Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?

Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?

Syiah menyatakan kalau nikah mut’ah dihalalkan dan terdapat ayat Al Qur’an yang menyebutkannya yaitu An Nisaa’ ayat 24. Salafy yang suka sekali mengatakan nikah mut’ah sebagai zina berusaha menolak klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan tentang nikah mut’ah.

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan [diharamkan juga kamu mengawini] wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati [istamta’tum] di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [An Nisaa’ ayat 24]

Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa “penggalan” An Nisaa’ ayat 24 ini berbicara tentang nikah mut’ah. Hal ini telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin yang dikenal sebagai salafus salih [menurut salafy sendiri]. Alangkah lucunya kalau sekarang salafy membuang jauh-jauh versi salafus salih hanya karena bertentangan dengan keyakinan mereka [kalau nikah mut’ah adalah zina].

.

.

Riwayat Para Shahabat Nabi

حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله كذلك! ثلاث مرات

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah dari Abi Nadhrah yang berkata : aku membacakan ayat ini kepada Ibnu Abbas “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum]”, Ibnu Abbas berkata “sampai batas waktu tertentu”. Aku berkata “aku tidak membacanya seperti itu”. Ibnu Abbas berkata “demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu” [ia mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]

Riwayat ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqat atau terpercaya. Riwayat ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192 dan Ibnu Abi Dawud dalam Al Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari Syu’bah dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.

  • Muhammad bin Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Adz Dzahiliy berkata “hujjah”. Abu Hatim berkata shalih al hadits shaduq”. Abu Arubah berkata “aku belum pernah melihat di Bashrah orang yang lebih tsabit dari Abu Musa [Ibnu Mutsanna] dan Yahya bin Hakim”. An Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Khirasy berkata “Muhammad bin Mutsanna termasuk orang yang tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit”. Daruquthni berkata “termasuk orang yang tsiqat”. Amru bin ‘Ali menyatakan tsiqat. Maslamah berkata “tsiqat masyhur termasuk hafizh” [At Tahdzib juz 9 no 698]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi berkata tsiqat wara’ [Al Kasyf no 5134]
  • Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]
  • Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
  • Abu Maslamah adalah Sa’id bin Yazid bin Maslamah Al Azdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Al Bazzar menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 168]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/367]
  • Abu Nadhrah adalah Mundzir bin Malik perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 528]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/213]

حدثنا حميد بن مسعدة قال حدثنا بشر بن المفضل قال حدثنا داود عن أبي نضرة قال سألت ابن عباس عن متعة النساء قال أما تقرأ ” سورة النساء ” ؟ قال قلت بلى! قال فما تقرأ فيها ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ؟ قلت لا! لو قرأتُها هكذا ما سألتك! قال : فإنها كذا

Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah yang berkata : aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang nikah mut’ah. Ibnu Abbas berkata : tidakkah engkau membaca surah An Nisaa’?.  Aku berkata “tentu”. Tidakkah kamu membaca “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu”?. Aku berkata “tidak, kalau aku membacanya seperti itu maka aku tidak akan bertanya kepadamu!. Ibnu Abbas berkata “sesungguhnya seperti itulah” [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].

Riwayat ini juga shahih sanadnya. Humaid bin Mas’adah termasuk perawi Ashabus Sunan dan Muslim. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 83]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/246]. Adz Dzahabi berkata “shaduq” [Al Kasyf no 1257]. Bisyr bin Mufadhdhal adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Sa’ad dan Al Bazzar menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 844]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli ibadah” [At Taqrib 1/130]. Dawud bin Abi Hind adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 3 no 388]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutqin [At Taqrib 1/283].

حدثنا عبد الله حدثنا نصر بن علي قال أخبرني أبو أحمد عن عيسى بن عمر عن عمرو بن مرة  عن سعيد بن جبير ” فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ” وقال هذه قراءة أبي بن كعب

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Ali yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad dari Isa bin ‘Umar dari ‘Amru bin Murrah dari Sa’id bin Jubair “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu” ia berkata “ini adalah bacaan Ubay bin Ka’ab” [Al Masahif Ibnu Abi Dawud no 130]

Riwayat ini shahih para perawinya tsiqat. Abdullah adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’at As Sijistani atau yang dikenal dengan Abu Bakar bin Abi Dawud, ia adalah seorang hafizh yang tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576]. Nashr bin Ali Al Jahdhamiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/243]. Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit hanya saja sering salah dalam hadis dari Ats Tsawriy [At Taqrib 2/95]. Isa bin Umar Al Asdiy adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i yang tsiqat [At Taqrib 1/773]. ‘Amru bin Murrah Abu Abdullah Al Kufiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/745]. Sa’id bin Jubair Al Asdiy adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/349]

Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Abu Kuraib dari Yahya bin Isa dari Nushair bin Abi Al Asy’at dari Ibnu Habib bin Abi Tsabit dari ayahnya dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Para perawinya tsiqat kecuali Yahya bin Isa Ar Ramliy

Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]. Ibnu Hibban menyatakan kalau ia jelek hafalannya banyak salah sehingga meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat bathil tidak berhujjah dengannya [Al Majruhin no 1221]. Kesimpulannya Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi yang hadisnya bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah.

Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Ibnu Basyaar dari Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Ibnu Basyaar adalah Muhammad bin Basyaar seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]. Abdul A’la bin Abdul A’la adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/551]. Sa’id bin Abi Arubah adalah perawi kutubus sittah seorang hafizh yang tsiqat mengalami ikhtilat dan orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [At Taqrib 1/360]. Qatadah As Sadusiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/26].

Secara keseluruhan riwayat-riwayat ini saling menguatkan dan menunjukkan kalau bacaan tersebut shahih dari Ubay bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas membaca bacaan tersebut dengan “Famastamta’tum bihi minhunna ila ajali musamma”. Adapun perkataan Ibnu Jarir yang menafikan bacaan kedua sahabat ini merupakan kecerobohan yang nyata

وأما ما روي عن أبيّ بن كعب وابن عباس من قراءتهما ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ، فقراءة بخلاف ما جاءت به مصاحف المسلمين وغير جائز لأحد أن يلحق في كتاب الله تعالى شيئًا لم يأت به الخبرُ القاطعُ العذرَ عمن لا يجوز خلافه

Adapun apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas dari bacaan mereka berdua [Famastamta’ tum bihi min hunna ila ajalin musamma], bacaan ini menyelisihi mushhaf kaum muslimin. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari khabar yang qath’i dan tidak diperbolehkan menyelisihinya [Tafsir Ath Thabari 6/589 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]

Komentar Ibnu Jarir ini jika diperhatikan dengan baik jelas mengandung keanehan. Beliau mengesankan kalau Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab memiliki bacaan Al Qur’an yang menyelisihi bacaan kaum muslimin dan mengesankan kalau mereka berdua menambahkan sesuatu dalam Kitab Allah. Jika telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab soal bacaan itu maka tidak ada gunanya menafikan tanpa dalil. Yang harus dilakukan bukannya menolak riwayat tersebut tetapi bagaimana menafsirkannya agar tidak berkesan “menambahkan sesuatu dalam kitab Allah” atau mengesankan “terjadinya tahrif Al Qur’an” versi Ibnu Abbas dan Ubay.

