Al Kaafiy Sekarang Bukan Al Kaafiy Yang Dulu? : Kejahilan Nashibi

Al Kaafiy Sekarang Bukan Al Kaafiy Yang Dulu? : Kejahilan Nashibi

Tulisan ini akan membahas tuduhan nashibi terhadap kitab hadis mazhab Syiah yaitu Al Kaafiy. Intinya menyatakan bahwa Al Kaafiy yang beredar sekarang itu dibuat oleh pihak-pihak tertentu setelah era Al Kulainiy. Seandainya tuduhan tersebut valid dan tegak berdasarkan hujjah yang kuat maka tidak masalah dan akan menjadi tambahan ilmu bagi para peneliti tetapi sayang sekali tuduhan tersebut hanya bualan dan kicauan dari orang-orang yang jahil akal pikirannya. Selamat menyimak,

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَتَى يَعْرِفُ الْأَخِيرُ مَا عِنْدَ الْأَوَّلِ قَالَ فِي آخِرِ دَقِيقَةٍ تَبْقَى مِنْ رُوحِهِ

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Aliy bin Asbaath dari Al Hakam bin Miskiin dari sebagian sahabat kami yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah “kapan orang terakhir mengetahui apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya” [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/274]

Nashibi mengartikan lafaz “daqiiqah” yang dimaksud sebagai “menit” kemudian ia merujuk pada kitab Mu’jam Al Wasiith

الدقيقة وحدة زمنية تعادل جزءا من ستين جزءا من الساعة ووحدة لقياس خطوط الطول أو العرض تساوي جزءا من ستين جزءا من الدرجة (مج) (ج) دقائق محدثة

Menit [ad-daqiqah] adalah satuan waktu yang sama dengan 1/60 jam, dan satuan bagi busur garis vertikal dan horisontal yang disamakan dengan 1/60 derajat. Jamaknya daqaaiq; dan ia merupakan istilah baru [muhdats].[Mu’jaam Al Wasiith 1/291]

Dengan dasar ini mereka mengatakan bahwa Al Kafiy jelas dibuat setelah era Al Kulainiy karena lafaz “daqiiqah” adalah istilah baru. Hujjah ini bisa dibilang rapuh dengan alasan sebagai berikut

Di sisi Syiah, mereka tidak mengartikan lafaz “daqiiqah” tersebut sebagai menit. Dalam kitab Majma’ Al Bahrain Fakhruddin bin Muhammad Ath Thuraihiy

و فيحديث الأئمة و قد سئل ع متى يعرف الأخير ما عند الأول؟ قال في آخر دقيقة تبقى منروحه
أي آخر جزء

Dan dalam hadis Imam ketika ditanya “kapan orang terakhir mengenal apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya”. Maksudnya adalah “bagian akhir” [Majma’ Al Bahrain 5/163]

Jika dikatakan istilah “daqiiqah” adalah istilah baru maka secara kritis kita dapat bertanya kalau begitu kapan tepatnya istilah itu muncul?. Kemudian apakah yang dimaksud dengan istilah baru tersebut? Apakah kata tersebut dahulunya tidak ada kemudian baru muncul atau kata tersebut sudah ada sebelumnya kemudian entah kapan baru dipakai sebagai lafaz bermakna “menit”.

.

.

Istilah daqiiqah sudah ada pada zaman Ibnu Hazm yang lahir pada tahun 384 H [As Siyaar Adz Dzahabiy 18/185] dan digunakan untuk menyatakan waktu tertentu. Ibnu Hazm pernah berkata dalam kitabnya Al Muhalla

فإنه لو جاز أن يحول بين النية وبين العمل دقيقة لجاز أن يحول بينهما دقيقتان وثلاث وأربع

Maka jika dibolehkan adanya jeda antara niat dan amal, daqiiqah maka diperbolehkan juga adanya jeda antara keduanya dua daqiiqah, tiga dan empat [Al Muhalla Ibnu Hazm 1/77].

