Studi Kritis Hadis Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi

Studi Kritis Hadis Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi

Salah satu hadis yang didhaifkan oleh salafiyun dan pengikutnya adalah hadis barang siapa taat kepada Ali berarti taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut takhrij hadis tentang keutamaan Imam Ali tersebut.

عن أبي ذر رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن أطاع عليا فقد أطاعني ومن عصى عليا فقد عصاني

Dari Abu Dzar radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “barang siapa yang mentaatiKu sungguh ia mentaati Allah dan barang siapa durhaka kepadaku maka sungguh ia telah mendurhakai Allah. Barang siapa yang mentaati Ali maka sungguh ia telah mentaatiKu dan barang siapa yang mendurhakai Ali maka ia telah mendurhakaiKu

Hadis ini dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain 3/121 no 4617 & 3/128 no 4641, Khaitsamah bin Sulaiman dalam Al Muntakhab min Fawaid hal 19 dan Min Hadis Khaitsamah bin Sulaiman 1/72 no 19, Abu Bakar Al Ismailiy dalam Mu’jam Asy Syuyukh 1/485 no 141, Ibnu Ady dalam Al Kamil 7/233 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/306 dan 42/307. Dengan jalan sanad yang berujung pada Yahya bin Ya’la dari Bassaam Ash Shayrafiy dari Hasan bin Amru Al Fuqaimiy dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lafaz sebagaimana diatas.

Al Hakim berkata setelah meriwayatkan hadis ini “sanadnya shahih tetapi tidak dikeluarkan oleh Bukhari Muslim”. Adz Dzahabi juga menshahihkan hadis ini. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaaifah no 4892 mendhaifkan hadis ini dengan alasan

  • Yahya bin Ya’la adalah Yahya bin Ya’la Al Aslamy dan ia seorang yang dikenal dhaif
  • Muawiyah bin Tsa’labah tidak dikenal ‘adalah-nya dan
  • Bassaam seorang yang dipercaya tetapi tasyayyu’

Pernyataan Syaikh Al Albani ini perlu ditinjau kembali. Yahya bin Ya’la yang dimaksud bukanlah Al Aslamiy, pendapat yang rajih ia adalah Al Muharibi. Memang pada hadis tersebut tidak disebutkan dengan jelas Yahya bin Ya’la yang dimaksud tetapi dengan melihat siapa saja yang meriwayatkan darinya dan dari siapa ia meriwayatkan hadis maka dapat diketahui siapa sebenarnya Yahya bin Ya’la yang dimaksud. Yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la diantaranya Hasan bin Hammad Al Hadhramy [Mustadrak no 4617], Hakam bin Sulaiman [Mu’jam Asy Syuyukh Ismaili no 141], dan Muhammad bin Ismail [Al Mustadrak no 4641]. Dan disini Yahya bin Ya’la meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy.

  • Dalam biografi Hasan bin Hammad Al Hadhramy, Al Mizzi menyebutkan kalau ia meriwayatkan dari dua orang yang bernama Yahya bin Ya’la yaitu Yahya bin Ya’la At Taimy Abu Muhayyah dan Yahya bin Ya’la Al Aslamy, keduanya adalah orang kufah [Tahdzib Al Kamal no 1219]
  • Dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Muhariby, Al Mizzi menyebutkan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al Hakam bin Sulaiman [Tahdzib Al Kamal no 6949]
  • Dalam biografi Bassam Ash Shayrafiy, Al Mizzi menyebutkan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi [Tahdzib Al Kamal no 664]

Bisa dilihat bahwa ada tiga kemungkinan siapa Yahya bin Ya’la yang dimaksudkan dalam hadis di atas yaitu

  • Yahya bin Ya’la At Taimy Abu Muhayyah yang telah meriwayatkan darinya Hasan bin Hammad Al Hadhramy tetapi tidak dikenal ia meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [Tahdzib Al Kamal no 6950]
  • Yahya bin Ya’la Al Aslamy yang telah meriwayatkan darinya Hasan bin Hammad Al Hadhramy tetapi tidak dikenal ia meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Bukhari berkata “mudhtharib al hadits. Abu Hatim berkata “hadisnya dhaif dan tidak kuata”. [Tahdzib Al Kamal no 6951]
  • Yahya bin Ya’la Al Muharibi yang telah meriwayatkan darinya Hakam bin Sulaiman dan ia meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy. Abu Hatim berkata “tsiqat” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib Al Kamal no 6949]

Kemungkinan yang paling rajih Yahya bin Ya’la disini adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi karena hadis di atas telah diriwayatkan oleh Hakam bin Sulaiman dari Yahya bin Ya’la dari Bassaam Ash Shayrafiy dari Hasan bin Amru Al Fuqaimy dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu secara marfu’.

Petunjuk lain yang menguatkan adalah hadis ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Ismail dari Yahya bin Ya’la dari Bassaam Ash Shayrafiy [Al Mustadrak no 4641]. Dan diantara ketiga Yahya bin Ya’la yang dimaksud hanya Yahya bin Ya’la Al Muharribi yang memiliki murid bernama Muhammad bin Ismail yaitu Al Bukhari dan Al Bukhari tidak mungkin meriwayatkan dari Yahya bin Ya’la Al Aslamy karena Bukhari sendiri mencelanya.

.

.

Satu-satunya hujjah salafy dalam menetapkan kalau Yahya bin Ya’la disni adalah Al Aslamy adalah pernyataan Ibnu Ady dalam Al Kamil. Ibnu Ady menyebutkan hadis ini dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Aslamy.

أخبرنا علي بن سعيد الرازي ثنا الحسن بن حماد سجادة ثنا يحيى بن يعلي عن بسام بن عبد الله الصيرفي عن الحسن بن عمرو الفقيمي عن معاوية بن تغلب عن أبى ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني أطاع الله ومن عصاني عصى الله ومن أطاع عليا أطاعني ومن عصى عليا عصاني قال وهذا لا اعلم يرويه عن بسام بهذا الإسناد غير يحيى بن يعلي ويحيى بن يعلى هذا كوفي وهو في جملة شيعتهم

Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Sa’id Ar Razi yang menceritakan kepada kami Hasan bin Hamad Sajadah yang menceritakan kepada kami Yahya bin Ya’la dari Bassaam bin Abdullah Ash Shayrafiy dari Hasan bin Amru Al Fuqaimy dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “barang siapa yang mentaatiKu sungguh ia mentaati Allah dan barang siapa durhaka kepadaku maka sungguh ia telah mendurhakai Allah. Barang siapa yang mentaati Ali maka sungguh ia telah mentaatiKu dan barang siapa yang mendurhakai Ali maka ia telah mendurhakaiKu. Tidak diketahui yang meriwayatkan dari Bassaam dengan sanad ini kecuali Yahya bin Ya’la dan Yahya bin Ya’la disini adalah Al Kufy dan ia termasuk kelompok syiah mereka. [Al Kamil Ibnu Ady 7/233]

Jika diperhatikan baik-baik maka tidak ada satupun hujjah Ibnu Ady dalam menetapkan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy. Ibnu Ady memasukkan begitu saja hadis ini dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Aslamy. Riwayat yang dibawakan Ibnu Ady adalah riwayat Ali bin Sa’id Ar Razi bahwa Hasan bin Hamad meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la dari Bassam Ash Shayrafiy. Tidak ada dalam sanadnya secara jelas disebutkan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy. Memang dikenal salah satu Syaikh [guru] Hasan bin Hamad adalah Yahya bin Ya’la Al Aslamy mungkin ini alasan Ibnu Ady menyatakan hadis ini sebagai hadis Yahya bin Ya’la Al Aslamy. Tetapi ini tidaklah menjadi hujjah karena Yahya bin Ya’la yang menjadi guru Hasan bin Hamad tidak hanya Al Aslamy tetapi juga Yahya bin Ya’la bin Harmalah At Taimy.

Walaupun begitu keduanya tidaklah meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy, sedangkan yang meriwayatkan dari Bassaam Ash Shayrafiy adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi. Ibnu Ady tidak mengetahui bahwa terdapat perawi lain selain Hasan bin Hammad yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la yaitu Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail [Al Bukhari] dan keduanya meriwayatkan dari Yahya bin Ya’la Al Muharribi.

Kemudian perhatikan perkataan Ibnu Ady “Yahya bin Ya’la disini adalah Al Kufy dan ia termasuk kelompok syiah mereka”. Pernyataan ini pun tidak menjadi hujjah karena ketiga Yahya bin Ya’la yang kami sebutkan adalah Al Kufy. Baik Yahya bin Ya’la Al Muharribi, Yahya bin Ya’la At Taimy dan Yahya bin Ya’la Al Aslamy ketiganya adalah Al Kufy atau penduduk kufah dan sebelum Ibnu Ady tidak ada satupun yang menyebutkan kalau mereka seorang syiah. Kemungkinan besar karena hadis ini meriwayatkan keutamaan Imam Ali maka dengan mudahnya Ibnu Ady mengatakan kalau Yahya bin Ya’la disini adalah Al Aslamy yang dikenal dhaif dan menyatakan ia termasuk syiah kufah.

Hal ini menguatkan postulat bahwa seorang ulama menyatakan perawi sebagai syiah dengan melihat apakah hadis-hadis yang ia riwayatkan adalah hadis keutamaan Ahlul Bait. Jika benar maka tetaplah ia dikatakan sebagai syiah atau tasyayyu’. Dan di lain tempat ketika membahas hadis keutamaan Ahlul Bait yang dimaksud maka para pengingkar akan mengutip ulama yang menyatakan perawi tersebut tasyayyu’ atau syiah kemudian para pengingkar itu akan menolak hadisnya karena perawi tersebut syiah. Bukankah ini lingkaran setan yang menyesatkan!

.

.

Mengenai cacat kedua yaitu Muawiyah bin Tsa’labah yang tidak dikenal ‘adalahnya. Tentu saja ini pernyataan yang sembrono. Ibnu Hibban memasukkan Muawiyah bin Tsa’labah dalam Ats Tsiqat juz 5 no 5480 seraya menegaskan bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 tanpa memberikan cacat atau jarh pada Muawiyah bin Tsa’labah. Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/378 no 1733 menyebutkan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf. Abu Hatim sedikitpun tidak memberikan cacat atau jarh padanya. Al Haitsami membawakan hadis Al Bazzar yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin Tsa’labah dan berkata “para perawinya tsiqat”. Hal ini berarti Al Haitsami menyatakan Muawiyah bin Tsa’labah tsiqat [Majma’ Az Zawaid 9/184 no 14771]

Adz Dzahabi memasukkan nama Muawiyah bin Tsa’labah dalam kitabnya Tajrid Asma’ As Shahabah no 920 dimana ia mengutip Al Ismaili bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat Nabi, tetapi Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/362 no 8589 menyatakan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang tabiin. Tidak menutup kemungkinan kalau Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat atau jika bukan sahabat maka ia seorang tabiin. Statusnya sebagai tabiin dimana tidak ada satupun yang memberikan jarh terhadapnya dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat serta telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat yaitu Abul Jahaf dan Hasan bin Amru Al Fuqaimi sudah cukup untuk menguatkan kedudukannya. Minimal hadis yang ia riwayatkan berkedudukan hasan dan jika benar ia seorang sahabat maka hadisnya shahih.

Syaikh Al Albani sendiri telah menguatkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi dengan kedudukan yang sama dengan Muawiyah bin Tasa’labah.

  • Dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no 680 Syaikh Al Albani memasukkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Ghifari padahal ia hanya dita’dilkan oleh Ibnu Hibban dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan jarh wat ta’dil. Telah meriwayatkan darinya dua orang perawi dan ia seorang tabiin maka menurut Syaikh Al Albani kedudukan hadisnya adalah hasan menurut jama’ah hafizh.
  • Dalam Irwa’ Al Ghalil 1/242 no 225 Syaikh menghasankan hadis Hasan bin Muhammad Al ‘Abdi dimana hanya Ibnu Hibban yang menta’dilkannya dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa jarh dan ta’dil. Ia seorang tabiin yang telah meriwayatkan darinya dua orang perawi yaitu Ali bin Mubarak dan Ismail bin Muslim maka kedudukan hadisnya hasan menurut Syaikh Al Albani.

Jadi pencacatan terhadap Muawiyah bin Tsa’labah tidak bisa diterima dan sesuai dengan manhaj ilmu hadis, hadis seorang tabiin seperti Muawiyah bin Tsa’labah tergolong hadis yang hasan. Kemudian soal pencacatan Bassaam bin Abdullah Ash Shayrafiy karena tasyayyu’ adalah pencacatan yang tidak bernilai karena Bassaam seorang yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih tidak ada masalah dengannya”. Al Hakim juga menyatakan tsiqat dan Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah” [At Tahdzib juz 1 no 800].

.

.

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Muawiyah bin Tsa’labah dengan matan yang agak berbeda tetapi pada intinya memiliki makna yang sama

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا بن نمير قثنا عامر بن السبط قال حدثني أبو الجحاف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا علي انه من فارقني فقد فارق الله ومن فارقك فقد فارقني

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Amir bin As Sibth yang berkata telah menceritakan kepadaku Abul Jahhaf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Wahai Ali, siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang memisahkan diri dariMu maka dia telah memisahkan diri dariKu” [Fadhail Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 962]

Hadis di atas sanadnya hasan para perawinya tsiqat hanya saja Abul Jahhaf atau Dawud bin Abi ‘Awf dinyatakan syiah atau tasyayyu’. Hal ini tidaklah mencacatkan hadisnya karena ia telah dinyatakan tsiqat oleh Sufyan, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 3 no 375].

Ibnu Ady telah menyebutkan biografi Dawud bin Abi Auf dalam kitabnya Al Kamil dan dengan jelas ia menyatakan kalau Dawud bin Abi Auf termasuk kelompok syiah kufah dan mayoritas hadisnya adalah hadis keutamaan Ahlul Bait, di sisiku ia bukan seorang yang kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah. Dan diantara hadis keutamaan ahlul bait yang dimaksudkan oleh Ibnu Ady adalah hadis di atas. [Al Kamil Ibnu Ady 3/82-83].

Sekali lagi kami melihat kecenderungan Ibnu Ady untuk mendhaifkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dan mencacatkan para perawi yang sering meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait. Perhatikanlah pencacatan Ibnu Ady terhadap Dawud bin Abi Auf Abul Jahhaf sama dengan pencacatannya terhadap Yahya bin Ya’la yaitu dengan kata-kata “penduduk kufah dan termasuk syiah mereka”. Bedanya hanya pada hadis Yahya bin Ya’la Ibnu Ady bisa dengan mudahnya menetapkan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy yang dikenal dhaif sedangkan pada hadis Abul Jahhaf ia menambahkan kata “di sisiku tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah” padahal Abul Jahhaf telah dinyatakan tsiqat oleh ulama terdahulu. Pencacatan seorang perawi hanya karena ia tasyayyu’ atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan ahlul bait adalah pencacatan yang tidak bisa diterima.

Kesimpulannya hadis taat kepada Ali berarti taat kepada Nabi adalah hadis yang jayyid dan memiliki makna yang sama dengan hadis siapa yang memisahkan diri dari Ali berarti memisahkan diri dari Nabi. Salafy nashibi seperti biasa suka mencari-cari dalih atas nama ilmiah untuk mencacatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Semoga Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka agar kembali ke jalan yang benar. Salam Damai

49 Tanggapan

  1. kami selaku masyarakat mengucapkan terimakasih atas pencerahan yang dilakukan web ini

  2. Sungguh menyedihkan mereka2 yang menolak KEBENARAn, hanya karena HASUT, DENGKI dll.
    Apakah mereka tidak takut atas ancaman Allah?

