Kedustaan Al Amiry : Jima’ Melalui Dubur Tidak Membatalkan Puasa Dalam Mazhab Syi’ah

Kedustaan Al Amiry : Jima’ Melalui Dubur Tidak Membatalkan Puasa Dalam Mazhab Syi’ah

Untuk kesekian kali-nya orang yang menyebut dirinya Al Amiry ini membuat kedustaan atas mazhab Syi’ah. Kali ini ia menyatakan kalau dalam mazhab Syi’ah jima’ melalui dubur itu tidak membatalkan puasa. Kami akan menunjukkan kepada para pembaca bahwa Al Amiry ini telah berdusta atas mazhab Syi’ah.

Tetapi sebelum masuk ke pembahasan ada baiknya kami menyatakan dengan tegas mengenai i’tiqad [keyakinan] kami mengenai hukum “mendatangi istri pada duburnya”. Di sisi kami berdasarkan pendapat yang rajih hukumnya haram. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadis dengan sanad yang shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kami menekankan hal ini agar para pembaca tidak salah paham setelah membaca tulisan ini. Kami membela mazhab Syi’ah atas kedustaan dari orang-orang seperti Al Amiry maka bukan berarti kami menyepakati pendapat mazhab Syi’ah dalam hal ini.

.

.

.

Pembahasan

Al Amiry membawakan dua riwayat dalam kitab Tahdzib Al Ahkam Syaikh Ath Thuusiy. Al Amiry berkata

dusta amiry1

Kedua riwayat ini sanadnya dhaif, cukup banyak para ulama Syi’ah yang mendhaifkannya dan mereka tidak berhujjah dengannya. Dan memang berdasarkan kaidah ilmu hadis dalam mazhab Syi’ah riwayat tersebut memang dhaif.

Al Amiry tidak menukil sanad lengkap kedua riwayat tersebut karena jika ia menukil sanad riwayat tersebut maka sangat jelas kedhaifannya bahkan di mata orang awam Syi’ah sekalipun. Berikut sanad lengkap kedua riwayat tersebut

.

.

Riwayat Pertama

Al Majlisi1

عنه عن بعض الكوفيين يرفعه إلى أبي عبد الله عليه السلام قال: في الرجل يأتي المرأة في دبرها وهي صائمة قال: لا ينقض صومها وليس عليها غسل

Darinya dari sebagian orang-orang Kufah yang merafa’kannya kepada Abu Abdillah [‘alaihis salaam] yang berkata “tentang seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada duburnya ketika berpuasa”. Ia berkata “tidak membatalkan puasanya dan tidak wajib mandi” [Tahdzib Al Ahkam 4/319 no 43]

Riwayat di atas sanadnya dhaif karena perawi yang mubham tidak diketahui siapa orang-orang kufah tersebut dan riwayat tersebut mursal karena lafaz “merafa’kan” itu bermakna menyambungkan kepada Abu Abdullah dan secara zhahir lafaz ini digunakan pada riwayat yang terputus sanadnya. Al Majlisiy dalam Malaadz Al Akhyaar 7/151 no 43 menyatakan riwayat tersebut mursal

Mukhtalaf Syi'ah Al Hilliy cover

Mukhtalaf Syi'ah Al Hilliy

Allamah Al Hilliy berkata tentang riwayat ini “riwayat ini mursal, tidak dapat diandalkan dengannya” [Mukhtalaf Asy Syi’ah Fii Ahkaam Asy Syarii’ah 3/390-391]

.

.

Riwayat Kedua

Al Majlisi2

أحمد بن محمد عن علي بن الحكم عن رجل عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إذا اتى الرجل المرأة في الدبر وهي صائمة لم ينقض صومها وليس عليها غسل

Ahmad bin Muhammad dari Aliy bin Al Hakam dari seorang laki-laki dari Abi ‘Abdillah [‘alaihis salaam] yang berkata “jika seorang laki-laki mendatangi istrinya pada duburnya ketika ia berpuasa maka itu tidak membatalkan puasanya dan tidak wajib mandi” [Tahdzib Al Ahkam 4/319-320 no 45]

Riwayat kedua sanadnya juga dhaif karena perawi mubham tidak diketahui siapa orang yang meriwayatkan dari Abu Abdullah tersebut. Syaikh Ath Thuusiy sendiri melemahkan riwayat di atas. Setelah membawakan riwayat di atas, ia berkata

هذا لخبر غير معمول عليه وهو مقطوع الاسناد لا يعول عليه

Kabar ini tidak diamalkan dengannya, sanadnya terputus, tidak dapat diandalkan dengannya [Tahdzib Al Ahkam 4/320]

Dan sebagaimana dapat dilihat di atas dalam Malaadz Al Akhyaar 7/152 no 45 Al Majlisiy juga menyatakan riwayat kedua tersebut mursal.

