Sedikit Tinjauan Atas Penggunaan Nama Abdur Rasul dan Abdul Husain?

Sedikit Tinjauan Atas Penggunaan Nama Abdur Rasul dan Abdul Husain?

Kalau para pembaca cukup rajin mempelajari kitab atau tulisan para ulama Syi’ah maka para pembaca akan menemukan sebagian dari ulama Syi’ah yang memiliki nama seperti Abdur Rasul atau Abdul Husain. Mungkin di mata orang awam penggunaan nama seperti ini mengindikasikan kesyirikan karena penghambaan hanyalah kepada Allah SWT dan tidak kepada selain-Nya. Dan tidak jarang penggunaan nama ini dijadikan syubhat oleh para nashibiy untuk merendahkan ulama Syi’ah.

Kami akan menyikapi masalah ini secara objektif. Sebenarnya dengan akal yang waras saja kita dapat melihat dan membaca tulisan para ulama Syi’ah, tidak ada satupun dari mereka yang menuhankan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau menuhankan Ahlul Bait termasuk Imam Husain [‘alaihis salaam]. Jadi di sisi mereka nama Abdur Rasul dan Abdul Husain bukan bermakna menuhankan Rasul atau menuhankan Husain.

.

.

.

Dan kalau kita melihat di dalam Al Qur’an dan Al Hadis maka akan kita dapati terdapat penggunaan kata ‘Abdu yang bukan bermakna kesyirikan atau penghambaan kepada selain Allah SWT. Diantaranya adalah sebagai berikut

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan juga orang-orang shalih dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas [pemberian-Nya] lagi Maha Mengetahui [QS An Nuur ; 32]

Allah SWT berfirman dan menyebutkan hamba sahaya kaum muslimin dengan lafaz ‘ibaadikum yang merupakan jamak dari lafaz ‘abdu. Jadi dalam bahasa Al Qur’anul Kariim terdapat lafaz ‘abdu yang disematkan pada kaum muslimin dan lafaz ini tidak bermakna kesyirikan.

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ عَنْ سَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ إِلَى امْرَأَةٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَكَانَ لَهَا غُلَامٌ نَجَّارٌ قَالَ لَهَا مُرِي عَبْدَكِ فَلْيَعْمَلْ لَنَا أَعْوَادَ الْمِنْبَرِ فَأَمَرَتْ عَبْدَهَا فَذَهَبَ فَقَطَعَ مِنْ الطَّرْفَاءِ فَصَنَعَ لَهُ مِنْبَرًا فَلَمَّا قَضَاهُ أَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ قَدْ قَضَاهُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلِي بِهِ إِلَيَّ فَجَاءُوا بِهِ فَاحْتَمَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَهُ حَيْثُ تَرَوْنَ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ghassaan yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haazim dari Sahl [radiallahu ‘anhu] bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus seorang wanita muhajirin dimana wanita tersebut memiliki budak yang pandai mengolah kayu. Beliau berkata kepadanya perintahkanlah hamba sahayamu agar membuatkan mimbar untuk kami. Maka ia memerintahkan hamba sahayanya. Kemudian hamba sahaya itu mencari kayu di hutan dan membuatkan mimbar, ketika selesai wanita tersebut mengutus kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa ia telah menyelesaikan mimbar tersebut. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bawalah mimbar tersebut kepadaku” maka orang-orang membawa mimbar tersebut kemudian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] meletakkannya pada tempat yang sekarang kalian lihat [Shahih Bukhariy 3/154 no 2569]

Dalam hadis shahih di atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menggunakan lafaz ‘abdu untuk hamba sahaya milik seorang wanita muhajirin. Apakah lafaz tersebut bermakna budak itu menuhankan wanita muhajirin tersebut?. Tentu saja mereka yang berakal waras akan mengatakan tidak.

Dalam kitab Shahih Bukhariy, Bukhariy menyebutkan salah satu bab dengan lafaz berikut

بَاب إِمَامَةِ الْعَبْدِ وَالْمَوْلَى وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنْ الْمُصْحَفِ

Bab keimaman seorang budak dan maula, Aisyah pernah diimami budak-nya yang bernama Dzakwan dengan membaca Mushaf [Shahih Bukhariy 1/140].

Apakah dengan menggunakan lafaz ‘abduha, Bukhariy memaksudkan bahwa Dzakwan tersebut menuhankan Aisyah? Sekali lagi mereka yang berakal waras akan mengatakan tidak. Lafaz ‘abduha di atas bermakna budaknya atau hamba sahaya-nya Aisyah [radiallahu ‘anha].

حدثني أبو الطاهر قال أخبرني ابن وهب عن مالك بن أنس عن ثور بن زيد الدؤلي عن سالم أبي الغيث مولى ابن مطيع عن أبي هريرة ح وحدثنا قتيبة بن سعيد وهذا حديثه حدثنا عبدالعزيز ( يعني ابن محمد ) عن ثور عن أبي الغيث عن أبي هريرة قال خرجنا مع النبي صلى الله عليه و سلم إلى خبير ففتح الله علينا فلم نغنم ذهبا ولا ورقا غنمنا المتاع والطعام والثياب ثم انطلقنا إلى الوادي ومع رسول الله صلى الله عليه و سلم عبد له وهبه له رجل من جذام يدعى رفاعة بن زيد من بني الضبيب فلما نزلنا الوادي قام عبد رسول الله صلى الله عليه و سلم يحل رحله فرمي بسهم فكان فيه حتفه فقلنا هنيئا له الشهادة يا رسول الله قال رسول الله صلى الله عليه و سلم كلا والذي نفس محمد بيده إن الشملة لتلتهب عليه نارا أخذها من الغنائم يوم خبير لم تصبها المقاسم قال ففزع الناس فجاء رجل بشراك أو شراكين فقال يا رسول الله أصبت يوم خبير فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم شراك من نار أو شراكان من نار

Telah menceritakan kepada kami Abu Thahir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab dari Malik bin Anas dari Tsaur bin Zaid Ad Dualiy dari Salim Abu Ghaits mantan budak Ibnu Muthi’ dari Abu Hurairah. Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id dan ini adalah haditsnya, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz [yaitu Ibnu Muhammad] dari Tsaur dari Abu Ghaits dari Abu Hurairah dia berkata Pada hari Khaibar kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga Allah memberi kemenangan kepada kami, namun ghanimah yang kami peroleh bukan berupa emas atau perak, melainkan harta benda, makanan dan pakaian. Kemudian kami bergegas menuju sebuah bukit. Dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu bersama dengan budak beliau yang diberikan oleh seorang lelaki dari Judzam yang biasa dipanggil dengan nama Rifa’ah bin Zaid dari bani Adh Dhubaib. Ketika kami sampai di bukit itu, budak Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut berdiri untuk melepaskan ikatan tali pelananya. Namun tiba-tiba dia dipanah, dan menemui ajalnya di sana. Kami pun berkata “kami mengucapkan selamat baginya wahai Rasulullah karena telah mendapatkan mati syahid”. Tapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] malah berkata “Tidak, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh ia akan dilahap oleh api neraka karena selimut dari ghanimah perang Khaibar yang diambilnya sebelum dibagikan”. Abu Hurairah berkata Orang-orang pun terkejut. Setelah itu datanglah seorang lelaki dengan membawa seikat atau dua ikat tali sandal seraya berkata, Wahai Rasulullah, aku dapatkan ini saat perang Khaibar. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata Seikat tali sandal dari api neraka atau dua ikat tali sandal dari api neraka [Shahih Muslim 1/108 no 115]

Perhatikan lafaz hadis Muslim di atas yaitu ‘abdu Rasulullah tersebut berdiri. Apakah yang dimaksud dengan lafaz tersebut adalah budak tersebut menuhankan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Tentu saja orang yang berakal waras akan mengatakan tidak.

Ayat Al Qur’an dan hadis-hadis shahih di atas menunjukkan bahwa lafaz ‘abdu bisa saja disematkan pada seseorang tertentu dari kalangan kaum muslimin dan lafaz tersebut bermakna budak atau hamba sahaya atau pembantu dari orang tersebut bukan bermakna kesyirikan atau menuhankan selain Allah SWT.

.

.

Kembali ke nama yang dipakai oleh sebagian orang Syi’ah dengan sebutan Abdur Rasul atau Abdul Husain maka itu tidak lain bermakna sebagai budak atau hamba sahaya atau pembantu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau Imam Husain [‘alaihis salaam]. Kalau ada yang membantah bagaimana mungkin itu diartikan sebagai budak karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Imam Husain [‘alaihis salaam] sudah wafat. Ya tidak ada masalah, mungkin maksud pemberian nama tersebut adalah agar yang bersangkutan menjadi seorang yang selalu mentaati perintah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau Imam Husain [‘alaihis salaam] layaknya seperti budak atau hamba sahaya keduanya.

Kami juga tidak menafikan bahwa di sisi para ulama ahlus sunnah penggunaan nama seperti Abdur Rasul dan Abdul Husain termasuk perkara yang diharamkan dengan alasan penghambaan itu hanya kepada Allah SWT bukan kepada selain Allah SWT. Tetapi sayangnya fatwa ulama ahlus sunnah tidak menjadi hujjah bagi ulama Syi’ah. Adapun alasan penghambaan itu hanya kepada Allah SWT maka hal itu disepakati juga oleh ulama Syi’ah hanya saja mereka memaksudkan nama Abdur Rasul dan Abdul Husain bukan sebagai penghambaan dalam arti menyembah dan menuhankan tetapi dalam arti sebagai hamba sahaya yang senantiasa mentaati tuannya dalam hal ini Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau Imam Husain [‘alaihis salaam].

Dengan tulisan ini kami hanya ingin menunjukkan bahwa penggunaan nama tersebut di sisi Syi’ah tidak sedikitpun bermakna kesyirikan sebagaimana yang dikatakan oleh para nashibiy dan orang awam yang tidak tahu ilmunya. Dan telah kami tunjukkan bahwa Al Qur’an dan Hadis mengizinkan penggunaan lafaz ‘abdu yang disematkan pada selain Allah SWT dan bukanlah lafaz tersebut bermakna kesyirikan atau menuhankan selain Allah SWT.

Kami pribadi juga tidak menyukai penggunaan nama seperti itu karena menurut kami di mata orang awam penggunaan nama tersebut mungkin dapat menimbulkan fitnah. Tetapi kami tidak akan merendahkan orang yang memiliki nama tersebut apalagi jika yang bersangkutan memang seorang muslim atau ulama yang tentunya hanya menyembah kepada Allah SWT.

42 Tanggapan

  1. argumen artikel ini rawan dimanfaatkan penginjil Kristiani.
    karena mereka juga sering makai nama Abdul Masih.
    dan alasannya beragam , dari yg bilang tdk menuhankan, sampai dgn yg menuhankan Nabi Isa al-Masih.

    terus terang, lebih banyak statement Syiah yg jadi amunisi Kristiani utk mendiskreditkan Islam, ketimbang statement Sunni.

    saya berani bilang demikian, karena saya hidup di komunitas muallaf.

