Ternyata Hadis Manzilah Diucapkan Nabi SAW Selain Pada Perang Tabuk [2]

Ternyata Hadis Manzilah Diucapkan Nabi SAW Selain Pada Perang Tabuk [2]

Tulisan ini hanya sedikit tambahan pada tulisan sebelumnya dengan judul yang sama. Kali ini kami akan menambahkan jawaban terhadap syubhat salafiy [dan siapapun yang mengikutinya] soal hadis Asma’ binti Umais.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير قال ثنا موسى الجهني قال حدثتني فاطمة بنت علي قالت حدثتني أسماء بنت عميس قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يا علي أنت مني بمنزلة هارون من موسى الا انه ليس بعدي نبي

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa Al Juhani yang berkata telah menceritakan kepadaku Fathimah binti Ali yang berkata telah menceritakan kepadaku Asma’ binti Umais yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata “wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Musnad Ahmad 6/438 no 27507 dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Asma’ binti Umais termasuk wanita yang tinggal di Madinah saat perang Tabuk dan terbukti dalam riwayat shahih kalau hadis manzilah diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] setelah Beliau berangkat keluar dari Madinah yaitu di Jarf. Jarf termasuk wilayah yang jaraknya lebih kurang lima km dari Madinah. Jika Asma’ binti Umais yang tidak ikut perang Tabuk mengaku mendengar langsung Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengucapkan hadis manzilah maka pendengaran itu pasti terjadi selain dari saat perang Tabuk.

.

.

.

Diantara syubhat untuk menolak hujjah ini adalah mereka mengatakan tidak ada riwayat shahih kalau hadis Manzilah diucapkan di Jarf. Syubhat ini sangat terang kebathilannya karena hanya berlandaskan ketidaktahuan akan riwayat. Sebelumnya kami telah membawakan berbagai hadis yang menguatkan kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengucapkan hadis manzilah setelah Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berangkat dari Madinah. Dalam tulisan sebelumnya kami mengutip riwayat dalam Tarikh Al Islam Adz Dzahabi bahwa tempat yang dimaksud adalah Jarf. Berikut hadis dengan sanad yang lengkap

حدثنا أبو سلمة يحيى بن خلف ثنا وهب بن جرير حدثنا أبي حدثني محمد بن اسحاق حدثني محمد بن طلحة بن يزيد بن ركانة عن إبراهيم ابن سعد عن أبيه سعد قال لما نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بالجرف لحقه علي بن أبي طالب يحمل سلاحه فقال يا رسول الله خلفتني ولم أتخلف عنك في غزوة قبلها وقد أرجف بي المنافقون وزعموا أنك إنما خلفتني أنك استثقلتني قال سعد فسمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ألا ترض يا على أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي فارجع فاخلفني في أهلي وأهلك

Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahya bin Khalaf yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahab bin Jarir yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ishaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Thalhah bin Yazid bin Rukaanah dari Ibrahim bin Sa’ad dari ayahnya Sa’ad yang berkata ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sampai di Jarf, Ali datang dengan membawa senjatanya dan ia berkata “wahai Rasulullah engkau telah meninggalkanku dan engkau tidak pernah meninggalkanku dalam perang sebelumnya dan sungguh orang-orang munafik menganggap engkau meninggalkanku karena engkau mengira aku merasa berat untuk berjihad”. Sa’ad berkata maka aku mendengar Rasulullah[shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda] “tidakkah engkau ridha wahai Ali bahwa kedudukanmu di sisiku seperti Harun di sisi Musa kecuali sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku maka kembalilah untuk mengurus keluargaku dan keluargamu”. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1332]

Hadis ini sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat termasuk Muhammad bin Ishaq, ia dinyatakan melakukan tadlis tetapi dalam hadis ini ia telah menjelaskan sima’ nya maka tidak ada masalah dengan riwayatnya. Hadis ini juga dimasukkan Ibnu Ishaq dalam sirah-nya [Sirah Ibnu Hisyam 2/520]

