Nama Allah Digunakan Untuk Beristinja’ : Kedustaan Terhadap Syi’ah

Nama Allah Digunakan Untuk Beristinja’ : Kedustaan Terhadap Syi’ah

Sungguh mengherankan betapa banyak orang-orang yang membuat kedustaan atas nama Syi’ah. Kami heran hilang kemana kejujuran dan objektivitas dalam mencari kebenaran. Tidak setuju terhadap Syi’ah bukan berarti bisa leluasa berbuat dusta. Masih suatu kewajaran jika dengan alasan tertentu anda para pembaca tidak menyukai orang atau mazhab tertentu tetapi jika anda membuat kedustaan terhadapnya atau memfitnahnya dengan tuduhan dusta maka itu sangat tidak wajar.

Silakan para pembaca melihat tulisan disini. Pembaca akan melihat betapa rendah kualitas tulisannya yang hanya berupa kata-kata hinaan dan dusta [diantaranya bahwa Syi’ah membenci dan membakar Al Qur’an]. Kemudian ia menampilkan riwayat yang ia jadikan bukti atas judul tulisannya. Adapun kata hinaan dan dusta yang ia lontarkan hanya menunjukkan kerendahan akhlak dirinya maka kami akan berfokus pada bukti riwayat yang ia bawakan bahwa Syi’ah membolehkan beristinja’ dengan sesuatu yang terdapat nama Allah

Penulis tersebut membawakan riwayat dalam kitab Wasa’il Syi’ah. Sebelum membahas riwayat tersebut, perlu pembaca ketahui bahwa menisbatkan sesuatu kepada suatu mazhab tidak cukup hanya dengan bukti nukilan dari kitab mazhab tersebut. Contoh sederhana,

  1. Apakah dengan adanya hadis kisah Gharaniq dalam kitab hadis mazhab Ahlus Sunnah maka bisa dikatakan bahwa itulah keyakinan Ahlus Sunnah?
  2. Apakah dengan adanya riwayat sebagian sahabat meminum kotoran dan darah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam kitab hadis Ahlus Sunnah maka bisa dikatakan bahwa itulah keyakinan Ahlus Sunnah?.

Jawabannya tidak. Mengapa demikian? Karena bisa jadi riwayat-riwayat yang ada dalam kitab mazhab tersebut ternyata kedudukannya dhaif berdasarkan kaidah keilmuan di sisi mazhab tersebut. Oleh karena itu perlu diteliti apakah nukilan tersebut shahih atau tidak berdasarkan kaidah ilmu. Hal ini berlaku baik dalam mazhab Ahlus Sunnah maupun dalam mazhab Syi’ah. Orang yang serampangan menukil tanpa mengerti kaidah ilmu hanya menunjukkan kebodohan yang akan berakhir pada kedustaan. Itulah yang terjadi pada penulis rendah tersebut.

Riwayat yang ia jadikan bukti kami kutip dari kitab Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy yaitu riwayat berikut

فأما ما رواه أحمد بن محمد عن البرقي عن وهب بن وهب عن أبي عبد الله عليه السلام قال: كان نقش خاتم أبي (العزة لله جميعا) وكان في يساره يستنجي بها، وكان نقش خاتم أمير المؤمنين عليه السلام (الملك لله) وكان في يده اليسرى ويستنجي بها

Maka adapun riwayat Ahmad bin Muhammad dari Al Barqiy dari Wahb bin Wahb dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata “Ukiran cincin ayahku adalah [Al ‘Izzah Lillaah Jamii’an] dan cincin itu ada di tangan kirinya, ia beristinja’ dengannya. Ukiran cinci Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] adalah [Al Mulk Lillaah] dan itu ada di tangan kirinya, ia beristinja’ dengannya [Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy 1/48]

Riwayat ini berdasarkan kaidah ilmu Rijal dalam mazhab Syi’ah kedudukannya dhaif jiddaan karena di dalam sanadnya terdapat Wahb bin Wahb. Berikut keterangan ulama Rijal Syi’ah tentangnya

وهب بن وهب بن عبد الله بن زمعة بن الأسود بن المطلب بن أسد بن عبد العزى أبو البختري روى عن أبي عبد الله عليه السلام، وكان كذابا