Muhadzdzab Bariy cover

Muhadzdzab Bariy Ibnu Fahd Al Hilliy1

Ibnu Fahd Al Hilliy dalam kitabnya juga menyatakan riwayat diatas mursal [Al Muhadzdzab Al Bari’ Fii Syarh Mukhtashar An Naafi’ 2/26]

.

.

.

Dalam mazhab Syi’ah justru jima’ melalui dubur termasuk hal yang membatalkan puasa. Hal ini telah dinyatakan oleh sebagian ulama Syi’ah diantaranya

Madarik Ahkam cover

Madarik Ahkam

وأما الوطء في الدبر، فإن كان مع الإنزال فلا خلاف بين العلماء كافة في أنه مفسد للصوم، وإن كان بدون الإنزال فالمعروف من مذهب الأصحاب أنه كذلك

Adapun berhubungan melalui dubur, maka jika disertai dengan keluarnya air mani maka tidak ada perselisihan diantara para ulama seluruhnya bahwasanya hal itu membatalkan puasa dan jika tanpa mengeluarkan air mani maka yang dikenal dalam mazhab al ashab [ulama-ulama terdahulu] bahwasanya ia juga demikian [membatalkan puasa] [Madaarik Al Ahkam Sayyid Muhammad Al ‘Amiliy 6/44]

وقد أجمع العلماء كافة على إفساد الصوم بالجماع الموجب للغسل في قبل المرأة، للآية سواء أنزل أو لم ينزل ولو وطأ في الدبر فأنزل، فسد صومه إجماعا، ولو لم ينزل، فالمعتمد عليه الإفساد

Dan sungguh telah bersepakat para ulama seluruhnya bahwa batal puasa dan wajib mandi dengan adanya jima’ [bersetubuh] pada kemaluan istri berdasarkan ayat Al Qur’an [Al Baqarah 187] baik itu mengeluarkan air mani atau tidak, dan seandainya ia berhubungan melalui dubur dan mengeluarkan air mani maka batal puasanya menurut ijma’, dan jika tidak mengeluarkan air mani maka pendapat yang dijadikan pegangan puasanya batal [Tadzkirah Al Fuqahaa’ Allamah Al Hilliy 6/23-24]

.

.

.

Kemudian Al Amiry menukil fatwa ulama Syi’ah Muhsin Alu Ushfur yang ia sebut sebagai “fatwa gila” dan fatwa ulama Syi’ah As Sistaniy mengenai bolehnya berhubungan dengan istri melalui dubur jika istrinya ridha terhadapnya.

dusta amiry2

Dalam fatwa kedua ulama Syi’ah diatas tidak ada keterangan bahwa berhubungan dengan istri melalui dubur tidak membatalkan puasa. Fatwa keduanya itu berkenaan dengan hukum “berhubungan dengan istri melalui dubur” apakah boleh atau tidak?.

Dalam mazhab Syi’ah ada dua pendapat berkenaan dengan hal ini. Pertama : pendapat yang mengatakan hukum “berhubungan dengan istri melalui dubur” adalah haram. Diantara yang berpendapat demikian adalah sebagaimana dinukil Sayyid Muhammad Shaadiq Ar Ruuhaniy dalam kitab Fiqih Ash Shaadiq

Fiqh Shadiq cover

Fiqh Shadiq

وعن القميين وابن حمزة والشيخ الرازي والراوندي في اللباب والسيد أبي المكارم صاحب بلابل القلاقل القول بالحرمة

Dan dari para ulama qum, Ibnu Hamzah, Syaikh Ar Raziy, Ar Rawandiy dalam Al Lubab, Sayyid Abi Makarim penulis kitab Balaabil Al Qalaaqil, mengatakan haram. [Fiqih Ash Shadiq Sayyid Ar Ruuhaniy 31/118]

Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah juga berpendapat tidak boleh berhubungan dengan istri melalui duburnya [Fiqh Asy Syarii’ah Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah 3/517 no 749]. Syaikh Muhammad Ishaaq Al Fayaadh juga mengharamkan mendatangi istri pada duburnya baik saat suci maupun haidh [Minhaaj Ash Shaalihiin Syaikh Muhammad Ishaaq Al Fayaadh 1/107 no 228].

Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini dan dengan lafaz sharih [jelas] menyatakan haram adalah riwayat yang dibawakan Syaikh Ath Thuusiy dalam Tahdzib Al Ahkam

فاما ما رواه أحمد بن محمد بن عيسى عن العباس بن موسى عن يونس أو غيره عن هاشم بن المثنى عن سدير قال: سمعت أبا جعفر عليه السلام يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: محاش النساء على أمتي حرام

Diriwayatkan Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari ‘Abbaas bin Muusa dari Yuunus atau selainnya dari Haasyim bin Al Mutsanna dari Sadiir yang berkata aku mendengar Abu Ja’far [‘alaihis salaam] mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “dubur wanita atas umatku haram” [Tahdzib Al Ahkam 7/416 no 36].

Al Majlisiy4

Al Majlisiy dalam Malaadz Al Akhyaar 12/360 no 36 menyatakan riwayat di atas mursal begitu pula Allamah Al Hilliy dalam Tadzkirah Al Fuqahaa’ 2/577 menyatakan riwayat tersebut mursal. Sebenarnya kami belum menemukan dimana letak kelemahan mursal yang dimaksudkan keduanya tetapi riwayat tersebut para perawinya tsiqat kecuali Sadiir Ash Shairafiy. Ia tidak dikenal tautsiq-nya dari kalangan ulama mutaqaddimin Syi’ah tetapi sebagian ulama muta’akhirin menguatkannya.

Allamah Al Hilliy telah menyebutkan Sadiir dalam bagian pertama kitabnya yang memuat perawi yang terpuji dan diterima di sisi-nya. Dalam kitabnya tersebut Al Hilliy juga menukil Sayyid Aliy bin Ahmad Al Aqiiqiy yang berkata tentang Sadiir bahwa ia seorang yang mukhalith [kacau atau tercampur] [Khulashah Al Aqwaal hal 165 no 3]. Pentahqiq kitab Khulashah Al Aqwal berkata bahwa lafaz mukhalith tersebut bermakna riwayatnya ma’ruf dan mungkar. Maka berdasarkan pendapat yang rajih Sadiir tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud [menyendiri dalam periwayatan] dan tidak diterima hadisnya jika bertentangan dengan riwayat perawi tsiqat. Dalam perkara ini ternukil riwayat shahih yang bertentangan dengan riwayat Sadiir.

Sebagian ulama yang menerima riwayat Sadiir diatas memalingkan makna haram tersebut kepada makna makruh dengan dasar adanya riwayat-riwayat shahih yang menetapkan kebolehan mendatangi istri pada duburnya. Maka dari sinilah muncul pendapat yang kedua

Kedua : pendapat yang mengatakan hukum “berhubungan dengan istri melalui dubur” boleh jika disertai ridhanya istri dan hal ini makruh. Pendapat kedua inilah yang masyhur dan rajih dalam mazhab Syi’ah karena memiliki hujjah dari riwayat Ahlul Bait yang shahih dalam mazhab Syi’ah. Diantaranya sebagai berikut

وعنه عن علي بن الحكم قال سمعت صفوان يقول قلت للرضا عليه السلام ان رجلا من مواليك أمرني ان أسألك عن مسأله فهابك واستحى منك أن يسألك قال ما هي قال قلت الرجل يأتي امرأته في دبرها؟ قال نعم ذلك له قلت فأنت تفعل ذلك؟ قال لا انا لا نفعل ذلك

Dan darinya dari ‘Aliy bin Al Hakam ia berkata aku mendengar Shafwaan berkata aku pernah bertanya kepada Ar Ridlaa [‘alaihis-salaam] “Sesungguhnya ada laki-laki dari mawaali-mu telah memintaku untuk menanyakan kepadamu satu permasalahan, tetapi aku malu kepadamu untuk menanyakannya”. Ia berkata “hal apakah itu?”. Aku berkata “ada seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada duburnya”. Ia menjawab “Ya, hal itu diperbolehkan baginya”. Aku berkata “apakah engkau melakukannya?”. Ia menjawab “Tidak, kami tidak melakukannya” [Tahdzib Al Ahkam 7/415-416 no 35].