Masalah seperti ini bukan barang baru bagi para ulama, bacaan tentang nikah mut’ah ini bukan satu-satunya bacaan yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Sebut saja yang paling populer adalah ayat rajam. Telah diriwayatkan oleh sahabat mengenai ayat rajam atau bacaan yang mengandung hukum rajam tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Apakah ada ulama yang mengatakan bahwa bacaan itu menyelisihi mushaf kaum muslimin dan mesti ditolak?. Tidak, para ulama menafsirkan kalau bacaan tersebut sudah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak.

Lantas apa susahnya mengatakan hal yang sama untuk bacaan Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab di atas. Kita dapat mengatakan kalau bacaan “ila ajalin musamma” telah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak. Buktinya Ibnu Abbas mengakui bahwa ayat ini memang diturunkan oleh Allah SWT dan ia berdalil dengannya ketika ada yang bertanya tentang “nikah mut’ah”.

.

.

Syubhat Para Pengingkar

Kemudian ada yang berusaha mementahkan ayat nikah mut’ah ini dengan berbagai hadis yang katanya “mutawatir” tentang haramnya mut’ah. Usaha ini pun termasuk sesuatu yang aneh. Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu saling kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha yang “melelahkan” akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga tersisa satu hadis pengharaman mut’ah pada saat Fathul Makkah yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan mereka menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat dimana mereka membolehkan nikah mut’ah.

Syubhat yang paling lucu adalah pernyataan bahwa An Nisaa’ ayat 24 di atas menggunakan kata istimtaa’ bukannya kata mut’ah dan istimtaa’ menurutnya bukan diartikan mut’ah. Sungguh orang seperti ini patut dikasihani, seharusnya ia membuka dulu berbagai riwayat atau hadis untuk melihat bagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat telah menggunakan kata istimtaa’ untuk menyebutkan nikah mut’ah. Berikut diantaranya

حدثنا عمرو بن علي قال نا يحيى بن سعيد عن إسماعيل عن قيس عن عبد الله قال كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء فاستأذنه بعضنا أن يستخصي أو قال لو أذنت لنا لاختصينا فلم يرخص لنا ورخص لنا في الاستمتاع بالثوب

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ali yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ismail dari Qais dari ‘Abdullah yang berkata “kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita maka sebagian kami meminta zini untuk mengebiri atau berkata sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan kami dan Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan kami untuk Istimtaa’ dengan pakaian [Musnad Al Bazzar 5/294 no 1671 dengan sanad yang shahih]

Apakah maksud dari kata Istimtaa’ dengan pakaian di atas. Apakah maksudnya menikahi wanita secara permanen? Atau maksudnya menikahi wanita secara mut’ah?. Penjelasannya ada dalam hadis berikut.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]

Maka arti kata Istimtaa’ yang digunakan oleh para sahabat adalah “menikahi seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan”. Tidak hanya di hadis ini, bahkan di hadis-hadis yang dijadikan hujjah pengharaman mut’ah, kata yang digunakan untuk menyebutkan “nikah mut’ah” juga dengan lafal istimtaa’.
.

.

Riwayat Para Tabi’in

Tafsir An Nisaa’ ayat 24 sebagai dalil bagi nikah mut’ah bukanlah mutlak milik syi’ah tetapi termasuk pemahaman sahabat [Ibnu ‘Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti halnya Mujahid [seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.

حدثني محمد بن عمرو قال حدثنا أبو عاصم عن عيسى عن ابن أبي نجيح عن مجاهد فما استمتعتم به منهن قال : يعني نكاح المتعة

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari ‘Isa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid “maka wanita [istri] yang kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”, ia berkata yaitu Nikah Mut’ah [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Mujahid. Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbas Al Bahiliy adalah syaikh [guru] Ibnu Jarir Ath Thabari, dan dia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 4/213 no 1411]. Abu ‘Aashim adalah Dhahhak bin Makhlad Asy Syaibani seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/444]. Isa bin Maimun Al Jurasiy Abu Musa adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/776]. Abdullah bin Abi Najih Yasaar Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat dan dikakatan melakukan tadlis [At Taqrib 1/541] tetapi periwayatannya dari Mujahid juga diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Mujahid bin Jabr Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah seorang yang tsiqat dan Imam dalam tafsir dan ilmu [At Taqrib 2/159]

حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن الحكم قال سألته عن هذه الآية والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم إلى هذا الموضع فما استمتعتم به منهن أمنسوخة هي ؟ قال لا قال الحكم وقال علي رضي الله عنه لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شقي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam [Syu’bah] berkata aku bertanya kepadanya tentang ayat “dan [diharamakan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki” sampai pada ayat “maka wanita [sitri] yang telah kamu nikmati [istimta’] diantara mereka” apakah telah dihapus [mansukh]?. [Al Hakam] berkata “tidak” kemudian Al Hakam berkata dan Ali radiallahu ‘anhu telah berkata seandainya Umar radiallahu ‘anhu tidak melarang mut’ah maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Hakam. Muhammad bin Al Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Muhammad bin Ja’far Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat shahih kitabnya kecuali pernah keliru [At Taqrib 2/63]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Al Hakam bin Utaibah seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih dikatakan melakukan tadlis [At Taqrib 1/232]. Riwayat Al Hakam menunjukkan kalau ia sendiri menafsirkan bahwa An Nisaa’ ayat 24 itu berkaitan dengan nikah mut’ah sehingga ketika ditanya apakah ayat tersebut telah dihapus ia menjawab “tidak” dan mengutip perkataan Imam Ali tentang mut’ah.

.

.