Wahb bin Wahb bin ‘Abdullah bin Zam’ah bin Al Aswad bin Muthallib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, Abu Bakhtariy meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] dan dia seorang pendusta [Rijal An Najasyiy hal 430 no 1155]

وهب بن وهب، أبو البختري، عامي المذهب، ضعيف

Wahb bin Wahb, Abu Bakhtariy, bermazhab ahlus sunnah, seorang yang dhaif [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 256]

وهب بن وهب وهو ضعيف جدا عند أصحاب الحديث

Wahb bin Wahb dan ia dhaif jiddan di sisi ahli hadis [Tahdzib Al Ahkam Syaikh Ath Thuusiy 9/77]

Sudah jelas riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah di sisi mazhab Syi’ah karena perawinya dhaif dan pendusta di sisi mazhab Syi’ah. Tulisan saudara penulis itu memang rendah dan tidak berguna karena ia berhujjah dengan riwayat yang dhaif di sisi Syi’ah untuk mendustakan mazhab Syi’ah. Ia bahkan mengatakan Syi’ah sebagai agama yang hina dengan bersandar pada riwayat ini. Dan telah terbukti dalam pembahasan di atas bahwa penulis tersebut yang lebih pantas untuk dikatakan hina karena tuduhannya.

Ada baiknya kami mengulangi hakikat diri kami untuk mencegah orang-orang awam [dan termasuk penulis rendah tersebut] menuduh yang bukan-bukan terhadap kami. Kami bukan seorang pengikut mazhab Syi’ah tetapi kami tidak suka jika seseorang berbuat nista dan dusta terhadap mazhab Syi’ah. Silakan siapapun mengkritik Syi’ah tetapi berhujjahlah dengan kaidah ilmu yang ilmiah.

 

13 Tanggapan

  1. asslmlkm,

    Sdr.SP, saya setuju dengan pernyataan anda yg ini:

    “Tidak setuju terhadap Syi’ah bukan berarti bisa leluasa berbuat dusta. Masih suatu kewajaran jika dengan alasan tertentu anda para pembaca tidak menyukai orang atau mazhab tertentu tetapi jika anda membuat kedustaan terhadapnya atau memfitnahnya dengan tuduhan dusta maka itu sangat tidak wajar.”

    namun dalam blog ini cukup banyak artikel antum yg merupakan pembelaan thd madzhab syi’ah sehingga wajar saja jika hal itu membuat pihak lain (khususnya para pembenci syi’ah) salah sangkan dengan menganggap anda bermadzhab syi’ah karena pembelaan anda terhadap syi’ah (meskipun pembelaan yg anda lakukan didasarkan pada sikap objektif).

    Sekedar ingin tahu aja, apakah anda juga membuat tulisan ilmiah yg merupakan pembelaan anda terhadap madzhab ahlussunnah berdasarkan standard kebenaran dalam pandangan anda dari kekeliruan syi’ah mengenai perkaran tertentu ?
    Ataukah anda hanya mengkhususkan diri untuk membuat tulisan yg hanya membela syi’ah saja? dan membiarkan tulisan2 tentang keyakinan ahlussunnah didominasi oleh ‘mereka’ (yg sering kali anda sebut sebagai nashibi) ?

  2. @Khayrah

    namun dalam blog ini cukup banyak artikel antum yg merupakan pembelaan thd madzhab syi’ah sehingga wajar saja jika hal itu membuat pihak lain (khususnya para pembenci syi’ah) salah sangkan dengan menganggap anda bermadzhab syi’ah karena pembelaan anda terhadap syi’ah (meskipun pembelaan yg anda lakukan didasarkan pada sikap objektif).

    Kalau sebatas menduga-duga atau berprasangka ya wajar-wajar saja tetapi kalau sudah main deklarasi atau langsung menuduh di dunia maya maka itu sudah masuk kategori fitnah. Oleh karena itu saya sebisa mungkin membantah tuduhan Syi’ah terhadap blog ini.