Sehingga pernyataan daqiiqah sebagai “istilah baru” itu harus diteliti kembali. Istilah daqiiqah sudah lama dikenal dalam ilmu Falaq. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al Khawarizmiy dalam Mafatih Al ‘Ulum

فلك البروج، هو الدائرة التي ترسمها الشمس بسيرها من المغرب إلى المشرق في سنة واحدة، وهو مقسوم إثني عشر قسماً، وهي البروج. وقد ذكرت أسماءها في الفصل الأول. وطول كل برج منها ثلاثون درجة، وكل درجة ستون دقيقة، وكل دقيقة ستون ثانية

Falaq Al Buruj, adalah lingkaran yang menunjukkan pergerakan matahari dari barat ke timur dalam satu tahun, itu dibagi dalam 12 bagian yang disebut Buruj dan telah disebutkan nama-namanya dalam pasal awal. Jarak setiap buruj adalah 30 derajat, setiap derajat 60 daqiiqah dan setiap daqiiqah 60 tsaniyah [Mafatih Al ‘Ulum Al Khawarizmiy 1/41]

Disebutkan dalam Mu’jam Al Mu’allifiin bahwa Al Khawarizmiy penulis Mafatih Al ‘Ulum wafat tahun 387 H [Mu’jam Al Mu’allifiin 9/29]. Istilah “daqiiqah” yang terkait ilmu Falaq juga digunakan Al Ya’qubiy dalam kitab Tarikh-nya [Tarikh Al Ya’qubiy 1/26]. Dan Al Ya’qubiy disebutkan oleh Yaqut Al Hamawiy dalam kitab Mu’jam Al ‘Udaba bahwa ia wafat tahun 284 H [Mu’jam Al ‘Udaba 1/214].

Al Kulainiy sendiri wafat pada tahun 329 H, sehingga jika dibandingkan dengan masa hidup Al Ya’qubiy, Al Khawarizmiy dan Ibnu Hazm maka dapat disimpulkan bahwa pada masa hidup Al Kulainiy sudah dikenal istilah “daqiiqah”. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa istilah ini sudah ada di zaman Imam Ja’far. Terdapat riwayat dalam Al Kafiy yang menyebutkan bahwa di masa Imam Ja’far sudah berkembang ilmu Falaq

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَيَابَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) جُعِلْتُ لَكَ الْفِدَاءَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ إِنَّ النُّجُومَ لَا يَحِلُّ النَّظَرُ فِيهَا وَ هِيَ تُعْجِبُنِي فَإِنْ كَانَتْ تُضِرُّ بِدِينِي فَلَا حَاجَةَ لِي فِي شَيْ‏ءٍ يُضِرُّ بِدِينِي وَ إِنْ كَانَتْ لَا تُضِرُّ بِدِينِي فَوَ اللَّهِ إِنِّي لَأَشْتَهِيهَا وَ أَشْتَهِي النَّظَرَ فِيهَا فَقَالَ لَيْسَ كَمَا يَقُولُونَ لَا تُضِرُّ بِدِينِكَ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ تَنْظُرُونَ فِي شَيْ‏ءٍ مِنْهَا كَثِيرُهُ لَا يُدْرَكُ وَ قَلِيلُهُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ تَحْسُبُونَ عَلَى طَالِعِ الْقَمَرِ ثُمَّ قَالَ أَ تَدْرِي كَمْ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَ الزُّهَرَةِ مِنْ دَقِيقَةٍ قُلْتُ لَا وَ اللَّهِ

