyan bin ’Uyainah,….
    2. Dari jalan riwayat murid-murid seorang perawi dan guru-gurunya di dalam sanad yang dapat diketahui secara galibnya3.
    3. Seorang perawi yang diketahui dengan mulazamah (menekuni) gurunya, maka apabila perawi itu memubhamkan (menyamarkan sebagian identitas) gurunya, dapat diketahui bahwa ia adalah guru perawi yang terbedakan (dengan lainnya), dan apabila tidak maka ia adalah orang lain.

    Misalnya, Abu Nu’aim apabila meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri tidaklah menasabkannya (kepada ats-Tsauri,pent) namun apabila meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, beliau menyebutkannya4.
    Contoh berikutnya, Sulaiman bin Harb, apabila meriwayatkan dari Hammad bin Zaid tidak menasabkannya, namun apabila meriwayatkan dari Hammad bin Salamah beliau menasabkannya5.

    4. Dari jalan thobaqot6 seorang perawi dan thobaqot guru-guru dan murid-muridnya.7
    5. Adanya seorang imam mu’tabar (terkenal) yang menegaskan bahwa perawi ini adalah Fulan, dari segi tidak ada orang lain yang serupa dengannya. Contohnya : apabila didapatkan di dalam isnad Abu Dawud –misalnya- ada perawi yang mirip dengan selainnya, imam ini8 akan menunjukkan bahwa perawi yang mirip dengannya tidaklah dikeluarkan oleh Abu Dawud.
    6. Merujuk kepada kitab-kitab al-Muttafaq wal Muftariq9, kitab-kitab al-Mu’talaf wal Mukhtalaf10 dan kitab-kitab al-Musytabih11 .
    7. Apabila perawi itu adalah seorang sahabat atau diduga sebagai seorang sahabat, maka merujuk kepada kitab-kitab Shahabah12 dan kitab-kitab al-Maroosil13
    8. Apabila perawi tersebut berkunyah maka merujuk kepada kitab-kitab al-Kuna14 dan apabila berlaqob maka merujuk kepada kitab-kitab al-Alqoob15.
    9. Apabila tidak memungkinkan untuk membedakan seorang perawi dengan selainnya, maka apabila para perawi ini –atau dua perawi yang serupa- adalah perawi tsiqoot maka sanadnya shahih dengan mempertimbangkan syarat-syarat lainnya di dalam penshahihan hadits dan apabila perawi ini dho’if maka sanadnya juga dha’if. Namun apabila sebagian perawi ini dha’if (dan sebagiannya tsiqot, pent) maka bertawaqquf (mendiamkan)16 di dalam penshahihan sanad sampai diteliti apakah riwayat ini memiliki mutabi’ (penyerta) atau Syaahid? Akan datang perinciannya di dalam Cara Kedua –insya Allohu Ta’ala-.
    Kedua : Mengetahui keadilan (’adalah) seorang perawi: yang demikian ini bisa dengan kemasyhuran perawi atas sifat ’adalah-nya atau bisa juga dengan penegasan seorang imam ”mu’tabar” atas sifat ’adalah-nya, dan yang demikian ini dengan syarat seorang perawi tidak memiliki sesuatupun yang dapat menghilangkan sifat ’adalah-nya.

    Apabila seorang perawi tidak masyhur akan keadilannya dan tidak satupun dari ulama mu’tabar mentsiqohkannya, maka ada beberapa keadaan :
    1. Sejumlah perawi tsiqot meriwayatkan darinya dan tidak ada riwayat yang datang darinya diingkari maka ia tsiqoh, dan hal ini semakin diperkuat apabila ia termasuk thobaqot tabi’in senior atau pertengahan.
    2. Riwayat al-Bukhari dan Muslim pada seorang perawi (otomatis) adalah ta’dil atasnya.
    3. Terangkatnya status majhul ’ain-nya dengan riwayat seorang tsiqoh atau dua orang perawi darinya17.
    4. Apabila seorang majhul meriwayatkan hadits yang maudhu’ (palsu) atau munkar dan tidaklah ditemukan di dalam sanadnya adanya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini dituduh al-Majhul biuhdatihi (tidak diketahui status kelemahannya). [Lihat Miizanul I’tidaal (II/103), (III/91) dan (IV/21).
    5. Apabila seorang imam –diketahui bahwa imam ini tidaklah meriwayatkan melainkah hanya dari tsiqoh- meriwayatkan dari seorang perawi, maka ini merupakan tautsiq (pentsiqohan)-nya terhadap perawi itu dan penghukuman akan ke-’adalah-annya menurut imam tersebut.
    6. Penshahihan seorang imam mu’tabar terhadap suatu sanad hadits dihitung sebagai pentsiqohan terhadap seluruh perawinya.

    Ketiga : Mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi.

    Untuk mengetahui sifat dhabit seorang perawi ada dua cara, yaitu :
    • Cara Pertama : Adanya tautsiq para imam terhadap seorang perawi.
    • Cara kedua : Menelusuri riwayatnya dan menelitinya, lalu membandingkannya dengan riwayat para tsiqot huffazh. Apabila yang dominan adalah istiqomah (kesesuaian) dan muwafaqoh (keselarasan) maka perawi tersebut adalah tsiqoh dan apabila yang dominan adalah mukholafah (penyelisihan) dan munkaraat maka perawi tersebut adalah dha’if dan matruk (ditinggalkan). Namun apabila didapatkan bahwa riwayatnya ada yang mukholafah namun yang dominan adalah keselarasannya, maka ia adalah perawi yang shoduq dan husnul hadits (haditsnya hasan)18.

