Studi Kritis Hadis Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi SAW : Bantahan Terhadap Salafy

Studi Kritis Hadis Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi SAW : Bantahan Terhadap Salafy

Seperti biasa salafy nashibi tidak akan menerima kenyataan kalau mereka keliru. Penulis yang mengaku salafy tersebut membantah tulisan kami dengan bantahan yang tidak ada sisi hujjahnya bagi kami karena sudah jelas apa yang ia bantah sudah kami bantah dalam tulisan kami terdahulu. Seperti biasa ini hanya menunjukkan kalau ia tidak memiliki kemampuan memahami tulisan orang lain. Kami akan merincikan kembali permasalahan ini agar lebih jelas bagi para pembaca.

Diantara tulisannya tersebut lagi-lagi kami menemukan tuduhan aneh yang seperti biasa hanya muncul dari orang-orang yang sudah terinfeksi virus nashibi, ia berkata

Kemudian,…. muncullah orang-orang yang menebarkan syubhat dengan merekayasa analisa dimana mereka mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa di atas bukan Al-Aslamiy, akan tetapi Al-Muhaaribiy – seorang yang tsiqah. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah orang-orang Syi’ah sebagaimana Pembaca bisa menduganya.

Tidak lain dan tidak bukan orang yang berkata begini memiliki sifat ke-nashibi-an. Mengapa? Karena apa yang kami lakukan sebenarnya hanyalah menguatkan hujjah hadis keutamaan Ahlul Bait. Lalu apakah atas dasar itu ia menuduh kami syiah?. Naïf sekali, justru yang ia lakukan ini mirip sekali dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Ady yang mendhaifkan perawi dan menyatakannya syiah karena perawi tersebut sering meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait.

Sebenarnya sangat jelas bahwa Yahyaa bin Ya’laa ini adalah Al-Aslamiy. Terus terang saya tidak mengerti alur logika yang mereka bangun untuk menyangah. Berikut beberapa bukti yang menegaskannya :

Sebenarnya kalimat ini sungguh lucu sekali. Ia mengaku tidak mengerti logika yang kami bangun kemudian ia menunjukkan bukti yang menegaskan hujjahnya. Padahal kenyataannya wahai pembaca bukti yang ia maksud justru memiliki pola yang sama dengan logika kami.  Jelas sekali penulis salafy itu tidak punya kemampuan pemahaman yang baik. Perhatikan perkataannya

Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (32/51-52) saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy, diantaranya ia menyebutkan :  Al-Hasan bin Hammaad Sajjaadah. Sajjaadah adalah nama masyhur dari Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy.[2] Akan tetapi saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy, ia sama sekali tidak menyebut Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy [lihat Tahdziibul-Kamaal, 32/47-48].

Logika yang kami bangun sebelumnya adalah dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Muharibi seperti yang disebut dalam Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahya bin Ya’la Al Muharibi diantaranya ia menyebutkan Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail [Al Bukhari], keduanya adalah yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la. Akan tetapi saat menyebutkan orang yang mengambil riwayat dari Yahya bin Ya’la Al Aslamy, Al Mizzi sama sekali tidak menyebutkan Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail.

Jadi bukankah logika yang kami bangun memiliki pola yang sama dengan bukti yang ia ajukan. Justru aneh jika orang ini mengatakan ia tidak mengerti logika kami. Uups ya ya bisa dipahami kalau sebenarnya penulis salafy itu adalah tipikal orang yang asyik dengan pikirannya sendiri, jadi ia hanya bisa mengerti kata-kata yang ia ucapkan sedangkan perkataan orang lain walaupun punya dasar pikiran yang sama maka ia tidak bisa memahaminya.

Berkaitan dengan hujjahnya kalau disebutkan Hasan bin Hamad Al Hadhramy mengambil riwayat dari Yahya bin Ya’la Al Aslamy maka kami juga tidak pernah menafikan itu. Tetapi menyatakan Yahya bin Ya’la dalam hadis ini sebagai Yahya bin Ya’la Al Aslamy dengan hujjah atas nama “Hasan bin Hamad Al Hadhramy” adalah naïf karena penulis salafy itu tidak membaca dengan benar bahwa dalam biografi Yahya bin Ya’la At Taimy juga disebutkan bahwa perawi yang mengambil hadis darinya juga terdapat  Hasan bin Hammad Al Hadhramy. Dari sisi ini penulis salafy itu seenaknya saja mengatakan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy padahal kemungkinan ia adalah Yahya bin Ya’la At Taimy adalah sama besarnya.

Begitu pula saat Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (6/130) menyebutkan guru-guru/syaikh dari Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy, diantaranya ia menyebutkan Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy. Ia tidak menyebutkan satu pun orang yang bernama Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy.

Lucu bin ajaib, jika ia memang benar memperhatikan biografi Hasan bin Hammad Al Hadhramy maka ia akan melihat bahwa diantara guru-gurunya terdapat Yahya bin Ya’la At Taimy. Maka kita dapat bertanya atas dasar apa ia mengatakan Al Aslamy dan bukan At Taimy.

Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (9/87-88 no. 2132) menyebutkan hadits di atas dengan sanadnya, dan meletakkannya dalam biografi Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy. Sebagaimana telah ma’ruf dalam ilmu hadits, seorang perawi lebih mengetahui hadits yang ia bawakan dari selainnya. Di sini Ibnu ‘Adiy – sebagai perawi hadits – telah menjelaskan bahwa Yahyaa bin Ya’laa dalam hadits tersebut adalah Al-Aslamiy

Inilah satu-satunya hujjah salafy seperti yang kami katakan sebelumnya. Telah kami katakan Ibnu Ady tidak menampilkan hujjah apapun. Tidak ada dalam sanad yang diriwayatkan Ibnu Ady kalau ia menyebutkan bahwa Yahya bin Ya’la tersebut adalah Al Aslamy. Tidak ada dalam perkataannya atau komentarnya terhadap hadis ini hujjah atau bukti bahwa Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy, ia hanya berkomentar “Yahya disini adalah penduduk kufah dan termasuk syiah mereka” tentu saja perkataan ini tidak menjadi hujjah mengingat ketiga Yahya bin Ya’la yang dimaksud baik Al Muharibi, At Taimy dan Al Aslamy adalah penduduk kufah. Ibnu Ady langsung saja memasukkan hadis ini dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Aslamy . Oleh karena itu ketika para salafy bertaklid dengan Ibnu Ady mereka menegakkan hujjahnya dengan asumsi seorang perawi lebih mengetahui hadis yang ia bawakan selainnya. Lha Al Hakim itu sendiri adalah perawi yang meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang salah satunya sama dengan sanad Ibnu Ady, ia justru menshahihkan hadis ini. Dengan logika yang sama maka kita dapat mengatakan kalau Al Hakim lebih mengetahui hadis yang ia bawakan daripada selainnya. Kalau salafy itu mengatakan Al Hakim tasahul dalam menshahihkan hadis keutamaan Ahlul Bait maka kami dapat pula mengatakan Ibnu Ady tasahul dalam melemahkan hadis keutamaan Ahlul Bait. Kalau ia mengatakan Al Hakim keliru maka kami bisa mengatakan Ibnu Ady keliru.