    Sekedar ingin tahu aja, apakah anda juga membuat tulisan ilmiah yg merupakan pembelaan anda terhadap madzhab ahlussunnah berdasarkan standard kebenaran dalam pandangan anda dari kekeliruan syi’ah mengenai perkaran tertentu ?
    Ataukah anda hanya mengkhususkan diri untuk membuat tulisan yg hanya membela syi’ah saja? dan membiarkan tulisan2 tentang keyakinan ahlussunnah didominasi oleh ‘mereka’ (yg sering kali anda sebut sebagai nashibi) ?

    Saya tidak tahu pembelaan jenis apa yang anda maksudkan dan anda inginkan. Kalau soal tulisan tentang ahlus sunnah anda bisa lihat contohnya sebagian tulisan tentang hadis-hadis Tawasul dan Qunut. Dalam persepsi saya, fitnah terhadap Syi’ah jumlahnya sudah terlalu banyak di dunia maya dan saya melihat jumlahnya tidak berimbang [bahkan jarang] dengan orang-orang Syi’ah yang menjawab fitnah tersebut. btw saya sekarang sudah berusaha menghilangkan kebiasaan menyebut mereka sebagai nashibiy

  3. @SP

    Kalau sebatas menduga-duga atau berprasangka ya wajar-wajar saja tetapi kalau sudah main deklarasi atau langsung menuduh di dunia maya maka itu sudah masuk kategori fitnah. Oleh karena itu saya sebisa mungkin membantah tuduhan Syi’ah terhadap blog ini.

    Mengenai dugaan bahwa blog ini adalah blog syi’ah, terus terang sebelumnya saya sendiri sempat menduga demikian berdasarkan asumsi saya dari membaca artikel2 blog ini yg terkesan memposisikan penulisnya sebagai pihak syi’ah yang sedang membela syi’ah dari tuduhan dari para pembenci syi’ah, namun setelah saya membaca artikel Apa Mazhab Penulis Blog Secondprince yang mana disitu anda menegaskan bahwa anda bukanlah seorang pengikut syi’ah, dari situ saya baru mengetahui ternyata penulis blog ini bukanlah syi’ah namun sekedar membahas secara objektif tentang tema2 yang bertujuan meluruskan tuduhan terhadap syi’ah, maka saya mohon maaf atas kekeliruan dugaan saya sebelumnya yang menduga anda syi’ah.

    Saya tidak tahu pembelaan jenis apa yang anda maksudkan dan anda inginkan. Kalau soal tulisan tentang ahlus sunnah anda bisa lihat contohnya sebagian tulisan tentang hadis-hadis Tawasul dan Qunut.

    Saya sudah membaca artikel anda tentang tawassul dan qunut, itu tulisan ilmiah yang cukup bagus. Namun itu adalah permasalah fiqih yang ada dalam ikhtilaf antar madzhab fiqih ahlussunnah.
    Sedangkan yang saya maksud adalah tulisan terkait tentang polemik sunni-syi’ah, misalkan bagaimana kajian anda mengenai hadits tentang 12 khalifah yang terdapat perbedaan perspektif antara ahlussunnah dengan syi’ah mengenai penafsiran hadits tersebut.
    Mohon maaf, apa yang saya sampaikan ini bukan bermaksud untuk men-dikte anda karena apapun tulisan yang ada di blog ini adalah hak anda sepenuhnya untuk memilih apa yang ingin anda bahas. Topik yang saya sebutkan itu hanya sebagai contoh aja.

    Demikian juga misalnya pada suatu topik tertentu dalam polemik sunni-syi’ah dimana anda men-tarjih pendapat sunni dalam hal tersebut daripada pendapat syi’ah. Sehingga tulisan semacam itu dapat menunjukkan bahwa anda benar2 objektif karena dalam hal satu tertentu anda terkesan sependapat dengan syi’ah namun dalam hal tertentu lainnya andapun membela pendapat ahlussunah dari syi’ah.