  2. @ nugon
    bisa diperjelas contoh2 statement syiah yg dijadikan amunisi kristenisasi?.
    untuk kasus ‘abdu’ bukannya nabi Isa as yg menyatakan Inni ‘abdullah “aku hamba Allah”, didistorsi oleh pendeta nasrani jadi “Inni ‘ibnullah” – aku anak Allah.
    ataniyal kitaba waja’alani nabiya _di datangkan kepadaku al kitab, dan dijadikan aku seorang nabi_ QS Maryam :30-32

  3. yg ngomong abdullah kan Nabi Isa, bukan orang kristen. yg saya bilang kan orang kristen.

    orang Kristen berani pakai nama Abdul Masih.
    banyak beredar kok, misa di buku Kristologi.
    kalau didebat….ujungnya bilang, ah di Islam juga sama dgn kami.

    kata orang Kristen Al-Quran dah nggak murni.
    kalau didebat, nanti copas tulisan orang Syiah, juga paparan ulama Sunni yg mirip di blog ini.

    ada evangelis Kristen yg jeli dan rajin memantau blog macam ini.
    lalu dijadikan amunisi utk mendiskreditkan Islam.

    orang Islam katanya damai.
    tapi para sahabat Nabi (sesama sahabat, sesesama keluarga perang seperti dunia persilatan.
    makanya orang Kristen bilang orang Islam seperti orang Yahudi, masih pakai hukum taurat, hukum perjanjian lama yg bernuansa kekerasan.

    orang Islam cinta damai.
    tapi tradisi meratapi karbala sambil menyiksa diri sambil berdarah-darah…direkam dlm benak orang Kristen.
    lalu dipublikasikan sebagai agama primitif, cinta darah.
    diperparah dgn amunis tradisi Kurban yg penuh banjir darah.

    di luar debat kusir Sunni – Syiah…
    hal ini yg harus dicermati oleh semua pihak.

  4. om nugon, kayaknya ga nyambung.

  5. @ nugon
    Ini blog bukan debat kusir sunni-syiah, menurut saya blog ini berisi analisis objektif terhadap mazhab syiah.
    analogi,contoh kasus : saat WTC di bom, isu yg kuat dihembuskan adalah Islam agama teroris.
    orang yg dihinggapi Islamphobia pasti dgn adanya kasus WTC makin benci thd Islam.makin muak.jelas contohnya..!!
    tapi tidak semua orang mudah terhasut.
    ada orang yg makin dijelek jelekin makin penasaran pingin tahu. benarkah begitu?.
    persis seperti saya, saat di mana2 menghujat syi’ah, syiah itu kafir sesat.ternyata kalau ditelusuri secara objektif, beda hasilnya.
    das sollen tidak sama dgn das sein.
    agama Islam ternyata tidak sama dgn orang Islam.
    teori yg indah kadang tidak selalu sesuai dgn fakta.

  6. Hehehe orang Kristen pake terminologi Islam…huuu dah basi kaleee. Mangkanya mas klo gaul yang luas. Saudara2 kita Kristen di Mesir, Syria, Lebanon dah ratusan tahun kalee pake “terminologi” Islam dalam liturgi2 mereka. Sampeyan tahu Tuhan Bapa dalam Bible arab itu jadi Allah al Ab. Trus banyak jg liturgi2 gereja mereka juga pakai istilah Ya Rab sebagai ganti kata Tuhan. Klo di Jakarta setahu ane dah ada tuh gereja arab Koptik. Coba sampeyan masuk trus dengerin kidung2 pujian mereka yakin sampeyan tambah pyusiinggg…orang muslim SEJATI gak mungkin keblinger dengan saudara2 Kristen yang pake “terminologi” Islam gak tahu klo sampeyan hehehe

  7. hm saya merasa yg saya omongin nyambung dgn judul/topik artikel ini.
    dan topik ini bagi saya termasuk debat kusir sunni-syiah.
    kan karena ini , yg ngaku sunni , mendiskreditkan syiah.
    yg ngaku syiah bilang tdk berprilaku musyrik.
    tapi yg ngerti bhs arab, bilang itu tetap menjurus ke musyrik.
    muter-muter di situ.
    dan kenyataannya memang jadi amunisi buat orang Kristen tuh…buat mendiskreditkan Islam.

    ini kelemahan orang Islam yg hidup di komunitas yg homogen (di tempatnya sendiri sbg mayoritas).
    tdk peka, tdk tahu yg dialami oleh muslim yg jadi minoritas.
    apalagi minoritas dari minoritas – muslim dari etnis yg mayoritas non-muslim.

    sering-sering gaul mas….
    mencari kebenaran itu tdk buta dgn realita dan fakta di lapangan.
    mencari kebenaran dan menyampaikan itu juga harus bijak.
    sekali-kali coba deh jadi minoritas di mayoritas muslim…
    hidup lama di sana, dikelilingi orang sinis thd Islam.

  8. @nugon

    Soal argumen yang sering dimanfaatkan oleh orang kristiani maka itu tidak hanya berlaku pada blog ini tetapi juga berlaku pada blog-blog salafy dan intinya setiap blog yang merujuk pada kitab-kitab hadis bisa saja dijadikan amunisi orang kristiani. Dan anehnya hal seperti itu adalah kenyataan yang tidak tergantung dengan adanya blog semacam ini atau tidak. Misalnya soal riwayat tahrif Al Qur’an, banyak riwayat yang tersebar dalam kitab hadis [baik Sunni atau Syi’ah] baik shahih atau pun dhaif. Ada orang kristiani yang menjadikan riwayat itu untuk mencela Islam tidak menafikan fakta bahwa riwayat tersebut memang ada. Oleh karena itu sikap yang harus ditunjukkan bukan menghindari riwayat2 semacam itu tetapi menghadapi riwayat-riwayat tersebut dan mematahkan argumen mereka dengan baik. Begitulah caranya orang yang berjalan di atas kebenaran.

    Saya bisa kasih contoh soal hadis Al Gharaniq, hadis itu tercantum dalam kitab-kitab ahlus sunnah terdapat pula ulama yang menguatkan kisah tersebut seperti Ibnu Hajar [walaupun tidak dinafikan terdapat sebagian ulama lain yang mendustakannya]. Banyak kalangan anti islam yang merendahkan Islam dengan mengutip riwayat semacam itu. Apa anda akan menyalahkan para ulama karena menulis riwayat semacam itu dalam kitab mereka?. Tidak perlu, cukup hadapi saja adanya riwayat semacam itu, kalau memang dhaif maka buktikan kedhaifannya dan bantah saja argumen orang-orang anti islam tersebut.

    Dalam perkara Sunni-Syi’ah, golongan salafy itu paling sering menunjukkan sikap yang mirip dengan blog anti islam tersebut yaitu mengutip2 riwayat Syi’ah dengan tujuan merendahkan Syi’ah. Itu adalah sesuatu yang memang nyata terjadi dan bagi mereka yang peduli ya hadapi saja, silakan bahas syubhat para salafy itu dengan hujjah yang objektif, itulah jalan orang yang berada di atas kebenaran

    Soal tulisan di atas, anda sok mengatakan orang arab akan memahami nama tersebut kepada kesyirikan, saya katakan saya tidak menafikan pada umumnya orang awam akan memahaminya seperti itu, oleh karena itulah tulisan ini berusaha menunjukkan kebenarannya kepada mereka yang awam bahwa Al Qur’an dan Al Hadis pernah menggunakan lafaz yang seperti itu, jadi tidak mesti lafaz “abdu” itu bermakna kesyirikan jika dinisbatkan pada selain Allah SWT karena lafaz tersebut bisa bermakna hamba sahaya kaum mukminin termasuk hamba sahaya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

    Perkara orang kristiani mau menjadikan masalah ini sebagai bahan syubhat mereka untuk merendahkan Islam ya silakan tinggal dihadapi argumen mereka dan dibahas dan dibuktikan kebenarannya. Apa yang perlu anda takutkan jika anda yakin anda berada di atas jalan kebenaran?. Bukankah orang islam berani membahas kitab Injil kemudian berdebat dengan orang kristiani mengenai keyakinan mereka dan ternyata kalau orang kristiani berbalik membahas kitab pegangan orang islam maka mengapa orang islam mesti takut?

    Fenomena seperti itu banyak dan tidak hanya tergantung Sunni dan Syi’ah, Saya juga dahulu lumayan sering membaca tulisan syubhat orang-orang anti islam dan memang yang mereka serang adalah Al Qur’an dan Al Hadis. Mungkin dalam kasus anda, anda sering menemukan argumen Syi’ah yang dijadikan amunisi tetapi dalam kasus saya justru yang sering saya temukan adalah argumen Sunni yang dijadikan amunisi terutama kitab Shahih Bukhariy Muslim.

  9. kenapa saya dikatakan “sok” mengatakan orang arab akan memahami nama abdur rasul dan abdul husain menjurus ke kemusyrikan???

    padahal kenyataannya memang begitu. dan saya diskusi, menanyakan ke yg faham bahasa arab, semua menyatakan demikian. mau lulusan ponpes-nya NU, mau orang Salafi yg di LIPIA, sami mawon.

    kalau anda merasa punya argumen ilmiah, ya paparkan saja kajiannya, dari sudut pandang nahwu shorof balaghoh.

    macam link berikut yg membabat paham tajsim dan tasybih.
    http://www.aswj-rg.com/2014/02/pengertian-tasybih-dan-tajsim-menurut-ahlussunnah-bhg-1.html

    nah itu baru ilmiah, dan tulen mencari kebenaran.

    dan saya lebih percaya guru saya, dan link-link sunni yg beredar.
    karena kebanyakan tdk majhul, orangnya jelas, bisa dicek.
    dan kebanyakan punya sanad bersambung (ini mayoritas Non Salafi/Wahabi).

    btw, menyinggung Shohih Muslim, Shohih Bukhori…
    OOT sedikit.
    apa ada Kumpulan Hadits Shohih pd Syiah?
    apa ada terjemahannya dan dijual bebas?
    apa ada referensi ilmu mustholah hadits dan ushul tafsir ala Syiah?
    kalau ada , apa nama kitabnya? apa ada terjemahannya?
    dan itu utk Syiah aliran mana?

    karena yg beredar sekarang adalah Sunni.
    wajar kalau banyak yg bisa evaluasi/mengkritisi Sunni.
    lah kalau Syiah, bagaimana kita mau belajar, mengevaluasi dan mengkritisinya, wong sulit dicari.
    kita juga tdk tahu, apakah orang yg mengkritik Syiah, benar omongannya, dan mengutip dari referensi yg benar.

    last, tdk ada data asli anda ya?
    agak ndak enak kalau belajar sama orang majhul.
    rasa percaya menurun.
    padahal mencari kebenaran dan rasa percaya, berjalan seiringan.

    makanya kita belajar 4 sifat wajib Nabi….karena selain Nabi membawa kebenaran, karakteristik Nabi memang merupakan orang yg patut dipercaya. sehingga kalau blm paham dgn ajarannya, tetap masih mau nerima, karena orangnya bisa dipercaya.

    mas SP, anda belajar ngajinya di mana saja?
    baca buku apa saja?
    sehingga bisa mahir seperti sekarang?
    apa mondok di pesantren atau kuliah di ma’had juga?
    siapa saja gurunya? (karena ingat ujaran orang NU, belajar tanpa guru, bagai belajar dgn setan).
    penasaran lho.
    biar kita bisa mahir seperti anda juga.