Ibnu Ady mengambil hadis ini dari Syaikhnya Ali bin Sa’id bin Basyiir Ar Raziy dimana ia seorang yang dibicarakan, Daruquthni berkata “ia tidak kuat dalam hadis” dan terkadang Daruquthni berkata “ia meriwayatkan hadis-hadis yang tidak diikuti oleh yang lain” [Lisan Al Mizan juz 4 no 615]. Bukankah terdapat kemungkinan kalau Ibnu Ady meletakkan hadis ini ke dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Aslamy adalah karena pengaruh gurunya Ali bin Sa’id Ar Razy yang terkadang salah dalam hadis. Ini hanyalah kemungkinan, tetapi inti penilaian kami adalah Ibnu Ady tidak memiliki hujjah apapun untuk menyatakan Yahya bin Ya’la adalah Al Aslamy apalagi dalam sanad yang ia bawakan terdapat Ali bin Sa’id Ar Razy yang terkadang salah.

Ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa Yahyaa yang dimaksud adalah Al-Aslamiy, karena telah dibuktikan secara bolak-balik dalam penyebutan biografi Al-Aslamiy dengan Sajjaadah (Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy) plus pernyataan Ibnu ‘Adiy atas identitas perawi yang ia riwayatkan.

Silakan pembaca perhatikan kembali tulisan kami sebelumnya, disana kami telah membuktikan bahwa Yahya yang dimaksud adalah Al Muharibi karena telah dibuktikan bahwa diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail dan disebutkan oleh Al Mizzi bahwa Yahya bin Ya’la Al Muharibi termasuk diantara yang meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafy. Ini adalah bukti yang sangat kuat sedangkan bukti kuat versi salafy itu sudah terbantahkan. Penyebutan bolak baliknya itu juga berlaku buat Yahya bin Ya’la At Taimy tidak hanya Al Aslamy dan pernyataan Ibnu Ady tidak memiliki hujjah kecuali asumsi, Ibnu Ady sendiri berkomentar dengan kata-kata “Yahya disini adalah penduduk kufah dan termasuk diantara syiah mereka”, nah Yahya bin Ya’la At Taimy juga termasuk penduduk kufah. Kami telah menunjukkan kalau Ibnu Ady memiliki kecenderungan untuk melemahkan hadis keutamaan Ahlul Bait sehingga pernyataannya yang tidak memiliki hujjah atau bukti tidak bisa diterima.

Tidak disebutkannya nama Al-Aslamiy dalam jajaran murid (tilmidz) Bassaam Ash-Shairafiy, maka itu bukan hujjah, bukan pula pembatas, dengan qarinah yang saya sebutkan di atas. Justru riwayat ini sebagai hujjah atas kekurangan Al-Mizziy ketika menyebutkan murid-murid Bassaam bin ‘Abdillah dalam kitabnya. Betapa banyak nama guru atau murid seorang perawi yang tidak dituliskan dalam At-Tahdziib, namun terdapat/tercantum dalam riwayat-riwayat hadits.

Kalau ia bisa berkata begitu, maka kami bisa pula berkata : Tidak disebutkannya nama Hasan bin Hamad Al Hadhramy dalam jajaran murid Yahya bin Ya’la Al Muharibi maka itu bukan hujjah bukan pula pembatas. Dengan qarinah yang telah kami sebutkan justru riwayat ini menjadi hujjah atas kekurangan Al Mizzy ketika menyebutkan murid-murid Yahya bin Ya’la Al Muharibi.

Orang yang mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa tersebut adalah Al-Muhaaribiy tidak pernah bisa membuktikan secara bolak-balik biografi guru-murid sebagaimana Al-Aslamiy, melainkan hanya satu arah saja. Padahal telah diketahui bahwa pembuktian bolak-balik adalah salah satu jenis pembuktian paling kuat dalam menentukan identitas seorang perawi.

Justru orang ini yang naïf, pembuktian bolak-balik yang ia katakan justru tidak menjadi hujjah kalau perawi tersebut adalah Yahya bin Ya’la Al Aslamy karena penyebutan bolak balik itu berlaku juga buat Yahya bin Ya’la At Taimy. Jadi pembuktian yang ia katakan paling kuat justru menentang dirinya sendiri. Pembuktian kami cukup dengan penyebutan Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail sebagai perawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Ya’la Al Muharibi dan Yahya bin Ya’la Al Muharibi disebutkan sebagai perawi yang meriwayatkan dari Bassaam Ash Shayrafy.

Akan kami ulangi secara ringkas, Yahya bin Ya’la yang terdapat dalam hadis ini memiliki tiga kemungkinan yaitu Yahya bin Ya’la Al Muharibi, Yahya bin Ya’la At Taimy dan Yahya bin Ya’la Al Aslamy. Terdapat petunjuk yang menguatkan  tiga kemungkinan tersebut tetapi yang paling rajih Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi karena petunjuknya lebih kuat dibanding yang lain.

Adapun dimasukkannya Mu’aawiyyah oleh Ibnu Hibbaan ke dalam kitab Ats-Tsiqaat-nya (5/416), maka ini tautsiq yang tidak lah dipandang selama tidak diikuti ulama yang lainnya, karena Ibnu Hibbaan ini terkenal dengan pentautsiqannya terhadap para perawi majhul. Sangat aneh jika ada yang mengikuti begitu saja pentautsiqan Ibnu Hibbaan ini sementara para ulama dulu dan sekarang ramai mengkritik Ibnu Hibbaan dalam masalah ini

Kami tidak pernah menafikan mereka yang mengkritik Ibnu Hibban, yang justru kami tolak adalah orang yang seenaknya mencacatkan tautsiq Ibnu Hibban hanya karena ia telah dikritik para ulama. Cukup banyak para perawi yang dijadikan hujjah oleh para ulama walaupun hanya Ibnu Hibban yang mentautsiqnya. Ishaq bin Ibrahim bin Nashr adalah seorang perawi yang hanya mendapat tautsiq dari Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 1 no 409]. Bahkan Bukhari menyebutkan biografinya tanpa jarh maupun ta’dil [Tarikh Al Kabir juz 1 no 1212] tetapi Bukhari sendiri telah berhujjah dengan hadis Ishaq bin Ibrahim dalam kitab Shahih Bukhari. Intinya kami tidak seenaknya merendahkan tautsiq Ibnu Hibban tetapi tergantung dengan petunjuk atau qarinah yang menguatkan ataupun sebaliknya.

Mu’aawiyyah ini termasuk golongan tabi’iy, bukan shahabat. Oleh karena itu, berlaku keumuman kaedah yang menolak riwayat perawi majhul haal, meskipun ia tergolong tabi’iin. Ini adalah madzhab jumhur muhadditsiin

Bukankah si salafy ini seenaknya menafikan kalau Muawiyah bin Tsa’labah bukan sahabat. Bagaimana dengan ulama seperti Al Ismailiy yang mengatakan kalau Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat. Apa dasarnya ia menyatakan dengan pasti kalau ia bukan sahabat. Kami pribadi walaupun berpendapat ia tabiin masih tetap ada kemungkinan kalau ia seorang sahabat. Dan jika ia seorang tabiin maka ia adalah tabiin senior. Muawiyah bin Tsa’labah seorang tabiin dimana Al Hakim berkata tentang tabiin dalam Ma’rifat Ulumul Hadis hal 41

فخير الناس قرناً بعـد الصحـابة من شـافه أصحـاب رسول الله صلى الله عليه وسلّم، وحفظ عنهم الدين والسنن

Sebaik-baik manusia setelah sahabat adalah mereka yang bertemu langsung dengan sahabat Rasulullah SAW, memelihara dari mereka agama dan sunnah.[Ma’rifat Ulumul Hadis hal 41]

Jadi kalau seorang tabiin tidak dinyatakan cacat oleh satu orang ulamapun bahkan para ulama semisal Al Bukhari dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya maka tautsiq Ibnu Hibban dapat dijadikan hujjah. Syaikh Al Albani sendiri mengakui bahwa kaidah seperti ini dimana seorang tabiin yang telah meriwayatkan darinya dua perawi tsiqah maka hadisnya menjadi hasan menurut jama’ah hafizh [Silsilah Ahadits Ash- Shahihah no 680]. Apalagi telah disebutkan kalau Al Haitsami menganggap Muawiyah bin Tsa’labah sebagai perawi tsiqat Jadi terdapat qarinah yang menguatkan kalau hadis Muawiyah bin Tsa’labah ini sebagai hadis yang hasan kedudukannya.