  • Yahya bin Khalaf Abu Salamah termasuk perawi Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Termasuk guru Imam Muslim dan Ibnu Hibban telah memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 342]. Ibnu Hajar menyatakan “shaduq” [At Taqrib 2/301]
  • Wahab bin Jarir bin Hazm adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 273]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 2/292]
  • Jarir bin Hazm ayahnya Wahab termasuk perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata shaduq shalih. Ibnu Ady menyatakan kalau ia hadisnya lurus shalih kecuali riwayatnya dari Qatadah. Syu’bah berkata “aku belum pernah menemui orang yang lebih hafiz dari dua orang yaitu Jarir bin Hazm dan Hisyam Ad Dustuwa’i. Ahmad bin Shalih, Al Bazzar dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 111]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tetapi riwayatnya dari Qatadah dhaif [At Taqrib 1/158]
  • Muhammad bin Ishaq bin Yasar adalah penulis kitab sirah yang terkenal. Ibnu Hajar mengatakan ia seorang yang imam dalam sejarah, shaduq melakukan tadlis dan bertasyayyu’ [At Taqrib 2/54]. Tetapi dalam hadis ini Muhammad bin Ishaq menyebutkan lafal “haddatsani” maka hadisnya shahih.
  • Muhammad bin Thalhah bin Yazid bin Rukaanah adalah perawi Abu Dawud, Nasa’i dalam Khasa’is dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in dan Abu Dawud menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “hadisnya sedikit” [At Tahdzib juz 9 no 383]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/90]
  • Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqash termasuk perawi Bukhari Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 217].

Jadi hadis manzilah memang diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersama para sahabatnya tiba di Jarf dimana Imam Ali keluar dari madinah dan menyusul Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam].

.

.

.

Syubhat lain yang dilontarkan para pengingkar adalah Asma’ binti Umais bukan termasuk wanita yang tinggal di Madinah saat perang Tabuk karena dalam sejarah sering kali terdapat wanita yang ikut dalam perang untuk mengobati sahabat yang luka atau membawakan minuman untuk para sahabat. Inti syubhat mereka adalah bisa saja Asma’ binti Umais juga ikut dalam perang Tabuk.

Syubhat ini tidak memiliki dalil. Justru terdapat dalil yang jelas kalau pada saat perang Tabuk para wanita dan anak-anak tinggal di Madinah. Mengecualikan Asma’ binti Umais sebagai wanita yang tidak tinggal di Madinah jelas membutuhkan dalil.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى تَبُوكَ وَاسْتَخْلَفَ عَلِيًّا فَقَالَ أَتُخَلِّفُنِي فِي الصِّبْيَانِ وَالنِّسَاءِ قَالَ أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah dari Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW berangkat keluar menuju Tabuk dan menugaskan Ali. Kemudian Ali berkata “Engkau menugaskanku untuk menjaga anak-anak dan wanita. Nabi SAW berkata “Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Shahih Bukhari 3/6 no 4416]

Tidak ada pengecualian dalam hadis di atas, para wanita dan anak-anak saat itu tetap tinggal di Madinah. Barang siapa mengatakan ada wanita yang ikut dalam perang Tabuk maka hendaknya ia menunjukkan dalilnya. Kemudian perhatikan hadis berikut

أخبرنا عبد الله بن محمد بن أبي شيبة حدثنا حميد بن عبد الرحمن الرؤاسي عن حسن بن صالح عن الأسود بن قيس عن سعيد بن عمرو عن أم كبشة امرأة من قضاعة أنها استأذنت النبي صلى الله عليه وسلم أن تغزو معه فقال لا فقالت يا رسول الله إني أداوي الجريح وأقوم على المريض قالت فقال رسول الله اجلسي لا يتحدث الناس أن محمدا يغزو بامرأة

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid bin ‘Abdurrahman Ar Ruaasiy dari Hasan bin Shalih dari Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru dari Ummu Kabsyah wanita dari Al Qudha’ah sesungguhnya ia meminta izin kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk ikut dalam perang. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “tidak”. Ia berkata “wahai Rasulullah, aku mengobati orang yang luka-luka dan merawat orang yang sakit”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “tinggallah, jangan sampai orang-orang mengatakan kalau Muhammad membawa wanita dalam perang” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 8/308]

Hadis ini sanadnya shahih, diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Hadis ini juga disebutkan Ibnu Hajar dalam Al Ishabah biografi Ummu Kabsyah dimana ia mengatakan kalau peristiwa di hadis ini terjadi setelah masa Fathul Makkah [Al Ishabah 8/283 no 12215].

  • ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah seorang hafizh yang tsiqat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar [At Taqrib 1/528]
  • Humaid bin ‘Abdurrahman Ar Ruaasiy perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/245]
  • Hasan bin Shalih bin Hay Al Hamdaniy termasuk perawi Muslim. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang ahli ibadah yang tsiqat dan tasyayyu’ [At Taqrib 1/205]
  • Al Aswad bin Qais termasuk perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/102]
  • Sa’id bin ‘Amru bin Sa’id bin Ash termasuk perawi Bukhari Muslim. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/361]

Hadis ini sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim. Memang dalam perang sering terdapat beberapa wanita juga ikut untuk mengobati orang-orang yang luka atau memberikan minuman kepada para sahabat yang berperang seperti Ummul Mukminin Aisyah radiallahu ‘anha, Ummu Sulaith, Ummu Sulaim dan Ummu Athiyah. Tetapi terdapat pula perang dimana para wanita tidak ikut seperti halnya perang Tabuk. Hadis Ummu Kabsyah ini kuat indikasinya menceritakan perang Tabuk dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan wanita untuk  ikut karena sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar peristiwa ini terjadi setelah Fathul Makkah, sedangkan setelah Fathul Makkah perang yang diikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah perang Hunain, perang Authas, perang Thaif [ketiga perang ini pada dasarnya adalah satu deretan perperangan, hanya saja tempatnya yang berbeda] dan perang Tabuk. Perang Hunain masih ada wanita yang ikut yaitu Ummu Sulaim sebagaimana hadis berikut

عن أنس أن أم سليم اتخذت يوم حنين خنجرا فكان معها فرآها أبو طلحة فقال يا رسول الله هذه أم سليم معها خنجر فقال لها رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ما هذا الخنجر قالت اتخذت إن دنا مني أحد من المشركين بقرت به بطنه فجعل رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يضحك قالت يا رسول الله اقتل من بعدنا من الطلقاء انهزموا بك فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم يا أم سليم إن الله قد كفى وأحسن

Dari Anas bahwa pada perang Hunain Ummu Sulaim membawa khanjar [pisau], maka Abu Thalhah melihatnya lalu ia berkata kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim membawa pisau.” Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada Ummu Sulaim ”Untuk apa pisau itu?” Ummu Sulaim berkata “Jika ada orang musyrik yang mendekatiku, akan aku gunakan pisau ini untuk merobek perutnya.” Maka Rasulullah [shallallahu ’alaihi wasallam] tertawa. Ummu Sulaim berkata “Wahai Rasulullah [shallallahu ’alaihi wasallam]  setelah ini bunuhlah orang-orang thulaqa’ [mereka yang masuk islam saat fathul makkah], mereka lari dari perang.” Maka Rasulullah [shallallahu ’alaihi wasallam] berkata “Wahai Ummu Sulaim, sesungguhnya Allah telah mencukupi dan berbuat baik” [Shahih Muslim 3/1442 no 1809]

Jadi pada perang Hunain, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masih mengizinkan Ummu Sulaim untuk ikut, maka sudah jelas peristiwa yang disebutkan Ummu Kabsyah dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan wanita untuk ikut adalah pada perang Tabuk. Maka ini menjadi dalil atau bukti bahwa pada saat perang Tabuk, para wanita tidak ikut dalam perang, mereka para wanita termasuk Asma’ binti Umais berada di madinah.

18 Tanggapan

  1. @pertamax…dulu ah..