Kesimpulan

Yang dapat disimpulkan pada pembahasan kali ini adalah memang terdapat ayat Al Qur’an yang menghalalkan nikah mut’ah yaitu An Nisaa’ ayat 24 dan telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin [sebagai salafus salih] bahwa ayat tersebut memang berkenaan dengan nikah mut’ah. Kalau begitu bagaimana dengan hadis-hadis pengharaman mut’ah?  Ada yang mengatakan kalau hadis-hadis ini telah menasakh ayat tentang nikah mut’ah tetapi tentu pernyataan ini masih perlu diteliti kembali, insya Allah akan dibahas hadis-hadis tersebut didalam thread khusus. Kami ingatkan kepada pembaca jika ada yang menganggap penulis menghalalkan nikah mut’ah berdasarkan postingan ini maka orang tersebut jelas terburu-buru. Pembahasan tentang dalil nikah mut’ah ini masih akan berlanjut dan sampai saat itu selesai kami harap jangan ada yang mengatasnamakan penulis soal hukum nikah mut’ah.

Catatan : Terkait dengan musibah yang menimpa saudara kita di Jepang mari kita sama-sama berdoa agar mereka diberikan kesabaran dan bisa melewati masa sulit ini dengan baik.

52 Tanggapan

  1. ”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[Qs. Al An nisa : 24]

    Dengan dalih ayat di atas, Mereka mengemukakan tiga alasan sebagai berikut

    1. Dalam ayat di atas Allah swt membuat ungkapan lafadz Istimta’ bukan dengan lafadz nikah, padahal istimta’ dengan mut’ah adalah satu makna.
    2. Allah swt memerintahkan pada ayat di atas agar seseorang laki-laki memberikan upah, sementara mut’ah merupakan akad sewa’an untuk mendapatkan manfa’at kemaluan .
    3. Sesungguhnya Allah swt meemerintahkan agar seseorang laki-laki memberikan upah kepada perempuan setelah menggauli, sedangkan cara itu hanya ada pada akad sewa-menyewa dan nikah mut’ah . sementara mahar hanya di berikan ketika proses akad nikah sedang berjalan

    Jawab:

    Memang sebagian ulama menafsirkan “Istimta’tum” dengan nikah mut’ah, Akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini adalah; Apabila kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka, Maka berikanlah maharnya sebagai sebuah kewajiban atas kalian .

    Imam Ath-Thabari ra berkata: ”Setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut : ”Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasulullah saw akan haramnya nikah mut’ah [Tafsir Ath-Thabari, 8/175].

    Imam Al-Qurthubi ra berkata: ”Tidak boleh ayat ini di gunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasulullah saw telah mengharamkannya [Tafsir Al-Qurthubi, 5/132].

    Dan kalau toh seandainya kita terima bahwa ma’na dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum di haramkan [Tafsir Qurthubi, 5/133, Ibnu Atsir, 1/474, Al-Mufashal fie Ahkamil Mar’ah, 6/166. dan Raudhoh Nadiyah, 2/165].

    Sebelum menguraikan hal ini, mari kita simak kelengkapan ayat ini agar pemahaman kita tidak sepotong-sepotong.
    Allah berfirman :

    Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.

    Maka isteri-isteri yang telah kamu nimati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (24)

    Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman, ia boleh menikahi wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain, karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan menikah, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (25)

    Ayat “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)”

    Potongan ayat ini sering dijadikan hujah utk melegalkan mut’ah. Benarkah demikian? Mari kita simak!

    1. Teks ayat ini “Famā’stamta’ tum bihi min hunna fa ātūhunna ujūra hunna farîdhatan.”

    Di antara ke-mukjizatan Alquran, adalah pada bayan dan pilihan katanya. Kita sepakat bahwa dalam ayat ini Allah menggunakan kata “istimta’”, bukan “mut’ah”.

    Apa arti “mut’ah” dan “isitimta’” dalam Alquran?

    Kata “mut’ah” terdapat di dalam Alquran utk bbrp arti yg maksudnya adalah

    1. Pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikannya “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah(pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikan) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.

    Juga pd Qs. Al-Ahzab:49, Qs. Al-Baqarah: 236, al-Baqarah:241. ini wajib bagi suami.

    2. Mut’ah haji (tamattu’), maksudnya adalah melaksanakan umrah pada masa aman sebelum tibanya musim haji.

    Qs. Al-Baqarah : 196 : Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat.

    3. Mengambil manfaat dengan rizki yg baik dan kenikmatan hidup.

    Dalam Alquran banyak disebutkan kata “mata’a”. Baca : Qs. Huud:3, Qs. Huud: 65, Qs. Muhammad : 12, Qs. An-Nisa’:77.

    Adapun kata “istimtaa’”, selain pd Qs. An-Nisaa’ di atas, coba Anda baca pada:

    Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.” Qs. Al-Ahqaaf: 20

    Di antara mu’jizat Alquran, adalah pada bayan dan pilihan kata yg disampaikan. Kata “mut’ah” dan tashrif-nya sebagaimana pada poin 1-3, masuk pada bab “at-tafa’ul” dan “at-taf’iil”, di Alquran selalu disebutkan dengan maksud dan arti untuk pemanfaatan yang sejenak (memiliki batasan waktu). Baik batasan waktunya disebut atau tidak.
    Adapun “istimta’”, tidak disebutkan dalam Alquran kecuali untuk pemanfaatan yang bersifat terus menerus, tidak terputus kecuali dengan terputusnya kehidupan dunia.

    Penggunaan wazan “istif’aal” dalam Alquran, biasanya untuk “mubaalaghah” = (berlebih-lebihan, terus-menerus), seperti kata : ijabah dan istijabah; ikhraaj dan istikhraaj; iqaamah dan istiqaamah. Dst.

    Adapun “nikah mut’ah”, sama sekali tidak ada penyebutannya di dalam Alquran!

    2. Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas,

    Hal ini disebutkan oleh Ibn Jarir At Thabari dalam tafsirnya. Namun alangkah baiknya jika teman2 Syi’ah, ketika menukil dr tafsir tsb atau dr lieratus Ahlus Sunah lainnya, spy bersikap jujur dan amanah.

    Krn Ibn Jarir, stlh menyebutkan “qira’ah syadzah” ini, beliau berkata,

    “Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas, dr bacaan mereka “(‘Famā’stamta’ tum bihi min hunna ilā ajalin musamman’), ini adalah bacaan yang menyelisihi mush-haf-mush-haf kaum muslimin. Tidak boleh bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari sumber yang qath’I, (terlebih lg juga bertentangan dengan riwayat mutawatir) yg tidak boleh diselisihi.

