Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?

Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?

Diriwayatkan kalau Ibnu Abbas telah menghalalkan mut’ah dan mengizinkan orang lain untuk melakukan mut’ah. Dan diriwayatkan pula kalau Imam Ali menegur Ibnu Abbas dan menyatakan kalau nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar.

حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ

Telah menceritakan kepada kami Malik bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115]

Atsar ini menunjukkan kalau Imam Ali telah mengingatkan Ibnu Abbas bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar. Peristiwa ini [jika benar] terjadi di masa Imam Ali masih hidup, anehnya setelah peristiwa ini Ibnu Abbas masih saja menghalalkan mut’ah.

وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan bahwa yang berdebat dengan Ibnu Zubair di atas adalah Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu [Syarh Shahih Muslim 5/88]. Hadis Shahih Muslim di atas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas setelah diberitahu Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar, ia tetap saja menghalalkan mut’ah. Perhatikan kembali hadis di atas, Ibnu Zubair menyindir Ibnu Abbas bahwa ia seorang yang buta mata hatinya sebagaimana Allah SWT telah membutakan matanya. Ibnu Abbas memang menjadi buta matanya ketika usianya telah lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa jauh setelah Imam Ali mengabarkan kepadanya kalau mut’ah itu diharamkan di Khaibar, Ibnu Abbas tetap menghalalkan mut’ah.

Bukankah ini sesuatu yang aneh. Sahabat sekelas Ibnu Abbas tidak menghiraukan larangan Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang disampaikan oleh Imam Ali. Ada tiga kemungkinan yang terjadi jika kita mengkonfrontir hadis Imam Ali dan hadis tentang Ibnu Abbas di atas.

  • Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
  • Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
  • Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah

Ketiga kemungkinan ini benar-benar membuat bingung atau silakan ditampilkan jika ada yang punya kemungkinan lain. Soal atsar Imam Ali itu, memang secara zahir sanadnya shahih tetapi matannya diperselisihkan oleh sebagian ulama [idhthirab]. Ada yang mengatakan kalau mut’ah tidak diharamkan di Khaibar karena pada saat itu di Khaibar hanya terdapat wanita yahudi [ahlul kitab] dimana hukum bolehnya menikahi wanita ahlul kitab ditetapkan setelah peristiwa Khaibar.  Seandainya atsar Imam Ali itu shahih dan benar maknanya Nikah Mut’ah haram secara mutlak maka Ibnu Abbas itu memang sudah keterlaluan. Telah sampai larangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadanya tetapi ia tetap saja menghalalkan nikah mut’ah. Ini namanya menghalalkan sesuatu yang ia sudah tahu kalau itu haram, na’udzubillah. Silakan kepada para pembaca sekalian untuk memberikan masukannya dalam perkara ini.

.

.

Note : Kami pribadi punya penjelasan sendiri soal hadis Imam ‘Aliy dan sikap Ibnu ‘Abbaas tersebut, hanya saja itu sebaiknya dibahas di tempat lain. 

56 Tanggapan

  1. waduh, Imam Ali ternyata mengharamkan mutah. Kalo memang benar matan-nya bahwa Imam Ali mengharamkan nikah mutah dan kedudukan-nya shahih, ya tidak peduli bagaimakah kedudukan Ibnu Abbas, tetap saja Ibnu Abbas dianggap menyelisihi Imam Ali.

    Tapi gak tahu deh. Silahkan temen2 syiah memberikan pencerahan dan menunjukkan bahwa matan hadits Imam Ali diperselisihkan oleh sebagian ulama [idhthirab]. Sepertinya hanya dengan jalan ini, temen2 syiah dapat mengatakan bahwa Mutah itu halal.

  2. Assalamu’alaikum Wr Wb
    Salam sejahtera untuk Ustad….
    mohon izin untuk ikut membaca tulisan Ustad…
    dan semoga bermanfaat bagi saya…

    wasalam
    salam takzim

    Quinsa Tiara Putri

  3. Salam sejahtera untuk pencerahan ustadz…

    Mohon maaf…ustadz…
    sejauhmana Nikah Mut’ah itu akan membawa kebahagiaan bagi kami… para wanita?

    meskipun saya pribadi juga tak menafikan bahwa melalui nikah da’im sepenuhnya juga berbahagia…

    keduanya memiliki potensi membahagiakan sekaligus menyesakan…

    apakah mut’ah hanyalah menguntungkan secara material bagi wanita… dan pada batas tertentu… si wanita harus menelan kegetiran ketika cinta itu harus berhenti pada tempo dan batas waktu tertentu… ?

    afan atas pertanyaan saya…
    syukran jidan atas jawaban ustad…

  4. @SP

    Menurut sy atsar dari Imam Ali mengenai pelarangan mut’ah oleh Rasul saw “di masa Khaibar” tsb mengandung 2 pengertian mendasar yg akan menjadi sangat berbeda,

    (1) Bisa jadi larangan tsb hanya khusus pada saat (perang) Khaibar.
    (2) Atau larangan mut’ah disampaikan Rasul pada saat (perang) Khaibar, dan berlaku jg setelahnya.

    Perkataan Imam Ali ke ibnu Abbas tidak pasti sebuah peringatan, bisa saja penjelasan biasa bahwa pernah ada larangan mengenai mut’ah oleh Rasul saw pada saat di (perang) Khaibar. Kita perlu riwayat lain lagi dari Imam Ali yg memastikan bahwa larangan mut’ah ini berlaku umum.

    Adapun perdebatan Abdullah bin Zubair dgn ibnu Abbas kemungkinan adalah mengenai tafsir dari larangan Rasul saw di Khaibar, apakah khusus (1) atau umum (2). Ibnu Abbas kelihatannya menganggap bahwa larangan itu khusus hanya di masa (perang) Khaibar shgg beliau msh melakukan mut’ah.

    Lagipula riwayat tsb jg msh belum lengkap menurut sy. Kita tdk bisa melihat apa yang diperdebatkan sesungguhnya dan apa saja yg telah diucapkan oleh ibnu Abbas. Sama sekali tidak ada ucapan/bantahan ibnu Abbas di sana.

    Mengingat bahwa pada masa Abubakar & Umar mut’ah msh dilakukan oleh para sahabat, serta bagaimana prilaku, ilmu dan keutamaan ibnu Abbas (dibanding Abdullah bin Zubair) maka larangan bersifat khusus lebih memungkinkan.

    Salam

  5. @sp
    Bukankah masih ada satu kemungkinan lain, yaitu:
    Bahwa Nikah Mut’ah dilarang secara temporer (khusus) disaat perang Khaibar saja (sebelum dan sesudah itu adalah halal).

    salam damai

  6. @truthseeker

    🙂

  7. Ralat:

    Ada bantahan ibnu Abbas yg terlewat oleh sy. Maaf.

  8. @tiara,

    nikah mutah sejauh pengetahuan saya, hampir sama persyaratan-nya dengan nikah biasa, hanya saja dalam nikah mutah menyebutkan batas waktu pernikahan.