Al Majlisi3

Al Majlisiy dalam Malaadz Al Akhyaar 12/360 no 35 menyatakan riwayat tersebut shahih.

Jadi duduk persoalan disini adalah para ulama Syi’ah berpegang pada dalil shahih yang ada dalam mazhab mereka. Kalau ada diantara pengikut Ahlus Sunnah yang menjadikan hal ini sebagai bahan celaan ya dipersilakan toh celaan itu tidak ada nilainya disisi mazhab Syi’ah. Hal ini sama seperti jika ada pengikut Syi’ah mencela Ahlus Sunnah yang berpegang pada dalil shahih di sisi mazhab mereka. Celaan itu jelas tidak ada nilainya di sisi mazhab Ahlus Sunnah.

.

.

.

Anehnya Al Amiry sok ingin merendahkan mazhab Syi’ah dengan menyebut ulama mereka bodoh dan gila ketika membolehkan “mendatangi istri pada dubur” padahal sebagian ulama mazhab Ahlus Sunnah membolehkan bahkan ada yang mengamalkannya. Ibnu Arabiy pernah berkata

Ahkam Qur'an Ibnu Arabiy cover

Ahkam Qur'an Ibnu Arabiy

اختلف العلماء في جواز نكاح المرأة في دبرها ; فجوزه طائفة كثيرة ، وقد جمع ذلك ابن شعبان في كتاب جماع النسوان وأحكام القرآن ” وأسند جوازه إلى زمرة كريمة من الصحابة والتابعين وإلى مالك من روايات كثيرة

Telah berselisih para ulama mengenai kebolehan berhubungan dengan istri melalui duburnya. Telah membolehkannya sekelompok orang yang banyak. Dan sungguh Ibnu Sya’baan telah mengumpulkan hal itu dalam kitab Jimaa’ An Niswaan Wa Ahkamul Qur’aan dan menisbatkan kebolehannya kepada sekelompok orang mulia dari sahabat dan tabiin dan kepada Malik dari riwayat yang banyak [Ahkamul Qur’aan Ibnu Arabiy 1/238]

Siapakah dari kalangan ahlus sunnah yang membolehkan “mendatangi istri pada duburnya”?. Diantaranya ada Ibnu Umar [radiallahu ‘anhu], Ibnu Abi Mulaikah, Muhammad bin Ajlan, Malik bin Anas, dan Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy.

.

.

Abdullah bin Umar [radiallahu ‘anhu]

Ma'ani atsar Thahawiy

حَدَّثَنَا أَبُو قُرَّةَ مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدِ بْنِ هِشَامٍ الرُّعَيْنِيُّ قَالَ ثنا أَصْبَغُ بْنُ الْفَرَجِ  وَأَبُو زَيْدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنَ أَبِي الْغَمْرِ قَالَا  قَالَ ابْنَ الْقَاسِمِ وَحَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ قَالَ حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ عَنْهُ يَعْنِي عَنْ وَطْءِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Qurrah Muhammad bin Humaid bin Hisyaam Ar Ru’ainiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Faraj dan Abu Zaid ‘Abdurrahman Ibnu Abi Ghamr, keduanya berkata Ibnu Qaasim berkata telah menceritakan kepadaku Maalik bin Anas yang berkata telah menceritakan kepadaku Rabi’ah bin Abi ‘Abdurrahman dari Abil Hubaab Sa’iid bin Yasaar bahwa ia bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang mendatangi istri pada dubur mereka, [Ibnu ‘Umar] berkata “tidak ada masalah padanya” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 3/41 no 4394]

Riwayat yang dikeluarkan Ath Thahawiy di atas memiliki sanad yang shahih. Para perawinya tsiqat, berikut keterangannya