  3. @SP

    Jangan lupa, segera siapkan tempat sampah 🙂

    Salam

  4. @ syiahindinesia1 / syiahali / ainunmarziah

    SAYA TIDAK MEMFITNAH ANDA……!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Anda sedang mencoba mengelabui kami (terutama saya), tapi sayang cara anda itu SANGAT BODOH. Dengan menyertakan link anda, “syiahali.wordpress” dan “syiahindonesia1.wordpress”, dalam satu komentar anda di blog ini anda mengaku sebagai ULAMA SYIAH, apa anda lupa?????? atau memang anda DUSTA????

    Apa yang saya tulis tentang jatidiri anda 100% AKURAT…!!!!

    Anda adalah seorang pengurus Arimatea yang bernama FERIZAL, SKM, kan? ITU MENURUT PENGAKUAN ANDA SENDIRI DALAM SMS ANDA KE SAYA, yaitu ke No.HP: 0813XXXX6061.

    Anda mendapat No. HP saya dari Ustadz Ibnu Ali, Lc (seorang mantan Sunni tamatan Mesir yang pindah ke Syiah).
    KALAU ANDA JUJUR ANDA PASTI AKAN MENGAKUI FAKTA INI.

    Saya kenal identitas anda dari guru saya Ustadz Ibnu Ali, Lc karena anda sering kirim sms pada beliau dan anda berdialog dengan beliau di No. HP: 0852XXXX6010.

    Perlu anda ketahui, SAYA SUDAH BACA SELURUH SMS ANDA DENGAN USTADZ IBNU ALI, Lc yang jumlahnya hampir 400 buah SMS.

    Dalam sms anda ketika awal-awal berdialog dengan beliau ANDA MENGAKU PENGIKUT SALAFY, (anda mengaku sering ikut pengajian Manhaj Salaf pada Ali Nur, Lc dan Syamaun Risyad, perlu anda ketahui, saya juga dulunya sering mengaji pada kedua Ustadz penipu itu) namun ketika anda terpojok dengan fakta2 yang diberikan oleh Ustadz Ibnu Ali, Lc lalu anda BERKILAH dengan mengaku diri Sunni, namun ketika beliau memaparkan banyak fakta kekeliruan Sunni maka ANDA MENGAKU INGIN MASUK SYIAH, tetapi Ustadz Ibnu Ali, Lc menolak karena menurut beliau anda tidak jujur

    Dan, Suatu hari anda meng-sms saya KE No. HP: 0813XXXX6061 anda memperkenalkan diri pada saya dengan nama Ferizal, SKM, dan anda mengaku sebagai pengurus DPD Arimatea Aceh, dan juga anda MENGAKU DIRI ANDA SYIAH. Setelah membaca sms anda itu saya langsung menelpon Ustadz Ibnu Ali, Lc untuk konfirmasi, dan Ustadz Ibnu Ali, Lc mengatakan: “SAUDARA FERIZAL ITU ADALAH ORANG YANG SERING BERDIALOG DENGAN SAYA VIA SMS DIA MENGAKU SEBAGAI KETUA DPD FORUM ARIMATEA ACEH, AWALNYA DIA MENGAKU MENGIKUTI MANHAJ SALAF.”

    Nah, saya tidak memfitnah kan?

    Informasi yang saya dapat dari Ustadz Ibnu Ali, Lc dan sms yang anda kirim ke saya adalah SAMA.

    KALAU ANDA TIDAK MENGAKUI FAKTA INI BERARTI ANDA MEMBOHONGI DIRI ANDA SENDIRI.

    Salam

  5. Seruan Persatuan Kaum Muslimin Menghadapi Musuh Bersama Yaitu Zionis Yahudi

    Kami Hanya Orang Kecil yang Ingin Memberi Arti

    saya Bukan siapa-siapa, bukan ulama, bukan sarjana, bukan orang kaya, bukan pula orang gila, hanyalah sekelompok minoritas yang terintegrasi dalam ide dan gagasan sederhana. Izinkan kami berbagi kisah, tentang suka, duka, dan cita-cita, agar kelak kami memiliki hujjah di depan Sang Penguasa bahwa kami tidak diam atas kesulitan dan ketertindasan yang kita alami bersama.

    Ketika mereka mulai membuka matanya dikala sang fajar segera terbit, mereka bersujud kepada sang Ilahi Rabbi…

    Disaat sinar mentari mulai menerangi dunia,, mereka memulai harinya dengan pekikan takbir dan dengan batu di tangan.

    Mereka bangkit berdiri gagah digaris terdepan perlawanan, dengan penuh keberanian mereka manantang maut yg selalu mengincarnya demi mempertahankan bumi al Quds yg telah diamanahkan Allah kepada mereka.

    Mereka sadar bahwa tanah tempat mereka berpijak bukanlah pemberian Cuma-cuma,tapi tanah semua itu ditebus dengan darah segar para syuhada’ dan para pejuang sejati mulai Umar bin Khattab The Lion Desert hingga The Wise Salahuddin al Ayyubi .

    Mereka berdiri menghadang setiap bulldozer yang akan meratakan rumah dan masjid-masjid mereka, mereka melempari setiap simpanse Yahudi yang datang untuk membunuh keluarga dan memperkosa kehormatan ibu dan saudara perempuan mereka!!!

    “dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu”(TQS:al Buruuj:8-9)

    Mereka sadar bahwa mereka telah menjual semuanya baik harta maupun nyawa mereka untuk perlawanan di jalan Allah.

    “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar”.(TQS: at Taubah:111)

    Mereka faham perjuangan ini sangat berat dan panjang, karena batu harus berhadapan dengan tank2 baja’. Namun mereka yakin bahwa mereka akan menang, karena senjata utama mereka adalah keimanan yang jauh lebih keras dari tank2 zionis Yahudi.

    “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmuI”.(TQS: Muhammad:7)

    Ketahuilah kawan perlawanan ini akan terus berlangsung hingga akhir zaman dan dunia berada digerbang kehancuran terdahsyat

    “Tidak akan terjadi kiamat hingga kaum muslimin memerangi yahudi, kemudian kaum muslimin memerangi mereka sampai akhirnya orang-orang yahudi (berlarian) berlindung dibalik batu dan pepohonan…lalu batu dan pohon itu berkata, “wahai Muslim…wahai hamba Allah…ini, ada orang yahudi bersembunyi dibelakangku, kemari dan bunuhlah dia”.(HR. Muttafaqun ‘alaih).

    Saudaraku’ renungkanlah Firman Allah berikut
    “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan”(TQS: al Anfal:72)

    Dan bukankah mereka telah memanggil kita?
    “suara ini adalah suara jeritan dan ajakan yang keluar dari kerongkongan pejuang-pejuang Islam di bumi Palestina. Jeritan memanggil umat Islam, menyeru untuk kembali bersatu dalam menghadapi penindasan yg dilakukan Yahudi” (Syaikh Ahmad Yassin)

    Saudaraku apakah hati kita telah membatu dan telinga kita telah tuli’ sehingga tangisan keras umat ini tidak terdengar ditelinga kita?

    Apakah sekujur tubuh kita telah lumpuh atau usia kita telah lanjut sehingga tidak dapat berbuat apapun untuk melawan???

    Mungkin sekat-sekat nasionalisme yg batil masih mengerangkeng kita untuk berjihad dan melindungi saudara kita diseberang sana.

    Tapi Demi Allah saudaraku lakukanlah apa yang bisa kita lakukan hari ini, melawan dan bergeraklah semampu kita’

    Baik itu dengan Seruan perlawanan dan pembebasan, demonstrasi, Pamflet-pamflet, selembaran-selembaran, hingga sedikit uang yang bisa keluarkan semua itu adalah sebuah bentuk perlawanan. Jika itu masih belum bisa kita lakukan maka luangkanlah sedikit waktu malam kita untuk selalu mendoakan mereka karena ini juga bentuk perlawanan!!! Intinya lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang, bukan saatnya berdiam diri, jadikan setiap hembusan nafas kita adalah perlawanan dan pembebasan!!!!!

    Namun’ alangkah indahnya jika kita bisa berhadapan langsung dengan kematian di medan Jihad. Dan tiada kematian yang lebih indah dari pada mati syahid di ujung pedang-pedang para pembangkang tuhan.

    “barang siapa yang mati belum berjihad dan tak terbesit dihatinya keinginan untuk berjihad, ia mati dalam cabang kemunafikan”(HR.Muslim)

    “Jihad dengan senjata, Jihad tidak dengan negosiasi, Jihad tidak dengan perjanjian damai, tidak juga dengan dialog”(Syaikh Abdullah Azzam)

    Mungkin, hanya ini yang dapat aku lakukan hari ini’ untuk memenuhi panggilan Allah untuk melakukan perlawanan’

    “Kobarkanlah semangat Para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah Amat besar kekuatan dan Amat keras siksaan(Nya)”.(TQS: An Nissa:84)

    Kawanku bangunkanlah singa-singa yang tertidur di dalam dirimu…
    Bukalahah mata dan telingamu untuk memenuhi seruan Islam…
    Rapatkan barisanmu, buat musuh-musuh Allah gentar melihat persatuan kita…
    Dan dengan lantang serukanlah perlawanan,
    Karena adakah kata yang lebih puitis dari perlawanan??

    ALLAHU AKBAR!!!!!!!!!!!!!

    YA ALLAH AKU TELAH MENYAMPAIKAN. SAKSIKANLAH!!!!!

    YA ALLAH AKU TELAH MENYAMPAIKAN. SAKSIKANLAH!!!!!

    YA ALLAH AKU TELAH MENYAMPAIKAN. SAKSIKANLAH!!!!!

  6. Assalamualaikum Wr.Wb

    Meskipun “Amir DPD Forum Arimatea Aceh” bermazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah, tapi DPD F.A NAD Tetap Netral Mazhab Dalam Rangka Menghadapi Musuh Bersama Yaitu “Nasrani”

    ==========================================

    Bismillah…

    Saya bersumpah dengan menyebut nama Allah…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Rasulullah SAW…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Al Quran….

    Bahwa benar Amir “DPD Forum Arimatea Aceh”
    ( periode 2006-2011 ) bermazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah

    wassalam
    Amir “DPD FORUM ARiMATEA PROPiNSi NAD” periode 2006 – 2011
    ==========================================

    Akan tetapi perlu diketahui bahwa Organisasi Islam “Forum Arimatea” tidak ada sangkut paut dan
    tidak ada berurusan dengan mazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah…..

    Forum Arimatea sebagai organisasi adalah netral mazhab ….

    Aneka warna aliran bergabung di forum arimatea

  7. wahai akhi ytse-Jam
    Anda tidak berhak memveto siapapun yang mau bertaubat kepada Allah dan yang ingin masuk syi’ah…. Perlu anda ketahui bahwa untuk menjadi syiah tidak perlu harus disyahadatkan oleh guru anda…

    Saya selaku masyarakat awam kecewa dengan cara akhi ytse-Jam MENUDUH ORANG LAiN bukan syi’ah hanya karena tidak disyahadatkan oleh gurunya …

    Di Aceh lumayan jumlah salafi wahabi yang masuk syi’ah

  8. Perlu anda ketahui bahwa di FORUM ARiMATEA juga ada ilmuwan syi’ah…..

    Anda tidak berhak memveto siapapun yang mau bertaubat kepada Allah dan yang ingin masuk syi’ah…. Perlu anda ketahui bahwa untuk menjadi syiah tidak perlu harus disyahadatkan oleh guru anda…

    Saya selaku tokoh FORUM ARiMATEA kecewa dengan cara akhi ytse-Jam MENUDUH ORANG LAiN bukan syi’ah hanya karena tidak disyahadatkan oleh gurunya …

    Di Aceh lumayan jumlah salafi wahabi yang masuk syi’ah… Lalu sejak kapan Allah Ta’ala mewahyukan kepada anda bahwa si A, si B dan si C bukan syi’ah

  9. chany…
    Anda jangan sembarangan menuduh orang yahudi….

    Anda jangan sembarangan menuduh orang bukan syi’ah….

    Untuk masuk syi’ah tidak perlu melalui ANDA…

    Perlu anda ketahui bahwa FORUM Arimatea netral mazhab

  10. Assalamualaikum Wr.Wb

    Meskipun “Amir DPD Forum Arimatea Aceh” bermazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah, tapi DPD F.A NAD Tetap Netral Mazhab Dalam Rangka Menghadapi Musuh Bersama Yaitu “Nasrani”

    ==========================================

    Bismillah…

    Saya bersumpah dengan menyebut nama Allah…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Rasulullah SAW…
    Saya bersumpah dengan menyebut nama Al Quran….

    Bahwa benar Amir “DPD Forum Arimatea Aceh”
    ( periode 2006-2011 ) bermazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah

    wassalam
    Amir “DPD FORUM ARiMATEA PROPiNSi NAD” periode 2006 – 2011
    ==========================================

    Akan tetapi perlu diketahui bahwa Organisasi Islam “Forum Arimatea” tidak ada sangkut paut dan
    tidak ada berurusan dengan mazhab syi’ah imamiyah itsna asyariah…..

    Forum Arimatea sebagai organisasi adalah netral mazhab ….

    Aneka warna aliran bergabung di forum arimatea

    Kepada SP web ini di minta menghentikan segala macam tuduhan tidak berdasar kepada orang lain…

    Ingat !!! Kita sesama Muslim sedang digempur Yahudi

  11. @forumarimateaaceh
    mending kalian selesaikan urusan kalian dgn@ ytsejam di luar forum ini,spy diskusi disini tdk kehilangan arah.
    dan orang lain tdk terpancing dgn situasi kalian.
    kalian bisa buktikan keberadaan kalian,bhw kalian sesuai dgn jati diri kalian,dgn mengikuti diskusi ini dgn baik.
    @SP
    maaf mendahului,
    @ytsejam
    sy harap anda tdk menanggapi lg klarifikasi mereka
    @chany
    jgn terpancing

  12. @aldj
    Jangan kuatir saya tidak mudah terpancing. Saya sudah tau jauh sebelumnya. Saya mengomentari agar menjadi lebih jelas. Salam damai Wasalam

  13. @forumarimateaaceh
    mending kalian selesaikan urusan kalian dgn@ ytsejam di luar forum ini,spy diskusi disini tdk kehilangan arah.
    dan orang lain tdk terpancing dgn situasi kalian.
    kalian bisa buktikan keberadaan kalian,bhw kalian sesuai dgn jati diri kalian,dgn mengikuti diskusi ini dgn baik.

    @SP
    Anda menggunakan website Anda sebagai ajang tuduhan bahwa orang lain adalah yahudi !!! Barangsiapa menuduh orang lain kafir maka salah satu diantaranya adalah kafir….

    @ytsejam
    sy harap anda tdk menanggapi lg klarifikasi mereka
    dan anda bukan Allah ta’ala yang bisa memveto si A si B dan si C bukan syi’ah… Memang nya anda dan guru anda adalah pintu gerbang masuk syi’ah

  14. @forumarimateaaceh
    mending kalian selesaikan urusan kalian dgn@ ytsejam di luar forum ini,spy diskusi disini tdk kehilangan arah.
    dan orang lain tdk terpancing dgn situasi kalian.
    kalian bisa buktikan keberadaan kalian,bhw kalian sesuai dgn jati diri kalian,dgn mengikuti diskusi ini dgn baik.