    Salam – Nugon

  10. @nugon

    Anda pahami dengan hati2 tulisan bang SP. Jangan tergesa2. Apa yang menjadi dasar argumen dari bang SP sangat jelas dan mudah dipahami. Dalam tanya jawab ada etikanya, dan anda terakhir menyerang bang SP secara Ad Hominem sungguh konyol dan tidak beralasan………

  11. @nugon

    Soal kata sok yang saya gunakan itu hanya karena hujjah anda tersebut sebenarnya lemah dibandingkan hujjah dalam tulisan saya di atas. Anda berhujjah dengan penggunaan bahasa orang awam sedangkan saya berhujjah dengan Al Qur’an dan Hadis shahih. Kemudian anda mentahkan hujjah saya dengan alasan bahasa arab orang awam, itu kan sok sekali atau sebenarnya anda tidak paham cara berhujjah.

    Silakan anda boleh tanya siapapun orang yang faham bahasa arab dan apapun kata mereka tidak akan mematahkan hujjah yang saya pakai kecuali kalau mereka mau menolak Al Qur’an dan hadis shahih yang saya pakai di atas. Jadi saya sederhana saja silakan mereka berhujjah dengan bahasa arab orang awam versi mereka dan saya memakai hujjah bahasa arab dari Al Qur’an dan hadis Shahih Bukhariy dan Muslim.

    Anda tidak perlu memaksa saya harus berhujjah dengan gaya situs yang anda kagumi, setiap orang punya cara sendiri dalam berhujjah. Kalaupun anda mau mengatakan tulisan saya tidak ada nilainya dibandingkan situs yang anda pamerkan itu maka itu tidak menjadi masalah bagi saya. Secara saya bukan siapa-siapa dibanding pemilik situs yang anda pamerkan tersebut. Walaupun begitu untuk tulisan saya di atas bisa dikatakan hujjah saya sudah lebih dari cukup, kalau anda mau membantah maka silakan bawakan bantahan yang ilmiah bukan dengan bantahan bahasa arab orang awam. Itu kan lucu sekali

    Soal siapa yang anda percayai itupun bukan urusan saya. Saya tidak memaksa anda untuk mempercayai saya dan saya tidak sedikitpun butuh kepercayaan dari anda. Tulisan saya bukan untuk orang-orang seperti anda yang lebih suka melihat orang yang menulis daripada isi tulisannya. Tulisan saya lebih saya tujukan pada mereka yang memang ingin mencari kebenaran, dan sangat tidak sulit untuk memverifikasi apakah yang saya tulis tersebut benar atau tidak. Tinggal buka Al Qur’anul Karim, kitab Shahih Bukhariy dan Shahih Muslim.

    Soal OOT yang anda singgung maka saya tidak akan menghabiskan banyak kata untuk menanggapinya. Lebih baik saya sarankan kalau anda ingin tahu lebih banyak mengenai Syi’ah, kitab-kitab mereka dan terjemahannya maka silakan anda tanyakan pada orang-orang Syi’ah. Atau silakan anda merujuk pada situs-situs Syi’ah yang banyak menyediakan kitab mazhab mereka secara gratis.

    Alhamdulillah saya tidak seperti anda, anda sendiri disini tergolong orang yang majhul tidak ada data asli anda tapi komentar anda tetap saya perhatikan tanpa saya merasa perlu mengetahui siapa diri anda. Jadi perbedaan antara saya dan anda sudah sangat jelas, apapun yang saya katakan mungkin tidak ada nilainya bagi anda karena bagi anda, saya seorang yang majhul. Yup kasus selesai dan tidak akan bisa maju kemana-kemana lagi. Terimakasih atas komentarnya dan Salam 🙂

  12. Jadi teringat ceramah Ali Nouman Khan, bahwa kita umat Islam terjebak pada posisi defensive, dimana kita merasa “diharuskan” untuk menjawab (bertahan) terhadap pertanyaan (serangan) dari non-muslim. Termasuk pertanyaan2/hujatan2 yang tidak masuk akal, celakanya lagi kita merasa harus bisa memuaskan mereka (bayangkan Rasulullah saja tidak ada kewajiban tersebut 😦 ).
    Mas Nugon, tidak ada habis2nya usaha non-muslim untuk merusak mencari2 kesalahan, mengagitasi (contohnya anda terganggu dengan tulisan2 yang bisa jadi sasaran tembak non-muslim). Ada jutaan tulisan yang bisa dipermasalahkan oleh mereka termasuk Al-Qur’an yang diciptakan Allah SWT. Kenapa ini bisa terjadi? bukan salah pada tulisan2 tsb, salahnya ada pada mereka yang hatinya gelap/kotor dan otaknya jahil.
    Ada satu contoh yang membuat saya terheran2 (bisa lihat di youtube debat Habib Riziek dengan Nasrani). Kita muslim menganggap bahwa saat ini Islam adalah satu2nya agama yang bebas dari syirik, namun ada seorang ibu2 nasrani yang sedang ambil S2/S3 (bukan orang awam lho)tentang perbandingan agama, yang meyakini bertanya kenapa Islam terjebak pada menyembah bulan…hahaha. Bukankah ini salah satu contoh bahwa semua interpretasi non-muslim (baca: semua manusia) atas tulisan2/kitab2 di Islam adalah diluar kemampuan kita untuk mengendalikan.
    Saya kuatir sikap defensive anda secara tidak sadar sudah membawa anda kepada alergi/phobia terhadap tulisan2 yang dapat dijadikan sasaran tembak non-muslim yang jahil.

    salam damai 🙂

  13. bagi sy sih debatan ala Nu gon ini sdh ngga aneh …secara mereka terbiasa menjadikan wahn lebih utama dr hukum alquran antaranya sdh terbukti dgn suni menghiraukan ttg hukum wudhu yg sdh jelas dlm alquran…..sepertinya kok suni malah mempersulit diri dlm beragama dimana justru Nabi Saw sendiri malah suka menganjurkan mempermudah dlm berislam?!

  14. @TS08

    Maaf super-super OOT

    Tidak semua org yang berbuat kesalahan itu dikarenakan hatinya gelap/kotor dan otaknya jahil. Guru saya sering mengingatkan bahwa bisa saja dosa dilakukan karena kebodohan seseorang atau kerana hati seseorang itu ada penyakitnya atau bisa saja keduanya bodoh dan ada penyakit dalam hati.

    Untuk kasus seorang ibu nasrani yang sedang mengambil S3 ttg perbandingan agama. Sudah selayaknya ibu tersebut diberikan penjelasan yang persuasif oleh pembicara dari Islam. Kerana boleh jadi kesalahan pahaman ibu itu berasal dari sumber bahan2 penelitiannya “tercemar” a.k.a tidak otentik bukan semata2 hatinya kotor dan otaknya jahil. Tugas pembicara dari kelompok Islamlah yang harus mempresentasikan bukti2 kepada ibu tersebut baik dari sisi Al-Quran maupun sisi historisnya e.g bahwa Allah SWT itu bukanlah dewa Bulan sebagaimana yang di diperbincangkan oleh sebagian sarjana2 Kristen.

    Jujur, debat Islam-Kristen tidak akan PERNAH menyelesaikan perbedaan diantara kedua agama tersebut. Sebagaimana debat Sunni dan Syiah. karena masing2nya memiliki “dogma” yang mana harus dipatuhi oleh para pengikutnya. Baik dalam Kristen, Sunni ataupun Syiah….sebab hanya dengan kepatuhan atas “dogma2” itu sajalah yang akan membawa para pengikut agama tersebut (Sunni-Syiah dan Kristen) kepada surga yang dijanjikan. Meskipun saya sendiri tidak terlalu suka dengan keterikatan diri akan “dogma”…tapi…………………….

  15. @SP:
    saya kok dibilang majhul. kan anda sudah collect data email dan nama saya , setiap saya isi comment (generation card). nama saya Nugroho Laison, disingkat (akronim) Nugon. orang IT – System Analyst pd divisi Business Intelligence, kerja di perusahaan yg masih 1 group dgn Indofood, kerja di daerah Sudirman, Jakarta.
    jadi siapa yg majhul ya???

    anda bilang anda menjelaskan dgn bhs Arab dari Al-Quran dan Hadits Shohih. tapi anda tdk memaparkan fundamental analisa ilmu bahasa Arab dlm mengkaji hal tsb. ini kan namanya berargumen dgn klaim. maaf, yg saya tangkap dari penjelasan anda utk kasus ini, lebih ke tafsir, bukan analisa bahasa.

    kalau artikel yg lain , saya tdk complain, saya beberapa kali baca…saya sadar blm punya ilmunya, dan analisa anda tajam, layak dipertimbangkan. tapi kalau buat artikel ini, maaf-maaf saja, kok serasa anti-klimaks, dan tdk mendalam , sebgm biasanya anda berargumen. makanya saya nanya dan kasih saran. apalagi sudah cross-check dgn ustadz dan penuntut ilmu yg kompeten dlm Bhs Arab.

    saya tdk sepintar anda dlm mengkritisi, mengevaluasi banyak literatur Sunni, dan mengevaluasi kecacatan kritik Sunni thd Syiah.
    dan saya bertanya bagaimana cara saya sepintar anda.

    kalau anda tanya saya suruh cari tahu ke Syiah, saya tdk punya koneksi dan referensi ke Syiah. guru saya, rekan saya, semuanya Sunni.

    justru karena melihat ketajaman anda mengevaluasi banyak artikel kritik Sunni thd Syiah, makanya saya bertanya ke anda.
    anda bisa melakukan evaluasi , pasti tlh mengalami proses pembelajaran, dan pasti punya kemampuan. sebab kalau orang tdk punya kemampuan main asal evaluasi, namanya tdk profesional. tapi sepertinya anda profesional sekali dlm melakukan evaluasi tsb.

    kalau ada pintu dan jalan di depan mata, kenapa harus jalan jauh, cari yg lain, yg blm pasti??

    kalo saya tanya yg terlalu Pro Sunni, jadinya kurang obyektif kan?
    tetapi kalau saya tanya ke anda, apalagi motto anda adalah “Pencari Kebenaran”, dan analisanya tajam…tentu sikap saya ini dibenarkan dong?!

    @Setiadarma:
    terus saya dibilang ad-hominem? seperti apa ya maksudnya? di mana saya melakukannya ya? saya tdk merasa melakukannya.

    @TS08:
    anda lihat video diskusi Habib Rizieq dgn puluhan (seratus lebih) murid sekolah teologi Kristen Kalamullah tsb..saya langsung datang dan menghadirinya. dpt undangan langsung dari Forum Arimatea, yg memang banyak menghadirkan nara sumber dari Haba-ib. undangannya saja , saya dapat di Cidodol, langsung dari murid-murid Habib Umar. saya dapat di tempat halaqoh alm. Habib Munzir.

    jadi saya tahu benar alur diskusi, motif, latar belakangnya.
    dan Koko saya adalah murid dari Habib Rizieq Syihab.
    termasuk murid generasi awal Habib Rizieq Syihab buka majelis pengajian di Petamburan sana.