  1. Abu Qurrah Muhammad bin Humaid bin Hisyaam Ar Ru’ainiy, dikatakan Ibnu Yunus bahwa ia seorang yang tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Quthlubugha 8/261 no 9679]
  2. Ashbagh bin Faraj Al Mishriy seorang yang tsiqat, termasuk perawi thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/107]
  3. Abu Za’id ‘Abdurrahman Ibnu Abi Ghamr, dikatakan Ibnu Yunus bahwa ia seorang yang faqih dari sahabat Ibnu Qaasim dan ia seorang yang tsiqat shaduq [Ats Tsiqat Ibnu Quthlubugha 6/287-288 no 6693]
  4. ‘Abdurrahman bin Qaasim seorang yang faqih sahabat Malik, tsiqat termasuk perawi thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/586]
  5. Malik bin Anas seorang yang faqiih imam, pemimpin dari ulama-ulama besar, mutqin dan tsabit, termasuk perawi thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/151]
  6. Rabii’ah bin Abi ‘Abdurrahman At Taimiy seorang yang tsiqat faqiih masyhur, termasuk perawi thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/297]
  7. Sa’iid bin Yasaar Abul Hubaab seorang yang tsiqat mutqin, termasuk perawi thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/368]

Riwayat perkataan Ibnu Umar [radiallahu ‘anhu] tidak hanya ini, ada lagi beberapa riwayat lainnya bahkan ada pula riwayat yang kesannya seolah bertentangan tetapi Insya Allah dengan pembahasan yang ilmiah akan nampak bahwa yang rajih adalah Ibnu Umar membolehkannya. Pembahasan detail tentang hal ini memerlukan tempat yang tersendiri.

.

.

Ibnu Abi Mulaikah

Tafsir Thabari

حَدَّثَنِي أَبُو مُسْلِمٍ قَالَ ثَنَا أَبُو عُمَرَ الضَّرِيرُ قَالَ ثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ قَالَ ثَنَا رَوْحُ بْنُ الْقَاسِمِ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ أَبُو الدَّرْدَاءِ عَنْ إِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ فَقَالَ هَلْ يَفْعَلُ ذَلِكَ إِلا كَافِرٌ  قَالَ رَوْحٌ  فَشَهِدْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَسْأَلُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ قَدْ أَرَدْتُهُ مِنْ جَارِيَةٍ لِي الْبَارِحَةَ فَاعْتَاصَ عَلَيَّ  فَاسْتَعَنْتُ بِدُهْنٍ أَوْ بِشَحْمٍ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ سُبْحَانَ اللَّهِ  أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، قَالَ هَلْ يَفْعَلُ ذَلِكَ إِلا كَافِرٌ ، فَقَالَ لَعَنَكَ اللَّهُ وَلَعَنَ قَتَادَةَ ، فَقُلْتُ لا أُحَدَّثُ عَنْكَ شَيْئًا أَبَدًا ثُمَّ نَدِمْتُ بَعْدَ ذَلِكَ

Telah menceritakan kepadaku Abu Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Adh Dhariir yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin Qaasim dari Qatadah yang berkata Abu Dardaa’ pernah ditanya tentang “mendatangi istri pada dubur mereka”. Maka ia berkata “tidaklah melakukan itu kecuali kafir”. Rauh berkata maka aku menyaksikan Ibnu Abi Mulaikah ketika ditanya tentang hal itu, ia berkata “Sungguh aku ingin melakukannya dengan budakku tadi malam, kemudian aku mengalami kesulitan maka aku menggunakan minyak atau lemak”. Maka aku [Rauh] berkata kepadanya “Maha suci Allah, telah mengabarkan kepada kami Qatadah bahwa Abu Dardaa’ mengatakan “tidaklah melakukan hal itu kecuali kafir”. Maka ia berkata “semoga Allah melaknatmu dan melaknat Qatadah”. Aku [Rauh] berkata “aku tidak akan meriwayatkan sedikitpun darimu selamanya” kemudian setelah itu aku menyesalinya [Tafsir Ath Thabariy 3/753 tahqiq ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin At Turkiy]

Riwayat perkataan Ibnu Abi Mulaikah di atas sanadnya jayyid. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abu Muslim yaitu Ibrahim bin ‘Abdullah bin Muslim Al Bashriy seorang yang shaduq tsiqat [Mausu’ah Aqwaal Daruquthniy no 80]
  2. Abu ‘Umar Adh Dhariir yaitu Hafsh bin Umar Al Bashriy seorang yang shaduq alim [Taqriib At Tahdziib 1/228]
  3. Yazid bin Zurai’ Al Bashriy seorang yang tsiqat tsabit [Taqriib At Tahdziib 2/324]
  4. Rauh bin Qaasim Al Anbariy Al Bashriy seorang yang tsiqat hafizh [Taqriib At Tahdziib 1/305]

Ibnu Abi Mulaikah sendiri termasuk perawi Bukhariy dan Muslim, ia seorang yang tsiqat faqiih [Taqriib At Tahdziib 1/511].