    Dalam persepsi saya, fitnah terhadap Syi’ah jumlahnya sudah terlalu banyak di dunia maya dan saya melihat jumlahnya tidak berimbang [bahkan jarang] dengan orang-orang Syi’ah yang menjawab fitnah tersebut.

    jadi tulisan2 anda yg terkesan membela syi’ah sekedar bertujuan menyeimbangkannya dengan banyaknya tuduhan2 dari pembenci syi’ah yang ada di dunia maya? alasan yang cukup baik, dan sebenarnya apapun alasannya, itu adalah hak anda sepenuhnya, sedangkan saya sekedar bertanya aja 🙂

    btw saya sekarang sudah berusaha menghilangkan kebiasaan menyebut mereka sebagai nashibiy

    ahsanta 🙂

  4. sbnrnya saya bs saja membantah penulis tsb, tp saya rasa mas sp lebih berhak. Contoh mengenai wahb bin wahb, riwayatnya dikatakan muktabar oleh al-Mazandarani dgn alasan :

    لأن الكذوب قد يصدق

    “Karena pendusta terkadang jujur.”

    Namun si penulis itu menerjemahkannya; “Bisa jadi jujur.”

    Padahal qad apabila bertemu fi’il mudhari’ maka bermakna; “Terkadang.”

    Kejujuran Wahb disitu adalah pada periwayatan riwayat “ulama adalah pewaris para Nabi.” Padanya ia berkesusaian dgn rawi tsiqah lainnya karena riwayat tsb mmg diriwayatkan dgn bbrp jalur.

    Nah, keadaan Wahb bin Wahb pada riwayat tsb dipaksa-paksakan oleh si penulis utk ditaruh pada keadaan riwayatnya yg berkenaan istinja’ di atas yg dimana tdk ada mutaba’ah bagi Wahb. Maka ini sungguh bathil dan menunjukkan kejahilan.

  5. *berkesesuaian [Ralat :D]

  6. @Ahmad Husain

    Saya sudah membaca bantahan dari penulis tersebut. Seperti yang anda lihat bantahannya bisa dikatakan tidak ada nilainya. Pada hakikatnya ia tidak membantah hujjah dalam tulisan saya di atas melainkan berkelit mencari dalih-dalih untuk melindungi apa yang mungkin ia sebut sebagai “harga dirinya”. Sikap yang paling baik bagi seorang penuntut ilmu adalah ketika ditunjukkan kesalahan maka ia akan mengoreksi diri, mengakui kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Sedangkan penulis tersebut bukannya mengakui kesalahan, ia malah melakukan kesalahan lain dengan bantahan yang tidak bernilai.

    Saya merasa tidak perlu membuat tulisan khusus untuk membuat bantahan lanjutan untuk bualan-bualan penulis tersebut. Saya akan cukupkan diri untuk mengomentari secara singkat poin-poin yang ia jadikan hujjah bantahannya.

    Inti dari bantahannya adalah ia ingin menunjukkan kepada para pembaca bahwa Syi’ah tidak memiliki sesuatu yang pasti dalam musthalah hadis, ia membawakan nukilan-nukilan dari ulama Syi’ah yang dalam persepsi penulis tersebut menunjukkan bahwa Syi’ah seenaknya membolak-balikkan derajat hadis.

    Pertama, ia membawakan nukilan dari Al Mazandaraniy dalam kitabnya Syarh Ushul Al Kafiy dimana ketika ia mengomentari salah satu hadis yang di dalam sanadnya ada Wahb bin Wahb, ia berkata

    اسمه وهب بن وهب، قال العلامة: إنه كان قاضيا كذابا عاميا، ونقل الكشي عن الفضل بن شاذان أنه من أكذب البرية، وقال الشيخ: إنه ضعيف عامي المذهب. أقول: الحديث معتبر وإن كان الراوي كذوبا، لأن الكذوب قد يصدق

    Namanya adalah Wahb bin Wahb, Al Allamah berkata: dia adalah seorang qadi pendusta bermadzhab sunni. Dan Al Kasyyi menukilkan dan Fadhl bin Syadzan bahwasanya dia adalah seorang makhluk paling pendusta. Dan syaikh berkata: Sesungguhnya dia adalah dho’if bermadzhab sunni. Aku berkata: Haditsnya diterima walaupun perawinya pendusta, karena seorang pendusta bisa jadi jujur [Syarh Ushul Al Kafi 3/37]

    Ada sedikit terjemahan penulis tersebut yang mesti diluruskan yaitu lafaz

    أقول: الحديث معتبر وإن كان الراوي كذوبا، لأن الكذوب قد يصدق

    Aku katakan “hadis mu’tabar walaupun terdapat perawi pendusta karena seorang pendusta terkadang jujur”

    Satu hal yang harus disadari oleh para pembaca [termasuk penulis tersebut] adalah perkataan ulama harus ditimbang dengan kaidah ilmu bukan kaidah ilmu yang direndahkan atau dicela dengan memakai perkataan ulama. Timbangan pertama mengenai hadis yang dibicarakan oleh Al Mazandaraniy di atas adalah hadis tersebut sesuai dengan kaidah ilmu hadis Syi’ah sanadnya dhaif. Al Majlisiy dalam Mir’atul Uqul 1/103 menyatakan hadis tersebut dhaif. Inilah yang benar.