    @abahzilan:
    saya sebagai muallaf, tdk merasa belajar Sunni itu mempersusah diri. justru banyak kemudahan, setelah tahu ilmunya, mengaji di guru-guru Sunni saya.

    saya sekolah di Muhammadiyah, ngaji Sifat 20 dan baca al-Quran dgn Ustadz Hassan di daerah Gg Liam Kedoya (sudah digusur tempatnya jadi jalan panjang Kedoya), saya sempat ngaji sedikit sama KH Dimyati Badruzzaman di Depok (sekarang beliau jadi ketua MUI Depok) dan alm Ustadz Tadjuddin di Depok <keduanya adalah guru di Ponpes Al-Hamidiyah Depok). saya juga ikut halaqoh Tarbiyah waktu SMA, nyambi ngaji dgn Haba-ib di daerah Mawar, daerah Proyek Bekasi, sempat ngaji juga dgn Ustadz Zainul Arifin dari PERSIS, di masjid komplek rumah Mama ane, bahas Bulughul Marom.

    selama saya ngaji, saya tdk melihat Sunni menyulitkan hidup, justru memberi pencerahan.

    apalagi setelah berkenalan dgn komunitas Majelis Rasulullah yg dimotori oleh alm. Habib Munzir, justru semakin mudah dan paham, Islam begitu indah dan tdk menyusahkan manusia.

    kalau Sunni menyusahkan, kenapa 60%-80% (bahkan ada yg bilang 90%) Muslim memilih/menganut Sunni????

    lagian susah itu relatif, tergantung kadar kemampuan, kemauan dan selera masing-masing pribadi.

  16. @nugon

    Setahu saya Al Qur’an itu menjadi salah satu referensi pokok didalam upaya setiap orang yang hendak mencoba memahami dan mempelajari bahasa arab. Apalagi bahasa arab di dalam Al Qur’an merupakan sarana yang dipakai oleh Allah dalam menuntun manusia ke jalan Nya. Jadi sangat beralasan kiranya kalau mas @SP menjadikannya sebagai bahan bukti paling valid tentang bagaimana satu kosa kata bahasa Arab dipakai dan digunakan sebagai sarana mengkomunikasikan tentang sesuatu.Dan terbukti sangat nyata sekali bahwa penggunaan kata ‘abdu yang disandingkan dengan kata lainnya pada ayat dan riwayat yang dibawakan di atas sama sekali tidak melulu mengandung konotasi penuhanan sebuah obyek selain Allah.
    Adapun kemudian penggunaan kata tersebut mengalami perkembangan dan terbukti juga dipakai dalam sebuah ungkapan yang dipahami terkandung di dalamnya unsur menuhankan/syirik kepada Allah maka solusinya bukan dengan jalan menafikan salah satunya diantara pemaknaan yang ada atas kata tersebut tetapi hendaknya dikembalikan kepada motif si pengguna ungkapan tersebut tatkala ia menggunakannya. Salam damai . .

  17. @nugon

    saya kok dibilang majhul. kan anda sudah collect data email dan nama saya, setiap saya isi comment (generation card). nama saya Nugroho Laison, disingkat (akronim) Nugon. orang IT – System Analyst pd divisi Business Intelligence, kerja di perusahaan yg masih 1 group dgn Indofood, kerja di daerah Sudirman, Jakarta.
    jadi siapa yg majhul ya???

    Masih mau lanjut dibahas nih, Mana saya tahu kalau nickname dan email anda itu memang menunjukkan identitas diri anda yang sebenarnya. Saya mau tanya pada saat anda menggunakan kata “majhul” saat menyindir saya bukankah anda mengaitkan kemajhulan itu dengan “rasa percaya” dan “mencari kebenaran” sebagaimana anda bilang “agak ndak enak kalau belajar sama orang majhul”. Dan sekarang anda seolah menunjukkan bahwa kemajhulan itu terangkat dengan menyebutkan nama dan tempat bekerja. Saya heran apa kaitannya dengan cara anda belajar dengan identitas diri dan tempat bekerja. Apa dengan sekedar keterangan yang anda sebutkan membuat diri anda sebagai orang yang layak dipercaya perkataannya.

    Pernahkah anda belajar ilmu hadis, dalam ulumul hadis ada dua jenis majhul yaitu majhul ‘ain dan majhul hal. Majhul ‘ain artinya tidak dikenal keterangan tentangnya dan hanya satu orang yang meriwayatkan darinya sedangkan Majhul hal artinya tidak dikenal kredibilitasnya walaupun terdapat keterangan tentang orang tersebut. Nah saat anda menyindir saya dengan kata majhul itu merujuk pada definisi yang mana?. Atau anda hanya sekedar mengandalkan terjemahan kata majhul yang berarti “tidak dikenal” bukan merujuk pada definisi per ilmu hadis kemudian setelah anda menyebutkan keterangan diri anda maka anda dengan mudahnya mengatakan bukan majhul.

    Pandangan saya mengenai “majhul” versi anda itu benar-benar tidak penting. Memang sudah jelas bahwa metode saya dan anda berbeda dalam mencari kebenaran. Saya tidak akan sibuk mempermasalahkan identitas asli nama penulis atau tempat dimana ia bekerja [kalau memang penulis tersebut menyebutkannya ya bagus tetapi kalau nggak juga gak masalah] untuk menentukan apakah tulisannya layak diterima atau tidak. Tinggal dilihat isi tulisannya, verifikasi literatur yang ia gunakan dan analisis dengan baik logika penarikan kesimpulan dalam tulisannya. Sedangkan anda mungkin beranggapan nama penulis dan tempat dia bekerja adalah hal penting dalam mencari kebenaran. Silakan saya tidak akan memaksa anda harus bagaimana dan saya rasa andapun tidak perlu memaksa saya harus bagaimana.

    Sekedar info ini bukan pertama kalinya saya berdiskusi dengan orang seperti anda. Pengalaman saya sebelumnya, biasanya orang yang sibuk menuduh blog anonim dengan tuduhan majhul adalah orang yang hanya percaya dengan guru atau Ustadz yang ia kagumi saja atau Ustadz dari golongannya saja sedangkan kalau Ustadz lain yang berbeda mazhabnya [misalnya salafy] maka tidak peduli setinggi apapun pendidikannya meski sudah sampai S3 di tanah Arab sana tetap saja tidak akan dipercayainya. Jadi memang tidak ada gunanya tuduhan majhul tersebut selain ingin menunjukkan bahwa hanya Ustadz dan gurunya saja yang bisa dipercaya, yang lain tidak. Dan orang seperti itu biasanya juga tidak bisa mempelajari ilmu dari sumber rujukan melainkan hanya bisa mengambil dari guru dan Ustadz-nya saja.

    anda bilang anda menjelaskan dgn bhs Arab dari Al-Quran dan Hadits Shohih. tapi anda tdk memaparkan fundamental analisa ilmu bahasa Arab dlm mengkaji hal tsb. ini kan namanya berargumen dgn klaim. maaf, yg saya tangkap dari penjelasan anda utk kasus ini, lebih ke tafsir, bukan analisa bahasa.

    Maaf ya kalau saya katakan anda tidak paham betul cara beragumentasi bahkan anda tidak paham apa yang namanya klaim dan apa yang namanya tafsir. Saya tidak keberatan untuk mengulangi secara ringkas inti argumen saya di atas. Yang dipermasalahkan dalam tulisan saya di atas adalah Apakah lafaz “abdu” itu tidak boleh digabungkan dengan lafaz selain Allah? atau Apakah lafaz “abdu” jika digabungkan kepada selain Allah akan selalu bermakna kesyirikan?. Argumen saya di atas menunjukkan

      Al Qur’an pernah mengabungkan lafaz “abdu” dalam bentuk jamak kepada kaum mukminin yang berarti hamba sahaya kaum mukminin
      Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menyebutkan lafaz “abdu” pada seorang wanita muhajirin yang berarti budak atau hamba sahaya wanita tersebut [lihat Shahih Bukhariy di atas]
      Abu Hurairah pernah menyebutkan seseorang dengan lafaz “abdu Rasulullah” [Lihat Shahih Muslim di atas]
      Imam Bukhariy pernah menyebutkan judul bab dalam kitabnya dan menyebut budak Aisyah dengan lafaz “abdu” [Lihat Shahih Bukhariy di atas]

    Jadi saya telah menunjukkan bahwa lafaz “abdu” bisa digabungkan pada selain Allah SWT dan bermakna sebagai hamba sahaya seseorang bukan bermakna kesyirikan. Dimana letak saya mengklaim atau memberikan tafsiran, itu jelas-jelas bunyi lafaz dalam Al Qur’an dan Hadis

    kalau artikel yg lain , saya tdk complain, saya beberapa kali baca…saya sadar blm punya ilmunya, dan analisa anda tajam, layak dipertimbangkan. tapi kalau buat artikel ini, maaf-maaf saja, kok serasa anti-klimaks, dan tdk mendalam , sebgm biasanya anda berargumen. makanya saya nanya dan kasih saran. apalagi sudah cross-check dgn ustadz dan penuntut ilmu yg kompeten dlm Bhs Arab.

    Tidak perlu panjang berbasa-basi. Anda tidak perlu percaya saya cukup anda buka Al Qur’an dan buka kitab Shahih Bukhariy dan Muslim, kemudian tunjukkan Al Qur’an dan Hadis yang saya gunakan di atas kepada Ustadz anda dan penuntut ilmu bahasa Arab yang anda bilang kompeten. Kalau mereka masih bilang lafaz “abdu” dalam Al Qur’an dan hadis-hadis di atas itu bermakna kesyirikan maka akan nampak jelas siapa sebenarnya yang berhujjah dan siapa yang hanya sekedar menurutkan hawa nafsunya

    saya tdk sepintar anda dlm mengkritisi, mengevaluasi banyak literatur Sunni, dan mengevaluasi kecacatan kritik Sunni thd Syiah.
    dan saya bertanya bagaimana cara saya sepintar anda.

    Saya tidak tahu soal itu kan yang bilang pintar itu anda, bagi saya ya biasa saja, saya hanya berusaha untuk belajar dengan objektif tinggal baca literatur Sunni atau Syi’ah yang ingin dipelajari

    kalau anda tanya saya suruh cari tahu ke Syiah, saya tdk punya koneksi dan referensi ke Syiah. guru saya, rekan saya, semuanya Sunni.
    justru karena melihat ketajaman anda mengevaluasi banyak artikel kritik Sunni thd Syiah, makanya saya bertanya ke anda.

    Orang yang memang berniat mencari kebenaran maka biasanya ia tidak akan malas mencari dan tidak akan mudah percaya kecuali dengan bukti yang objektif. Makanya saya katakan kalau anda ingin tahu tentang Syi’ah maka silakan tanya pada Ustadz Syi’ah yang memang mapan ilmunya soal mazhab Syi’ah atau silakan anda pelajari kitab-kitab Syi’ah. Tidak punya koneksi ya silakan cari koneksi, tidak punya literatur ya silakan cari literatur. Masalahnya sederhana, anda memang mau atau sekedar basa basi. Saya jelas bukan orang yang tepat untuk mewakili mazhab Syi’ah secara saya juga masih belajar.

    anda bisa melakukan evaluasi , pasti tlh mengalami proses pembelajaran, dan pasti punya kemampuan. sebab kalau orang tdk punya kemampuan main asal evaluasi, namanya tdk profesional. tapi sepertinya anda profesional sekali dlm melakukan evaluasi tsb.