.

.

Muhammad bin Ajlaan

Muhammad bin ‘Ajlaan Al Qurasyiy Al Madaniy termasuk perawi Muslim yang dikenal tsiqat. Ia telah ditsiqatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Yaqub bin Syaibah, Abu Hatim dan Nasa’iy [Tahdzib Al Kamal 26/101-108 no 5462]

Tahdzib Al Kamal

وَقَال أَبُو سَعِيد بْن يونس: قدم مصر وصار إلى الإسكندرية فتزوج بها امرأة من أهلها فأتاها في دبرها فشكته إلى أهلها فشاع ذلك، فصاح بِهِ أهل الإسكندرية، فخرج منها

Dan berkata Abu Sa’iid bin Yuunus “ia datang ke Mesir dan datang ke Iskandariyah kemudian menikah dengan istrinya, maka ia mendatangi istrinya pada duburnya. Istrinya mengeluhkan hal itu kepada keluarganya dan tersebarlah kabar tentang hal itu. Maka penduduk Iskandariyah meneriakinya sehingga ia pergi dari sana [Tahdzib Al Kamal 26/107]

.

.

Malik bin Anas

Ikhtilaf Fuqaha cover

Ikhtilaf Fuqaha

فقال مالك لا بأس بأن يأتي الرجل امرأته في دبرها كما يأتيها في قبلها حدثنا بذلك يونس عن ابن وهب عنه

Maka berkata Malik “tidak ada masalah seorang laki-laki mendatangi istrinya pada duburnya sebagaimana ia mendatanginya pada kemaluannya”. Telah menceritakan kepada kami hal itu Yunus dari Ibnu Wahb darinya [Malik] [Ikhtilaaf Al Fuqahaa’ Ibnu Jarir Ath Thabariy hal 304]

Riwayat di atas sanadnya shahih sampai Malik bin Anas. Yunus gurunya Ath Thabariy adalah Yunus bin ‘Abdul A’laa Ash Shadafiy seorang yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 2/349]. Abdullah bin Wahb bin Muslim Al Qurasyiy seorang yang faqiih tsiqat hafizh ahli ibadah [Taqriib At Tahdziib 1/545]

.

.

Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy

Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy adalah seorang imam alim syaikh mazhab Malikiy. Daruquthniy berkata “aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya”

As Siyar Ashiiliy

قال القاضي عياض قال الدارقطني حدثني أبو محمد الأصيلي ، ولم أر مثله

قال عياض كان من حفاظ مذهب مالك ومن العاملين بالحديث وعلله ورجاله  يرى أن النهي عن إتيان أدبار النساء على الكراهة

Qaadhiy ‘Iyaadh berkata Daruquthniy berkata telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad Al Ashiiliy, aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya. Iyaadh berkata “ia termasuk hafizh mazhab Malik dan termasuk orang yang alim dalam ilmu hadis, ilmu ilal-nya dan Rijal-nya. Ia berpandangan bahwa larangan mendatangi istri pada dubur adalah makruh [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 16/560 no 412]

Ibnu Hajar juga menukil perkataan Qadhi Iyadh tentang Al Ashiiliy yang membolehkan “mendatangi istri pada duburnya”.

Talkhiis Habiir

قال القاضي عياض كان القاضي أبو محمد عبد الله بن إبراهيم الأصيلي يجيزه ويذهب فيه إلى أنه غير محرم

Qaadhiy ‘Iyaadh berkata “Qadhiy Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy membolehkannya dan menganggap bahwasanya itu tidak haram” [Talkhiis Al Habiir Ibnu Hajar 3/379]

Apakah sebagian salaf termasuk sahabat Ibnu Umar [radiallahu ‘anhu] itu akan dikatakan oleh Al Amiry sebagai bodoh dan gila?. Tentu ia tidak akan berani mengatakannya. Paling-paling ia akan mengatakan pendapat mereka ditinggalkan karena menurutnya telah shahih dalil dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan keharamannya.