    3. Bukti-bukti lain dari kandungan ayat ini sangat jelas mengharamkan nikah mut’ah.

    Ayat : “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman…. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs. An-Nisa: 25

    Ayat ini jelas sekali menyatakan, barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yg tidka memiliki kecukupan utk menikahi wanita merdeka, maka ia bisa menikahi wanita budak. Dan jika ia masih juga blm mampu, maka hendaklah ia bersabar.

    Jika mut’ah adalah solusi, mengapa seseorang yang masih saja belum bisa menikahi budak diperintahkan untuk bersabar?

    Demikian pula dalam Qs. An-Nur: 33, Allah berfirman :

    33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.

    Jika mut’ah adalah halal dan merupakan solusi, kenapa Allah menyuruh orang yang belum mampu untuk menikah supaya menunggu, terbakar dengan gelora syahwat yang menggebu-gebu!

    Jika mut’ah halal, mengapa Allah memerintahkannya untuk bersabar sampai Allah memberikan kecukupan baginya untuk melaksanakan pernikahan secara syar’i?

    4. Benarkan “ajr” di dalam ayat ini adalah “ajr”/”ujrah” nikah mut’ah?

    Sering kita mendengar alasan, “ “shadaq” (mahar nikah) tidak disebut dengan “ajr” dlm Alquran. Maka jelaslah yg dimaksud dengan “ajr” di sini adalah “ujroh” untuk mut’ah.”!!

    Kita jawab: Di Alquran, juga menyebut “shadaq” dengan “ajr”. Karena “shadaq” (mahar) adalah sebagai pengganti dari kenikmatan yang kita dapat dari istri, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran Qs. An-Nisa’ : 21

    Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

    Maka ia memiliki keserupaan yang sangat kuat dengan harga dari manfaat yang kita peroleh. Maka hal itu disebut dengan “ajr”.

    Ayat yang dengan tegas menyebutkan bahwa “ajr” yang maksudnya adalah mahar adalah :

    karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka… Qs. An-Nisa: 25, juga dalam Qs. Al-Maaidah : 5 :

    (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka.

    Dengan demikian jelaslah. BAHWA AYAT AN-NISA : 24-25 INI ADALAH TENTANG NIKAH YANG SAH, BUKAN NIKAH MUT’AH.

    ALLAH BERFIRMAN :

    Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? Qs. Al-a’raaf: 28

    Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. Qs. Al-Isra : 32

    Syaik Abdullah bin Jibrin berkata ; ”Bahwasanya orang-orang Rafidhah menghalalkan nikah mut’ah dengan dalil dengan ayat tersebut, lalu cara untuk menjawab dalil mereka adalah ; ”Ayat-ayat di bawah ini sampai dalil yang dijadikan sandaran oleh Syi’ah adalah berbicara tentang masalah nikah yang sebenarnya di mulai dengan ayat :

    ”Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa ….”[ Qs.An-Nissa :19]

    Sampai dengan ayat :

    ” Dan jika ingin menganti istrimu dengan istri yang lain [ Qs.An-Nissa ;20]

    Sampai dengan ayat :

    ” Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah di kawini oleh ayahmu [ Qs.An-nissa;22]

    ” kemudian di tambah lagi dengan ayat :

    ” Di haramkan atas kamu mengawini ibu-ibumu [ Qs.An-Nissa :23]

    ” Setelah Allah sawt memaparkan kepada kita jumlah wanita yang haram di nikahi baik di karenakan nasab keturunan atau di karenakan sebab lainnya . Allah l lalu berfirman:

    Di halalkan bagi kamu selain yang demikian”[ Qs.An-Nissa: 24]

    Maksudnya ”Wanita –wanita yang di sebutkan di atas, atau di bolehkan bagi kalian menikahi wanita-wanita yang selain yang di sebutkan .

    Adapun jika kalian menikahi mereka (selain yang di sebutkan di atas) untuk kalian setubuhi maka berikanlah maharnya yang mana telah kalian tentukan untuknya, dan jika mereka (para istri ) membebaskan sebagian dari maharnya dengan kerela’an hati, Maka tidak dosa engkau menerimanya ….” [Menyingkap kesesatan Aqidah Syiah ,hal 46-49].

    Jelas penulis blog ini berusaha menciptakan keragu-raguan dan berpihak pada pemahaman syi’ah dg mengexplor riwayat2 yg tidak muktabar dan syadz, mau berdalih? memang kenyataan seperti itu :mrgreen:

  2. @STB
    Anda memang SOK benar, tulisan sendiri aja tidak mengerti mau menjelasankan pengertian orang lain.
    Anda mengatakan Allah mengharamkan MUT”AH. Kalau begitu Rasul, Abubakar, Umar dan sahabat telah berbuat DOSA dengan tidak mengindahkan larangan Allah. Atau ada WAHYU yang turun khusus kepada Umar b. Khattab. Coba pake akal anda dan jangan asal KOPAS

  3. @STb
    1.anda menafikan sejarah bhw pd zaman rosul n sahabat mutah dibenarkan
    2.kt anda:
    Adapun “nikah mut’ah”, sama sekali tidak ada penyebutannya di dalam Alquran!
    kt sy:
    lalu kalimat dr anda ini apa?
    “Kata “mut’ah” terdapat di dalam Alquran utk bbrp arti yg maksudnya adalah”
    3.dalil apa yg diberikan rosul ketika rosul membolehkan nikah mut’ah?
    bukankah apa yg disampaikan rosul adalah wahyu?
    4.anda benar2 falacy
    cuma krn anda syiah fobia,lalu anda menafikan ayat2 allah,dan menghina rosul

  4. hehehehe dulu

  5. aneh pake bw imam qurthubi
    pdhal imam qurthubi sendiri yg membawa dalil riwayat bhw nikah mut’ah diharamkan oleh umar

  6. @nyalap
    mo bikin program kocok perut?
    wahabi ga ngerti apa2 ttg mu’tah
    ada puluhan dalil bahkan bisa lebih dalil dr ahlusunnah yg membolehkan mut’ah
    STB cuma bw satu dalil ahad dr imam ali.
    sedang ada bbrp dalil yg bhwsanya imam ali malah menentang pengharaman mut’ah.
    STB cuma sok tau,dikira wahabi sama saja dgn ahlusunnah

  7. @sp
    engkau skrg lg asiik bahas mut’ah
    hahaha…

  8. @aldj
    ente ini bulum kapok2 juga dengan komentar ente yang ga ada isinya itu
    si spp blm buat kesimpulan apa2 dari tulisannya, ane belum mau koment dulu…
    ente ini benar2
    maaf kalau ane sbut
    DOMBA TERSESAT BANI ISRAEL yang nyasar ke domba2 syiah
    ga bisa dibilangin!!!!
    tetap ngeyel

  9. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Karena anjing kalau menggonggong tidak akan menggigit. Yah kurang lebih sama dengan tong kosong bunyinya nyaring tanpa irama

  10. hahaha
    tersinggung….
    nt wahabi…?
    sy kan cm ks info ttg STB n wahabix biar nt ga lama2 hehehe nya
    salam damai..