    Di sini ada 9 hal di dalam menghukumi seorang perawi, yaitu :
    1. Mengumpulkan pendapat-pendapat ulama yang membicarakan perawi tersebut.
    2. Menguatkan (Ta’akkud) keshahihan penisbatannya kepada mereka19.
    3. Mengetahui imam hadits yang dipandang pendapatnya (mu’tamad) dan yang tidak dipandang20.
    4. Mengetahui imam yang berbicara tentang seorang perawi, apakah ia seorang murid perawi, ataukah sesama penduduk negeri yang sama, atau seorang yang hidup semasanya (sahabat) ataukah orang yang belakangan darinya.
    5. Mengetahui derajat imam (yang membicarakan perawi), apakah termasuk mu’tadil (pertengahan di dalam menilai perawi), mutasaahil (terlalu lunak di dalam menilai perawi) atau mutasyaddid (terlalu ketat di dalam menilai perawi).
    6. Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil apabila ada.
    7. Perincian jarh atau naqdh-nya (bantahan yang menggugurkan penilaian) seorang mu’addil (ulama yang menta’dil).
    8. Mengetahui maksud-maksud para imam dari lafazh-lafazh, ungkapan-ungkapan dan harokaat mereka yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil21.
    9. Menjama’ (mengkompromikan) dan mentarjih (menguatkan salah satunya) apabila pendapat para imam saling kontradiksi di dalam menilai seorang perawi (Kesimpulan pendapat terhadap perawi).

    Keempat : Mengetahui hubungan seorang perawi dengan syaikhnya, hal ini memiliki beberapa gambaran :
    1. Apabila syaikhnya termasuk perawi yang mukhtalith (tercampur-baur hafalannya) atau taghoyar (berubah) dengan perubahan yang mempengaruhi riwayatnya, maka dilihat apakah perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya ataukah setelahnya?
    Apabila perawi ini mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya, dan syaikh ini asalnya maqbul (diterima) riwayatnya maka diterima riwayatnya.
    Apabila perawi ini mendengar darinya setelah ikhtilath atau taghoyar-nya maka ditolak riwayatkan dan dihukumi sanadnya dha’if.
    Apabila tidak diketahui apakah mendengarnya perawi dari syaikhnya ini sebelum ikhtilath ataukah setelahnya, atau mendengar darinya sebelum ikhtilath dan setelahnya dan tidaklah dapat dibedakan sima’ (mendengar)-nya dari syaikhnya, maka ditolak riwayatnya dan dihukumi sanadnya dha’if22.
    Contohnya : ’Atho` bin as-Saa`ib perawi yang tsiqoh namun mukhtalith, meriwayatkan darinya Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid sebelum ikhtilath-nya, dan meriwayatkan darinya Jarir, Khalid bin ‘Abdillah dan Ibnu ‘Aliyah setelah ikhtilath-nya, serta meriwayatkan darinya Hammad bin Salamah sebelum dan setelah ikhtilath-nya.
    2. Mengetahui perihal perawi beserta syaikhnya, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) gurunya ataukah tidak? Apabila ia dha’if maka sanadnya otomatis dha’if, seperti riwayat Sufyan bin Husain al-Wasithi dari az-Zuhri23.
    3. Mengetahui perihal perawi terhadap suatu penduduk negeri, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) mereka ataukah tidak?
    Apabila ia dha’if di dalam periwayatan mereka sedangkan dia meriwayatkan dari mereka maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat Isma’il bin ‘Iyasy dari penduduk Hijaz, maka riwayatnya dha’if24.
    4. Mengetahui periwayatan perawi terhadap suatu penduduk negeri apabila mereka mengambil periwayatan darinya, apakah mereka (penduduk negeri) adalah dhu’afa` di dalam (periwayatan) darinya ataukah tidak? 25
    Apabila mereka (penduduk suatu negeri) lemah di dalam (periwayatan) darinya sedangkan mereka meriwayatkan darinya maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad al-Khurosani, maka riwayatnya dha’if.