    Kata-kata yang maaf gak penting, mungkin itulah sebabnya “anda gak bisa mencari” karena dalam pikiran anda namanya evaluasi itu harus profesional, gak jelas sekali maksudnya. Mencari kebenaran, mengevaluasi sesuatu bisa dilakukan setiap orang yang berakal, tinggal belajar bagaimana caranya. Kalau mau membahas hadis ya silakan belajar ilmu hadis, begitulah caranya. Anda mau bertanya dengan seseorang yang anda anggap kompeten dalam ilmu hadis ya tidak masalah tetapi siap-siap saja bisa jadi orang yang anda anggap kompeten ternyata tidak begitu paham dengan apa yang anda tanya. Yah namanya anggapan bisa saja keliru, anda menganggapnya kompeten tetapi ternyata jika ditimbang dengan kaidah ilmu ternyata tidak kompeten

    kalau ada pintu dan jalan di depan mata, kenapa harus jalan jauh, cari yg lain, yg blm pasti??
    kalo saya tanya yg terlalu Pro Sunni, jadinya kurang obyektif kan?
    tetapi kalau saya tanya ke anda, apalagi motto anda adalah “Pencari Kebenaran”, dan analisanya tajam…tentu sikap saya ini dibenarkan dong?!

    Aduh maaf ya sepertinya sebelumnya ada yang bilang agak ndak enak belajar sama yang majhul, rasa percaya menurun, kenapa sekarang malah bilang analisanya tajam. Justru info dari saya ini berdasarkan standar anda bahwa saya majhul maka kedudukannya sangat “belum pasti” dan sangat “kurang objektif”. Maaf saya agak malas berbasa-basi, jadi cukuplah basa-basinya silakan balik ke diskusi pokok tulisan di atas. Kalau mau berhujjah silakan bawakan hujjahnya tetapi kalau cuma mau menggerutu, saya tidak berminat. salam

  18. @SP:
    terima kasih atas tanggapannya.

    saya hanya mengaplikasikan konsep belajar bersanad, yg banyak diabaikan orang. karena dari pengajian dgn beberapa Habib, selalu ditanya, siapa gurunya, belajar apa, dari mana, mana sanad dan ijazahnya.

    sejujurnya ada 3 perasaan saya kpd anda:
    1. penasaran dgn jati diri anda
    2. penasaran bagaimana cara anda belajar.
    3. kagum dgn ketajaman analisa, ingin belajar.
    itu saja.

    anda malas menanggapi, itu hak anda.
    tapi saya diajarkan di pembelajaran ilmu agama, bahwa point 1-2 hal itu penting. tanpa hal itu, maka item ke-3 tdk bisa dilakukan thd orang tsb.
    saya salut kpd ketajaman evaluasi anda, ingin mengambil pelajaran banyak.
    tapi saya ragu, kalau point 1-2, hal tsb tdk jelas, bukankah hal tsb dilarang oleh banyak ulama.

    dan konsep yg saya dapatkan ini, justru bukan dari Salafi/Wahabi, tapi dari pengajian dgn tokoh-tokoh haba-ib.

    karena ilmu agama bukan macam ilmu duniawi.
    sangat memperhatikan sanad ijazah.
    bahkan bahkan baca rotib hizib saja ada sanad ijazahnya.

    saya suka belajar dari siapa pun, termasuk dlm hal agama. baik itu dari beragam komunitas muslim, atau bahkan sampai non-muslim pun. tetapi yg identitasnya jelas, dan dianggap punya kredibilitas oleh sesama tokoh di kalangannya atau bahkan diakui oleh luar kalangannya. diakui karena jelas bagaimana cara belajarnya, dan bobot keilmuannya.

    hal ini berlaku juga kpd anda dan blog anda.
    ingin mengambil pelajaran, tapi ragu, karena selama saya mengamati blog ini, identitas anda tdk jelas.

    kalau konsep majhul, saya kurang tahu sedalam anda, karena memang saya tdk mendalami ilmu hadits seperti anda.

    maaf bila kurang berkenan.
    hanya menyampaikan isi hati saya.

    back to nama abdul husain, abdul rasul…nanti saya cross-check lagi dgn rujukan saya. karena argumen terakhir memperjelas intisari artikel.

    saya terdistorsi dgn kalimat “Dan tidak jarang penggunaan nama ini dijadikan syubhat oleh para nashibiy untuk merendahkan ulama Syi’ah.” apalagi ditambah pengalaman sering ketemu missionaris/evangelist Kristiani memakai nama Abdul Masih.

    saya bingung, kenapa disebut nashiby, karena di luar ketidakmampuan saya mengkomunikasikan artikel ini dgn baik…yg saya tanyakan itu bukan orang Nashibiy pembenci Ahlul Bait, tapi Sunni Muhibbin pencinta Ahlul Bait, suka dgn para Habib. apa Habib-Habib Sunni ini juga dianggap Nashiby???

    terima kasih masih mau berdialog dgn saya.
    karena kalau di blog lain, saya sering direject bila berargumen seperti ini.
    baik di blog Salafi, mau pun Syiah.
    bahkan dibilang nashibiy juga, pdhal saya ini muhibbin.
    saya juga berguru ngaji dgn beberapa habib kok.

    Wassalam

  19. saya sudah tanya dgn rekan saya di Al-Azhar Kairo, juga ke Koko saya yg merupakan murid Habib Rizieq, dan beberapa orang lainnya lagi….

    mereka saya copas-kan artikel ini.
    dan setelah membaca, semuanya sepakat bahwa sbg nama , penggunaan Abdul Husain atau pun Abdul Rasul adalah dilarang, dan haram, menurut fiqih, karena merupakan praktek musyrik.

    bahkan Koko saya menambahkan bahwa tersebut dlm hadits shohih, memakai kunyah Abu Qosim saja dilarang (ini dlm konteks nama, panggilan), apalagi thd kasus yg lain, terlebih Abdul Husain dan Abdul Rasul, karena bisa dimaknai sebagai hamba kpd selain Allah.

    utk dalil yg disampaikan di artikel ini, mereka semua yg saya tanyai, berpendapat bahwa kata Abdu itu konteks-nya bukan sebagai nama, melainkan utk menunjukkan status, kedudukan. itu tdk bermasalah. yg dipermasalahkan dan diharamkan adalah bila dipakai sbg nama.

    dan bila kedudukan, status tsb dijadikan nama (walau kendati tdk boleh), maka mengharuskan yg dipanggil dgn panggilan tsb (Abdul Husain, Abdul Rasul), menjadi berstatus budak, dan mendapat hukum syariat yg diberlakukan kpd budak.

    Namun demikian, bagaimana bisa menjadi budak Rasul atau pun budak Husain, karena keduanya sudah meninggal dunia.

    dan kalau tetap bersikukuh memakai Abdul Husain dan Abdul Rasul sbg nama, maka bisa menjadi indikasi mengarah ke prilaku Syiah Ghulat.

    kalau beralasan sebagai mubalaghoh – gaya bahasa penyangatan, penekanan (hiperbola), tetap pemakaian bahasa harus tunduk kpd hukum Syariah. apalagi ada Hadits Nabi Muhammad saw memberi peringatan agar berjaga-jaga, menghindari pemakaian kata Abdu pd hamba/budak (walau tdk sampai mengharamkan).

    dan kata Koko saya, ketimbang memakai mubalaghoh dgn penyebutan Abdul Husain dan Abdul Rasul…jauh lebih mulia, sesuai tuntunan Al-Quran dan Hadits serta adab kpd Ahlul Bait…adalah lebih baik meneladani akhlak mereka para Ahlul Bait, termasuk Imam Husain as.

    itu hasil tanya dan diskusi saya dgn beberapa orang , yg jauh lebih kompeten, yg memang belajar Al-Quran, Hadits, Bahasa Arab dsb (Ilmu Alat).

    jadi kesimpulannya, terlarang memakai Abdul Husain dan Abdul Rasul sebagai nama.

    Wallaahu a’lam bis-shawab.

  20. nah, koment nugon yg ini enak dibaca, nyambung..
    intinya sih menurut saya begini, mas SP berusaha meluruskan paham yg mendiskreditkan mazhab syi’ah.
    saya jg tidak tahu dgn jelas artikel ini untuk membantah syubhat nashibi yg mana?. kemungkinannya adalah ada tulisan syi’ah yg menuliskan nama abdu husein, abdu rasul. nah tulisan spt ini menjadi makanan empuk salafy nashibi untuk mengkafirkan syi’ah.
    *tentu saja kalau paham makna hakikinya, sangat ganjil memberi nama ‘abdu untuk selain Allah. tapi tidak usah lantas mudah menghakimi atau mengkafirkan begitu saja, toh ada temen saya namanya “Muhaemin”, atau “Azizurokhman”. ini orang tuanya keterlaluan ngasih nama. Muhaimin atau Aziziurohman itu cocoknya untuk nama Alloh, bukan nama manusia. yg benernya Abdul Muhaimin, atau Abdul Azizurohman.
    Saya benci salafy itu karena mereka letterlek, sok tau, mudah menghujat.

  21. @Just_Moslem:
    kalau masalah orang Indonesia memberi nama Muhaimin tok, tanpa sambungan kata, terutama kata Abdul….saya pernah diskusi dgn beberapa orang yg kompeten.

    ini terjadi lantaran orang Indonesia akrab dgn Kosakata Arab, tapi sering tdk mengerti Bhs Arab. ini adalah praktek yg salah, dan harus diperbaiki, dgn cara yg bijak.

    kasus penamaan asal Arab dan seperti bagus/enak didengar….atau bahkan asal Arab saja…marak terjadi. bahkan saya punya teman perempuan, diberi nama oleh orang tuanya, dgn nama “Su’irot”. begitu kita ngaji bahasa Arab…pas tahu, kita gedek-gedek kepala.

    jadi praktek di Indonesia adalah salah, harus diperbaiki.
    solusinya, banyak pengajian Bhs Arab.
    kalau mahir/paham, Alhamdulillaah.
    tapi target minimalnya bisa “ngerasa” atau sadar, kalau dia berinteraksi dgn Bhs Arab (cth kasih nama), dgn cara interaksi yg benar.

    @SP:
    saran saya, kalau pakai kata nashibiy, dispesifikasikan.
    karena mafhum, yg orang awam tahu, kalau kata nashibiy, lebih sering dilontarkan Syiah, dan utk memanggil/mengklasifikasikan semua Sunni.

    padahal sunni ada variant-nya.
    dan mustahil guru-guru saya yg haba-ib, punya nasab Ahlul Bait, Sunni, Syafi’iyah Asy’ariyah, pantas dipanggil Nashibiy.
    Na’udzu billaahi min dzaalik.

  22. utk semua yg berdiskusi,adu pendapat, debat…khususnya SP
    direnungkan statement alm Habib Munzir di forum tanya jawab Majelis Rasulullah sbb:

    “dijelaskan oleh para Muhadditsin:
    “Tiada fatwa ilmu tanpa sanad, dan orang yg tidak punya sanad dalam mencari ilmu bagai pencari kayu bakar ditengah malam gelap gulita tanpa pelita, ia tak bisa membedakan mana tali pengikat kayu bakar mana ular hitam yg berbisa” (Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala)

  23. mohon pencerahan dari siapa saja, apa sih yang dimaksud “sanad dan ijazah”? terus apakah zaman sekarang tidak boleh belajar agama/fikh dari buku/internet/kuliah terbuka tanpa tatapmuka dengan guru? toh buku dan internet yang buat manusia juga

  24. @ nugon

    Bener deh klo ngeliat tulisan ente tuh, sori kate yee ente ninggiin kelompok ente trus seolah ngerendahin ilmunya ustad SP. Sori-sori kate nih mang koko ente tuh lulusan mana, murid Habib Riziq yang keberapa, koko ente punya blog ato tulisan ato apalah yang bisa ane bandingin ama tulisannya ustad SP. Koq bisa2nya ente hanya modal tanya koko ente, rekan dari Al Azhar Kairo plus beberapa orang (SEMUANYA MAJHUL ) lalu ente ambil kesimpulan kalau pemakaian kata abdu kepada selain Allah tidak boleh. HAHAHA oke deh kakak…….ane mah mending baca tulusannya ustad SP biar majhul tapi yang penting ane bisa baca dan menilai dari tulisannya. Oh ya klo boleh tanya neeh di Kairo kuliah berapa lama..cum laude kah?