    Lantas, apakah kemudian mut’ah hanyalah menguntungkan secara material bagi wanita dan pada batas tertentu, si wanita harus menelan kegetiran ketika cinta itu harus berhenti pada tempo dan batas waktu tertentu ? Bisa ya, bisa tidak.

    Karena yang menikah, idealnya, adalah dua orang dewasa, yang mengerti isi perjanjian, serta tanpa paksaan, maka seharusnya kedua belah mengambil keuntungan dan resiko masing-masing. Jika si wanita dianggap menanggung resiko karena harus menelan kegetiran ketika cinta itu harus berhenti pada tempo dan batas waktu tertentu, maka si lelaki-nya pun terekspose resiko yang sama.

    Bagaimana jika habis waktu pernikahan, si lelaki keburu jatuh cinta kemudian si wanita menolak menjadikan nikah mutah menjadi nikah biasa?

    Si wanita mendapat keuntungan karena mendapatkan sisi material, pun si lelaki mendapatkan keuntungan terhindar dari perbuatan zina.

    Jadi, dalam hal ini, baik si lelaki dan si wanita, dalam posisi yang sama. Klop. Tidak ada yang satu untung yang lain rugi. Kedua2anya sama2 untung dan sama rugi.

    Yang benar2 rugi bahkan bangkrut cuma satu, yaitu wahhabi/salafy. Lihat jenggotnya aja pontang-panting melarikan diri dari muka wahhabi/salafy. Jenggot aja jijik, apalagi orang lain .. hehehe …

  9. Mut’ah diagungkan syiah? Hmmm… Judulnya saja sdh manipulatif 🙂

  10. Padahal Abdullah ibn zubair itu adalah produk Mut”ah antara Zubair bin awwam dengan Asma’ binti abu bakar….

    oleh karenanya tdk heran dalam satu riwayat perdebatan ini berakhir dgn kata2 Ibn Abbas ke ibn zubair
    ” tanya sama enyak elo, ente produk nikah Daim ape nikah Mut’ah “…hehehehhe

  11. @armand & bob

    setidaknya bacalah dahulu.. jangan buru-buru antipati & mengejek duluan.. nanti bakalan tahu bahwa haramnya nikah mut’ah itu adalah pendapat yg rajih yg dipegang oleh ahlussunnah, bukan opini wahhabi semata…

  12. @thirdprince

    Ada yang menjadi keberatan kami (saya) untuk ikut dalam diskusi2 anda (salafy.or.id):
    1. Dari sepanjang yang saya tahu Blog salafy tidak jujur; moderasi, manipulatif thd komentar2. Saya yakin kalau ada blog salafy yang tanpa moderasi maka blog tsb akan jadi “the most populer blog”.
    Jadi pastikan dulu akan terjadi diskusi yang adil (yang mana almost impossible ada pada salafy).

    2. Bukan hal baru bahwa sunni mengharamkan mut’ah. Hal ini biasa saja dalam perbedaan mazhab. Ada mazhab yang mengharamkan katak, kuda, anjing, namun ada pula yang menghalalkan. Dan mereka tidak ribut2 spt salafy atas perbedaan tsb. paling yang ribut dimana2 dengan adanya perbedaan adalah salafy/wahaby (saya terheran2 urusan isbal or janggut saja bisa jadi ribut dan hujat2an yang akhirnya malah membuat dosa yang lebih besar).

    3. Yang menjadi isu adalah bahwa salafy bukannya menyatakan haram namun kebablasan meyatakan mut’ah adalah zina. Lihat saja artikel SP: https://secondprince.wordpress.com/2011/02/28/nikah-mut%E2%80%99ah-bukanlah-zina-menggugat-salafy/

    Salam damai

  13. @ Mas wahabi kampret

    terimkasih atas pencerahanya…
    coba saya perdalam lagi… tampaknya ada beberapa tulisan yang bisa saya rujuk… alhamdulillah saya baru dapat pinjaman buku
    The Tao of Islam (prepektif gender di tlesik, sekaligus melihat pandangan ulama Sunni dan syiah dalam melihat perempuan

    yang kedua buku Mutáh karya sachiko murata yang tampaknya mewakili prepektif sunni dan syiah…

    terimakasih banyak
    salam….

  14. Jadi kalau wahaby/salafy menfatwakan mut’ah itu haram dan jika mereka bermut’ah maka mereka telah berzina ya silakan saja. Wong itu urusan mereka.
    Bagi mazhab lain boleh dong berbeda?

    Salam

  15. @truthseeker,

    oh blog salafy.or.id ya ? wah kalo blog ini ancuuurrr …

    Semua di berikan label sesat. Imam Gozali, Hasan AlBana, Imam Khomeini, Abu Ala AlMaududi, Sayyid Qutb, Said Hawwa, Yusuf Qordawi, dll adalah sedikit orang-orang dianggap sesat dan menyimpang.

    Hampir semua ulama atau cendekiaawan dari lintas mazhab baik sunni maupun syiah, organisasi islam seperti HTI, IM, bahkan organisasi yang tidak pernah didengar membuat keributan seperti JT, juga dianggap sesat dan menyesatkan. Membaca salafy.or.id seperti membaca orang yang merasa dirinya malaikat yang paling suci. Eneeg gw. Harusnya blog seperti ini ditutup saja.

    Karena dianggap sesat, mereka dengan gampang berkata : “Karena elo sesat, maka pendapat elo juga sesat”.

    Salah satu fatwa yang lucu adalah fatwa dilarangnya menghormati bendera bagi tentara :
    http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=412

    [Harusnya blog salafy.or.id dilaporin ke polisi nih, biar ditutup baru tahu rasa]

    Alasannya : Karena menghormati tidak ada pada jaman Nabi. Padahal dengan alasan ini, mereka seharusnya dilarang menggunakan sabun, sampo, pasta gigi. Biar kudisan semua.

    Apa karena itu ya, jenggot ulama wahhabi/salafy pada pontang-panting dan morat-marit melarikan diri dari mukanya wahhabi/salafy? Jijik kali ya jenggot tersebut … hehehe ..

  16. Mari kita cermati fatwa sebenarnya dari Ibnu abbas mengenai Mut’ah, apakah beliau membolehkan mut’ah secara mutlak ataukah dalam kondisi tertentu:

    5116 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَرَخَّصَ فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْحَالِ الشَّدِيدِ وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ أَوْ نَحْوَهُ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَعَمْ

    (7/12)

    “Dari Abi Jamrah berkata aku mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang mut’ah dengan wanita, kemudian dia memberikan keringanan (rukhshah). Lantas seorang bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!” (Riwayat Bukhari 7/12 No. 5116).

    Perhatikan, bahwa Ibnu Abbas memberikan keringanan (rukhshah), artinya pada dasarnya mut’ah tersebut adalah sesuatu yang dilarang, dibolehkan sebagai bentuk keringanan dengan syarat kondisi sebagaimana disebutkan yaitu dalam keadaan yang bisa disebut darurat, Fatwa yang seperti ini saja banyak ditentang oleh sahabat2 yang lain.