    Kelima : Mengetahui ittishol (bersambungnya) sanad dari inqitho’ (keterputusan)-nya, dalam hal ini ada 7 keadaan :
    1. Apabila rijaal (para perawi) sanad adalah tsiqoot dan mereka menegaskan secara tegas akan sima’ (mendengar)-nya, atau dengan yang dihukumi dengannya maka sanadnya muttashil (bersambung)26.
    2. Apabila sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi itu sezaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sezaman dengan syaikhnya maka sanadnya munqothi’ (terputus).
    3. Apabila seorang perawi sezaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqothi’.
    Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sezaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits).
    4. Apabila seorang perawi bertemu dengan syaikhnya, maka diperiksa apakah ia mendengar darinya ataukah tidak mendengar ataukah tidak diketahui akan sima’ (mendengarnya)? Apabila perawi itu belum pernah mendengar dari gurunya maka sanadnya munqothi’.
    Apabila tidak diketahui maka hukum asalnya adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan mendengar.
    5. Apabila seorang perawi mendengar dari gurunya, maka diperiksa apakah perawi itu termasuk mudallis ataukah tidak? Apabila bukan seorang mudallis maka sanadnya muttashil.
    6. Apabila perawi itu adalah mudallis dan meriwayatkan dengan ‘an’anah atau semisalnya dari syaikh yang ia mendengar darinya atau yang dihukumi perawi itu mendengar darinya, (diperiksa) :
    Apabila perawi itu jarang melakukan tadlis seperti Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi atau tidak banyak (sedikit) melakukan tadlis seperti Qotadah, A’masy dan Abu Ishaq al-Subai’i maka dihukumi sanadnya muttashil selama tidak jelas adanya khilaf (pendapat yang menyelisihi)-nya.
    Apabila perawi itu termasuk yang sering melakukan tadlis seperti Ibnu Juraij terhadap periwayatan selain ‘Atho`, atau seperti Baqiyah bin Walid, maka bertawaqquf (mendiamkan) atas status ittishal-nya sanad dan dihukumi dengan dha’if sampai menjadi jelas keadaan sanad dengan adanya jalan-jalan riwayat lainnya.
    7. Apabila perawi sezaman dengan syaikhnya dan memungkinkan bertemu dan mendengar darinya namun tidak diketahui ia mendengar darinya, namun ia mayshur (terkenal) dengan melakukan irsal maka sanadnya dihukumi dengan munqothi’. Namun apabila ia tidak masyhur melakukan irsal maka sanadnya muttashil lagi shahih selama tidak datang indikasi yang menjelaskan ketiadaan mendengarnya.