  2. Tetap saja masih berupa indikasi, tetapi tidak ada dalil satu pun yang mengatakan Asma’ binti Umais adalah wanita yang tidak ikut dalam perang Tabuk atau tidak ikut mengantar suaminya sampai di Jarf, sehingga tetap saja perkiraan tinggal perkiraan bahkan masih membutuhkan banyak bukti yg lebih pasti bahwa hadits Manzilah pernah disabdakan Nabi SAW tetapi tidak berkaitan dengan peristiwa Tabuk yg sudah masyhur hanya karena terdapat riwayat dari Asma binti Umais yang bisa saja mendengar sabda Nabi SAW tsb di saat keberangkatan ke Tabuk, bisa ikut dalam ekspedisi tsb, bisa juga mengantar suaminya sampai di Jarf kemudian kembali lagi, intinya terlalu banyak kemungkinan yg bisa terjadi dan sangat lemah untuk dijadikan hujjah yang Qoth’i bahwa hadits Manzilah pernah diucapkan Nabi selain berkaitan dg peristiwa Tabuk.

    Perkataan Ibnu Hajar pun masih terlalu umum, karena memang terdapat beberapa peperangan setelah fathul makkah, apalagi ternyata dalam perang hunain masih ada wanita yg ikut berperang. seandainya pun dalam perang tabuk wanita tidak boleh diikutkan dalam perang, mengantar kepergian sampai Jarf atau lebih dari itu tidaklah ada satu dalil pun Nabi SAW melarang-nya.

  3. @sok tau banget

    Hehehe..hujjah2 di atas itu sebenarnya sudah cukup menjadi bukti. (Khusus untuk orang2 yang berakal dan beriman)

    Yang lucu ini anda berandai2 tanpa hujjah dalil apapun..
    Yg lebih lucu lagi, andai2 anda..

    “bisa jadi asma’ binti umais mengantarkan suaminya hingga jarf kemudian kembali lagi”

    jarf itu ±15 km dari madinah,kalo menurut analogi kata “mengantar keberangkatan” itu ya minimal hingga depan pintu rumah dan maksimal hingga tepi kota madinah..lha ini udah 15 km bahkan lebih, hehehe..

    Kelihatan bgt syubhat anda untuk menghindari keutamaan imam Ali kw.

  4. @sok tau banget

    Tetap saja masih berupa indikasi, tetapi tidak ada dalil satu pun yang mengatakan Asma’ binti Umais adalah wanita yang tidak ikut dalam perang Tabuk atau tidak ikut mengantar suaminya sampai di Jarf,

    ah dalil sekuat apapun tidak ada artinya di hadapan hati yang buta. Ini bukan soal dalil lagi tapi soal ngeyel belaka. Sebenarnya justru tidak ada satupun dalil bahwa Asma’ binti Umais ikut dalam perang tabuk dan tidak ada satupun dalil kalau hadis manzilah hanya diucapkan pada saat perang tabuk saja 🙂

    sehingga tetap saja perkiraan tinggal perkiraan bahkan masih membutuhkan banyak bukti yg lebih pasti bahwa hadits Manzilah pernah disabdakan Nabi SAW tetapi tidak berkaitan dengan peristiwa Tabuk yg sudah masyhur hanya karena terdapat riwayat dari Asma binti Umais yang bisa saja mendengar sabda Nabi SAW tsb di saat keberangkatan ke Tabuk,

    satu-satunya bukti pasti menurut anda mungkin hanya dengan anda kembali ke masa perang tabuk dengan mesin waktu kali dan melihat dengan mata kepala anda sendiri dan sebenarnya walaupun itu bisa terjadi tetap saja tidak bisa menjadi bukti kuat toh siapapun akan bilang “siapa anda pake ngaku menyaksikan perang tabuk” nah loh :mrgreen:

    bisa ikut dalam ekspedisi tsb, bisa juga mengantar suaminya sampai di Jarf kemudian kembali lagi,

    Lha saya baru denger tuh pakai antar mengantar, masa’ sih Nabi SAW atau Abu Bakar membiarkan Asma’ binti Umais mengantar sejauh itu terus disuruh pulang sendiri gitu? nafsu banget ngeyelnya gak sekalian saja anda bilang Asma binti Umais mengantar sampai ke Tabuk :mrgreen:

    intinya terlalu banyak kemungkinan yg bisa terjadi dan sangat lemah untuk dijadikan hujjah yang Qoth’i bahwa hadits Manzilah pernah diucapkan Nabi selain berkaitan dg peristiwa Tabuk.