    Adapun perkataan Al Mazandaraniy diatas bisa dipahami sebagai berikut. perkataannya “hadis mu’tabar” maksudnya adalah hadis tersebut mu’tabar dalam arti bisa diamalkan, mungkin dalam pandangan Al Mazindaraniy hadis tersebut memiliki banyak syahid atau penguat dari hadis lain yang baik sanadnya atau mencapai derajat mutawatir. Intinya ia tidak menghukumi hadis tersebut mu’tabar karena di dalamnya ada perawi pendusta. justru ia mengatakan bahwa hadis tersebut mu’tabar walaupun perawinya pendusta karena seorang pendusta terkadang jujur.

    Pertanyaannya adalah bagaimana ia bisa memastikan bahwa pendusta tersebut jujur dalam hadis ini?. jawabannya ya berdasarkan qarinah-qarinah yang saya sebutkan yaitu mungkin hadis tersebut memiliki banyak syahid atau ada hadis lain yang sanadnya baik. Tentu saja perkataan Al Mazandaraniy ini juga harus dibuktikan kebenarannya. Apa benar hadis tersebut mu’tabar?. Apakah benar memiliki banyak syahid atau penguat dengan sanad shahih?. Kalau tidak ada buktinya maka perkataannya tinggal ditolak sesuai dengan kaidah ilmu.

    Sehingga duduk perkaranya bukan seperti yang diterjemahkan penulis tersebut “hadisnya diterima walaupun perawinya pendusta”. Terjemahan tersebut seolah mengesankan bahwa hadis Wahb bin Wahb diterima walaupun ia pendusta. Padahal yang dimaksudkan Al Mazindaraniy adalah hadis tersebut [yang di dalam sanadnya ada Wahb bin Wahb] mu’tabar walaupun Wahb sendiri pendusta. Masih dikatakan wajar untuk menyatakan hadis tertentu sebagai shahih walaupun di dalam sanadnya terdapat perawi pendusta jika hadis tersebut memiliki sanad lain yang shahih.

    Hal ini juga ada dalam ilmu hadis ahlus sunnah dimana ma’ruf dibedakan antara perkataan ulama tentang suatu hadis yaitu “hadis shahih” dan “sanadnya shahih”. Lafaz “hadis shahih” bisa saja sanad hadis tersebut terdapat perawi dhaif atau sanadnya inqitha’ tetapi hadis tersebut memiliki banyak penguat atau dikuatkan oleh sanad lain yang shahih. Sedangkan lafaz “sanadnya shahih” itu tertuju pada sanad hadis tersebut yang memenuhi kriteria hadis shahih.

    Berikut ada contoh yang agak mirip dalam salah satu kitab ahlus sunnah, yaitu dimana dinukil perkataan Mulla Ali Al Qariy, ia berkata

    الحديث الضعيف معتبر في فضائل الأعمال عند جميع العلماء

    Hadis dhaif mu’tabar dalam fadha’il amal menurut seluruh ulama [Ajwibah Al Fadhilah hal 36]

    Tentu perkataan Mulla Ali Qariy disini juga layak dikritisi tetapi poin yang ingin saya tunjukkan adalah ia memakai istilah mu’tabar untuk hadis dhaif yang maknanya di atas adalah hadis dhaif diterima dalam masalah Fadha’il Amal.