    Hasil (Kesimpulan) Cara Pertama :
    Apabila suatu sanad selamat dari keseluruhan ‘ilal (cacat/penyakit) yang zhahir (tampak), telah tsabat (tetap) akan sifat ’adalah dan dhabit para perawinya, dan telah shahih akan sima’ (mendengar)-nya perawi antara satu dengan lainnya, maka sanadnya shahih secara zhahir.
    Apabila didapatkan sebuah ’illah (cacat) dari cacat-cacat zhahir (di atas) maka sanadnya ditolak tidak diterima.
    Apabila kedha’ifan di dalam sanad lebih dekat dan memiliki kemungkinan (shahih) maka akan menjadi sholih (baik) dengan mutaba’at (penyerta) dan syawahid.
    ________________________________________
    1 Diantara yang dilontarkan oleh adz-Dzahabi dari hadits-hadits Mustadrak karya al-Hakim : ”Sesungguhnya di dalam kebanyakan hadits-hadits di dalam zhahirnya baik atas syarat salah satu atau kedua-duanya [Bukhari – Muslim, pent.], dan di dalam bathin-nya memiliki suatu illat (penyakit) yang khofiyah (samar/tersembunyi) yang mu’atstsaroh (dapat mempengaruhi)” Siyaru A’lamin Nubalaa’ (XVII/174)
    2 Buku-buku Tarojim (biografi perawi) sangatlah banyak dan bermacam-macam :
    1. Diantaranya adalah biografi yang khusus membahas perawi tsiqoot (kredibel/terpercaya) seperti kitab ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, dan ada pula yang khusus membahas perawi dhu’afaa` (plural dari dha’if/lemah) seperti kitab adh-Dhu’afaa` ash-Shoghir karya Imam Bukhari. Diantaranya pula ada yang mencakup dan menghimpun perawi tsiqot dan selainnya seperti at-Taarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari.
    2. Diantaranya adalah biografi yang umum tidak khusus hanya untuk rijal (perawi) suatu kitab atau kitab-kitab yang tertentu, seperti at-Taarikh al-Kabir karya Bukhari, Al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, dan adapula yang khusus membahas perawi suatu kitab tertentu seperti Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi.
    3. Diantaranya adalah biografi yang khusus disusun menurut negeri tertentu seperti kitab Taarikh Jurjaan karya al-Jurjaani, dan adapula yang tidak dikhususkan seperti ini sebagaimana kitab-kitab lainnya yang banyak.
    4. Diantaranya adalah biografi yang disusun menurut tingkatan thobaqoot seperti Thobaqootul Kubroo karya Ibnu Sa’d, ada pula yang disusun berdasarkan nama-nama perawi sebagaimana mayoritas buku biografi, sebagian lagi ada yang disusun berdasarkan al-Wafiyaat seperti kitab al-Wafiyaat karya ash-Shofadi.
    5. Diantaranya adalah biografi yang disusun khusus untuk syuyukh (guru-guru) sebagian imam (disebut Ma’aajim asy-Syuyukh), ada yang disusun berdasarkan keterangan perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali hanya seorang perawi saja, seperti kitab al-Munfaridaat dan al-Wihdaan, ada pula yang disusun berdasarkan riwayat al-Akabir (perawi senior) dari al-Ashoghir (perawi junior), As-Sabiq wal Lahiq, ada juga buku-buku al-Ansaab (nasab-nasab perawi), buku-buku riwayat seorang anak dari bapaknya (al-Abnaa` minal Aaba`) atau sebaliknya, dan perawi yang meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, serta buku-buku as-Su`alaat dan al-’Ilal.
    Penyebutan contoh-contohnya akan sangat panjang
    3 Yang demikian ini dengan merujuk kepada buku-buku khusus yang membahas tentangnya, seperti Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar, Taarikh ad-Dimasyqi karya Ibnu ’Asaakir, Taarikh Baghdad karya al-Khathib, at-Taqyid karya Ibnu Nuqthoh dan Dzailut Taqyid karya at-Taqi al-Faasi…
    4 Lihat pembahasan anggun yang ditulis oleh adz-Dzahabi di dalam mengangkat keserupaan antara dua Sufyan dan dua Hammad, di Siyari A’laamin Nubalaa` (VII/44-466)
    5 Lihat Fathul Baari (XIII/285) kitab al-I’tisham, bab Ma Yakrohu min Katsrotis Su`aal no. 7293
    6 Diantara buku bermanfaat tentang pengenalan Thobaqot adalah : Thobaqot Khalifah bin Khayath, Thobaqot Ibnu Sa’d, ats-Tsiqqot karya Ibnu Hibban, al-Mu’ayyan fi Thobaqoot al-Muhadditsin karya adz-Dzahabi, Tadzkirotul Huffazh karya adz-Dzahabi, Taqriibut Tahdziib karya al-Hafizh Ibnu Hajar,…
    7 Misalnya : Tholq bin Mu’awiyah dari Sufyan ats-Tsauri… terdapat nama seperti ini pada dua orang, yaitu : Tholq bin Mu’awiyah an-Nakho’i seorang tabi’in senior Mukhodhrom*, dan Tholq bin Mu’awiyah bin Yazid dari thobaqoh ke-7. Maka perawi dari Sufyan tidaklah mungkin seorang tabi’in mukhodrom, maka perawi dari Sufyan bisa dipastikan adalah Ibnu Yazid. Lihat Taqribut Tahdzib (hal. 22 – ar-Risalah)
    Keterangan : * Mukhodhrom memiliki 3 makna :
    1. Man Lam Yakhtatan (orang yang tidak berkhitan). Namun bukan ini yang dimaksud.
    2. Man Lam Yu’rof Abawaahu (orang yang tidak diketahui kedua orang tuanya), pengertian ini juga kurang tepat.
    3. Man Adrokal Jaahiliyah wal Islam (orang yang menemui zaman jahiliyah dan Islam), dan makna ini yang dituju. Wallohu a’lam. Pent
    8 Diantara buku bermanfaat mengenai hal ini adalah Tahdzibul Kamal dan Furu’-nya serta Ta’jiilul Manfa’ah karya al-Hafizh Ibnu Hajar
    9 Seperti : al-Muttafaq wal Muftariq karya al-Khathib al-Baghdadi, dan Muwadhdhoh Awhaam al-Jam’i wat Tafriiq karya al-Khathib juga,…
    10 Seperti : al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya ’Abdul Ghoni bin Sa’id al-Azdi, al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya ad-Daaruquthni, al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya Ibnu Thohir al-Qoisarooni, dan yang paling lengkap dan luas adalah kitab al-Ikmaal karya al-Amiir Ibnu Makuulaa.
    11 Seperti : Talkhishul Mutasyaabih karya al-Khathib, Taaliy Talkhish al-Mutasyaabih karya beliau juga, Musytabihun Nisbah karya al-Hafizh ’Abdul Ghoni al-Azdi, Kitab al-Musytabih karya al-Hafizh adz-Dzahabi, kitab Tabshiirul Mutanabbi bi Tahriiril Musytabih karya al-Hafizh Ibnu Hajar dan kitab Taudhihul Musytabih karya Ibnu Nashiruddin
    12 Buku yang terkenal diantaranya adalah Ma’rifatu ash-Shohabah karya Ibu Nu’aim, Mu’jam ash-Shohabah karya Ibnu Qoni’, al-Istii’aab karya Ibnu ’Abdil Barr, Usudul Ghoobah karya Ibnu Katsir dan al-Ishobah karya Ibnu Hajar.
    13 Seperti kitab al-Maroosiil karya Abu Dawud, al-Maroosiil karya Ibnu Abi Hatim dan Tuhfatut Tahshil karya al-Allaa`i.
    14 Misalnya : kitab al-Kunaa karya Imam al-Bukhari, al-Kunaa karya Imam Muslim, al-Kunaa wal Asmaa` karya ad-Daulaabi, kitab al-Kunaa karya Abu Ahmad al-Haakim dan al-Muntaqo fi Sardil Kunaa karya adz-Dzahabi.
    15 Seperti : kitab Fathul Baab fil Kunaa wal Alqoob karya Ibnu Mandah, kitab Nuzhatul Albaab fil Alqoob karya al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mizzi telah mengkhususkannya di dalam kitabnya Tahdzibul Kamal sebuah pasal di akhir bukunya tentang alqoob, demikian pula dengan al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Tahdzib dan Taqrib-nya
    16 at-Tawaqquf itu bermakna : tidak menerima sanad, yaitu menghukumi kedhaifannya.
    17 Demikian pula terangkat majhul ’ain-nya dengan pentsiqohan seorang ulama mu’tabar atau ta’dil dari imam mu’tabar.
    18 Lihat : at-Tankil karya al-‘Allamah al-Mu’allimi (I/66-67), Siyaru A’laamin Nubalaa` (IX/429,95), Mizanul I’tidal (I/521,405), (II/415-41) dan (IV/188,103).
    19 Menguatkan keshahihan nisbat Jarh dan Ta’dil oleh seorang imam yang berbicara tentangya baik secara sanad maupun matannya. Adapun secara matan, jatuhnya kesalahan di dalam menukil dari para imam, atau menukil secara makna yang diperhitungkan sebagai kekacauan makna, inilah yang dimaksudkan oleh imam yang membicarakannya.
    20 Lihat kitab : ”Dzikru man Yu’tamadu qouluhu fil Jarhi wat Ta’dil karya al-Hafizh adz-Dzahabi dan risalah al-Hafizh as-Sakohwi yang berjudul al-Mutakallamuna fir Rijaal.
    21 Lihatlah di dalam masalah ini pasal-pasal yang berkaitan dengannya pada buku-buku mushtholah seperti Fathul Mughits karya as-Sakhowi, Syarh Alfaazhu Jarh an-Naadiroh dan Syarh Alfaazhut Ta’diil an-Naadiroh karya DR. Sa’di al-Hasyimi serta Dhowabith al-Jarh wat Ta’dil karya Syaikh ’Abdul ’Aziz al-’Abdul Lathif
    22 Lihat macam semisal ini : al-Ightibath bi Ma’rifati man Ruwiya bil Ikhtilath karya Sabth Ibnu al-’Ajami, al-Kawaakibu an-Niiroot fi Ma’rifati man Ikhtalatho minar Ruwaat karya Ibnu al-Kiyaal dan Syarh al-’Ilal kara Ibnu Rojab (II/555-598 : DR. ’Itr).
    23 Lihat macam semisal ini : ats-Tsiqoot alladziina Dho’afuu fii Ba’dhi Syaikhihim karya guru kami, DR. Shalih ar-Rifa’i dan Syarh ‘Ilalit Turmudzi karya Ibnu Rojab (II/621-672).
    24 Isma’il bin ‘Iyasy dha’if di dalam periwayatan selain dari penduduk negerinya, seperti riwayat penduduk Hijaz, Mesir maupun Iraq.
    25 Lihat macam semisal ini : Syarh al-‘Ilal karya Ibnu Rojab (II/614-612).
    26 Inilah yang asal selama tidak jelas ada khilafnya, dan yang demikian ini dengan meneliti jalan-jalan hadits sebagaimana akan datang penjelasannya –insya Alloh- dalam cara kedua.