Keheranan salafy itu tidak perlu dihiraukan. Salafy itu memang punya penyakit tidak bisa mengintrospeksi diri. Di saat lain ia tidak segan-segan berhujjah dengan suatu dalil dan di saat lain ia menentangnya sendiri. Contoh sederhana  saja bukankah dulu ia ini berkeras untuk mentsiqahkan Ibnu ‘Aaisy Al Hadhramy orang yang statusnya diperselisihkan apakah ia sahabat dan tabiin dan yang rajiih ia seorang tabiin yang hadisnya mudhtharib padahal terbukti yang meriwayatkan darinya hanya dua orang perawi tsiqah [satu orang lagi tidak tsabit meriwayatkan darinya]. Dulu ia tidak mempermasalahkan kedudukan Malik Ad Daar padahal kedudukan Malik Ad Daar ini sama halnya dengan kedudukan Muawiyah bin Tsa’labah dimana telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.

Di saat lain ia berhujjah atau menguatkan hadis Simmak bin Harb atau Abu Bakar bin Ayyasy  walaupun terdapat dhaif pada hafalannya karena kedua perawi tersebut meriwayatkan hadis yang sesuai dengan keyakinannya tetapi di saat lain ketika ia ingin melemahkan hadis yang tidak sesuai keyakinannya maka ia melemahkan hadis perawi seperti Sa’id bin Zaid Al Azdy karena cacat pada hafalannya padahal justru yang menta’dilkan Sa’id bin Zaid adalah para perawi yang meriwayatkan dari beliau yang notabene-nya lebih mengenal diri Sa’id bin Zaid daripada selainnya. Yah ilmu hadis itu memang cukup layak dibanggakan dan bisa dimanfaatkan oleh masing-masing pengikut mahzab untuk menguatkan mahzabnya. Jadi tidak perlu sok wahai kalian yang mengaku pengikut salafy. Ilmu hadis yang kami miliki memang sedikit tetapi kami tidaklah angkuh untuk mengatakan orang lain sebagai “minim ilmu hadis” padahal diri sendiri ternyata sama buruknya atau malah lebih buruk. Salam damai

15 Tanggapan

  1. “… kami tidaklah angkuh untuk mengatakan orang lain sebagai “minim ilmu hadis” padahal diri sendiri ternyata sama buruknya atau malah lebih buruk.

    Kata ‘angkuh’ cukup tepat melukiskan sikap wahabi yg merasa paling hebat ilmunya seraya menghina orang lain. Sambil mengatakan “ini ada dasaarnyaaa!”, seorang yg terpengaruh wahabi menohok dgn kalimat “kapan [kamu] belajaaarnyaa!” (bertanya tapi bernada merendahkan orang lain). Ujungnya, keluarlah darinya jurus pendiskreditan & intimidasi.
    Yah, kasihan orang itu: belajarnya dari kedangkalan wawasan wahabi, akhlaknya jadi tidak baik.
    Laa hawla wa laa quwwata illaa biLlaah.

  2. @SP
    Masih lumayan bahwa mereka tidak mengerti tulisan orang lain.
    Kenyataannya MEREKA TIDAK MENGERTI APA YANG MEREKA TULIS SENDIRI
    Salafy mengatakan:”Sebagaimana telah ma’ruf dalam ilmu hadits, seorang perawi lebih mengetahui hadits yang ia bawakan dari selainnya. Di sini Ibnu ‘Adiy – sebagai perawi hadits – telah menjelaskan bahwa Yahyaa bin Ya’laa dalam hadits tersebut adalah Al-Aslamiy
    Seperti saya katakan si ‘Adiy setali tiga uang. Ia tidak mengerti apa yang ditulis. Wasalam

  3. salafy = >:)|

  4. @ paiman

    Kalau begitu logika anda sedang sakit tuh.

    Justru benar atau tidak pendapat ulama jaman dulu bisa kita ketahui sekarang karena banyak fakta dan data pembanding yang bisa kita jadikan bukti ketika kita meng-kroscek dengan semua fakta yang ada.

    Bisa saja ulama terdahulu salah karena kurang lengkap data data, dimana data2 itu justru ada pada ulama2 lain yang dia tidak punya akses ke sana.

    Namun, sekarang kita yang hidup di jaman setelah mereka sudah mampu mengakses semua data2 tersebut karena memang kita memiliki datanya.

    Contoh: Ayat2 al-Quran yang pada saat turunnya kita kurang memahami maknanya, justru ratusan tahun kemudian dengan bekal peralatan yang lebih canggih kita akan mengetahui hakikat / maksud dari ayat tersebut.

    Maka Allah berfirman: SANURIIHIM AYAATINAA FIL AFAAQI WA FII ANFUSIHIM HATTAA YATABAYYANA LAHUM ANNAHUL HAQQ………(Fushilat: 53)

  5. @paiman
    lha iya makanya saya percaya sama Al Hakim yang menshahihkan hadis tersebut daripada orang zaman sekarang yang ngaku-ngaku salafy :mrgreen:

  6. @paiman

    Logika sy yg sederhana ini lbh memilih mrk yg mengagungkan ahlulbayt daripada yg merendahkan mrk, apalagi dari salafy yg nashibi :mrgreen:

    @SP
    Lbh pas lagi salafy yg ngaku-ngaku ahlussunnah 🙂

    Salam

  7. Selamat
    10 Oktober 2006

    Alloh adalah yang menciptakan semua yang ada
    Dialah yang memberikan kehidupan dan mengatur semua urusan
    Setiap makhluk telah ditentukan peraturannya
    Manusia kebanyakan sombong, manusia sebagian menyekutukanNya
    Manusia kebanyakan lalai, jatuh dalam dosa-dosa dan membuat kerusakan
    Wahai manusia sembahlah Alloh saja, ikuti petunjukNya agar engkau selamat
    Sungguh adzab Alloh sangatlah pedih jika engkau mengetahuinya
    Manusia seharusnya tidak mendolimi manusia dan makhluk lain
    Manusia seharusnya berbuatlah yang baik dan ikhlas karena Alloh
    Sesungguhnya telah turun Rosul penutupan yaitu Muhammad
    Maka ikutilah apa-apa yang telah diajarkannya kepadamu
    Wahai manusia janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi
    Sesungguhnya murka Alloh tidak dapat engkau sangkakan
    Bertobatlah dan kembalilah kepada jalan Alloh
    Jangan engkau ikuti bujukan setan yang terkutuk
    Yang telah menyesatkan bapa dan ibumu waktu lalu
    Sehingga mereka kena murka Alloh dan dikeluarkan dari Firdaus

  8. @paiman
    Bagaimana kami tidak mengatakan anda suka berbohong. Dan tidak mengerti apa yang anda tulis.
    Coba perhatikan tulisan anda tgl. 27 juni jam 8.46 pm
    yang bebunyi: Logika saya yg sederhana ini lebih memilih pendapat ulama yg meriwayatkan hadits tersebut daripada asumsi org jaman sekarang, apalagi ternyata asumsinya masih banyak kemungkinan
    Dan SP telah menulis riwayat hadits berdasarkan Ulama anda. Dan anda menolak.
    Kalau anda katakan SAYA MEMILIH APA KATA ULAMA SAYA. OK anda tidak berbohong. Tapi anda mengatakan pendapat ulama yang meriwayatkan hadits yang kemudian anda tidak mengakui. Kan aneh.