    Coba bandingkan dengan praktek mut’ah kaum syi’ah saat ini, sungguh sangat jauh sekali kelewatannya, maka bener-bener mereka telah berzina dengan berkedok agama, ga ada angin ga ada hujan mut’ah!, bahkan menurut mereka semakin banyak melakukan mut’ah maqam mereka menjadi semakin tinggi… Naudzubillah .

    Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri, bahwa banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik kembali sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:

    وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين أن زواج المتعة حلال، واشتهر ذلك عن ابن عباس رضي الله عنه، وفي تهذيب السنن: وأما ابن عباس فانه سلك هذا المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا، فلما بلغه إكثار الناس منها رجع.

    فقال ابن عباس: (إنا لله وإنا إليه راجعون)! والله ما بهذا أفتيت، ولا هذا أردت، ولا أحللت إلا مثل ما أحل الله الميتة والدم ولحم الخنزير، وما تحل إلا للمضطر، وما هي إلا كالميتة والدم ولحم الخنزير.

    Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi (ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205) Ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”

    Telah shahih bahwasanya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meralat fatwanya dan melarang mut’ah sebagaimana yang di jelaskan dengan cara yang bagus oleh Imam Syaukani (Nailul Authar6/169-170).

  17. @sok tau banget

    Perhatikan, bahwa Ibnu Abbas memberikan keringanan (rukhshah), artinya pada dasarnya mut’ah tersebut adalah sesuatu yang dilarang, dibolehkan sebagai bentuk keringanan dengan syarat kondisi sebagaimana disebutkan yaitu dalam keadaan yang bisa disebut darurat, Fatwa yang seperti ini saja banyak ditentang oleh sahabat2 yang lain.

    Logika anda yang salah. Maksudnya Ibnu Abbas membolehkan mut’ah dengan syarat-syarat tertentu untuk menjaga agar mut’ah itu tidak disalahgunakan. Bukannya Ibnu Abbas malah menganggap mut’ah itu haram, itu anda aja yang maksa. Lagian kata siapa fatwa ini ditentang para sahabat. Justru fatwa ini sesuai dengan ijma’ sahabat buktinya Jabir mengatakan kalau mayoritas sahabat melakukan mut’ah di zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sampai akhirnya Umar melarangnya.

    Coba bandingkan dengan praktek mut’ah kaum syi’ah saat ini, sungguh sangat jauh sekali kelewatannya, maka bener-bener mereka telah berzina dengan berkedok agama, ga ada angin ga ada hujan mut’ah!, bahkan menurut mereka semakin banyak melakukan mut’ah maqam mereka menjadi semakin tinggi…

    memang anda sok tahu kali ya seolah tahu bagaimana kaum syiah melakukan mut’ah. Apakah anda pernah melihat bagaimana kaum syi’ah melakukan mut’ah sehingga anda bisa mengatakan “kelewatan”?. Orang yang lebih pantas anda tuduh adalah Ibnu Abbas. Ibnu Abbas itu sudah mendapat peringatan oleh Imam Ali kalau nikah mut’ah itu haram lha kok setelah itu Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah. Menurut logika anda berarti Ibnu Abbas itu menghalalkan zina. begitukah?

    Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri, bahwa banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik kembali sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:

    وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين أن زواج المتعة حلال، واشتهر ذلك عن ابن عباس رضي الله عنه، وفي تهذيب السنن: وأما ابن عباس فانه سلك هذا المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا، فلما بلغه إكثار الناس منها رجع.

    فقال ابن عباس: (إنا لله وإنا إليه راجعون)! والله ما بهذا أفتيت، ولا هذا أردت، ولا أحللت إلا مثل ما أحل الله الميتة والدم ولحم الخنزير، وما تحل إلا للمضطر، وما هي إلا كالميتة والدم ولحم الخنزير.

    Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi (ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205) Ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”

    Maaf kayaknya riwayat Ibnu Abbas yang anda jadikan hujjah di atas dhaif jiddan. anda menyebutkan referensinya dari Sunan Baihaqi 7/205. Riwayat yang dimaksud adalah dari Hasan bin Umarah dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Hasan bin Umarah ini matruk. Ahmad berkata “matruk al hadits”. terkadang berkata “mungkar al hadis meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ dan tidak ditulis hadisnya”.Abu Hatim, Muslim, Daruquthni dan Nasa’i berkata “matruk” [At Tahdzib juz 2 no 532]. Begitu pula riwayat Abdussalam bin Harb dari Hajjaj dari Abu Khalid dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Riwayat ini dahif karena Hajjaj bin Arthah seorang mudallis martabat keempat dan riwayatnya disini dengan ‘an ‘anah [Thabaqat Mudallisin no 118] dan Abu Khalid yaitu Yazid bin ‘Abdurrahman adalah mudallis martabat ketiga [Thabaqat Mudallisin no 113] disini riwayatnya juga dengan ‘an ‘anah sehingga dhaif. Riwayat dari kedua orang mudallis ini jelas dhaif sekali.

    Telah shahih bahwasanya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meralat fatwanya dan melarang mut’ah sebagaimana yang di jelaskan dengan cara yang bagus oleh Imam Syaukani (Nailul Authar6/169-170).

    Sayangnya hadis-hadis yang menjelaskan ruju’nya Ibnu Abbas itu dhaif. Kalau tidak percaya ya silakan bawakan saja hadis lengkapnya nanti ditunjukkan kalau hadis tersebut dhaif 🙂

  18. @WK
    Tidak salah apa yang anda katakan, begitu juga pengamatan saya sejauh ini tentang salafy.
    Sayang mereka telah mereduksi Islam begitu jauh, sehingga Islam yang mrk tampilkan menjadi islam yang kerdil dan sempit. Tidak ada kedalaman dalam islam jadinya.
    Bendera adalah simbol, sebagaimana islam mengenal simbol2 juga (ka’bah, panji/bendera perang dll). menghormati itu bukan hanya dengan meletakkan tangan di kepala. Kita semua menghormati ka’bah yang bahkan sampai sujud di depannya/ke arahnya, begitu juga sahabat menghormati dan menjaga panji/bendera perang dengan nyawa mereka.
    Bukanlah bendera/kain yang dihormati, namun nilai2 yang ada dari simbol/bendera tsb, yaitu nilai2 perjuangan, pembebasan yang diwakili salah satunya oleh bendera tsb. Dan nilai2 tsb juga dimuliakan oleh islam.
    Kasian..kasian, mereka sangat dangkal, semua aktivitas/amal hanya sampai pada kerongkongan mereka, tidak pernah sampai ke hati/jiwa mereka. Mereka tidak bisa memahami jiwa dari aktivitas/amal tsb.
    Saya teringat komentar sinis dari teman Hindu saya, mereka menyindir islam ribut masalah sembahan mereka namun islam setiap hari menyembah batu (ka’bah), syukur alhamdulillah mereka memahami bahwa ka’bah adalah arah dan jiwa/hati umat islam menyembah kepada Allah SWT dan tidak pernah beranggapan bahwa Tuhan berada dalam ka’bah.
    Ini dibuktikan dengan bahwa umat islam tidak pernah membawa2 miniatur/replika ka’bah ke mesjid2 kita ataupun rumah2 kita untuk disembah.

    btw, argumen apapun menjadi mentah bagi mereka (wahaby) karena inkonsistensi dan standar ganda bukanlah hal yang tabu bagi mereka.