  25. @surdai:
    dari berbagai pengajian dan kajian, saya diinformasikan bahwa bukan tdk boleh baca buku, mengkaji tanpa tatap muka dgn guru secara mutlak atau membabi-buta…

    tetapi harus punya pembimbing, harus tahu tempat konsultasi dgn ustadz yg kompeten, yg memang belajar ilmu tsb, paham, serta punya sanad dan ijazah, bahkan bersambung ke hingga ke sumber utama – generasi salaf.

    @gogon
    ane tdk meninggikan atau merendahkan siapa pun.

    ane hanya memberikan fakta, dan menyampaikan ilmu yg ane ketahui.
    dan rujukan ilmu luas, bukan hanya 1-2 blog, tapi harus dicari dgn berinteraksi secara intensif, terutama secara langsung dgn para penuntut ilmu dan ustadz/ulama, dan itu bukan dgn membatasi kpd 1-2 orang saja.

    memangnya hanya dgn mencukupkan diri dgn blog ini, lalu kita sudah bisa merasa aman, sudah merasa paham atau bahkan pintar.

    tirulah para ulama, ia belajar dari banyak tokoh.
    dan ia mengutamakan pengajian langsung, dari pada kajian tdk langsung (buku dkk).
    karena ada unsur interaksi, bisa berdiskusi lebih leluasa.
    dan bisa mendapatkan barokah dari bertemu dgn ulama – para pewaris nabi.
    serta bisa mempelajari adab mereka.

  26. @nugon, makasih jawabannya, wah susah juga ya belajar agama, kalau konsultasi pakai telpon, pakai email dengan ustadz boleh ngga? terus bagaimana cara membuktikan”nyambung” sampai generasi salaf? siapa yang punya otoritas untuk menentukan ketersambungan dan kekompetenan ustadz tsb? di Indonesia ada ngga ya?

  27. Naah itu die nyang jadi masaleh. Ente kan bilang kalo ente tuh copas artikel ustad SP ini ke koko ente lah, rekan ente di Al Azhar Kairo lah trus kate ente beberapa orang laen yang sori kate neeh menurut ane majhul semuanye. Ane kagak kenal koko ente, teman ente di Al Azhar mang siape? Trus orang laen itu siape……….
    Laen cerita kalo ente tuuh bilang gini…….
    Ane tuh copas artikel ustad SP ini trus ane kasihin ke Habib Riziq dan rektor Universitas Al Azhar Kairo trus semuanye bilang klo pemakaian kata tersebut tidak boleh kecuali hanya untuk Allah…..naaah klo itu ane percayeee. Gitu maksudnye tong…..:-)

  28. @gaban:
    salah satu lulusan al-azhar yg ane ajak konsultasi soal artikel ini, adalah Mas Ustadz Wahyudi. blog nya ada di http://almuflihun.com/ . dia murid beberapa syaikh Al-Azhar.

    Koko ane Suhandoyo Laison, murid Habib Rizieq, termasuk generasi pertama pengajian Habib Rizieq yg akhirnya menjadi FPI. sila cek ke FPI, ke Habib Rizieq. Koko ane juga murid alm. Mu’allim KH Syafi’i Hadzami, ikut majelis taklim/pengajian yg di Pondok Pinang.

    itu 2 orang utama yg ane ajak konsultasi utk bahasan ini.
    perwakilan dari Muhammadiyah dan NU/Komunitas Haba-ib.
    2 Komunitas inilah yg jadi sokoguru komunitas Muslim di Indonesia, yg mereka adalah pilar Sunni.

    bagi ane, 2 orang tsb tdk majhul.
    justru ente dan SP bisa masuk kategori majhul.

  29. @nugon

    saya sudah tanya dgn rekan saya di Al-Azhar Kairo, juga ke Koko saya yg merupakan murid Habib Rizieq, dan beberapa orang lainnya lagi….
    mereka saya copas-kan artikel ini.
    dan setelah membaca, semuanya sepakat bahwa sbg nama , penggunaan Abdul Husain atau pun Abdul Rasul adalah dilarang, dan haram, menurut fiqih, karena merupakan praktek musyrik.

    Pada dasarnya saya tidak terlalu tertarik pada siapa orang yang menjadi rujukan anda. Saya lebih fokus pada argumentasi atau dasar pendapat seseorang apakah itu berlandaskan Al Qur’an dan Hadis atau hanya persepsinya semata. Kalau hujjah anda dan mereka hanya sekedar perkataan bahwa penggunaan nama Abdul Husain adalah merupakan praktek musyrik maka saya tanya, dari mana dasarnya anda dan mereka mengatakan itu sebagai praktek musyrik?. Kalau hanya dengan sekedar arti lafaz yaitu “hamba Husain” maka tulisan di atas telah membahas secara detail bahwa lafaz hamba bisa mengikut pada selain Allah dan itu bermakna budak atau pembantu kaum mukminin.

    Dan secara pikir akal sehat para ulama Syi’ah yang memiliki nama seperti itu adalah orang-orang yang bertauhid hanya menyembah Allah SWT dan tidak menyembah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ataupun Ahlul Bait [‘alaihis salaam]. Maka bagaimana bisa dikatakan bahwa penggunaan nama demikian oleh sebagian ulama Syi’ah merupakan praktek syirik.

    bahkan Koko saya menambahkan bahwa tersebut dlm hadits shohih, memakai kunyah Abu Qosim saja dilarang (ini dlm konteks nama, panggilan), apalagi thd kasus yg lain, terlebih Abdul Husain dan Abdul Rasul, karena bisa dimaknai sebagai hamba kpd selain Allah.

    Mengenai “Abu Qasim” itu benar saya sudah baca hadisnya tetapi hadis tersebut tidak tepat diqiyaskan ke masalah nama yang lain. Itu namanya menarik hujjah sekenanya atau ditarik sesuai persepsinya atau untuk mendukung persepsinya.Dilarang menggunakan nama yang satu maka apa dalilnya dilarang menggunakan nama yang lain

    utk dalil yg disampaikan di artikel ini, mereka semua yg saya tanyai, berpendapat bahwa kata Abdu itu konteks-nya bukan sebagai nama, melainkan utk menunjukkan status, kedudukan. itu tdk bermasalah. yg dipermasalahkan dan diharamkan adalah bila dipakai sbg nama.

    Nah ini jawaban yang aneh, terserah mereka mau bilang konteks-nya bagaimana, tulisan di atas telah membuktikan bahwa lafaz “abdu” yang mengikut pada selain Allah tidak selalu bermakna kesyirikan dan itu bisa bermakna hamba sahaya kaum mukminin. Sekarang pertanyaannya apa hujjah mereka mengharamkannya dalam konteks pemberian nama

    dan bila kedudukan, status tsb dijadikan nama (walau kendati tdk boleh), maka mengharuskan yg dipanggil dgn panggilan tsb (Abdul Husain, Abdul Rasul), menjadi berstatus budak, dan mendapat hukum syariat yg diberlakukan kpd budak.

    Maaf kalau saya bilang argumennya terlalu aneh. Menurut anda menamakan seseorang dengan nama Nabi seperti Adam, Musa, Ibrahim, [‘alaihimus salaam] dan Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu tidak masalah bukan. Apakah ketika mengharuskan seseorang dengan panggilan tersebut [Nama Nabi] menjadikan status mereka sebagai Nabi. Tentu anda akan menjawab tidak, lantas bagaimana bisa anda berpikir orang yang bernama Abdur Rasul maka harus menjadikan status mereka sebagai budak.

    Namun demikian, bagaimana bisa menjadi budak Rasul atau pun budak Husain, karena keduanya sudah meninggal dunia.

    Cara berpikir anda sangat aneh dalam masalah nama. Pada dasarnya nama itu bisa bermakna sebagai doa, dan saya tidak merasa kesulitan memahami mengapa ada ulama syi’ah bernama Abdul Husain mungkin orang tuanya menginginkan agar ia menjadi seseorang yang selalu mentaati Imam Husain layaknya seorang hamba sahaya. Apakah jika ada orang bernama Dzulfiqar maka akan dikatakan bagaimana bisa manusia dinamakan Dzulfiqar toh itu kan nama Pedang, bagaimana mungkin manusia bisa menjadi pedang. Begitu pula jika ada yang bernama Saifullah maka akan ada orang bodoh yang berkata bagaimana mungkin Allah SWT punya pedang dan bagaimana bisa ia menjadi pedang Allah. Silakan pikirkan dengan baik argumentasi anda tersebut

    dan kalau tetap bersikukuh memakai Abdul Husain dan Abdul Rasul sbg nama, maka bisa menjadi indikasi mengarah ke prilaku Syiah Ghulat.

    Satu-satunya keberatan saya mengenai pemberian nama ini adalah seperti yang saya sampaikan dalam tulisan di atas bahwa itu dapat menimbulkan fitnah di mata orang awam atau orang-orang seperti anda. Dan hal ini bisa dijadikan syubhat untuk dijadikan bahan celaan. Walaupun hakikatnya seperti yang saya jelaskan tidak demikian. Dan tujuan tulisan di atas sebenarnya tidak sedang mengajak siapapun untuk memberikan nama anak Abdur Rasul atau Abdul Husain tetapi untuk memaparkan hakikat nama tersebut di sisi orang Syi’ah dan membantah syubhat nashibiy atau siapapun yang menjadikan nama tersebut sebagai hujjah untuk merendahkan ulama Syi’ah.

    kalau beralasan sebagai mubalaghoh – gaya bahasa penyangatan, penekanan (hiperbola), tetap pemakaian bahasa harus tunduk kpd hukum Syariah. apalagi ada Hadits Nabi Muhammad saw memberi peringatan agar berjaga-jaga, menghindari pemakaian kata Abdu pd hamba/budak (walau tdk sampai mengharamkan).

    Maaf pemakaian kata abdu sebagai budak itu tidak diharamkan dan tidak dilarang, Al Qur’an dan hadis telah menunjukkan kebolehannnya. Perkara berjaga-jaga atau menghindari pemakaiannya itu sih saya setuju karena seperti yang saya katakan di mata orang awam itu dapat menimbulkan fitnah.

    dan kata Koko saya, ketimbang memakai mubalaghoh dgn penyebutan Abdul Husain dan Abdul Rasul…jauh lebih mulia, sesuai tuntunan Al-Quran dan Hadits serta adab kpd Ahlul Bait…adalah lebih baik meneladani akhlak mereka para Ahlul Bait, termasuk Imam Husain as.

    Meneladani ahlul bait itu sudah pasti dan saya yakin ulama Syi’ah akan mengatakan hal yang sama juga. Tetapi masalahnya disini bukan itu tapi mengenai nama Abdul Husain atau Abdur Rasul yang dijadikan bahan celaan

    itu hasil tanya dan diskusi saya dgn beberapa orang , yg jauh lebih kompeten, yg memang belajar Al-Quran, Hadits, Bahasa Arab dsb (Ilmu Alat).