  9. @all
    Jabir b. Abdullah berkata, kami bersama Rasulullah SAW, ketika itu Ali datang Maka beliau berkata:”Demi yang jiwaku ditanganNya, sesungguh dia ini dan syiahnya BERJAYA PADA HARI KIAMAT (Ad=Dur al-Mantsur/as Suyuti, juz 6 hal.66.)
    Bagaimana mungkin kita tidak taat pada orang yang telah terjamin? Hanya mereka yang tersesat yang melepaskan diri dari Imam Ali as. Wasalam

  10. @chany

    Syiah di situ apakah berarti harfiah “pengikut” atau bermakna mazhab? 🙂

    Salam

  11. @chany,

    Memang aneh sdr Paiman itu, tidak mengerti apa yg ditulisnya. :mrgreen:

  12. @armand
    Pada zaman Nabi sampai Tabi’in setahu saya belum ada mazhab. Jadi Syiah disini adalah pengikut. Menurut pendapat saya mazhab pada waktu itu (sesudah Rasul) adalah mazhab Ahlulbaii. Wasalam

  13. Artikel di atas setahu saya sdh ditanggapin lg dlm http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/studi-kritis-hadits-taat-kepada-ali.html

  14. @jebod
    silakan tuh tampilkan apa yang anda sebut sebagai “ditanggapin lagi”. kalau anda merasa ada yang masih mengganjal ya langsung bawakan saja disini, insya Allah saya akan menanggapinya. 🙂

  15. @jebod
    insya Allah ini jawaban balik terhadap komentar saudara yang nashibi itu

    Artikel di atas mendapat respon dari seorang Rafidliy. Namun seperti biasa, ia menganggap orang tidak memahami apa yang dikatakannya, padahal sebenarnya ia sendiri yang tidak paham apa yang sedang ia tulis dan bicarakan. Dan seperti biasanya pula, di sini akan saya komentari secara ringkas akan sebagian sanggahannya, dan Pembaca budiman dapat mengetahui dan menimbang-nimbang siapa sebenarnya berhujjah dengan sarang laba-laba.

    Insya Allah mari kita lihat apa yang ia katakan saya tidak paham dan ia menganggap dirinya sebagai sesuatu yang paham.

    Pokok hadits yang dibahas dalam artikel ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Mustadrak 3/121. Saya mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa adalah Al-Aslamiy sedangkan ia mengatakan Al-Muhaaribiy. Ditinjau dari segi hubungan dengan Al-Hasan bin Hammaad, maka yang masuk penilaian adalah Al-Aslamiy. Dalam Tahdziibul-Kamaal disebutkan bahwa daftar murid Al-Aslaamiy di antaranya Hammaad, dan di antara daftar guru Hammaad adalah Al-Aslamiy. Tidak ada ruang di sini untuk mengatakan Al-Muhaaribiy…… Ini point pertama agar Pembaca bisa memahaminya.

    Silakan kalau ia mau berpandangan demikian, sedangkan hujjah awal kami disini mengatakan kalau perawi yang meriwayatkan dari Bassam dan bernama Yahya bin Ya’la adalah Al Muharibi, tidak ada celah disini untuk menyatakan ia Al Aslamy karena dalam Tahdzib Al Kamal tidak disebutkan nama Al Aslamy diantara murid Bassam.

    Kemudian ia berapologi bahwa selain Al-Aslamiy, di situ juga ada nama (Yahyaa bin Ya’laa) At-Taimiy, yang juga punya murid Al-Hasan bin Hammaad; dan dalam daftar guru Al-Hasan bin Hammaad pun ada nama At-Taimiy. Ini point kedua.

    Ini bukan apologi tetapi berhujjah dengan objektif. Sangat jelas bahwa dengan metode bolak balik yang ia banggakan itu tetap masih ada kemungkinan kalau ia adalah Yahya bin Ya’la At Taimiy. Jadi metode bolak-balik yang ia katakan tidaklah menjadi hujjah kuat karena mengandung kemungkinan lain.

    Untuk menyelesaikan permasalahan antara Al-Aslamiy dan At-Taimiy, maka kita menengok riwayat Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil yang juga membawakan sanad Al-Haakim di atas. Ia (Ibnu ‘Adiy) berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid Ar-Raaziy : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Hammaad Sajjaadah : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ya’laa, dari Bassaam bin ‘Abdillah Ash-Shairafiy, dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, dari Abu Dzarr secara marfu’.

    Seperti yang kami katakan perkataan Ibnu Ady adalah satu-satunya hujjah bagi salafy. Silakan pembaca perhatikan baik-baik, tidak ada dalam sanad hadis yang diriwayatkan Ibnu Ady penjelasan dengan tsarih bahwa Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy. Disini seorang yang kritis dapat bertanya apa dasarnya Ibnu Ady menyatakan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy.

    Di sini Ibnu ‘Adiy meletakkannya pada biografi Al-Aslamiy. Bukan At-Taimiy, apalagi Al-Muhaaribiy. Sesuai dengan kaidah ma’ruf dalam ilmu hadits, bahwa pengetahuan perawi terhadap riwayat yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya. Maka, perkataan Ibnu ‘Adiy yang menyatakan Yahyaa bin Ya’laa iu adalah Al-Aslamiy adalah didahulukan. Dan itu sangat sesuai dengan pembuktian bolak-balik guru murid pada point pertama dan kedua.

    Karena Ibnu Ady tidak membawakan hujjah apapun selain dengan penyebutan biografi Yahya bin Ya’la Al Aslamy maka saudara nashibi itu berhujjah dengan kaidah Ibnu Ady sebagai perawi lebih memahami hadis yang ia riwayatkan. Kaidah ini tidaklah bersifat mutlak, apalagi pada kasus ini bukan soal periwayatan karena bagaimana bisa Ibnu Ady mengetahui kalau di dalam sanad yang ia dapat dari gurunya tidak ada penyebutan siapakah Yahya bin Ya’la, bahkan setelah membawakan hadis ini Ibnu Ady menyatakan dengan kata-kata yang jelas bahwa Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah orang kufah dan termasuk syiah mereka. Padahal ketiga Yahya bin Ya’la semuanya adalah orang kufah. Bagi kami penyebutan biografi dengan nama Al Aslamy adalah tambahan dari Ibnu Ady dan merupakan bagian dari pendapatnya sendiri. Ibnu Ady walaupun sebagai perawi hadis bisa saja keliru sebagaimana yang telah kami contohkan pada kasus Amru bin Malik An Nukri, dimana Amru bin Malik yang dimaksud sebenarnya adalah Ar Rasibi bukan An Nukri, Ibnu Ady melakukan kesalahan fatal dalam penyebutan nama An Nukri.

    Hujjah yang saya bangun pada artikel di atas dalam menentukan identitas Yahyaa bin Ya’laa adalah dengan tiga hal tersebut. Tiga hal tersebut adalah satu hal yang tidak terpisahkan.