Dari sebagian sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Khaalid dari Ibnu Fadhdhaal dari Al Hasan bin Asbaath dari ‘Abdurrahman bin Sayaabat yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] “aku menjadi tebusanmu, orang-orang mengatakan bahwa tidak boleh mempelajari ilmu perbintangan, dan itu membuatku heran. Maka jika itu membahayakan agamaku maka tidak ada alasan bagiku untuk membahayakan agamaku dan jika itu tidak membahayakan agamaku maka demi Allah aku menyukainya dan suka untuk mempelajarinya. Beliau berkata “Hal ini tidak seperti yang orang-orang itu katakan, hal itu tidak membahayakan agamamu”. Kemudian Beliau berkata “sesungguhnya kalian mempelajari sesuatu dimana banyak yang tidak kalian ketahui dan sedikit tidak memberikan manfaat dengannya, kalian telah menghitung pergerakan bulan. Kemudian Beliau berkata “apakah kalian mengetahui berapa daqiiqah antara musytariy dan zuharah?”. Aku berkata “tidak demi Allah”…[Al Kaafiy Al Kulainiy 8/195]

Jika kita asumsikan bahwa kedua riwayat Al Kaafiy tersebut shahih di sisi Syiah maka hal ini menjadi hujjah bahwa di masa Imam Ja’far sudah dikenal istilah “daqiiqah” yang terkait dengan ilmu falaq dan digunakan juga untuk menyatakan bagian tertentu yang singkat atau kecil [merujuk pada riwayat Al Kafiy yang pertama]. Jadi bisa saja dikatakan bahwa istilah “daqiiqah” memang tidak ada di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi sudah ada di zaman Imam Ja’far [‘alaihis salam]

Adapun tuduhan terhadap kitab Al Kaafiy bahwa ia ditulis setelah era Kulainiy karena adanya lafaz “daqiiqah” merupakan tuduhan yang tidak beralasan. Hal ini karena kata daqiqah bahkan sudah disebutkan oleh ulama lain sebelum Al Kulainiy seperti As Shaffaar yang wafat tahun 290 H

حدثنا محمد بن الحسين عن علي بن أسباط عن الحكم بن مسكين عن عبيد بن زرارة وجماعة معه قالوا سمعنا أبا عبد الله ع يقول يعرف الإمام الذي بعده علم من كان قبله في آخر دقيقة تبقى من روحه.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Husain dari Aliy bin Asbath dari Al Hakam bin Miskiin dari Ubaid bin Zurarah dan jama’ah yang bersamanya, mereka berkata “kami mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan imam setelahnya mengetahui apa yang ada pada sebelumnya pada akhir daqiqah yang tersisa dari ruh-nya [Basha’ir Ad Darajaat hal 520, Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar]

Makna daqiqah dalam riwayat di atas bukanlah “menit” dalam pengertian waktu di zaman sekarang ini. Lafaz “daqiqah” tersebut lebih mungkin diartikan sebagai bagian yang singkat atau kecil.

.

.

.
Yang lucunya fenomena yang sama juga terdapat dalam kitab hadis ahlus sunnah, yaitu adanya hadis yang menggunakan lafaz “sa’ah” yang pada bahasa arab modern, istilah ini bermakna jam yaitu 60 menit.

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادِ بْنِ الأَسْوَدِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ – وَاللَّفْظُ لَهُ – عَنِ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْجُلاَحِ مَوْلَى عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Sawwaad bin Al Aswad bin ‘Amru dan Al Haarits bin Miskiin membacakan kepadanya dan aku mendengar –lafaz darinya-dari Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Haarits dari Al Julaah maula ‘Abdul ‘Aziiz bahwa Abu Salamah bin ‘Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Jabir bin ‘Abdullah dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “hari Jum’at ada dua belas jam, dan di dalamnya terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya, oleh karena itu carilah pada akhir jam setelah Ashar” [Sunan Nasa’i no 1400]

Al Iraqiy berkata “sanadnya shahih” [Tharh At Tatsriib 4/59]. Lafaz sa’ah ini berbeda dengan lafaz sa’ah yang digunakan dalam Al Qur’anul Kariim. Kalau kita memperhatikan lafaz “sa’ah” yang sering digunakan di dalam Al Qur’an maka akan kita dapati bahwa makna sa’ah tersebut adalah sesaat, tidak disematkan dengan angka tertentu

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya [QS. Al-A’raf : 34].