    @Secondprince
    Anda menggunakan website Anda sebagai ajang tuduhan bahwa orang lain adalah yahudi !!! Barangsiapa menuduh orang lain kafir maka salah satu diantaranya adalah kafir….Aneh jika SP digunakan sebagai ajang vonis si A si B dan si C bukan syi’ah… Memangnya apa urusan anda

    @ytsejam
    sy harap anda tdk menanggapi lg klarifikasi mereka
    dan anda bukan Allah ta’ala yang bisa memveto si A si B dan si C bukan syi’ah… Memang nya anda dan guru anda adalah pintu gerbang masuk syi’ah

  15. SALAFi wahabi MENOLAK KEBENARAN KARENA AROGAN

    Temen-temen yang dirahmati Allah, Kadang tiada yang menghalangi suatu kebenaran ketika ia mengahampiri kita kecuali sifat angkuh, arogan yang ada di dalam dada. Meski hati membenarkan, namun akal telah terselimuti kecongkakan.

    Begitu pula yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dimana ketika beliau telah memutuskan untuk berda’wah secara terang-terangan langkah pertama yang diambil beliau adalah beliau berdiri diatas sebuah bukit lantas memanggil kaum Quraisy untuk berkumpul: “Wahai kaum Quraisy, kesinilah kalian semua, aku akan memberikan sebuah berita kepada kalian!!”

    Mendengar panggilan lantang dari Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas berduyun-duyun kaum Quraisy berdatangan. “Saudara-saudaraku, jika aku memberi kabar kepadamu, bahwa dibalik bukit ini ada musuh yang sudah siaga hendak menyerang kalian, apakah kalian semua percaya?”

    Tanpa ragu semua hadirin menjawab mantap, “Percaya!!!”

    Lantas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bertanya, “Kenapa kalian langsung percaya, tanpa membuktikan terlebih dahulu?”

    “Engkau tidak sekalipun pernah berbohong, wahai al Amin. Engkau manusia paling jujur yang kami kenal”, jawab mereka mantap.

    Mendengar jawaban itu, Nabi tersenyum lantas berkata, “Oleh karena itu saudaraku, pada saat ini aku memberi berita penting kepadamu, bahwa aku ini utusan Allah, Rabb yang Esa, dan hanya Dia-lah yang patut disembah oleh umat manusia.”

    Mendengar da’wah ini, sebagian dari mereka ada yang langung percaya dan beriman, ada yang membisu ragu, ada yang marah-marah, mengumpat bahkan ada yang melempari Muhammad, seperti yang dilakukan Abu Lahab.

    Peristiwa ini memperlihatkan bahwa, sebenarnya mereka mengakui atas apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam karena mereka tahu Muhammad tidak pernah berbohong, namun penolakan itu karena mereka tidak mau merubah keyakinan lama, sebagai wujud arogansi kaum tua (seperti Abu Lahab dan kawan-kawan) untuk menerima ajaran baru dari orang yang jauh lebih muda (seperti Muhammad)

    Hikmah:

    Siapapun orangnya yang mau bertazdabur (mempelajari islam) secara kritis, kreatif, arif tanpa pretensi “permusuhan” hampir dipastikan akan mengakui keluhuran islam.

    Faktor ketidakmautahuan acapkali menimbulkan sikap curiga bahkan dihinggapi sikap islamo-phobia.

    Padahal agama islam itu rasional, tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila siapapun mau menyimak cermat, kritis dan arif terhadap islam ideal (yang bersumber Al-qur’an dan Hadits) niscaya dia akan dapat menangkap sinar keluhuran islam.

  16. Upaya pendekatan antara Syiah dan Suni sudah sering kali diadakan. Namun masih saja sebagian golongan Sunni yang masih menganggap Syiah sebagai umat yang lain. Sebenarnya upaya pendekatan tidak perlu dilakukan jika semua golongan mau belajar dan memahami sejarah Islam dari ribuan riwayat sahih yang beredar.

    Jika saja sebagian Sunni tersebut mau mempelajari dan memahami sejarah tersebut, mereka pasti paham dan mengenal baik akan keberadaan golongan Syiah sejak Nabi saw masih hidup, bukan setelah beliau wafat. Coba anda cari di Jagad Internet yang luas ini tentang jawaban persoalan di bawah ini:

    Abu Bakr dipandang sebagai sahabat terdekat Nabi saw oleh mayoritas Sunni, Lalu mengapa pada waktu “hari persaudaraan” saat pertama kali datang di Madinah, Nabi saw lebih memilih Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya dengan mengatakan “Kamu adalah saudaraku di dunia ini dan di akhirat nanti”. Atas dasar apa golongan Sunni menganggap Abu Bakr sahabat terdekat Nabi saw.

    Semua kaum muslim sepakat bahwa ajaran Islam mencakup dan menormai dalam segala aspek kehidupan, dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang amat besar. Kaum Sunni mengatakan masalah Imamah tidak dijelaskan oleh Qur’an dan sunnah, jadi sahabat berijtihad dalam masalah imamah. Jika benar Nabi saw wafat tanpa memberikan petunjuk apapun tentang Imamah pada umatnya, lalu mengapa Abu Bakr menyebutkan hadits “al-aimmah min al-Quraish” Para imam berasal dari kaum Quraish di Saqifah Bani Saidah. Apa Abu Bakr memalsukan riwayat Nabi saw? dan mengapa Abu Bakr memilih Umar sebagai penggantinya, dengan menyalahi sunnah Nabi saw yang tidak menjelaskan apapun tentang imamah.

    Dalam hadis-hadis sahih (Bukhari, Muslim, dll) Nabi saw menyatakan bahwa ”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.” atau “Agama (Islam) akan berlanjut sampai datangnya Sa’ah (Hari Kebangkitan), berkat peranan Dua Belas Khalifah bagi kalian, semuanya berasal dari suku Quraisy”. Bandingkan susunan 12 imam yang disusun golongan sunni dan Syiah?

    Kuat mana derajat kesahihan antara riwayat yang menyebutkan wasiat Nabi saw (biasa disebut hadits al-Thaqalain) untuk berpegangan pada al-Qur’an dan Sunnah dengan hadis yang memerintah kita semua berpegangan pada al-Qur’an dan Itrahnya (keturunannya)?

    Tuhan telah mengutus 124.000 utusan ke dunia ini, apa ada bukti bahwa semua peninggalan mereka akan menjadi sedekah bagi para pengikutnya? Jika Sunni menganggap demikian mengapa para Umm al-Mukminin tidak memberikan seluruh kepunyaan Rasulullah ke Pemerintahan Islam? Setelah wafatnya Rasulullah saw, Sayyidah Fatimah bertengkar dengan Abu Bakr mengenai Fadak, yang seharusnya menjadi miliknya dari warisan Nabi saw, Fatimah marah dan tidak akan berbicara dengan Abu Bakr sampai akhir hayatnya karena Abu Bakr tidak memberikan Fadak kepadanya. Kenapa Abu Bakr tidak memberikan tanah Fadak tersebut sedangkan Umar bin Abd Aziz saat menjabat sebagai khalifah mengembalikan kembali tanah Fadak ke keturunan Sayyidah Fatimah as?

    Jika anda melihat denah pemakaman Baqi’, anda akan mengetahui bahwa kuburan Uthman bin Affan terpencil dari makam sahabat lainnya. Bagaimana proses pemakaman khalifah ketiga Uthman bin Affan di luar Baqi’ (dulu)? Siapa saja sahabat besar yang bermusuhan dengan Uthman? dan siapa pemicu sebenarnya yang akhirnya membunuh Khalifah Uthman bin Affan? Aisyah bahkan menyebut Uthman sebagai Natsal, seseorang kafir yang harus dibunuh. Jika Sunni mengganggap Aisyah seorang yang benar berarti menerima julukan yang diberikan pada Uthman, dan jika Aisyah berkata dusta mengapa Sunni menganggap dia benar?

    Tuhan telah berfirman bahwa barang siapa yang membunuh seorang muslim dengan sengaja, hukumannya adalah laknat Tuhan dan balasan Neraka selamanya. Sejarah mencatat selama perang Shiffin dan Jamal, 70.800 kaum muslim telah terbunuh. Dimana posisi pembunuh saat itu? apakah ayat tersebut berlaku bagi mereka? Jika kaum muslim melawan khalifah yang sah dan menyebabkan kekacauan dan terbunuhnya ribuan nyawa kaum muslim, dimana posisi mereka saat Hari Pembalasan? Neraka karena Pembunuh atau Surga karena “Mujtahid Teroris”? … Yang pasti salah satunya salah, bukan benar semuanya. Jika anda jawab benar semuanya, APA KATA DUNIA!!!

    Apa sebenarnya arti dari kata “Mu’awiyah”, dan siapa sebenarnya ayah dari Muawiyah dan cerita sebelum kelahirannya, dan menurut al-Nasai, hanya ada satu hadis sahih yang menceritakan keutamaan Muawiyah, hadis apakah itu? Baca juga kisah menyedihkan wafatnya al-Nasa’i karena hadith tersebut.

    Biasanya Golongan Sunni menuduh bahwa Syiahlah yang membantai Imam Husayn as beserta para pengikutnya, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mayoritas Sunni yang jumlahnya lebih banyak dari Syiah tidak menolong Imam Husain as? Dimana posisi Sunni ketika terjadi pembantaian cucu Nabi saw, Imam Husayn as?

    Ingat, kebenaran itu harus dicari dan dipertahankan, bukan sesuatu yang dijejalkan langsung ke akal kita.

  17. Bagaimana Lahirnya Golongan Syi’ah?

    Setelah dengan jelas kita telusuri sejarah munculnya faham Tasyayyu’ dan mendapat pemahaman yang gamblang dan rasionil tentang faham tersebut, maka kita menginjak kepada pembahasan kedua, yaitu dengan mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana gdongan yang dikenal dengan nama Syi’ah dan bagaimana proses terbelahnya ummat Islam menjadi dua golongan sejak awal muncul masyarakat Islam itu terbentuk.

    Sebagai jawabannya, jika kita telusuri periode pertama dari kehidupan umat Islam pada zaman Nabi, kita akan menemukan adanya dua garis pemikiran utama yang sangat bertolak belakang dan juga muncul berbarengan dengan timbulnya masyarakat Islam. Perbedaan antara keduanya telah mengakibatkan timbulnya beberapa perbedaan ideologis saat Rasul menemui Kekasihnya. Yang mana ideologi itu melahirkan perbedaan garis politik antara dua kubu yang kemudian cenderung membentuk dua blok atau partai politik dalam tubuh masyarakat Islam. Lalu salah satunya berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan yang mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya, kubu lain yang tidak berhasil cenderung menjadi kelompok minoritas yang eksklusif dan tersudutkan di tengah-tengah masyarakat yang tidak mendukung bahkan memusuhi mereka. Kelompok minoritas tersebut adalah Syi’ah.

    Dua kubu utama yang sama-sama menyertai masa lahirnya dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman Nabi ttu sebagai berikut:

    – Haluan pertama: menerima secara mutlak keputusan dan perintah agama tanpa pamrih, tanpa mengutamakan ide sendiri atas ketentuan tersebut dan menghayati serta meyakini hukum dan penyelesaian agama terhadap segala aspek kehidupan.

    – Haluan kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan iman kepada agama tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek setiap masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam segala segi kehidupan.

    Para sahabat, di samping selaku generasi mukmin dan cemerlang, mereka juga merupakan generasi yang teristimewakan dan ikut berpartisipasi mensukseskan proyek pelancaran risalah. Sampai saat ini sejarah belum pernah membukukan dan membuktikan adanya sebuah generasi yang lebih handal dan hebat daripada generasi yang telah diciptakan oleh Rasulullah SAWW. Sekali pun kenyataan mereka itu demikian, akan tetapi adalah logis bila kita beranggapan bahwa sejak masa hidup Rasul, telah terlihat adanya dua garis pemikiran yang senang dengan pendapat pribadi yang mereka gunakan bila kepentingan menuntut dan memaksa mereka untuk menanggalkan hukum dan ketetapan agama yang telah tertera dalam nash-nash. Rasulullah seringkali terbentur bahkan terganggu aktifitasnya akibat ulah dan pota pemikiran ini. sampai-sampai ketika beliau sudah terbaring di atas ranjang terakhirnya. Di samping itu, kita juga harus mengakui ada – pada masa hidup Rasul – yang menerima dan sama sekali percaya sekaligus merealisasikan setiap ketentuan agama dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik ibadat, dogma, politik, pemikiran dan lain sebagainya.

    Mungkin faktor utama dari berkembang dan tersebarnya pengaruh pemikiran ijtihad (bir ra’iy) di kalangan muslimin adalah garis dan pola pemikiran seperti ini yang sedikit banyak bersatu dengan naluri kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak sesuai dengan kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar perintah dan dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti maksudnya.

    Garis pemikiran ini dipelopori dan disponsori oleh beberapa sahabat senior seperti Umar bin Khattab yang terkenal nekad menegur dan mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu) dan mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan dengan teks ketetapan agama. Atas dasar alasan dan anggapan yang tampaknya rasionil bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan sendiri beberapa urusan yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama dengan penyelesaian yang telah diajarkan agama.

    Kenyataan ini terlihat dalam sikapnya yang kontroversial dalam menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah dan kritiknya yang tegas terhadap resolusi per­damaian yang disepakati dan ditanda tangani deh Rasul dan langkahnya yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya ‘ala khairil ‘amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan deh Rasulullah SAWW. la juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan hukum modern dan menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan meniadakan Hajji Mut’ah (Tamattu’) dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang tak asing lagi bagi kita.

    Dua aliran pemikiran yang sangat berbeda itu pernah bertemu dan tertumpah secara kebetulan di satu tempat dan wadah pada hari terakhir hidup Nab). Bukhori telah meriwayatkan dalam sahihnya dari Ibnu Abbas. Ia berkata:

    Ketika Rasulullah hampir wafat sedangkan di rumah beliau terdapat beberapa orang termasuk Umar bin Khattab, beliau bersuara: “Mari kutuliskan untuk kalian sebuah pusaka (yang jika kalian mengikutinya), maka kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya”.

    Tiba-tiba Umar berseloroh:

    “Penyakit Nabi itu sudah terlalu parah sehingga beliau mengigau, apa perlunya tulisan itu sedangkan Al Quran ada di sisi kalian. Sudahlah, Al Quran itu sendiri cukup sebagal pedoman bagi kita”.

    Pernyataan Umar ini akhirnya mengundang keriuhan dan perselisihan pendapat di antara orang-orang yang berkerumun menengok Rasul yang sedang terbaring sakit. Sebagian berkata:

    “Berikan! Beliau hendak menuliskan sebuah pedoman untuk kalian yang akan dapat menyelamatkan kalian kelak.”

    Sebagian yang lain mendukung Umar menolak memberikan secarik kertas kepada Nabi Besar Muhammad SAWW. Selang beberpa saat, rumah Rasul tersebut berubah menjadi ajang perang mulut antar sahabat yang berkerumun mengelilingi beliau. Akhirnya, Nabi dengan kesal mengusir mereka:

    “Ayo Enyahlah kalian!”

    Begitu perintah Rasul.

    Tragedi bersejarah ini dengan jelas membuktikan dan menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya perbedaan antara dua gdongan adalah peristiwa perselisihan dan cekcok yang muncul akibat dari penunjukkan Rasul kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai Panglima devisi perang, padahal penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung dari Nabi yang tak dapat ditolak. Sampai-sampai beliau bangkit dari ranjang dengan memaksakan tubuhnya yang sudah lemah-lunglai untuk keluar dari rumah dalam keadaan sakit. Beliau mengeluh kesal di hadapan pengikutnya:

    “Wahai ummat! Desas-desus apa yang aku dengar tentang penunjukkan Usamah (sebagai panglima perang)? Tetapi mengapa dulu kalian tidak menolak penunjukkan ayahnya sebagai panglima. Demi Tuhan! Ia pantas dan mampu memegang jabatan panglima!”

    Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan pada masa hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimpinan imam setelah Nabi

    Orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa adanya nash dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan sebab dan dasar prinsip yang mengharuskan seorang muslim agar menerima secara mutlak segala macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan gagasan sendiri karena beberapa pertimbangan kepentingan di samping kondisi dan situasi yang ada (ini menurut logika dan pola pemikiran mereka tentunya).

    Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa golongan Syi’ah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup Rasul yang beranggotakan orang-orang muslim yang secara praktis telah mematuhi dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah Rasul. Dan haluan yang berfaham Syi’ah kemudian lebih menjelma dalam kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dari sikap protes dan menolak keputusan yang telah diambil pada sidang darurat Saqifah Bani Saidah yang telah membekukan fungsi pim­pinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya kepada orang lain.

    Ath-Thabarsi dalam buku Al-Ihtijaj membawakan sebuah riwayat dari Aban bin Taghlib. la bertanya kepada Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq a.s.:

    “Kujadikan diriku tebusan darimu. Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para sahabat Rasullah?”

    Imam menjawab: “Ya. Dua betas orang dari kaum Muhajirin yang menolak; mereka itu adalah Khalid bin Said bin Abi Al-’Ash, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad bin Al-Aswad, Ammar bin Yasir, dan Buraidah Al-Aslami. Dan dari pihak Anshar adalah Abul Haitsam bin At-Taihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin Tsabit Dzus-syahadatain, Ubay bin Ka’ab dan Abu Ayyub Al-Anshari”.

    Mungkin anda atau siapa pun saja ingin mengatakan hal ini, yaitu jika memang benar haluan Syi’ah itu adalah yang teguh menerima ketetapan secara mutlak dan menerapkannya dalam bentuk praktek kehidupan mereka dan bahwa haluan yang lain lebih mengutamakan pikiran sendiri daripada menerima secara mutlak ketentuan agama, maka ini berarti haluan nash lebih picik dan tidak menggunakan akal sehat. Padahal selama ini haluan dan golongan Syi’ah menggunakan ijtihad dalam syari’at amat sering.

    Jawabannya adalah ijtihad yang dibenarkan bahkan terkadang wajib (kifayah) yang digunakan adalah ijtihad yang mempunyai definisi menyerap suatu hukum dari nash dan ketetapan syar’i. Tapi dalam kamus mereka ijtihad itu bukanlah menggunakan pikiran sendiri daripada menerima suatu ketetapan yang jelas dari agama. Dan ijtihad itu tidak hanya digunakan atas dasar ingin mencapai tujuan dan memperoleh keuntungan pribadi sendiri. Ijtihad demikianlah yang tidak dibenarkan. Sebab ini bertentangan dengan keputusan agama. Dan Syi’ah menolak hak wewenang ijtihad yang demikian. Dan yang kita maksudkan kandungan misi risalah yang baru. Bertindak dari sini kita dapat ketahui bahwa garis pemikiran yang berorientasi kepada nash itu adalah golongan yang lebih menghayati risalah dan menerimanya secara menyeluruh sekaligus tidak menolak fungsi ijtihad selama ijtihad tersebut tidak berten­tangan dengan nash dan selama ijtihad itu bersumberkan hukum syari’at yang sudah ada. Patut diketahui bahwa sikap menerima sepenuhnya ketetapan nash tidak berarti picik dan kedangkalan berfikir yang tidak peduli akan perkembangan dan tuntutan-tuntutannya serta bertentangan dengan faktor-faktor yang dapat menunjang kemajuan dan program pembaharuan yang beraneka warna terhadap kehldupan manusia.

    Maka sikap menerima nash agama mutlak, artinya bertindak atas dasar tuntutan dan ketetapan agama tanpa memilih-milih yang kelihatan ringan. Padahal agama itu adalah selaras dengan kelembutan dan berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta mencakupnya segala macam corak dan ciri kemajuan dan pem­baharuan. Maka bersikap menerima secara mutlak setiap ketetapan agama berarti bersikap menerima segala macam faktor yang dapat menunjang kemajuan. termasuk kreatifitas dalam menciptakan sesuatu yang baru, melakukan pembaharuan terhadap beberapa pemikiran dan gagasan, dan seterusnya.

    Ini semua merupakan garis besar dari penafsiran tentang Syi’ahisme sebagai suatu fenomena dan pemandangan yang logis dan lazim dalam ruang lingkup program dan strategi pengembangan dakwah serta penafsiran tentang timbulnya gdongan Syi’ah sebagai refleksi dan cermin jari fenomena yang alami tersebut.

    Dan kepemimpinan Ahlul Bayt serta Ali yang merupakan fenomena logis itu mempunyai dua fungsi utama dalam teori kepemimpinan. Fungsi pertama selaku Pemimpin dalam bidang pemikiran budaya dan intelektual, dan fungsi kedua sebagai pembimbing dan arkitek projek perombakan dalam bidang sosial. Kedua fungsi kepemim­pinan itu bersatu dan tertumpah dalam satu wadah yang terjelma dalam pribadi Nabi. Kemudian setelah meneliti secara seksama situasi dan kondisi yang ada, beliau mempersiapkan seorang kader handal yang mampu berfungsi sebagai pemimpin dari keduanya secara sempurna, sehingga fungsi kepemimpinan intelektual dapat mengisi kekosongan yang ada pada pola berfikir masyarakat. Sekaligus Rasul bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan sebagai jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema-problema pemikiran dan kehidupan serta menerapkan satu demi satu nllai-nilai dan pikiran-pikiran yang tersirat dalam AI-Qur’an yang sangat rumit dan kurang jelas yang mana Kitab suci tersebut merupakan sumber utama dan khazanah bagi pemikiran dan intelektual Islam di samping agar supaya kepemimpinan sosial berfungsi meneruskan perjalanan Islam di atas garis target sosialnya.

    Dan kedua fungsi kepemimpinan tersebut terdapat pada Ahlul Bayt sesuai dengan kondisi yang telah kita pelajari atas dasar nash-nash Nabi yang telah menekankan hal tersebut berkali-kali. Contoh utamanya ialah nash-nash Nabi tentang kepemimpinan intelektual seperti hadisTsaqalaian Rasulullah yang berbunyi demikian:

    Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka penting(as-saqalain); yaitu Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus dari langit hingga ke bumi dan yang kedua adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul Baytku. Dan bahwa keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi masing-masing sampai keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Oleh karena itu lihatlah kelak bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan melanggarnya. (AI-Hakim dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat).

    Dan contoh utama dari fungsi kepemimpinan sosial adalah hadis Al-Ghadir yang dibawakan oleh Ath-Thabrani dengan sanad (rantai urutan perawi) yang shahih dari Zaid bin Al’arqam. Ia berkata:

    “Rasulullah pernah berpidato di daerah Ghadir Khum di bawah pohon, beliau bersabda: “Wahai manusia! Aku akan diminta pertanggungjawaban dan begitu juga kalian. Lalu bagaimana kalian mengatakan dan menanggapi ini semua!”

    Para sahabat serentak menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah berjuang dan telah menasehati, maka semoga Allah membalas jasa kebaikanmu dengan kebaikan pula”.

    Lalu beliau meneruskan dan bersabda: “Bukankah kalian bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, surga dan neraka-Nya adalah benar dan nyata, mati itu benar, saat kiamat itu pasti tiba dan bahwa Allah akan membangkitkan setiap orang yang terpendam dalam kubur?”

    Mereka serentak menjawab: “Ya! Kami bersaksi demikian”.

    Lalu beliau melanjutkan lagi: “Ya Allah! Saksikanlah”. Selanjutnya bersabda kepada hadirin: Wahai ummat! Allah adalah Pemimpin dan Kekasihku, dan aku adalah pemimpin setiap mukmin dan aku lebih utama (awla) dan lebih berhak atas diri kalian sendiri. Maka, barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka orang Ini (Ali disebelah beliau) adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah! Cintailah setiap orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya!”

    (Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh tabi’in. Dan dari penghafal hadis abad kedua sekitar enam puluh orang. Dan juga tercatat secara rinci dalam kitab Al-Ghadir dalam sebelas jilid).

    Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa kedua nash dan hadisRasul tersebut telah menyerahkan dua fungsi dan wewenang kepada Ahlul bait. Dan yang berpegang teguh kepada nash dan ketetapan Rasul dalam hal dua hak wewenang kepemimpinan itu adalah termasuk golongan muslim yang mengikuti dan menganggap Ahlul Bait bagi pemimpin dan tempat kembali mereka. Seandainya fungsi pimpinan sosial bagi setiap imam itu mempunyai pengertian bahwa mereka memimpin dan berkuasa dalam hidupnya, maka fungsi kepemimpinan intelektual dan pemikiran budaya adalah kenyataan yang tak dapat dibantah terlepas dari kehidupan sosial politiknya sebagai pemimpin dalam hidupnya. Dari sini kita dapat melihat kenyataan tersebut dalam setiap waktu. Karenanya, selama Muslimin membutuhkan suatu pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara, pasti mereka memerlukan adanya kepemimpinan intelektual yang jelas pula dan itu ditetapkan Allah sendiri melalui lidah Rasul yang terjelma dalam:

    1. Kitab Suci Al Quran.

    2. Itrah yang bebas dari dosa dan Ahlul Bayt Rasul.

    Keduanya tidak dapat dipisahkan atau diambil salah satu darinya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi.

    Adapun garis pemikiran lain dari golongan muslimin yang ijtihad dijadikan dasar pemikiran daripada mengikuti nash dan ketentuan agama secara mutlak, maka tokoh-tokoh senior pemikiran ini sejak Rasul wafat telah berhasil mengambil alih kekuasaan dan menyatakan berfungsi sebagai pemimpin sosial politik secara operasional dan dikelola oleh kaum Muhajirin yang bergaris politik lunak dan selalu berubah mengikuti kemajuan dan pertimbangan strategis serta memantau kondisi dan situasi yang ada.

    Atas dasar pemikiran inilah Abu Bakar mengambil alih kekuasaan begrtu Rasul menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menggunakan Saqifah Bani Saidah sebagai Sidang Parlemen Sementara dan ajang perebutan sengit kekuasaan antara Muhajirin dan Anshar yang terbatas bagi beberapa gelintir orang dari kedua golongan tersebut kemudian rekan sejatinya (Umar) menggantikannya atas perintah mendiang Abu Bakar, lalu tongkat estafet khilafah diambil oleh pengganti ketiga Utsman bin Affan atas dasar penunjukkan tertentu dan hanya terbatas bagi enam orang yang telah ditunjuk secara pribadi oleh Umar bin Khattab.

    Akhirnya sikap lunak ini yang lewat tiga abad sejak masa wafat Rasul telah berhasil menciptakan malapetaka terbesar sepanjang sejarah Umat Islam dengan kemballnya khilafah dan kekuasaan kepada orang-orang Islam mu`alaf dan para bekas musuh Rasul yang kemudian disihirnya menjadi pewarisduniawi dan kerajaan monarki yang pindah dari anak ke cucunya, dari saudara ke adiknya dan tamatlah riwayat khilafah yang selama ini dielu-elukan oleh Muslimin.

    Inilah kenyataan yang tragis dari orang-orang yang sebenarnya tidak berhak dan tidak mampu menjabat sebagai pemimpin sosial politik. Lain halnya kenyataan dari fungsi kepemimpinan intelektual budaya, sebab sulit rasanya kita mengatakan bahwa mereka yang berkuasa dalam bidang politik sosial juga berfungsi secara nyata sebagai pemimpin intelektual dan pemikiran setelah kita ketahui bersama bahwa ijtihad dan kecanduan menggunakan pikiran sendiri telah mencabut hak wewenang Ahlul Bayt sebagai pemimpin politik sosial secara operasional dan praktis, sebab akibat dari itu semua adalah terciptanya kondisi obyektif yang menunjang kepemim­pinan mereka sebagai pemimpin dan penguasa. Adapun sebab dari keberatan kita untuk beranggapan bahwa mereka yang berhasil mengambil alih kekuasaan dan pimpinan politik sosial secara operasional telah berfungsi sebagai pemimpin Intelektual dan budaya, adalah fungsi kepemimpinan Intelektual berbeda dengan fungsi kepemimpinan polttik sosial. Bila seorang khallfah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan men­jadi panutan pemikiran atas dasar Al Quran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbuktl bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bayt a.s. dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nash serta bukti-bukti yang sudah ada.

    Oleh karena itu, fungsi kepemimpinan intelektual budaya lebih penting daripada fungsi kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin intelektual – tidak dengan formal – karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai khalifah kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah intelektual. la selalu berkata:

    “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya.“

    Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlul Bayt Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang pemikiran, dan sebaliknya mereka sedikit demi sediktt memandang Ahlul Bayt sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam. Sikap ini telah memproses mereka menjadi tidak lagi membutuhkan pemimpin intelektual dari Ahlul Bayt dan mengambil pikiran sendiri sebagai gantinya. Dan bukan sang khalifah sebagai pengganti pemimpin in­telektual Ahlul Bayt secara tunggal tapi hak kepemimpinan ini mencakup seluruh sahabat. Dan selanjutnya mereka muncul sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pemikiran dan mereka mengucapkan “selamat tinggal” kepada rombongan Ahlul Bayt yang telah ditunjuk secara sah sebagai pemimpin intelektual di samping pemimpin sosial-politik, sebab para sahabat adalah generasi yang hidup bersama Rasul dan mengikuti setiap langkah dan perkembangan missinya serta menghayati dan mematuhi tuntutan sabda dan Sunnah beliau.

    Secara praktis nyata bahwa Ahlul Bayt kehilangan fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pudar di tengah-tengah para sahabat, dan mereka berstatus tidak lebih sebagai seorang sahabat Rasul saja yang semuanya berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin intelektual. Dan sebagaimana yang telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan men­ganggap lebih konsekwen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.

    Saya katakan bahwa sebagai akibat dart perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam, yang merupakan cermin dari pelbagal pertikaian yang terjadi antar kalangan pemimpin sendiri yang berhaluan ijtihadi.

    Kekeliruan Memandang Tasyayyu’

    Sebagai penutup, perlu saya jelaskan suatu hal yang sangat penting, yaitu sebagian dari cendikiawan modern ktta berusaha dengan penuh semangat membedakan dan membagi Syi’ahisme atau Tasyayyu’ menjadi dua macam:

    1. Tasyayyu’ Ruhi Maknawi (Syi’ah dalam moral dan spiritual);

    2. Tasyayyu’ Siasi (Syi’ah dalam masalah soslal politik).

    Dan mereka juga dengan susah payah ingin membuktikan bahwa Ahlul Bayt sejak setelah pembantaian Imam Husein dan keluarga serta sahabatnya di padang Karbala telah meninggalkan aktifitas politik, sebaliknya mereka menyibukkan diri dengan berkhalwat dan beribadat serta memberi wejangan dan nasehat kepada masyarakat.

    Tasyayyu’ sejak lahir tidak pernah tergambar sebagai garis haluan spiritual saja tetapi ia lahir sebagai konsep yang telah dicanangkan Rasul demi kelancaran dakwah di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah Rasul wafat baik dalam segi intelektual ataupun dalam segi politik sosial secara sama rata, sesuai dengan kondisi yang telah memproses timbulnya faham itu.

    Dan atas dasar yang telah kita pelajari di atas, kita tidak menemukan adanya perbedaan antara Syi’ah spiritual dan Syi’ah politik dalam konsep Tasyayyu’ secara utuh, mengingat kedua hal penting itu tidak terpisah dari Islam secara utuh.

    Dengan demlklan ktta dapat memastikan bahwa Tasyayyu’ adalah konsep yang disajikan guna menjaga kelancaran dakwah setelah Nabi. Masa depan yang memerlukan adanya suatu pimpinan intelektual dan soslal politik dalam rangka menelusuri perkembangan Islam secara serentak.