Kami menukil sebagian salaf yang membolehkan “mendatangi istri pada duburnya” hanya sebagai bukti bahwa perkara ini yang diyakini dalam mazhab Syi’ah juga diyakini oleh sebagian salaf mazhab Ahlus Sunnah [walaupun memang berdasarkan pendapat yang rajih sebagian salaf ini terbukti keliru dalam perkara ini]. Kalau sebagian salaf tersebut tidak pantas dicela dan dikafirkan karena membolehkannya maka mengapa hal itu menjadi celaan ketika ada dalam mazhab Syi’ah.

.

.

.

Kesimpulan

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan diatas yang menunjukkan kejahilan pencela seperti Al Amiriy

  1. Al Amiry berdusta ketika mengatakan dalam mazhab Syi’ah jima’ melalui dubur tidak membatalkan puasa. Faktanya riwayat yang dituduhkan adalah dhaif dan para ulama Syi’ah justru menyatakan batal puasanya karena jima’ melalui dubur
  2. Al Amiry mencela dan merendahkan mazhab Syi’ah yang membolehkan jima’ melalui dubur dengan keridhaan istri dan hukumnya makruh padahal sebagian salaf mazhab Ahlus Sunnah ada juga yang membolehkannya.

Akhir kata tidak henti-hentinya kami mengingatkan pembaca agar berhati-hati dalam membaca tulisan para pencela tentang mazhab Syi’ah. Mereka sudah terbiasa berdusta demi mencela mazhab yang mereka benci. Tentu kami tidak melarang siapapun untuk membaca tulisan mereka tetapi hendaknya diiringi dengan sikap “tidak mudah percaya” sebelum membuktikan sendiri. Sangat menyedihkan jika orang-orang awam ikut-ikutan mencela bahkan terlihat lebih bersemangat merendahkan Syi’ah padahal hakikatnya mereka tertipu oleh para pendusta.

Orang awam bersikaplah secara awam tidak perlu berlagak ahli padahal hanya sekedar taklid kepada para pendusta. Silakan saja bagi orang awam untuk menjauhkan diri dari mazhab Syi’ah atau beranggapan mazhab Syi’ah sesat. Tetapi simpanlah hal itu di dalam nurani masing-masing tidak perlu berlagak sok tahu bicara begini begitu padahal hanya membaca tulisan-tulisan singkat dusta Al Amiry dan yang lainnya. Ingat dan camkan hal ini baik-baik bahwa setiap orang akan mempertanggungjawabkan perkataan dan perbuatannya masing-masing. Salam Damai

12 Tanggapan

  1. makasih pak yai atas tambahan ilmunya..

  2. Saya mendapati 2 paragraf akhir termasuk bagian yang sangat penting untuk mengingatkan mereka yang awam.

    Mengenai topik, pembahasan seperti ini akan selalu terikat dengan surat Al-Baqarah ayat 223. Ketika orang-orang terfokus pada kata “datangilah darimana/bagaimana saja kamu kehendaki”, justru Saya fokus pada makna “ladang”.

    Bagaimana pendapat bung SP sendiri mengenai topik seperti ini?

  3. kelompok al-amiry pembohong telah membuat buku khusus memuat kebohongan2xnya tsb judul bukunya :

    MAHKOTA SYI’AH KITAB AL-KAFI TERJEMAH EDISI KRITIS 1
    MELACAK AKAR KEYAKINAN SYIAH DARI SUMBER UTAMA
    penulis : Amin Muchtar

    pesan bias: bbm: 7D9D2DDD-52BAAD79,
    hp/wa: 081221801973 / 089629420575 / 089683746759

    harga Rp 60.000

    gayanya kitab ini untuk menyadarkan orang syiah

  4. semoga kitab itu akan jadi senjata makan tuan

  5. Sebenarnya jika kita kembali kepada AlQuran larangan , dubur dijadikan lahan senggama sudah bisa kita baca kisah Nabi Luth as, tentang kaum Homo seksual yang telah ditenggelamkan Allah,itu menandakan haramnya sengggama melalui dubur,dosa besar dan laknat Allah,seharusnya orang beriman meyaqini itu,mengapa harus dibantah lagi melalui hadits segala, azabnya sudah jelas, jadi memang jelas siapapun yang menghalalkan senggama melalui dubur orang itu sudah tidak beriman, karena kufur terhadap ayat Allah, dasar manusia jika nafsunya telah mengalahkan akalnya maka telah menjadi syetan perbuatannya. sebab Albaqoroh 223 yang dimaksud lahan adalah Vagina lubangnya dzakar, seorang suami Muslim mendatangi istrinya melalui Vaginanya adalah Haq Allah, intinya adalah bertaqwa, jika dubur yang didatangi maka sudah melampaui batas.alias tidak bertaqwa.