  16. Kaidah Emas di Dalam Mengetahui Riwayat Hadits Shahih dan Dha’if

    -Cara Kedua: Menghukumi Sanad secara bathin-

    Abu ’Umar Usamah bin Athaya bin Utsman al-Utaibi

    Pertama : Cara pertama diaplikasikan terhadap sanad hadits yang dikehendaki penghukuman atasnya secara cermat.

    Kedua : Dihimpun jalan-jalan hadits yang satu dari Mazhoonni (sumber perkiraan)-nya.
    1. Dari sahabat itu sendiri, akan diketahui al-Mutaba’ah dan al-Mukholafah, diketahui yang syadz dan illat.
    2. Dari sahabat yang meriwayatkan hadits itu sendiri –apabila ada pada mereka atau salah seorangnya- maka termasuk syawahid, dan dapat dihubungkan dengannya hadits-hadits mursal, mu’dhol, mauquf dan maqthu’ yang dihukumi marfu’ atasnya. Untuk hadits yang dapat menjadi shalih karena syawahid memiliki syarat, yang penting diantaranya adalah : hendaknya hadits itu tidak terlalu dha’if (syadid), tidak syadz dan tidak munkar. Dan diterapkan cara pertama untuk setiap sanad mutaba’aat dan syawaahid serta mukholafaat. Peringatan : Takhrij itu memiliki jalan-jalan yang diketahui perinciannya dari sumber perkiraannya.27

    Ketiga : Menghimpun pendapat-pendapat para imam ahli hadits dan illat hadits28 seperti Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu Dawud, al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasa`i, ad-Daaruquthni, al-Khothib al-Baghdadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rojab, al-Hafizh al-Iroqi, Ibnu Hajar, Ibnu Mulaqqin, Ahmad Syakir, al-Albani, dan selain mereka terhadap thuruq (metode-metode) yang dihimpun hingga menjadi mudah bagi anda untuk memahami metode para imam ahli hadits di dalam naqd (mengkritik hadits) dan kaifiyat (cara) di dalam menghukumi sanad-sanad hadits, dan hingga anda dapat memetik faidah dari pendapat-pendapat mereka mengenai masalah yang sulit atas anda, dan juga supaya anda dapat mengetahui kapasitas kelemahan diri anda di hadapan para imam yang ahli lagi mendalam ilmunya.

    Keempat : Ini merupakan cara kedua yang global dan memerlukan tafshil (perincian) dan tahrir (penegasan istilah), mudah-mudahan masalah ini dapat dibahas dalam waktu dekat –insya Alloh Ta’ala-.