    Dan sejak semula sudah terdapat orang-orang yang mendukung kepemimpinan Ali sebagal individu satu-satunya di tengah-tengah masyarakat Islam yang mampu memainkan peranan khalifah dan melanjutkan kepemim­pinan dari ketiga orang yang telah mendahululnya. Rasa hormat dan simpati itulah yang mendorong hati masyarakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya setelah Utsman bin Affan tewas terbunuh. Rasa cinta mereka itu bukanlah Syi’ahis yang bersifat spiritual ataupun politik. Sebab Tasyayyu’ adalah rasa yakin dan iman bahwa Ali adalah pengganti secara langsung kepemimpinan Rasulullah. Tasyayyu’ mempunyai ruang lingkup dan pengertian yang lebih luas dari itu semua. Tasyayyu’ adalah sikap mendukung Ali secara menyeluruh sebagai pemimpin setelah Rasul. Maka tidak dapat kita seenaknya membagi Tasyayyu’ menjadi dua pengertian saja secara terpisah.

    Kita ketahui bahwa diantara para sahabat besar ada yang mendukung dan berfaham Syi’i dalam segi intelektual dan politik sosial seperti Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, dan lain-lain. Tapi sikap mengikuti secara mutlak atau Tasyayyu’ mereka tidak terbatas pada segi sosial politik saja. Tetapi mereka beriman secara sempurna bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti Rasul dan pengemban dakwah setelahnya dan berfungsi sebagal pemimpin intelektual dan politik sosial. Sikap iman mereka dalam hal intelektual dan pemikiran tercermin dalam Tasyayyu’ spiritual mereka yang telah kita jelaskan tadi.

    Adapun sikap mengikuti dan iman mereka dalam soslal politik, itu tersirat dalam sikap protes terhadap kepemimpinan dan khalifah Abu Bakar dan partai berkuasa yang telah mengambil hak kekhilafahan Ali.

    Sebenamya pendapat yang memisahkan Tasyayyu’ moril dari Tasyayyu’ politik tidak timbul dan dihasilkan oleh logika seorang yang merasa dirinya sebagai seorang syi’i. Lontaran ini mereka keluarkan akibat dari rasa putusasa dan apatis melihat kenyataan yang ada di hadapannya dan merupakan pengamh dari jiwa dan semangat Tasyayyu’ yang mulai luntur dan lenyap yang tidak lagi melihat Tasyayyu’ sebagai konsep yang dipaparkan untuk melanjutkan kepemimpinan Islam dalam rangka membina ummat dan menyempumakan target perombakan besar-besaran yang telah digariskan Rasul yang akhirnya condong surut dan berubah menjadi ajaran dan bibit ideologi yang tersimpan di dalam lubuk hati dan menjadikannya sebagal tongkat dan pembimbing dalam mencapai cita-cita dan angan-angannya saja.

    Dari sini kita dapat menyadari mengapa sampai para imam dari keluarga Rasul dan Cucu Husein a.s. meninggalkan gelanggang sosial politik dan memisahkan diri dari dunia dengan semua keributan dan romantikanya yang bermacam-macam. Kita lihat Tasyayyu’ yang merupakan konsep pengembangan dakwah dan pelanjut kepemimpinan Islam dan bahwa manifestasi (misdaq) dari kepemimpinan Islam itu adalah aksi perombakan yang telah diprakarsai demi penyempurnaan upaya membina umat atas dasar prinsip dan ajaran Islam. Jika itu semua kita sadari, maka tidak mungkin kita akan beranggapan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul tidak lagi memperhatikan segi sosial politik. Sebab dengan tidak memperhatikan segi ini berarti mereka tidak antusias kepada Tasyayyu’ itu sendiri. Dan ini anggapan nihil bahwa para imam itu meninggalkan kancah sosial politik itu berdasarkan alasan bahwa para imam tersebut tidak lagi mengangkat senjata dan tidak mengadakan aksi pemberontakan militer dalam menanggapi situasi yang ada pada saat itu. Anggapan seperti ini adalah cermin kepicikan dan keterbatasan dalam memahami dan mengartikan aktifitas politik sebagai aksi pemberontakkan militer dan angkat senjata saja.

    Dan kita mempunyai nash dan data otentik yang banyak dari pada imam yang menunjukan bahwa para imam selalu siaga dan siap terlibat dalam aksi militer bila terdapat di sisi mereka pendukung dan pengikut-pengikut yang berani dan setia di samping bila ada kekuatan yang dapat menjamin tercapainya cita-cita Islam melaiui aksi militer tersebut.

    Jika kita selalu memantau dengan teliti perjalanan gerakan Syi’ahisme kita akan berkesimpulan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul berpandangan bahwa menerima tampuk kekuasaan dengan sendirinya tidak dapat menunjang dan menciptakan perombakan secara Islami, hal ini akan tercapai bila kekuasaan tersebut didukung dan dibangun atas dasar pondasi dan pangkalan yang kokoh serta sadar akan tujuan dan cita-cita kepemimpinan dan yakin akan kebenaran teori itu serta menjelaskan sikap mereka kepada masyarakat di samping mereka harus tabah menghadapi resiko penekanan dan intimidasi dari luar dan dalam.

    Pada pertengahan abad pertama setelah wafatnya Rasul tokoh-tokoh yang didukung oleh masa – sejak pengambilalihan kekuasaan dari pihak yang kompeten – selalu berusaha mengambil kembali kekuasaan dengan cara yang mereka anggap benar, sebab mereka masih yakin adanya tonggak-tonggak masa yang sudah sadar atau sedang menuju kearahnya balk dan pihak Muhajirin Anshar rnaupun dari pihak tabi’in. Tapi setelah berjalan lebih dari setengah abad dan setelah rasa optimisme itu larut sendiri dikalangan mereka ditambah dengan hadirnya generasi-generasi loyo dl tengah-tengah arus penyelewengan yang melanda pada saat itu. Setelah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apabila gerakan Syi’ah menerima kekuasaan pun itu tidak akan membuahkan hasil dan mewujudkan cita-cita yang diidamkan, karena tidak didukung dengan adanya pangkalan dan tonggak-tonggak masa yang sadar dan siap untuk berkorban. Menghadapi kenyataan ini diperiukan dua tindakan:

    1. Bertindak demi terciptanya tonggak dan sendi-sendi rakyat yang sadar sehingga dapat menyiapkan saat yang tepat dan menguntungkan untuk mengambil kembali kekuasaan.

    2. Menggerakkan dan menghidupkan nurani dan emosi umat Islam serta menjaga semangat dan nurani tersebut, sehingga dapat melindungi mereka dari segala macam sikap lunak yang bisa menjatuhkan harga diri dan identitas mereka selaku umat Islam dari pihak penguasa yang zalim.

    Tindakan pertama adalah tugas yang telah dijalankan den para imam dengan sendirinya. Dan tindakan kedua adalah tugas yang harus dilakukan oleh beberapa tokoh dan kader revolusioner alawi yang selalu rajin – dengan pengorbanan yang tidak sedikit – melindungi nurani dan semangat jiwa Islami. Dan sebagian orang mukhlis daripada mereka mendapat dukungan moril dari para Imam.

    Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. pernah berkata kepada Khalifah Ma’mun – ketika beliau mengenang jasa mulia Zaid bin Ali Zainal Abidin -: “Ia adalah termasuk dari pada cendekiawan-cendekiawan keluarga Muhammad. Ia murka dan marah hanya karena Allah lalu berjuang melawan musuh-musuh-Nya hingga tewas dijalan-Nya. Aku pernah diberitahu Ayahku Musa bin Ja’far bahwa ia dari ayahnya Ja’far berkata: Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada pamanku Zaid. la meminta kerelaan dan restu dari pihak keluarga Muhammad kemudian ia berhasil dan Allah penuhi permohonannya. la berkata:

    “Saya mengajak kalian agar rela akan keluarga Muhammad:” (Wasa’il As-Syi’ah Kitab al-Jihad).

    Akhimya kita ketahui bahwa tindakan dan sikap para imam meninggalkan aksi militer dan pemberontakan fisik secara langsung melawan penyelewengan-penyelewengan itu tidak berarti mereka meninggalkan secara menyeluruh fungsi segi sosial politik serta memisahkan diri dari urusan kekuasaan dan cita-cita mengambilnya kembali lalu hanya sibuk berkhalwat dan melakukan ibadah ritual, tapi sikap demikian ini menggambarkan dan menandakan perbedaan yang menyolok antara konsep tindakan yang berkenaan dengan masalah sosial politik yang dttentukan oleh kondisi objektif dan ditunjang dengan pemahaman yang mendasar tentang esensi dan kandungan yang ada pada tindakan dan aksi perombakan serta metode dan cara mewujudkannya dalam bentuk yang hadir dan terjelma dalam realitas.

  18. ADAKAH sesuatu yang jelas yang tidak bisa lagi digugat atau ditolak? Pertanyaan ulangan sepanjang ribuan tahun. Klasik dan kuno. Kata Thabatabai, “Tidak setiap yang kuno itu ketinggalan jaman”. Banyak dari yang kuno-kuno yang selalu menghadirkan kebaruan tanpa kehilangan kekunoannya. Barangkali bukan sebuah keterlaluan menyebut pertanyaan itu bagian dari yang kuno tapi baru. Di sinilah terungkap satu arti keunikan. Kita akan temukan pertanyaan tersebut sampai dalam sederetan karya terakhir era sekarang. Dan, ukuran ‘sepanjang ribuan tahun’ dimulai hitungannya dari abad ini sampai epik Gilgamesh itu ditulis.

    Kalau saja sejenak diseriusi, mungkin tidak sejenak kita memikirkannya. Di Baghdad, Al-Ghazali pernah melakukannya. “Batinku tergugah untuk mencari fitrah yang sesungguhnya, dan memeriksa kebenaran hakiki dari kepercayaan-kepercayaan yang diterima dengan cara taklid dari dua orang tua dan dua ustaz” . Ulama ini malah jadi mutahayyir, bimbang. Secara sungguh-sungguh dia meragukan dan pempersoalkan bukan hanya kepercayaan-kepercayaan agamanya yang diterimanya secara taklid dari orang tua dan ustaznya itu, tetapi juga segala sesuatu yang mungkin dipikirkannya. Ia sendiri menyebut kondisi ini da’, yakni penyakit yang mu’dhil, akut. Selama dua bulan merahasiakan dirinya sebagai skeptis hebat, sampai ia mensyukuri penyakit itu sebagai karunia besar. “Itulah nur yang Allah hidupkan dalam diriku”. Cara Al-Ghazali menemukan nur dan keyakinan kuat membuatnya menjadi ulama yang besar.

    Kalaulah tidak keberatan memakai metode Delthay, ada baiknya kita menyimak riwayat Al-Ghazali di atas tadi secara hermeneutis, yakni memasukkan dan menyatukan kesadaran kita ke dalam pengalamannya dan melihat diri kita layaknya dia kala itu. Tidak lagi sebatas membaca teks dan memahami maksud, tetapi berusaha meresapi dan menghayati pengalamannya tersebut. Jelas sekali, periwayatan di atas tidak cukup untuk hal ini. Tapi, ada yang bisa dimanfaatkan dari yang sedikit itu, setidaknya pertanyaan di atas. Maka, seandainya kita adalah Al-Ghazali, bagaimana kita menghadapi pertanyaan itu?

    Dengan cara hermeneutis ini, kiranya kita bisa memahami pertanyaan terdahulu sebagai persoalan kita sendiri, sekarang ini. Cara ini pula yang memperlihatkan keunikan pertanyaan itu, ia kuno tapi baru dan segar, setidaknya bagi orang-orang yang punya latar belakang keimanan yang sama dengan Al-Ghazali.

    Jika ada segenggam kesiapan, sisakan seujung jari untuk menghadapi kemungkinan da’ mu’dhil. Karena keimanan, seperti kata Kierkegaard, menuntut risk. Ini menjadi penting kalau dipandang sebagai imtihan. Meski begitu, tidak mesti kehilangan apa yang disebut Paul Tillich sebagai ultimate concern, tidak pula mesti berakhir pada Fideisme-nya Kierkegaard, karena ujian tidak sekadar memberikan satu-dua alternatif. No pain, no gain. Menguji berarti membukakan banyak jalan. Komit pada satu jalan yakni berani mengadapi resiko. Maka itu, memeriksa keimanan tampak sukar. Apapun kesukaran itu tidak berarti menutup segala kemungkinan. Sokeates bilang, “Hidup yang tak diuji tidak ada artinya”. Untuk itu, perlu –sekali lagi- kesiapan walau seujung jari. Apakah itu? Dalam sebuah judul bukunya, Tillich menyimpulkan, To be Courage.

    Menjajaki Kemungkinan

    Al-Ghazali menuturkan: “Sesungguhnya manusia yang tidak meragu niscaya tidak akan berfikir, tidak akan pula melihat kebenaran, maka ia hidup dalam buta, bimbang dan sesat. Tidak ada pintu keselamatan untuknya selain di dalam kemerdekaan”. Penuturan akan falsafah hidupnya yang dilirisnya dengan cara meragukan, sekali lagi, akan segala sesuatu.

    Ada kesepakatan yang tidak disengaja dari Sokrates. Bukankah dialektika dan maieutike techne-nya itu selaras dengan falsafah hidup Al-Ghazali ini. Meski begitu, harus diakui bahwa Sokrates menolak caranya menyikat sana sini, sampai-sampai meragukan segala sesuatu, apapun. Ia menyakinkan kita: “Hanya satu hal yang aku tahu, bahwa aku tidak tahu”.

    Menurut Socrates, ada kenyataan atau kebenaran yang tersisa di sepanjang usaha meragukan segala sesuatu, bahwa meragukan adalah tindakan; sesuatu yang nyata dan tidak bisa diragukan. Seandainya tindakan meragukan itu juga diragukan kenyataannya, maka tidak akan ada satu bentuk pun dari tindakan meragukan. Sokrates hendak menjelaskan bahwa skeptis sejati itu tidak pernah sejati. Penjelasan ini menyanggah tegas komentar Archelaues atas ungkapan Sokrates di atas. Archelaues mengatakan, “Adapun Aku, bahkan kata ‘Aku tidak tahu’ ini pun tidak bisa Aku pastikan”.

    Alih-alih mempertentangkan, masih ada sisa kemungkinan mengislahkan Al-Ghazali dengan Socrates, yaitu dengan menyatakan, “Aku bisa meragukan segala sesuatu kecuali (tindakan) meragukan ini”. Pernyataan ini mengingatkan kita pada diktum-nya Descartes; Cogito ergo sum. “Aku berfikir, maka Aku ada”. Ia ditahbiskannya sebagai kaidah fundamental kebenaran, setelah melalui delapan tahapan menjajal segala sesuatu untuk diragukan, termasuk kenyataan dirinya sendiri. Maka itu, ada sedikit perbedaan. Socrates dan pendahulu lainnya meragu dan berfikir untuk membuktikan adanya sisa kebenaran atau kenyataan pada diri mereka, sementara Descartes melakukan hal sama untuk membuktikan kenyataan dirinya sendiri kemudian selainnya.