    Maaf OOT.. 🙂

    salam damai.

  19. Untuk menghindari syubhat, kenapa gak di teliti juga matan hadits yg kedua ??

    Menurut ana yg kurang ini, justru hadts yg ke dua lebih rancu..

    Apa bener seperti itu akhlaq Sahabat abdullah bin zubair menyindir sayyidina abas ra dgn kata2 yg tajam (dibutakan mata hatinya) ??

    Belum tentu juga yg di sindir itu sayyidina abbas ra..

    Seandainya kedua hadits itu benar,bagi ana sih wajar aja krn mereka ulamanya sahabat dalam berhujjah..maklum2 aja, tapi ana pribadi ambil fatwa yang pertama, yaitu haram..

  20. @Alaydrouz
    soal anda mau memilih hukum atau pendapat yang mana itu semua terserah anda. Fokus saya disini adalah ada riwayat yang cukup membuat saya “bertanya-tanya”. Ibnu Abbas itu tetap saja menghalalkan mut’ah walaupun terdapat riwayat kalau Imam Ali sudah menegur dan memperingatkan soal keharaman nikah mut’ah di khaibar. Sikap Ibnu Abbas ini bagi saya ya aneh atau sebaliknya mungkin hadis Imam Ali yang keliru.

  21. Logika anda yang salah. Maksudnya Ibnu Abbas membolehkan mut’ah dengan syarat-syarat tertentu untuk menjaga agar mut’ah itu tidak disalahgunakan. Bukannya Ibnu Abbas malah menganggap mut’ah itu haram, itu anda aja yang maksa. Lagian kata siapa fatwa ini ditentang para sahabat. Justru fatwa ini sesuai dengan ijma’ sahabat buktinya Jabir mengatakan kalau mayoritas sahabat melakukan mut’ah di zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sampai akhirnya Umar melarangnya.

    Justru logika anda yang lebih salah, saya tidak maksa kok, coba baca pelan-pelan,

    5116 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَرَخَّصَ فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْحَالِ الشَّدِيدِ وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ أَوْ نَحْوَهُ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَعَمْ

    (7/12)

    “Dari Abi Jamrah berkata aku mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang mut’ah dengan wanita, kemudian dia memberikan keringanan (rukhshah). Lantas seorang bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!” (Riwayat Bukhari 7/12 No. 5116).

    Jadi Ibnu Abbas memberi rukhshah melakukan mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, maka tanpa diragukan lagi selain dalam keadaan terpaksa Ibnu Abbas tidak membolehkannya atau mengharamkannya. Jelas sekali itu.

    memang anda sok tahu kali ya seolah tahu bagaimana kaum syiah melakukan mut’ah. Apakah anda pernah melihat bagaimana kaum syi’ah melakukan mut’ah sehingga anda bisa mengatakan “kelewatan”?. Orang yang lebih pantas anda tuduh adalah Ibnu Abbas. Ibnu Abbas itu sudah mendapat peringatan oleh Imam Ali kalau nikah mut’ah itu haram lha kok setelah itu Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah. Menurut logika anda berarti Ibnu Abbas itu menghalalkan zina. begitukah?

    Yang kelewatan itu ya kaum syi’ah yang melakukan mut’ah padahal mut’ah telah dilarang oleh Imam Ali, sedangkan Ibnu Abbas membolehkan mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, dan ijtihad beliau ini keliru menselisihi pendapat sahabat2 yang lain. dan yg lebih kelewatan adalah orang yang mengakui Imam Ali sebagai pedoman umat tetapi masih meragukan fatwa beliau tentang keharaman Mut’ah :mrgreen:

    Sayangnya hadis-hadis yang menjelaskan ruju’nya Ibnu Abbas itu dhaif. Kalau tidak percaya ya silakan bawakan saja hadis lengkapnya nanti ditunjukkan kalau hadis tersebut dhaif 🙂

    Dengan tidak ada penentangan beliau terhadap Umar mengenai mut’ah, bagi saya cukup untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Abbas sudah rujuk dari fatwa sebelumnya. Sedangkan Umar, jangankan sahabat seperti Ali atau Ibnu Abbas, terhadap seorang perempuan yang memprotes beliau jika beliau keliru dalam berfatwa, beliau mau menerimanya kok. Dan terbukti tidak ada riwayat mengenai adu argumentasi mengenai mut’ah dengan Umar.

  22. @sok tau banget

    Jadi Ibnu Abbas memberi rukhshah melakukan mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, maka tanpa diragukan lagi selain dalam keadaan terpaksa Ibnu Abbas tidak membolehkannya atau mengharamkannya. Jelas sekali itu.

    wah maaf ya andalah yang memaksakan diri. Di situ kan ada yang bertanya “dalam keadaan terpaksa” atau “wanita sedikit” atau “keadaan lain semisalnya”. Ibnu Abbas menjawab “ya”. Nah anda lah yang memperluas seolah selain itu maka Ibnu Abbas menganggapnya haram. Ini maksa namanya. Apalagi di hadis lain tertera keadaan lain yaitu “jihad”. Jadi ada “keadaan lain” yang diakui oleh Ibnu Abbas. Intinya Ibnu Abbas itu mengakui mut’ah itu halal dengan syarat-syarat tertentu.

    Yang kelewatan itu ya kaum syi’ah yang melakukan mut’ah padahal mut’ah telah dilarang oleh Imam Ali, sedangkan Ibnu Abbas membolehkan mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, dan ijtihad beliau ini keliru menselisihi pendapat sahabat2 yang lain. dan yg lebih kelewatan adalah orang yang mengakui Imam Ali sebagai pedoman umat tetapi masih meragukan fatwa beliau tentang keharaman Mut’ah

    berarti anda menganggap Ibnu Abbas kelewatan tuh karena setelah Imam Ali mmperingatkannya Ibnu Abbas masih saja menghalalkan mut’ah. wah siapa tuh yang meragukan fatwa Imam Ali? sekedar info tuh buat anda, sebagian ulama ahlus sunnah ada tuh yang menolak pengharaman mut’ah di Khaibar seperti ibnu Qayyim dan sebagian lagi ada yang bilang hadis Imam Ali dinasakh dan Imam Ali keliru karena memperingatkan Ibnu Abbas dengan hadis yang sudah dinasakh. btw siapa nih yang sebenarnya kelewatan. dan lebih kelewatan lagi adalah orang yang berhujjah dengan hadis Imam Ali kemudian mengatakan mut’ah itu zina. Artinya orang itu mau mengatakan kalau di Fathul Makkah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat berzina. wah wah kelewatan sekali ini

    Dengan tidak ada penentangan beliau terhadap Umar mengenai mut’ah, bagi saya cukup untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Abbas sudah rujuk dari fatwa sebelumnya.