    Hujjah kami disini sangat kuat. point pertama, dari biografi Bassam diketahui Yahya bin Ya’la yang meriwayatkan darinya adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi. point kedua yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la adalah Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail dimana dalam biografi Al Muharibi disebutkan kalau keduanya adalah murid Al Muharibi. poin ketiga jika saudara nashibi itu menginginkan metode bolak-balik yang ia banggakan itu maka sudah terpenuhi pada Muhammad bin Ismail [Al Bukhari] dimana Bukhari sendiri dengan jelas meriwayatkan hadis dari Al Muharibi dalam kitab Shahih-nya. Jadi hujjah kami tidak hanya bolak balik tetapi bersifat atas-bawah. dari Bassam gurunya Al Muharibi dan dari kedua muridnya Al Muharibi.

    Untuk menolong pendapatnya, ia pun membuat statement aneh bahwa Ibnu ‘Adiy dalam menetapkan Al-Aslamiy itu tidak punya hujjah. Persisnya ia berkata :

    Telah kami katakan Ibnu Ady tidak menampilkan hujjah apapun.

    Ya ini aneh. Justru perkataan Ibnu ‘Adiy itu merupakan hujjah dalam perselisihan ini….. kok sekarang ia mengatakan Ibnu ‘Adiy tidak menampilkan hujjah. Aneh bukan ? Sebenarnya kalimat yang lebih tepat : Ia lah yang tidak punya hujjah untuk menampik perkataan Ibnu ‘Adiy.

    Itu namanya tidak mengerti yang namanya hujjah. Jika anda pembaca melihat hadis yang diriwayatkan Ibnu Ady maka anda akan menemukan hal yang sama dengan hadis-hadis lain yaitu tidak ada tasrih atau penyebutan dalam sanadnya siapakah Yahya bin Ya’la. bahkan dalam penjelasan setelah meriwayatkan hadis ini Ibnu Ady tidak memberikan petunjuk siapa Yahya bin Ya’la yang dimaksud. Hanya dalam penyebutan judul, Ibnu Ady menulis Yahya bin Ya’la Al Aslamy. Kita telah menunjukkan hujjah kuat bahwa ia adalah Al Muharibi maka sangat wajar kita mempertanyakan apa hujjah Ibnu Ady disini mengingat Ibnu Ady sendiri pernah melakukan kekeliruan soal penamaan perawi padahal hadis perawi tersebut adalah hadis yang ia riwayatkan.

    Kalau kita turuti keinginan orang Rafidliy itu, ya kaidah-kaidah ilmu hadits yang ma’ruf sebaiknya di-delete saja dan digantikan dengan kaidah-kaidah buatannya. [Terserah, barangkali kawan-kawannya ingin mengikuti dan memakainya ….].

    Perkataan ini sangat tetap ditujukan buatnya, seolah ia sendiri tidak sadar bahwa ia terkadang menyelisihi kaidah ilmu hadis yang ma’ruf. Perlu kami ingatkan para pembaca tidak perlu tertipu dengan kata-kata talbis seperti ini, kaidah ilmu hadis bukan kaidah super yang bersifat mutlak, dalam penerapannya para ulama terkadang melakukan penyesuaian atau terkadang menolak suatu kaidah karena terdapat petunjuk kuat untuk menolaknya. Contohnya terdapat kaidah bahwa perawi mudallis jika meriwayatkan dengan an’ anah maka hadisnya ditolak tetapi kenyataannya banyak hadis an’anah oleh perawi mudallis dalam kitab Shahih Bukhari Muslim, para ulama bukannya mendhaifkan malah membuat kaidah baru yaitu tingkatan para mudallis, jika mudallis tersebut sedikit melakukan tadlis atau dijadikan hujjah oleh Bukhari Muslim maka hadisnya tetap diterima, contohnya Ibnu Hajar yang menggolongkan mereka sebagai mudallis martabat kedua. Tetapi anehnya terdapat juga perawi mudallis martabat ketiga yang justru dijadikan hujjah dalam Shahih Muslim seperti halnya Abu Zubair, lagi-lagi para ulama termasuk Ibnu Hajar sendiri tidak menyatakan hadis Abu Zubair dhaif [walaupun ia mudallis martabat ketiga] bahkan Ibnu Hajar menshahihkannya. Begitu pula tadlis ‘Amasy yang terkenal menyulitkan sebagian ulama, sehingga sebagian terpaksa membuat kaidah baru bahwa tadlis ‘Amasy dari gurunya seperti Abu Shalih dan Ibrahim tetap diterima. Jadi tidak ada yang perlu disombongkan soal kaidah ilmu hadis, apa lagi main delete2an. kalau memang mau konsisten main delete udah dari dulu kali ilmu hadis itu jadi kacau-balau.

    Ibnu ‘Adiy mengetahui bahwa Yahyaa bin Ya’laa itu adalah Al-Aslamiy berasal dari gurunya, dan gurunya pun dari gurunya, dan seterusnya.

    Kami tidak pernah menafikan kemungkinan ini, tetapi kami katakan mana buktinya? atau hanya sekedar dugaan saja. kalau memang seperti itu bukankah seharusnya guru-guru itu menyebutkan sanadnya dengan jelas
    “telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ya’la Al Aslamy”. Dalam kasus hadis ini jelas sekali terdapat kemungkinan Ibnu Ady hanya menyampaikan pendapatnya sendiri soal siapakah Yahya bin Ya’la yang dimaksud mengingat ia sendiri ketika meriwayatkan hadis tersebut tidak menyebutkan nama Yahya bin Ya’la Al Aslamy tetapi hanya Yahya bin Ya’la saja.

    Orang Rafidliy itu mungkin sadar bahwa sanggahannya tidak cukup untuk merobohkan bukti kuat ini, lalu ia pun melemahkan sisi guru Ibnu ‘Adiy yang bernama : ‘Aliy bin Sa’iid bin Basyiir Ar-Raaziy. Ia menukilkan perkataan Ad-Daaruquthniy yang melemahkan ‘Aliy bin Sa’iid. Persisnya ia berkata :

    Nashibi ini sungguh lucu, perhatikan dengan baik, dirinya lah yang tidak bisa berhujjah dengan benar. Ia tidak bisa membedakan mana bukti kuat, mana yang kemungkinan ataukah dugaan. Perkara Ibnu Ady mengetahui dari gurunya adalah dugaan yang kami tawarkan saja bukanlah fakta yang jelas karena gurunya sendiri tetap menyebutkan sanad dengan nama Yahya bin Ya’la tanpa embel2 Aslamy.

    Ini pun juga layak kita kritisi. Mengapa ia tidak membawakan perkataan lain dalam kitab Al-Liisaan yang membicarakan ‘Aliy bin Sa’iid ? Mungkin ia lupa bahwa ‘Aliy bin Sa’iid bin Basyiir Ar-Raaziy adalah perawi yang dipakai Al-Haakim dalam sanad hadits di atas yang ia sendiri mengisyaratkan keshahihannya……..

    Sayangnya Al Hakim tidak hanya meriwayatkan deang hadis Ali bin Sa’id saja terdapat hadis lain yang shahih yang tidak melalui jalur Ali bin Sa’id. Kedudukan kami disini tidak menyatakan jarh mutlak terhadap Ali bin Sa’id, kami hanya menunjukkan kalau Ali bin Sa’id seorang perawi yang dbicarakan juga hadis-hadisnya diantaranya oleh Daruquthni.