    Kaidah Cartesian ini lebih menarik dan disoroti oleh banyak filsuf, karena –paling tidak- lebih mutawatir ketimbang pendahulunya. Tidak terlalu cepat membandingkan sanggahan Immanuel Kant. Berbekal dua belas kategori, forma, dan dikotomi noumena (realitas hakiki) dan fenoumena (yang tampak dari realitas hakiki), sebagaimana dalam Critique of Pure Reason, Kant mempermasalahkan kaidah itu. Baginya, ‘Aku’ yang terdapat dalam kaidah cartesian itu adalah kondisi niscaya dari pengalaman. maka itu, ia tidak diperoleh dalam pengalaman; ia merupakan ego transendental, bukan ego empiris. Oleh karena itu, kendati secara psikologis mungkin berfikir tentang ‘Aku’ sebagai substansi tunggal, kategori-kategori seperti; substansi dan kesatuan, tidak dapat diaplikasikan lalu menghadirkan pengetahuan dalam konteks ini. Karena fungsi kognitif ini berada dalam aplikasinya pada fenomena, bukan pada noumena.

    Dengan kata lain, jika Kant menyodorkan pilihan kepada Descartes, apakah ‘Aku’ yang Anda ketahui lewat kegiatan berfikir itu noumena ataukah fenomena? Kemungkinan besar ia menjawab yang pertama. Bahwa tindakan berfikir-ku menunjukkan diriku sebagai kenyataan hakiki (noumena). Inilah yang ditentang Kant. Berdasarkan filsafat kritiknya, noumena itu –meski diakuinya ada dan nyata- tidak bisa diketahui, karena struktur bangunan pikiran manusia –dalam rangka pengetahui- hanya dibekali forma (ruang dan waktu) serta 12 konsep dasar rasional (kategori). Dan, forma bersama konsep apriori ini hanya dapat berurusan –lewat intuisi indera- dengan tampakan-tampakan (fenomena) dari realitas hakiki, bukan dengan realitas hakiki (noumena) itu sendiri, karena bekal pikiran manusia tidak memadai untuk berhubungan (mengetahui) dengan yang belakangan ini. Jadi, manusia hanya dapat mengetahui dunia fenomena.

    Dengan begitu, hanya ada satu pilihan kita memahami ‘Aku’ dalam kaidah cartesian, yaitu ‘Aku’ fenomenal (empirikal). Ini artinya kita tidak mengetahui ‘Aku’ yang hakiki dan sejati. Di sini Kant menegaskan bahwa tidak ada alasan yang bisa meloloskan pikiran kita berhubungan dengan dan mengetahui ‘Aku’ noumenal.

    Untuk mencermati ‘Aku’ secara lebih dalam, perlu dibahas pula ihwal kaidah Cartesian itu dari sisi ‘berfikir’. Yang bisa kita mengerti dari berfikir ialah tindakan ‘Aku’. Tindakan ini adalah realitas. Jelas, realitas ini berbeda dengan realitas atau afirmasi sebagai dua kategori Kant. Dimanakah akan ia tempatkan? Alih-alih ia mengatakan tidak ada tempat dalam pikiran, justru realitas berfikir ini –setidaknya- salah satu kasus yang tidak tunduk pada supremasi kategori Kant.

    Kalau pun Kant menafsirkan ‘Aku’ noumenal itu hanya sebagai subjek logika atau sebatas term dalam proposisi “Aku berfikir maka Aku ada”, ini artinya tidak ada sentuhannya dengan realitas hakiki. Masalahnya menjadi serius manalaka Kant memberikan penjelasan dan keterangan mengenai hal ihwal ‘Aku’ noumenal, padahal ia sendiri percaya bahwa noumena itu, apapun ia, tidak bisa diketahui. Bagaimana sesuatu yang tidak bisa diketahui tapi dijelaskan, diterangkan dan difahamkan? Tidak begitu jelas apakah Kant hendak menyelaraskan dirinya dengan sang sofis, Georgias, yang menyatakan, “Sesuatu itu tidak ada. Seandainya ada sesuatu, niscaya tidak akan bisa diketahui. Kalau pun bisa ia bisa diketahui, niscaya tidak akan bisa diinformasikan”, mengingat itikad baiknya dalam menyelamatkan Metafisika. Namun begitu, tidak juga berlebihan tatkala sebagian menilai usahanya sebagai succes de scandale. Pernyataan ‘noumena itu ada tapi tidak bisa diketahui’ membawa kita pada lembaran-lembaran pertama Tractatus-Logico Philosophicus. Di sana, Ludwig Wittgenstein menegur kaum skeptis,…. Barangkali kaidah terakhirnya di buku itu jadi coup de grace yang melesak tepat di titik awal pembukaan kisah indah Kant mengenai noumena, bahwa “Terhadap apa saja yang tidak bisa dikatakan semestinya diam”.

    Sesungguhnya ‘Aku’ nomenal dan ‘Aku’ fenomenal tidak mesti digariskan secara horizontal dan vis-a-vis. Tapi, memetakan keduanya secara vertikal sama artinya mengasumsikan adanya hubungan konsisten di antara keduanya. Adakah kemungkinan Kant mengakui hubungan demikian ini antara noumena dan fenoumena? Jawaban Kant bisa kita tunggu tatkala ia dihadapkan pada pertanyaan, Anda yang mengulas kritis ‘Aku’ noumenal, dengan perangkat apa Anda memperlihatkannya sebagai realitas hakiki yang tidak bisa diketahui? Tampaknya, tidak ada yang perlu diajukan olehnya, karena pikiran manusia punya dua intuisi; intusi inderawi/empiris yang menangkap fenomena dan intuisi murni/formal yang menyediakan secara apriori dua forma dan dua belas kategori. Oleh karena ini, Kant hanya memberikan satu kemungkinan untuk pertanyaan di atas, bahwa ‘Aku’ sebagai realitas hakiki tidak dapat diketahui kecuali melalui kontak intuitif langsung dengannya. Kalau kita tanya Kant, adakah intuisi yang berhubungan langsung dengan ‘aku’ dan noumena-noumena lainnya? Kant mungkin akan mempersalahkan pertanyaan ini. Ada tidak adanya tidak lagi berarti, karena intuisi macam itu di luar batas-batas pikiran dan rasio.

    Barangkali jawaban inilah yang membawa kita memahami penilaian Heidegger atas usaha Kant sebagai langkah pertama membangun Metafisika, ketimbang menenggarainya sebagai penghancur. Heidegger sendiri mencoba menyempurnakan langkah-langkah berikutnya lewat da-sein. Sebagai eksistensialis, ia cukup terpikat pada sang pendiri mazhab; Soren Kierkegaard. Yang belakangan ini secara langsung mempertimbangkan Cogito cartesian tersebut. Jika ‘Aku’ dalam kaidah itu menunjuk pada manusia sebagai maujud personal, maka ini tidak membuktikan sesuatu apapun. “jika aku berfikir, adakah gerangan Aku ini sungguh aku!”. Badawi, benih eksistensialis di dunia Arab, menjelaskan bahwa Cogito ergo sum sama artinya dengan “Aku; si subjek yang berfikir, adalah ada”. Di sini, tidak ada lompatan (kognitif) dari Berfikir ke ada, tetapi dari subjek ke ada. Jika berfikir ini dipakai untuk menunjukkan keberadaan ‘Aku’, justru tahshilul hashil, usaha pemborosan yang sia-sia. Atau anggaplah ‘Aku’ dalam cogito itu tidak lebih dari sebuah kata ganti yang tidak lagi memberikan arti apapun, selain untuk mempermudah dalam merangkai kaidah. Sebuah tawaran Russell untuk Descartes yang tidak lebih baik dari kritik Kierkegaard.

    Sampai di sini bapak Eksistensialisme belum menuntaskan perkara. Bila kita bertanya, apakah benar adanya lompatan kognitif dari ‘Aku’ ke ada? Kant dengan hazanah filsafat kritiknya masih berhak mengingatkan kita, bahwa lompatan kognitif itu tidak akan terjadi. ‘Aku’ tidak bisa menjadi satu sisi lompatan pengetahuan, karena ‘Aku’ sebagai noumena dan realitas hakiki –untuk kesekian kalinya- tidak dapat diketahui kecuali melalui kontak intuitif langsung dengannya.

    Berbeda dengan Kierkegaard. Ia justru menekankan adanya intuisi yang langsung tersebut. Ia menyebutnya sebagai keputusan eksistensial. Meski nyaris sepakat dengan Kant tatkala menyatakan bahwa ‘Aku’ bukan objek pikiran, namun alasan Kierkegaard untuk pernyataan ini mempertajam perbedaan di antara keduanya. ‘Aku’ bukan objek pikiran karena seketika ‘Aku’ berfikir dan dipikirkan, seketika itu pula ‘Aku’ keluar dari keberadaannya. Padahal, keterpisahan ‘Aku’ dari keberadaannya adalah ketiadaaan diri sendiri. Maka, ‘Aku’ adalah subjek dalam arti yang seutuh-utuhnya. “Aku’ adalah keberadaannya, tanpa perlu penalaran rasional kecuali pengalaman langsung atau intuisi mistis.

    Tampak ada kesepakatan di antara Kant dan Kierkegaard. Pertama, bahwa tidak ada hubungan vertikal dan konsisten antara ‘Aku’ noumenal dan ‘Aku’ fenoumenal. Kedua, Kierkegaard tidak mengakui adanya lompatan kognitif antara ‘Aku’ dan ‘ada’, bukan karena di luar kapasitas rasio seperti kata Kant, tetapi karena ‘Aku’ seutuh dengan keberadaannya. Kalaulah mesti ada lompatan, sebut saja “lompatan dari ada ke ada’.

    Kesepakatan itu boleh jadi terganggu dengan catatan Kant berikut ini, “jika memang benar tidak ada lompatan rasional, dan jika memang benar ada intuisi yang langsung berhubungan (mengetahui) ‘Aku’ noumenal, bagaimana memahami dan menginterpretasikan secara rasional apa yang terungkap oleh intuisi terebut? Sementara Kant jauh sebelumnya sudah menolak intuisi langsung dalam wacana rasionalitas tanpa perlu repot-repot menanggapi pertanyaan, Kierkegaard secara kesatria menolak usaha menalarkan ‘Aku’ noumenal secara rasional. Selanjutnya, ia menyadari kecenderungan eksistensialistiknya kepada subjektivitas. Dan akhirnya, ia pun kembali nyaris sepakat dengan Kant –minamalnya-untuk membuang Ontologi Metafisis.

    Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli

    Baik Kant maupun Kierkegaard, sama-sama mengambil pendirian yang berlebihan dalam menanggapi ‘Aku’ noumenal Cartesian. Keduanya tidak merestui kehadiran dan hubungan ‘Aku’ noumenal itu dalam diskusi rasional. Kant –kata Yusuf Karam- membangun dinding sebegitu tebal antara ‘Aku’ noumenal dan ‘Aku’ fenomenal, sehingga tidak lagi menyisakan celah. Semantara, Kierkegaard –kata Badawi- menerima ‘Aku’ noumenal sepenuh-penuhnya sampai menyia-nyiakan ‘Aku’ fenomenal. Sayangnya, Karam dan Badawi sendiri selaku dua pemikir Arab yang akrab dengan literatur filsafat Islam tidak melakukan elaborasi. Misalnya melalui karya-karya Ibnu Sina, terutama Al-Ta’liqot; satu dari sekian karya falsafi Ibnu Sina yang direvisi Badawi sendiri.

    Di beberapa tempat dari Al-Ta’liqot, Ibnu Sina cukup aktif mengulas pengetahuan ‘Aku’ akan dirinya sendiri. Coba kita memulai dari filsafat kritik Kant. Asumsikan saja sallamna (kita terima) forma (ruang dan waktu), 12 konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi sebagaimana yang dipaparkan Kant. Ibnu Sina mengingatkan kita, sekiranya benar bahwa kita tahu forma (ruang dan waktu) serta konsep-konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi, tentunya semua itu hadir dan ada pada diri kita. Kehadiran ini menujukkan bahwa kaitan semua itu langsung dalam relungan diri. Tidak ada lagi dualisme dan rentang. Diri secara langsung meliput forma, konsep dan cerapan-cerapan inderawi sebagaimana adanya. Dalam bahasa Kant, ia mengatakan, forma, konsep dan cerapan indrawi dalam kapasitas sebagai noumena hadir langsung pada diri pengetahu, dan diri ini mengetahui atau menyaksikan langsung akan hal ihwal mereka dalam kapasitas yang sama. Maka, ada serangkaian noumena dan bisa diketahui.

    Seandainya forma, dua belas konsep dan semua cerapan inderawi itu diketahui oleh diri pengetahu masih juga sebagai fenomena, maka diri pengetahu perlu suatu perangkat kognitif (apakah semacam intuisi inderawi, formal ataukah lainnya) yang dengannya ia mengetahui semua itu. Jika demikian, bagaimana dengan hasil pencerapan intuisi yang terakhir ini, apakah masih juga sebagai (berupa) fenomena pada diri pengetahu? Mempertahankan ke-fenomena-annya malah akan terus dicecar tanpa henti oleh pertanyaan seperti ini. Yakni, memilih fenomena tidak akan mungkin menuntaskan persoalan, karena harus selalu dan selalu mengandaikan fenomena di atas fenomena dan intuisi di atas intuisi, pengandaian ini berlanjut terus dan terus, tanpa akhir (tasalsul).

    Dengan kata lain, bila semua konsep dan lain-lainnya yang ada pada diri dianggap sebatas fenomena, maka mesti adanya jarak kognitif (cognitive gap) antara diri pengetahu dan konsep itu.

    Sama sekali tidak pernah menyentuh dan tahu fenomena (konsep dan selainnya) itu. Bukankah Kant sendiri yang mempercayai adanya noumena dan fungsinya sebagai sebab kemunculan fenomena. Oleh karena ini, forma, konsep-konsep dasar dan semua cerapan indera diketahui noemena-nya oleh subjek pengetahu secara langsung. Suhrawardi menyebut pengetahuan langsung ini dengan istilah isyraqi yang selalu disandingkan dengan istilah hudhuri.

    Dalam kaitannya dengan ‘Aku’ Kant, uraian Ibnu Sina menjadi lebih jelas lagi. Yakni, kalau saja forma dan lainnya itu adalah noumena-noumena yang secara langsung diketahui diri pengetahu tanpa melalui perangkat (rasio dan indera) ataupun refleksi (gambaran), sudah barang tentu ‘Aku’ pun diketahui sebagai noumena oleh dirinya sendiri secara langsung. Konsep-konsep dasar dan lain-lainnya itu ialah citra-citra ‘Aku’ yang diketahui secara noumenal dan langsung, tentunya ‘Aku’ mengetahui kenyataan dirinya sendiri secara noumenal dan langsung pula.

    Oleh karena ini, Ibnu Sina mengatakan, realitas noumenal ‘Aku’ tidak bisa didemonstrasikan melalui citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan pula difahami kecuali dengan menyadari realitas ‘Aku’ terlebih dahulu.

    Kendati demikian, Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas ‘Aku’ dengan dua argumen. Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika realitas ‘Aku’ diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena ‘Aku’ tidak tersentuh dan berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas ‘Aku’ bukan ‘Aku’, tetapi ‘Dia’, karena ‘Dia’ berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah implikasi yang bertentangan dengan identitas ‘Aku’.

    Ba’dal-lutayya wallati, baik Ibnu Sina maupun Suhrawardi menentang cara Decartes membuktikan realitas aku melalui citranya, yakni berfikir. Aku adalah realitasku, jauh sebelum berfikir, dipikirkan, didalilkan dan dinyatakan. Mereka sama-sama menyatakan bahwa pengetahuan hudhuri manusia pada dirinya adalah dasar segenap pengetahuan. Bahwa pengetahuan sesorang akan keraguan, pengetahuan, perasaan, dan konsep-konsep di mental berlandaskan pada pengetahuan dirinya akan dirinya sendiri.