  11. oya ..
    sy kan bicara model gaya bhs QS abatsa

  12. Kalau menurut akal saya, Nikah mut’ah itu halal dan berbeda dengan zina, dan pelacuran karena ada “RUKUN NIKAH”nya, setiap pernikahan harus pake rukun nikah kan, dimana ada ijab kabul, penghulu, dsb…..

  13. @nyalap
    Kalau STB(masih sih belum layak ditanggapi krn masih ngandelin Syaikh COPAS bin Kontradiktif.
    Mending nunggu nyalap bin kalap beraksi… :mrgreen:

    Salam damai.

  14. truthseekers kangen disemprot nyalap

  15. @SP
    Salam kenal
    Mas SP sy minta izin mengcopi artikel ini (soalnya menyangkut wanita & msh kontroversi), sy mau komentar tp takut di ketawain.
    salam all

  16. @stb
    Kata siapa kata Tamatta’a atau tamatta’u itu utk waktu yg pendek ? diayat dibawah ini waktu nya panjang tuh….

    Qs 16 : 55 diayat ini”bersenang senang”nya org kafir didunia…
    QS 14: 30 Bersenang2 didunia ini…..bagi org kafir
    Qs 30 : 34
    QS 77: 46 dst.

    yg jelas artinya adalah BERSENANG SENANG…
    dan memiliki akar kata yg sama dengan Istimta’tum

  17. @Stb

    di QS 4: 4 kata yg digunakan shodaq/shoduqo
    utk pernikahan biasa dgn wanita islam biasa/umumnya

    Kata “Ujurrahunna”
    itu ada di

    QS 4:24 berkaitan dengan istamta’tum/Tamatta’u/tamattu

    Qs 4:25 berkaitan pernikahan dgn budak (tdk merdeka)

    QS 5:5 berkaitan dgn perempuan ahlul kitab

    jadi pemilihan kata Ujr dan shodaq ada relevansinya berkaitan dengan pernikahan.

    apabila anda mengklasifikasikan 4:24 itu Nikah biasa , sebenarnya sdh ada ayat Al quran yg menjelaskan itu….CMIW

  18. hehehe .. hati-hati, entar lagi juga si nyalap juga akan bilang : “Ibnu Abbas ternyata meninggal karena di rajam oleh Khalifah Umar” ..

    bwa, bwa, bwa, bwahahahahaha …

    Ayo nyalap, Ditunggu komen-komen lucunya .. buktikan kalo ente lucu ! Ente pasti bisa !

    Nyalap, gimana nih? Jadi sebenarnya pembunuh Umar itu Abu Luluah atau Ibnu Muljam? Atau jangan-jangan pembunuh Umar itu Iblis ya, bukannya Ibnu Muljam, eits salah maksudnya Abu Luluah ?

    bwa, bwa, bwa, bwahahahaha ….

  19. @sp

    Bukankah riwayat “bacaan Ubay bin Ka’ab yaitu …ilaa ‘ajalim musamma” tersebut lemah secara matan, karena menyelisihi mushaf Al Quran ummat Islam sedunia?

    Sekiranya riwayat tersebut diterima, mungkin lebih tepat dikatakan bahwa frase “ilaa ‘ajalim musamma” merupakan pemahaman/penafsiran dari Ubay bin Ka’ab dan juga pemahaman Abdullah ibnu Abbas.

    Mohon pencerahan.

    Salam,

    Abu Yusuf

  20. @abu yusuf
    pertanyaan anda kan sdh dijawab dlm artikel itu…dikaitkan dengan kasus ayat rajam yg dipahami oleh para ulama…coba baca lagi deh tulisan @sp diatas

  21. @STB

    Jelas penulis blog ini berusaha menciptakan keragu-raguan dan berpihak pada pemahaman syi’ah dg mengexplor riwayat2 yg tidak muktabar dan syadz, mau berdalih? memang kenyataan seperti itu

    kopipaste ente tak ada nilainya, pemahaman sahabat ibnu Abbas, ubay dan mujahid imam tafsir dari kalangan tabiin ente bilang pemhaman syiah wk wk wk. ente bisanya asal ceplos tidak muktabar lama-lama semua kitab hadis tafsir dapet stempel tidak muktabar 😆

  22. indahnya nikah mut’ah kejinya pelacuran

    1. Nikah Mut’ah adalah praktek penyewaan tubuh wanita, begitu juga pelacuran.

    Kita simak lagi perkataan Abu Abdillah: “Menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 452).

    Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa nikah Mut’ah adalah bentuk lain dari pelacuran, karena Imam Abu Abdillah terang-terangan menegaskan status wanita yang dinikahi secara Mut’ah: Mereka adalah wanita sewaan.

    2. Yang penting dalam nikah Mut’ah adalah waktu dan mahar.

    Sekali lagi inilah yang ditegaskan oleh imam syi’ah yang ma’shum: “Nikah Mut’ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 455).

    Begitu juga orang yang akan berzina dengan pelacur harus sepakat atas bayaran dan waktu, karena waktu yang lebih panjang menuntut bayaran lebih pula. Pelacur tidak akan mau melayani ketika tidak ada kesepakatan atas bayaran dan waktu tertentu. Sekali lagi kita menemukan persamaan antara nikah Mut’ah dan pelacuran.

    3. Batas minimal “mahar” dalam nikah Mut’ah.

    Dalam nikah Mut’ah ada batasan minimal mahar, yaitu segenggam makanan berupa tepung, gandum atau korma. (Lihat: Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 457). Sedangkan dalam pelacuran tidak ada batas minimal bayaran, besarnya bayaran tergantung dari beberapa hal. Kita lihat disini perbedaan antara Mut’ah dan pelacuran hanya pada minimal bayaran saja, tapi baik Mut’ah maupun pelacuran tetap mensyaratkan adanya bayaran. Banyak cerita yang kurang enak mengisahkan mereka yang berzina dengan pelacur tapi mangkir (enggan) membayar.

    4. Batas waktu nikah Mut’ah.

    Tidak ada batasan waktu dalam nikah Mut’ah, semua tergantung kesepakatan. Bahkan boleh mensepakati waktu melakukan Mut’ah walau untuk sekali hubungan badan.