    Kompeten yang anda katakan itu ternyata tidak ada pengaruhnya dengan hujjah yang kita diskusikan disini. Toh orang yang anda anggap kompeten ternyata membenarkan bahwa ada lafaz “abdu” yang bisa dinisbatkan pada selain Allah SWT dan tidak bermakna kesyirikan. Orang yang anda anggap kompeten tersebut hanya bilang itu berbeda konteksnya, maka saya jawab tentu saja namanya suatu kata bisa saja memiliki makna bermacam-macam dan tergantung pada konteksnya. Yang anehnya adalah mengapa ketika Abdur Rasul dijadikan nama maka mereka memaksakan bahwa konteksnya harusnya kesyirikan walaupun sebenarnya ada konteks yang lain.

    jadi kesimpulannya, terlarang memakai Abdul Husain dan Abdul Rasul sebagai nama.
    Wallaahu a’lam bis-shawab.

    Dalam tulisan di atas saya juga sudah menyebutkan bahwa di sisi mazhab ahlus sunnah nama tersebut terlarang karena banyak para ulama yang memfatwakan demikian seperti hal-nya Ibnu Hazm dan alasannya memang dalam pandangan mereka lafaz tersebut bermakna kesyirikan.

    Hanya saja fatwa ulama ahlus sunnah tidak menjadi hujjah bagi ulama Syi’ah apalagi tulisan di atas membuktikan bahwa lafaz Abdur Rasul tidak selalu bermakna kesyirikan. Maka kelirulah mereka yang menjadikan nama tersebut sebagai hujjah untuk merendahkan ulama Syi’ah dengan alasan kesyirikan. Kendati saya tidak menyukai nama seperti ini tetap saja saya tidak menjadikan ini sebagai syubhat merendahkan ulama Syi’ah.

  30. @nugon

    utk semua yg berdiskusi,adu pendapat, debat…khususnya SP
    direnungkan statement alm Habib Munzir di forum tanya jawab Majelis Rasulullah sbb:

    “dijelaskan oleh para Muhadditsin:
    “Tiada fatwa ilmu tanpa sanad, dan orang yg tidak punya sanad dalam mencari ilmu bagai pencari kayu bakar ditengah malam gelap gulita tanpa pelita, ia tak bisa membedakan mana tali pengikat kayu bakar mana ular hitam yg berbisa” (Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala)

    Sebelumnya saya juga pernah disodori nasehat seperti ini. Terimakasih atas nasehatnya tetapi izinkan saya menjelaskan pandangan saya. Saya disini tidak sedang menjadi alim ulama tidak sedang menjadi ulama faqih pemberi fatwa. Saya disini hanya sekedar berbagi apa yang saya pelajari. Anda dan orang-orang seperti anda adalah orang yang memiliki kelebihan karena memiliki sanad dalam ilmu tetapi bagi saya hujjah kebenaran tidak hanya pada “sanad ilmu” seperti yang anda maksudkan tetapi pada Al Qur’an dan Hadis. Insya Allah saya akan berpegang pada Al Qur’an dan hadis bersanad shahih sebagaimana tertera dalam kitab-kitab hadis. Maka seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa metode saya dalam mencari kebenaran berbeda dengan metode anda dalam mencari kebenaran.

  31. @nugon

    Saya heran mengapa anda sepertinya kesulitan untuk memahami maksud dan tujuan SP dengan semua tulisanya. Jawaban SP diatas semoga bisa menyadarkan anda bahwa apa apa yang ditulis oleh SP disini hanyalah merupakan upaya untuk berbagi

    SP sedang TIDAK berusaha menjadi seorang alim faqih ataupun pemberi fatwa. Sekali lagi SP hanya INGIN BERBAGI Jadi tindakan anda sangat konyol dengan meminta sanad maupun ijazah. Sungguh tindakan anda dengan menyerang pribadi SP seolah-olah SP tidak “kompeten” karena SP tidak memiliki izajah dan sanad dalam kaidah diskusi ilmiah anda telah bertindak secara TIDAK fair dengan menyerang SP secara AD HOMINEM. Kecuali anda menafikkan diskusi agama tergolong kedalamnya.

    Sepertinya anda sibuk membalas komentar saja. Mengapa anda tidak meluangkan waktu BERHARGA anda untuk membaca artikel SP lainnya. Meskipun anda tidak kenal siapa SP sebenarnya toh anda bukan sedang mencari fatwa dari SP bukan dan SP bukanlah seorang alim faqih. Dan di setiap tulisannya SP selalu memberikan rujukan kitab. Saya melihat lingkungan anda sekarang sangat memudahkan untuk merujuk semua kitab yang menjadi referensi SP. Latar belakang teman anda seharusnya lebih dari cukup untuk bisa mendiskusikan tulisan SP. Bila anda dan teman anda kemudian menemukan ada kesalahan pemahaman SP atas kitab rujukannya. Kami disini dengan senang hati untuk ikut menyimak diskusi anda dengan SP. Tapi INGAT gunakan kaidah diskusi yaitu referenai kitab kontra referensi kitab. Bukan waham ataupun lainnya. Tapi bila anda tidak mau dan mampu.

    “…bagi anda pendapat anda bagi saya pendapat saya”

    Tabik {•_●}’

  32. Bahkan walaupun SP memberikan (mempunyai) sanad ilmunya, tetap saja ini adalah dunia maya (internet). Bukan pada tempatnya menanyakan sanad dalam dunia maya (internet). Mereka yang masuk ke dunia maya/internet harus dibekali dengan akal dan logika yang kokoh karena kita tidak mengenal penulis (bahkan pada mereka penulis yang kita kenal di dunia nyata), yang kita kenal hanyalah hasil karya mereka.
    Jadi sangat naif jika di dunia maya kita menyematkan syarat2 seorang guru, faqih or ulama pada penulis di blog.

    Saya bisa berbagi kiat/tips untuk terjun ke dalam dunia maya:
    “Jangan tergesa-gesa menolak, jangan terburu-buru menerima”.

    salam damai

  33. @TS08

    Saya bisa berbagi kiat/tips untuk terjun ke dalam dunia maya:
    “Jangan tergesa-gesa menolak, jangan terburu-buru menerima”.

    Kalau tips versi saya yang singkat adalah baca, teliti, pikirkan dan analisis

    .

    Versi panjangnya adalah pertama Literatur, bicara hadis, sanad, tafsir, sejarah tanpa literatur bagai melalang buana ke alam khayal alias bisa kemana saja arahnya atau gak jelas arahnya

    Kedua Logika yang baik, percuma saja banyak literatur kalau logikanya kacau, penarikan kesimpulan mengada-ada, generalisasi, fallacy dan sebagainya

    Ketiga dan ini paling sulit, Konsisten kalau dari awal memang berniat objektif maka tetaplah dijalur objektif jangan suatu ketika meminta bukti kemudian di saat yang lain malah berdiri di atas asumsi atau persepsi yang tidak menjadi hujjah dan ingat jangan mencampuradukkan atau meracik bukti dengan asumsi sehingga jadi tidak jelas khasiatnya :mrgreen:

  34. kalau sebutan “hamba hukum” atau “hamba sahaya” gimana ya? masa sih syirik? hamba yg dimaksud disini adalah pelayan yg melayani atau bisa berarti pengikut setia, saya kira hanya akan menjadi syirik kalau orang mengartikannya sebagai penyembah, sama seperti antibiotik menyembuhkan infeksi misalnya, bisa jadi syirik kalau ditafsir dan dipercaya bahwa antibiotiklah yg mutlak menyembuhkan (tanpa izin Tuhan), tapi semua kan sepakat maksudnya bukan begitu to?

  35. Minta ijin OOT juga… 🙂

    @setiadarma

    Sorry saya baru lihat comment anda.

    Tidak semua org yang berbuat kesalahan itu dikarenakan hatinya gelap/kotor dan otaknya jahil. Guru saya sering mengingatkan bahwa bisa saja dosa dilakukan karena kebodohan seseorang atau kerana hati seseorang itu ada penyakitnya atau bisa saja keduanya bodoh dan ada penyakit dalam hati.

    Maaf saya tidak bisa melihat perbedaan statement saya dengan statement guru anda.

    Untuk kasus seorang ibu nasrani yang sedang mengambil S3 ttg perbandingan agama. Sudah selayaknya ibu tersebut diberikan penjelasan yang persuasif oleh pembicara dari Islam. Kerana boleh jadi kesalahan pahaman ibu itu berasal dari sumber bahan2 penelitiannya “tercemar” a.k.a tidak otentik bukan semata2 hatinya kotor dan otaknya jahil. Tugas pembicara dari kelompok Islamlah yang harus mempresentasikan bukti2 kepada ibu tersebut baik dari sisi Al-Quran maupun sisi historisnya e.g bahwa Allah SWT itu bukanlah dewa Bulan sebagaimana yang di diperbincangkan oleh sebagian sarjana2 Kristen.

    Maaf mungkin anda tidak memahami point saya.
    Bagi saya penjelasan dan ketersedian buku2 dan materi2 ilmiah lainnya tentang Islam sudah jauh lebih dari cukup. Nahh karena cukup banyaknya materi tentang Islam yang tersedia, dan banyaknya penjelasan yang begitu bagus, sehingga saya menjadi “terperangah” bahwa ada seorang yang ada di jalur S3 khusus tentang study Islam masih memiliki pemahaman yang begitu “aneh” tentang Islam. Dan prinsip saya adalah ini bukan kesalahan orang Islam yang kurang memberi penjelasan, namun lebih dikarenakan study mereka sudah bukan lagi ilmiah namun muncul dari kecenderungan untuk menghancurkan Islam (hati yang kotor).

    Salam damai.

  36. @SP
    Bagi saya: Baca, Teliti, Pikirkan dan Analisis jika tanpa kaidah “Jangan terburu-buru menolak, jangan tergesa-gesa menerima” tetap akan gagal semua. Kaidah ini sudah mencakup: Teliti, Pikirkan dan analisis sehingga tidak dikatakan terburu-buru/tergesa-gesa.

    Baca ==> Jangan terburu-buru menolak, jangan tergesa-gesa menerima ==> Teliti ==> Pikirkan ==> Analisis.
    Semua proses mencari kebenaran akan mentah ketika kita terburu-buru menolak dan tergesa-gesa menerima menjadi pintu gerbang kita.

    Salam damai

  37. @nugon
    Tidak ada yang salah dengan belajar dari mereka yang bersanad. Hanya saja anda tidak boleh salah memahami statement ini. Saya akan coba dengan satu jabaran silakan anda analisa dan simpulkan.
    Imam Syafi’i berguru kepada Imam Maliki yang “kita” yakini bersanad hingga kepada Rasulullah SAW.
    Nahh, bagaimana bisa fiqh Imam Syafi’i ada perbedaan dengan Imam Maliki. Dari mana muncul perbedaan ini? Apakah perbedaan ini juga bersanad? Apakah ada guru lain dari Imam Syafi’i atas perbedaan tsb?

    Tolong jelaskan tidak dengan dalil bahwa statement bersanad itu ada pengecualian.