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk [QS. Yunus : 45].

الساعة: ج ساعات، جزء من أجزاء الوقت، ومنه: مضت ساعة من الليل
ويراد به مقدار ستين دقيقة من الزمان الوقت الحاضر

As Sa’ah : jamak Saa’aat : adalah bagian dari waktu, dan darinya “sesaat dari malam telah berlalu”. Dan dimaksudkan pula dengannya adalah ukuran 60 menit dari waktu yang ada pada zaman sekarang ini. [Mu’jam Al Lughah Al Fuqaha 1/239]

Mudah saja dikatakan bahwa lafaz sa’ah yang disematkan dengan angka dua belas tidak bisa diartikan sebagai sesaat maka itu lebih tepat bermakna dua belas jam, dan makna satu jam disini dalam bahasa arab modern adalah 60 menit dan pembagian siang hari menjadi 12 jam [12 x 60 menit] itu perkara muhdats. Tetapi para ulama justru menjadikan hadis ini sebagai bukti bahwa pembagian satu hari menjadi 24 sa’ah dimana siang 12 sa’ah dan malam 12 sa’ah sudah dikenal di kalangan arab pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun makna sa’ah disana bukan satu jam sebagai satuan waktu enam puluh menit tetapi hanyalah bagian dari waktu siang atau bagian dari waktu malam.

Kalau kita melihat permasalahan ini secara mendalam maka akan nampak bahwa ulama ahlus sunnah ketika menafsirkan hadis “dua belas sa’ah” di atas mereka menjadikan hadis tersebut sebagai dasar bahwa pada zaman itu sudah dikenal pembagian waktu satu hari satu malam sebagai 24 sa’ah dan sa’ah disana bukan bermakna sebagai satu jam yang dalam bahasa arab modern adalah 60 menit. Maka seharusnya dengan cara yang sama hadis Imam Ja’far dengan lafaz “daqiiqah” bisa dijadikan dasar bahwa pada zaman Imam Ja’far memang dikenal istilah daqiiqah sebagai bagian waktu tertentu yang singkat bukan diartikan sebagai menit dalam bahasa arab modern.

.

Note : Tulisan nashibi yang dimaksud dapat dibaca disini http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/al-kaafiy-sekarang-bukan-al-kaafiy-yang.html

7 Tanggapan

  1. sp
    mas sp dan org syiah jangan kaget ya….tentang bloq abu al-jauza yg banyak menyebar FITNAH…… jangankan syiah yg dikafirkan wong ibu nabi saw, ayahanda nabi saw, kakek nabi saw SEMUANYA DIKAFIRKAN OLEH ABU AL-JAUZA INI KOK!!! . JADI SEKALI LAGI JANGAN HERAN DGN TINGKAH SINASHIBI (pembenci keluarga nabi saw) ABU AL-JAUZA INI.

  2. ABU AL-JAUZA ini otaknya sudah agak-agak miring karena telah banyak termakan doktrin dan fanatik buta thd para syeikh2 jongos keluarga bani saud disaudi sana. bahwa ortu nabi saw, kakek nabi saw adalah org2 “kafir” dimata syeikh2 jongos tersebut.

    coba pemerhati bloq tanya sama siabu al-jauza yg nashibi ini :
    MANA LEBIH MULIA KEDUDUKAN ORTU NABI SAW DGN ORTU ABU AL-JAUZA DIMATA ALLAH ?? pasti dia jawab ortu abu al-jauza lebih mulia dari ortu nabi saw, kakek abu al-jauza lebih mulia dari kakek nabi saw. KENAPA ???? KARENA ORG TUA DAN KAKEK SINASHIBI ABU AL-JAUZA INI ADALAH SEORANG MUSLIM SEDANGKAN ORTU NABI SAW DAN KAKEK NABI SAW ABDUL MUTHALIB MATI DALAM KEADAAN “KAFIR” (nauzubillah min dzalik)

    tapi bagi para salafi-wahabi abu al-jauza adalah ustad yg dapat diandakan. PARAHKAN……

    maaf mas SP agak meleceng dari topik tulisan anda. itung-itung tggu koment “mengamuknya” para nashibi atas tulisan antum ini

  3. Tampaknya blog. sebelah sudah memberilan tanggapan baliknya. . .

  4. aduh SP, kliatan bgt anda memaksakan argumen anda…jgn membuat tertawa kita kita dong mas

  5. Berikut tanggapan dari nashibi yang dimaksud

    Ada orang Syi’ah yang lucu…..