    Apa penulis tersebut akan mencela Mulla Aliy Qariy dan menuduh bahwa ahlus sunnah tidak memiliki ilmu musthalah hanya berdasarkan nukilan di atas?. Saya yakin ia akan mengemukakan banyak alasan untuk menolak. Karena memang duduk perkaranya tidak setiap perkataan ulama harus ditelan mentah-mentah apalagi dijadikan dasar untuk mencela ilmu musthalah mazhab tertentu baik Sunni maupun Syi’ah. Justru perkataan ulama tersebut yang harus ditimbang dengan kaidah ilmu bukan kaidah ilmu yang diruntuhkan hanya karena perkataan ulama.

    Kedua, ia membawakan nukilan dari Syaikh Ja’far Subhaniy dalam kitabnya Ushul Al Hadits Fii Ilm Ad Dirayah.

    ما رواه ما نص على توثيقه مع فساد عقيدته, و يسمى القوي

    Apa yang diriwayat oleh seorang perawi yang ditsiqahkan secara nash walaupun akidahnya rusak dan dinamakan juga dengan hadits qawi (kuat)” [Ushul Al Hadits Fii Ilm Ad Dirayah hal 48]

    فلا تقبل رواية الكافر مطلقا, سواء أكان من غير أهل القبلة كاليهود و النصارى, أم من أهل القبلة كالمجسمة و الخوارج و الغلاة

    Maka riwayat kafir tidak diterima secara mutlak, baik dia bukan dari ahli qiblah seperti yahudi dan nashrani, maupun dia dari ahli qiblah seperti mujassimah, khawarij, dan kaum ghulat [Ushul Al Hadits Fii Al Ilm Ad Dirayah hal 131]

    Sebenarnya bagi orang yang membaca dengan baik kitab tersebut maka tidak ada hal yang patut dipertentangkan disini tetapi jika orang hanya mengambil nukilan sepotong kemudian ia pertentangkan dengan potongan nukilan yang lain dan membawakan asumsi atau persepsinya sendiri maka hasilnya sama seperti penulis tersebut.

    Dalam ilmu hadis Syi’ah sangat jelas bahwa hadis muwatstsaq adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat perawi yang tsiqat tetapi memiliki akidah yang menyimpang. Hanya saja perlu digarisbawahi disini adalah akidah menyimpang tersebut tidaklah mengeluarkannya dari Islam, contohnya disini adalah perawi tsiqat tetapi bermazhab ahlus sunnah, bermazhab waqifiy, bermazhab fatahiy dan yang lainnya. Dimana semuanya masih di anggap sebagai islam atau belum masuk dalam kekafiran.

    Adapun nukilan kedua, dimana Syaikh Ja’far Subhaniy menukil dari Syahid Tsaniy bahwa syarat pertama seorang perawi diterima hadisnya adalah Islam, kemudian Syahid Tsaniy berkata bahwa riwayat orang kafir tidak diterima secara mutlak. Dan kafir disini menurutnya ada yang dari golongan bukan ahlul qiblat seperti Yahudi dan Nashraniy ada juga yang dari golongan ahlul kiblat seperti kaum mujassimah, Khawarij, dan ghulat.

    Jadi dalam pandangan Syahid Tsaniy [dan diikuti Syaikh Ja’far Subhani] perawi yang berakidah mujjassimah, Khawarij dan ghulat tergolong kafir sehingga tidak bisa diterima riwayatnya dan tentu saja perawi seperti ini di luar lingkup dari hadis muwatstsaq. Intinya adalah yang dimaksud dengan “akidah rusak” dalam hadis muwatstsaq tersebut bukan tipe akidah yang mengeluarkannya dari Islam atau menjadikannya kafir.

    Apa perkara seperti ini ada dalam kitab hadis ahlus sunnah?. Tentu kalau mau dicari-cari ya akan ada saja. Contoh sederhana adalah saya yakin sesuai dengan keyakinan penulis tersebut dan memang ternukil dalam sebagian nukilan para ulama ahlus sunnah bahwa Syi’ah itu kafir [dengan berbagai macam alasan menurut mereka]. Tetapi faktanya dalam ilmu hadis ahlus sunnah banyak perawi bermazhab Syi’ah yang tetap diterima hadisnya.