    Kelima : Ketahuilah, bahwa menghukumi suatu hadits adalah perkara yang paling sulit dan rumit, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali hanya ulama ahli hadits senior. Maka berhati-hatilah di dalam penghukuman hadits dan janganlah tergesa-gesa. Jadikanlah apa yang saya tulis ini adalah suatu pelatihan dan pembelajaran saja bagi anda sampai anda menjadi mantap di dalam ilmu hadits. Perbanyaklah membaca buku-buku mushtholahul hadits, ilalul hadits, biografi para perawi dan biografi para imam, semoga Alloh memberikan taufiq-Nya atasku dan atas anda kepada apa yang Ia cintai dan Ridhai.
    والله أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
    Hanya Allohlah yang lebih tahu. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau semuanya.
    ________________________________________
    27 Diantara sumbernya adalah : Kitabut Takhriij karya DR. Bakr ’Abdush Shomad ’Aabid, at-Takhirj wa Diroosatul Asaaniid karya Mahmud ath-Thohhan dan Kitabu at-Ta`shil karya DR. Bakr Abu Zaid.
    28 Diantara buku tersebut adalah : Kitab al-’Ilal karya Ibnul Madini, al-’Ilal wa Ma’rifatur Rijaal karya Imam Ahmad, al-’Ilal karya Ibnu Abi Hatim dan al-’Ilal karya ad-Daaruquthni. Sebagai tambahan juga buku-buku ar-Rijaal (perawi hadits) saja yang mencakup naqd (kritik) para imam terhadap riwayat-riwayat yang jumlahnya banyak sekali.

  17. @ariss
    paradoks, hmm banyak ya
    masa’ sih 🙂

    @abu rahat

    Hadis Rasul tdk menyatakan haram jd tdk ada kontradiksi

    bukannya yang berpenyakit itu haram 🙂
    ada hadis lain kok mas yang matannya menggunakan kata-kata “janganlah memakan dagingnya”

    Blm tentu bahwa semua makanan yg halal itu tdk mempunyai efek negatif (cth: bh anggur bs menjadi minuman keras. Beras bs jd sake. Ikan ada yg beracun dlsb)

    makanya minuman keras itu haram, dan yang beracun juga haram.

    Pd Hadis Rasul hanya memberikan peringatan kpd kita bahwa dlm daging sapi ada mengandung sesuatu yg akan menyebabkan penyakit.

    Benar sekali hadis tersebut memang menyatakan demikian.

    Ada penelitian bahwa dlm daging sapi ada mengandung bibit CACING PITA. Jd apabila memasaknya hrs betul matang beda dg daging kambing.

    Kalau begitu bukannya malah nggak jadi masalah tuh
    kan tinggal masak dengan matang saja maka penyakitnya hilang.

    Jadi menurut saya tdk ada kontradiksi antara ayat dan hadis. Cuma ada peringatan dari Rasul agar hati.

    Bagi saya masih kontradiksi kok Mas, Hadis berkata daging sapi mengandung penyakit bagi manusia
    Al Quran menganjurkan untuk memakan daging sapi.

    Jd menurut saya Firman Allah menentukan kemudian dijelaskan oleh Rasul bahwa yg dihalalkan itu jg hrs kita hati2 memakannya.

    sebenarnya Mas setiap daging apapun yang belum dimasak itu pasti mengandung bibit penyakit. Kalau memang itu yang dimaksud maka tidak terbatas pada sapi saja kan.

    @nurma
    ada hubungannya kok anime-anime itu :mrgreen:
    itu serangan buat kaum konservatif

    @Khalisa

    Sekali lagi tolok ukur sahih tidaknya suatu hadis tidak saja dari segi sanadnya, tetapi juga tidak boleh bertentangan dengan nash2 AlQuran.

    kalau hadis diatas bertentangan tidak dengan Al Quran ?

    @armand
    Maaf saya nggak tahu motivasi apa soal hadis ini 🙂

    @hilda
    Si Sapi mah nggak tahu menahu soal politik
    *ngawur abis*

    @Badari
    sayangnya hadis itu cukup jelas shahihnya
    soal hadis lalat itu, hmmm saya pikir-pikir dulu ya 🙂

    @gentole
    ah saya mengerti ketidakberanian itu :mrgreen:

    @watonist
    takut berarti ada yang ditakuti
    *ya iyalah kok ngawur terus sih saya*
    tulis aja Mas, kan nggak ketahuan siapa-siapa

    @aburahat
    mati, wah kok sampai ke mati
    *jadi takut juga*

    @aikon
    …gubrak
    *kok saya nggak kepikiran ya*

    @riady
    Sudah kok Mas, saya sudah pernah belajar Ushul Fiqh dan asbabul wurud
    Soal hadis di atas, saya belum menemukan asbabul wurudnya, saya berterimakasih kalau Mas bisa membantu menampilkan asbabul wurudnya

    Terlalu Berlebihan kl Membaca Hadist dari sudut Pandang Akal Fikiran anda Belaka….
    Tanpa Merujuk Pada Pemahaman yang benar….

    Saya tidak menggunakan akal belaka Mas
    lihat baik-baik, hadis ditu saya sertakan takhrijnya dan ayat Al Quran yang relevan, kemudian saya pikirkan dengan akal saya. Bukannya Mas yang asal bicara belaka 🙂
    Saya ingin sekali ditunjukkan pemahaman yang benar soal hadis di atas

    Kl benar anda Berminat, Menjadi Pengkaji Hadist…. Belajarlah yang banyak dulu… baca buku Tentang ilmu Hadist… Baca Kitab Fathul Baari atau semacamnya… dan tanyakan kepada Ulama yang Mengerti…

    Yap kita sama-sama belajar dan saya yakin ilmu saya nggak lebih rendah dari ilmu Mas. memangnya hadis di atas ada dalam fath Al bari. Jangan asal klaim dong tolong buktikan 🙂