    Pengetahuan hudhuri sebagai perasaan, peresapan dan penjiwaan ini bersifat sederhana dan tidak terbagi-bagi. Ia bukan layaknya proposisi “Aku berfikir” atau “Aku ada” yang tersusun dari dua konsep. Dua proposisi ini atau proposisi lain semacamnya berfungsi sebagai pengungkap dan pengurai pengetahuan itu dalam bentuk-bentuk logika (proposisi) dan bahasa (kata-kata). Ia menggambarkan apa-apa yang dirasakan, diresapi dan dijiwai oleh seseorang. Maka, ‘Aku’ dan citra-citranya adalah noumena-noumena atau hakikat-hakikat yang bisa ditangkap oleh pikiran untuk lalu diungkapkan dan dipahamkan. Hakikat yang ditangkap oleh pikiran itu bukan lagi hakikat, namun gambaran, refleksi, fenomena, shurah zihniyah. Jadi, pikiran bisa menyadari dan memahami ‘Aku’ serta citra-citranya melalui gambaran dan refleksinya. Secara istilah, pengetahuan tentang sesuatu melalui gambaran mentalnya adalah pengetahuan hushuli. Sejak saat itu, yakni Suhrawardi, sampai generasi filsuf muslim terakhir sekarang, secara jelas dan tegas pengetahuan manusia dibagi kepada dua macam; hudhuri (langsung) dan hushuli (berperantara).

    Pernyataan ini tidak mesti berakhir pada Subjektifisme sebagaimana Kierkegaard. Yakni, sampai di sini jelas bahwa ada noumena-noumena pada diri manusia dan bisa diketahuinya secara langsung dan hudhuri. Tidak dengan refleksi ataupun perangkat inderawi dan rasional, tetapi dengan penyaksian dan kesadaran jiwa. Kant boleh saja mengkritik, bagaimana memahami secara rasional dan meniterpretasikan ‘Aku’ dan citra-citranya yang terungkap oleh penyaksian jiwa tersebut? Sebagaimana yang lalu, Kierkegaard berpandangan bahwa –setidaknya- ‘Aku’ tidak bisa dirasionalkan, karena tidak bisa dijadikan objek pikiran dan rasio. ‘Aku’ adalah subjek pikiran.

    Bagaimana dengan Ibnu sina dan Suhrawardi serta filsuf-filsuf Muslim lainnya? Barangkali hal yang amat sederhana untuk dikatakan bahwa ‘Aku’ yang subjektif dan hudhuri ini diketahui oleh semua subjek secara sama, rata dan mufakat; mereka sepakat dan tegas akan keakuan dan keberadaannya. Sebuah usulan sederhana yang –memang barangkali- menyimpan penuntasan awal. Waalahu a’lam.

  19. @forummarimateaaceh
    Tidak terbalik apa yang anda katakan? yakni hati menerima tapi akal menolak.
    Menurut saya akal menerima kebenaran yang disabdakan Rasulullah SAW tapi HATI menolak. Karena akal mengetahui bahwa Rasul selalu benar dan apa yang disampaikan Rasul benar. Tapi HATI yang penuh dikuasai iblis menolak. Salam damai wasalam

  20. @arielluna & forummarimateaaceh

    Apa maksud anda2 memenuhi setiap TEMA dengan khotbah yang panjang2. Ruang ini adalah ruang diskusi dan bukan ruang ceramah

  21. @all

    Menurut saya menjadi pengikut Syi’ah bukan suatu perkara yg gampang dan dituntut suatu konsekuensi yg berat. Saya pribadi sdh cukup lama mempelajari ajaran Syi’ah, tetapi merasa sampai detik ini masih merasa baru tahap mengetahui atau pandai ber-retorika saja.

    Saya berpendapat bhw Syi’ah bukan milik pribadi atau suatu golongan tertentu. Ajaran Syi’ah adalah amanah berat yg harus dilaksanakan oleh org2 yg mau mengikuti teladan Nabi dan para imam ahlul baitnya dan oleh karenanya bukan sesuatu yg harus dibangga-banggakan.

  22. Menurut saya menjadi pengikut Syi’ah bukan suatu perkara yg gampang dan dituntut suatu konsekuensi yg berat. Saya pribadi sdh cukup lama mempelajari ajaran Syi’ah, tetapi merasa sampai detik ini masih merasa baru tahap mengetahui atau pandai ber-retorika saja.

    Saya berpendapat bhw Syi’ah bukan milik pribadi atau suatu golongan tertentu. Ajaran Syi’ah adalah amanah berat yg harus dilaksanakan oleh org2 yg mau mengikuti teladan Nabi dan para imam ahlul baitnya dan oleh karenanya bukan sesuatu yg harus dibangga-banggakan.

    wassalam
    http://pengawaswebsite.wordpress.com

  23. sebagai pengawas website, kami telah meneliti siapa pembuat website http://syiahali.wordpress.com

    sejauh kami teliti… web ini memuat 373 artikel yang mana 100% nya menguntungkan syi’ah …

    jadi logika kami berpikir :
    1. Mustahil salafi wahabi mau menulis 373 artikel yang mana 100% nya menguntungkan syi’ah …

    2. http://syiahali.wordpress.com bukan dibuat salafi/wahabi/sunni melainkan oleh ilmuwan yang cerdas yang cerdas yang pro syi’ah

    3. Alur penulisan terkesan kutip sana sini tidak teratur

    4. website tersebut mengandung ilmu ilmu baru, tidak semua copy paste dari web orang lain, http://syiahali.wordpress.com bukan dibuat salafi/wahabi/sunni melainkan oleh ilmuwan yang cerdas yang pro syi’ah

    http://pengawaswebsite.wordpress.com merupakan web pengawasan semua website

    wassalam

  24. @ syiahali/syiahindonesia/ainunmarziah

    Saya tidak mempermasalahkah anda mau masuk syiah atau tidak, dan saya tidak pernah memveto anda boleh atau tidak anda jadi syiah, yang saya persoalkan adalah:

    DALAM SALAH SATU KOMENTAR ANDA DI BLOG INI ANDA PERNAH MENGAKU SEBAGAI ULAMA SYIAH

    Pengakuan anda itu terlalu mengada-ada. Dan pengakuan anda SANGAT MERUGIKAN nama baik Ulama Syiah yang seakan-akan mental ulama syiah seperti pengakuan anda.

  25. @arielluna & forumarimateaaceh/syiahindonesia1

    Kalo blog anda kurang populer, tingkatkanlah kemampuan menulis, berpikir kritis dan seriuslah dengan studi literasi. Tidak perlu berceramah di blog tetangga. Kecenderungan dan minat orang kan berbeda2, jaringlah pengunjung yg sesuai dg karakter tulisan anda sendiri. Terus terang, sebagai blog walker yg sering berkunjung ke blog mas SP, (dan juga ke blog Ust Jakfari) saya merasa terganggu dg kehadiran ceramah anda…..

    btw, lebih mending baca komen si imem dan muhibbin dkk , walaupun ngawur gak jelas tp cukup menghibur..

  26. @koen
    Setujuuuuu

  27. saya rasa begini …..

    saat ini banyak website yang berbau syi’ah…

    Mereka mengambil tulisan ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH…

    Jadi ya mungkin mereka menganggap web tersebut berisi “”tulisan ulama syi’ah””,

    jadi bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat oleh ulama syiah yang asli…..

    Orang yang mengaku web nya dibuat ulama syi’ah , mungkin maksudnya Mereka mengambil tulisan ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH… jadi bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat oleh ulama syiah yang asli…..

  28. koen,
    bagi orang yang kagak punya blog ya wajar dong nulis di blog tetangga, ceramah panjang di web ini kan bisa nambah amal jariyah…tapi gue minta maaf ya nulis panjang panjang,,, Tobat… nggak gue ulangi dah…
    —————————————————————–
    Ytse-Jam, saya rasa begini …..
    elu jangan sensi dengan tulisan orang…

    saat ini banyak website yang berbau syi’ah…

    Mereka mengambil tulisan ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH…

    Jadi mungkin mereka menganggap web tersebut berisi “”tulisan ulama syi’ah””,

    maksudnya : bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat dan diketik oleh ulama syiah yang asli…..

    Orang yang mengaku web nya dibuat ulama syi’ah , mungkin maksudnya Mereka mengambil tulisan
    ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH… jadi bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat oleh ulama syiah yang asli….. elu diam aja dah, jangan ngerecokin SP

    ————————————————————–
    pengawaswebsite,

    emang nya anda peneliti website ya,,,,
    lanjutin penelitian mu……emang lu punya sertifikat keahlian apa sich….
    ———————————————————-
    syiahindonesia1..
    blog elu kok kosong melompong kagak ada isi
    udah hang ya….jangan bikin SP puyeng gara gara tulisan elu yang kagak ada bobot… elu jangan ngerecokin orang ya… Ingat ini web publik
    —————————————————————-

    syiahali…
    Alur penulisan website elu terkesan kutip sana sini tidak teratur , mending elu belajar pada SP
    ——————————————————————-

    ainunmarziah…
    elu cewek jangan ikut campur bikin komentar yang kagak perlu,,, Ingat disini kita bukan mau bikin bentrok debat kusir…

    —–
    tapi kagak apa apa sich, lawan yang kita hadapi kan sama yaitu salafi wahabi

  29. Pada judul artikel “”Studi Kritis Hadis Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi”” ada komentar dari http://pengawaswebsite.wordpress.com

    Nah,,,Gue kritik ya tulisan elu wahai pengawas website, denger ya buka tuch telinga :

    1. Secondprince bukan tempat ngerecokin orang dengan tulisan tulisan elu…Kalau mau ribut jangan di web SP ini…

    2. Pengurus Secondprince buat tulisan A, B, C dst nah tulisan A, B, C dst itu yang perlu elu kritik…

    3. Elu kagal perlu dan kagak ada urusan dah neliti web orang

    4. Kalau elu mau kritik web , tuch web sunnni, web salafi dan web wahabi yang perlu elu teliti…. Jangan syi’ah melulu elu jadikan sasaran..

    KEPADA PARA PEMBACA SECONDPRiNCE
    harap fokus aja pada tulisan SECONDPRiNCE dan jangan komentari hal sia sia

    Makasih dah buat SP yang mau muat tulisan gue

  30. Kelompok minoritas adalah di antara masalah sensitif di dunia. Sangat disayangkan, sejumlah negara tidak menjaga hak-hak minoritas agama, dan malah mendorong ke arah diskiriminasi. Kondisi Syiah di Arab Saudi dapat disebut sebagai contoh jelas pengabaian hak-hak kelompok minoritas.
    Di Arab Saudi, kelompok Syiah tidak mendapat hak-hak mendasar. Akan tetapi pemerintah negara ini tidak melakukan tindakan apapun untuk kelompok tertindas di negara ini. Padahal mereka adalah warga negara ini yang semestinya mendapatkan hak-hak seperti warga lainnya.

    Meski jumlah populasi Syiah di Arab Saudi tidak terdata secara detail, tapi sekitar 10 hingga 15 persen penduduk negara ini bermadzhab Syiah. Pada umumnya, komunitas Syiah di Arab Saudi berada di timur negara ini. Sebagian lainnya juga berada di kota suci Madinah.

    Dari sisi sejarah, Syiah di Arab Saudi mempunyai sejarah penjang di negara ini dan dunia Arab. Meski sepanjang sejarah, komunitas Syiah hidup di bawah pemerintah Sunni, namun mereka biasanya mempunyai posisi terhormat di tengah masyarakat. Akan tetapi kondisi ini tidak bertahan lama setelah berkuasanya keluarga Arab Saudi di awal abad ke-20.

    Komunitas Syiah di negara ini ditindas di masa keluarga Saudi. Keluarga Saudi berkeyakinan Wahabi. Menurut keyakinan ini, sejumlah ajaran Syiah dianggap syirik yang harus ditentang. Yang lebih ekstrim lagi, sejumlah ulama Wahabi mengeluarkan fatwa menghalalkan darah Syiah.

    Satu Abad Penindasan Syiah

    Masa penindasan terhadap kelompok Syiah di Arab Saudi sudah memasuki satu abad. Selama itu, kelompok Syiah di negara ini benar-benar dimarginalkan, bahkan hak-hak mereka diabaikan. Kondisi itu terus berlanjut hingga kini, bahkan kelompok Syiah sekarang ini tidak boleh menggelar shalat jamaah di rumah mereka. Seorang tokoh Syiah di Arab Saudi, Hasan Ali Al-Maliki ditangkap karena tudingan menggelar shalat jamaah di rumahnya.

    Ternyata Hasan Ali Al-Maliki bukan orang pertama yang ditangkap karena menggelar shalat jamaaah di rumahnya. Sebelumnya, ada beberapa warga Syiah di Arab Saudi yang dijebloskan ke penjara dengan tudingan menggelar shalat jamaah di rumah mereka.

    Sikap pemerintah Arab Saudi ini tentunya mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Direktur Arabic Network for Human Rights, Gamal Eid menilai tindakan Arab Saudi yang melarang warga Syiah menggelar shalat jamaah di rumah mereka, sebagai sikap rasis dan arogan.

    Hal yang harus menjadi catatan bahwa larangan menggelar shalat jamaah di rumah bukan berarti memperbolehkan warga Syiah melakukan shalat di masjid. Ibrahim Al-Muqaithib yang juga anggota Organisasi Hak Asasi Manusia di Arab Saudi mengatakan, “Warga Syiah di Arab Saudi tidak boleh melakukan shalat di masjid dan juga tidak boleh berpartisipasi dalam peringatan-peringatan agama. Mereka juga tidak diizinkan untuk mengerjakan shalat di masjid-masjid.”

    Hujjatul Islam Mohammad Bagir Al-Naser, imam jamaah di wilayah Khobar, mengeluarkan statemen keras mengenai pelarangan pelaksanaan shalat jamaah di masjid. Dalam statemen itu, ia menyatakan, “Setelah pemerintah melarang shalat jamaah di masjid-masjid, warga Syiah ingin bergabung dengan kelompok Sunni dan bersedia menjadi makmum imam masjid setempat. Akan tetapi upaya ini tetap dilarang oleh pemerintah Arab Saudi.” Bagian lain statemen itu juga menambahkan, ” Untuk itu, kita baru bisa melakukan shalat jamaah di masjid-masjid dengan syarat meninggalkan hukum fikih Syiah.”

    Ketika komunitas Syiah tidak diizinkan menggelar shalat jamaah dan acara keagamaan di masjid dan rumah-rumah mereka, maka peringatan Asyura atau Hari Kesyahidan Cucu Rasulullah Saww, Imam Husein as, juga tidak dapat dilaksanakan di negara ini. Padahal acara Asyura mendapat perhatian tersendiri dari kalangan Syiah di dunia. Acara semulia peringatan mengenang kesyahidan cucu kesayangan Rasulullah Saww pun dilarang di negara ini. Lantaran memperingati kesyahidan Imam Husein as, sekitar 30 warga Syiah ditangkap.

    Selain itu, para pejabat Arab Saudi juga berupaya menghalangi warga Syiah memiliki tempat untuk menyelenggarakan acara-acara keagamaan. Karena kebijakan ini, sejumlah masjid dan huseiniyah ditutup di negara ini. Belum lama ini, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Nayef bin Abdul Aziz mengeluarkan perintah menutup sembilan masjid Syiah. Penutupan ini mendorong kelompok Syiah di negara ini mengumpulkan tanda tangan yang kemudian dikirimkan ke Raja Abdullah bin Abdul Aziz.

    Dengan pengumpulan tanda tangan itu, komunitas Syiah di Arab Saudi meminta Raja Abdul Aziz supaya kembali membuka masjid-masjid Syiah dan menyetop larangan bagi warga Syiah untuk beraktivitas. Selain itu, mereka juga meminta pembebasan warga Syiah yang ditahan karena menggelar shalat jamaah di rumah mereka. Apalagi para tahanan Syiah yang ditahan mempunyai umur di atas 50 tahun. Sebagian besar pengikut madzhab Ahlul Bait di Arab Saudi dipenjara karena masalah agama dan politik.