    Mungkin penulis tersebut akan beralasan bahwa perawi Syi’ah yang dimaksud tidak kafir dan selagi tidak membawakan hadis tentang ajaran Syi’ah maka hadisnya diterima. Tentu saja saya tahu jawaban tersebut, saya hanya ingin sekedar menunjukkan bahwa itu berarti tidak semua yang bermazhab Syi’ah dinyatakan kafir dan ditolak hadisnya. Maka silakan penulis tersebut pahami dengan kasus yang ia jadikan hujjah bahwa dalam mazhab Syi’ah tidak semua yang berakidah menyimpang dimasukkan dalam kategori muwatstsaq, kalau akidah tersebut menjurus pada kekafiran seperti kaum ghulat maka sudah jelas hadisnya tidak diterima dan bukan masuk lingkup hadis muwatstsaq.

    Ketiga, ia menukil perkataan Ardabiliy dalam Jami’ Ar Ruwah

    مكن أن يصير قريب من اثني عشر ألف حديث أو أكثر من الأخبار التي كانت بحسب المشهور بين علمائنا مجهولة أو ضعيفة أو مرسلة معلومة الحال وصحيحة

    Bisa jadi sekitar 12.000 riwayat hadits atau lebih yang mana sudah masyhur menurut ulama kami adalah riwayat majhul, dhoif, atau mursal berubah menjadi riwayat yang ma’lumah al haal (diketahui kedaan riwayatnya) dan menjadi riwayat yang shohih [Jami’ Ar Ruwat hal. 6]

    Saya agak heran dengan penulis tersebut, apa ia tidak membaca dengan baik latar belakang munculnya kalimat tersebut. Saya tidak perlu panjang menjelaskan sebagaimana yang ternukil dalam kitab Jami’ Ar Ruwat tetapi intinya adalah perkataan di atas berkaitan dengan kasus-kasus salah satunya dimana para perawi yang tidak ditemukan keterangannya dalam kitab Rijal tetapi terdapat qarinah atau riwayat yang memuat pujian terhadapnya. Tentu saja kalau memang demikian adalah wajar jika dikatakan hadis yang dikatakan majhul atau dhaif berubah menjadi shahih karena terdpaat qarinah atau riwayat yang memuat pujian terhadap perawi tersebut.

    Intinya adalah tidak seenaknya dan tidak sembarangan suatu hadis majhul dhaif atau mursal berubah menjadi hadis shahih tetapi jika terdapat qarinah yang kuat [sesuai dengan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah] maka bisa saja hadis yang masyhur dikatakan dhaif atau majhul menjadi shahih. Dan saya disini tidak sedang menyatakan apa yang dikatakan Ardabiliy tersebut mutlak benar tetapi saya hanya ingin menjelaskan bahwa duduk perkara Ardabiliy mengeluarkan perkataan demikian bukanlah seperti yang disangkakan oleh penulis tersebut. Penulis tersebut mengesankan pada para pembaca bahwa seolah Ardabiliy seenaknya atau sesuka hatinya mengubah status hadis

    Saya tekankan kepada para pembaca, dalam tulisan di blog ini memang kesannya saya membela mazhab Syi’ah. Saya tidak menyangkal hal itu, tetapi bukan berarti saya adalah penganut mazhab Syi’ah. Saya hanya ingin menunjukkan kepada para pembaca bahwa banyak sekali tuduhan terhadap Syi’ah adalah rekayasa para pembenci Syi’ah yang mereka bungkus dengan tulisan sok ilmiah padahal sebenarnya berupa distorsi dan kedustaan.

    Memang ada tulisan yang baik dan bernada kritik objektif terhadap mazhab Syi’ah dan tidak ada yang perlu dibantah atas sesuatu yang memang objektif dan apa adanya. Bantahan hanya ditujukan pada perkara yang direkayasa atau dibuat-buat untuk melegalkan tuduhan mereka yang merendahkan Syi’ah. Blog ini hanya berusaha menampilkan sesuatu yang objektif adan apa adanya sesuai dengan kemampuan saya. Saya pribadi pun tidak terlepas dari khilaf dan kesalahan maka silakan bagi para pembaca termasuk mereka yang bermazhab Syi’ah memberikan masukannya disini. Salam

  7. Wuih, huft…

    Mantap pak yai..

  8. […] Nama Allah Digunakan Untuk Beristinja’ : Kedustaan Terhadap Syi’ah […]

Tinggalkan komentar