    Namun sebelum itu, ada hal yang perlu saya sampaikan. Ia menterjemahkan perkataan Ad-Daaruquthniy : laisa bi-dzaaka dengan : “ia tidak kuat dalam hadits”. Ini sebenarnya gak tepat-tepat betul. Dalam ilmu al-jarh wat-ta’dil, lafadh jarh laisa bi-dzaaka itu bisa bermacam-macam. Ia bisa bermakna derajat di bawah tsiqah, bisa berarti shaduuq, bisa bermakna tidak dijelaskan status itqan-nya karena sedikitnya hadits yang ia miliki, bisa bermakna layyin, bisa bermakna tidak kuat, dan lainnya [lihat Al-Khulashah, hal. 317-319].

    Ini namanya hujjah basa-basi. Kelihatan kok kalau nashibi ini ingin menyalahgunakan kaidah ilmu hadis yang diketahui agar bisa berbasa-basi menguatkan hujjahnya. Jelas perkataan Daruquthni terhadap Ali bin Sa’id tidak hanya itu tetapi dijelaskan dengan perkataan “meriwayatkan hadis yang tidak ada mutaba’ahnya”. Kalau tidak salah ia sendiri seringkali berhujjah bahwa perkataan “tidak ada mutaba’ah” yang ditujukan ulama kepada seorang perawi berarti perawi tersebut dhaif.

    Kembali ke status ‘Aliy bin Sa’iid, maka akan saya bawakan secara ringkas :

    Ad-Daaruquthniy berkata : “Haditsnya tidak seperti itu (laisa fii hadiitsihi kadzaaka). Ia telah meriwayatkan beberapa hadits yang tidak ada mutaba’ah-nya. Ada hal yang tidak sreg pada diriku tentangnya. Shahabat kami di Mesir memperbincangkannya….ia itu seperti ini (sambil berisyarat dengan tangannya)”. Hamzah (pembawa riwayat Ad-Daaruquthniy) berkata : “Sepertinya ia tidak tsiqah”
    Catatan : Dalam Liisaanul-Miizaan, Ibnu Hajar menisbatkan perkataan ‘tidak tsiqah’ kepada Ad-Daaruquthniy; maka ini tidak benar, karena perkataan itu merupakan penafsiran dari Hamzah setelah melihat Ad-Daaruquthniy mengibas-ngibaskan tangannya. .

    Silakan pembaca lihat dengan baik, bukankah nashibi ini jelas menolak pernyataan Hamzah padahal Hamzah itu justru yang meriwayatkan hal ini dari Daruquthni. Dimana kaidah perawi lebih mengetahui apa yang diriwayatkan. Kesannya kok nashibi ini merasa paling tahu dibanding Hamzah. Jika Hamzah sebagai perawi Daruquthni menafsirkan “tidak tsiqah” maka mengapa bisa nashibi itu berkata “itu jarh yang ringan”. Bukankah nashibi ini dengan enak terkadang berhujjah dengan kaidah yang satu kemudian terkadang menolak kaidah tersebut, entah ia sadar atau tidak

    Ibnu Yuunus berkata : “Ia adalah seorang yang punya pemahaman yang baik untuk memahami dan menghapal (hifdh). Ia termasuk dari kalangan ahli hadits yang agung/terhormat. Orang-orang memperbincangkannya”. Hamzah bin Muhammad Al-Kinaaniy mengatakan bahwa ‘Abdaan bin Ahmad Al-Jawaaliqiy mengagungkannya. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tsiqah, termasuk orang yang berpengetahuan dalam hadits. Telah menceritakan kepadaku darinya lebih dari satu orang”. Adz-Dzahabiy berkata : “Al-Haafidh, al-baari’ (pandai)”.

    [bisa dicek dalam : Mausuu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 462 no. 2457, Taariikh Dimasyq 42/510-512, Liisaanul-Miizaan 5/542-543, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/145-146].

    Kami katakan kami tidak menjarh mutal terhadap Ali bin Sa’id. Kami hanya menyebutkan kalau Ali bin Sa’id juga diperbincangkan hadis-hadisnya. Artinya walaupun ia nanti berpredikat tsiqat, shaduq atau dhaif tetap bisa saja melakukan kesalahan dalam hadisnya.

    Tidak ada alasan untuk menolak perkataan Ibnu ‘Adiy terhadap Yahyaa bin Ya’laa. Kembali ke kaidah asal : bahwa pengetahuan perawi terhadap riwayat yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya.

    Kami memiliki alasan untuk menolak perkataan Ibnu Ady. Jika kita mengumpulkan semua hadis Yahya bin Ya’la ini maka kita dapat melihat siapa saja yang meriwayatkan dari Yahya bin Ya’la dan siapa yang meriwayatkan dari Bassam dan berdasarkan analisis terhadap perawi-perawi tersebut maka kita dapati Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Muharibi. Maka sangat wajar kita meragukan perkataan Ibnu Ady mengingat ia sendiri pernah melakukan kesalahan soal penyebutan nama perawi apalagi disini Ibnu Ady tidak menyampaikan bukti apapun terkait Al Aslamy. Jadi hujjah utama salafy hanyalah kaidah perawi lebih mengetahui apa yang diriwayatkan padahal terkadang ia sendiri menolak kaidah ini. Sungguh aneh tapi nyata.

    Apologi lain, orang Raafidliy itu mengqiyaskan kaidah pengetahuan perawi terhadap riwayat yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya; dengan tashhih dari Al-Haakim. Persisnya :

    Lha Al Hakim itu sendiri adalah perawi yang meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang salah satunya sama dengan sanad Ibnu Ady, ia justru menshahihkan hadis ini. Dengan logika yang sama maka kita dapat mengatakan kalau Al Hakim lebih mengetahui hadis yang ia bawakan daripada selainnya..

    Qiyas ma’al-faariq. Logika tidak nyambung. Tashhih itu dihasilkan dari identifikasi perawi. Jika Al-Haakim menshahihkan sanad hadits di atas, maka yang jadi bahasan kembali ke : “Siapa gerangan Yahyaa bin Ya’laa dimaksud ?”. Apakah di sini Al-Haakim mengidentifikasi Yahyaa bin Ya’laa ? Tidak bukan ? Telah terbukti bahwa Yahyaa bin Ya’laa dalam sanad hadits yang diperbincangkan adalah Al-Aslamiy. Maka, tashhih ini jelas keliru, karena Al-Aslamiy ini dilemahkan para ahli hadits.

    Lha tujuan dia mengidentifikasi perawi itu apa, untuk menyatakan hadis itu shahih atau tidak bukan. Nah bukankah Al Hakim perawi yang meriwayatkan hadis ini telah menyatakan hadis tersebut shahih. Mana kaidah perawi lebih mengetahui hadis yang ia riwayatkan daripada selainnya. Kalau ia mengatakan tashih Hakim keliru maka apa yang mencegah kita menyatakan perkataan Ibnu Ady keliru. Kalau ia mau mengatakan Al Hakim menshahihkan hadis perawi dhaif maka kitapun dapat menunjukkan bahwa Ibnu Ady juga pernah salah dalam menyebutkan perawi dalam hadis yang ia riwayatkan seperti Amru bin Malik An Nukri. Intinya saudara nashibi hanya berhujjah dengan kaidah “perawi lebih mengetahui apa yang ia riwayatkan”. Maka kami tunjukkan dengan kaidah ini pula kami menshahihkan hadis tersebut. kalau ia tidak nyambung ya maklum saja.

    Sampai di sini sebenarnya komentar ini telah selesai, karena telah jelas siapa sebenarnya Yahyaa bin Ya’laa ini dengan menggunakan sanad Al-Haakim dan Ibnu ‘Adiy. Yahyaa bin Ya’la yang menerima hadits dari Bassaam bin ‘Abdillah Ash-Shairafiy, dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, dari Abu Dzarr; adalah Al-Aslamiy. Seorang perawi dla’if.