    Salam damai

  38. @TS08

    Super-super OOT

    ketersediaan buku tentang Islam memang telah banyak dan ada dimana2. Tapi jangan lupa ada jenis orang2 yang hanya berpuas diri atas apa2 yang ada atau diajarkan oleh kelompok mereka sahaja tanpa mau berusaha untuk melihat, mencari atau menggali selainnya.

    Saya pun tidak menafikan jenis orang2 yang memang hatinya ada penyakit yang selalu berusaha untuk menjauhkan orang2 dari cahaya Allah SWT demi keuntungan2 dunia. Bukankah Al Quran telah mengingatkan kita semua akan keberadaan jenis orang seperti itu yang berusaha untuk menjual agamanya dengan menipu banyak orang.

    Dalam kasus yang anda sebutkan siapa yang menipu siapa demi keuntungan dunia dan siapa yang tertipu oleh para penipu tersebut saya tidak tahu karena saya tidak dapat menilai isi hati seseorang. Allah lebih mengetahui isi hati umatNya. Bila kesalahan yang dilakukan semata2 kerana kebodohan seseorang semoga Allah melimpahkan ampunan dan kasih Sayang-Nya. Tapi bila dilakukan karena hatinya ada penyakit….. sesungguhnya janji Allah benar adanya

    Kasus ini tidak sahaja secara ekslusive terjadi atas Kristen-Islam yang sering menimbulkan kesalahpahaman. Bukankah antara Sunni-Syiah pun telah berlalu ribuan tahun tanpa ada sedikit tanda2 kesudahan? Menggunakan timbangan anda tentu saya pun heran telah banyak informasi dalam bentuk buku2 dan lainnya tentang Syiah Imam 12 yang dapat diakses oleh siapa saja. Tapi mengapa masih banyak yang meyakini bahwa Syiah Imam 12 adalah sesat lagi menyesatkan? Haruskah saya terperangah dan merasa aneh serta menduga2 bahwa mereka2 yang berpendapat seperti itu memiliki hati dan pikiran yang tidak bersih?

    Semoga Allah SWT menjauhkan diri saya dari pikiran2 seperti itu

    Akankah jalan kebenaran itu hanya dapat diraih dengan menggunakan jubah Sunni, Syiah, Salafy saja?

    Sesungguhnya Rahmat dan Kasih Sayang Allah amatlah lapang

    [^_^]’

  39. penutup tanggapan di thread ini:

    Tiada fatwa ilmu tanpa sanad, dan orang yg tidak punya sanad dalam mencari ilmu bagai pencari kayu bakar ditengah malam gelap gulita tanpa pelita, ia tak bisa membedakan mana tali pengikat kayu bakar mana ular hitam yg berbisa” (Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala)

    Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan Abdul A’la bin Abu Amir ats-Tsa’labi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw:

    Bertakwalah dalam menceritakan hadits dariku kecuali apa yang telah kalian ketahui, dan barang siapa yang berdusta atas namaku hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka, dan barang siapa yang berkata tentang al-Qur`an dengan akalnya maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.

    (HR Ahmad, Tirmidzi), masih banyak lagi hadits lain yg semakna.

    Ada sebuah atsar yang berasal dari Sa’id ibnu Abul Hasan, bahwa pada suatu hari ia bertemu dengan Abu Yahya Al-Mu’arrif.

    Lalu Abu Yahya berkata kepadanya: “Hai Sa’id, ketahuilah aku, ketahuilah aku, sesungguhnya aku ini adalah dia”.

    Maka Sa’id menjawab: “Apakah maksudmu dengan dia? Aku masih belum mengerti.” Lalu Abu Yahya berkata: “Dialah aku sebagai­mana yang akan aku kisahkan sekarang ini, yaitu bahwa pada suatu hari aku bertemu dengan Khalifah Ali r.a., sedangkan pada saat itu aku menjabat seba­gai qadi atau hakim di kota Kufah.

    Lalu Khalifah Ali r.a. bertanya kepadaku: ‘Siapakah kamu?’ Aku menjawab: ‘Aku adalah Abu Yahya.

    Maka Khalifah Ali r.a. menjawab: ‘Kamu bukanlah Abu Yahya, tetapi kamu adalah orang yang mengatakan: Ketahuilah aku, ketahuilah aku’.

    Selanjutnya Khalifah Ali ber­tanya: ‘Apakah kamu mengetahui tentang nasikh dan mansukh?’

    Aku menja­wab: ‘Tidak’.

    Maka Khalifah Ali r.a. berkata: ‘Engkau ini adalah orang yang celaka dan mencelakakan’. Sesudah itu aku berhenti dari jabatanku, dan aku tidak mau lagi melakukan peradilan kepada seorang pun. Aku katakan demi­kian supaya kamu mengambil manfaat dari kisahku ini, hai Sa’id”.

    Dari Ali bin Abi Thalib Radiallahu anhu berkata :Seandainya agama itu semata-mata menggunakan akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah khuf daripada bagian atasnya. Namun, sungguh, aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua khufnya. “

    (HR Abu Daud, Bahaqi, Daruqutni, Ad-Darimi)

    dari blog mutiarazuhud.wordpress.com

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

    Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

    Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau mengambil ilmu atau pendapat dari orang-orang yang tidak engkau ketahui sanad ilmu (sanad guru) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ulama, meskipun dia tidak mendustakan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

    jangan meniru karakter Khowarij.
    Diriwayatkan juga, bahwasanya kaum Khawarij Haruriyah ketika memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib ra, mereka mengatakan :”Tiada hukum kecuali milik Allah.” Maka Ali ra berkata :”Perkataan yang benar, namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah saw pernah menjelaskan kepadaku tentang ciri-ciri sekelompok orang yang telah aku tahu sekarang bahwa ciri-ciri tersebut ada pada mereka (khawarij), yaitu mereka mengucapkan perkataan yang benar hanya dengan lisan-lisan mereka, namun tidak melewati kerongkongan mereka (yakni mereka tidak memahami).” (HR. Muslim : 2517)

    saya tdk akan memberi tanggapan di thread ini, atau di blog ini.
    sudah jelas aqidah kalian, dari qorinah kalian.
    sudah jelas bagaimana cara kalian memperoleh ilmu agama, tdk sesuai dgn tuntunan salaf, tuntunan dari Rasulullah saw dan para sahabat serta Ahlul Bait.

    saya bersama Golongan Jama’ah, mayoritas umat dan ulama serta salaf, yakni Ahlus-Sunnah wal Jama’ah.
    saya cenderung beserta Thoriqoh ‘Alawiyah, yakni Ahlul Bait Sunni Syafi’iyah Asy’ariyah.
    saya mengingkari aqidah di luar Sunni, dan mendoakan mereka agar kembali ke jalan yg lurus.

    Wallaahu a’lam bis-shawab.

    Wassalam – Nugon

  40. Komentar ini saya tujukan untuk info bagi para pembaca dan terutama kepada orang yang selalu bicara soal sanad sambil mengutip perkataan para ulama akan pentingnya sanad

    Jika dikatakan sanad itu bagian dari agama maka itu benar, dan tidak ada yang patut dipermasalahkan dari para ulama yang mengatakan akan pentingnya sanad. Tetapi orang yang awam dalam masalah ini sering dibutakan oleh sanad tanpa memahami apa hakikat sebenarnya kepentingan sanad tersebut. Sanad saja tidaklah cukup, buktinya adalah ada begitu banyak hadis dhaif dan maudhu’ yang juga bersanad. Maka yang jauh lebih penting adalah keshahihan sanad. Bagaimana mengetahui keshahihan sanad, tidak ada jalan lain kecuali menganalisis kredibilitas para perawinya. Bagaimana mengetahui kredibilitas para perawi? Ya merujuk pada Kitab Rijal yang memuat keterangan tentang perawi tersebut.

    Maka pertanyaan paling penting bagi mereka yang mengaku memiliki sanad, silakan buktikan keshahihan sanad yang mereka miliki, kitab apa yang mereka rujuk untuk membuktikan kredibilitas perawi-perawi yang ada dalam sanad mereka. Jika mereka tidak bisa membuktikan keshahihan sanad mereka maka apa pentingnya mereka sok berbicara soal sanad. Atau kalau mereka hanya sekedar berbangga-bangga memiliki sanad kemudian dengan mudahnya mengatakan sanad mereka shahih tanpa perlu dibuktikan maka apa yang mereka yakini hanya sekedar asumsi semata.

    Sekali lagi sanad memang penting tetapi jauh lebih penting Keshahihan sanad tersebut, Memiliki sanad tetapi ada perawi yang dalam sanadnya ternyata dhaif maka sanad tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. Inilah kaidah dasar Ilmu hadis, dan inilah pentingnya sanad yang dikatakan para ulama. dengan adanya sanad para ulama bisa menimbang dan menilai apakah hadis atau ilmu yang disampaikan itu shahih atau tidak, tentu salah satunya dengan menilai kredibilitas para perawi yang ada dalam sanad tersebut. Sekian dan semoga bisa jadi renungan, Salam

  41. Bukankah sering dua orang yang sama-sama memiliki sanad ternyata saling berselisih??. Lihat saja bagaimana para ulama saling berselisih pemahaman dalam banyak permasalahan agama sehingga timbulah madzhab-madzhab yang berbeda-beda. Bukankah para ulama besar pengikut madzhab As-Syafii memiliki sanad akan tetapi sering berselisih dengan para ulama pengikut madzhab Hanafi yang juga memiliki sanad??

    Bukankah Imam Ibnu Hazm yang bermadzhab Dzohiriah –yang beliau banyak meriwayatkan hadits dengan sanadnya dalam kitab beliau Al-Muhalla- ternyata banyak menyelisihi para ualama empat madzhab yang juga memiliki sanad?
    Bahkan… bukankah Imam As-Syafii yang memiliki sanad yang pernah berguru kepada Imam Malik yang juga memiliki sanad ternyata masing-masing dari mereka berdua memiliki madzhab tersendiri??, demikian juga halnya antara Imam Ahmad yang berguru kepada Imam As-Syafii??

    Dari sini jelas bahwa isnad tidak melazimkan satu pemahaman, bahkan orang yang memiliki satu isnad bisa berselisih faham, bahkan bisa jadi murid menyelisihi guru. Lantas bagaimana bisa dianalogikan jika Habib Munzir memiliki sanad lantas secara otomatis lebih faham tentang agama??!!

  42. 50 Nama yang dilarang di AS (Arab Saudi) untuk dijadikan Nama : Malaak (Malaikat),Abdul Aati,Abdul Naser,Abdul Musleh,Nabi ,
    Nabiyya (Nabi Perempuan),Amir (Pangeran),Sumuw ,Al Mamlaka, (Kerajaan),Malika (Ratu),Mamlaka,Tabarak (diberkahi),Nardeen,
    Maya,Linda,Randa,Basmala ,Taline,Aram,Nareej,Rital,Alice,Sandy,
    Rama,Maline,Elaine,Inar,Maliktina,Lareen,Kibrial,Lauren,Binyamin ,Naris,Yara,Sitav,Loland,Tilaj,Barrah,Abdul Nabi,Abdul Rasool,Jibril ,
    Abdul Mu’een,Abrar,Iman,Bayan,Baseel,Wireelam

    sumber : http://gulfnews.com/news/gulf/saudi-arabia/saudi-arabia-bans-50-baby-names-1.1303898

Tinggalkan komentar