    Protes dan reaksi atas sikap diskriminasi terus berlanjut, dan Komite Kebebasan Beragama di AS akhirnya melayangkan surat protes terhadap pemerintah Arab Saudi. Komite itu juga meminta pembebasan terhadap tahanan terlama di Arab Saudi yang bernama Hadi Al-Mathif.

    Larangan Bekerja di Instansi

    Tak diragukan lagi, selama diskriminasi terhadap warga Syiah terus berlanjut, pemerintah Arab Saudi tidak akan mengizinkan warga Syiah terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan politik di negara ini. Warga Syiah di negara ini tidak boleh bekerja di instansi resmi pemerintah seperti militer dan kepolisian. Dengan demikian, warga Syiah tidak akan mendapatkan posisi penting di negara ini.

    Selain itu, kondisi warga Syiah terus menghadapi penghinaan, bahkan anak-anak Syiah mendapat cemoooh di lingkungan-lingkungan pendidikan dan akademi. Yang lebih ekstrim lagi, buku-buku pendidikan di negara ini sarat dengan doktrinasi anti-Syiah. Para guru Syiah juga tidak berhak menonjolkan keyakinan mereka. Jika tetap membangkang, mereka akan dijebloskan ke penjara. Para ulama Syiah juga dilarang menyampaikan ajaran-ajaran Ahlul Bait kepada para pengikut madzhab ini. Kondisi Syiah benar-benar terisolir di Arab Saudi.

    Berbagai penghinaan anti-Syiah juga mewarnai kampus-kampus di negara ini. Mahasiswa yang ketahuan bermadzhab Syiah akan mendapatkan kendala serius untuk mendapat prestasi. Sementara itu, mahasiswa yang menulis skripsi anti-Syiah akan mendapat poin istimewa. Bahkan, pemerintah juga akan mencetak hasil skripsi tersebut. Sebaliknya, warga Syiah sama sekali tidak berhak mencetak karya-karya mereka. Pada saat yang sama, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan dana besar hingga jutaan dolar untuk mencetak buku-buku anti-Syiah di negara ini. Lebih dari itu, situs dan media-media anti-Syiah di dalam dan luar Arab Saudi seperti Televisi Al-Arabiah, juga mendapat dukungan penuh dari Arab Saudi.

    Komunitas Syiah di Arab Saudi berada di sumber-sumber minyak. 40 persen pekerja perusahaan minyak Amerika, Aramco Services Company (ASC) yang juga perusahaan utama eksplorasi minyak di Araba Saudi, adalah warga Syiah. Dengan demikian, kondisi ekonomi komunitas Syiah tidak ideal. Pemerintah Arab Saudi menutup pintu niaga bagi para pengusaha Syiah. Dengan demikian, Arab Saudi menerapkan diskriminasi terhadap komunitas Syiah di bidang politik, sosial dan ekonomi.

    Faktor Anti-Syiah di Arab Saudi

    Pada intinya, ada dua faktor yang menyebabkan pemerintah Arab Saudi bersikap sentimen terhadap kelompok Syiah. Pertama, keyakinan radikal Wahabi yang bertolak belakang dengan Syiah.

    Adapun faktor kedua adalah unsur politik. Fenomena Revolusi Islam Iran dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan keluarga Saudi yang kini berkuasa di Arab Saudi. Munculnya gerakan-gerakan perjuangan Syiah di Irak, Lebanon dan Yaman kian mengkhawatirkan para penguasa Arab Saudi. Kondisi inilah yang membuat pemerintah Arab Saudi kian menekan warga Syiah di dalam negeri.

    Pandangan sempit dan radikal pemerintah Arab Saudi menyebabkan para pejabat negara ini memasukkan diskriminasi dan pelecehan terhadap Syiah dalam program kerja pemerintah. Pada mulanya, warga Syiah berharap Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang menggantikan kakaknya, Fahd bin Abdul Aziz, dapat mengubah kondisi yan ada. Akan tetapi hingga kini, tidak ada perubahan akan kondisi yang ada. Syiah tetap dimarginalkan di negara ini. Padahal keterlibatan Syiah di berbagai kancah malah justru menguntungkan pemerintah Arab Saudi.

    sumber kutipan :http://groups.yahoo.com/group/PPDi/message/20065

  31. Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang mantan Sunni.. Saya kenal orgnya

    setelah saya telusuri ternyata website s.y.i.a.h.a.l.i tersebut dibuat oleh seseorang yang bernama Amin Farazala, Saya kenal orgnya

    saat ini banyak website yang berbau syi’ah…

    Mereka mengambil tulisan ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH…

    Jadi mungkin mereka menganggap web tersebut berisi “”tulisan ulama syi’ah””,

    maksudnya : bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat dan diketik oleh ulama syiah yang asli…..

    Orang yang mengaku web nya dibuat ulama syi’ah , mungkin maksudnya Mereka mengambil tulisan
    ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH… jadi bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat oleh ulama syiah yang asli….

  32. koreksi :

    Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang mantan Sunni.. Saya kenal orgnya

    setelah saya telusuri ternyata website s.y.i.a.h.a.l.i tersebut dibuat oleh seseorang yang bernama Amin Farazala, Saya kenal orgnya

    saat ini banyak website yang berbau syi’ah…

    Mereka mengambil tulisan ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH…

    Jadi mungkin mereka menganggap web tersebut berisi “”tulisan ulama syi’ah””,

    maksudnya : bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat dan diketik oleh ulama syiah yang asli…..

    Orang yang mengaku web nya dibuat ulama syi’ah , mungkin maksudnya Mereka mengambil tulisan
    ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH… jadi bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat oleh ulama syiah yang asli….

  33. jadi temen sendiri tho.. gitu aja ribet banget :mrgreen:

  34. Lho……itu koq ada yang make nama saya “Ytse-Jam”…?????????

    Ini orang pada gak tau malu banget, siapa sih koq kayanya usil nih orang??

    Saya menduga orang yang mencatut nama saya adalah saudara syiahali, atau syiahindonesia1, ainunmarziah, aminfaraza itu karena TULISAN YANG DITAMPILKAN OLEH ORANG2 TERSEBUT MEMBUKTIKAN DUGAAN SAYA..!!!

    Mohon perhatian mas SP, siapa tuh yang mencatut nama saya apakah orang2 yang saya sebutkan di atas ataukah ada Salafy2 lain yang usil.

  35. @SP
    virus wahabi mulai berterbangan,yg akan merusak wibawa situs ini
    @ytse-jam
    kan sdh dibilang ga usah ditanggapi,sdh pd tau ko

  36. @ Ytse-Jam
    Maaf, saya yang bernama aminfarazala jangan anda sangkut paut kan dengan tuduhan tuduhan tidak berdasar anda….

  37. Muncul lagi nih sampah masyarakat dengan nama baru lagi

  38. Maaf, saya yang bernama aminfarazala jangan anda sangkut paut kan dengan tuduhan tuduhan tidak berdasar anda….

    Mohon mas SP berkenan membongkar / memperingatkan Ytse-Jam yang gemar menuding orang lain… Ingat, saya tidak ada urusan dan tidak ada sangkut paut dengan Ytse-Jam

    KIta disini mencari persaudaraan… bukan mencari musuh… Kita mesti fokus pada artikel SP dan bukan ribut hal hal yang tidak perlu…

    Kepada SP mohon sensor lah tulisan tuding menuding yang memusingkan pembaca

  39. Wahh ini orang ngomong apa, ya? Nyampah disini

  40. @SP
    virus tuding menuding gaya wahabi oleh Ytse-Jam mulai berterbangan, yang akan merusak wibawa situs ini

    Ini orang pada gak tau malu banget, Ytse-Jam koq kayanya usil kali nuduh sana sini………….

    denger ya buka tuch telinga :

    1. Ytse-Jam …Secondprince bukan tempat ngerecokin orang dengan tulisan tulisan elu…Kalau mau ribut jangan di web SP ini…

    2. Ytse-Jam …Pengurus Secondprince buat tulisan A, B, C dst nah tulisan A, B, C dst itu yang perlu elu kritik…

    SP mohon edit saja tulisan Ytse-Jam

    Pengurus Secondprince buat tulisan A, B, C dst nah tulisan A, B, C dst itu yang perlu elu kritik…

  41. syukurlah jika web tersebut sudah musnah…
    Artinya web syiahindonesia1 sudah musnah dari muka bumi….

    saya melihat website syiahindonesia1 memang sudah tidak muncul dilayar internet…

    syukurlah jika web tersebut sudah musnah…
    Artinya web syiahindonesia1 sudah musnah dari muka bumi….

  42. Saya memang PERNAH MENGOREKSI TULISAN SAYA TENTANG ANDA, JADI ANDA jujur DENGAN MENULIS STATAMENT SEPERTI DI bawah ini :

    koreksi :

    Perlu anda semua ketahui, org yang bernama Syiahali itu PENGIKUT SYIAH, dia adalah seorang mantan Sunni.. Saya kenal orgnya

    setelah saya telusuri ternyata website s.y.i.a.h.a.l.i tersebut dibuat oleh seseorang yang bernama Amin Farazala, Saya kenal orgnya

    saat ini banyak website yang berbau syi’ah…

    Mereka mengambil tulisan ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH…

    Jadi mungkin mereka menganggap web tersebut berisi “”tulisan ulama syi’ah””,

    maksudnya : bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat dan diketik oleh ulama syiah yang asli…..

    Orang yang mengaku web nya dibuat ulama syi’ah , mungkin maksudnya Mereka mengambil tulisan
    ( copy ) dari tulisan ULAMA SYi’AH… jadi bukan berarti KERANGKA blog tersebut dibuat oleh ulama syiah yang asli….

    ————————————————————————–
    adapun ucapan saya ( Ytse-Jam ) :
    Muncul lagi nih sampah masayarakat yang tidak tau malu dengan memdawa bukti kedunguan lalu ok mau bela diri..Muncul lagi nih sampah masyarakat dengan nama baru lagi…Wahh ini orang ngomong apa, ya? Nyampah disini

    jawab : saya mohon maaf atas kekasaran saya, saya orang berpendidikan, khilaf menulis hal tersebut, ucapan seperti itu tidak layak diucapkan orang BERADAB seperti saya, saya telah mengelabui pembaca… saya minta maaf telah mengadu domba dan memuat kata kata yang cuma membuat ricuh

    Kepada SP mohon tulisan diarahkan kepada isi artikel SP… SP blokir aja tulisan tulisan ngawur ya

    viva SP

  43. Pemahaman wahabi yang salah adalah :

    1. Mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sealiran.

    2. Membolehkan menumpahkan darah kaum muslimin.

    3. Membolehkan memberontak, keluar dari jama’ah khilafah kaum muslimin.

    4. Menggeneralisir,tanpa memilah, menolak semua sunni

    5. Menggeneralisir,tanpa memilah,menolak semua ulama syiah

    6. Menggeneralisir,tanpa memilah,semua perkara baru dianggap bid’ah.

    7. Tidak bisa membedakan :
    mana yg akidah mana yg amaliah
    mana yg ushul mana yg furu’
    mana yg qoth’i mana yg dzanni

    8. Menganggap musyrik : ziarah kubur, tawasul, tabaruk.

    9. Menerapkan secara harfiah/tekstual Qur’an dan Hadis.

    10. Menerapkan ke-umum-an dalil, tanpa mencari pen-taksish, mufassar, bayan dan muayyadnya.

    11. Tidak toleran dalam perbedaan pendapat masalah furuiyyah yg ikhtilafi.

    12. Mudah mencela/mencaci sesama muslim yang diluar wahabi.

    13. Menihilkan jihad (Kecuali Wahaby Ekstrim seperti Nordin Cs, ini semangat dalam jihad tapi kebablasan).

    14. Mengikuti semua perkataan tokoh-tokoh kelompoknya saja, walaupun menyelisihi pendapat imam mazhab dan mayoritas ulama syiah yg lebih kapable & kredible.

    15. Melakukan segala cara untuk mendukung mazhab wahabi :

    a. menambah, mengurangi, merubah, menghilangkan perkataan para ulama dari manuskrip aslinya.

    b. Membuat blog, menerbitkan buku, majalah, kaset, video, mendirikan radio yang dibuat khusus untuk memprogandakan wahabi.

    c. Membayar orang-orang yang mau mempropagandakan wahabi.

    d. Melakukan PEMUTIHAN sejarah HITAM Wahabi.
    Berdasarkan definisi Imam Khatib Al Baghdadi, WAHABI tidak termasuk Ahlussunnah Wal Jama’ah

    jayalah syi’ah kita

  44. anda benar,

    Ali bin Abi Thalib satu-satunya sahabat Nabi saw yang memiliki kepribadian kuat dengan keunikan yang khas mampu menarik dan menolak…Menarik para penyandang keimanan yang tulus dan menolak kaum munafik…Sehingga Nabi menjadikan kecintaan kepadanya sebagai tanda keimanan dan kebencian terhadapnya bukti kemunafikan…

    Sejak masa hidup Nabi saw kaum munafik telah tercirikan dengan kebencian mereka terhadap Ali as., dan sejak itu pulalah kaum Mukmin yang tulus telah menggabungkan diri dalam kafilah para pecinta Ali!

    Ayat demi ayat turun, sebagaimana sabda terlontar dari lisan suci yang selalu terhiasi dengan wahyu ilahi untuk menyebutkan keistimewaan kafilah para pecinta sejati ini…

    Syi’ah adalah sebaik-baik hamba pilihan Allah, singa-singa padang pasir, dan rahib di mihrab-mihrab…teladan dalam kebajikan dan penghambaan…konsisten dalam menegakkan Syari’at…teguh dalam keimanan dan keyakinan…tenggelam dalam kecintaan kepada Nabi dan Ahlulbait…Besar perhatian terhadap sesama hamba Allah…

    Mereka itulah hamba-hamba pilihan Allah yang sangat merindukan surga.

  45. PERMOHONAN MAAF…

    kepada SP tolonglah jangan muat tulisan saya yang terkadang MENGACAUKAN suasana ilmiah.. Tolak aja jika tulisan saya mengacaukan keamanan web ini

    saya Ytse-Jam memang agak emosional dalam berkata kata, radikal, gampang menuding orang…

    Oleh karena itu saya mohon maaf…

    Kaum syi’ah adalah kaum yang santun berkata kata… Sopan dalam adab dan bahasa…

    Kepada pembaca, saya Ytse-Jam mohon maaf yach

    kepada SP tolonglah jangan muat tulisan saya yang terkadang MENGACAUKAN suasana ilmiah.. Tolak aja jika tulisan saya mengacaukan keamanan web ini

  46. Apa-apaan lagi nih orang……………………????????????????????????????

  47. @Ytse-Jam
    Biasa mas. Pada waktu Iblis diusir dan menjadi KAFIR, Iblis bersumpah dihadapan Allah akan menyesatkan hamba dengan segala cara dan dari segala arah. Salam damai Wasalam

  48. […] Studi Kritis Hadis Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi […]

  49. @SP
    Analisis yg sangat bagus, mantap aliran argumennya. Saran saya, Anda tambahkan/sisipkan diagram blok yg memperlihatkan rantai sanad Bassam – Yahya bin Ya’la – lalu ke ketiga perawi di bawahnya. Itu akan jadi semacam mind-map yg memudahkan pembaca mengikuti alur argumen Anda.

    Makin lebih indah taman blog Anda ini jika spam2 panjang yg tdk ada hubungannya disapu bersih; bikin mata kelilipan rasanya spam2 itu 🙂

Tinggalkan komentar