    Mari kita jelaskan posisi kita disini. Hujjah kita soal Al Muharibi telah dibuktikan dengan melihat biografi Bassam sebagai guru Al Muharibi kemudian dengan melihat Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail sebagai murid Al Muharibi. Hujjah kita menolak perkataan Ibnu Ady karena Ibnu Ady sendiri tidak menyampaikan hujjah apapun selain perkataan “yahya disini termasuk orang kufah syiah mereka” dan kita ketahui ketiga Yahya adalah orang kufah jadi apa dasarnya mencatut nama Al Aslamy. Jika kita menuruti logika bahwa Ibnu Ady mengetahui dari gurunya maka mengapa gurunya tidak menyebutkan nama perawi tersebut dengan jelas “Yahya bin Ya’la Al Aslamy” dan ternyata guru Ibnu Ady disini adalah Ali bin Sa’id yang diperbincangkan juga kedudukannya. Walaupun nashibi itu berkeras ia tsiqat atau shaduq ia tetap tidak bisa menafikan kalau Ali bin Sa’id dilemahkan oleh Daruquthni karena meriwayatkan hadis yang tidak ada mutaba’ahnya dan jarh ini bersifat mufassar. Dan sebagaimana kaidah ilmu rijal jarh mufassar didahulukan daripada ta’dil. Nah mau dikemanakan kaidah itu wahai salafy.

    Ia menuliskan kalimat-kalimat di atas untuk menyatakan bahwa logika yang ia bangun sama dengan logika pembuktian saya.

    Para Pembaca budiman bisa menilai, apakah inti berpikir saya sama dengan dia ? Silakan baca ulang artikel di atas plus penjelasan tambahan di kolom komentar ini.

    Jika ia menyebut orang-orang yang mengambil riwayat dari Al-Muhaaribiy adalah Al-Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismaa’iil; apakah dalam tulisannya tersebut telah ia nyatakan bahwa dalam jajaran guru Al-Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismaa’iil ada nama Al-Muharibiy ? Sepanjang yang saya ketahui : Tidak.

    Inilah namanya orang yang tidak paham tetapi berasa-rasa paham atas tulisan orang lain. Perkataan kami yang ia kutip adalah ini

    Logika yang kami bangun sebelumnya adalah dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Muharibi seperti yang disebut dalam Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahya bin Ya’la Al Muharibi diantaranya ia menyebutkan Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail [Al Bukhari], keduanya adalah yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la. Akan tetapi saat menyebutkan orang yang mengambil riwayat dari Yahya bin Ya’la Al Aslamy, Al Mizzi sama sekali tidak menyebutkan Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail.

    Perkataan ini kami tulis tepat dibawah tulisan nashibi yang kami kutip yaitu tulisan yang ini

    Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (32/51-52) saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy, diantaranya ia menyebutkan : Al-Hasan bin Hammaad Sajjaadah. Sajjaadah adalah nama masyhur dari Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy.[2] Akan tetapi saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy, ia sama sekali tidak menyebut Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy [lihat Tahdziibul-Kamaal, 32/47-48].

    Silakan tuh pembaca perhatikan baik-baik. bukankah pada penggalan ini ia hanya membicarakan soal murid dari Yahya bin Ya’la dengan melihat biografi Al Aslamy dan Al Muharibi. Ia belum bicara sedikitpun soal biografi Hasan bin Hammad. Maka dengan logikanya ini kamia menunjukkan soal Yahya bin Ya’la Al Muharibi dan muridnya Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin ismail. Jelas sekali nashibi ini tidak membaca dengan baik 🙂

    Kalau ia beralasan bahwa guru (orang yang diambil riwayatnya oleh) Muhammad bin Ismaa’iil adalah Al-Muhaaribiy, bukan Al-Aslamiy; maka – sekali lagi – itu bukan alasan yang cukup kuat untuk menolak Al-Aslamiy. Apalagi dalam sanad Muhammad bin Ismaa’iil (Al-Bukhaariy) itu tidak disebutkan secara jazm nisbah Al-Muhaaribiy. Yang menjadi hujjah adalah riwayat.

    Sekarang ia merasa mengerti bahwa yang menjadi hujjah adalah “riwayat”. Terus kenapa ia sok mempermasalhkan ketika kami bertanya apa hujjah Ibnu Ady dalam perkara ini, toh riwayat yang Ibnu Ady bawakan hanya memuat nama Yahya bin Ya’la tanpa ada sebutan Al Aslamy.

    Jika logika itu dibalik – sebagaimana tersirat dalam logika pikir orang Rafidlah tersebut – : Mengapa bukan nama Al-Muhaaribiy yang dianggap sebagai ‘tambahan keterangan’ dalam jajaran guru/murid perawi yang tidak menyebutkan namanya, sehingga kita anggap Yahyaa bin Ya’laa itu adalah Al-Muhaaribiy, bukan Al-Aslamiy ?.

    Kita jawab : Jika kita melakukannya, maka kita akan merubuhkan pernyataan Ibnu ‘Adiy yang telah menegaskan bahwa yang dimaksud Yahyaa bin Ya’laa adalah Al-Aslamiy.

    lha iya makanya saya katakan hujjah salafy yang utama itu adalah Ibnu Ady dan disinipun Ibnu Ady tidak membawakan hujjah apapun kecuali perkataan “yahya disini adalah orang kufah dan termasuk syiah mereka”. Kami telah tunjukkan bahwa Ibnu Ady pernah keliru dalam penyebutan nama perawi jadi sah sah saja tuh jika pernyataan Ibnu Ady runtuh.

    Apalagi pernyataan Ibnu ‘Adiy ini telah dikokohkan dalam sebagian biografi perawi yang menunjukkan Yahyaa bin Ya’laa itu adalah Al-Aslamiy (lihat kembali tiga point pokok pada artikel ini). Sepanjang tidak ada tashrih dalam sanad yang menyatakan Al-Muhaaribiy, maka apa yang dikatakan Ibnu ‘Adiy tidak dapat dirobohkan dengan teori kemungkinan orang Rafidliy tersebut.

    Sepanjang tidak ada tasrih penyebutan Al Aslamy maka tidak ada alasan untuk menyatakan Ibnu Ady mutlak benar dalam masalah ini. Kami tidak berhujjah dengan kemungkinan, kami telah menunjukkan bukti bahwa dalam biografi Bassam diketahui bahwa muridnya yang bernama Yahya bin Ya’la hanyalah Al Muharibi tidak ada penyebutan Al Aslamy. dan telah kami tunjukkan bahwa dalam sanad ibnu Ady terdapat Ali bin Sa’id yang dilemahkan Daruquthni. Kami bisa menduga bahwa kesalahan tersebut bersumber dari Ibnu Ady sendiri sebagaimana ia pernah membuat kesalahan nama perawi [lihat biografi Amru bin Malik An Nukri] atau mungkin saja berasal dari kesalahan Syaikh-nya Ali bin Sa’id.

    Perhatikan statement-nya yang saya bold. Para ulama telah menjelaskan bahwa selain kitab Ash-Shahiih, Al-Bukhaariy tidak mensyaratkan adanya keshahihan. Ini bisa kita lihat kitab Al-Adabul-Mufrad, At-Taariikh Al-Ausath, dan yang lainnya. Konsekuensinya, para perawinya pun belum tentu perawi yang tsiqah, bahkan menurut pandangan Al-Bukhaariy sendiri. Bahkan, dalam sebagian perawi Shahiih Al-Bukhaariy sendiri ada dibicarakan oleh para ahli hadits (tentang jarh-nya) – termasuk Al-Bukhaariy sendiri.