    Katanya daqiiq dalam artian menit itu katanya bukan muhdats. Inti alasannya adalah mengambil perkataan Ibnnu Hazm dan beberapa perkataan dalam ilmu falaq.

    Seperti biasa nashibi tersebut tidak memahami tulisan orang lain. Tidak ada yang menafikan bahwa daqiiq dalam arti menit adalah istilah baru tetapi pertanyaannya, yang dimaksud baru itu kapan?. Ia sendiri tidak ada menyebutkannya dan telah kami buktikan bahwa istilah daqiqah itu sudah ada pada zaman Ibnu Hazm dan kami tidak menetapkan disana bahwa Ibnu Hazm memahami daqiqah disana dalam arti “menit”.

    Al-Kulainiy menyebutkan riwayat dalam Al-Kaafiy yang dinisbatkan pada Abu ‘Abdillah (imam Syi’ah) dengan menyebutkan kata ‘daqiiq’ untuk perhitungan waktu. Al-Kulainiy meninggal tahun 329 H.

    Riwayat itu lemah menurut Al-Majlisiy, sehingga yang jadi terdakwa tidak mungkin Abu ‘Abdillah. Tidak ada satupun ayat Al-Qur’an, hadits, sya’ir bahasa Arab klasik (yang biasanya menjadi keotentikan kata/kalimat dalam bahasa Arab) yang menyebutkan kata ‘daqiiq’.

    Yang dimaksud bahasa arab klasik itu yang mana. kalau ia mengakui lafaz daqiqah sudah ada dalam ilmu Falaq. Maka kita tanya memangnya ilmu falaq itu berkembang di zaman kapan.

    Dan tidak mungkin Abu ‘Abdillah menggunakan kata ‘daqiiq’ karena kata itu belum dikenal di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adalah aneh jika orang Syi’ah itu mengatakan bahwa ‘mungkin’ di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kata ‘daqiiq’ itu belum ada, namun menjadi ada di jaman Imam Ja’far. Jika ia mengatakan itu, artinya, kata ‘daqiiq’ itu bukan kata Arab yang asli dan fasih. Orang Arab di jaman dulu tidak menyukai (dan bahkan mencela) penggunakan kata-kata yang tidak fasih. Apalagi kata-kata orang ‘Ajam.

    Seperti yang kami tunjukkan bukan mustahil bahwa di zaman Imam Ja’far sudah berkembang ilmu falaq maka bukan mustahil pula penggunaan kata daqiqah itu sudah ada pada zaman Imam Ja’far.

    Justru itulah, dengan perkataan Ibnu Hazm itu kita mengetahui bahwa kata ‘daqiiq’ (yang menunjukkan waktu) yang ia ucapkan bukan merupakan kata asli dalam bahasa Arab. Begitu pula dengan perkataan Al-Khawaarizmiy (lahir tahun 387 H) dalam Mafaatihul-‘Uluum yang menggunakan kata ‘daqiiq’ dalam ilmu falaq. (Nama) satuan-satuan ilmu falaq itu tidak dikenal masyarakat ‘Arab, karena ia merupakan ilmu serapan.

    Kalau kita bicara orang arab maka pertanyaannya adalah orang arab yang mana, orang arab di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau di zaman Imam Ja’far. Kalau di zaman Imam Ja’far sudah berkembang ilmu falaq maka penggunaan kata daqiqah bukanlah hal yang mustahil.