    Itu mah berandai-andai, memangnya Ibnu Abbas mengeluarkan fatwa halalnya mut’ah itu kapan?. setelah masa Umar lho 🙂

    Sedangkan Umar, jangankan sahabat seperti Ali atau Ibnu Abbas, terhadap seorang perempuan yang memprotes beliau jika beliau keliru dalam berfatwa, beliau mau menerimanya kok. Dan terbukti tidak ada riwayat mengenai adu argumentasi mengenai mut’ah dengan Umar.

    Saya tanya nih Umar itu kan melarang mut’ah haji. pertanyaannya, ada tidak riwayat sahabat adu argumentasi dengan Umar?. kalau tidak ada, apa anda mau mengatakan bahwa mut’ah haji itu tidak boleh dan para sahabat mengakuinya.

  23. wah maaf ya andalah yang memaksakan diri. Di situ kan ada yang bertanya “dalam keadaan terpaksa” atau “wanita sedikit” atau “keadaan lain semisalnya”. Ibnu Abbas menjawab “ya”. Nah anda lah yang memperluas seolah selain itu maka Ibnu Abbas menganggapnya haram. Ini maksa namanya. Apalagi di hadis lain tertera keadaan lain yaitu “jihad”. Jadi ada “keadaan lain” yang diakui oleh Ibnu Abbas. Intinya Ibnu Abbas itu mengakui mut’ah itu halal dengan syarat-syarat tertentu.

    Lho jihad atau perang itu juga dalam keadaan terpaksa, dan asbabul wurud dibolehkan mut’ah kan karena sebagian kaum muslimin menanyakan apa boleh berkebiri.

    berarti anda menganggap Ibnu Abbas kelewatan tuh karena setelah Imam Ali mmperingatkannya Ibnu Abbas masih saja menghalalkan mut’ah. wah siapa tuh yang meragukan fatwa Imam Ali? sekedar info tuh buat anda, sebagian ulama ahlus sunnah ada tuh yang menolak pengharaman mut’ah di Khaibar seperti ibnu Qayyim dan sebagian lagi ada yang bilang hadis Imam Ali dinasakh dan Imam Ali keliru karena memperingatkan Ibnu Abbas dengan hadis yang sudah dinasakh. btw siapa nih yang sebenarnya kelewatan. dan lebih kelewatan lagi adalah orang yang berhujjah dengan hadis Imam Ali kemudian mengatakan mut’ah itu zina. Artinya orang itu mau mengatakan kalau di Fathul Makkah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat berzina. wah wah kelewatan sekali ini

    Saya sudah jawab di komentar saya yang lalu mengenai pengharaman mut’ah di Khaibar. bahwa yang diharamkan di khaibar adalah daging khimar, hanya karena waktu penyebutannya berbarengan dengan mut’ah di pahami oleh perawi bahwa mut’ah juga diharamkan di khaibar padahal tidak seperti itu. Kalaupun di nasakh, bukankah status akhir mut’ah adalah haram sampai kiamat? maka tetap benarlah Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas. Sungguh kelewatan orang yang berhujjah dengan Nabi SAW dan Imam Ali yang jelas-jelas mengharamkan mut’ah tidak mengakui bahwa saat ini Mut’ah adalah Zina.

  24. @sok tau banget

    Lho jihad atau perang itu juga dalam keadaan terpaksa, dan asbabul wurud dibolehkan mut’ah kan karena sebagian kaum muslimin menanyakan apa boleh berkebiri.

    Oh jadi jihad atau perang itu kondisi terpaksa ya, baru tahu saya. btw kalau Fathul Makkah itu kondisinya terpaksa juga?.

    Saya sudah jawab di komentar saya yang lalu mengenai pengharaman mut’ah di Khaibar. bahwa yang diharamkan di khaibar adalah daging khimar, hanya karena waktu penyebutannya berbarengan dengan mut’ah di pahami oleh perawi bahwa mut’ah juga diharamkan di khaibar padahal tidak seperti itu.

    Ini jawaban orang ngeles, karena bertentangan dengan zahir hadisnya. sangat jelas hadisnya dengan kata-kata jelas bahwa mut’ah diharamkan di Khaibar. Bagaimana dengan hadis yang hanya menyebut mut’ah haram di khaibar tanpa menyebut “daging khimar”?. kalau mau mengatakan perawinya salah menyebut ya orang lain kan bisa bilang jangan-jangan perawi itu juga salah sebut sebenarnya gak ada pengharaman mut’ah di khaibar jadi pengharaman itu hanya dibuat-buat atas nama Imam Ali. Atau kalau lebih halus sedikit perawi itu keliru sebenarnya tidak ada soal pengharaman mut’ah di Khaibar. Hadis Imam Ali itu hanya pengharaman daging khimar jinak saja. Yup beres kan 🙂

    Kalaupun di nasakh, bukankah status akhir mut’ah adalah haram sampai kiamat? maka tetap benarlah Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas.

    jadi kalau Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas dengan hadis yang sudah dinasakh maka Imam Ali tetap benar ya. Terus kalau memang Ibnu Abbas itu sudah diingatkan oleh Imam Ali berarti ia tahu dong itu haram, ia tahu dong kalau nikah mut’ah itu zina dan berarti Ibnu Abbas menghalalkan zina. Itu konsekuensinya, bilang saja iya, beres 🙂

    Sungguh kelewatan orang yang berhujjah dengan Nabi SAW dan Imam Ali yang jelas-jelas mengharamkan mut’ah tidak mengakui bahwa saat ini Mut’ah adalah Zina.

    lha kan logika anda mengatakan mut’ah adalah zina karena mut’ah telah diharamkan. Nah kalau logika itu dipakai konsekuensinya anda harus mengakui kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menghalalkan zina di Fathul Makkah. Kalau logika anda benar ya anda harus menerima konsekuensinya.

  25. Oh jadi jihad atau perang itu kondisi terpaksa ya, baru tahu saya. btw kalau Fathul Makkah itu kondisinya terpaksa juga?.

    Lha iya lah kan jauh dari istri, gimana thoh :mrgreen:

    Ini jawaban orang ngeles, karena bertentangan dengan zahir hadisnya. sangat jelas hadisnya dengan kata-kata jelas bahwa mut’ah diharamkan di Khaibar. Bagaimana dengan hadis yang hanya menyebut mut’ah haram di khaibar tanpa menyebut “daging khimar”?. kalau mau mengatakan perawinya salah menyebut ya orang lain kan bisa bilang jangan-jangan perawi itu juga salah sebut sebenarnya gak ada pengharaman mut’ah di khaibar jadi pengharaman itu hanya dibuat-buat atas nama Imam Ali. Atau kalau lebih halus sedikit perawi itu keliru sebenarnya tidak ada soal pengharaman mut’ah di Khaibar. Hadis Imam Ali itu hanya pengharaman daging khimar jinak saja. Yup beres kan 🙂

    Halah itu kan persepsi anda saja 🙂 , keharaman mut’ah sudah sangat jelas hanya masalah kalimat yang seharusnya didahulukan dan diakhirkan saja 🙂 . Sebagian para ulama mengatakan, (Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169)) bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian. Di datam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut’ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut’ah. Kemudian Ali berkata kepadanya:

    “Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut’ah pada perang Khaibar”.