    Silakan pembaca lihat bahkan dalam kitab shahih pun menurut nashibi itu Bukhari sendiri terkadang membicarakan perawinya. tetapi anehnya ada kaidah ajaib dalam ilmu hadis yang membanggakan perawi Bukhari dan Muslim bahkan menjadikan ini sebagai kriteria penta’dilan. hebat bukan ilmu hadis yang dibanggakan oleh saudara kita ini

    Pertama, dalam beberapa kesempatan di blog ini saya juga telah menuliskan kapan tautsiq Ibnu Hibbaan itu diterima walaupun ia bersendirian dalam pentautsiqan itu. Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankil menjelaskan beberapa qarinahnya, di antaranya : jika Ibnu Hazm membawakan dengan lafadh jazm (seperti : mustaqiimul-hadiits, dll.), jika perawi tersebut adalah syaikhnya Ibnu Hibbaan (karena sesuai kaedah umum bahwa ia lebih mengetahui keadaan gurunya sendiri daripada yang lain), dan yang lainnya. Qarinah perawi itu termasuk generasi tabi’iy bukan qarinah ma’ruf untuk menerima tautsiq Ibnu Hibbaan. Apalagi sampai mengebalkan generasi tabi’iin dari status majhul-haal. Ini sungguh aneh yang baru saya baca dari tulisan orang Rafidliy tersebut. Kalau ada tulisan atau buku yang membahas dan menguatkan perkataan orang Rafidliy tersebut (bahwa generasi tabi’iy kebal terhadap nisbah majhuul haal), mohon saya diberitahu, dengan senang hati akan saya baca…..

    Aneh bin ajaib, ia bahkan tidak membaca contoh yang kami kutip kalau syaikh salafy-nya Al Albani telah berhujjah dengan cara yang demikian. Tetapi kami disini cukup berhujjah dengan kaidah ilmu hadis yang ia banggakan, ia berkata

    Perhatian : Para ulama telah menjelaskan kaidah umum dalam ilmu hadits : Tashhih terhadap sanad hadits ekuivalen dengan tahshhih (tautsiq) terhadap perawinya. Ini tetap berlaku sepanjang tidak ada keterangan dari ulama tersebut yang mendla’ifkan perawi hadits dalam sanad yang ia bawakan.

    Al Hakim telah menshahihkan hadis-hadis Muawiyah bin Tsa’labah dan sesuai dengan kaidah yang ia sebutkan tidak ada ulama yang mendhaifkan Muawiyah bin Tsa’labah maka tashih Al Hakim ekuivalen dengan tautsiq terhadap perawinya dalam hal ini Muawiyah bin Tsa’labah. Apalagi Adz Dzahabi juga membenarkan tashih hadis Muaiwyah yang berarti Adz Dzahabi juga memberikan tautsiq terhadap Muawiyah bin Tsa’labah dan begitu pula yang dinyatakan Al Haitsami dengan perkataan “perawinya tsiqah” termasuk Muawiyah bin Tsa’labah. Jadi selain sebagai tabiin yanh meriwayatkan darinya dua orang tsiqah bahkan ada ulama yang menyatakan ia sahabat [Al Ismaili] dan mendapat tautsiq dari Al Hakim, Dzahabi dan Haitsami rasanya tidak berlebihan kami menilai hadis perawi ini berderajat hasan. Mari kita lihat bagaimana salafy itu bersilat lidah menanggapi komentar kami ini atau tidak segan-segan ia muali berbasa-basi soal kaidah ilmu hadis seolah ia yang paling paham kapan menerapkan kaidah tersebut. 🙂

    Saya kira, orang Rafidliy tersebut tidak perlu berpura-pura menyanggah saya yang memegang pendapat Mu’aawiyyah adalah tab’iy – sementara ia sendiri juga merajihkan hal yang sama. Gaya-gaya basi ini memang menjadi ciri istimewanya dalam berdiskusi : Hanya ingin memperpanjang debat dan menampakkan kekayaan kritikan, walau core-nya kosong. Dijawab pun percuma, sebab antara saya dan dia tidak ada perbedaan. Aneh logika diskusi dan kritikan ini.

    Apanya yang aneh, ketika kami merajihkan Muawiyah adalah tabiin kami tetap mengutip pernyataan Ismaili kalau ia sahabat. Ini jelas bukan berbasa-basi tetapi etika dalam berhujjah.

    Adapun pengkait-kaitannya dengan masalah Maalik Ad-Daar, Simmaak, dan lain-lain; rekan-rekan bisa membandingkan apa yang ia tulis dengan apa yang saya tulis di blog ini. Banyak talbis yang ingin ia lontarkan untuk membela madzhab bathilnya…..

    Justru salafy nashibi ini tidak mengerti mana bathil dan tidak. Apa mengatakan Tuhan berbentuk dan dapat dilihat dalam mimpi bukan perkara bathil? apalagi mengatakan berbentuk pemuda amrad? kurang bathil apa lagi

    Namun satu saja yang saya tanggapi, yaitu masalah Maalik Ad-Daar yang ia anggap sama kedudukannya dengan Mu’aawiyyah bin Tsa’labah. Rekan-rekan dapat melihat dan membaca apa yang saya tulis dengan melihat artikel yang ia maksud. Silakan lihat dalam daftar isi artikel di blog atau di search dengan bantuan google di sisi kanan atas blog ini.

    Tidak hanya Malik Ad Daar tetapi juga Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy yang seenaknya ia nyatakan tsiqat padahal hanya dua orang perawi tsiqat yang meriwayatkan darinya 🙂

    Tentang riwayat lain yang ia nukil dari Fadlaailush-Shahaabah no. 962, maka porosnya masih pada Mu’aawiyyah bin Tsa’labah. Adapun sentimennya terhadap Ibnu ‘Adiy adalah sentimen yang tidak berdasar. Ia memandang Ibnu ‘Adiy telah melemahkan Daawud bin Abi ‘Auf hanya gara-gara kebanyakan riwayatnya adalah tentang Ahlul-Bait. Ibnu ‘Adiy mengritiknya bukan semata-mata hadits yang ia bawakan sebagaimanay yang orang Rafidliy itu katakan; namun Ibnu ‘Adiy menilainya sebagai ghullatusy-syii’ah. Ibnu ‘Adiy tidak bersendiri dalam hal ini. Al-‘Uqailiy pun mengatakan hal yang sama. Al-Azdiy mengatakan : zaaigh dla’iif. Selain itu, hadits-hadits yang diriwayatkan Daawud yang tidak dijadikan hujjah Ibnu ‘Adiy pun tidak selamanya hadits-hadits yang menguntungkan kaum Syi’ah, namun juga hadits yang merugikan kaum Syi’ah. Di antaranya hadits tentang kemunculan kaum yang bernama Rafidlah yang pura-pura mencintai ‘Aliy dan perintah untuk membunuhnya. Ini sebagai bukti bahwa Ibnu ‘Adiy jauh lebih proporsional daripada orang Rafidliy tersebut.

    Kami tidak sentimen terhadap Ibnu Ady, kami hanya menunjukkan kecenderungan sebagian ulama untuk melemahkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dan menjarh para perawinya. Ini adalah fakta bagi mereka yang mampu menelusuri berbagai perawi yang dituduh syiah dalam kitab biografi perawi.

Tinggalkan komentar