    Dari Khalaf bin Hammad dia berkata: “Aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu Mut’ah? Apakah diperbolehkan Mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan badan?” Jawabnya: “Ya”. (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 460).

    Begitu juga tidak ada batasan waktu bagi pelacuran, dibolehkan menyewa pelacur untuk jangka waktu sekali zina, atau untuk jangka waktu seminggu, asal kuat membayar saja. Demikian juga nikah Mut’ah.

    5. Boleh nikah Mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali.

    Dalam Islam suami-istri diberi kesempatan untuk tiga kali talak, setelah itu si istri harus menikah dengan lelaki lain. Namun tidak demikian dengan nikah Mut’ah, orang boleh nikah Mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali, asal tidak bosan saja. Karena wanita yang dinikahi secara Mut’ah pada hakekatnya sedang disewa tubuhnya dan kemaluannya oleh si laki-laki. Sama persis dengan pelacuran.

    Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, “Seorang laki-laki nikah Mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa Mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa Mut’ahnya, lalu nikah Mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa Mut’ahnya sampai tiga kali dan nikah Mut’ah lagi dengan 3 laki-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama?” Jawab Abu Ja’far: “Ya, dibolehkan menikah Mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita Mut’ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.” (Al-Kafi, jilid. 5, hal. 460).

    Begitu juga orang boleh berzina dengan seorang pelacur semaunya, tidak ada batasan.

    6. Tidak perlu bertanya dalam menyelidiki status si wanita.

    Laki-laki yang akan nikah Mut’ah tidak perlu menyelidiki status si wanita apakah dia sudah bersuami atau tidak. Begitu juga orang tidak perlu bertanya pada si pelacur apakah dia bersuami atau tidak ketika ingin berzina dengannya.

    Dari Abban bin Taghlab berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur.” Jawabnya: “Ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 462).

    7. Tidak ada hubungan warisan dengan wanita yang dinikahi secara Mut’ah.

    Nikah Mut’ah tidak menyebabkan terbentuknya hubungan warisan, artinya ketika si “suami” meninggal dunia pada masa Mut’ah maka si “istri” tidak berhak mendapat warisan dari hartanya.

    Ayatullah Udhma Ali Al-Sistani dalam bukunya menuliskan:

    Masalah 255: “Nikah Mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.” (Lihat: Minhaj Ash-Shalihin, Jilid. 3, Hal. 80).

    Begitu juga pelacur tidak akan mendapat bagian dari harta “pasangan zina” nya yang meninggal dunia.

    8. Tidak ada Nafkah bagi wanita yang dinikahi secara Mut’ah.

    Istri yang dimut’ah atau yang sedang disewa oleh suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah, si istri Mut’ah hanya berhak mendapat mahar yang sudah disepakati sebelumnya. Bayaran dari Mut’ah sudah all in dengan nafkah, hendaknya istri Mut’ah sudah mengkalkulasi biaya hidupnya baik-baik sehingga bisa menetapkan harga yang tepat untuk mahar dalam nikah Mut’ah.

    Ayatollah Ali Al-Sistani mengatakan:

    Masalah 256: “Laki-laki yang nikah Mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri Mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad Mut’ah atau akad lain yang mengikat.” (Minhaj Ash-Shalihin, Jilid. 3, hal. 80).

    Begitu juga laki-laki yang berzina dengan pelacur tidak wajib memberi nafkah harian pada si pelacur.

  23. @syiah (mu’awiyah) konyol

    Kalau ente menolak riwayat bahwa nikah mut’ah tidak boleh, maka ente harus membuang hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang membolehkannya. Ente kan g percaya.

    Atau ente mau pilih-pilih? kalau sesuai dengan nafsu ente diterima, kalau tidak sesuai ditolak?

    #aahh ente memang konyol!

  24. Salah satu syarat nikah Mut’ah adalah sepasang mempelai pria dan wanita harus ridha dan rela atas pernikahan tsb dan bukan karena terpaksa (atau dipaksa) sehingga keduanya menikah. Jadi tidak ada yang dirugikan diantara keduanya.

    Wassalam

  25. Siapa diantara anak2 ente ( Syiah ) yang mau ane mut’ah..untuk 2 jam saja….tolong call: 081546276538..ane tunggu yah…maharnya menggiurkan lah, cukup untuk makan sebulan

  26. @ali baba
    Ente samakan nikah mut’ah dengan pelacuran,
    Mengapa pakai NIKAH/Melamar segala, Repot Pergi aja ketempat yang ente samakan. Lebih mudah dan banyak teman ente disana

  27. artikel menarik cuma maaf sepertinya hanya akan menciptakan interpretasi yang tidak ada untungnya. Pemilik situs hanya menulis tentang nikah mutah dari sundut pandang yang diketahuinya tapi tentu tidak semudah itu bukan seseorang (baca: lelaki) kemudian atas dasar dalil yang mas SP ungkap diatas serta merta menikahi wanita lain dgn alasan mutah. Lebih bagus dan bermanfaat kalau mas SP juga membuka topik baru tentang ketentuan-ketentuan pelaksaan nikah mutah itu sendiri. Karena kalau cuma berdasarkan dalil yang mas SP tulis hal itu SANGAT-SANGAT tidak membantu mencerahkan umat; mengapa? coba saya tanya bagaimana perasaan anda-anda dan mas SP disini kalau tiba-tiba suatu hari ayah anda pulang dan mengatakan telah menikahi wanita lain. Bagaimana perasaan ibu anda, kakak perempuan anda dan anda sendiri…ingat beberapa kasus poligami yang ternyata tidak seindah konsepnya

    salam damai

  28. saya mahu tahu syarat mut’ah sebenarnya mengikut syiah..

    —setahu saya mut’ah dihalalkan pada zaman nabi dulu hanya pada waktu darurat..pada waktu sahabat pergi berperang tanpa ada wanita disisi..jadi untuk mengelakkan zina,,mereka dibenarkan mut’ah..
    [tapi bagi syiah pula..,mut’ah bisa dijalankan bila2 masa sahaja..benarkah???]

    —selain itu,,mut’ah tidak memerlukan persetujuan bapa atau wali..jadi,dengan mana2 gadis bisa dinikah mut’ah.

  29. @YANTZ
    mangkanya perlunya memahami sejarah islam itu agar kita tdk salah melangkah dan menjadi paham.

    nikah mut’ah pun dilakukan oleh Khalifah ABU BAKAR, Ibn Abbas dan sahabat lainnya sampai menjelang akhir kekhalifahan Umar….jadi kalo ada yg bilang Nikah MUT’AH itu terjadi hanya DARUROH pd peristiwa perang di jaman Rosulullah Saww saja jelas tak betul lah..