    Lalu, tentang perkataan orang Syi’ah itu yang membahas kata ‘saa’ah’ dalam hadits. Ia membawakan itu untuk mengqiyaskan dengan permasalahan kata ‘daqiiq’.

    Ini namanya qiyas ma’al-faariq. Saa’ah yang menunjukkan pada waktu itu dikenal dalam Al-Qur’an, hadits, syi’ir bahasa Arab, dan juga kamus bahasa Arab sebagai kata asli dan fasih.

    Ini namanya sok beragumen padahal intinya sama saja, baik sa’ah maupun daqiqah sudah dikenal istilahnya pada zaman dahulu hanya saja daqiqah yang bermakna menit memang muncul kemudian setelah berkembangnya ilmu falaq.

    Adapun jika dikatakan dalam hadits :

    يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً

    “Hari Jum’at ada 12 sa’aah
    Memang benar, saa’ah itu asalnya bukan berarti ‘jam’. Saa’ah itu artinya waktu atau saat. Ibnul-Atsiir dalam An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits mengatakan bahwa as-sa’ah itu dalam bahasa Arab dimutlakkan dalam dua makna, yaitu : satu bagian dari 24 bagian waktu sehari dan semalam. Kedua, bagian yang sedikit/sebentar dari waktu malam dan siang. Oleh karena itu, hadits di atas bisa diartikan : “Hari Jum’at ada 12 waktu/saat”. Atau dikatakan : 12 jam. Ini masalah translasi saja.

    Sa’ah dalam artian waktu sebentar memang ada dalam Al Qur’anul Karim tetapi sa’ah yang dinisbatkan pada waktu jam sehingga bisa dinyatakan dua belas sa’ah itu dikenal dari hadis di atas jadi berbeda penggunaannya dengan bahasa Al Qur’an. Seperti yang kami katakan para ulama menyatakan pada saat itu sudah dikenal pembagian waktu 24 sa’ah berdasarkan hadis di atas. Maka harusnya tidak menjadi masalah jika orang syi’ah beragumen kata daqiqah yang menunjukkan waktu sebentar sudah ada di zaman Imam Ja’far berdasarkan hadis Al Kulainiy di atas. Sekarang pertanyaannya adalah dengan metode apa jadi kita membuktikan bahwa daqiqah yang menunjukkan waktu sudah ada di zaman Imam Ja’far. Apa harus dengan riwayat sunni?. Apa harus dengan syair arab kuno?. Ukuran autentisitasnya apa, apakah harus dengan riwayat shahih berdasarkan ilmu Rijal Sunniy.

    Silakan bandingkan dengan lafaz 12 sa’ah, apa buktinya bahwa lafaz seperti itu memang sudah ada di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika jawabannya berdasarkan riwayat tersebut sendiri yang ternyata shahih di sisi Sunniy maka Syi’ah juga bisa berkata demikian atas riwayat mereka. Jika berdasarkan Al Qur’anul Karim? maka mana buktinya karena lafaz sa’ah dalam Al Qur’an berbeda dengan lafaz 12 sa’ah. Apa berdasarkan syair-syair arab kuno di zaman jahiliah atau zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka silakan buktikan bawakan syair arab yang dimaksud [tentu saja harus riwayat yang autentik].

    Kalau cuma berdasarkan perkataan Ibnu Atsir, maka jawabannya antara Ibnu Atsir dan zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu sangat jauh sekali dan Ibnu Atsir dan ulama lainnya justru menjadikan hadis 12 sa’ah tersebut sebagai hujjah bahwa pembagian satu hari sebagai 24 sa’ah sudah dikenal di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dan lucunya apa nashibi tersebut tidak menyadari, darimana datangnya pembagian satu hari jadi 24 sa’ah?. Dari ilmu arab kuno, ilmu falaq atau ilmu serapan?. Nah silakan ia pikirkan dulu sebelum berkomentar