    Seharusnya ucapan beliau,

    “Bahwa Nabi melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”.

    Dengan demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar. Ibnul Qayyim berkata, “Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah, melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa kata hari Khaibar berkait dengan dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim (4/111))

    Pemahaman saya atas penjelasan Ibnu Qoyyim tentang perkataan Ali terhadap Ibnu Abbas adalah Daging Keledai saja telah diharamkan di Khaibar tanpa banyak alasan demikian juga dengan Mut’ah. Dalam rangka memberi penekanan atas haramnya mut’ah.

    Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa’. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah

    jadi kalau Imam Ali mengingatkan Ibnu Abbas dengan hadis yang sudah dinasakh maka Imam Ali tetap benar ya. Terus kalau memang Ibnu Abbas itu sudah diingatkan oleh Imam Ali berarti ia tahu dong itu haram, ia tahu dong kalau nikah mut’ah itu zina dan berarti Ibnu Abbas menghalalkan zina. Itu konsekuensinya, bilang saja iya, beres 🙂

    Sekali lagi itu adalah ijtihad Ibnu Abbas dalam memberi rukhshah untuk mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, dan ini keliru, Imam Ali sudah mengingatkannya, dan dia sudah tarik fatwanya. saya memilih 1 metode dari 2 metode tetapi tidak menolak yang lainnya.

    lha kan logika anda mengatakan mut’ah adalah zina karena mut’ah telah diharamkan. Nah kalau logika itu dipakai konsekuensinya anda harus mengakui kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menghalalkan zina di Fathul Makkah. Kalau logika anda benar ya anda harus menerima konsekuensinya.

    Ulangi lagi dech, diharamkan = zina, dihalalkan = bukan zina, diharamkan lagi = zina :mrgreen:

  26. @sok tau banget

    Lha iya lah kan jauh dari istri, gimana thoh

    apanya ya yang gimana toh, saya baru tahu dari anda kalau “jauh dari istri” itu kondisi yang terpaksa juga, yo wes kalau begitu.

    Halah itu kan persepsi anda saja 🙂 , keharaman mut’ah sudah sangat jelas hanya masalah kalimat yang seharusnya didahulukan dan diakhirkan saja 🙂 . Sebagian para ulama mengatakan, (Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169)) bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian. Di datam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut’ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut’ah. Kemudian Ali berkata kepadanya:

    “Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut’ah pada perang Khaibar”.

    Seharusnya ucapan beliau,

    “Bahwa Nabi melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”.

    Halah itu persepsi anda saja, gimana kalau lafalnya cuma bilang pengharaman mut’ah di khaibar tanpa kata-kata daging khimar, nah loh. Kalau mau pakai persepsi-persepsi an ya boleh boleh saja.

    Dengan demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar. Ibnul Qayyim berkata, “Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah, melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa kata hari Khaibar berkait dengan dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim (4/111))

    ehem maaf ya kalau logikanya berdasar “para rawi menyangka” dan dengan persepsi ini mau mementahkan hadis-nya maka saya jamin siapapun bisa mementah-kan semua hadis pengharaman mut’ah dengan logika ini. Tapi karena yang nyebut di atas Ibnu Qayyim, anda jadi terlena dan taklid saja

    Pemahaman saya atas penjelasan Ibnu Qoyyim tentang perkataan Ali terhadap Ibnu Abbas adalah Daging Keledai saja telah diharamkan di Khaibar tanpa banyak alasan demikian juga dengan Mut’ah. Dalam rangka memberi penekanan atas haramnya mut’ah.

    Ini persepsi *ngelesnya*anda saja :mrgreen:

    Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa’. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah

    nah ini lagi jelas-jelas peristiwanya beda karena tahunnya sama ya dijadikan satu waktu saja, demi apa ya supaya gak kontradiktif gitu deh 🙂

    Sekali lagi itu adalah ijtihad Ibnu Abbas dalam memberi rukhshah untuk mut’ah jika dalam keadaan terpaksa, dan ini keliru, Imam Ali sudah mengingatkannya, dan dia sudah tarik fatwanya. saya memilih 1 metode dari 2 metode tetapi tidak menolak yang lainnya.

    berarti menurut anda Ibnu Abbas keliru karena menghalalkan zina.ehem anda terus mengulang Ibnu Abbas menarik fatwanya, memangnya anda pernah baca hadisnya tidak? jangan-jangan malah gak pernah asal terima mana aja yang penting sesuai dengan apa yang anda inginkan.

    Ulangi lagi dech, diharamkan = zina, dihalalkan = bukan zina, diharamkan lagi = zina :mrgreen:

    Ya tolong dipikir dong apa yang anda tulis. mut’ah diharamkan di Khaibar maka statusnya jadi Zina. nah si zina ini di fathul makkah diizinkan, artinya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan zina. mau anda ulang seribu kali ya tetap begitu alur logikanya :mrgreen:

  27. Halah itu persepsi anda saja, gimana kalau lafalnya cuma bilang pengharaman mut’ah di khaibar tanpa kata-kata daging khimar, nah loh. Kalau mau pakai persepsi-persepsi an ya boleh boleh saja.

    Justru riwayat shahih yang banyak saya temukan, Nabi SAW mengharamkan Khimar saja di Khaibar tanpa kata-kata mut’ah, bisa dibandingkan kok lebih banyak dan lebih shahih mana diantara kedua riwayat tsb 🙂

    ehem maaf ya kalau logikanya berdasar “para rawi menyangka” dan dengan persepsi ini mau mementahkan hadis-nya maka saya jamin siapapun bisa mementah-kan semua hadis pengharaman mut’ah dengan logika ini. Tapi karena yang nyebut di atas Ibnu Qayyim, anda jadi terlena dan taklid saja

    Lho siapa yang mementahkan, itu istilah ulama bilang mentarjih dari beberapa riwayat yang berbeda 🙂

    Udahlah yang jelas mut’ah telah diharamkan oleh Nabi SAW sampai kiamat (saya ga tau apakah anda menerimanya apa ga bahwa mut’ah telah diharamkan oleh Nabi SAW), maka barang siapa yang melakukannya maka dihukumi ZINA

  28. @sok tau banget

    Justru riwayat shahih yang banyak saya temukan, Nabi SAW mengharamkan Khimar saja di Khaibar tanpa kata-kata mut’ah, bisa dibandingkan kok lebih banyak dan lebih shahih mana diantara kedua riwayat tsb

    apa gunanya “lebih shahih” mana bagi anda, toh ujung-ujungnya kan anda bebas mmemilih seperti anda yang bebas memilih Ibnu Abbas menarik fatwa.