    Kecuali memang anda adalah orang yang Berniat hanya Mencara-cari Kelemahan suatu Hadist… atau memang INGKAR terhadap HADIST Rasulullah…

    Baru baca blog ini ya, apa nggak lihat ada banyak tulisan saya yang berhujjah dengan hadis. lihat kategori hadis kalau nggak percaya

    Oh iya Mas, anda nggak perlu repot-repot copy paste tulisan Kaidah Emas di Dalam Mengetahui Riwayat Hadits Shahih dan Dha’if. Saya udah lama punya PDF nya dan udah saya baca berkali-kali 🙂
    Salam

  18. sya stuju dngan statementnya.
    maksud nabi ialah memberi peringatan, selalu berhati-hati. karena baik pun jika tidak berhati-hati akan berbahaya.
    kenapa hanya sapi saja.
    sapi saja sudah cukup mewakili hewan yang lainnya.
    mungkin saja hadis itu bertentangan. karena dia dari nabi. dan dabi juga pernah salah.

  19. @fza
    Maaf sdr fza, Nabi tidak pernah salah dan tidak mungkin berbuat Salah. Kita aja yang bodoh menilai serta mentafsirkan hadits tsb. diatas.

  20. @SP
    Saya mau tanya, adakah tafsiran dlm sebuah kitab tertentu di dalam menjelaskan hadis tersebut di atas ? Karena jikapun hadis tersebut sahih (matannya), tentunya diperlukan penjelasan terhadap 2 hal dalam hadis di atas,
    pertama, bukankah Lemak Hewani itu juga kurang baik utk kesehatan ?
    kedua, daging sapi membawa penyakit ?…kalau dimakan tdk dimasak matang, tentunya berpenyakit,…
    waah memang hadis ini kandungannya masih sangat dibutuhkan penjelasan lebih jauh.

    Syukron

  21. @fza
    Astagfirullah.

  22. @all
    Mari kita anggap hadits tsb atau kata2 tsb diucapkan oleh Rasul berarti shahih. Kalau benar dari Rasul maka permasalahan terletak pada daging sapi MENGANDUNG PENYAKIT.
    Baiknya SP harus jelaskan ucapan dalam lafadz bahasa Arab agar jelas maknanya. Apakah DAGING SAPI MENGANDUNG PENYAKIT atau DAGING SAPI MENGANDUNG BAKTERI YANG MENYEBABKAN KITA SAKIT.
    Kalau daging mengandung penyakit itu wajar. Daging manusia aja mengandung penyakit. Tapi kalau daging sapi mengadung bibit/bakteri/kuman yang menyebabkan kita manusia sakit. Maka sabda Rasul tsb merupakan perengatan bagi kita agar hati2, kalau perlu diadakan penyelidikan terhadap bibit penyakit yang ada didaging sapi. Jadi sabda beliau tsb adalah peringatan bagi kita. Wasalam

  23. Eh Eh Eh udah udah. koq pada ribut cih masalah gini aja. Kan gampang. Emang bener nash-nash ini bernuansa kontradiksi. Tapi sebetulnya nuansa kontradiksi itu hanya fatamorgana. penyebabnya cuma pemahaman kita yang cetek.
    Penelitian banyak banget ngebuktiin kalo daging sapi emang banyak ngandung penyakit, antraks tuch salah duanya. eh salah satunya.Kalo susu sapi sih segudang manfaatnya. Jangan percaya sama tulisan yang akhir-akhir ini mencuat yang bilang susu sapi itu bukan susu buat manusia.
    So, Al-Qur`an dan Al-Hadits itu selalu bener.

  24. Wait-wait-wait, udah pada kenal blom ma q. Q Brilly El-Rasheed anak LA (Lamongan Asli) Jawa Timur. Q penulis artikel Islami. Kalo pengen baca tulisanku ada di majalah Ar-Risalah rubrik Maqalah edisi desember 2009 dan januari 2010. jangan lupa kunjungi juga situs ane brillycinta.blogspot.com

  25. @brilly

    So, Alquran selalu benar dan Al-Hadits yg nyampe ke kita msh perlu pengujian akan kebenarannya.

    Salam

  26. Salam,

    1. Hadits ini tidak menjelaskan bahwa dagingnya itu mengandung penyakit – apakah ketika dimakan, di buat sate Maranggi, di rawon, di rendang, atau di buat hot dog,

    2. Saya jadi ingin tahu para perawinya, jangan jangan salah satunya ada makelar kambing, biasalah dalam business,…

    3.Atau yg lebih mungkin, hadits ini disahihkan oleh Al Bani, karena waktu beliau meneliti hadits ini darah tingginya lagi kumat.

  27. @atasku

    :mrgreen:

  28. tolong dong dicarikan matan hadits yang kontradiksi dengan hadits lain ??