    Intinya perkara ini sama saja. sa’ah dalam arti jam dan daqiqah dalam arti menit memang perkara baru [walaupun kami tidak bisa memastikan kapan sebenarnya istilah tersebut pertama kali muncul]. Tetapi sa’ah dalam pengertian waktu tertentu memang ada penggunaannya dalam hadis yaitu hadis 12 sa’ah di sisi Sunni dan begitu pula daqiqah dalam pengertian waktu tertentu memang ada penggunaannya di masa Imam Ja’far sebagaimana nampak dalam riwayat Al Kulaini dan Ash Shaffaar di sisi Syi’ah.Kalau nashibi itu bisa dengan mudahnya menyatakan bahwa sa’ah dalam hadis 12 sa’ah bukan bermakna “jam” maka dengan mudahnya orang syi’ah akan mengatakan bahwa “daqiqah” disana bukan bermakna “menit”. Jadi apa bedanya bung

    Adapun perincian menit dan detik, itu tidak ada dalam bahasa Arab dan baru muncul kemudian (setelah berkembangnya ilmu falaq).

    Kami sependapat dengan yang ini, pokok permasalahannya adalah silakan ia buktikan tahun berapa sebenarnya istilah itu muncul baru kemudian membuat tuduhan. kalau ia sendiri tidak mengetahui tahun berapa kemunculannya maka hujjahnya sendiri bisa dibilang buntung.

    NB : Apabila orang Syi’ah itu kemudian berhujjah dengan referensi-referensi Syi’ah lain seperti bukunya Al-Ya’quubiy, Ash-Shaffaar, atau yang telah disebutkan di artikel di atas, maka silakan saja, karena justru itulah permasalahan yang kita kritik. Kan sudah ditulis di atas. Kalau mereka berpegang dengan kitab-kitab mereka, itu wajar lah ya…..

    Orang syi’ah berpegang pada kitab mereka ya wajar sama wajarnya dengan orang Sunni berpegang pada kitab Sunni. Pertanyaannya jika orang sunni menuduh syiah keliru berdasarkan riwayat sunni maka apakah itu wajar?. Jika dikatakan wajar maka orang syiahpun bisa juga menuduh sunni keliru berdasarkan riwayat syi’ah.Jadi kalau bicara soal wajar maka baik Sunni dan Syi’ah sebenarnya wajar wajar saja :mrgreen:

  6. @SP lucu

    wah bagian mana yang dipaksakan. Rasanya sih saya berhujjah dengan objektif. Saya berusaha meluruskan ulah para nashibi yang menuduh Syi’ah dan menunjukkan bahwa perkara yang sama ada dalam kitab Sunni. Dan jangan sungkan silakan ditunjukkan bagian mana yang dipaksakan, kalau anda tidak bisa menunjukkannya maka nampaknya anda sendiri yang sedang memaksakan diri untuk menyatakan saya memaksakan argumen saya.

  7. Jika dulu khawarij mengkafirkan siapa saja termasuk Imam Ali dan Muawiyah anak terkutuk kannibal, kini khawarij malah merapat dan mesra dengan pengiikut dan pendukung Muawiyah.

    Sikap pendukung muawiyah saja sudah buruk, skr ditambah khawarij, jadi lebih buruk. Buruknya double, dua tanduk setan.

    Makanya jangan heran, khawarij dan pendukung Muawiyah spt teroris bengis ISIL, jahbat nusra, dan alqoida beserta turunannya, dapat bertindak kejam, bengis, brutal, jahat dan biadab di suriah.

    Belum lagi dg perilaku menjijikkan lainya, gangbang berkedok Jihad Sex, sungguh membuat muntah!

    Jahbat Nusra, ISIL dan AlQoida, adalah tonggak modern iblis besar dari para pendukung Muawiyah, Hindun, Abu Sufyan dan Yazid.

    Semoga Allah melaknat Abu Sufyan al-Impotensi dan hindun si Kannibal beserta keturunan dan pengikutnya yg setia dijalan mereka.

Tinggalkan komentar