    Lho siapa yang mementahkan, itu istilah ulama bilang mentarjih dari beberapa riwayat yang berbeda

    lha iya kalau anda yang punya kepentingan ulama manapun bisa anda taklid mentah-mentah, tapi kalau anda tidak suka atau tidak sesuai dengan kepentingan keyakinan anda keluar jurus ngelesnya “bisa saja keliru” atau “ulama gak pasti benar” atau “ada pendapat ulama lain”. silakan silakan.

    Udahlah yang jelas mut’ah telah diharamkan oleh Nabi SAW sampai kiamat (saya ga tau apakah anda menerimanya apa ga bahwa mut’ah telah diharamkan oleh Nabi SAW), maka barang siapa yang melakukannya maka dihukumi ZINA

    bisa juga tuh dibilang sebaliknya Nabi SAW tidak pernah mengharamkan mut’ah sampai Beliau wafat. Ada hadisnya dan hadis tersebut shahih ditambah lagi Al Qur’an juga ada membolehkan mut’ah. Tapi pembahasan yang begini masih panjang gak bisa dibahas dikomentar.

  29. sebenarnya apa sih yang melatar belakakngi dibolhkanya mut’ah oleh nabi? dan jika bukan karena latar belakang tersebut, pernahkah Nabi menyuruh Mut’ah???o ya apakah ada riwayat yang menceritakan para imam melakukan mut’ah. Wassalam

  30. akhirnya keliuar dalil Sudahlah atau pokoknya…jiakakakakkakakak

    ampun ,,,deh setelah semua hujjan dan nalarnya terpatahkan sudahlah…hiaiaiaiiiaiai…..

    pake elmu pokoknya…

  31. Dalil nikah Mut’ah :

    “Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Nisa [4]:24)

    Sampai hari kiamat diperbolehkan.

  32. At-Turmidzi meriwatyatkan dalam kitab Shahihnya, dari Ibnu Umar,ia ditanya oleh seorang laki – laki dari penduduk Syam tentang Nikah mut’ah maka ia menjawab: “Nikah mut’ah itu halal.”Kemudian laki-laki itu berkata,:”Tetapi ayahmu telah melarangnya.” Maka ia berkata :”Bila kamu telah mengetahui,ayahku melarangnya, sedangkan Rasulullah SAW membolehkannya, apakah kamu akan menunggalkan sunnah Rasul lalu mengikuti ayahku.”

  33. imam Ali (a.s),”Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah niscaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.”[al-Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140]

  34. dgn dalil diatas maka riwayat ttg imam ali melarang mut’ah perlu dipertanyakan keotentikannya

  35. apa syarat2 khusus melakukan mut’ah?

  36. @ aat laparuki
    Syarat2 khusus baca surat An Nisa ayat 24.
    Albaqarah 236 & 241. Al Ahzab 28 dan 49,
    Berdasarkan ayat tsb para Ulama Fikih membuat penafsiran kemudian membuat hukum2 serta syarat2 nikahm Anda juga bisa membuat tafsiran atas firman2 Allah tsbm Salam damai

  37. sarat tdk beda dgn nikah biasa,bedanya ada wkt yg ditentukan (limuddati) atau batas wkt.
    krn ada batas wkt maka setelah selesai wktx maka tdk ada nilai talak

  38. Kita akan melihat lagi point-point “keindahan” nikah Mut’ah dan membandingkannya dengan realita pelacuran.

    1. Nikah Mut’ah adalah praktek penyewaan tubuh wanita, begitu juga pelacuran.

    Kita simak lagi perkataan Abu Abdillah: “Menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 452).

    Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa nikah Mut’ah adalah bentuk lain dari pelacuran, karena Imam Abu Abdillah terang-terangan menegaskan status wanita yang dinikahi secara Mut’ah: Mereka adalah wanita sewaan.

    2. Yang penting dalam nikah Mut’ah adalah waktu dan mahar.

    Sekali lagi inilah yang ditegaskan oleh imam syi’ah yang ma’shum: “Nikah Mut’ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 455).

    Begitu juga orang yang akan berzina dengan pelacur harus sepakat atas bayaran dan waktu, karena waktu yang lebih panjang menuntut bayaran lebih pula. Pelacur tidak akan mau melayani ketika tidak ada kesepakatan atas bayaran dan waktu tertentu. Sekali lagi kita menemukan persamaan antara nikah Mut’ah dan pelacuran.

    3. Batas minimal “mahar” dalam nikah Mut’ah.

    Dalam nikah Mut’ah ada batasan minimal mahar, yaitu segenggam makanan berupa tepung, gandum atau korma. (Lihat: Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 457). Sedangkan dalam pelacuran tidak ada batas minimal bayaran, besarnya bayaran tergantung dari beberapa hal. Kita lihat disini perbedaan antara Mut’ah dan pelacuran hanya pada minimal bayaran saja, tapi baik Mut’ah maupun pelacuran tetap mensyaratkan adanya bayaran. Banyak cerita yang kurang enak mengisahkan mereka yang berzina dengan pelacur tapi mangkir (enggan) membayar.

    4. Batas waktu nikah Mut’ah.

    Tidak ada batasan waktu dalam nikah Mut’ah, semua tergantung kesepakatan. Bahkan boleh mensepakati waktu melakukan Mut’ah walau untuk sekali hubungan badan.

    Dari Khalaf bin Hammad dia berkata: “Aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu Mut’ah? Apakah diperbolehkan Mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan badan?” Jawabnya: “Ya”. (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 460).

    Begitu juga tidak ada batasan waktu bagi pelacuran, dibolehkan menyewa pelacur untuk jangka waktu sekali zina, atau untuk jangka waktu seminggu, asal kuat membayar saja. Demikian juga nikah Mut’ah.

    5. Boleh nikah Mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali.

    Dalam Islam suami-istri diberi kesempatan untuk tiga kali talak, setelah itu si istri harus menikah dengan lelaki lain. Namun tidak demikian dengan nikah Mut’ah, orang boleh nikah Mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali, asal tidak bosan saja. Karena wanita yang dinikahi secara Mut’ah pada hakekatnya sedang disewa tubuhnya dan kemaluannya oleh si laki-laki. Sama persis dengan pelacuran.

    Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, “Seorang laki-laki nikah Mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa Mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa Mut’ahnya, lalu nikah Mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa Mut’ahnya sampai tiga kali dan nikah Mut’ah lagi dengan 3 laki-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama?” Jawab Abu Ja’far: “Ya, dibolehkan menikah Mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita Mut’ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.” (Al-Kafi, jilid. 5, hal. 460).

    Begitu juga orang boleh berzina dengan seorang pelacur semaunya, tidak ada batasan.

    6. Tidak perlu bertanya dalam menyelidiki status si wanita.

    Laki-laki yang akan nikah Mut’ah tidak perlu menyelidiki status si wanita apakah dia sudah bersuami atau tidak. Begitu juga orang tidak perlu bertanya pada si pelacur apakah dia bersuami atau tidak ketika ingin berzina dengannya.

    Dari Abban bin Taghlab berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur.” Jawabnya: “Ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.” (Al-Kafi, Jilid. 5, Hal. 462).