  30. @laskar cinta

    boleh kamu kasih tahu sama saya syarat2 mut’ah mengikut syiah..
    saya tidak mahu tanya sama orang bukan syiah,,karena khawatir mereka memberitahu yang tidak benar..jadi,,elok saja saya tanya langsung sama orang2 syiah..

  31. @hikam el hakim
    copy paste,apa bisa di ajak diskusi
    parah lg hakekat.com anda bw kesini.disini hakekat.com ga laku.
    satu sj pertanyaan,jg pernah ditanyakan dihakekat.com tp mrk tdk bisa menjwbx.
    bukankah dijaman rosul jg terjadi mut’ah?
    lalu apa kata anda ttg rosul,yg menurut hakekat.com zinah sm dgn mut’ah

  32. zina sama dengan mut’ah = Nabi SAW pernah menghalalkan zina! (bagi mereka yang percaya tentang pengharamamnya), setahu saya belum ada Nabi lagi yang pernah menghalalkan zina. YA Allah jauhkanlah aku dari fahaman NAJD TANDUK SETAN seperti ini!

  33. 1. Nikah Mutaah wujud pada zama Nabi, Abu Bakar , dan Umar. Maka Nabi, Abu Bakar dan Umar mengizinkan Zina. Sekarang saya baru tahu, dalam Islam pada satu masa dahulu itu zina di halalkan. Taniah pada umat Islam.

    2. AlQuran mengharamkan zina, tetapi sahabat Nabi melakukan zina. Sebab ada mereka menyamakan mutaah dengan zina. Maka apa yang saya faham, Allah dan Rasul telah menghalal Zina untuk sementara waktu sebab daruroh.

  34. MAAF SAYA COPAS KOMENTAR 2 TOKOH BESAR ISLAM TENTANG NIKAH MUT’AH KARENA SESUAI DENGAN PEMAHAMAN SAYA :

    1.Petikan wawancara Gatra M. Guntur Romli dengan Gamal al-Banna

    Gatra: Anda menghalalkan nikah mut’ah (nikah kontrak)?

    Gamal: Benar. Tapi konteks pembicaraan saya juga harus dipahami. Saya berbicara nikah mut’ah tersebut untuk mahasiswa/pekerja muslim yang hidup di negara-negara Barat. Menghadapi libido seks yang sangat tinggi, baik karena mereka masih muda maupun lantaran lingkungan yang mendukung. Mereka hanya memiliki dua pilihan: melakukan seks di luar syariat (berzina) atau nikah. Karena memiliki iman yang kuat, mereka tidak mau berzina. Pilihannya hanya menikah. Sedangkan menikah dengan perempuan asing sulit. Jika menikah maka dia memiliki beberapa konsekwensi-seperti dia harus menetap sedangkan ia masih ingin kembali ke tanah airnya atau jika terjadi cerai (talak) maka pembagian harta antara keduanya sangat sulit. Jadi, makna nikah yang sewajarnya benar-benar sulit.

    Nah, Islam memiliki solusi, yaitu nikah mut’ah. Nikah untuk masa tertentu (temporal). Islam menghalalkan bentuk nikah ini. Diriwayatkan, Rasulullah menghalalkan, kemudian konon mengharamkannya. Tetapi yang benar (al-rajih), Rasulullah tidak pernah mengharamkan karena nikah mut’ah ini masih dihalalkan pada masa Khalifah Abu Bakar, kemudian sebagian periode Khalifah Umar bin Khattab. Ibn Abbas dan beberapa sahabat juga berpendapat bahwa nikah ini halal. Jadi, yang melarang nikah mut’ah bukan Rasulullah, melainkan Umar bin Khattab.

    Kalau Rasulullah mengharamkan nikah ini secara mutlak, maka tidak akan dipraktekkan pada periode Abu Bakar atau sebagian periode Umar. Jadi, pengharaman nikah mut’ah lahir dari ijtihad Umar. Karena waktu itu, Umar tidak hanya melarang nikah mut’ah, melainkan juga haji tamattu’ (haji dan umrah dalam waktu bersamaan). Cerai tiga dalam satu vonis (kesempatan) ditetapkan oleh Umar menjadi cerai tiga. Sedangkan waktu Rasulullah dan Abu Bakar masih dihitung cerai satu. Saya juga tidak menutup kemungkinan dispensasi (rukhsah) ini bisa disalahgunakan. Maka dari itu saya hanya bicara dalam kontek komunitas muslim di negara-negara Barat saja.

    Gatra: Tapi nikah mut’ah itu merupakan ajaran Syiah?

    Gamal: Saya tidak mau bicara tentang ajaran Syiah, karena saya tidak bicara tentang nikah mut’ah dalam versi mereka (Syiah). Saya terpaksa mengulas masalah nikah mut’ah ini sebagai solusi khusus bagi minoritas muslim di negara-negara Barat. Saya juga tegaskan dalam buku itu bahwa saya tidak setuju jika nikah mut’ah dipraktekkan di negara-negara muslim. Bisa jadi, dalam konteks zaman dulu, Umar benar ketika melarang nikah mut’ah. Tapi sekarang konteksnya kan berbeda. Lagi pula, kenapa kita apriori terhadap Syiah? Almarhum Syekh Syaltut –mantan Grand Syekh Al-Azhar– memperbolehkan kita mengamalkan mazhab Syiah, terutama mazhab Ja’fari.

    2. Pendapat cucu Imam Khomeini

    Sayyed Husain Khomeini cucu Imam Imam Khomeini) menyampaikan kepada Al-Arabiyya.net bahwa Ketika ditanya tentang pendapat pribadinya tentang kawin mut`ah, putra Mustafa Khomeini ini menjawab, “Sebagai keyakinan keagamaan, saya menganggapnya memang ada dalam Islam dan Al-Qur’an, meskipun ditolak oleh kalangan Ahlus-Sunnah. Akan tetapi, kawin mut`ah telah disalahgunakan. Sebetulnya ia dibolehkan demi menghalangi manusia daripada prostitusi dan perbuatan zina, namun adakalanya ia sama saja seperti zina, bahkan lebih jahat daripada zina. Walaupun demikian, memang dalam buku2 fiqih yang ditulis oleh para fuqaha Syi`ah, terdapat dua jenis perkawinan, satu yang disebut perkawinan permanen dan yang lainnya disebut perkawinan sementara. Begitulah yang disepakati oleh semua ahli fiqih Syi`ah.