    Oh apa sih yang tidak mungkin di dunia ini. apa sih yang tidak bisa dibantah di dunia ini. semua itu mungkin, smua itu bisa dibantah tetapi tidak semua mungkin itu benar dan tidak semua bantahan itu benar. mungkinn ada sejuta mungkin dan mungkin ada sejuta bantahan tetapi masa’ sih semua mungkin dan bantahan yang sampai sejuta itu mesti diurusin waduh mungkin jadi tak mungkin nih. Di mana-mana dibutuhkan kerendahan hati untuk menerima dan memahami dalil. btw anda tahu gak sih apa artinya “hujjah qoth’i” lucu sekali kalau hanya bisa sebut istilah keren tapi gak paham apa maksudnya. coba tuh sebutkan satu saja hujjah qath’i yang anda punya untuk menyatakan Asma’ binti Umais ikut dalam perang tabuk? atau hujjah qath’i kalau hadis manzilah hanya diucapkan saat perang tabuk saja dan tidak di saat lain?. silakan bawa satu saja contoh hujjah qath’i yang anda maksud dan insya Allah saya mungkin dapat belajar dari anda apa yang anda maksud dengan hujjah qath’i dalam masalah ini

    Perkataan Ibnu Hajar pun masih terlalu umum, karena memang terdapat beberapa peperangan setelah fathul makkah,

    ya ya ya dan perkataan anda jauh jauh lebih umum sehingga tak tahu arahnya mau kemana. Kalau memang anda tahu ada perang lain selain yang saya sebutkan di atas maka silakan sebutkan, jangan basa basi deh males dengernya 🙂

    apalagi ternyata dalam perang hunain masih ada wanita yg ikut berperang.

    Nah makanya satu-satunya kemungkinan tinggal perang tabuk toh 🙂

    seandainya pun dalam perang tabuk wanita tidak boleh diikutkan dalam perang, mengantar kepergian sampai Jarf atau lebih dari itu tidaklah ada satu dalil pun Nabi SAW melarang-nya.

    bawa satu saja dalil seorang wanita pernah mengantar suami atau anaknya berperang sampai sejauh itu?. kalau mau mengira-mengira ya tolong dipikir-pikir dululah, jangan mengada-adakan sesuatu yang aneh. Apalagi berhujjah dengan alasan “tidak ada dalil Nabi SAW melarangnya”. Anda sendiri maaf mungkin tidak mengerti apa yang anda bicarakan. so silakan bersikap rendah hati dan saya sarankan daripada anda berandai-andai aneh lebih baik diam saja kalau tidak memiliki hujjah untuk didiskusikan, kasihan bagi yang melihat dan membaca komentar anda 🙂

  5. Alaydrouz,

    Wah sok tau jg ya ente (kyk ane aja :mrgreen: ) Al Jarf itu yg bener nyebutnye Al-Jurf itu masih dekat dengan Madinah (daerah pinggiran), sekitar 3 mil, atau 4 km atau skitar 1 farsakh dari Madinah arah ke Syam. disitulah terletak tanah milik Umar bin Al-Khaththab ra dan milik penduduk Madinah. Disitu juga nantinya pasukan Usamah bin Zaid berkemah saat mendengar Nabi SAW sakit parah.

    Ya biasa kalau ada yg ngantar sampai ke sana, udah biasa kali bagi bangsa Arab jarak segitu mah, apalagi cuma di pinggiran kota, ente aja kali yg ga pernah ngrasain, lahirnya di indo sih 🙂 lagian Abu Bakar punya maula atau hamba sahaya kalee yang bisa mengantar kembali istrinya.