    7. Tidak ada hubungan warisan dengan wanita yang dinikahi secara Mut’ah.

    Nikah Mut’ah tidak menyebabkan terbentuknya hubungan warisan, artinya ketika si “suami” meninggal dunia pada masa Mut’ah maka si “istri” tidak berhak mendapat warisan dari hartanya.

    Ayatullah Udhma Ali Al-Sistani dalam bukunya menuliskan:

    Masalah 255: “Nikah Mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.” (Lihat: Minhaj Ash-Shalihin, Jilid. 3, Hal. 80).

    Begitu juga pelacur tidak akan mendapat bagian dari harta “pasangan zina” nya yang meninggal dunia.

    8. Tidak ada Nafkah bagi wanita yang dinikahi secara Mut’ah.

    Istri yang dimut’ah atau yang sedang disewa oleh suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah, si istri Mut’ah hanya berhak mendapat mahar yang sudah disepakati sebelumnya. Bayaran dari Mut’ah sudah all in dengan nafkah, hendaknya istri Mut’ah sudah mengkalkulasi biaya hidupnya baik-baik sehingga bisa menetapkan harga yang tepat untuk mahar dalam nikah Mut’ah.

    Ayatollah Ali Al-Sistani mengatakan:

    Masalah 256: “Laki-laki yang nikah Mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri Mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad Mut’ah atau akad lain yang mengikat.” (Minhaj Ash-Shalihin, Jilid. 3, hal. 80).

    Begitu juga laki-laki yang berzina dengan pelacur tidak wajib memberi nafkah harian pada si pelacur.

  39. @SK
    tdk perlu anda masuk dlm tata cara mutah.anda beri dalil aja dulu apa nikah mutah itu boleh atw tdk.
    n bgmn dgn mutah dizaman nabi.apa anda akan katakan hal tsb juga zinah?

  40. @SK
    Seorang MUSLIM walaupun baru mengucapkan DUA KALIMAT SYAGADAT dan belum melaksanakan perintah2 Allah dan Rasul TIDAK AKAN MELECEHKAN Allah dan Rasul. Jadi anda pikir aja agama apa yang anda anut

  41. @SY

    Kalau ingin tahu praktek nikah mut’ah gampang buka aja fikih bab nikah. Jadi kita faham, bagaimana tujuan, fungsinya dan manfaatnya bagi kehidupan sosial manusia.

    Belum tahu ya kalau nikah mut’ah itu urusan perempuan. Kenapa anda pusing?

    Terus bandingkan dengan ini

    Kawin Kontrak Ala Wahabi-Salafi [Fatwa Syekh Bin Baz]

    Nah kalau fatwa binbaz ini memang patut ditakuti, karena mengkhianati wanita!!!

    Kawin Kontrak Ala Wahabi-Salafi [Fatwa Syekh Bin Baz]

    (“Majmuk Fatawa oleh Ibin Baz, Jilid 4, hal 29-30 cetakan Riyadh – Saudi Arabia, Tahun 1411/1990″)

    Terus lihat ini:

    BKKBN 2010 mencatat :

    1. sebanyak 51 persen remaja di Jabotabek telah melakukan hubungan layaknya suami istri.

    2. Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen,

    3. Medan 52 persen,

    4. Bandung 47 persen, dan

    5. Yogyakarta 37 persen.

    Apakah mereka itu syi’ah?

    Berapa banyak bayi yang dibuang di tempat sampah atau dibunuh dalam kandungan?

    Akankah begitu sangat ekstrim dalam hubungan dengan wanita sehingga homosex lebih mudah untuk dilakukan?

    Atau memilih menipu wanita yang dihalalkan oleh Binbaz itu?

  42. @SY

    1. apakah anak hasil mut’ah dapat warisan dari kedua orang tuanya? Dapat.

    Jadi mut’ah beda dengan zina

    2. apakah orang tua wajib menafkahi anak hasil mut’ahnya? Wajib.

    jadi mut’ah beda dengan zina

    3. apakah mut’ah setelah habis masanya wajib ‘iddah? Ya

    jadi mut’ah beda dengan zina. Mut’ah aman dari penyakit kelamin. Dan nasab anak terjamin.

    4. apakah dalam mut’ah boleh melakukan perjanjan bahwa selama mut’ah tidak melakukan hubungan senggama? Boleh

    Jadi mut’ah beda dengan nikah Daim

    5. apakah kuasa nikah mut’ah ada di Wali? Tidak.
    Kuasa nikah mut’ah ada di perempuan.

    Ini yang membedakan dengan nikah daim

    6. apakah kuasa laki2 berlaku sepenuhnya dalam mut’ah? Tidak. Laki2 terikat pada perjanjian yang telah disepakati.

    7. apakah selama mut’ah bisa diubah menjadi nikah daim? Bisa.

    dst… intinya Mut’ah beda dengan zina.

    Perlu anda tahu bahwa Pernikahan di Indonesia adalah campuran hukum mut’ah dan daim.

  43. Berita abu jauzaa telah berbohong terhadap sejarah,
    Hanya orang2 yang fanatik terhadap mazhabnya yang menerima ocehan tsb.
    Bukti kebohongan banyak. Dan apabila apabila disanggah dan diajak dfiskusi jawabannya tdk pakai agrumen yang logis tapi agrumen DOGMA, Wasalam

  44. TINGGALKAN WEB INI BANYAK PEMIKIRAN SYIAH!!!!!!

  45. @chany
    dogma?wah, sepertinya anda sendiri yg paling pintar disini… 🙂

  46. Seru juga

  47. Untuk Cinta Hidayah
    Ambil fositif aja

  48. […] salafy yang menurut kami tidak valid. Seperti yang pernah kami kemukakan dalam tulisan tersebut “Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah” kami tidak membahas tentang halal atau tidak-nya mut’ah tetapi membahas sikap Ibnu Abbas yang […]

  49. salam, mohon pencerahan.

    mas SP
    adakah melarang di suatu tempat sama maksud dengan pengharaman sehingga kiamat?

    sebab yang saya temukan hadis dari imam ali as hanya pelarangan semasa perang ( logikanya masa perang perlu banyak tenaga kan? hehe) kalo ada hadis dari imam as yang mengharamkan sehingga kiamat itu mungkin belum saya ketemu kerana saya hanya seorang hamba Allah yang baru mula belajar.

    tapi bukan maksud saya ini ragu2 dengan nikah mut’ah kerana surah (al-Baqarah:106) telah menjawab saya dengan jelasnya

    Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? “.al-Baqarah:106

    mohon kongsi ilmunya

  50. Mohon antum mengaturkan bukti yg jelas dimanakah dalil buktinya selepas saidina ali melarang muta’ah kemudiannya selepas itu ibnu abbas masih menghalalkan…sbb didlm sahih2 yg ente telah sediakan sebelum ini tdk mewujudkan penghalalan

  51. Ennyak enyak enyak… Guri guri nyoyyy..
    Siapa yang bisa menjamin itu adalah hak. Semua akan dipertanggungjawabkan sekalipun hanya sekedar meyakini.
    Naudzubillah summa naudzubillah

Tinggalkan komentar