  29. Banyak hadist yang dicap “shohih” yang akhirnya mempermalukan orang Islam dihadapan orang2 kafir (non muslim), seperti contohnya hadist yang menyatakan Rosul menikahi Aisyah waktu Aisyah baru berumur 6 tahun; atau, hadist lain yang menyatakan haram memakai perhiasan emas bagi kaum pria; tangan kiri adalah tangan iblis, Alloh SWT kedua Tangan-Nya adalah tangan kanan; Musik & Lukisan/gambar itu haram; dan masih banyak lagi hadist2 aneh yang lainnya.
    BACK TO AL-QURANUL KARIM..
    Sesungguhnya Islam akan maju hanya apabila kembali ke rujukan dasarnya, kitab sucinya, yakni Al-Quran.. kitab2 hadist bukanlah kitab suci, tidak ada jaminan bahwa segala yang tercantum di kitab2 hadist (meskipun yang dicap shohih) itu adalah benar dari Nabi. Terbukti dalam sejarah bahwa hanya Al-Quran yang sungguh2 diwariskan oleh Nabi SAW secara langsung kepada kita semua…

  30. Makanya hapus saja label “sahih” pada kitab2 hadis spt Bukhori & Muslim krn isinya cukup banyak yg bertentangan dg AlQuran terutama berkaitan dg pribadi Nabi saw.
    Label “sahih” hanya akan menjadi senjata makan tuan ketika berhadapan dg non muslim yg memusuhi Islam !

  31. @ikhwanoel

    saya setuju dgn anda, bung.. karena memang faktanya banyak orang yang jadi mualaf karena Al Qur’an, namun sebaliknya justru banyak yang murtad gara-gara hadist..
    Berarti letak ketidak-beresannya ada pada hadist… 🙂

  32. Dear Second Prince,

    Hadits ini mengingatkan aku pada “Rabbit Starvation Syndrome”.

    Saat suku Indian di Amerika masih hidup berburu, namun binatang buruan yang besar langka,mereka terkena sindroma rabbit starvation.
    Dalam sepekan mereka akan merasa .”…..sakit kepala, kelelahan, ketidaknyamanan samar-samar. Jika ada cukup kelinci, orang-orang makan sampai perut mereka buncit, tetapi tidak peduli berapa banyak mereka makan mereka merasa tidak puas”
    http://backacrosstheline.blogspot.com/2007/09/rabbit-starvation-syndrome.html
    Para Mujahiddin di Afganistan saat bertempur mereka membawa lemak yang sudah dikeringkan di potong seperti dadu. Saat mereka mereka makan, lemak kering itu dipanaskan, dicairkan dicampur roti atau daging.
    Suku Indian Amerika juga hanya mengambil lemak dikeringkan dijadikan “pemmican”. Saat mereka berburu bison, seringkali dagingnya ditinggal atau dikasihkan pada anjing, lemaknya yang mereka ambil. Mereka belajar dari alam kalau terlalu banyak makan “lean meat” akan menjadi sakit.

    Dari dunia Bina Raga
    Karena daging sapi sudah dipisahkan dengan lemaknya maka diskusi kita tinggallah “lean meat” yang isinya mostly adalah protein.

    “When you eat too much protein, your body can become overwhelmed by the task of digesting it. Unlike fats, which are cleanly burned in your cells, your body will try to oxidize the excess protein in your liver. This produces several major toxins that can decrease your performance and damage your health.”

    Mungkin bermanfaat membaca “The Toxins in Meat Every Biohacker & Paleo Dieter Should Know”
    http://www.bulletproofexec.com/the-toxins-in-meat-every-biohacker-paleo-dieter-should-know/

    Semoga tulisan ini bisa mencerahkan betapa toxic nya “lean meat”, namun bila sudah dicampur dengan lemak mereka akan menyehatkan.

    BTW, mengapa tak ada yang menggugat lemak sapi…?

  33. Lemak sapi masih ada yang pro dan kontra. Jadi kalau ada yang menggugat ya wajar saja.

    Kebetulan ada penelitian tentang bahaya daging ikan kering dengan lemak yang dimeringkan. Kalau tidak salah siiih, proses pencuciannya yang harus dijaga supaya lemak kering tidak basah.

    Orang Cina dahulu terkenal suka membawa bekal ikan kering. Biasanya dalam perjalanan jauh mereka menggorengnya bila lapar. Selain tahan lama ikan kering rendah lemak tapi cukup mengandung protein ikan yang sehat.

    Mengapa tidak ada yang menggugat ikan asap…?

  34. Semoga tulisanku bisa membuka wacana bahwa fatless meat atau yang dikenal dengan “lean meat” yang selalu diwacanakan penganut diet rendah lemak adalah berbahaya.

    Mengenai lemak sapi,maupun lemak pada susu sapi……
    LEMAK JENUH TAK ADA HUBUNGANYA DENGAN PENYAKIT JANTUNG DAN STROKE.

    Ini adalah hasil studi yang diumumkan bulan Maret 2010 dimuat dalam American Jurnal of Cinical Nutrition. Studi ini mengumpulkan 21 penelitian tentang lemak jenuh. Design studi adalah “follow up”, selama 5-23 tahun terhadap 347,747 subjects . “…..tak ada bukti yang signifikan untuk menyatakan bahwa asupan lemak jenuh ada hubungan dengan penyakit jantung koroner dan stroke ”
    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20071648

    Kalau lemak jenuh begitu berbahayanya, maka bayi-bayi kita sudah pada tewas karena kandungan lemak jenuh pada ASI adalah 55%.

  35. Misal ada hadis yang perawinya tsiqat dan hadisnya sahih tapi isinya tidak bisa diterima akal dan bertentangan quran. Trus kedudukan perawi yang meriwayatkan hadis itu gimana apakah masih dianggap tsiqat meskipun isi hadis bertentangan akal dan quran.

Tinggalkan komentar