  6. Weit…ini lagi puasa bruh. Stop ngomongin area selangkangan!

  7. @Rony Syahroni
    Fokus yang Saya maksud bukan jalur menuju ladangnya, melainkan ladang itu sendiri, yaitu tempat menanamnya, yakni rahim.

    Untuk pembahasan lebih rinci, mendalam dan penggunaan bahasa, sepertinya ini bukan tempat yang tepat ya bung SP? 😀

  8. Bung Rony saya awam.. tapi saya setuju dengan pendapat anda…
    Rony Syahroni, on Juli 9, 2015 at 12:10 am said:

    Sebenarnya jika kita kembali kepada AlQuran larangan , dubur dijadikan lahan senggama sudah bisa kita baca kisah Nabi Luth as, tentang kaum Homo seksual yang telah ditenggelamkan Allah,itu menandakan haramnya sengggama melalui dubur,dosa besar dan laknat Allah,seharusnya orang beriman meyaqini itu,mengapa harus dibantah lagi melalui hadits segala, azabnya sudah jelas, jadi memang jelas siapapun yang menghalalkan senggama melalui dubur orang itu sudah tidak beriman, karena kufur terhadap ayat Allah, dasar manusia jika nafsunya telah mengalahkan akalnya maka telah menjadi syetan perbuatannya. sebab Albaqoroh 223 yang dimaksud lahan adalah Vagina lubangnya dzakar, seorang suami Muslim mendatangi istrinya melalui Vaginanya adalah Haq Allah, intinya adalah bertaqwa, jika dubur yang didatangi maka sudah melampaui batas.alias tidak bertaqwa.

  9. kita awam harus takut dengam firqon dan titah rasulullah saww. karn itu kami awam nohon doa kiyai agar tetap teguh dengan jalan Allah n rasulullah saww

  10. Perkataan seseorg selain Rasulullah dapat diterima ato ditolak….

    Hanya Al Quran dan Hadits yang shohih yang tidak dapat ditolak…

    Belajar susah payah tapi pemahamannya seperti itu “boleh mendatangi istri lewat dubur (makruh)” …. pake riwayat Ibnu Umar yang ditafsirkan dengan logika sendiri lagi *geleng-geleng kepala

    Saya yang awam aja secara logika ga masuk akal Islam membolehkan mendatangi istri melalui dubur…. #$& anjriiit kasian amat lo belajar ilmu agama sesat…

  11. @orang awam

    Belajar susah payah tapi pemahamannya seperti itu “boleh mendatangi istri lewat dubur (makruh)” …. pake riwayat Ibnu Umar yang ditafsirkan dengan logika sendiri lagi *geleng-geleng kepala
    Saya yang awam aja secara logika ga masuk akal Islam membolehkan mendatangi istri melalui dubur…. #$& anjriiit kasian amat lo belajar ilmu agama sesat…

    Ooh anda punya logika ya, coba dimana letak logikanya orang yang menuduh mazhab lain dengan mengambil referensi dari akun facebook yang nggak jelas. Saya kasihan lihat orang sok bicara logika padahal miskin sekali logikanya. Oh iya tolong dipakai juga matanya, apa tidak anda baca kalimat saya yang ini

    Tetapi sebelum masuk ke pembahasan ada baiknya kami menyatakan dengan tegas mengenai i’tiqad [keyakinan] kami mengenai hukum “mendatangi istri pada duburnya”. Di sisi kami berdasarkan pendapat yang rajih hukumnya haram.

    Oh iya dan tolong lisannya dijaga, siapa sih yang anda katakan sesat?. apa Imam Malik yang anda katakan sesat itu heeh?. Please kalau memang awam bersikaplah awam bung

Tinggalkan komentar