    Saya yakin orang yang berpikir jernih dan tidak mendahulukan hawa nafsunya akan menganggap bahwa pernyataan seperti itu adalah keliru. Nikah mut’ah adalah ikatan tali pernikahan antara seorang laki-laki dan wanita dengan mahar yang telah disepakati dalam akad, sampai pada batas waktu tertentu. Sedangkan perzinahan adalah hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim dan merupakan perbuatan dosa besar. Pernah ada teman saya yang bertanya apakah nikah mut’ah itu bisa tanpa wali, saksi, dan pemberian nafkah? Mendengar pertanyaan seperti itu, saya teringat dengan perkataan seorang ustadz yang mengatakan bahwa tidak wajib adanya wali dan saksi, tetapi alangkah baiknya jika ada wali dan saksi. Mengenai pemberian nafkah – masih menurut ustadz itu – tergantung perjanjian ketika akad.

    SEMOGA BERMANFAAT

    Salam Damai

  35. @ SP

    Ana mau tanya… benarkah “yunus bin zhabyan’ pemalsu hadis?

  36. @ SP

    Ana mau tanya… benarkah “yunus bin zhabyan’ pemalsu hadis? Juga Abu al-Mufadhdhol al-Syaibani. Syukron.

    Salam damai

  37. jika benar begitu, bolehkah saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah untuk satu malam?

  38. sepertinya hal seperti ini jarang terjadi

  39. jadi kesimpulan SP Nikah Mut’ah halal apa haram? Dan apakah nanti jika SP punya istri atau anak perempuan akan direlakan untuk dinikahi secara mut’ah oleh seorang pria?

  40. @Finni: Apakah hukum halal atau haramnya suatu perkara itu ditetapkan berdasarkan suka atau tidak sukanya seseorang?

  41. @finni:
    Apa yang boleh dilakukan pastinya tidak haram. Mengenai rela atau tidak rela tidak mengubah status hukumnya. Meskipun poligami adalah halal, berapa banyak orangtua yang akan merelakan dipoligami? Berapa banyak wanita yang rela dipoligami? Apakah ketidak relaan mereka membuat poligami jadi haram?

    Pertanyaan anda bisa dikembalikan kepada anda: Relakah anda jika istri, anak, atau saudara anda dipoligami? Padahal Rasulullah dan para sahabat mempraktikkannya. Apakah itu berarti anda menolak sunnah?

    Sebenarnya uraian SP sudah sangat jelas, tergantung kepada pembacanya apakah bisa bersikap obyektif dan jernih nalarnya.

    Terlalu sering saya melihat pertanyaan yang berusaha memojokkan subyek penulisnya dan bukan pada permasalahannya. Itu ciri2 orang yang tidak cakap berargumentasi.

    Salam damai…

  42. @Finni, bukan di mutah tapi anak perempuan Finni dinikah secara sunni terus besok abis subuh dicerai, gimana kan menurut fiqh islam diperbolehkan, bahkan figh nya wahabipun di boleh kan tuh nikah cara sunni terus paginya cerai, halalan toyyiban

  43. Kadang ayat agama dipake pake, demi keinginan dan kepentingan.

    Dicari sedetil detil biar berhubungan badan sama wanita dengan mahar tertentu jadi “boleh”.

    pakailah hati nurani.perasaan.logika. Mau ga anak perempuanmu, adikmu, istrimu di mut ah. Hari senin fulan a. Selasa fulan b. Lalu dikasih mahar.

    Inilah yang menyebabkan orang makin ga suka sama islam, kelakuan orang2 yang mendasar dasarkan agama buat kepentingan buah zakarnya.

  44. @Finni

    Pertanyaan saya Apakah mba akan memberikan anak perempuan mba yang masih duduk di kelas dua SMA untuk di poligami oleh pria berumur 51 sebagai istri ke empat?

    jawab Setuju atau Tidak saja mba, tolong dijawab yah mba

  45. yang namanya nikah, baik mut’ah, maupun nikah biasa harus ada rukun nikah, syarat sah nikah,dll…

  46. senarai pelaku mutaah dibongkar—yang terhebat said b jubir–
    lebih halal dari meminum air

    seorang syiah yang hebat

    https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_salaf_in_favor_of_nikah_mut%27ah_after_Muhammad

    sa’id ibn Jubayr was regarded as one of the leading members of the Tabi‘in and was counted by Nasir al-Din Tusi as one of the companions of the fourth Shia Imam, Ali ibn Husayn. Sa’id is held in the highest esteem by Shi’a and Sunni scholars and was considered one of the leading jurists of the time. Ibn Hajar al-Asqalāni and al-Dhahabi praise him greatly in their respective treatises. He also narrated several hadith from Ibn Abbas.
    Musannaf of Abd al-Razzaq:
    A narration reports:
    “ A beautiful Iraqi women resided in Makka, Saeed bin Jabeer intended on visiting her, I asked why he spend so much time with the women, he said ‘he had performed Nikah Mut’ah with the women, and that Nikah Mut’ah was more Halal than drinking water.

  47. alhamdulillah kerana mendapat penjelasan yg baik, mudah mudahan para pembaca memperolihi nilai tambah dalam keilmuan nya.

  48. Pahami konteks ayat tersebut! Seharusnya kamu tahu maksud ayat itu dan kata ‘perempuan yg telah dinikmati’ adalah tentang kewajiban seorang suami membayar mahar yg telah dijanjikan saat akad nikah setelah pernikahan itu ‘consumated’/terjadi hubungan suami-istri setelah akad nikah.Tidak ada perjanjian jangka waktu dalam Al-Qur’an tentang pernikahan. Semua yg mengandung jangka waktu itu zina. Hanya muamalah yaitu hutang piutang yg memiliki jangka waktu dalam Al-Quran.

  49. Satu-satunya kata mut’ah dalam Al-Quran adalah tentang kewajiban pemberian berupa harta untuk terakhir kalinya untuk istri yg akan diceraikan oleh suami menurut Al-Baqarah 241. Istri yg dimaksud dalam ayat ini tentu saja sudah pernah disetubuhi suaminya. Mut’ah adalah harta yg diberikan bukan sbg nafkah untuk anaknya. http://fikihonline.blogspot.co.id/2010/03/hak-mutah-isteri-pasca-perceraian.html

  50. […] Sebelumnya dalam salah satu tulisan disini, kami sudah menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat dalil shahih dalam kitab Ahlus Sunnah bahwa An Nisa ayat 24 di atas yaitu lafaz “maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka” merujuk pada nikah mut’ah. Silakan lihat selengkapnya disini. […]

Tinggalkan komentar