    SP

    Ya memang hujjah anda itu masih kira-kira dan masih terlalu banyak lubang di sana-sini mau gimana lagi 🙂

  6. @sok tau banget

    kalau mau berhujjah silakan tuh ditanggapi apa-apa yang saya tanggapi sebelumnya. kalau cuma bicara segitu saya cukup kembalikan kepada anda kalau anda hanya bisa menyebarkan syubhat saja tanpa ada hujjah sedikitpun. Tolong pertanyaan saya sebelumnya dijawab apa hujjah qath’i yang anda punya untuk menyatakan Asma’ binti Umais ikut dalam perang tabuk? atau apa hujjah qath’i kalau hadis manzilah hanya diucapkan saat perang tabuk saja dan tidak di saat lain?. Minimal tolong bawakan saja satu kasus ada wanita yang mengantar anak atau suaminya sampai ke tempat tertentu [terserah kemana] ketika perang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?. bukankah anda dengan yakin berkata “Ya biasa kalau ada yg ngantar sampai ke sana, udah biasa kali bagi bangsa Arab jarak segitu mah”. Nah apalagi kalau anda bilang “udah biasa” pasti anda telah banyak membaca sejarah atau riwayat “antar mengantar” yang anda bilang, silakan ditampilkan biar bisa saya pelajari. Kalau tidak bisa [lho masa’ sih terus kenapa yakinnya bilang “udah biasa”] ya maaf saja anda tidak berpijak pada sesuatu tetapi berada di dasar lubang yang besar :mrgreen:

    lagian Abu Bakar punya maula atau hamba sahaya kalee yang bisa mengantar kembali istrinya

    siapa sih hamba sahaya atau maula yang anda maksud? jngan asal sebut, eh jadi ceritanya tuh hamba sahaya kagak ikut perang tabuk, lha padahal kan Allah dan Rasul-Nya telah menyerukan agar setiap orang beriman ikut perang?. ah paling juga ngeles lagi disana sini, ya mau gimana lagi :mrgreen:

  7. yang nyebar syubhat itu siapa ya? yang rajih dan ijma’ ahli tafsir hadits manzilah berkaitan dengan perang Tabuk, tetapi anda yg melepaskan syubhat berdasarkan kemungkinan bahwa hadits manzilah prnah diucapkan Nabi SAW tidak berkaitan dg perang Tabuk, ya wajar lah kalau saya pun pakai kemungkinan untuk menjawab syubhat anda tsb :mrgreen:

  8. @sok tahu banget

    yang nyebar syubhat itu siapa ya? yang rajih dan ijma’ ahli tafsir hadits manzilah berkaitan dengan perang Tabuk,

    lha saya pun juga mengakui kalau hadis manzilah berkaitan dengan perang tabuk, yang jadi pokok permasalahan adalah anda yang mengklaim kalau hadis manzilah hanya terbatas pada perang tabuk saja. Padahal mana ada lagi hadis keutamaan hanya terbatas pada suatu waktu terus tidak berlaku di waktu lainnya 🙂

    Silakan tuh bawakan referensi anda yang menyatakan “ijma’ ahli tafsir hadis” yang menyatakan kalau hadis manzilah berlaku hanya pada saat perang tabuk dan tidak pada saat lain.

    tetapi anda yg melepaskan syubhat berdasarkan kemungkinan bahwa hadits manzilah prnah diucapkan Nabi SAW tidak berkaitan dg perang Tabuk, ya wajar lah kalau saya pun pakai kemungkinan untuk menjawab syubhat anda tsb

    Wah maaf ya saya rasa anda yang tidak mengerti apa artinya syubhat. Saya sih telah tunjukkan dalilnya tetapi kalau anda cuma ngeyel saja begini begitu pakai mengatasnamakan ijma’ ahli tafsir hadis, mana dalil qath’i yang anda punya kalau hadis manzilah terbatas hanya pada perang tabuk saja dan tidak di saat lain?. Jawab saja masa’ sih anda ngaku ijma’ tetapi gak tahu dalilnya atau hujjah qath’i nya satupun, bukannya menjawab pertanyaan saya, anda malah menambah syubhat baru yang justru menambah pertanyaan buat anda :mrgreen:

  9. @secondprince

    Padahal mana ada lagi hadis keutamaan hanya terbatas pada suatu waktu terus tidak berlaku di waktu lainnya

    Nahh ini sebetulnya point paling menarik dari “tafsir” mereka yang menolak keumuman hadits tsb.
    Dengan logika/tafsir yang sama berarti semua keutamaan Sahabat juga (harus) dibatasi area dan waktunya. Jadi kemuliaan2 tsb bersifat sesaat saja…. ccckkk..ccckkk.
    Atau batasan kemuliaan tsb hanya khusus bagi ahlul bayt.?? astagfirullah.

    salam damai

  10. Rasulullah SAW berkata “wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Musnad Ahmad 6/438 no 27507 dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

    Sangat jelas sekali redaksi hadits tsb menyatakan bhw kedudukan Imam Ali sama dgn kedudukan Rasulullah SAW, namun tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Artinya berlaku pada setiap keadaan (universal).

    Wassalam

  11. @truthseeker

    Dengan logika/tafsir yang sama berarti semua keutamaan Sahabat juga (harus) dibatasi area dan waktunya. Jadi kemuliaan2 tsb bersifat sesaat saja…. ccckkk..ccckkk.
    Atau batasan kemuliaan tsb hanya khusus bagi ahlul bayt.?? astagfirullah.

    Tidak heran, karena menurut mereka Nabi saw pun hanya mulia pada saat beliau hidup. Setelah mati sdh tdk ada apa-apanya.

    Bagi mereka yang tetap mulia adalah yang menurut mereka mulia.

    Salam

  12. @maulana
    Hati2, jangan loncat2 gitu logikanya.
    Hadits tsb tidak menyatakan kedudukan Imam Ali sama dengan kedudukan Rasulullah SAW.

    Salam Damai

  13. @Truthseeker08

    Masa sih logika saya loncat2 🙂 itu kan Rasulullah SAW sendiri yg mengatakan kpd Imam Ali bhw kedudukannya di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, kecuali tidak ada Nabi setelahku. Ah, saya pikir sdh jelas hadits tsb menyatakan masalah kedudukan.

    Wassalam

  14. @maulana

    Rasulullah SAW berkata “wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa

    Jelas sekali disini bahwa Rasulullah SAW mengandaikan diri Beliau SAW sebagai Musa dan Imam Ali a.s. sebagai Harun.
    Dan bagi saya derajat Harun a.s. tidak sama dengan Musa a.s.

    kecuali tidak ada Nabi setelahku”

    Kalimat ini menyatakan bahwa jika masih ada Nabi setelah Beliau SAW, maka Imam Ali a.s. akan menjadi Nabi. Disini Rasulullah menjelaskan bahwa maqam Imam Ali a.s. adalah maqam Nabi.
    Namun hadits ini tidak menyatakan bahwa kedudukan Rasulullah SAW sama dengan Imam Ali a.s. Sebagaimana kedudukan Rasulullah SAW tidak sama dengan Nabi2 lainnya.
    Itulah sebabnya saya katakan anda telah loncat.. 🙂

    Salam Damai

  15. @Truthseeker08

    Terimakasih atas koreksi dan penjelasannya, memang anda sangat teliti dlm mengkritisi pendapat yg keliru.

    Wassalam

  16. @maulana
    Silakan lihat kesalahan komentar saya kepada lintas mazhab .. 🙂

    Salam Damai

  17. Melihat tanya jawab Truthseeker08 dan maulana, adalah contoh tanya jawab yang sehat. beda banget dengan @soktahubanget yang cuma ngeyel khas wahhabi/salafy.

    Yah, begitulah memang sifat wahhabi/salafy. Sebuah kaum yang mempercayai bumi itu ceper. Makanya, otaknya ikut2an ceper … waakakakakakakaa ….

  18. “Melihat tanya jawab Truthseeker08 dan maulana, adalah contoh tanya jawab yang sehat.”

    “sehat lagi menyehatkan”

Tinggalkan komentar